MATAHARI bersinar
terik membakar jagat. Pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih
dengan ikat kepala juga kain putih merasakan tenggorokannya kering.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Dia merasa bersyukur karena
sepeminuman teh berlalu akhirnya dia sampai di sebuah kampung. Paling
tidak dia bisa minta air segar pada penduduk. Tapi kebetulan di mulut
jalan di temuinya sebuah kedai.
Pemuda ini
masuk ke dalam kedai dan memesan minuman. Untuk mengurangi rasa panas
dia berkipas-kipas sambil menunggu pesanan. Pada saat itulah tiga orang
penunggang kuda berhenti di depan kedai. Sejenak si gondrong perhatikan
ke tiga pendatang ini. Kelihatannya seperti orang-orang yang tengah
mengadakan perjalanan jauh dan ingin melepaskan lelah sambil membasahi
tenggorokan. Si gondrong palingkan kepala tak perdulikan orang-orang
itu. Ketika pelayan meletakan minuman di hadapan si pemuda, tahu-tahu
ke tiga penunggang kuda tadi sudah melompat dan berdiri di hadapannya.
Sekilas si pemuda melirik, lalu acuh tak acuh dia terus berkipas-kipas.
Salah satu tangannya menjangkau gelas minuman. Tapi gerakannya tertahan
oleh bentakan salah seorang tamu di sampingnya. "Jadi menurutmu ini
bangsatnya?!" Yang membentak ini berusia sekitar tiga puluh tahun,
berambut pendek, memelihara berewok dan berbadan tinggi kekar. Lelaki
di sampingnya, seorang tua berambut kelabu, memandang sejenak pada
pemuda rambut gondrong, sejurus kemudian dia anggukan kepala. "Memang dia bangsatnya. Aku pasti betul!" kata si rambut kelabu. Lelaki ke tiga seorang pemuda berbadan tegap lantas saja membuka mulut: "Jika dia malingnya tunggu apa lagi?!" Sret!
Dari balik pinggangnya pemuda ini cabut sebilah golok dan
mengacungkannya ke arah pemuda berambut gondrong yang duduk di belakang
meja. Seperti seorang buta dan tuli layaknya, si gondrong ini
seolah-olah tak melihat orang-orang di sekitarnya atau tak mendengar
percakapan-percakapan di dekatnya. Dia terus saja berkipas-kipas dan
malah kini mengambil gelas berisi minuman. "Setan! Kau berani
berlagak tolol pilon di depan kami!" sentak pemuda yang memegang golok.
Tangan kanannya di ayunkan. Prang! Gelas di tangan pemuda gondrong papas
berantakan. Sebagian isinya tumpah membasahi meja serta pakaian pemuda
ini. Bagian bawah gelas yang papas di tebas golok tajam masih berada
dalam genggaman tangan kiri pemuda itu. Di dalamnya masih berada sedikit
sisa minuman. Si gondrong goleng-goleng kepala lalu menyeringai. Dari
mulutnya keluar suara siulan. Lalu seenanknya sisa minuman yang masih
ada dalam gelas yang tinggal sepotong itu diteguknya sampai habis! Semua
tamu yang ada di kedai melengak heran tetapi diam-diam juga menjadi
tegang. Sebaliknya tiga lelaki yang berada di hadapan si gondrong jadi
naik pitam. Dan pemuda yang memegang golok kembali menghardik: "Pencuri
ternak! Kau memang di cincang!" Untuk kedua kalinya golok besar itu
berkelebat. Kali ini dibacokan ke kepala si gondrong. Beberapa orang
tamu mengeluarkan seruan tegang karena sudah membayangkan sesaat lagi
akan belahlah kepala pemuda berambut gondrong itu dihantam golok! Tetapi gilanya manusia yang dirinya terancam bahaya maut itu justru kelihatan tenang-tenang saja. Malah cengar-cengir. Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar merupakan satu kejutan. Sedetik
sebelum golok besar itu menghantam sasarannya, terdengar pekikan keras.
Golok kelihatan mencelat ke atas dan menancap di langit-langit kedai.
Pemuda yang tadi memegang senjata itu terhuyung empat langkah ke
belakang sambil pegangi siku tangan kanannya. Entah kapan si gondrong
ini bergerak tahu-tahu dia telah menangkis serangan maut yang
dilancarkan bahkan memukul tangan sambungan siku orang yang inginkan
jiwanya! "Pelayan! Ambilkan minuman baru. Rasa hausku belum habis,
tahu-tahu ada saja monyet kesasar yang datang mengganggu!" Si gondrong
berseru memanggil pelayan sambil salah satu kakinya dinaikan keatas
kursi. "Bangsat pencuri! Berani kau mencelakai adikku!" Tiba-tiba
lelaki berewok hantamkan tinju kanannya yang besar kuat ke dada si
gondrong. "Buk! Tinju tepat mendarat dengan kerasnya di dada si
gondrong. Tapi yang menjerit kesakitan bukannya pemuda itu, malah
justru si berewok. Tubuhnya terjajar ke belakang dan tangan kanannya
kelihatan merah bengkak! Marah dan kesakitan si berewok berteriak
"Laknat! Sekalipun kau punya ilmu setan, aku mau lihat apa kau kebal
senjata!" Sebilah belati di cabutnya dari pinggang lalu secepat kilat
ditikamkannya ke arah si pemuda. Seperti tadi waktu di serang dengan
golok, tak kelihatan pemuda rambut gondrong itu bergerak tahu-tahu golok
sudah mental dan penyerang kena di hantam. Kali inipun terjadi hal yang
sama. Lelaki berewok menjerit kesakitan ,belati ditangannya mental ke
udara dan menancap di langit-langit kedai, tepat disamping golok! "Pelayan!
Mana minuman baru! Lekas, aku benar-benar kehausan!" teriak si
gondrong. Sampai saat itu sedikitpun dia tidak beringsut dari kursi yang
di didukinya! Kini semua orang dalam kedai itu serta merta menjadi
maklum. Pemuda berpakaian putih, berambut gondrong, bertampang lugu
bahkan seperti agak sinting ini, bukan manusia sembarangan. Pelayan datang setengah berlari membawakan minuman. Kali ini digelas besar. Setelah
meneguk isi gelas sampai setengahnya, si gondrong hembuskan nafas
panjang. Perlahan-lahan dia palingkan kepalanya ke arah lelaki tua
berambut kelabu yang tegak di samping mejanya dengan mulut menganga dan
tampak terkesiap. Si gondrong sunggingkan senyum. "Orang tua berambut kelabu. Apa kau juga hendak turun tangan terhadapku?!" "Maling
ternak, kau tunggulah disini! Sekali kulaporkan yang kau lakukan,
orang-orang Adipati Japara akan datang menghajar dan menangkapmu!". Orang tua berambut kelabu menjawab sambil mengancam. Tampaknya dia tak punya nyali untuk ikut-ikutan turun tangan. Si gondrong tertawa. "Gila!
Tuduhanmu sungguh tidak enak. Maling ternak! Maunya kupecahkan mulutmu
dan juga dua kembarmu itu! Menuduh seenaknya. Tanpa alasan, tanpa bukti.
Tak ada saksi!" "Saksiku adalah mataku sendiri! Aku masih belum
buta! Memang kau yang mencuri selusin kerbau yang ku gembalakan di tepi
hutan Manuk!" "Cc…cc…cc…" si gondrong leletkan lidah. "Benar kau belum buta, orang tua. Tapi mungkin sudah lamur. Kau pasti salah lihat!" "Tidak mungkin! Lekas katakan dimana kau sembunyikan kerbau-kerbau curian itu!" Si gondrong geleng-gelengkan kepala. "Dengar orang tua. Namaku WIRO SABLENG. Mungkin aku pemuda gendeng, tapi bukan pencuri kerbau!" "Bukan pencuri kerbau! Puah! Pencuri kerbau bukan, tapi maling kerbau ya!" mendamprat pemuda yang sambungan sikunya copot. Si
rambut gondrong yang ternyata adalah pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling pada si rambut kelabu. "Orang tua,
coba kau jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi." "Tidak perlu!" potong lelaki berewok. "Jelas kau malingnya. Ayahku tak mungkin salah lihat!" "Oh,
jadi si rambut kelabu ini ayahmu," ujar Wiro. "Yang ini pasti adikmu.
Dengar berewok. Mencuri selusin kerbau bukan soal mudah. Paling sedikit
harus dilakukan oleh tiga orang. Kalian lihat sendiri. Aku disini cuma
sendirian." "Jangan coba mengelabui kami. Kawan-kawanmu saat ini tentu tengah menggiring kerbau-kerbau itu ke satu tempat!" Lama-lama
murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi jengkel juga. Seumur hidup
malang-melintang di dunia persilatan baru hari itu dituduh jadi maling,
pencuri kerbau! Kembali digaruk-garuk kepalanya. "Mau percaya atau
tidak, terserah. Aku tidak mencuri kerbau kalian. Aku tak pernah berada
di sekitar Gili Manuk. Aku datang dari timur dan…" "Memang mana ada maling mau mengaku!" tukas si rambut kelabu memberengut. Wiro
Sableng menyeringai dingin dan si berewok kembali membuk mulut:
"Tanda-tanda yang kami ikuti menuju ke tempat ini. Disini ayahku
menemukanmu. Ciri-ciri pencuri itu tepat seperti dirimu…" "Mungkin ayahmu hanya melihat dari jauh" Wiro coba membela diri. "Jauh atau dekat bukan soal. Yang jelas kau memang telah melarikan kerbau-kerbau kami!" "Berewok.
Jika kau tetap menuduhku sebagai pencuri, berarti kau tak bakal
menemukan pencuri sebenarnya. Kau benar-benar akan kehilangan
kerbau-kerbaumu…Jika katamu pencuri itu menuju kejurusan sini, tentu dia
atau mereka masih belum jauh dari sini. Kalian masih punya kesempatan
untuk mengejar!" Habis berkata begitu Wiro berdiri dan berkata pada adik
si berewok. "Mari kusambungkan kembali tulang sikumu." "Tak perlu!" jawab si pemuda sambil pegangi tangannya yang cidera. "Ya,
memang tak perlu," kakaknya yang berewok menimpali beringas. Lalu dia
mengajak adik dan ayahnya segera melapor ke Kadipaten. "Kalian ayah
dan anak sama saja keras kepalanya. Lebih baik untuk sementara kalian
jadi patung saja, supaya tidak menggangguku!" Dengan bergerak cepat Wiro
Sableng menotok ke tiga orang itu hingga tak mampu lagi bergerak.
Setelah membayar minumannya dia lambaikan tangan pada ke tiga beranak
itu dan melangkah pergi. "Maling kerbau! Jangan lari kau!" teriak si berewok. "Bangsat pencuri!" adiknya menimpali. "Sekali engkau lari ke ujung dunia akan kukejar dan kucincang!" Sang ayah tak ketinggalan berteriak: "Petugas-petugas Kadipaten akan menangkap dan menghajarmu!" Mereka ingin mengejar namun tak mampu bergerak. Akhirnya hanya bisa memaki-maki sementara Wiro sudah tak kelihatan lagi. JAUH
di sebelah timur tampak menjulang gunung Muryo. Dengan mempergunakan
ilmu lari "kaki angin" pendekar itu lari kencang kejurusan itu.
Tujuannya adalah Japara. Disitu dia akan mencari keterangan mengenai
suatu tempat yang hendak didatanginya. Sang surya mulai condong
kebarat. Di depan sana terbentang daerah berbukit-bukit. Sebagaimana
lazimnya keadaan alam, jika ada bukit-bukit maka di situ akan terdapat
pula lembah-lembah. Wiro berdiri di puncak sebuah bukit, memandang
berkeliling. Lembah dan bukit di daerah itu tampak hijau subur, tetapi
masih liar belum dibuka manusia. Sesaat kemudian, ketika dia siap untuk
meneruskan perjalanan, mendadak langkahnya tertahan. Jauh di bawah
sana, di dasar salah satu lembah dilihatnya dua penunggang kuda tengah
menggiring serombongan kerbau. Tak dapat dipastikan berapa jumlah
binatang itu, namun Wiro yakin bahwa ternak tersebut pastilah kerbau
curian, milik ke tiga beranak di kedai yang tadi menuduhnya sebagai
pencuri. Sesaat Wiro berpikir. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia
segera berlari menuruni bukit. Sesampainya di lembah diam-diam dia
mengikuti kedua penggiring ternak itu. Mereka masih muda-muda. Seorang
diantaranya berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan memakai ikat
kepala sapu tangan putih. Sepintas lalu ciri-cirinya memang sama dengan
Wiro. Murid Sinto Gendeng ini merutuk dalam hati. Inilah pangkal Tidak
salah kalau orang tua berambut putih itu menuduh bahwa dialah yang telah
mencuri selusin kerbau mereka! Walau yakin kedua pemuda itu pencuri,
namun Wiro tidak segera turun tangan. Dia terus mengikuti perjalanan
mereka dari balik semak belukar. Hal ini tidak sulit dilakukan. Walaupun
menunggang kuda, tapi karena harus menggiring kerbau, dua pemuda itu
terpaksa bergerak perlahan. "Dimana kita akan istirahat?" tanya pemuda penunggang kuda berambut gondrong. "Kita tidak akan istirahat Kunto. Jika kemalaman di jalan bisa berabe!" Si
gondrong yang bernama Kunto menyahuti: "Kau selalu kawatir kemalaman.
Mengapa tidak lewat jalan umum saja? Dalam waktu dua jam kita akan
sampai ke kota. Dan menikmati hasil penjualan kerbau-kerbau ini!" Sang
kawan tidak kelihatan senang. Dia berkata: "Kau masih terlalu hijau
untuk jadi pencuri ternak. Lewat jalan umum memang lebih cepat tapi sama
saja dengan menyerahkan batang lehermu pada petugas-petugas Kadipaten.
Aku yakin pemilik ternak ini telah melapor ke Kadipaten!" Kunto
tertawa. “Ario, kaulah yang tolol. Apa kau tidak tahu kalau orang-orang
Kadipaten hanya mau mendengar laporan dan minta uang pada si pelapor
tapi tidak pernah melakukan sesuatu? Apalagi mengurusi kerbau. Kecuali
jika pemilik kerbau itu menjanjikan separoh dari kerbaunya yang hilang
akan diberikan pada mereka!” “Ya, aku tahu hal itu,” jawab Ario.
“Tapi aku tetap tak mau cari penyakit. Kalau tidak melapor ke Kadipaten
bukan mustahil pemilik kerbau itu mengumpulkan orang sedesa dan mengejar
kita. Sekali tertangkap kita akan mereka gebuk sampai lumat!” Kunto
terdiam sesaat. Lalu bertanya: “Kalau kau sudah takut begitu lalu
bagaimana kita membawa ternak ini langsung ke kota dan menjualnya
seolah-olah milik kita?” “Aku tidak tolol dan tidak akan melakukan
seperti itu. Ternak ini aku titipkan dulu di luar kota di tempat
Sumengkar. Kita cari pembeli di kota, jika harga cocok baru di bawa ke
tempat Sumengkar.” “Susah-susah ke kota bagaimana kalau kerbau itu aku saja yang membeli?” tiba-tiba satu suara meimpal. Tentu saja Kunto dan Ario kaget bukan main! Keduanya
sesaat saling pandang. Setan atau manusiakah yang barusan bicara?
Keduanya lalu sama-sama berpaling ke belakang. Tak ada siapa-siapa.
Memandang berkeliling juga tak seorangpun kelihatan. Aneh. Jelas mereka
mendengar suara, tapi dimana orangnya? Ario dan Kunto kembali saling
pandang. Keduanya menunjukan wajah takut. “Kudengar daerah sekitar sini banyak dedemitnya,” bisik Kunto seraya rapatkan kudanya ke kuda kawannya. “Jangan-jangan…” “Mungkin
kita cuma salah dengar,” sahut Ario. “Tiupan angin kadang-kadang
seperti suara manusia. Apalagi kalau kita sedang melamun.” “Kita
tidak sedang melamun, Ario. Suara manusia mana bisa sama dengan suara
desau angin. Kalau bukan suara manusia itu tadi, pasti suara setan. Mari
kita bergerak lebih cepat!” Kedua orang itu segera menghalau kerbau-kerbau di depan mereka. “Hai! Tunggu dulu!” tiba-tiba suara tadi kembali terdengar. Lebih jelas dan lebih keras. “Kalian belum menjawab pertanyaanku!” Kunto
menggigil sekujur tubuhnya. Dia ingin menghambur duluan meninggalkan
tempat itu. Ario pegang hulu goloknya. Dengan mata liar dia memandang
berkeliling lalu membentak dengan suara bergetar: “Setan atau manusiakah
yang bicara!? Harap tunjukan muka!” Terdengar suara tawa bergelak.
Tiba-tiba semak belukar di samping kiri jalan tersibak. Seorang pemuda
berambut gondrong sambil cengar-cengir menyeruak keluar. Dia bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Siapa kau?!” sentak Ario. Kunto
segera lenyap rasa takutnya ketika dilihatnya yang muncul ternyata hanya
manusia biasa dan sendirian pula. “Aku manusia biasa, bukan setan bukan dedemit. Kalian belum jawab pertanyaanku. Mau jual kerbau-kerbau ini padaku?” Dalam
hati Ario membatin. Pemuda di depannya itu memperlihatkan tindak tanduk
seperti orang kurang waras. Maka dia bertanya: “Kau bergurau atau
bagaimana, sobat?!” “Orang mau beli kerbau dibilang bergurau!” Wiro menggerutu. “Kau punya uang untuk membeli ternak ini semua?!” Kunto ajukan pertanyaan. Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kulit. Ketika
digoyangnya kantong itu mengeluarkan suara berdering. Kunto dan Ario
saling pandang. Kunto mendekati kawannya dan berbisik: “Jika bisa
dibereskan disini kita tak usah susah-susah ke kota” Ario mengangguk. “Kalau kau punya tiga puluh ringgit perak, kau boleh ambil semua kerbau ini!” berkata Ario. “Ah,
itu terlalu mahal sobat,” kata Wiro Sableng. “Terlalu mahal untuk
kerbau-kerbau kurus tak berdaging yang seperti binatang sakit ini.
Apalagi kerbau curian pula!” Paras Ario dan Kunto kontan berubah. “Pemuda asing. Apa maksudmu mengatakan kerbau curian?” bentak Ario. “Siapa mengatakan apa?” tanya Wiro. Kunto jadi jengkel. “Barusan kau menuduh kami pencuri kerbau!” “Aku tidak menuduh begitu. Aku cuma bilang kerbau ini kerbau curian…” “Sudah! Tak usah bicara panjang lebar. Kalau kau sanggup bayar dua puluh ringgit perak kau boleh ambil kerbau-kerbau ini!” “Itu juga masih keliwat mahal sobat,” kata Wiro sambil timang-timang uang di dalam kantong. “Lalu kau mau bayar berapa?!” bentak Ario. “Setengah ringgit perak kurasa sudah cukup pantas untuk selusin kerbau ini!” “Kurang
ajar! Kau hendak mempermainkan kami! Bajingan tengik!” Kunto menarik
tali kekang kudanya hingga binatang ini melompat kehadapan Wiro. “Siapa
yang kurang ajar? Siapa yang bajingan tengik? Siapa pula yang
main-main?” tukar Wiro. Dari dalam kantong kulit di keluarkannya sebuah
mata uang perak. Dengan kedua tangannya enak saja dia mematahkan uang
perak itu hingga terbelah dua. Tentu saja ini membuat Ario dan Kunto
terkejut. Karena mematahkan uang perak dengan tangan biasa merupakan
suatu hal yang mustahil. Ario jadi curiga. Jika pemuda asing yang
seperti kurang waras ini memiliki kepandaian tinggi, bukan tak mungkin
dia adalah seorang jagoan dari Kadipaten yang sengaja menyamar untuk
membuntuti mereka. “Orang muda, apakah kau petugas Kadipaten? Atau dari Kotaraja?” tanya Ario. Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. “Aku
bukan petugas Kadipaten. Apalagi Kotaraja. Aku datang kemari untuk
membeli kerbau kalian. Nah ini uangnya setengah ringgit. Terimalah!” Wiro
lalu lemparkan potongan uang yang tadi di belahnya ke arah Kunto.
Lemparan itu kelihatannya biasa-biasa saja, perlahan. Tetapi begitu
mengenai dada Kunto langsung lelaki ini menjerit kesakitan. Kesakitan
dan marah Kunto segera hendak cabut goloknya. Tapi heran! Celaka! Dia
tidak bisa menggerakkan tangannya. Juga bagian-bagian tubuhnya yang
lain. Sekujurnya badannya kaku tegang! Masih untung dia bisa membuka
mulut dan berteriak: “Ario! Bangsat ini menotokku!” Kagetlah Ario.
Tanpa menunggu lebih lama dia segera mencabut goloknya dan membabatkan
senjata ini ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. “Bajingan tengik! Kau betul-betul ingin mampus!” “Puah! Kalianlah yang perlu di hajar!” damprat Wiro. Dia
menunduk. Golok Ario berkelebat di atas kepalanya. Sesaat kemudian Ario
terdengar menjerit dan seperti Kunto tubuhnyapun kini kaku kejang
dihantam totokan. Tanpa perdulikan jeritan dan caci maki kedua orang itu
Wiro membelintangkan Keduanya diatas kuda milik Kunto. Dia sendiri lalu
naik ke atas kuda Ario lalu menggiring kedua pencuri itu bersama
selusin kerbau menuju kampung dimana Kunto dan Ario telah mencuri
binatang-binatang tersebut. Hari telah malam ketika Wiro sampai di
kedai di mulut jalan itu. Tapi di dalam kedai orang banyak masih
berkumpul menyaksikan pemilik kerbau dan kedua anaknya yang masih
berdiri tegak dalam keadaan kaku. Tak ada satu orangpun yang tahu
bagaimana caranya melepaskan totokan mereka. Banyak yang mencoba dengan
jalan mengurut-urut atau memukul-mukul, tetapi sia-sia. Akhirnya semua
orang hanya bisa melihat saja tanpa bisa berbuat sesuatu. Dalam keadaan
itulah Wiro muncul dan masuk kembali kedalam kedai. Serta merta banyak
orang menyingkir. Bukan saja mereka merasa takut terhadap pemuda ini,
tetapi juga kaget melihat dua sosok tubuh yang dilemparkan Wiro ke
lantai kedai. Apa pula yang telah terjadi, pikir semua orang. Orang
tua berambut kelabu membuka mulut siap untuk memaki. Tapi Wiro cepat
menutup mulutnya dengan tangan kiri sementara dua anaknya memandang
dengan mata melotot, beringas tetapi tak berani keluarkan suara. Kalau
saja Keduanya tidak dalam keadaan tertotok, pastilah keduanya sudah
menyerang Wiro. “Orang tua,” kata Wiro pula. “Kau lihat pemuda
gondrong yang menggeletak di depan kakimu itu? Selintas tampang dan
perawakannya mirip aku, bukan?” Si rambut kelabu sejenak memandang
pemuda yang terbujur di lantai dalam keadaan tertotok itu. “Apa
maksudmu? Siapa mereka?” tanya orang ini begitu Wiro lepaskan tekapannya
dari mulut lelaki itu. “Merekalah yang mencuri kerbaumu. Yang gondrong itu bernama Ario. Temannya Kunto. Kerbau-kerbaumu ada di luar kedai!” “Kurang ajar! Jadi!” “Jadi
ya jadi!” kata Wiro sambil senyum-senyum. “Sekarang kalian baru percaya
kalau aku bukan pencuri. Nah kalian mau berbuat apa terhadap mereka.
Mau ke Kadipaten memang itu baiknya. Mau di gebuk lebih dulu asal tidak
sampai mampus, aku tak mau ikut campur!” Habis berkata begitu Wiro
lantas lepaskan totokan pada tubuh orang tua itu dan kedua anaknya. Lalu
tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke pintu. “Hai, tunggu
dulu!” seru orang tua pemilik kerbau. Dia dan kedua anaknya mengejar ke
pintu. Namun sampai di luar dia hanya melihat kegelapan. Selusin kerbau
mereka berkeliaran di halaman kedai.
KIRA-KIRA
setengah hari perjalanan dari gunung Muryo di sebelah tenggara terdapat
sebuah bukit kecil yang amat rimbun di tumbuhi semak belukar dan
pepohonan liar. Menurut penduduk yang tinggal jauh dari situ, konon tak
pernah seorang manusiapun sejak tiga puluh tahun silam berani berada
dekat bukit itu. Apalagi coba mendatanginya. Pohon-pohon jati yang
tumbuh disitu amat bagus jenisnya. Namun tak seorangpun penebang kayu
yang mau datang kesitu untuk menebangnya. Kenapa sampai terjadi demikian
tentu ada sebab-musababnya. Menurut orang-orang tua yang tahu
kisahnya, sebelum tiga puluh tahun yang lalu, bukit itu seperti
bukit-bukit lainnya di sekitar situ banyak di datangi orang. Kemudian
terbetik berita bahwa setiap orang yang berani datang ke bukit itu pasti
tak akan kembali lagi. Entah hilang kesasar entah mati. Yang jelas
orang atau mayatnya tak pernah di temui kembali. Selama
bertahun-tahun terjadi hal semacam itu hingga penduduk takut. Bukit itu
di anggap angker. Tak seorangpun lagi berani datang dekat-dekat ke situ.
Dan entah siapa yang mulai menamakannya, bukit satu itu lalu diberi
nama Bukit Hantu! Pada malam-malam tertentu, terutama ketika sedang
gelap bulan, dari puncak bukit terdengar suara pekik jerit aneh
mengerikan. Sekali-sekali suara jeritan itu diseling oleh lolongan
anjing. Karena diketahui tak seorangpun diam di bukit itu. Namun hari
itu terjadi satu kelainan yang bisa di katakan satu keluar biasaan.
Sewaktu awan kelabu bergerak dan berarak dari arah tenggara, seorang
penunggang kuda berpakaian mewah tampak memacu kuda tunggangannya menuju
Bukit Hantu. Apakah dia seorang asing yang tidak tahu angker dan
bahayanya memasuki daerah itu? Tetapi dari gerak-gerik dan caranya orang
ini menunggangi kuda menempuh jalan agaknya dia mengetahui betul seluk
beluk daerah tersebut. Sekurang-kurangnya pernah mendatangi tempat itu
sebelumnya. Di pertengahan lereng Bukit hantu, orang ini hentikan
kudanya. Sesaat dia memandang berkeliling, lalu mengelus tengkuk kudanya
sambil bergerak turun. “Kembalilah pulang. Cukup kau mengantarkan aku sampai di sini…” Sang
kuda, yang sejak tadi dari kaki bukit menunjukan sikap aneh, tiba-tiba
menaikkan kedua kakinya tinggi-tinggi dan meringkik keras, lalu
membalikkan tubuh dan lari meninggalkan tuannya. Orang berpakaian
bagus dan mahal itu menghela nafas dalam. Paling tidak usianya sudah
mencapai lima puluh tahun. Meskipun tampangnya sudah mulai keriputan
tapi juga membayangkan sifat keras dan buas! Tak lama sesudah kudanya
pergi, orang ini melanjutkan perjalannnya menuju puncak bukit dengan
jalan kaki. Kira-kira sepeminuman teh lagi dia akan sampai ke puncak
Bukit Hantu, jalan yang di tempuhnya mulai tidak sesukar sebelumnya.
Semak belukar hampir tak ada sama sekali seperti pernah di tebang dan di
rapikan orang. Bahkan di hadapannya kini muncul satu jalan kecil dan
rata menuju ke puncak. Dimulut jalan kecil mendadak sontak sepasang kaki
orang ini berhenti melangkah dan laksana dipakukan ketanah! Dia
sudah mendengar seribu satu macam kangkeran yang ada di bukit itu. Tapi
adalah tidak menduga sama sekali kalau apa yang di saksikannya di
hadapannya saat itu benar-benar akan membuat tubuhnya mengeluarkan
keringat dingin! Tiga puluh tahun yang silam, selagi dia masih seorang
pemuda, pemandangan itu belum ada. Pastilah apa yang kini dilihatnya
berasal dari puluhan manusia yang pernah dikabarkan hilang di Bukit
Hantu! Berdiri disitu maulah laki-laki ini membalikkan tubuh dan lari
meninggalkan bukit tersebut. Namun sesuai dengan ketentuan, hari itu
adalah “Hari Perjanjian”. Dia harus datang sesuai dengan sumpahnya.
Kalau dia mungkin, makhluk aneh mengerikan, yang selalu mendatanginya
setiap malam Jum’at akan datang lagi kepadanya dan sekali ini untuk
mencekiknya sampai mati, mencopot kepalanya! Agaknya tak ada jalan kembali. Memutar haluan berarti mati secara mengerikan. Sekilas
tebayang olehnya istri serta keempat orang anak yang disayanginya. Dia
akan meninggalkan mereka semua untuk selama-lamanya demi memenuhi sumpah
tiga puluh tahun yang lewat. Tapi tak apa. Dia coba menghibur diri. Toh
istri dan anak-anaknya kini hidup bahagia dalam sebuah rumah besar dan
mewah, harta berlimpah, sawah lading luas, ternak berkandang-kandang.
Semua kekayaan itu tak akan habis sampai tujuh turunan. Dikatupkannya
mulut rapat-rapat. Dengan menetapkan hati serta pikiran dan melangkah
maju kembali. Jalan kecil di hadapannya tampak memutih. Putih oleh
tulang belulang manusia beraneka bentuk. Dan di atas jalan tulang
belulang inilah kakinya melangkah. Kedua tepi jalan kecil itu dibatasi
dengan puluhan tengkorak kepala manusia. Tubuhnya terasa bergetar. Dia
terus melangkah. Perutnya terasa mual. Akhirnya dia sampai di ujung
jalan. Dihadapannya tegak kini sebuah bangunan kecil yang keseluruhannya
terbuat dari tulang belulang manusia. Berapa puluh atau berapa ratus
manusiakah yang telah jadi korban di atas bukit ini? Dari sela-sela
dinding tulang kelihatan merambas asap aneka warna. Hidungnya dilanda
oleh bau aneh. Bau harum aneh yang menggidikkan karena berbaur jadi satu
dengan bau anyir busuk! Bangunan kecil itu mempunyai sebuah pintu
yang tidak tertutup. Dari tempatnya berdiri, lelaki tadi dapat melihat
kedalam. Di dalam bangunan tulang ini tampak duduk seorang lelaki kurus
bermuka dahsyat. Jika dia masih benar seorang manusia maka wajahnya
adalah sepuluh kali lebih mengerikan dari wajah setan! Manusia ini
memiliki rambut putih panjang yang menutupi Sebagian wajahnya. Di
belakang tikar kecil dimana manusia ini duduk terdapat lima buah
belanga. Di dalam belanga ada cairan masing-masing berwarna hitam,
merah, biru, ungu dan hijau. Dari setiap belanga mengepul asap yang
warnannya sesuai dengan cairan di dalamnya. Orang itu menggerakkan
kepalanya. Rambut putih yang menutupi sebagian wajahnya tersibak. Kini
kelihatanlah keseluruhan wajahnya yang mengerikan itu. Lelaki di
ambang pintu serasa terbang semangatnya sewaktu si muka setan tiba-tiba
mengeluarkan suara seperti lolongan srigala di malam buta. Begitu
kerasnya lolongan itu hingga bangunan tulang belulang serta tanah yang
di pijak terasa bergetar. Anehnya mulut si muka setan sedikitpun tak
kelihatan membuka! Sesaat kemudian terdengar suaranya: “Bagus! Kau
datang tepat pada waktunya Sonya! Sebelum kau melangkah ke hadapanku,
sebelum kau memasuki bangunan ini, tanggalkan dulu pakaian bagusmu dan
pakai ini!” Ternyata suara si muka setan halus seperti perempuan, hanya
saja mengandung pengaruh yang hebat luar biasa. Dari balik pakaiannya
yang seperti jubah berwarna hitam di keluarkannya satu stel pakaian
butut penuh tambalan dan bau apek. Pakaian itu dilemparkannya kehadapan
orang di ambang pintu yang dipanggilnya dengan nama Sonya. Setelah
lebih dulu menjura, Sonya mengambil pakaian butut bau itu. Dibukanya
pakaian yang dikenakannya, dilemparkannya jauh-jauh lalu dikenakannya
pakaian yang diberikan si muka setan. Setelah berganti pakaian diapun
masuk ke dalam bangunan tulang. “Duduk!” Si muka setan tudingkan jarinya yang kurus dan berkuku panjang. Sonya lalu duduk di hadapannya. “Ceritakan dengan singkat garis kehidupanmu sejak tiga puluh tahun silam kau meninggalkan bukit ini!” kata si muka setan pula. Sonya
menelan ludahnya baru menjawab: “Berkat ilmu yang Datuk ajarkan aku
telah menjadi kaya raya. Aku kawin dan punya empat orang anak.” “Kau senang? Bahagia…?” Sonya mengangguk. “Pada detik kau duduk di hadapanku ini, kau telah dan harus meninggalkan kesenangan dan kebahagiaan itu!” “Aku tahu Datuk,” jawab Sonya. “Kau bakal dapat kebahagiaan lain! Asal saja kau tempuh cara hidup seperti yang kututurkan tiga puluh tahun yang lewat!” “Aku akan tempuh Datuk.” “Lengkap dengan syarat utamannya!” “Lengkap dengan syarat utamannya, “ mengulang Sonya. “Bagus. Sekarang coba kau katakan syarat utama itu!” “Syarat
utama itu ialah setiap permulaan tahun baru aku harus membunuh anakku
yang paling kecil dan melemparkannya ke dalam laut.” Suara Sonya
bergetar. “Bagus! Ternyata kau betul-betul masih ingat syarat utama
itu!” kata sang Datuk pula. Lalu dari mulutnya keluar suara tawa aneh
menggidikkan. Kemudian sambil menuding ke belakang dia bertanya: “Adakah
kau melihat lima buah belanga itu?” “Ada Datuk.” “Berdirilah!” Sonya berdiri. “Di
dalam belanga itu terdapat cairan berlainan warna. Masing-masing cairan
harus kau minum sebanyak tiga teguk. Sebagian sisanya diguyurkan ke
kepala dan badanmu. Segera mulai dengan belanga di ujung kiri!” Sonya
melangkah mendekati belanga di ujung kiri. Di situ terdapat cairan
berwarna merah pekat, kental dan mengepulkan asap. Sesuai dengan
perintah sang Datuk muka setan maka diminumnya cairan itu sebanyak tiga
teguk. Belum lagi minum, baru mencium bau cairan, Perutnya sudah terasa
mual dan tenggorokannya mau muntah. “Kau ragu Sonya?!” suara sang
Datuk bernada menegur dan mengancam Sonya segera meneguk cairan busuk
itu tiga teguk. Lalu menyiram kepala dan badannya dengan cairan yang
sama. Kemudian dia mendekati belanga kedua dan seterusnya. “Sudah Datuk,” suara Sonya seperti tercekik. “Bagus. Sekarang duduk di hadapanku!” Dengan sekujur kepala serta pakaian basah kuyup dan berbau busuk, Sonya duduk kembali di hadapan si muka setan. “Pejamkan matamu Sonya!” Sonya Menurut dan pejamkan matanya. “Sekarang buka!” Sonya
buka kedua matanya. Pandangan matanya kini membersit aneh. Liar
menyeramkan. Bagian mata yang tadi putih kini kelihatan merah. “Bagaimana perasaanmu?” bertanya Datuk. “Tubuhku terasa hangat. Sangat ringan. Di samping itu ada perasaan aneh, yang aku tidak tahu, menyelimuti diriku…” “Itu bukan perasaan aneh. Kau harus dapat menerangkannya. Ayo!” Sonya
berpikir kemudian menjawab. “Betul. Bukan perasaan aneh. Perasaan itu
adalah nafsu. Nafsu untuk membunuh. Nafsu untuk ingin melihat kematian
manusia lain secara mengerikan!” Orang tua berambut putih panjang
bermuka setan tertawa panjang. “Bukan hanya nafsu untuk membunuh Sonya!
Bukan hanya hasrat untuk melihat kematian yang menyeramkan. Tapi ada
lagi satu nafsu kini mendekam dalam tubuhmu. Nafsu kotor!” Sonya mengangguk aneh. “Ya. Nafsu kotor,” katanya mengulang. “Nafsu terhadap perempuan,” sambungnya dengan suara berdesis. Kembali sang Datuk keluarkan suara tertawa panjang. “Bila
kau sudah meninggalkan tempat ini, kau harus hidup menurut kehendak
hatimu Sonya. Menurut nafsu yang kini tertanam dalam dirimu! Kau boleh
membunuh semaumu. Kau boleh mengumbar nafsumu terhadap perempuan mana
saja yang kau inginkan! Tentunya kau pilih yang cantik-cantik bukan
Sonya? Tak perduli anak atau istri orang. Apalagi janda…hik…hik…hik!” Sonya hanya bisa mengangguk. “Sebelum pergi kau harus tinggal disini selama satu minggu. Sesudah itu baru kau boleh pergi. Dengar Sonya?” “Tentu Datuk.” “Kelak
jika ilmu itu telah kau kuasai, dunia luar akan menjadi geger! Dan tak
satu tokoh silat atau orang saktipun di dunia luar yang dapat
mengalahkanmu! Itulah kehebatan ilmu siluman cipataanku!” Sang Datuk
tertawa lagi panjang dan lama. Sonya ikut tertawa. Tiba-tiba sang Datuk hentikan tawanya dan berdiri. “Kau
akan tinggal selama tujuh hari disini. Selama tujuh hari kau akan tidur
bersamaku, melayaniku sambil aku mengajarkan ilmu padamu. Kau dengar
dan mengerti Sonya?” “Dengar Datuk, tapi kurang mengerti…” Sang
Datuk menyeringai dan tertawa kembali. Tiba-tiba dia buka jubah
hitamnya dan kini dia tegak berdiri dihadapan Sonya dalam keadaan tanpa
pakaian sama sekali! Sonya terbeliak kaget. Dari sosok tubuh
telanjang yang berdiri di hadapannya itu tidak disangkanya kalau sang
Datuk ternyata adalah seorang perempuan! “Datuk, jadi kau…” “Hik…hik…hik. Aku memang seorang perempuan Sonya. Kau kecewa tubuhku tidak sebagus tubuh perempuan muda…?!” “Ti…tidak Datuk,” sahut Sonya. Walau yang dilihatnya memang hanya tubuh tinggal kulit pembalut tulang. Perut dan dada keriput. “Sekarang kau harus lebih dulu melayaniku Sonya…” Meski
tubuh itu jelek luar biasa, tapi nafsu aneh mendekam dalam dirinya
telah membakar birahi Sonya. Dia mengangguk dan melangkah mendekat. Lalu
seperti seekor singa lapar dirangkulnya tubuh sang Datuk. Keduanya
segera saja berguling di lantai! PAGI hari kedelapan. Sonya duduk di hadapan sang Datuk muka setan. “Semua
ilmu baru cipataanku telah kau kuasai Sonya. Sebelum kau meninggalkan
tempat ini akan kutegaskan lagi Beberapa hal kepadamu. Pertama begitu
turun dari bukit ini kau harus pergi ke TELUK GONGGO di
pantai utara. Aku telah membangun sebuah tempat di sana yang dapat kau
tinggali sebagai istana. Dari luar pintu bangunan itu hanya merupakan
sebuah goa buruk, mudah saja mencarinya. Hal kedua yang akan
kuberitahukan ialah selama dunia terkembang kau tak bakal mengalami
kematian. Kecuali jika terjadi dua hal. Pertama Kau tak boleh kena air
hujan. Jika itu sampai terjadi ilmu siluman yang kau miliki akan luntur
dan seseorang dengan mudah bakal dapat membunuhmu! Pantangan kedua yang
bisa menyebabkan kematianmu ialah binatang itu…” Datuk muka setan
mendongak ke atas langit-langit bangunan. Di sana di dalam sebuah
sangkar yang terbuat dari tulang-tulang iga manusia tampak seekor burung
nuri merah. “Nyawamu adalah juga nyawanya Sonya. Dengan kata lain kau baru bisa mati kalau seseorang membunuh burung itu!” “Bagaimana kalau binatang itu sewaktu-waktu sakit dan mati. Apakah aku juga akan mati Datuk?” “Tidak,
kau tidak akan mati. Cuma mampus! Karenanya kau harus rawat dia
baik-baik!” kata Datuk sambil tertawa gelak-gelak. “Dan jangan lupa
syarat utama tempo hari. Kau tidak diperkenankan menjenguk anak istrimu;
Pada hari Pertama pergantian tahun kau baru boleh mendatangi mereka,
tapi hanya untuk membunuh anakmu yang paling kecil! Tahun berikutnya
anakmu yang paling muda, begitu seterusnya. Jika keempat anakmu sudah
habis maka kau harus mencari anak orang lain tapi yang berusia tidak
boleh lebih dari tiga tahun!” Sonya mengangguk tanda mengerti. “Jika
kau lalai melaksanakan syarat itu maka siluman peliharaanku akan
mendatangimu. Menyiksamu selama tujuh tahun sebelum menamatkan
riwayatmu!” Sang Datuk lalu mengambil burung Nuri dalam sangkar dan
menyerahkannya pada Sonya. “Bawa ini dan simpan di istanamu di Teluk
Gonggo. Sebelum kau pergi ada satu hal yang akan terjadi Sonya.” “Hal apakah Datuk?” tanya Sonya sambil mengambil burung Nuri. “Nanti
kau akan lihat sendiri. Jika hal itu sudah terjadi kau bakarlah
bangunan ini dengan segala apa yang ada di dalamnya! Dengan segala apa
yang ada di dalamnya! Ingat itu baik-baik!” Selesai berkata begitu Datuk muka setan menyeringai aneh. “Kau puas melayaniku selama satu minggu Sonya?” “Puas Datuk.” Diam-diam Sonya menduga sang Datuk akan menyuruhnya lagi melayani nafsu gilanya. Sang Datuk melolong panjang. “Bagus.
Kalau begitu aku akan mati dengan perasaan tenang!” Selesai berkata
begitu sang Datuk hantamkan tinju kanannya ke kepalanya sendiri! Prak! Tak
ampun lagi kepala itu pun pecah. Darah dan otak berhamburan. Tubuhnya
terguling tanpa nyawa. Sonya kaget bukan main. Tubuhnya bergetar dan
dari sela bibirnya tiba-tiba melesit suara tertawa aneh disusul suara
lolongan seperti srigala. Dia tertawa menyaksikan kematian menyeramkan
gurunya sendiri! Sesuai dengan pesan sang guru, semua yang ada di dalam bangunan harus di musnahkan!
—-
BUKIT HANTU……..?” kata orang kedai sambil memandang tamunya yang duduk mengunyah nasi di hadapannya. Wiro mengangguk. “Orang
muda, rupanya kau belum pernah mendengar berita atau cerita tentang
bukit itu hingga menanyakan jalan terdekat menuju ke situ!” “Banyak sekali yang kudengar pak.” “Kalau
begitu pikiranmu kurang sehat. Selama ini tak seorangpun berani
dekat-dekat kesana, apalagi bermaksud mengunjunginya. Siapa yang berani
mendekati bukit itu tak pernah kembali. Jangankan kau yang punya satu
nyawa, sekalipun kau punya tiga nyawa pasti ketiga nyawamu bakal
melayang!” “Sudahlah pak, kalau kau tak keberatan tunjukan saja arahnya. Soal mati biar aku yang tanggung akibatnya.” Pemilik kedai angkat bau. Dia menunjuk lewat pintu kedai. “Lihat gunung itu?” Wiro manggut. “Itu
gunung Muryo. Pergilah ke arah tenggara. Di sana akan kau temui daerah
berbukit-bukit. Bukit paling tinggi itulah Bukit Hantu!” Selesai
makan, Wiro membayar apa-apa yang dipesannya lalu cepat-cepat
meninggalkan tempat itu diikuti pandangan pemilik kedai. “Masih ada saja
orang yang mencari mati di dunia ini!” gumamnya. Dengan mengandalkan
ilmu larinya, tak lama Setelah matahari pagi naik, Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah sampai di puncak Bukit Hantu. Ternyata dia terlambat.
Hanya sepenanakan nasi sebelumnya Sonya meninggalkan tempat itu. Yang
ditemuinya hanyalah tumpukan tulang belulang yang menghitam jadi arang.
Ketika diperhatikannya lebih teliti, dibawah tumpukan tulang belulang
putih itu dilihatnya sesosok tubuh manusia yang telah gosong. Dengan
sebatang cabang kayu kecil disibakannya tulang-tulang itu. “Pasti ini
si keparat Datuk Siluman,” kata Wiro dalam hati. “Sialan. Aku
terlambat. Seseorang telah duluan membunuhnya!” Meskipun bukan dia yang
turun tangan namun murid Eyang Sinto Gendeng ini merasa lega juga karena
manusia penimbul malapetaka besar bagi dunia persilatan telah tamat
riwayatnya. Karena tak ada hal lain yang akan dilakukannya maka Wiro
segera meninggalkan Bukit Hantu sambil bersiul-siul. Jalan yang
ditempuhnya justru yang sebelumnya juga ditempuh oleh Sonya! Satu
bulan yang lalu, beberapa tokoh silat di wilayah timur telah meminta
bantuan Pendekar 212 untuk memusnahkan Datuk Siluman yang bercokol di
Bukit Hantu. Hidup matinya manusia jahat ini amat menentukan ketentraman
dunia persilatan. Bukan rahasia lagi bahwa diketahui Datuk Siluman itu
telah menciptakan suatu ilmu hitam yang amat hebat, dan kelak akan
menimbulkan malapetaka dahsyat bilamana tidak segera dicegah. Nyatanya
kini Datuk golongan hitam itu telah menemui ajalnya. Seseorang telah
menghancurkan batok kepalanya lalu membakar sang Datuk bersama tempat
kediamannya. Siapakah yang telah melakukan hal itu? Jago atau tokoh
silat dari mana? Tentu saja Wiro tidak mengetahui kalau Datuk Siluman
sengaja bunuh diri setelah lebih dulu mewariskan semua ilmu hitam yang
dimilikinya kepada murid tunggalnya yang cuma di gembleng selama satu
minggu yaitu Sonya. Kita tanggalkan dulu perjalanan Wiro dan
mengikuti perjalanan Sonya. Saat itu dia tengah menuju ke pantai utara,
yaitu sesuai dengan perintah gurunya. Dia berada sekitar dua jam
perjalanan di depan Wiro. Menjelang tengah hari Sonya sampai di tepi
sebuah telaga berair jernih. Dia berhenti di situ dan duduk di bawah
pohon yang rindang. Burung Nuri dalam sangkar tulang yang jadi pautan
nyawanya di letakan di tanah dijaganya hati-hati. Udara yang panas
seperti saat itu membuat dia ingin turun ke telaga dan mandi. Tapi dia
khawatir kalau-kalau disekitar situ ada binatang buas yang selagi dia
mandi menyergap burung Nurinya. Sekali burung itu disergap binatang buas
maka putus pulalah nyawanya! Setelah hilang letihnya, Sonya bersiap
meninggalkan tepian telaga. Pada saat itulah lapat-lapat didengarnya
suara rentak kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta. Sonya menyelinap
dan bersembunyi ke balik pohon besar. Tak lama kemudian kelihatanlah
serombongan penunggang kuda mengawal sebuah kereta barang. Begitu
melihat telaga berair jernih dan sejuk, lelaki gemuk berpakaian bagus
yang duduk di samping kusir kereta berseru: “Kita istirahat dulu di
sini!” Maka rombonganpun berhentilah. Lelaki gemuk berpakaian
bagus itu adalah seorang saudagar kayu yang tengah membawa barang
dagangannya menuju Jepara. Namanya Raden Mas Kuncoro. Bersamanya ikut
lima orang pengawal yang dipimpin oleh Rah Brojo, seorang jago silat
berkepandaian tinggi. Memang meskipun masa itu daerah Jawa Tengah cukup
aman, tetapi saudagar seperti Raden Mas Kuncoro mana berani mengangkut
barang tanpa pengawal. Sudah lazim para pedagang menyewa
pengawal-pengawal berkepandaian tinggi demi keselamatan harta dan nyawa
selama perjalanan. Sang saudagar turun dari kereta. Setelah meneguk
air sejuk dari dalam sebuah kantong kulit yang dibawanya, diapun
melangkah ke tepi telaga guna mencuci muka serta kakinya. Saat itulah
pandangannya menangkap sosok tubuh Sonya yang berdiri di balik pohon
besar sambil memegangi sebuah sangkar aneh berisi Nuri merah. Raden
Mas Kuncoro adalah seorang saudagar yang gemar memelihara burung. Di
tempat kediamannya sengaja dia membangun sebuah bangunan besar dimana
dipeliharanya puluhan jenis burung yang bagus-bagus. Melihat Sonya
berdiri memegangi burung Nuri tertariklah hatinya. Dia seperti tidak
melihat kelainan pada tampang dan pakaian Sonya. Pikirannya hanya
tertuju pada burung dalam sangkar tulang. Sementara rombongan duduk di
tepi telaga sebelah lain, Kuncoro melangkah mendatangi Sonya. “Burung Nuri itu bagus sekali,” Raden Mas Kuncoro menyapa. Sambil tersenyum. Sonya diam saja. “Burungmu?” “Ya, Kenapa?” Sonya balik bertanya. “Bagus
sekali. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat Nuri seperti satu ini.”
Saudagar itu membungkuk agar dapat melihat binatang itu lebih jelas.
“Sangkarnya Kenapa aneh begini?” “Bagiku tidak aneh,” sahut Sonya kaku. Kuncoro
mengangkut kepalanya. Sikap pemilik burung itu dianggapnya tidak ramah.
Membuatnya tidak enak. Ketika diperhatikannya tampang Sonya hatinya
tambah tidak enak. Ada rasa ngeri melihat wajah manusia itu. Lalu
pakaiannya yang kotor penuh tambalan dan bau busuk yang membersit dari
tubuh orang itu. “Dengar saudara,” kata Kuncoro. “Aku seorang penggemar burung. Kau mau menjual Nuri ini?” Sonya seperti kaget. Tetapi sesaat kemudian dia tersenyum. Senyum aneh di mata sang saudagar. “Katakan saja harganya pasti kubayar,” kata Raden Mas Kuncoro seraya meraba sabuk uang di pinggangnya. “Burung ini tak kujual,” kata Sonya tandas. “Sepuluh
ringgit emas!” kata Raden Mas Koncoro tak tanggung-tanggung. Sepuluh
ringgit emas adalah harga gila dan amat mahal untuk seekor burung
meskipun sebagus Nuri itu. Tapi bagi seseorang yang senang akan suatu
benda harga bukan menjadi persoalan. Apalagi bagi seorang seperti
saudagar itu. Sepuluh ringgit emas bukan apa-apa baginya. Dengan tenang
Kuncoro keluarkan sabuk uangnya. Sonya pencongkan mulut dan berkata: “Lima puluh ringgit emas pun burung ini tak akan kujual!” Saudagar
itu terkesiap sejenak. Dia berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia
berkata: “Begini saja saudara, kau ikut kerumahku. Di sana kau boleh
pilih tiga ekor Nuri yang sama seperti ini. Kemudian kutambah dua puluh
ringgit emas dan serahkan Nuri itu padaku!” Sang saudagar merasa pasti
kali ini Sonya akan menyetujui. Tapi jawaban Sonya membuat dia terkejut. “Sekali aku bilang burung ini tidak dijual, tetap tak akan kujual. Kau tidak tuli bukan?!” “Tiga burung Nuri ditambah tiga puluh ringgit emas!” kata Raden Mas Kuncoro sambil mengangkat kedua tangannya. “Sekalipun
nyawamu nanti kau berikan padaku burung ini tak akan kujual!” sahut
Sonya dan memutar tubuh meninggalkan tempat itu. Kuncoro memegang
bahunya. “Tawaranku masih belum selesai. Aku bisa menaikkannya lagi. Berapa kau suka, saudara? Kau jangan main-main….” Sonya hentikan langkahnya, berpaling menghadapi Kuncoro. Sepasang matanya membersitkan sinar aneh. Sinar menggidikkan. “Siapa bilang aku main-main. Aku akan buktikan bahwa aku tidak main-main. Nah mampuslah!” Sonya
mengangkat tangan kanannya. Lima jari tangan kanannya yang berkuku
panjang terpentang mengerikan. Lalu terdengar pekik Raden Mas Kuncoro.
Tubuhnya roboh ditepi telaga. Mukanya hancur mengerikan. Hampir tak
dapat dikenali lagi. Hidungnya tanggal dan mulutnya robek. Itulah
keganasan “Cakar Siluman”, ilmu yang telah dipergunakan Sonya untuk
menamatkan sang saudagar hanya dengan sekali gerakan saja! Mendengar
jeritan Kuncoro dan melihat sosok tubuh saudagar itu roboh ke tanah,
lima pengawal tersentak kaget dan melompat mendatangi. Rah Brojo paling
depan. Matanya membeliak melihat kematian sang saudagar. Suaranya bergetar, rahangnya menggembung. “Orang asing! Pasal apakah maka kau sampai membunuhnya begini keji?!” “Tak ada pasal tak ada lantaran!” jawab Sonya. “Kenapa kau lalu membunuhnya?” “Karena aku ingin membunuhnya. Habis perkara!” “Kalau begitu kau adalah iblis edan yang harus dihajar!” Rah
Brojo hantamkan satu jotosan ke dada Sonya. Gerakannya cepat dan keras.
Yang di serang tertawa aneh. Sinar mengerikan kembali membersit di
kedua matanya. Dia berkelit mengelakkan jotosan lawan. Di lain kejap
sambil dibarengi teriakan “Mampuslah!”, tangan kanannya kirimkan cakaran
ke muka kepala pengawal itu. Sebagai kepala pengawal kereta dagang
Rah Brojo memiliki ilmu silat tinggi ditambah segudang pengalaman.
Cepat-cepat dia menghindar ke samping. Cakaran lawan berhasil
dielakkannya. Tapi kelima jari tangan itu tiba-tiba saja membalik cepat
dan memburu ke mukanya. Kali ini Rah Brojo tak sanggup lagi berkelit.
Jeritannya yang terdengar. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia mati dengan
muka rusak mengerikan seperti yang barusan dialami Raden Mas Kuncoro. “Manusia
biadab! Bersiaplah untuk mati!” teriak seorang pengawal kereta. Bersama
tiga kawannya, dengan bersenjatakan golok dan dibantu pula oleh kusir
kereta yang memegang sepotong besi panjang , mereka serentak mengurung
dan menyerbu Sonya! Dikeroyok lima begitu rupa Sonya menunggu dengan
keluarkan suara aneh. Dengan tangan kiri masih tetap memegang sangkar
tulang, lelaki ini berkelebat. Kelima penyerangnya terkesiap ketika
mendapatkan orang yang menjadi sasaran lenyap dari hadapan mereka.
Senjata masing-masing malah ada yang saling beradu satu sama lain. Belum
habis rasa kaget mereka tiba-tiba terdengar bentakan: “Mampuslah!” Setelah
itu suara pekik terdengar susul-menyusul. Empat pengawal tersungkur di
tanah dengan muka hancur mengerikan. Satu-satunya yang masih hidup yakin
kusir kereta, yang lumer nyalinya, tanpa tunggu lebih lama segera putar
badan ambil langkah seribu. Tapi nasibnya cuma tertunda tiga langkah.
Pada langkah ke empat lima jari tangan dengan ganas berkelebat di
depannya. Untuk kesekian kalinya lima jari siluman meminta korban! Sonya
membersihkan tangannya yang penuh darah. Lalu dia menggeledah pakaian
para korban. Setiap uang dan benda berharga yang ditemuinya diambilnya.
Jumlah terbanyak yang didapatnya adalah dari tubuh Raden Mas Kuncoro. Pendekar
212 Wiro Sableng yang sampai di tempat itu dua jam kemudian merasa
heran menemukan beberapa ekor kuda dan kereta tanpa kelihatan seorang
manusiapun. Namun keheranannya itu berubah menjadi rasa terkejut sewaktu
menemui tujuh mayat yang bergelimpangan di tepi telaga. Semuanya mati
dengan muka hancur mengerikan! Murid Sinto Gendeng ini mengrenyit, geleng-geleng kepala dan garuk rambutnya. Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini? Rombongan itu di serang rampok? Lalu mengapa kereta barang tidak di ganggu? “Gila!” maki Wiro dalam hati. Setelah mengurus jenazah itu sebisa yang dilakukannya dia lalu lanjutkan perjalanan.
—-
Sonya
sengaja menempuh hutan belantara agar lebih cepat sampai ke tujuan
yaitu Teluk Gonggo di pantai utara. Namun sewaktu malam tiba dan
Perutnya terasa lapar, mau tak mau dia segera mendatangi kampung
terdekat. Kampung Waringin merupakan kampung ramai karena terletak
dipersimpangan tiga jalan arus perdagangan. Kampung ini tidak beda
dengan sebuah kampung kecil. Disini terdapat sebuah rumah makan yang
bagian belakangnya disewakan untuk penginapan. Kesinilah Sonya pergi
untuk mengisi perutnya. Di dalam rumah makan saat itu telah banyak
pengunjungnya. Kedatangan Sonya tentu saja menarik perhatian tamu dan
pemilik kedai. Bajunya yang kotor penuh tambalan dan bau badannya yang
busuk membuat semua orang merasa jijik dan menjauhi. Tapi Sonya
mengambil tempat duduk tanpa perdulikan hal itu. “Pengemis dari mana
yang berani-beranian masuk ke kedaiku!” kata pemilik kedai dalam hati
dengan mendongkol. Mula-mula hendak disuruhnya Sonya keluar. Tapi ketika
dilihatnya wajah Sonya yang membayangkan sinar aneh, beratlah dugaannya
bahwa Sonya adalah seorang pengemis berotak miring. Agar tidak terjadi
keributan maka pemilik kedai ini membiarkan saja Sonya duduk disalah
satu sudut. Sonya berseru memanggil pelayan dan memesan makanan.
Setelah mendengar makanan apa yang diminta oleh tamunya, maka
bertanyalah pelayan rumah makan itu. “Pengemis, apakah kau punya cukup uang untuk membayar harga makanan mahal yang kau pesan?” Air muka Sonya tampak berubah. Kelam membatu dan sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan. “Katakan berapa harga kepalamu. Aku akan bayar detik ini juga!” kata Sonya pada si pelayan. Karena
ngeri, si pelayan cepat-cepat memutar tubuh. Ucapan Sonya ini membuat
semua orang tambah memperhatikannya dan juga burung Nuri dalam sangkar
aneh yang diletakannya di atas meja. Kebetulan saat itu di rumah
makan tersebut terdapat rombongan Adipati Cokroningrat dari Leles.
Sambil menyantap makanannya Adipati memperhatikan gerak-gerik Sonya.
Sekali-sekali dia berbisik pada pembantu yang duduk di sampingnya.
Selesai makan sang Adipati mengatakan sesuatu pada pembantunya itu dan
si pembantu lalu berdiri, melangkah ke hadapan Sonya yang saat itu asyik
menggerogoti paha ayam goreng. “Pengemis,” demikian pembantu Adipati
menegur. “Selesai makan harap kau menemui atasanku. Adipati Leles.
Beliau ingin bicara soal burung yang kau bawa ini.” Tidak menjawab
apa-apa, seperti tidak mendengarkan orang bicara, Sonya terus saja
melahap paha ayam. Pembantu Adipati itu kembali ke tempatnya. Mereka
menunggu sampai Sonya selesai makan. Setelah selesai makan dan
kelihatannya Sonya masih tetap saja duduk tenang-tenang di tempatnya
Cokroningrat berkata pada pembantunya. “Mungkin dia lupa. Panggil lagi. Suruh ke sini.” Si pembantu datangi Sonya sekali lagi. “Pengemis, seperti kataku tadi lekas kau menghadapi Adipati!” Sepasang mata Sonya menyipit. “Jika dia yang perlukan aku, suruh dia merangkak kemari!” Kata-kata
itu diucapkan Sonya dengan suara lantang hingga semua orang dalam rumah
makan ikut mendengar dan terkejut mendengar ucapan yang berani serta
kurang ajar itu. Adipati Leles sendiri kelihatan berubah wajahnya. Serta
merta, merasa terhina, dia berdiri dan mendatangi meja Sonya. Dia
menyeret sebuah kursi dan duduk di hadapan lelaki yang diduganya
pengemis itu. “Kata-katamu tadi kasar dan kurang ajar. Kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa, pengemis bau?” “Berlalulah dari hadapanku. Atau kusemburkan seribu kata hina dan kotor di mukamu?!” Rahang
Cokroningrat menggembung. Sebetulnya ingin sekali dia menampar muka
pengemis itu. Tapi mengingat dia ada satu maksud maka ditahannya
kemarahannya. Dia melirik pada burung Nuri merah. “Burung ini milikmu?” Sonya mengangguk. Sikapnya tak acuh. “Sangkarnya aneh. Dari tulang. Tulang kambing atau tulang kerbau?” Sonya menyeringai. “Itu bukan tulang kambing. Bukan tulang kerbau. Bukan tulang binatang. Itu tulang belulang manusia!” Adipati
Cokroningrat terkejut. Diperhatikannya lagi sangkar itu. Dia memang
belum pernah melihat tulang belulang manusia. Tapi kalau itu dikatakan
tulang-tulang manusia tak percaya dia. Pengemis ini agaknya berotak
miring. “Dengar, burung itu tak pantas kau pelihara. Kau pasti tak bisa merawatnya. Jual saja padaku…” “Oh, itu rupanya maksudmu,” ujar Sonya dan lagi-lagi sambil menyeringai. “Berapa kau sanggup membelinya, Adipati?” “Dua ringgit perak!” Sonya tertawa gelak-gelak. “Setan, Kenapa pengemis ini tertawa! Dasar gila!” maki Cokroningrat dalam hati. Dari balik pakaiannya Sonya mengeluarkan dua ringgit emas dan meletakkannya di atas meja. Terkejutlah
sang Adipati. Juga semua orang yang ada di situ. Siapa menduga kalau
pengemis edan macam begitu memiliki dua ringgit emas?! Malu dan terhina Adipati Leles dan berkata. “Baiklah, akan kubayar tiga ringgit emas!” Sonya kembali mengeruk pinggang pakaiannya. Dikeluarkannya tiga ringgit emas dan diletakannya di atas meja. “Sudah,
kubeli Nurimu enam ringgit emas!” Adipati itu cepat-cepat meletakan
enam ringgit emas di hadapan Sonya. Sebaliknya Sonyapun keluarkan enam
ringgit emas dan menyodorkannya ke hadapan Cokroningrat! Kini marahlah Adipati itu. Tapi dia berusaha menahan diri. “Katakan berapa kau mau jual burung itu!” Sonya
tertawa. Sebuah kantong kulit digebrakannya di atas meja. Ini adalah
kantong milik saudagar Kuncoro yang telah dibunuh dan dirampoknya.
Kantong itu digoyang-goyangnya. Terdengar suara berdering. Di dalam kantong itu terdapat lebih dari seratus ringgit emas. Kau mau…? Gelaplah muda Cokroningrat. Dia benar-benar dibikin malu. “Pengemis hina dina! Mulut dan sikapmu benar-benar keterlaluan!” “Ambil uangmu dan berlalu dari hadapanku Paduka Adipati sialan!” “Haram jadah. Kalau kau bukan orang sinting sudah kupecahkan batok kepalamu!” “Sinting
atau tidak, biar aku beri pelajaran manusia kurang ajar ini!” Yang
berkata adalah pembantu Adipati. Tapi sang Adipati cepat menarik
pembantunya. Setelah mengambil uangnya yang enam ringgit dari atas meja
dia kembali ke tempat duduknya semula. Dia tak mau terjadi keributan
dalam rumah makan itu. Dia berbisik pada pembantunya: “Kita hadang dia
ditengah jalan.” Sang pembantu mengerti dan mengangguk. “Aneh, kenapa
lampu pada mati?” ujar pemilik rumah makan. Dia memanggil pelayan dan
menyuruh agar lampu di hidupkan. Karena tak ada jawaban maka lampu-lampu
itu dihidupkannya sendiri. Ketika seluruh rumah makan terang
benderang kembali maka terkejut dan hebohlah semua orang yang ada
disitu. Betapakan tidak! Pelayan rumah makan kedapatan menggeletak di
lantai dengan muka hancur mengerikan. Nyawanya tak disangsikan lagi
pasti sudah melayang. Di seberang sana, Adipati Cokroningrat beserta
pembantunya mengalami nasib yang sama. Mati dalam keadaan masih duduk di
kursi masing-masing, muka hancur, hidung tanggal, biji-biji mata
berbusaian dan bibir robek. Tubuh sang Adipati dan pembantunya berada
dalam keadaan kaku tegang, begitu juga si pelayan yang malang. Nyatalah
bahwa ketiganya telah ditotok sebelum dibunuh! Memandang ke sudut
ruangan, pengemis aneh tadi dan juga burung Nurinya tak ada lagi disitu.
Di meja hanya ada sekeping uang perak. Sesuai dengan harga makanan yang
dipesannya. Sonya tak mau melewati Jepara karena dia ingin
lekas-lekas sampai di Teluk Gonggo. Dengan ilmu larinya yang aneh, yang
dipelajarinya secara aneh dari datuk Siluman, pada hari ke tiga dia
sampai pada suatu daerah liar penuh dengan batu-batu. Disini angin
bertiup Sangat keras. Satu pertanda bahwa tak lama lagi dia akan sampai
di daerah pantai. Menjelang rembang petang, ketika dia mendongak
memandang langit, berubahlah paras Sonya. Dari arah tenggara berarak
cepat awan tebal hitam. Dalam waktu singkat mendung telah menyungkup
udara sedang dikejauhan kilat tampak mulai menyambar, sesekali diselingi
suara gelegar guntur. Dia berhenti berlari, memandang berkeliling
mencari tempat untuk berteduh bila hujan turun. Tak ada sebatang
pohonpun yang tumbuh di daerah berbatu-batu itu. Sekalipun ada tak
mungkin dia bisa berlindung tanpa terkena air hujan. Angin bertiup tambah kencang. Sonya tambah cemas. Burung
dalam sangkar tulang kelihatan gelisah. Binatang ini menggelepar kian
kemari dan mengeluarkan suara aneh, membuat Sonya bertambah kecut. Dalam
keputus asaannya Sonya berlari kencang kejurusan timur. Memang nasibnya
baik. Kira-kira sepeminuman teh berlari disalah satu lamping bukit batu
ditemuinya sebuah lobang setinggi dada. Tak menunggu lebih lama dia
segera memasuki lobang ini. Hanya beberapa saat saja setelah dia masuk
ke dalam lobang hujan lebat turun laksana dicurahkan dari langit! Sonya
menarik nafas lega. Wajahnya yang tadi pucat karena ketakutan kini
berdarah kembali. Dia coba masuk lebih jauh ke dalam lobang agar jangan
sampai terkena tampiasan atau percikan air hujan. Angin bertiup keras
dan dingin. Akhhirnya dia duduk menjeleplok dalam lobang itu. Setelah
duduk beberapa lama Sonya merasakan sesuatu yang aneh. Hawa dingin dari
luar tidak terasa lagi meskipun angin masih terus bertiup. Di sekitarnya
teras hangat. Di samping itu hidungnya mencium bau harum semerbak. Tak
syak lagi hawa hangat dan bau harum itu pastilah datang dari dalam
lobang. Mungkin ada makhluk penghuni di dalam sana? Tapi mengapa lobang
itu tampak gelap dan seperti buntu? Sambil terus membawa burung Nuri
dalam sangkar, perlahan-lahan Sonya masuk membungkuk-bungkuk lebih jauh
kedalam lobang. Tambah ke dalam tambah hangat terasa udara dan bau harum
semakin keras. Di sebelah atas lobang batu itu tampak tambah meninggi
hingga kalau tadi dia harus membungkuk-bungkuk, kini dia dapat berjalan
seperti biasa. Langkahnya terhenti di hadapan sebuah batu besar hitam
dan rata. Semula disangkanya dia sudah sampai diujung lobang dan buntu.
Namun sewaktu diperhatikannya baik-baik, disamping kanan batu
ditemuinya sebuah celah sepemasukan tubuh manusia. Sonya melangkah
mendekati celah. Hati-hati dia mengulurkan kepalanya, mengintai ke ruang
di belakang batu. Sepasang mata Sonya membesar ketika menyaksikan
pemandangan yang hampir tak dapat dipercayanya. Tepat dibelakang batu
hitam itu terdapat sebuah tangga terbuat dari batu mar-mar putih,
menurun menuju sebuah ruangan empat persegi yang lantainya dihampari
permadani merah berbunga-bunga. Di atas permadani itu duduk seorang
lelaki tua bermuka putih, berambut kelabu menjela bahu. Di hadapannya
bersila seorang perempuan berpakaian kuning polos yang wajahnya tak
dapat dilihat oleh Sonya karena duduk memunggungi batu. Pada saat itu terdengar si orang tua berambut kelabu berkata: “Muridku,
batapapun seseorang mendalami ilmu silat dan kesakitan harus pula
mempelajari ilmu yang menyangkut keagamaan serta segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan budi nurani manusia luhur. Itu semua akan menjadi
semacam kendali baginya untuk mempergunakan kepandaian silat serta
kesaktiannya hanya untuk maksud kebaikan semata, bukan untuk berbuat
jahat. Agama dan hati nurani luhur mengingatkan seseorang untuk tidak
menyeleweng dari rel kebenaran, menjaganya agar jangan menjadi sesat!
Karena itulah meski saat ini kau telah memiliki ilmu silat yang tinggi,
namun kau belum mengizinkan kau meninggalkan tempat ini guna mencari
musuh besarmu. Soal balas dendam soal mudah Dwiyana. Kau harus tinggal
disini selama dua tahun lagi guna mempelajari agama dan seluk beluk budi
luhur. Sambil belajar itu semua kau sekaligus dapat pula melatih dan
memperdalam ilmu silatmu. Bukankah itu lebih baik bagimu?” “Jika Eyang berpendapat begitu tentu itu memang lebih baik. Dan saya akan menurut saja…” jawab perempuan berpakaian kuning. Kini
mengertilah Sonya. Kedua orang itu adalah guru dan murid. Dan sang
murid dapat dipastikannya adalah seorang gadis. Meski dia belum dapat
melihat paras gadis itu, namun satu hawa jahat telah menggerayangi diri
Sonya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Ujung lidahnya tiada
henti dileletkan membasahi bibir sedang cuping hidungnya kembang kempis.
Nafsu kotor mulai membakar manusia dengan cepat! “Nah muridku, kuharap kau tidak kecewa dengan keputusanku ini,” kata sang guru. “Sama
sekali tidak Eyang,” menyahuti murid yang bernama Dwiyana. “Malah saya
menghaturkan banyak terima kasih atas perhatian dan petunjuk Eyang. Apa
yang Eyang lakukan semata adalah untuk kebaikan saya.” Sang guru
mengangguk-angguk. Lalu batuk-batuk beberapa kali. Sesaat dia memandang
ke arah batu hitam di atas ruangan. Dia tampak tersenyum lalu buka
mulut: “Kalau ada tamu di luar sana, megapa berdiri saja? Silahkan masuk……….” Sonya
terkesiap. Dia menahan nafas. Si rambut kelabu itu rupanya memiliki
indera keenam. Dengan menyeringai kemudian Sonya memasuki celah. Batu
lalu melangkah menuruni anak tangga demi anak tangga. Si orang tua
memberi isyarat pada muridnya. Dwiyana berdiri lalu duduk di sudut
ruangan. Di ujung ruangan Sonya hentikan langkah. Sesaat pandangannya
saling beradu dengan mata orang tua itu. Sebuah lampu kecil kelihatan
terletak di sebuah ruangan lain, lalu sebuah pendupaan yang mengeluarkan
asap harum. Sonya melirik pada Dwiyana. Ternyata gadis itu memiliki
paras cantik. Tambah berkobarlah nafsu terkutuk dalam tubuh murid Datuk
Siluman ini! Perlahan-lahan dia melangkah ke hadapan orang tua yang
duduk bersila di atas permadani merah.
—-
Sekali
saja melihat paras Sonya baik si orang tua maupun Dwiyana segera
mengetahui bahwa manusia bertampang buruk bengis yang mengenakan baju
dekil bertambal-tambal ini bukan seorang manusia baik-baik. Sinar
matanya menunjukkan hal itu. Namun demikian si orang tua penghuni goa
batu mempersilahkan tamunya duduk dengan sikap ramah. "Tamu aneh yang datang membawa burung Nuri dalam sangkar aneh, apakah kau seorang pemburu?" "Namaku Sonya. Aku bukan pemburu," jawab Sonya dengan nada kaku. "Kau sendiri siapa?" dia balik bertanya. Yang ditanya tersenyum. "Orang
memanggilku Malaikat Berambut Kelabu. Tapi walau bagaimanapun aku
hanyalah seorang manusia biasa. Seorang tua peot keriput yang sudah
dimakan usia. Namaku Akik Mapel." Sonya seperti tidak acuh mendengar
jawaban itu. Dia lebih tertarik pada gadis yang duduk di sudut ruangan.
Dia berpaling pada Dwiyana dan memandang lekat-lekat. Dipandang begitu
rupa dengan hati kesal Dwiyana tundukkan kepala. Untuk kesekian
kalinya Sonya basahi lagi bibirnya dengan ujung lidah. Akik Mapel juga
mulai merasa tak suka dengan tindak tanduk tamu yang tidak diundang ini. "Gadis itu muridmu?" tanya Sonya . Akik
Mapel mengangguk. Sejak tadi dia telah mencium bau busuk yang keluar
dari tubuh dan pakaian Sonya. Masih untung ruangan itu diasapi dengan
ramuan pengharum. "Di luar hujan. Aku terpaksa berteduh di sini," menerangkan Sonya. "Aku tahu. Sebenarnya kau datang dari mana dan hendak menuju kemana?" Sonya mengerling lagi pada Dwiyana. Lalu angkat bahu. "Aku tidak tahu datang dari mana dan kau mau kemana." "Ah, itu adalah lucu," kata adik Mapel. Dia menggoyangkan kepalanya pada muridnya. "Lekas hidangkan minuman untuk tamu kita." "Tak
usah. Aku tak haus," jawab Sonya cepat. Dia khawatir kalau-kalau Akik
Mapel sudah menaruh curiga dan memasukkan sesuatu ke dalam minumannya.
Dia malah kini berpikir-pikir apa segera saja bertindak mengumbar
keinginan jahat terkutuknya. "Burung itu milikmu?" tiba-tiba Akik Mapel bertanya. "Lalu punya siapa lagi? Apa kau menginginkannya?!" "Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin tahu mengapa binatang itu bersangkar aneh." "Di dalam dunia ini memang banyak hal aneh-aneh, Akik Mapel. Dan semua keanehan itu berakhir pada kematian!" Kata-kata Sonya itu membuat Akik Mapel kerenyitkan kening. "Betul tidak, Akik Mapel?" Akik
Mapel batuk-batuk sebelum menjawab. "Mungkin…mungkin betul," jawabnya.
Diam-diam dia mulai meragukan apakah sang tamu memiliki otak sehat. "Nah, bagaimana kalau saat ini kukatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi satu keanehan yang berkahir pada kematian?" "Maksudmu Sonya?" "Bahwa sebentar lagi kau bakal mati di tanganku?!" Akik Mapel menatap wajah tamunya. Sinar aneh dilihatnya memancar dari sepasang mata Sonya. "Kau hendak melakukan keanehan yang mahal Sonya. Kalau tidak mau kukatakan gila!" Sonya tertawa gelak-gelak. Lalu disusul oleh suara lolongan panjang seperti raungan srigala! Tiba-tiba
laksana kilat tangan kanannya yang berkuku panjang meluncur kedepan,
mencengkeram ke muka Akik Mapel. Orang tua ini kaget bukan kepalang.
Cepat-cepat tangan kanannya diangkat ke atas untuk melindungi muka
sekaligus menepis serangan lawan. Maka terjadilah bentrokan dua lengan
yang menimbulkan suara keras! Akik Mapel merasakan lengannya sakit
dan panas. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh terbanting ke atas
permadani. Di hadapannya dilihatnya Sonya tertawa menyeringai.
Menandakan bahwa manusia bermuka setan ini memiliki kepandaian amat
tinggi. Setelah menenangkan hatinya, Akik Mapel berkata: "Sonya, aku
sejak tadi menduga bahwa kedatanganmu kemari tidak membawa maksud baik.
Ternyata dugaanku terbukti!" Sonya kembali tertawa panjang. "Apa kau tuli kakek-kakek pikun? Sudah kukatakan bahwa kau akan mati ditanganku!" Sekali
lagi Sonya menggerakkan tangan kanannya yang berkuku panjang.
Melancarkan serangan "cakar siluman" yang sebelumnya telah meminta lebih
dari setengah lusin korban. Menyadari bahwa lawannya yang berilmu
tinggi itu benar-benar ingin mencelakainya, orang tua itu beringsut ke
belakang sambil tundukan kepala. Begitu melompat bangun dia tendangkan
kaki kanannya ke kepala lawan! Sonya keluarkan suara lolongan srigala
haus daging dan darah manusia. Walaupun kaki kanan Akik Mapel sudah
menderu dekat di depan keningnya, tapi dia sama sekali tidak membuat
gerakan untuk mengelak. Namun tiba-tiba dia tampak menggerakkan kedua
tangannya. Sesaat kemudian Akik Mapel tersentak kaget ketika merasakan
bagaimana pergelangan kaki kanannya tahu-tahu telah dicekal lawan amat
kuatnya. Betapapun dia berusaha melepaskan kakinya namun sia-sia belaka. Akik
Mapel tekuk lutut sambil miringkan tubuh ke bawah. Tinju kirinya
menderu ke dada lawan sedang tangan kanan menemplang ke batok kepala
Sonya. Inilah gerakan yang dinamakan "beringin sakti tumbang." Akan
tetapi sebelum kedua tinjunya itu mencapai sasaran, Akik Mapel merasakan
pergelangan kakinya dipuntir sakit sekali dan tubuhnya melayang
berputar di udara, kemudian terlempar ke dinding ruangan batu! Jika
saja orang tua itu bukan seorang tokoh silat yang lihay, niscaya
tubuhnya akan remuk ketika melabrak dinding batu yang luar biasa
kerasnya itu! Tanpa kehilangan akal karena dilemparkan begitu rupa,
Akik Mapel ulurkan kedua tangannya ke depan untuk menyentuh dinding batu
dengan telapak tangan lalu mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang
tinggi, kakek ini jatuhkan diri, seterusnya bergulingan di lantai.
Dengan cara begini dia berhasil menyelamatkan diri. Sonya tertawa mengekeh dan perlahan-lahan bangkit dari duduknya. "Eyang, biar aku yang menghajar manusia busuk ini!" Dwiyana tiba-tiba melompat dan bergerak mendekati Sonya. "Kembali
ke tempatmu Dwiyana! Kalau belum kugebuk dia, belum puas hatiku!" sahut
sang guru. Dia sudah dapat mengukur kehebatan lawannya dan diam-diam
menyadari kalau ketinggian ilmunya belum bisa menandingi ilmu manusia
muka setan ini, apalagi muridnya. Karena itu dia mencegah tindakan
Dwiyana. "Betul sekali ucapan gurumu. Gadis cantik molek, sebaiknya
kau tetap di sudut sana. Sayang kalau tubuhmu yang mulus itu tergores
luka. Apalagi kalau sampai kena gebuk!" "Sonya!" tukas Akik Mapel.
"Aku beri kesempatan padamu untuk meninggalkan goa ini. Kalau tidak, aku
akan betul-betul menggebukmu sampai babak belur!" Sonya hanya tertawa. Dia pejamkan kedua matanya dan berdiri tanpa bergerak. "Kakek pikun. Kau mau menggebukku? Silahkan!" Mau
tak mau Akik Mapel jadi tambah marah dan penasaran. Didahului suara
menggembor orang tua ini menerjang. Gerakan tubuhnya mengeluarkan deru
angin deras. Kedua tangannya didorongkan ke depan. Dua larik angin
bersiur keras. Ruangan batu bergoyang laksana dilanda lindu. Sonya
terhuyung-huyung. "Setan alas!" maki Sonya marah ketika angin deras
serbuan Akik Mapel membuat sangkar dan burung di dalamnya terlepas dari
pegangannya dan mental ke sudut ruangan. Di saat itu pula telapak tangan
Akik Mapel telah menghantam ke arah keningnya, siap untuk menghancurkan
kepala Sonya. Sampai saat itu Akik Mapel mempunyai anggapan bahwa
Sonya adalah seorang berilmu tinggi tetapi berotak miring. Karenanya
sewaktu serangannya dirasakannya betul-betul akan menamatkan riwayat
lawannya itu, timbullah perasaan tak tega di hati orang tua ini. Dia
tarik pulang tangannya dan sebagai ganti mengirimkan totokan kilat ke
arah pangkal leher. Sonya mendengus. Dia tahu apa artinya kalau
totokan untuk sempat mendarat di sasarannya. Untuk kesekian kalinya
manusia muka iblis ini keluarkan suara lolongan srigala. Suara
lolongannya lenyap sedetik kemudian. Tubuhnya pun ikut lenyap! Akik
Mapel terkesiap kaget. Sebelum orang tua itu mengetahui di mana
lawannya berada, satu hantaman menghajar tubuhnya sebelah belakang. Akik
Mapel mengeluh tinggi. Tubuhnya terhantar di permadani. Tulang
punggungnya sebelah kanan hancur! Dengan susah payah dia mencoba bangun
sementara di hadapannya Sonya berdiri dengan sikap mengejek. Tangan
kanan bertolak pinggang sedang tangan kiri memegang sangkar tulang. “Manusia
gila keparat! Terima ini!” Tiba-tiba terdengar bentakan Dwiyana. Murid
Akik Mapel yang sudah tidak sabaran ini menyerbu. Sonya yang hendak
menyerang Akik Mapel, terpaksa batalkan gerakannya ketika merasakan
siuran angin serangan datang dari samping. Cepat dia berkelit dan
berpaling, lalu menyeringai. “Gadis galak, sebaiknya kau tetap di
sudut sana. Aku tak ingin membuat tubuhmu yang mulus jadi luka. Aku
sendiri yang akan rugi nanti jadinya!” “Setan! Jaga batang lehermu!”
teriak Dwiyana dengan muka merah. Hatinya geram karena serangan tangan
kosongnya dapat dielakkan lawan dengan mudah. Tidak menunggu lebih lama
gadis ini segera cabut sebilah pedang mustika terbuat dari perak yang
tersisip di belakang punggungnya. Serangkum sinar putih berkiblat ketika
senjata ini di babatkan ke leher Sonya dengan dahsyat. Di saat
muridnya menggempur dengan pedang, Akik Mapel tidak tinggal diam. Dia
lepaskan satu pukulan sakti bernama “sinar pelangi”. Patut diketahui,
ilmu pukulan ini lebih dari sepuluh tahun dipelajari dan diyakini oleh
kakek sakti itu, dan merupakan satu dari sekian banyak pukulan sakti
yang terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan. Apalagi saat itu
Akik Mapel mengepulkan lebih tiga perempat kekuatan tenaga dalamnya
untuk Melancarkan pukulan tersebut! Tujuh warna pelangi berkiblat. Ruangan baru bergoncang keras. Wuus ! Sinar
pukulan sakti itu menyapa ke seluruh bagian tubuh Sonya. Di kejap itu
pula terdengar bentakan keras. Dwiyana merasakan selarikan angin
menyambar ke arahnya, membuat pedangnya tergeser ke samping. Tubuhnya
terdorong ke belakang sampai beberapa langkah. Penasaran gadis ini susul
serangannya yang tadi buyar dengan satu tusukan. Namun dia harus cepat
menjauhkan diri kalau tidak pukulan gurunya sendiri akan menghantamnya. Akik
Mapel hampir tidak percaya ketika melihat bagaimana Sonya mampu
mengelak dan bertahan terhadap pukulannya. Selama malang melintang di
dunia persilatan, tak satu lawanpun sebelumnya yang sanggup bertahan
terhadap pukulan “sinar pelangi”. “Apakah masih ada pukulan saktimu
yang lain?” tanya Sonya mengejek yang membuat Akik Mapel serasa di
panggang. Sebelum dia sempat membuka mulut, dilihatnya muridnya sudah
menyerbu kembali dengan serangan pedang perak. Melihat amukan si
gadis Sonya mundur beberapa langkah. Begitu sambaran senjata lawan
lewat, cepat dia dorongkan tangan kanannya ke dada Dwiyana hingga gadis
ini jatuh terguling di lantai. “Bedebah kurang ajar! Terkutuk!”
teriak Dwiyana. Gerakan tangan Sonya tadi bukan hanya sekedar mendorong,
tetapi sekaligus sengaja meremas payudara si gadis. Dwiyana melompat
beringas dan siap menyerbu kembali. “Sudah! Kau tidurlah enak-enak di
sudut sana!” kata Sonya lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya.
Selarik asap hitam panjang yang tak ubahnya seperti seutas tali meluncur
ke arah Dwiyana dan berputar bergelung-gelung di sekitar kepala si
gadis. Dwiyana menghantam dengan tangan kirinya. Angin pukulannya
keras sekali. Tetapi asap hitam itu tak mampu dimusnahkannya malah kini
gelungannya semakin menyempit, membuat gadis ini terpaksa mundur ke
sudut ruangan yang diinginkan Sonya. Dalam pada itu detik demi detik
Dwiyana merasakan kedua kelopak matanya menjadi berat, kepalanya pusing
dan pemandangannya berkunang. Akhirnya secara aneh gadis ini terduduk di
sudut ruangan batu. Kedua matanya terpejam. Punggungnya tersandar.
Sikapnya persis seperti orang sedang tidur duduk! Akik Mapel
terbeliak melihat kejadian ini. Seumur hidup baru sekali itu dia melihat
ilmu aneh begitu rupa. Hatinya berdebar. Bukan karena takut menghadapi
lawan yang jauh lebih hebat dari dia, tetapi karena sudah dapat menduga
apa sebenarnya maksud Sonya memperlakukan Dwiyana seperti itu. Dari
balik pakaiannya Akik Mapel cepat keluarkan tasbih yang terbuat dari
untaian mutiara. Tasbih ini pernah di rendam selama tiga tahun hingga
dari putih kini warnannya kelihatan biru gelap dan memancarkan sinar
angker. Sesaat Sonya perhatikan benda di tangan lawannya lalu tertawa menyeringai. “Hai,
itu senjatamu Akik Mapel?” ujar Sonya. Tahu-tahu dia sudah berkelebat
untuk merampas mutiara tersebut. Tapi hal ini tidak terlalu mudah untuk
melakukannya. Akik Mapel mengelak sebat. Sesaat kemudian segulung sinar
biru menggidikkan melabrak ke arah delapan bagian tubuh Sonya! Serangan
tasbih itu memang hebat dan ganas. Dan Akik Mapel jarang sekali
mengeluarkan senjata andalannya ini kalau tidak dalam keadaan Sangat
berbahaya dan terdesak. Yang diserang keluarkan suara menggereng
laksana singa lapar terluka. Dia menyelusup di antara gulungan sinar
biru. Memang hebat sekali murid Datuk Siluman ini. Dia masih sanggup
menyelamatkan diri dari gempuran sinar maut itu. Bahkan kembali mencoba
untuk merampas mutiara di tangan Akik Mapel. Ketika untuk kesekian
kalinya dia tidak mampu untuk merampas tasbih itu, marahlah manusia muka
setan ini! Sonya pindahkan sangkar burung ke tangan kanan dan
lambaikan tangan kirinya. Terdengar suara mendesis. Asap hitam pekat
keluar berguling dari telapak tangannya, menderu dan membungkus ke arah
kepala Akik Mapel. Si orang tua terbatuk-batuk, tak tahan oleh bau
sengit asap hitam aneh. Dia kerahkan tenaga dalam dan menghembus ke
depan. Tak terlambat. Tubuhnya dirasakannya menciut, makin kecil, makin
pendek. Sebaliknya tubuh Sonya dilihatnya bertambah besar dan menjadi
tinggi. Dia merasa seperti seekor siput atau seekor semut yang baru
keluar dari lubang. “Celaka, ilmu iblis apa pula ini!” keluh orang tua itu. “Akik
Mapel! Lihat mukaku! Pandang mataku!” kata Sonya. Suaranya lantang,
menggema dalam ruangan batu itu. Semula dia ingin membunuh kakek ini.
Tapi Selintas pikiran muncul dalam benaknya. Akik Mapel yang sudah
terpengaruh oleh kekuatan iblis mengikuti apa yang dikatakan lawannya.
Dia mendongak dan memandang ke wajah Sonya. Menatap sepasang mata itu. “Katakan siapa aku! Katakan lekas!” terdengar suara Sonya. “Kau Sonya…….Sonya!” sahut Akik Mapel. “Sonya siapa?!” “Sonya majikanku. Kau tuan besarku!” “Dan kau sendiri Sekarang siapa huh?!” “Aku….? Tentu saja hamba sahayamu,” jawab Akik Mapel. Sonya tertawa gelak-gelak. “Sebagai hamba sahaya kau harus turut setiap perintah majikan. Kau mengerti Akik Mapel!” “Mengerti. Aku mengerti Sonya!” “Bagus!” Sonya lalu lambaikan tangan kirinya. Asap
hitam sedikit demi sedikit lenyap. Wajah Akik Mapel yang sebelumnya
berwarna putih polos kini kelihatan menghitam akibat ilmu siluman
lawannya. “Sekarang kau Pergilah keluar! Tunggu aku di mulut goa!” kata Sonya pula. “Tapi berikan dulu tasbih itu!” Akik Mapel menurut. Senjata mustikannya diserahkan pada Sonya lalu dia melangkah keluar ruangan. “Hai tunggu dulu,” seru Sonya. “Apa lagi Sonya?” “Sialan! Mulai saat ini Panggil aku Paduka. Mengerti….?” “Baik. Aku akan Panggil kau Paduka…..” Dengan
terbungkuk-bungkuk Akik Mapel meninggalkan tempat itu. Ilmu siluman
telah merubah jalan pikiran sehatnya. Dia berdiri di mulut goa seperti
yang di perintahkan. Pandangan matanya kuyu. Di luar hujan masih terus
turun dengan lebatnya. Di dalam ruangan batu Sonya melangkah
mendekati Dwiyana. Dipandangnya wajah gadis yang sedang “tertidur” itu.
Diletakkannya sangkar burung ke lantai. Lalu tangan kanannya dilambaikan
ke wajah Dwiyana. Asap hitam berguling-gulung membungkus kepala si
gadis. Lalu dia tersentak bangun dan terbatuk-batuk. Sonya lambaikan
tangannya. Asap hitam lenyap. Matanya dan mata Dwiyana saling pandang. “Dwiyana. Lihat mukaku. Pandang mataku…..” Dwiyana mengangkat kepalanya dan menatap wajah serta mata Sonya. “Mulai hari ini kau menjadi gadis peliharaanku, mengerti?” Dwiyana mengangguk. “Kau harus melayani apa mauku!” Dwiyana kembali mengangguk. “Kau harus Panggil aku Paduka!” Si gadis mengangguk lagi. “Sekarang berdiri!” Dwiyana berdiri. “Tanggalkan pakaianmu!” Di
luar kesadaran akal sehatnya yang telah di sungkup oleh kekuatan iblis,
Dwiyana mulai membuka pakaiannya. Setiap gerakan gadis ini di saksikan
Sonya tanpa berkesip dan lidah menjulur basah. Akhirnya Dwiyana berdiri
di hadapannya tanpa selembar benang pun menutupi auratnya. Sonya tertawa panjang. Hidungnya kembang kempis. “Melangkah lebih dekat kesini, Dwiyana…..” Dwiyana mendatangi. “Lebih dekat lagi!” Si
gadis maju hingga tubuhnya beradu dengan badan Sonya. Buah dadanya yang
kencang tertekan rata sewaktu Sonya merangkul punggungnya dengan penuh
nafsu. “Sekarang kau harus meninggalkan pakaianku, Dwiyana….” Si gadis menurut. Dia ulurkan kedua tangannya dan membuka pakaian Sonya satu demi satu. Dipukau
oleh ilmu siluman, sampai jauh malam Dwiyana terus saja melayani nafsu
terkutuk Sonya yang seperti tidak ada ujungnya itu. Sementara di luar
sang guru duduk termenung. Tak beda seperti seekor anjing yang bertugas
menjaga pintu, dan tak berani masuk ke dalam tanpa izin majikannya.
Malang sekali nasib guru dan murid itu.
TUJUH HARI
sesudah meninggalkan Bukit Hantu maka sampailah Sonya ke Teluk Gonggo.
Selama perjalanan itu belasan manusia telah menjadi korban keganasan
ilmu silumannya. Beberapa orang berkepandaian tinggi dan beberapa
perempuan berparas cantik dibawanya ketempat kediamannya yang baru, yang
kelak bakal menjadi satu markas atau sarang sumber malapetaka yang
menimpa dunia persilatan. Umumnya orang-orang lelaki yang dibawanya itu
adalah jago-jago silat kelas satu yang berhasil ditundukkannya dan
diperbudaknya. Sedang orang-orang perempuan sebelumnya telah
diperkosanya secara keji untuk kemudian dijadikannya perempuan
peliharaan pemuas nafsunya. Malapetaka besar itu segera menjadi
kenyataan sebulan kemudian. Dunia persilatan delapan penjuru angin
menjadi geger ketika terjadi pembunuhan besar-besaran secara mengerikan
atas tiga partai silat. Seisi partai mulai dari sang ketua sampai murid
partai yang paling rendah bahkan pelayan, mati dibunuh dengan cara yang
sama. Yaitu muka hancur. Itulah kebiadaban ilmu “cakar siluman”. Kemudian
beberapa tokoh terkenal dunia persilatan lenyap secara aneh sedang
beberapa lainnya ditemukan mati dengan muka hancur rusak hampir sulit
untuk dikenali. Selama berbulan-bulan peristiwa yang menggemparkan itu
berjalan terus tanpa diketahui siapa biang pelakunya. Beberapa orang
sakti mempunyai dugaan bahwa segala malapetaka mengerikan itu tak dapat
tidak hanya bisa dilakukan oleh satu orang yakin Datuk Siluman dari
Bukit Hantu. Beramai-ramai mereka mengadakan perundingan lalu menyerbu
ke puncak Bukit Hantu. Namun yang mereka temui hanyalah reruntuhan
bangunan tulang yang telah menghitam jadi arang. Sesosok tubuh yang
merupakan tengkorak acak-acakan terjepit di bawah reruntuhan itu. “Kalau
Datuk Siluman sudah mati, berarti ada seorang manusia iblis lainnya
yang menjadi biang racun kejahatan ini. Tapi Siapakah dia?” tanya
seorang tokoh sambil memandang pada kawan-kawannya. “Tidak dapat tidak dia punya sangkut paut tertentu dengan Datuk Siluman.” Jawab tokoh yang lain. “Kalau
manusia itu seorang muridnya, kurasa itu mustahil.” Ikut bicara jago
silat lainnya. “Setahuku Datuk Siluman tak pernah punya murid.” Dengan perasaan kecewa tokoh-tokoh silat itu akhirnya meninggalkan Bukit Siluman. Minggu
demi minggu berlalu, berganti bulan ke bulan. Bencana yang menimpa
dunia persilatan semakin hebat. Disamping terbunuh dan diculiknya
tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, disamping musnahnya beberapa partai
persilatan, juga diketahui lenyapnya gadis-gadis atau
perempuan-perempuan cantik dari kampung, desa dan kota. Usaha-usaha
yang dilakukan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan untuk mencari dan
mengejar pelaku yang telah membuat keonaran keji itu, sebegitu jauh
masih menemui jalan buntu. Rasa cemas kini menyelimuti seantero rimba
persilatan. Namun tidak ada yang berputus asa. Pada permulaan awal
bulan dua belas para tokoh silat itu mengadakan pertemuan rahasia di
suatu tempat di utara Sragen. Baru saja pertemuan hendak dibuka
tiba-tiba di pintu yang dikunci terdengar suara ketukan. Brajapati,
seorang tokoh silat dari pantai selatan yang memimpin pertemuan itu
memandang berkeliling. Semua undangan telah duduk di kursi
masing-masing. Berarti tak ada yang harus ditunggu atau datang
terlambat. Semua hadirin menjadi tidak enak. Dan ini jelas terbayang di
wajah masing-masing. Siapa gerangan yang mengetuk pintu itu? Perlahan-lahan
Brajapati berdiri dari kursinya dan melangkah ke pintu. Meski
tokoh-tokoh silat lainnya masih tetap duduk di tempatnya masing-masing
tetapi rata-rata secara diam-diam mereka telah berjaga-jaga kalau sampai
tiba-tiba terjadi hal yang tidak diinginkan. Tiga langkah dari ambang pintu Brajapati berhenti. “Siapa di luar?” tanya jagoan ini sambil tangan kanannya diangkat ke atas, siap melepaskan satu pukulan tangan kosong. “Aku….” Terdengar sahutan dari balik pintu. “Aku siapa?” bentak Brajapati. “Perbolehkan aku masuk….” “Katakan
dulu siapa kau!” jawab Brajapati. Tenaga dalamnya dilipat gandakan dan
dialirkan ke tangan kanannya yang siap menghantam. “Aku Hang Juana
dari Tegal Alas. Bukankah kalian ingin mengetahui siapa yang selama ini
menimbulkan bencana dalam dunia persilatan? Lekas buka pintu!” Brajapati
dan beberapa tokoh silat di situ sebelumnya memang sudah pernah
mendengar nama Hang Juana. Itu sekitar sepuluh tahun yang silam. Dia
dikenali sebagai seorang kakek yang ahli membuat berbagai macam senjata,
terutama senjata pesanan perwira-perwira kerajaan. Tanpa ragu-ragu
Brajapati membuka daun pintu dengan tangan kirinya. Dibawah pandangan
sekian banyak pasang mata, seorang kakek berpakaian butut rombeng masuk
terbungkuk-bungkuk. Dia berdiri di ujung meja pertemuan dan memandang
berkeliling. “Orang tua, Silahkan duduk,” Brajapati menarik sebuah kursi. Hang Juana menggeleng. “Aku tak bisa lama-lama di sini,” kata si kakek pula. “Kenapa?”
tanya Brajapati. Karena Hang Juana tak mau menjawab maka dia
melanjutkan ucapannya: “Tadi kau mengeluarkan ucapan yang mengatakan
seolah-olah kau tahu siapa yang menjadi biang racun penimbul malapetaka
selama ini….” Hang Juana mengangguk. “Orangnya masih ada sangkut paut dengan Datuk Siluman dari Bukit Hantu…” “Memang sudah kami duga!” kata beberapa tokoh silat hampir bersamaan. “Siapa manusianya dan di mana sarangnya?” tanya Brajapati. “Manusianya bernama……….” Tiba-tiba
laksana ada angin besar melabrak masuk, semua lampu yang ada di ruangan
itu padam! Bau busuk menebas menusuk hidung. Ucapan Hang Juana terputus
digantikan jeritan yang mengerikan. Brajapati melihat sesosok
bayangan berkelebat di hadapannya. Secepat kilat jagoan dari pantai
selatan ini hantamkan tangan kanannya ke depan. Sesiur sinar putih
menderu ke arah tubuh yang berkelebat. Tapi yang diserang serta merta
lenyap dari pemandangan. Dilain kejap justru terdengar pekik Brajapati
setinggi langit. Lalu suasana di ruangan yang gelap gulita itu menjadi
sunyi senyap seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara
hitam. “Hidupkan lampu!” Seseorang berteriak. Beberapa orang
segera menyalakan lampu di empat sudut ruangan. Begitu lampu menyala
maka semua tokoh silat yang ada di situ melengak ngeri! Dua sosok
tubuh menggeletak di lantai ruangan pertemuan. Mereka adalah Hang Juana
dan Brajapati. Keduanya tak bergerak dan tak bernapas lagi. Muka mereka
yang berselomotan darah terlalu ngeri untuk dipandang. Meski semua
yang hadir di situ adalah tokoh silat kelas satu berilmu tinggi, namun
menyaksikan kematian Hang Juana dan Brajapati begitu rupa tak urung
membuat hati tercekat ngeri. Dada berdebar dan lutut bergetar. Dua
korban manusia siluman itu kini menggeletak di depan mereka. Untung
mereka masih hidup. Karena sebenarnya jika mau manusia iblis itu pasti
mampu melakukan hal yang sama terhadap mereka semua! Khawatir akan
menyusul terjadinya hal-hal yang tak diingini, dengan membawa mayat
Brajapati dan Hang Juana semua tokoh silat yang hadir segera
meninggalkan tempat itu. Dengan demikian untuk kesekian kalinya gagal
pulalah usaha untuk menyelidiki siapa adanya manusia penyebar malapetaka
itu.
—-
BULAN PURNAMA
telah sejak lama lenyap terlindung di balik gumpalan awan hitam.
Bintang-bintang pun menghilang satu demi satu. Saat itu mendekati tengah
malam. Jika pertengahan malam kali ini berlalu maka berarti untuk ke
sekian kalinya dunia memasuki tahun baru, memasuki usia baru. Bumi Tuhan
ini bertambah tua juga. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara
lolongan anjing. Pada saat itulah sesosok tubuh kelihatan lari memasuki
Tegaltritis dari jurusan timur. Tak lama kemudian sampailah orang ini di
samping sebuah tembok tinggi satu bangunan yang paling bagus dan mewah
di kampung tersebut. Tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan orang ini
langsung masuk ke halaman depan dengan melompati tembok. Gedung besar
di hadapannya sunyi senyap tanda semua penghuni sudah tidur lelap.
Hanya pada beberapa tempat terdapat lampu-lampu kecil menyala. Sekali
menggenjot tubuh orang ini kemudian melompat ke genting bangunan. Dengan
menerobos genting dan langit-langit dia masuk ke dalam gedung, sampai
ke sebuah kamar dimana terdapat dua buah tempat tidur berkelambu putih
dan biru muda. Di atas tempat tidur berkelambu putih, tiga orang anak
kelihatan tidur dengan nyenyaknya. Sesaat orang yang barusan menerobos
masuk itu memperhatikan wajah ketiga anak itu. Dadanya terasa sesak
menggemuruh. Cepat-cepat dia berpaling dan melangkah ke dekat tempat
tidur yang berkelambu biru. Di atas tempat tidur yang satu ini
berbaring nyenyak seorang perempuan. Wajahnya membayangkan keletihan dan
keputus-asaan hingga lebih tua dari usia sebenarnya. Meski demikian
kecantikannya masih belum pupus. Disamping perempuan itu bergelung
seorang anak lelaki berusia dua tahun. Rambutnya hitam, alis matanya
tebal. Kembali orang di luar kelambu merasakan dadanya sesak.
Dipejamkannya kedua matanya. “Haruskah kulakukan ini….? Haruskah kulakukan?!” Pertanyaan itu menghujam berulang kali dalam hatinya. Tiba-tiba ada satu bayangan wajah manusia yang maha mengerikan menjelma di ruang matanya. “Ingat
sumpah utamamu Sonya! Ingat. Itu harus kau lakukan! Harus! Kalau tidak
aku akan bangkit dari alam kematian. Makhluk peliharaanku akan
menyiksamu selama tujuh tahun!” Lelaki di samping tempat tidur itu
ternyata adalah Sonya. Kedua tangannya terkepal. Rahangnya mengatup
kencang. Perlahan-lahan Dibukanya kembali kedua matanya. Kini pada
sepasang mata itu kelihatan membersit sinar aneh. Sinar ganas jahat.
Kebimbangan yang tadi menguasai hatinya serta merta lenyap. Sonya
menyibakkan kelambu biru. Ditanggalkannya pakaiannya. Lalu dibetotnya
pakaian perempuan di atas tempat tidur yang bukan lain adalah istrinya
sendiri. Perempuan itu terkejut dan bangun dari tidurnya. Belum sempat
dia menjerit, Sonya sudah menutup mulutnya dan menaiki tubuhnya. Sonya
kini memperkosa istrinya sendiri sampai akhirnya perempuan itu pingsan! Setelah
melampiaskan nafsunya Sonya segera membungkus anak lelaki yang ada di
atas tempat tidur anaknya sendiri lalu melompat ke atas langit-langit
kamar. Sesaat kemudian ketika perempuan itu siuman dan mendapatkan
anaknya tak ada lagi maka diapun menjerit: “Anakku! Anakku!
Tolong…penculik!” Hari itu murid Eyang Sinto Gendeng sampai di sebuah
kota kecil bernama Nganglek. Rasa haus membuat dia melangkahkan kaki
memasuki sebuah kedai minuman. Di jalan besar yang di laluinya itu
terdapat dua buah kedai. Yang satu besar dan bersih, lainnya kecil serta
kotor. Wiro hendak memasuki kedai yang besar ketika di kedai kecil
sebelah sana dilihatnya suatu hal yang menarik. Pendekar ini segera
memutar langkah menuju kedai buruk itu. Dia duduk disebuah sudut agak
dalam. Dekat pintu kedai duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam
bermuka kumal tak terurus. Pada lengan masing-masing memakai gelang akar
bahar besar. Satu benda yang sudah dapat dipastikan gagang senjata
menonjol di balik pinggang pakaian keduanya. Mereka memperhatikan Wiro
dengan pandangan mata tajam. “Hanya seorang pemuda kampung tolol. Tak perlu di curigai,” berbisik lelaki bermuka hitam kepada kawan di sebelahnya. Kawannya
yang mempunyai cacat besar bekas luka di pipi kiri masih memandang
beberapa lama pada Wiro. Akhirnya memalingkan muka dan kembali
memperhatikan ke arah pintu seperti ada yang tengah di tunggu. Wiro
meneguk minumannya. Tak selang beberapa lama masuklah seorang lelaki
berbadan kurus pendek. Begitu masuk dia langsung menemui dua orang
berpakaian serba hitam tadi. Mereka bicara berbisik-bisik. Lelaki muka
hitam mengeluarkan beberapa keeping uang perak yang kemudian
diserahkannya pada si kurus pendek. Orang yang menerima uang ini segera
berlalu. Wiro membayar minumannya. Ketika dia keluar dari kedai di
lihatnya si kurus tadi sudah berada di ujung jalan. Agar tidak
menimbulkan kecurigaan dua orang di dalam kedai, Wiro sengaja mengambil
jalan yang berlawanan. Namun di balik sebuah bangunan cepat pendekar ini
berputar dan Dilain saat dia sudah melangkah cepat mengejar si kurus. Lelaki
kurus pendek itu ternyata menuju ke tepi sungai. Di sebuah tikungan
sungai yang ditumbuhi pohon-pohon bambu amat lebat, tertambat sebuah
perahu. Orang ini hentikan langkahnya. Seorang lelaki berbadan tinggi
kekar melompat enteng dari dalam perahu dan bicara dengan si kurus. Yang
terakhir ini kemudian cepat-cepat tanggalkan tempat itu. Setelah
menunggu beberapa lamanya, Wiro keluar dari balik rerumpunan pohon
bambu. Dia berdiri ditepi sungai dengan sikap seperti seorang hendak
menyeberang. Ketika dia melirik ke arah perahu, ternyata di balik atap
perahu kelihatan tiga pasang kaki. Sementara itu lelaki tinggi besar
yang masih tegak di tebing sungai memperhatikan Pendekar 212 dengan mata
melotot penuh selidik. Wiro justru melangkah mendekatinya. “Saudara, aku ingin menyeberang. Apakah kau bisa membawaku ke tepi sungai sebelah sana?” berkata Wiro. Si
tinggi besar ini bernama Prakunto. Dia memandang Wiro dari rambut
gondrong sampai ke kakinya yang kotor, melirik pada tiga kawannya dalam
perahu lalu tertawa bergelak. “Pangeran dari mana yang berani memerintahku seenaknya?” “Oh…oh…oh!
Aku bukan pangeran, sobat. Agaknya kau khawatir soal ongkos. Jangan
takut. Aku punya uang untuk membayar. Sebutkan saja berapa ongkosnya
sampai ke seberang!” Kembali Prakunto tertawa gelak-gelak. “Monyet gondrong! Aku tak butuh uangmu. Lekas minggat dari sini!” “Ah, jangan begitu sobat. Kau tolonglah aku menyeberang,” pinta Wiro pula. “Manusia edan! Kau berani memaksaku?!” “Tidak. Aku tidak memaksa. Tapi minta tolong!” Prakunto ulurkan tangannya meraba dada Wiro Sableng hingga pemuda ini bergelinyang kegelian. “Ngg…kulihat
dadamu cukup kekar,” kata Prakunto pula. “Begini saja. Bagaimana kalau
kita adakan perjanjian baku jotos. Kalau aku menang serahkan seluruh
uang yang ada padamu dan berlalu dari sini!” “Bagaimana kalau aku yang menang?” balik bertanya Wiro. Prakunto tertawa meledak diikuti oleh ke tiga kawannya yang ada dalam perahu. “Kalau kau yang menang, jangankan ke seberang sana, ke nerakapun kau akan ku antar!” “Baik! Bagaimana caranya adu jotos ini….?” “Kita saling pukul tiga kali. Siapa yang nanti jatuh atau terhuyung ke belakang berarti kalah!” “Ah, mudah sekali itu…,” kata Wiro sambil senyum-senyum. “Siapa yang mulai memukul lebih dulu?!” “Silahkan
kau yang memukulku lebih dulu,” jawab Prakunto yang tidak memandang
sebelah mata pada pemuda bertampang dungu di hadapannya itu. Wiro
melangkah ke hadapan Prakunto. Diulurkannya tangannya ke dada si tinggi
besar ini, meraba-raba beberapa lamanya hingga Prakunto menjadi kesal. “Aku suruh kau memukul dadaku. Bukan memijat-mijat. Tolol!” hardik Prakunto. “Ah,
dadamu keliwat lunak. Seperti agar-agar. Aku khawatir sekali pukul saja
dadamu bisa murak berantakan. Nanti kau tak bisa balas memukulku.
Bagusnya kau saja yang memukulku lebih dulu!” Prakunto benar-benar
jadi naik darah mendengar ucapan Wiro Sableng. Sementara ke tiga
kawannya sudah keluar dari perahu dan tegak mengelilingi mereka. “Pemuda ingusan! Mulutmu sombong sekali!” sentak Prakunto. “Eh,
jadi adu jotos ini tidak diteruskan? Nyatanya kau Cuma seorang
pengecut. Badan saja yang tinggi kekar tapi nyali selembek tahi ayam!” Diejek begitu Prakunto jadi naik pitam. Tiga kawannya juga tampak marah. “Kau Bersiaplah. Sekali pukul nyawamu akan kubuat melayang!” kata Prakunto. Wiro mundur beberapa langkah dan berdiri sambil tolak pinggang. “Silahkan pukul. Jangan salah. Pilih tempat yang empuk!” Tinju
kanan Prakunto mengepal besar dan kokoh. Dari jarak dua langkah
tinjunya itu di ayunkan sekuat-kuatnya ke dada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Buk! Terdengar suara bergedebuk keras sewaktu tinju yang
besar itu mendarat di dada Wiro. Baik Prakunto maupun tiga kawannya
sudah sama membayangkan bagaimana jotosan itu akan membuat Wiro
terlempar, roboh muntah darah dan melayang ke akherat. Tapi jangankan
terjungkal atau terhuyung, serambutpun tubuh pendekar itu tidak
bergeming. Di lain pihak Prakunto merasakan tinjunya mendarat di sebuah
permukaan selembut kapas. Membuat lelaki ini ternganga keheranan. “Heh,
kau rupanya punya ilmu juga….,” ujar Prakunto seraya menyeringai. “Tapi
tunggu, masih ada dua pukulan lagi. Jaga pukulanku yang kedua!” Lalu
untuk kedua kalinya Prakunto hantamkan tinju kanannya yang beratnya tak
kurang dari lima puluh kati. Untuk kedua kalinya pula terdengar suara
buk! Dan untuk kesekian kalinya si tinggi besar itu terheran-heran
karena sasaran yang dihantamnya terasa demikian lembut. Dia memandang
pada Wiro dengan mata meloncat sementara murid Eyang Sinto gendeng itu
cuma cengar cengir tak acuh. “Pukulan terakhir sobat!” seru Prakunto. “Keluarkan
seluruh tenagamu, luar dalam. Pukullah lebih keras. Masakan manusia
setinggi dan sebesarmu ini pukulannya tidak terasa apa-apa, seperti
orang menggelitik saja!” Muka Prakunto merah padam. Dia merasa malu
terutama terhadap ketiga kawannya. Tenaga dalamnya disalurkan seluruhnya
ke tangan kanan hingga mempunyai daya hantam sebat dua ratus kati.
Jangankan tubuh manusia, tembok tebal atau kepala kerbaupun pasti hancur
luluh. “Kau sudah siap?!” tanya Prakunto. Tinju kanannya tampak bergetar. “Sudah sejak tadi-tadi sobat!” sahut Wiro seenaknya. Prakunto kertakkan rahang. “Mampuslah!”
bentak Prakunto. Berbarengan dengan itu tinju kanannya berkelebat deras
sampai mengeluarkan suara menderu. Mendarat tepat di dada kiri Pendekar
212, pada bagian jantungnya! Terdengar satu jeritan setinggi langit! Prakunto
berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangan kirinya tiada henti mengusap tangan
kanan yang tadi di pakai meninju. Kalau dua kali Pertama tadi memukul
dada lawan dirasakannya lunak lembut, tetapi kali yang ketiga dada
pemuda itu seperti berubah menjadi dinding karang yang luar biasa keras
dan atosnya. Dua buah jari tangan kanannya patah, kulitnya terkelupas
dan mengucurkan darah di beberapa bagian. “Bagaimana sobat? Kau telah memukulku tiga kali. Kini giliranku!” kata Wiro. “Baik,
baik….,” kata Prakunto menahan sakit dan malu. Dia berdiri memasang
kuda-kuda. Wiro mundur mengambil ancang-ancang untuk memukul. Tiba-tiba
salah seorang kawan Prakunto mendekati lelaki itu dan berbisik: “Kunto,
kita tak ada waktu melayani pemuda edan ini lebih lama. Sebentar lagi
kereta itu akan tiba. Kau mau didamprat dan digebuk Jakasempar?
Seberangkan saja dia agar tidak mengganggu kita lebih lam!” “Tapi aku toh musti melayaninya!” sahut Prakunto. “Persetan! Seberangkan dia!” Prakunto berpikir sejenak. “Hai, mengapa kalian ini? Aku sudah siap memukul!” Wiro berseru. “Sobat, biarlah. Walau kau belum memukul tapi aku mengaku kalah. Aku akan antarkan kau ke seberang,” kata Prakunto pula. Wiro
tersenyum dan garuk-garuk kepalanya. Dia melompat ke dalam perahu.
Hanya sebentar saja dia pun sampai ke seberang sungai. Wiro ucapkan
terima kasih dan naik ke darat sementara Prakunto mengayuh perahunya
kembali ke seberang yang lain. Hanya sesaat dia mencapai tepi sungai,
sepuluh orang berkuda sampai di tempat itu. Rombongan ini di pimpin oleh
lelaki muka hitam yang dilihat Wiro di kedai di Nganglek. “Bagaimana Jaka….?” tanya Prakunto pada si muka hitam yang bernama Jakasempar. “Kalian
bersiap. Cari tempat berlindung yang baik. Sebentar lagi kereta itu
akan lewat. Ingat, gadis itu tak boleh mendapat cidera barang
sedikitpun!” Maka keempat belas orang itupun bersembunyi di tempat
yang terpencar di tikungan sungai. Kira-kira sepeminuman the berlalu, di
kejauhan terdengar suara rentak kaki-kaki kuda dan gemeletak roda
kereta. Tak lama kemudian dari balik tikungan muncullah sebuah kereta
putih, dikawal oleh sepuluh prajurit Kadipaten dibawah pimpinan seorang
lelaki tua gagah bernama Wilacarta. Begitu kereta memperlambat
jalannya karena memasuki tikungan maka terdengarlah ringkik binatang
penarik kereta itu. Lima pisau terbang menghambur dan menancap di kaki
dua ekor kuda penarik kereta dan Membuatnya tersungkur. Kereta hampir
saja terbalik ke dalam sungai. Bersamaan dengan itu Jakasempar dan anak
buahnya berlompatan dari tempat persembunyian masing-masing, langsung
menyerbu prajurit-prajurit pengawal dengan senjata terhunus! Daerah
luar kota Jepara akhir-akhir ini memang kurang aman. Karenanya melihat
kemunculan belasan orang bermuka bengis itu, Wilacarta segera maklum
kalau rombongan tengah dihadap perampok. Tapi karena saat itu dia dan
anak buahnya sama sekali tidak membawa uang atau harta berharga Kecuali
mengawal Sri Ayu Pandan, Putri Adipati Jepara, maka penghadangan itu
terasa agak aneh dimata Wilacarta. Namun saat itu tak ada waktu untuk
berpikir panjang. Orang tua gagah ini berteriak memberi semangat pada
anak buahnya. Lalu mencabut pedang dari pinggang. Dia sama sekali tidak
menduga justru rombongan yang menghadang itu memang tidak hendak
merampok harta atau uang, melainkan hendak menculik puteri Adipati
Jepara. Setelah gadis itu di tangan mereka, Jakasempar akan meminta uang
tebusan dalam jumlah besar. Pertempuran berkecamuk hebat. Pihak
Kadipaten selain kalah jumlah, lawan yang mereka hadapi rata-rata
memiliki kepandaian silat tinggi hingga dalam tempo singkat dua orang
prajurit roboh mandi darah. Ketika tadi kereta menyungkur tanah
karena dua kuda yang menariknya roboh, dari dalam kereta terdengar pekik
perempuan. Tirai jendela tersingkap dan tampaklah satu kepala berambut
hitam legam berwajah rupawan. Dialah Sri Ayu Pandan, puteri Adipati
Jepara. Belum habis kejut sang gadis akibat tersungkurnya kereta,
tiba-tiba dari semak belukar dilihatnya berlompatan manusia-manusia
bertampang bengis bersenjata golok atau pedang dan mereka ini langsung
menyerang para pengawal. Takutnya puteri Adipati ini bukan kepalang. Dia
berteriak tiada henti. Wilacarta putar pedangnya dengan sebat. Dia
berhasil merobohkan seorang lawan dan melukai seorang lainnya. Ketika
dilihatnya Jakasempar bergerak mendekati kereta, kepala pengawal ini
segera menghadang. Namun dia tak mampu menghalangi lebih jauh karena
secepat kilat tiga orang anak buah Jakasempar melompat kehadapannya dan
langsung menyerbu. Kusir kereta yang merasa ikut bertanggung jawab
atas keselamatan puteri majikannya, dengan bersenjatakan sepotong besi
panjang menyerang Jakasempar dari samping. Serangan itu dengan mudah
dapat dielakkan oleh Jakasempar. Sebagai balasan Jakasempar
menghadiahkan satu tusukan golok yang ganas. Karena memang tidak
memiliki kepandaian silat apa-apa, kusir kereta itu akhirnya menemui
ajal dengan dada ditembus golok. Jakasempar menendang pintu kereta
hingga tanggal berantakan. Di dalam sana Sri Ayu Pandan menyudut
ketakutan. Jakasempar tersenyum menyeringai melihat tubuh mulus dan
wajah cantik gadis itu. Dalam benaknya sudah muncul pikiran kotor.
Puteri itu diculik dan dimintai tebusan uang dalam jumlah besar. Tapi
apa salahnya sebelum dikembalikan pada orang tuannya akan dipakai
sebagai pemuas nafsu lebih dulu? “Gadis cantik. Kau tak usah takut.
Mari ikut aku…” kata Jakasempar seraya mengulurkan tangan untuk menarik
Ayu Pandan. Namun sebelum jari-jari tangannya sempat menyentuh tubuh
gadis itu mendadak dari samping melesit sebuah benda besar. Jakasempar
cepat bersurut mundur. Benda itu menghantam tangga kereta dan ternyata
adalah sosok tubuh seorang anak buahnya sendiri yang telah menjadi
mayat! Terkejut bukan kepalang, Jakasempar palingkan kepala. Dan
membeliaklah mata manusia muka hitam ini. Enam langkah di hadapannya
berdiri pemuda rambut gondrong yang sebelumnya pernah dilihatnya di
kedai Nganglek. Pakaiannya basah kuyup. Apakah dia yang telah
melemparkan tubuh anak buahnya itu tadi? Pemuda berpakaian kuyup itu
adalah Wiro Sableng. Sesampainya di seberang tadi, dia pura-pura
berlalu, tapi diam-diam menyelinap ke balik semak-semak dan mengintai.
Dia yakin sekali orang-orang yang ditemuinya di kedai dan di tepi sungai
itu tengah merencanakan sesuatu. Sesuatu yang jahat. Dan keyakinannya
itu tak lama kemudian menjadi kenyataan. Yaitu dengan munculnya kereta
putih yang telah ditunggu untuk di hadang. Pada saat pertempuran sedang
berkecamuk, Wiro terjun kesungai, berenang menyeberang. Itulah sebabnya
pakaiannya basah kuyup. “Bangsat! Pemuda ini memang sudah kucurigai
sejak dari Nganglek!” kertak Jakasempar. Dia melangkah mendekati Wiro
dan membentak: “Keparat! Kau berani mencampuri urusanku! Berarti kau
berani mampus!” Wut! Golok besar di tangan Jakasempar menderu.
Membabat ke dada Wiro Sableng. Ketika Wiro berhasil mengelakkan serangan
itu, serta merta serangan kedua dan ketiga datang susul menyusul
laksana kilat! Kiranya kepala rampok ini memiliki ilmu golok yang lihai.
Dia mengharap dalam beberapa gebrakan saja akan dapat mencincang tubuh
lawannya. Namun dia tidak tahu, dengan siapa hari itu dia berhadapan. Jakasempar
membuka jurus kedua dengan serangan berantai kembali. Wiro berkelebat
cepat diantara taburan sinar golok lawan. Awal jurus ketiga pendekar ini
mempercepat gerakannya hingga tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang
dan Jakasempar mejadi bingung karena kehilangan lawan. Sambaran goloknya
terus menerus menghantam tempat kosong. Selagi Jakasempar
kebingungan Wiro hantamkan tangan kanannya ke kening penjahat ini.
Jakasempar menjerit. Tubuhnya terbanting ketanah tak sadarkan diri.
Keningnya yang memang sudah hitam kini tampak tambah hitam karena
hangus. Dan pada kening itu kini tertera tiga deretan angka 212! Dari
mata, hidung serta mulutnya mengalir darah! Tiga orang anak buah Jakasempar yang melihat pemimpin mereka dicelakai begitu rupa dengan cepat menyerang. “Manusia-manusia
tak berguna. Bisanya cuma membuat keonaran! Majulah bila minta
digebuk!” kertak Wiro Sableng. Begitu ketiga lawannya berlompatan
menyerang maka terdengarlah plak, plak, plak! Tiga tamparan mendarat di
kening mereka. Ketiganya menggeletak di tanah menerima nasib seperti
pemimpin mereka. “Pemuda keparat! Makan pedangku ini!” satu suara
membentak. Dikejap yang sama satu tebasan pedang menyambar batang leher
Pendekar 212. Wiro keluarkan suara bersiul dan melompat kebelakang. Yang
menyerangnya dengan ganas itu ternyata Prakunto. Ditangannya tergenggam
sebilah pedang berlumuran darah. Dengan pedang itu dia telah membunuh
dua prajurit Kadipaten dan melukai parah Wilacarta. Orang tua itu kini
tergeletak dekat roda kereta, dengan menahan sakit bukan kepalang dan
darah masih mengucur di bekas lukanya. “Hai! Rupanya kau masih belum puas dengan adu jotos tadi?!” mengejek Wiro. “Baku
jotos dan pedang lain, sobat!” jawab Prakunto sambil tusukan pedang
yang digenggamnya di tangan kiri karena tangan kanannya cidera akibat
adu jotos dengan Wiro tadi. Wiro keluarkan satu siulan lagi. Dia
berkelit ke kiri. Begitu ujung pedang lewat di sampingnya, Wiro gerakan
tangan kanan memukul siku Prakunto. Lelaki ini terpekik karena sambungan
sikunya terlepas. Dia kembali menjerit sewaktu tapak tangan Pendekar
212 menghantam keningnya hingga hangus. Prakunto terbujur di tanah,
melintang di atas tubuh Jakasempar! Ketika Wiro memandang berkeliling
ternyata pertempuran sudah selesai. Kusir kereta dan beberapa prajurit
Kadipaten tewas. Yang lain-lainnya termasuk Wilacarta menderita
luka-luka. Dipihak penjahat empat orang mati, dua orang melarikan diri
sedang delapan lainnya, diantaranya Jakasempar dan Prakunto menderita
luka-luka dan pingsan. Dari dalam kereta masih terdengar jeritan-jeritan Sri Ayu Pandan yang masih diselimuti ketakutan. Wiro mendatangi. “Hentikan jeritanmu. Pertempuran sudah berhenti. Tak ada yang harus ditakutkan lagi!” berkata Wiro. Puteri
Kadipaten itu turunkan kedua tangannya yang tadi dipakai untuk menutupi
muka. “Kau…kau siapa?” tanyanya masih takut dan curiga. Wiro garuk-garuk kepala. Sebelum dia memberi jawaban, dari belakangnya seseorang berkata: “Pendekar 212, ikutlah bersamaku.” Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini terkesiap kaget dan berpaling.
Dihadapannya berdiri seorang kakek-kakek yang mata kirinya picak sedang
disampingnya tegak seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas
tahun, berpakaian serba putih dan berparas cakap. Jika seseorang
mengenali julukannya, maka orang itu pasti bukanlah manusia sembarangan. “Orang tua, kau siapa ….?” Tanya Wiro. “Siapa aku nanti kuterangkan. Yang penting kau harus ikut aku Sekarang juga!” “Heh? Ikut kau? Kemana? Jalan-jalan…..?” tanya Wiro bergurau. “Jangan banyak tanya dan jangan bergurau. Waktuku amat singkat,” jawab orang tua mata picak. “Ngg…kalau begitu kau pergilah sendirian. Siapa sudi turut denganmu. Aku masih ada tugas mengurusi orang-orang Kadipaten ini!” “Biar
muridku yang mengurus mereka,” kata si picak. “Kepentinganku ada
hubungannya dengan malapetaka yang menimpa dunia persilatan saat ini!” Ucapan itu membuat Wiro Sableng yang barusan hendak melangkah tubuh berbalik kembali. “Apa katamu orang tua….?!” Si
orang tua tak menjawab melainkan memutar tubuh. Setelah mengatakan
sesuatu pada anak lelaki di sebelahnya, dia lalu cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. Tampaknya dia melangkah biasa saja. Namun hanya
sesaat dia telah lenyap di tikungan jalan. Dengan garuk-garuk kepala
Wiro Sableng terpaksa mengejar si mata picak aneh itu. Ternyata orang
tua ini menuju Jepara.
HARI
masih pagi. Sinar sang surya masih kuning kemerahan tanda belum lama
keluar dari tempat peraduannya. Sura Gandara berdiri di ambang pintu
rumah makannya, memperhatikan pelayan-pelayan membereskan bagian depan
rumah makan itu. Di Jepara, Sura yang berbadan gemuk macam kerbau
bunting itu terkenal sebagai pemilik rumah makan paling besar, paling
lezat tetapi murah harganya. Dari dalam sabuknya di keluarkan secuil
tembakau dan kertas. Maka mulailah dia menggulung sebatang rokok
klinting. Baru saja dia menyalakan rokok itu, tiba-tiba berubahlah
parasnya. Di seberang jalan tampak empat orang berpakaian jubah putih
yang di bagian dadanya terpampang sulaman bunga teratai besar berwarna
merah darah. “Empat Teratai Darah……….” kata Sura Gandara dalam hati.
Rasa tak enak segera menyungkupi dirinya. Sekitar satu tahun yang lewat
empat manusia itu pernah datang ke rumah makannya. Kedatangan mereka
hanya membuat keonaran. Rumah makan waktu itu menjadi centang perenang
porak poranda akibat dipakai sebagai tempat perkelahian oleh Empat
Teratai Darah melawan musuhnya Empat Naga Hitam. Meskipun kali ini
Kedatangan mereka belum tentu akan berbuat keonaran lagi, namun tetap
saja Sura Gandara merasa cemas. Buktinya pagi-pagi sekali, selagi rumah
makan masih belum buka, mereka sudah muncul. Tentu ada apa-apanya. Sura Gandara tak bisa berpikir lebih panjang karena keempat orang itu sudah berdiri di hadapannya. Sura
menjura hormat. Dengan senyum yang dipaksakan dia berkata: “Satu
kehormatan lagi bahwa kalian orang-orang gagah sudi datang ke tempatku.
Sebenarnya rumah makan masih belum buka dan masih kotor. Jika
orang-orang gagah tidak keberatan dengan keadaan ini, Silahkan masuk.” Kakek-kakek
bermuka putih bernama Sumo Kebalen yang menjadi pemimpin Empat teratai
Darah anggukkan kepala sedikit lalu masuk diikuti ketiga adik
seperguruannya. “Suasana begini tak jadi apa,” kata Sumo Kebalen seraya duduk. “Yang penting cepat hidangkan makanan dan minuman yang lezat!” “Orang
gagah Sumo Kebalen. Jangan khawatir. Apa yang kau minta akan segera di
hidangkan,” jawab Sura Gandara. “Mungkin ini suatu kelancangan. Tapi
jika aku yang hina buruk ini boleh bertanya, gerangan apakah yang
membuat empat orang gagah muncul pagi-pagi begini di Jepara?” “Kami
tengah menunggu seseorang. Karenanya selagi kami makan kuharap kau
berdiri di depan pintu. Larang setiap orang yang mau masuk. Kecuali
orang yang kami tunggu itu ….” “Celaka, pasti akan terjadi lagi
keonaran di tempat ini,” keluh Sura Gandara ketika mendengar keterangan
Sumo Kebalen tadi. Namun dia masih kepingin tahu. Karenanya dia bertanya
kembali. “Maaf Sumo. Siapakah manusianya yang orang gagah tunggu ini?” “Seorang
lelaki bermata buta sebelah. Namanya Rangga Lelanang. Sudah. Kau jangan
banyak tanya Sura! Lekas hidangkan makanan. Kami sudah lapar!” “Baik,
baik….” Jawab Sura sambil manggut-manggut. Lalu dia berteriak memanggil
pelayan. Selesai memberi perintah, sesuai yang dikatakan Sumo Kebalen,
pemilik rumah makan ini kemudian pergi berdiri di pintu masuk,
berjaga-jaga. Orang kedua dalam Empat Teratai Darah adalah seorang
nenek-nenek berbadan tinggi kurus bernama Supit Inten. Nenek-nenek ini
merupakan saudara seperguruan Sumo Kebalen. Dalam dunia persilatan bukan
rahasia lagi bahwa kedua tokoh ini menjalani hidup bersama tanpa kawin
alias kumpul kebo. Orang ketiga dan keempat adalah dua gadis kembar
berbadan langsing. Paras mereka sebenarnya tidak begitu cantik. Tetapi
karena pandai memoles muka berhias berlebihan maka jadinya lumayan juga.
Gadis pertama bernama Inang Pini sedang adiknya Inang Resmi. Pada
dasarnya Empat Teratai Darah tidak dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh
silat golongan putih. Mereka seringkali diketahui bersekutu dengan
jago-jago golongan hitam. Dalam malang melintang di rimba persilatan
mereka tak pernah berpisah. Hari itu mereka datang ke rumah makan Sura
Gandara untuk menunggu Kedatangan seorang musuh bernama Rangga Lelanang,
yaitu kakek-kakek lihay yang pernah menghina almarhum guru mereka
sewaktu diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh silat golongan hitam di
puncak gunung Merapi dua tahun yang lalu. Tidak seorangpun dari Empat
Teratai Darah sebelumnya pernah melihat atau bertemu dengan Rangga
Lelanang. Namun ciri-ciri si kakek ini sudah mereka ketahui jelas dari
sang guru sebelum menutup mata delapan belas bulan yang lalu. Dengan
memakai seorang perantara Empat Teratai darah mengirimkan sepucuk surat
undangan kepada Rangga Lelanang guna datang ke rumah makan itu, untuk
menyelesaikan soal malu besar penghinaan tempo hari. Selagi Empat
Teratai Darah sedang asyik menyantap makanan lezat di atas meja, pada
saat itu pulalah Wiro Sableng dan si kakek mata picak bernama Lor Gambir
Seta sampai di tempat itu. Si kakek sebenarnya tak ingin singgah
karena ingin lekas-lekas sampai ke tempat tujuan. Tapi Wiro sudah tak
tahan lapar dan memaksa masuk ke rumah makan. Dengan jengkel si kakek
terpaksa mengikuti. Tetapi baru saja mereka sampai di depan pintu, Sura
Gandara sudah menyongsong dengan sikap menghadang. “Harap dimaafkan, rumah makan belum buka. Datang saja nanti kalau matahari sudah mulai naik,” berkata Sura Gandara. Wiro
Sableng melirik ke dalam rumah makan. Lalu menyeringai dan berkata:
“Kalau betul rumah makan ini belum buka kenapa kulihat ada empat kunyuk
sedang enak-enakan makan di dalam sana?!” Paras Sura Gandara berubah. Kalau saja ucapan Wiro tadi sempat terdengar oleh Empat Teratai Darah bisa berabe. “Orang muda, harap kau jangan bicara seenaknya. Empat orang itu adalah tamu-tamu istimewa…” “Hai,
tamu-tamu istimewa macam bagaimana?” tanya Wiro. “Kulihat mereka
biasa-biasa saja. Cuma mungkin memang sedikit aneh. Si kakek itu bermuka
putih seperti singkong rebus. Si nenek sudah peot tapi agak genit. Dua
gadis seperti topeng yang diberi pupur tebal….!” Si gemuk Sura Gandara maju dan mencekal kerah kemeja Wiro. “Gondrong! Jaga mulutmu kalau tak mau Celaka….” Lor
Gambir Seta menepuk bahu Wiro dan berkata agar mereka mencari rumah
makan lain saja. Tetapi pendekar kita tetap tak bergerak. Pemilik rumah
makan itu menjadi marah. Ketika dia hendak menampar, tiba-tiba
pandangannya lekat pada wajah Lor Gambir Seta yang bermata picak.
Agaknya manusia inilah musuh besar yang tengah di tunggu-tunggu Empat
Teratai Darah. Maka cepat-cepat dia melepaskan cekalannya dan membungkuk
dalam-dalam. “Mohon dimaafkan. Aku tidak melihat dalamnya laut tingginya gunung. Kalian berdua Silahkan masuk…” Wiro
tersenyum sedang Lor Gambir Seta kerenyitkan kening. Perubahan sikap
Sura Gandara yang tiba-tiba ini pasti ada apa-apanya. Namun dia tak bisa
berpikir panjang karena Wiro sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan
sambil bersiul-siul. Mendengar suara siulan, Empat Teratai Darah
yang asyik bersantap angkat kepala. Dua sosok tubuh tampak masuk
mengikuti pemilik rumah makan. Ketika melihat Lor Gambir Seta, Sumo
Kebalen serta merta hentikan makannya. Begitu juga tiga saudara
seperguruannya. “Orang yang kita tunggu telah datang,” bisik pemimpin Empat Teratai Darah itu. Sementara
itu Wiro serta Lor Gambir Seta telah mengambil tempat duduk di bagian
lain rumah makan. Ketika pelayan datang untuk melayani mereka tiba-tiba
Sumo Kebalen berseru: “Tak ada seorang tamu lain boleh dilayani tanpa
izinku!” Pelayan terkejut dan cepat-cepat masuk ketika dilihatnya Sumo Kebalen pelototkan mata. Wiro
Sableng pencongkan mulut dan batuk-batuk. Sementara orang tua bermata
picak duduk tenang-tenang saja, memandang keluar jendela. “Kakek, kau kenal empat kunyuk itu…?” bisik Wiro. Tanpa palingkan kepalanya dari jendela si kakek mata satu menjawab: “Mereka Empat Teratai Darah”. Wiro
manggut-manggut. Saat itu pandangannya membentur sebuah kaleng kosong
di dekat meja. Maka pendekar ini mulai bertingkah batuk-batuk,
mengeluarkan suara seperti orang mau muntah dan meludah beberapa kali ke
dalam kaleng itu. Sumo Kebalen tahu kalau apa yang dilakukan Wiro
itu tidak lain hanya untuk menghinanya. Wajahnya yang putih tampak
mengelam. Tanpa berdiri dari duduknya dia berkata: “Adik-adikku. Kurasa
terlalu banyak meja dan kursi malang melintang dalam ruangan ini. Coba
kalian tolong rapikan!” Dari tempat duduk masing-masing, Supit Inten,
Inang Pini dan Inang Resmi memukulkan telapak tangan ke arah meja dan
kursi yang ada disitu. Hebat sekali. Benda-benda itu berpentalan ke tepi
ruangan hingga bagian tengah rumah makan itu kini terbuka lapang. “Bagus!”
seru Sumo Kebalen. Lalu dia berdiri dan melangkah ke tengah ruangan.
Sambil bertolak pinggang dia memandang ke jurusan kakek mata picak yang
duduk di dekat Wiro. “Rangga Lelanang! Jangan kau pura-pura tidak tahu kami!” Wiro
berpaling pada Lor Gambir Seta. Orang jelas bicara padanya tapi si
kakek ini duduk tenang-tenang saja tanpa berpaling sedikitpun. Merasa
dianggap remeh tak diperdulikan, Sumo Kebalen melompat ke hadapan Wiro
dan Gambir Seta. Tangan kanannya menggebrak meja hingga hancur
berkeping-keping. Gilanya Lor Gambir Seta masih saja tak bergeming dari
tempat duduknya sementara Wiro mulai naik darah. Wiro menatap wajah
Sumo Kebalen sesaat lalu berkata: “Pangeran tua bermuka putih dari mana
yang pagi-pagi begini mengamuk di rumah makan orang? Kau kemasukan atau
mabuk tuak?!” Sepasang mata Sumo Kebalen seperti hendak melompat
keluar. Rahangnya menggembung. Wiro berdiri dari kursinya. Lor Gambir
Seta masih seperti tadi. Diam tak bergerak. Supit Inten dan dua gadis
kembar berdiri dari kursi masing-masing. "Bocah bau apek. Kau
menyingkirlah dari hadapanku. Sekali lagi kau berani buka mulut,
kubanting tubuhmu sampai melesak di lantai rumah makan ini!" Habis
berkata begitu Sumo Kebalen lalu gerakan tangan kirinya mendorong bahu
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dorongan itu kelihatannya biasa-biasa saja.
Tetapi nyatanya mengandung tenaga dalam dahsyat yang sanggup merobohkan
tembok batu Sumo Kebalen sengaja hendak memberi pelajaran pada pemuda
yang dianggapnya kurang ajar itu. Sekali dorong pasti si gondrong ini
mencelat mental. Tetapi betapa kagetnya manusia muka putih ini! Wiro
sudah maklum kalau dari getaran hawa yang keluar dari telapak tangan
Sumo Kebalen, orang itu bukan hanya sekedar mendorong biasa saja. Tapi
bermaksud hendak mencelakakannya! "Orang tua," kata Wiro seraya
menghadang tangan dengan tangan kirinya, "Kalau bicara tak usah pakai
pegang-pegang segala. Aku bukan perempuan!" Sesaat kemudian, telapak
tangan Pendekar 212 saling beradu dengan telapak tangan Sumo Kebalen.
Kagetlah kepala Empat Teratai Darah ini. Telapak tangannya terasa panas,
lengannya bergetar keras. Satu tenaga dorongan yang hebat membuat
tubuhnya terhuyung tiga langkah. Paras Sumo Kebalen membesi. Kalau tadi
dia hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya saja maka kini dia
lipatkan gandakan menjadi dua kali atau setengah dari seluruh kekuatan
tenaga dalam yang dimilikinya. Tapi celakanya malah kini dia dibuat
terjajar empat langkah! "Keparat!" maki Sumo Kebalen. Dia tak mau
dibuat malu dipecundangi seorang pemuda tak di kenal yang bertampang
gendeng. Maka kini dia alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Tapi untuk ketiga kalinya pimpinan Empat Teratai Darah ini tampak
terhuyung. Malah kini sampai enam langkah. Wiro telah kerahkan dua
pertiga tenaga dalamnya. Meski sadar kini kalau pemuda itu bukan
sembarangan namun Sumo Kebalen tetap membentak untuk menutup malunya:
"Bangsat! Apa kau muridnya manusia bernama Rangga Lelanang ini?!" Kalau
sang murid memiliki kepandaian yang begitu tinggi tentu sang guru lebih
hebat lagi. "Aku bukan muridnya!" jawab Wiro. "Nah, kau mau tanya apa lagi?!" Sumo Kebalen kini palingkan kepalanya pada kakek yang duduk di samping Wiro. "Tua
bangka mata picak! Jangan kau pura-pura tuli! Empat Teratai Darah
datang ke sini untuk membalas sakit hati penghinaan yang kau lakukan
terhadap guru kami dua tahun lalu di puncak Merapi!" Si orang tua
mata satu tetap tak bergerak atau memalingkan kepala. Mendidihlah amarah
Sumo Kebalen. Seumur hidup belum pernah dia di hina orang begitu rupa,
apalagi di hadapan adik-adik seperguruannya. "Edan!" maki Sumo Kebalen. Kaki kanannya bergerak menendang. "Kau makan kakiku ini Rangga Lelanang" Karena
tendangan kepala Empat Teratai Darah itu adalah tendangan maut, tentu
saja kali ini si kakek mata satu tak bisa berdiam diri lagi. Dengan
gerakan enteng tapi cepat dia melompat dari kursi. Tendangan menghantam
kursi yang tadi didudukinya hingga hancur berantakan. Ketika kembali
hendak mengejar, Sumo dapatkan si kakek mata satu sudah berdiri
menghadang gerakannya. Untuk pertama kali dia membuka mulut. "Sumo
Kebalen! Aku bukan Rangga Lelanang. Namaku Lor Gambir Seta. Aku sama
sekali tak ada urusan dengan kalian ataupun guru kalian. Atau juga
dengan nenek moyang kalian!" "Bangsat tua! Jangan dusta!" Sesosok tubuh
melompat ke hadapan Lor Gambir Seta. Inang Pini. Menyusul Inang Resmi
dan nenek-nenek bernama Supit Inten. "Kami yakin kaulah yang telah
menghina guru kami di puncak Merapi dua tahun lalu!" Lor Gambir Seta
tersenyum. "Gadis, parasmu cukup cantik. Tapi tidak berkesesuaian dengan
mulutmu yang kurang ajar! Aku jauh lebih tua darimu. Apa gurumu sebelum
mampus tidak pernah memberi pelajaran budi pekerti padamu?!" Inang Pini yang memang sudah dirasuk nafsu balas dendam menjawab dengan mencabut pedangnya. "Mulutku tak seberapa kurang ajarnya, mata picak! Pedangku justru lebih kurang ajar!" Habis
berkata begitu Inang Pini gerakkan pergelangan tangan kanannya dan mata
pedang berkiblat ganas ke arah batang leher Lor Gambir Seta. Si
kakek goleng-goleng kepala. "Bakatmu rupanya memang untuk jadi orang
kurang ajar. Jangan salahkan aku kalau terpaksa harus memberi
pelajaran!" Lor Gambir Seta bergerak sewaktu pedang lawan hanya
tinggal seperempat jengkal dari batang lehernya. Tubuhnya lenyap. Pedang
lawan menebas tempat kosong. Bersamaan dengan itu terdengar keluhan
Inang Pini. Gadis itu kini tampak tertegun kaku tak bisa bergerak lagi.
Satu totokan lihay telah bersarang di tubuhnya. "Bagus! Kau sudah beri pelajaran pada adikku mata picak! Kini aku yang ganti memberi pelajaran padamu!" Yang berseru adalah Supit Inten. Dia tutup ucapannya dengan satu pukulan mengemplang ke batok kepala Lor Gambir Seta. "Ah,
kau pun nenek sama saja tololnya dengan adikmu tadi! Biar aku sekalian
beri pelajaran padamu!" jawab Lor Gambir Seta. Tubuhnya berkelebat.
Tangannya bergerak dan terdengar keluhan Supit Inten. Detik itu pula
tubuhnya tampak kaku tegang seperti Inang Pini! "Ada lagi yang minta diberi pelajaran?!" tanya Lor Gambir Seta. Baru
saja orang tua ini berkata Inang Resmi datang menyerbu. Dia
menghantamkan kedua tangannya sekaligus. Dari telapak tangan kanan
melesat sinar merah sedang dari telapak tangan kiri menghambur dua lusin
senjata rahasia berbentuk paku rebana berwarna hitam. Senjata rahasia
ini sebelumnya telah di rendam dalam racun ular selama satu tahun. Siapa
saja yang terkena paku rebana ini pasti akan menemui kematian dalam
waktu satu jam! Menurut Sumo Kebalen, paling tidak enam dari dua
lusin senjata rahasia adik seperguruannya akan dapat menghantam tubuh
Lor Gambir Seta yang dianggapnya Rangga Lelanang itu. Memang dalam ilmu
melemparkan senjata rahasia Inang Resmi telah di gembleng khusus selama
tiga tahun dan merupakan yang terlihay di antara Empat Teratai Darah. Lor
Gambir Seta maklum kalau bahaya besar mengancamnya. Si gadis
benar-benar inginkan nyawanya. Sambil melompat dan berseru nyaring,
kakek itu pukulkan tangan kirinya. Dua lusin paku rebana hitam mencelat
ke atas, menancap pada langit-langit rumah makan yang terbuat dari
papan. Sinar merah yang tadi juga di lepaskan si gadis, mengenai tempat
kosong, terus melabrak dinding rumah makan hingga hancur berhamburan.
Sura Gandara, si pemilik rumah makan menyumpah panjang pendek dalam
hati. Hari itu bukan keuntungan yang didapatnya, malah bencana yang
merugikan! Inang Resmi gigit bibirnya. Dua lusin paku rebana tidak
berhasil. Dia akan coba tiga lusin sekaligus. Masakan tak ada yang dapat
menghantam tubuh lawan? Gadis ini sudah siap melepaskan senjata
rahasianya sebanyak tiga puluh enam buah ketika tiba-tiba dia terkesiap
karena dilihatnya lawannya lenyap dari hadapannya. "Bangsat tua, kau
bersembunyi di mana?!" bentak Inang Resmi. Tiba-tiba gadis ini mengeluh
pendek. Tubuhnya terhuyung ke depan lalu tak bergerak lagi. Punggungnya
dilanda totokan lihay. Membuat dia kaku tegang dengan masih menggenggam
tiga lusin paku rebana hitam. Ketua Empat Teratai Darah mengeluh
dalam hati. Tidak disangkanya kakek mata picak ini begitu lihaynya.
Namun menyerah tidak ada dalam kamusnya. "Rangga Lelanang! Kalau tidak ku bunuh kau hari ini biar aku mati bunuh diri!" teriak Sumo Kebalen. Si
kakek ganda tertawa. "Tak pernah kulihat manusia setololmu!" katanya.
Lalu dengan sikap tak perduli dia menarik sebuah kursi dan duduk
seenaknya. Sumo Kebalen menggereng. Lalu keluarkan suara bentakan
dahsyat. Seluruh bangunan rumah makan bergetar. Pemilik rumah makan yang
gemuk macam kerbau bunting itu ketakutan, apa lagi pelayan-pelayan. Lor
Gambir Seta melompat ke samping. Dinding di belakangnya hancur
berantakan. Sumo Kebalen potong gerakan lawan dengan satu tendangan ke
arah perut. Tetapi tendangan ini hanya tipuan belaka karena secepat
kilat dia susupkan satu jotosan ke pangkal leher lawan. Namun Lor Gambir
Seta agaknya memang bukan tandingan kakek muka putih ini. Sewaktu
tendangan lawan dilihatnya mengapung Lor Gambir Seta segera maklum kalau
serangan itu tipuan belaka. Kemudian ketika dilihatnya jotosan datang
dengan deras, si picak ini cepat tundukkan kepala dan sekaligus
menghantam paha kanan lawan dengan lututnya. Sumo Kebalen terpental. Dia
bergulingan di lantai lalu cepat tegak kembali. Namun belum sempat dia
mengimbangi diri satu totokan hinggap di dadanya, membuat dia kini kaku
tak berdaya. Empat Teratai Darah kini tertegak di tengah rumah makan
dalam keadaan kaku tegang tak bisa bergerak. Cukup lucu menyaksikan
keadaan mereka saat itu. Sumo Kebalen kerahkan tenaga dalamnya ke
dada untuk membuyarkan totokan. Tapi totokan itu bukan totokan
sembarangan. Kalau bukan Lor Gambir Seta sendiri yang memusnahkannya,
totokan itu baru lenyap setelah tiga jam. "Keparat kau Rangga
Lelanang! Pengecut!" maki Sumo Kebalen. "Lepaskan totokan ini. Mari kita
berkelahi sampai seribu jurus!" Lor Gambir Seta tidak perdulikan ucapan
orang, sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan mencibir ke arah
Sumo Kebalen. "Kambing muka putih," katanya. "Lagakmu hebat betul.
Hendak berkelahi seribu jurus. Nyatanya kau sudah jadi pecundang di
bawah sepuluh jurus!" Saking marahnya Sumo Kebalen lantas meludahi Wiro
Sableng. Meski sudah mengelak namun tampiasan air ludah masih sempat
memercik di muka pendekar ini. "Sialan. Benar-benar sialan!" maki Wiro.
Dibetotnya ujung jubah Sumo Kebalen hingga robek. Kakek muka putih ini
terbanting ke lantai dan memaki panjang pendek. Wiro seka ludah di
mukanya dengan robekan pakaian si kakek. Lalu robekan pakaian itu
diludahinya berulang-ulang, setelah itu dibuntalnya bulat-bulat dan
disumpalkannya ke mulut Sumo Kebalen hingga kakek ini megap-megap,
tercekik dan sulit bernapas. "Pendekar 212," kata Lor Gambir Seta,
"Kalau kau hendak mengisi perut cepatlah! Kita tak punya waktu banyak." Wiro
berteriak memanggil pelayan yang datang dengan ketakutan. Makanan dan
minuman yang di pesan segera di hidangkan. Wiro langsung menyantapnya.
Lalu dia ingat pada orang tua di sebelahnya. "Hai, kau tidak makan?" Yang ditanya menggeleng. "Kau saja yang makan. Dan cepat" Sementara
itu Supit Inten, Inang Pini dan Inang Resmi tidak hentinya berteriak
memaki-maki. Tapi baik Wiro maupun Lor Gambir Seta tidak perdulikan. "Rangga Lelanang!" teriak Supit Inten. "Aku bersumpah akan memisahkan kepala dan tubuhmu!" "Nenek-nenek tolol! Namanya bukan Rangga Lelanang, tapi Lor Gambir Seta!" jawab Wiro. "Rupanya si mata picak itu terlalu pengecut untuk mengakui namanya yang asli!" menukas Inang Resmi. "Kalian
bertiga perempuan-perempuan cerewet. Tak bisa diam! Mengganggu makanku
saja!" damprat Wiro. Lalu dari dalam mangkok sayur diambilnya tiga buah
melinjo dan dilemparkannya ke arah ke tiga perempuan itu. Langsung saja
ketiganya jadi terbungkam tak bisa bicara lagi! Sumo Kebalen yang
megap-megap di lantai jadi terbeliak. Kini disaksikannya sendiri,
nyatanya pemuda rambut gondrong yang dianggapnya tolol itu memiliki
kepandaian menotok yang luar biasa. Pasti ilmunya tidak kalah dari si
mata picak itu. Selesai makan Wiro melangkah mendekati Sumo Kebalen
dan memeriksa pakaian kakek muka putih ini. Dan kantong jubah sebelah
kanan Wiro menemukan beberapa keping uang emas dan perak. Wiro mengambil
sekeping uang perak menyodorkannya pada Sura Gandara. "ini pembayar
harga makanan dan minuman. Lebih dan cukup" Lalu diangsurkannya lagi
sekeping uang perak. "Dan ini untuk pembayar ganti kerusakan rumah
makanmu!" Si gemuk Sura Gandara yang tahu jelas dari mana asal uang itu tentu saja tidak berani menerimanya. "Hai, ambillah!" kata Wiro. "Aku tak berani, itu uang Sumo Kebalen. Nanti aku dihajarnya" jawab Sura Gandara. "Kalau
dia berani berbuat begitu, beritahu aku. Aku akan ganti menghajarnya!"
sahut Wiro pula. Lalu dua keping uang perak itu disusupkannya ke dalam
saku pakaian pemilik rumah makan. Sura Gandara merasa seolah-olah
mengantongi bara panas!
SANG
surya telah jauh menggelincir ke barat. Sinarnya yang sebelumnya putih
memerah dan memerihkan jagat kini telah berubah redup kekuning-kuningan.
Pada saat itu Wiro Sableng dan orang tua bermata satu sampai di sebuah
pedataran berumput liar. Di ujung pedataran menunggu sebuah hutan
belantara. Sejauh itu berjalan baik Wiro maupun si orang tua tak satu
pun pernah bicara. Wiro mengikuti saja si mata satu itu memasuki
rimba belantara. Setelah masuk sejauh perjalanan dua kali peminuman teh,
di pertengahan rimba nampak sebuah pondok kecil. Dinding dan atap
bangunan ini sudah bolong-bolong. Keadaan pondok reyot ini hanya
menunggu roboh saja lagi. Dugaan Wiro bahwa si kakek akan menuju ke
pondok tersebut tidak meleset. Pintu pondok mengeluarkan suara
berkereketan ketika dibuka. Kedua orang ini masuk dan si kakek
menutupkan pintu kembali. Wiro memandang berkeliling. Tak ada jendela
atau lobang angin. Lama-lama terasa pengap di dalam situ. Di mana-mana
abu menebar. Di sudut-sudut pondok tampak labah-labah membuat sarangnya. "Perlu apa kita masuk ke sini kalau cuma tegak dan membisu begini rupa?" tanya Wiro akhirnya kesal. Orang
tua itu tak menjawab. Dia berdiri tanpa bergerak dengan kepala setengah
mendongak. Kelihatannya dia seperti tengah memasang telinga
tajam-tajam. "Kita menunggu seseorang di sini?" tanya Wiro lagi. Tetap
tidak ada jawaban, ini menjengkelkan murid Sinto Gendeng. Ketika dia
hendak membuka mulut kembali tiba-tiba Lor Gambir Seta melangkah ke
salah satu sudut pondok. Dilihatnya orang tua ini menggerakkan jari-jari
tangannya, menekan salah satu bagian dari tiang pondok yang sudah lapuk
dimakan bubuk. Wiro terkejut dan hampir tak percaya ketika tiba-tiba
lantai pondok yang terbuat dari papan itu membuka di sebelah tengah dan
di bawahnya kelihatan sebuah tangga batu, menurun menuju sebuah gang. Lor
Gambir Seta melangkah menuruni tangga setelah terlebih dulu memberi
isyarat pada Wiro agar mengikuti. Melihat sikap si mata satu ini yang
terus-terusan terasa aneh, mau tak mau lama-lama pendekar kita jadi
curiga. Dia tak mau mengikut turun dan tetap di tempatnya. "Lekas masuk!" kata Lor Gambir Seta ketika dilihatnya Wiro tak bergerak. Wiro menggeleng. "Terus terang aku mulai curiga terhadapmu, orang tua!" "Curiga atau tidak lekas masuk. Aku tak punya waktu lama!" "Soal
waktu itu urusanmu. Cukup aku mengikutimu sampai di sini. Selamat
tinggal" Wiro putar tubuh dan siap melangkah keluar pondok. Namun ucapan
si kakek membuatnya kemudian batalkan niat. "Kau ingin melihat dunia
persilatan musnah di tangan manusia jahat itu? Kau ingin pembunuhan,
penculikan dan pemerkosaan berlangsung terus sampai kiamat? Hingga kelak
pada suatu ketika aku dan juga kau bakal menjadi korban keganasannya?" Wiro
jadi garuk-garuk kepala. Lalu menjawab: "Kakek aneh, kalau kau memang
punya maksud baik, kenapa kau terlalu banyak merahasiakan segala
sesuatunya padaku? Kau selalu menutup mulut. Tak pernah menjawab setiap
kutanya. Bukan mustahil kau memang Rangga Lelanang seperti yang
dikatakan oleh Empat Teratai Darah!" "Siapa diriku setiap orang boleh
menduga seribu cara seribu macam. Maksud baikku terhadap dunia
persilatan tak ada artinya. Tidak beda dengan setetes air yang
dicemplungkan ke dalam lautan. Kalau kau tak mau ikut aku, perduli
setan. Asal jangan kau nanti menyesal seumur hidup sampai ke liang
kubur!" Habis berkata begitu Lor Gambir Seta kembali menuruni tangga batu. Wiro bersiul, garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dari mulut gang sebelah bawah tangga batu menggema satu suara halus tapi amat jelas. "Pendekar 212 jangan terlalu banyak bercuriga. Kau berada di tengah-tengah orang-orang yang satu haluan…" "Heh…
siapa pula yang bicara itu?" tanya Wiro Sableng. Dilihatnya Lor Gambir
Seta terus melangkah menuruni tangga. Akhirnya pendekar kita melangkah
juga mengikuti kakek mata satu itu. Begitu sampai di anak tangga
terakhir, bagian atas lobang tertutup dengan sendirinya. Keadaan kini
jadi gelap gulita. Tapi Lor Gambir Seta melangkah cepat seperti dalam
terang saja, seolah-olah dia punya mata lebih dari satu! Wiro setengah
memaki tetapi juga penuh rasa ingin tahu mengikuti terus. Lorong itu
ternyata amat panjang. Akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah pintu
batu berwarna putih. Wiro berpikir-pikir siapa gerangan orang yang tadi
mengeluarkan suara halus tapi jelas itu. Pasti orangnya ada di belakang
pintu itu. Dan pastilah dia seorang manusia luar biasa karena sanggup
mengirimkan suara sedemikian jauh. Lor Gambir Seta mengetuk pintu
batu itu. Pintu bergeser ke samping secara aneh. Di belakang pintu
kelihatan sebuah lorong panjang diterangi lampu-lampu minyak. Keduanya
memasuki lorong. Pintu batu putih di belakang mereka menutup dengan
sendirinya. Pada ujung lorong muncul sebuah pintu batu yang kali ini
berwarna merah. Seperti tadi kembali Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu
ini tiga kali. Pintu terbuka. Di hadapan Wiro tampak sebuah ruangan
amat besar yang keseluruhan lantai, dinding dan langit-langitnya
tertutup permadani berbunga-bunga. Di ujung kamar terdapat sebuah
jendela. Jauh di belakang jendela tampak sebuah sungai dengan air terjun
yang tinggi. Segala sesuatunya di luar jendela itu adalah rimba
belantara yang tak pernah dijejaki manusia. Yang menarik perhatian
Wiro saat itu ialah dua orang yang berada di samping kanan ruangan
besar. Yang satu seorang kakek berbadan gemuk macam gentong, tetapi
mengenakan pakaian yang kekecilan. Orang ini berbaring melunjur di
atas sebuah kursi malas. Sebatang pipa terselip di sela bibirnya. Asap
pipa itu menaburkan bau yang tidak sedap. Di sebelah si gemuk
duduklah seorang tua berjanggut putih. Di pangkuannya terletak dua buah
bumbung tuak. Meskipun orang ini agak membelakang, tapi Wiro segera
mengenalinya. "Dewa Tuak!" Wiro berseru memanggil. Orang yang
dipanggil tidak berpaling, melainkan keluarkan suara tertawa bergelak,
lalu berkata: "Cepatlah masuk Wiro. Agar kita bisa lebih lekas berunding
mengatur rencana." Wiro kerenyitkan kening. Sesaat dia memandang
pada Lor Gambir Seta. Selagi si mata satu ini menutup pintu batu merah,
Wiro melangkah ke hadapan kakek janggut putih yang dipanggilnya Dewa
Tuak, lalu menjura dalam, dan juga menjura pada Si gemuk di kursi malas.
Menurut dugaan Wiro si gemuk inilah tadi yang telah mengirimkan suara
jarak jauh. "Duduk…" si gemuk mempersilahkan. Suaranya halus. Wiro
duduk di kursi yang terletak di samping Dewa Tuak sementara Lor Gambir
Seta mengambil kursi lain. "Guru, harap maafkan," kata Lor Gambir
Seta pada si gemuk yang menghisap pipa. "Dua bulan mencari baru aku
berhasil menemui pemuda ini." "Ah, ternyata si gemuk ini guru si picak," kata Wiro dalam hati. Si
gemuk menyedot pipanya dalam-dalam, lalu meniupkan asap tampak dia
membuka mulut. Wiro menyangka si gemuk ini hendak mulai bicara. Ternyata
dia menguap lebar-lebar dan lama sekali. "Jika satu jam saja kalian
terlambat, pasti aku sudah tidur lagi. Dan segala sesuatunya akan
percuma saja karena aku tak akan bangun dalam tempo enam kali bulan
purnama!" kata si gemuk pula. Suaranya halus dan sember. "Dapatkah kita mengatur rencana sekarang?” tanya Dewa Tuak sambil usap-usap bumbung tuaknya. Si gemuk untuk kedua kalinya menguap lebar dan panjang hingga matanya tampak berair. "Dewa
Tuak," Wiro menyeling. "Mohon dijelaskan dengan orang gagah dari
manakah saat ini aku berhadapan dan siapa nama atau gelarnya. Lalu
bagaimana pula kita sampai bisa bertemu di sini." "Semuanya telah diatur," memberitahu Lor Gambir Seta. "Ya, ya. Diatur untuk satu rencana besar," sambung Dewa Tuak. "Jelasnya rencana besar apa?" tanya Wiro kembali. Si
gemuk berdehem beberapa kali. "Aku akan terangkan anak muda. Aku akan
terangkan." Dia menoleh pada Dewa Tuak. "Coba terangkan dulu siapa aku
ini padanya…." Dewa Tuak mengangguk lalu berkata, "Wiro, saat ini
kita berada di tempat kediaman tokoh paling tua di dunia persilatan.
Umurku lebih dari delapan puluh tahun. Tapi si gemuk ini berusia dua
kali umurku…." "Buset!" terlompat kata-kata itu dari mulut Wiro
secara tak sengaja saking kagetnya. Menyadari ketidaksopanannya
buru-buru pemuda ini minta maaf. Dan Dewa Tuak melanjutkan
penjelasannya. "Dia tokoh silat paling tua. Juga paling gemuk. Beratnya
hampir dua setengah kwintal. Di samping itu dia mendapat cap sebagai
manusia paling malas di seluruh dunia karena sifatnya yang doyan tidur,
itu sebabnya dalam dunia persilatan dia diberi nama Si Raja Penidur!" Terbelalaklah
Wiro Sableng ketika mendengar siapa adanya si gemuk itu. Selagi di
gembleng di puncak gunung Gede oleh gurunya Eyang Sinto Gendeng, sang
guru pernah menerangkan bahwa satu-satunya manusia yang dianggap paling
tinggi ilmu kepandaiannya dalam dunia persilatan ialah seorang lelaki
gemuk bergelar Si Raja Penidur. Usianya sudah amat lanjut. Karena
sifatnya yang pemalas dan suka tidur, dia jarang muncul dalam rimba
parsilatan, karenanya kurang di kenal. Menurut Eyang Sinto Gendeng kalau
sekali Raja Penidur ini tidur maka tiga sampai empat bulan mungkin
belum bangun-bangun sekalipun gunung meletus dibawah ranjangnya. Kini
Wiro tahu itulah sebabnya Lor Gambir Seta selalu mendesak agar
cepat-cepat dalam perjalanan. Wiro benar-benar tidak menduga kalau hari
itu dia bakal bertemu muka dengan tokoh nomor satu itu. "Sekarang
soal rencana," kata Si Raja Penidur. Tapi ucapannya terputus karena
lagi-lagi menguap dan kucak-kucak mata. "Meskipun aku bisanya cuma tidur
dan malas-malasan di sini, tapi apa yang terjadi di dunia persilatan
tidak luput dari perhatianku. Beberapa tokoh silat berkunjung ke sini
tiga bulan lalu dan menerangkan semua kejadian di luar sana.
Kejadian-kejadian yang benar-benar menggegerkan, biadab terkutuk serta
tak mungkin dibiarkan lebih lama." Si gemuk ini berhenti sesaat untuk
menguap, baru meneruskan. "Menurut hematku hanya ada satu manusia
yang memiliki ilmu siluman dan mampu terbuat seperti itu yakin Datuk
Siluman dari Bukit Hantu. Maka kusuruh muridku Lor Gambir Seta untuk
melakukan penyelidikan. Siapa sebenarnya keparat biang bencana itu dan
di mana dia bercokol. Ternyata diketahui Datuk Siluman sudah mati.
Tertembus di bawah runtuhan rumahnya, atau dibunuh orang atau bunuh
diri. Ini memberi pengertian bahwa ada seorang lain yang jadi penimbul
malapetaka itu, dengan ilmu mirip sekali seperti yang di miliki Datuk
Siluman. Dan penyelidikan muridku ternyata tidak sia-sia…. Ah… aku
mengantuk. Tak tahan beratnya mata ini. Aku mau tidur…." "Guru!" berkata Lor Gambir Seta. "Jika kau tidur percumalah semua ini!" Si
Raja Penidur menguap, lalu mengulet dan geleng-gelengkan kepalanya
berulang kali untuk membuang kantuk. Setelah menyedot pipanya
dalam-dalam baru dia melanjutkan: "Bangsat penimbul malapetaka keji itu
bernama Sonya. Dia bercokol di sebuah goa yang bangunan dalamnya tidak
beda dengan tempatku ini. Goa itu terletak di Teluk Gonggo!" Si gemuk
kembali menguap. "Sonya memiliki ilmu siluman yang luar biasa. Mungkin
dia bukan murid Datuk Siluman karena sejauh kuketahui Datuk Siluman
tidak punya murid. Tetapi tidak bisa tidak manusia biadab ini pasti
memiliki hubungan dengan Datuk Siluman. Ilmu hitamnya lebih tinggi dari
langit, lebih dalam dari lautan. Dan celakanya dia tidak bisa mati,
tidak bisa dibunuh!" Wiro batuk-batuk lalu berkata: "Raja Penidur,
aku tolol ini mohon penjelasanmu. Bagaimana ada manusia yang tidak dapat
dibunuh, tidak bisa mati! Setiap makhluk hidup pasti mati. Itu hukum
Yang Kuasa!" Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta tersenyum. Rupanya kedua orang ini sudah tahu banyak tentang manusia bernama Sonya itu. "Apa
yang kau katakan itu memang benar, orang muda," jawab Raja Penidur.
"Tapi Sonya bukan manusia biasa lagi, tak dapat disebutkan manusia. Dia
malah sudah melebihi siluman. Dan hanya akan mati bila kita mengetahui
titik kelemahannya atau pantangannya. Kabarnya dia punya dua pantangan.
Aku cuma tahu satu, sialan betul!" Raja Penidur kembali menguap. Dia
memandang pada Lor Gambir Seta dan berkata: "Muridku, jelaskan padanya
pantangan itu." Lor Gambir Seta mengangguk. "Ketinggian ilmu
kesaktian dan kehebatan ilmu kebal manusia siluman ini akan punah
bilamana tubuhnya terkena air hujan." Wiro garuk-garuk kepala sedang Dewa Tuak kerenyitkan kening sambil usap-usap janggutnya yang putih. "Aneh dan hampir tak masuk akal…" kata Dewa Tuak. "Memang setiap ilmu siluman selalu diselimuti keanehan," kata Lor Gambir Seta. Raja
Penidur menyambung. "Rasanya Sonya tidak sendirian. Selain memelihara
puluhan perempuan culikan, dia juga dikelilingi oleh tokoh-tokoh silat
baik dari golongan putih maupun hitam. Mereka menjadi budaknya di luar
sadar. Perempuan-perempuan malang itu harus diselamatkan. Juga
tokoh-tokoh silat golongan putih. Terhadap mereka dari golongan hitam
kalian tak usah ragu-ragu bertindak. Jika selama ini mereka sukar diatur
dan sulit dibasmi, kali ini kalian punya kesempatan untuk turun tangan.
Persoalannya kuserahkan pada kalian bertiga…." "Raja Penidur,"
berkata Wiro. "Kau bilang persoalannya kini pada kami bertiga. Jika
tokoh-tokoh silat kawakan sebelumnya tak berhasil membekuk manusia
siluman itu, bagaimana mungkin aku yang masih hijau ini bisa turun
tangan?" Si gemuk tertawa mengekeh. "Jangan terlalu merendahkan diri
orang muda. Siapa yang tidak tahu Sinto Gendeng? Siapa yang tidak pernah
dengar muridnya yang berjuluk Pendekar 212? Aku yakin kalian bertiga
bisa bekerjasama membantai manusia siluman terus lagi pula ingat akan
satu ujar-ujar. Kapal besar belum tentu tenggelam oleh ombak besar.
Tetapi mungkin tenggelam oleh bocor kecil. Dewa Tuak, ingat, kau
bertugas membawa air hujan dalam bumbung bambumu itu!" Dewa Tuak
usap-usap bumbung bambunya. "Ah, malang nian nasibku kali ini. Agaknya
aku terpaksa puasa minum tuak selama menjalankan tugas ini!" "Lor
Gambir Seta, kau punya tugas menyelamatkan tokoh-tokoh golongan putih
yang disekap di Teluk Gonggo. Dan Wiro, kau berkewajiban membasmi mereka
yang dari golongan hitam!" "Lalu bagaimana dengan
perempuan-perempuan yang puluhan itu dan kabarnya cantik-cantik? Siapa
yang dapat tugas menyelamatkan?" tanya Wiro. Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Lor Gambir Seta senyum-senyum sedang Si Raja Penidur kembali menguap. "Mereka sudah barang tentu harus diselamatkan. Aku percaya kau bisa mengaturnya Wiro," jawab Si Raja Penidur kemudian. "Kau sendiri tidak ambil bagian dalam tugas besar ini?” "Aku…?"
ujar Raja Penidur ketika mendengar pertanyaan Wiro itu. Dihembuskannya
asap pipanya jauh-jauh. "Perlu apa aku turun tangan mencapaikan diri.
Lebih enak tidur di sini!" Dia menguap kembali. "Kalian saksikan
sendiri," kata Lor Gambir Seta sambil menggoyangkan kepala ke arah
gurunya yang sudah pulas. "Baru delapan minggu yang lalu dia bangun
setelah tidur selama empat bulan. Dan kini sudah pulas lagi. Untung kita
lekas sampai di sini. Kalau tidak berarti dunia persilatan akan terus
tenggelam dalam malapetaka sampai beberapa bulan dimuka!" Wiro hanya garuk-garuk kepala. Telah banyak dilihatnya tokoh-tokoh silat bersifat aneh. Tapi si gemuk satu ini nomor satu aneh!
ANGIN
bertiup kencang, memapasi lari tiga ekor kuda yang dipacu menuju ke
utara. Dari debu yang melekat di tubuh kuda serta para penunggangnya
nyata bahwa mereka telah menempuh perjalanan jauh. Sekeluarnya dari
rimba belantara mereka memasuki daerah berpasir yang ditumbuhi pohon
kelapa. Orang-orang ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, Lor Gambir
Seta dan Dewa Tuak. Mereka menghentikan kuda masing-masing di ujung
bukit pasir yang terjal. "Kita berhenti di sini. Perjalanan
dilanjutkan dengan jalan kaki," kata Lor Gambir Seta seraya melompat
turun dari punggung kuda, diikuti dua orang lainnya. "Tapi ada
beberapa hal penting yang harus kuterangkan pada kalian. Sonya manusia
siluman berhati iblis itu memiliki ilmu-ilmu luar biasa. Tiga di
antaranya amat berbahaya. Pertama yang disebut Cakar Siluman. Karenanya
dalam menghadapinya nanti jangan terlalu dekat. Ilmunya yang kedua
bernama Asap Jalur Penidur. Jika seseorang sampai terlingkar oleh asap
tersebut pasti akan menjadi lemah dan jatuh tidur, ilmu ketiga, ini yang
paling berbahaya ialah Asap Tenung Siluman. Siapa yang sampai
menciumnya pasti berubah jalan pikirannya dan merasa bahwa dia adalah
budak atau hamba sahaya Sonya. Dengan demikian Sonya bisa menyuruhnya
berbuat apa saja! Karenanya begitu berhadapan dengan manusia siluman itu
harus dapat menyiramkan air pantangan berupa air hujan ke tubuhnya!" Setelah
memandang berkeliling sejenak Lor Gambir Seta memberi isyarat untuk
meneruskan perjalanan. Pada saat dia dan Wiro mulai melangkah, di
sebelah belakang Dewa Tuak keluarkan dua buli-buli kecil dari balik
pakaiannya. Seperti telah diketahui, karena dua bumbung bambu yang
dibawanya kini di isi air hujan maka dia terpaksa membawa tuak
kegemarannya di dalam buli-buli tersebut. Dibukanya tutup buli-buli lalu
mendongak dan mulai meneguk minuman itu. Tiba-tiba Dewa Tuak
turunkan buli-bulinya dan menyemburkan air minuman dalam mulutnya ke
depan. Delapan buah pisau terbang yang meluncur ke arah Lor Gambir Seta
dan Wiro Sableng runtuh ke tanah. "Bangsat! Siapa yang berani
membokong!" bentak Dewa Tuak. Wiro dan Lor Gambir Seta terkejut, cepat
berpaling dan baru menyadari bahwa keduanya baru saja diselamatkan oleh
kakek janggut putih itu. "Pisau itu melesat dari arah bawah tebing
pasir! Pasti pembokong itu ada di sana" kata Dewa Tuak. Buli-buli
tuaknya di simpan lalu dia melompat ke bawah bukit pasir, diikuti Wiro
dan Lor Gambir Seta. Selagi ketiganya melayang di udara. Tiga lusin pisau terbang menderu lagi ke arah mereka. "Keparat!"
maki Wiro. Tangan kanannya dlpukulkan ke depan. Lor Gambir Seta dan
Dewa Tuak juga dorongkan telapak tangan kanan. Tiga puluh enam pisau
maut itu mental, jatuh ke pasir. "Bangsat! Lekas keluar dari balik
batu" teriak Wiro. Dia melihat jelas, serangan pisau itu keluar dari
balik sebuah batu besar. Ketika ditunggu tak ada yang keluar, Wiro
lepaskan pukulan "Kunyuk Melempar Buah". Satu gumpal angin keras laksana
batu karang menghantam batu besar itu dengan dahsyatnya hingga hancur
berantakan. Di saat itu pula terdengar suara jeritan. Di balik batu
besar yang telah hancur tampak tiga lelaki bermuka hitam. Yang satu
menggeletak dengan dada hancur. Dua lainnya masih untung hanya menderita
luka dalam. Setelah terhuyung sesaat, keduanya lantas cabut senjata dan
menyerbu ke arah Wiro dan kawan-kawan. "Mereka pasti budak-budak
Sonya" seru Lor Gambir Seta dan berkelebat menotok lawan yang
menyerangnya. Sebaliknya Wiro tak memberi ampun. Orang yang coba
menebaskan senjatanya ke lehernya dihantam di bagian dada dengan jotosan
tangan kiri hingga muntah darah dan terkapar di pasir. "Muka hitam!"
sentak Lor Gambir Seta seraya menjambak rambut orang yang berhasil
ditotoknya. "Sebelum kau jadi budak manusia siluman bernama Sonya,
apakah kau dari golongan hitam atau putih?!" "Apa perdulimu, mata picak?!" jawab si muka hitam. Lor
Gambir Seta menggereng. Dewa Tuak membisikkan sesuatu kepadanya. Lor
Gambir Seta lalu berkata: "Nyawamu kuampuni. Tapi lekas beri tahu di
mana sarangnya Sonya I" Si muka hitam tertawa. "Baik, tapi lepaskan dulu totokanmu!" Tanpa
curiga Lor Gambir Seta lepaskan totokan di tubuh si muka hitam. Tetapi
begitu totokannya terlepas secepat kilat si muka hitam hantamkan
tinjunya ke batok kepala sendiri! Dia menggeletak mati dengan kepala
rengkah. "Kalian saksikan sendiri!" ujar kakek mata picak itu antara
terkesiap dan juga penasaran. "Dia sudah menjadi kerbau yang sangat,
patuh pada Sonya. Lebih suka bunuh diri dari pada berkhianat!" Ketiganya
lalu melanjutkan perjalanan menempuh pedataran pasir penuh pohon
kelapa. Selang beberapa lama mereka sampai di tepi pantai berbentuk
cekung setengah lingkaran. Angin laut bertiup lembut dan air laut tampak
tenang. Burung elang beterbangan di udara. Pemandangan di sini indah
sekali. Inilah Teluk Gonggo. Di sini pulalah manusia siluman Sonya
membuat markasnya. Tapi di sebelah mana? Ketiga orang itu bergerak
dengan hati-hati. Bukan mustahil mereka bakal mendapat
rintangan-rintangan maut lainnya dari budak-budaknya Sonya. Mereka
mendekati daerah berbatu-batu di bagian teluk sebelah kanan. Biasanya di
tempat seperti Ku terdapat lobang atau celah yang dijadikan pintu
masuk. Di bagian yang menghadap ke laut, mereka tidak menemukan apa-apa.
Ketiganya berputar menyelidiki bagian belakang bebukitan batu ini. "Hai,
itu ada lobang!" Wiro tiba-tiba berseru dan menunjuk pada sebuah lobang
di sela-sela dua batu besar. Ketiganya segera menuju ke situ. Ternyata
mulut lobang tertutup oleh satu sarang gonggo (labah-labah) yang luar
biasa besarnya. "Lobang buntu. Tak mungkin ada yang memakai sebagai jalan masuk!" kata Wiro garuk-garuk kepala. "Celaka!
Perangkap setan apa pula ini!" kata Lor Gambir Seta. Tubuhnya dan juga
tubuh Wiro sudah terhisap sampai sebatas pinggul. Melihat kedua kawannya itu menghadapi bahaya besar Dewa Tuak cepat keluarkan benang sutra putih saktinya yang selalu dibawanya. "Bertahanlah!
Lihat benangku ini!" seru Dewa Tuak. Benang itu meluncur ke bawah
langsung melibat pinggang serta dada Wiro dan si kakek. Untuk dapat
menarik keduanya dari hisapan pasir maut itu Dewa Tuak kerahkan seluruh
tenaga luar dan dalam. Sekali sentak, tubuh Wiro dan Lor Gambir Seta
berhasil di tarik keluar. "Kurang ajar! Licik!" maki Wiro begitu selamat. "Dewa
Tuak, dua kali kau menyelamatkan jiwa kami. Kami menghaturkan terima
kasih," kata Lor Gambir Seta sementara Wiro cengar-cengir. Dewa Tuak angkat bahu dan menjawab: "Bukan saatnya kita berbasa basi dengan segala peradatan! Lor Gambir Seta menghela nafas panjang. Dia memandang ke lobang batu yang ada sarang gonggonya. "Aku yakin, inilah pintu masuk ke sarangnya Sonya." "Tapi ada serang gonggonya begitu, mana mungkin?" ujar Wiro. "itu
bukan sembarang gonggo. Aku akan buktikan," kata Lor Gambir Seta.
Diikuti oleh kedua orang itu dia menghampiri mulut lobang. Membaui
manusia di dekatnya, gonggo besar itu mulai menggerakkan kaki-kakinya.
Pandangan matanya membuas dan dari mulutnya keluar sebentuk lidah aneh
bercabang dua berwarna hijau berkilat-kilat tanda mengandung racun
jahat. Lor Gambir Seta mengambil sehelai sapu tangan. Benda ini di
buntalnya lalu dilemparkan ke serang gonggo. Secepat kilat binatang ini
menyambar dan menghancur luluhkannya. Wiro membungkuk mengambil
sebuah batu sebesar setengah kepalan. Batu ini dilemparkannya ke sarang
gonggo. Seperti sapu tangan tadi, batu ini pun di lumat hancur oleh
gonggo itu dalam waktu singkat! Mata Pendekar 212 membeliak menyaksikan
hal ini. "Hebat…! Hebat!" kata Dewa Tuak. "Aku mau tahu apakah
binatang ini doyan tuakku!" Lalu diteguknya tuak dalam buli-buli. Tiga
teguk berturut-turut. Tegukan pertama dan kedua ditelannya. Tegukan
ketiga tetap dalam mulut dendengan mengerahkan tenaga dalam tuak itu
disemburkannya ke arah gonggo di lobang batu. Kepala binatang itu
hancur. Tubuhnya remuk berkeping-keping. Kaki-kakinya menggelepar dan
putus-putus. Sarangnya musnah. Sesaat kemudian terjadilah hal yang aneh.
Baik gonggo maupun sarangnya berubah menjadi asap hitam untuk kemudian
musnah tak berbekas. "Gonggo siluman!" desis Wiro. Lor Gambir Seta
memberi isyarat. Ketiganya segera menyelinap ke dalam lobang dengan
sangat hati-hati. Ternyata lobang itu tidak seberapa dalam. Langkah
mereka terhenti oleh sebuah pintu papan. "Awas, kurasa ini pintu siluman dengan berbagai senjata rahasia," kata Dewa Tuak memperingatkan. Lor Gambir Seta mengangguk. Dia memberi tanda agar kedua orang itu bertiarap. Lalu tangan kanannya di pukulkan ke depan. "Braak!" Pintu
papan hancur berantakan. Dikejap itu pula beralur lima puluh batang
golok terbang di atas tubuh ketiga orang yang bertiarap itu. Begitu
senjata-senjata maut itu lewat, ketiga orang tersebut cepat melompat dan
menerobos masuk lewat pintu yang hancur. Mereka sampai ke sebuah
ruangan besar yang penuh dengan puluhan manusia. Di hadapan mereka
berdiri kira-kira dua puluh orang lelaki dan setengah lusin perempuan
yang kesemuanya bermuka hitam. Mereka adalah tokoh-tokoh silat golongan
putih dan hitam yang telah diculik dan di jadi kan budak oleh Sonya.
Dengan muka hitam begitu rupa sulit bagi Wiro dan kawan-kawan untuk
mengenali mereka. Ini berarti mereka tidak mengetahui yang mana tokoh
golongan hitam dan mana tokoh golongan putih yang harus mereka
selamatkan. Di belakang jejeran orang-orang Itu, di satu lantai yang
agak tinggi, duduklah seorang lelaki berusia setengah abad, berwajah
luar biasa seramnya. Rambutnya awut-awutan, kumis dan cambang bawuk
tidak terurus. Sepasang matanya menyorot ganas. Dia mengenakan pakaian
buruk dekil penuh tambalan. Tubuh dan pakaiannya ini menebar bau yang
sangat busuk! Di sekeliling si bau busuk ini, duduk bersimpuh lima
belas orang perempuan. Karena muka mereka tidak hitam maka dapat di
saksikan bahwa mereka semua adalah gadis-gadis berwajah cantik. Dan yang
membuat Pendekar 212 jadi sesak nafas sedang Dewa Tuak serta Lor Gambir
Seta menjadi jengah ialah bahwa kelima belas gadis itu tak satu pun
mengenakan pakaian alias bertelanjang bulat! Dari balik sebuah
ruangan tiba-tiba muncul seorang gadis yang parasnya cantik di antara
semua gadis di ruangan itu. Dia melangkah tanpa pakaian menghampiri
lelaki berpakaian buruk dekil itu dan langsung duduk di pangkuannya. "Gila betul!" kata Wiro dalam hati. Gadis
itu bukan lain adalah Dwiyana, murid Akik Mapel. Akik Mapel sendiri
saat itu duduk di sudut ruangan bersama yang lain-lainnya. Mereka siap
menyerbu tiga orang yang baru datang itu, hanya menunggu perintah
majikan mereka. Lor Gambir Seta berbisik pada Wiro dan Dewa Tuak:
"Keparat yang berpakaian rombeng busuk Sonya yang harus kita lenyapkan.
Kita harus bertindak cepat!" Sebelum ketiga orang ini bergerak
tiba-tiba di antara orang banyak menyeruak empat manusia bermuka hitam.
Satu laki-laki dan tiga perempuan. Meski tidak dapat mengenali wajah
mereka tetapi dari jubah putih berbunga teratai merah yang mereka
kenakan, Wiro Sableng serta Lor Gambir Seta segera mengetahui bahwa
keempat orang ini bukan lain adalah Empat Teratai Darah yang beberapa
hari lalu pernah bentrokan dengan mereka di sebuah rumah makan.
Bagaimana keempat orang ini tahu-tahu sudah berada di sarangnya Sonya? Tiga
jam setelah ditotok oleh Lor Gambir Seta, totokan di tubuh Empat
Teratai Darah punah dengan sendirinya. Penuh rasa dendam, keempatnya
bermaksud untuk menemui seorang tokoh silat golongan hitam guna minta
bantuan. Dalam perjalanan itulah mereka berpapasan dengan Sonya.
Mengetahui bahwa Empat Teratai Darah merupakan kelompok berkepandaian
tinggi dan cukup terkenal dalam dunia persilatan maka Sonya segera
menyerang mereka dengan asap tenung siluman. Dalam keadaan tak sadar
keempat orang itu kemudian dibawanya ke Teluk Gonggo. "Rangga
Lelanang! Dan kau pemuda gondrong sedeng" membentak kepala Empat Teratai
Darah yakni Sumo Kebalen. "Dicari-cari tidak ketemu. Akhirnya hari ini
kalian datang mengantar nyawa!" "Hai! Kau rupanya “sahut Wiro seraya mencibir. "Kalau
aku tidak salah dulu mukamu putih macam kain kafan. Sekarang kenapa
berubah jadi pantat dandang?!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak dan
diam-diam tangan kanannya meraba gagang Kapak Maut Naga Geni 212 yang
tersembunyi di balik pakaiannya. Di sampingnya Dewa Tuak keluarkan
buli-bulinya dan "gluk-gluk-gluk”, dia meneguk minuman itu seenaknya
seolah-olah sedang berada di tempat perjamuan. Lor Gambir Seta sendiri
sejak tadi sudah siapkan pukulan tangan kosong di tangan kiri sedang di
tangan kanannya kini tergenggam sebuah senjata aneh yakni sebuah tanduk
kerbau yang amat besar dan runcing salah satu ujungnya. "Pendekar
212” bisik Lor Gambir Seta. "Ingat, kita harus bertindak cepat.
Musuh-musuh golongan hitam harus disingkirkan dulu sebelum Sonya turun
tangan." Wiro mengangguk. Sumo Kebalen menggereng marah mendengar
ucapan Wiro tadi. Dia melompat diikuti tiga adik seperguruannya. Wiro
dan Lor Gambir Seta siap menyongsong. Wiro cabut senjatanya. Sinar
putih berkiblat ketika Kapak Maut Naga Geni 212 mulai beraksi. Terdengar
suara mengaung laksana seribu tawon mengamuk. Dilain kejap Empat
Teratai Darah sudah menggeletak di lantai. Mereka menemui ajal tanpa
mengeluarkan sedikit suara pun saking cepatnya sambaran senjata Wiro.
Dan mereka tidak pernah tahu senjata apa yang telah menamatkan riwayat
mereka. Lor Gambir Seta tertegun melihat gebrakan kilat yang dibuat
Wiro. Orang tua mata satu ini sudah sejak lama mendengar kehebatan
pendekar gondrong ini, tapi baru hari ini dia menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Jika saja bukan di tempat itu terjadinya, pastilah dia
akan berseru memuji. Sementara itu Dewa Tuak yang sudah tahu banyak
tentang Wiro tertawa gelak-gelak dan teguk tuaknya. Begitu suara tawanya
lenyap tempat itu telah berubah jadi kacau balau. Gadis-gadis yang
telanjang berpekikan, lelaki-lelaki bermuka hitam menggembor marah. Sonya
bertepuk tiga kali dan berteriak: "Hamba Sahayaku! Bunuh tiga bangsat
pangacau itu!" Laksana air bah orang-orang bermuka hitam serta merta
menyerbu. Dewa Tuak semburkan tuak dari mulutnya. Dua orang penyerang
berteriak roboh dengan tubuh bergelimpangan darah. Teman-temannya yang
berhasil menyelamatkan diri segera mengeroyok Dewa Tuak. Tokoh silat
berusia 80 tahun ini putar kedua bumbung bambunya. Tiga orang musuh lagi
terjelepak oleh serangan yang tidak mereka duga ini. Baik Wiro
maupun Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta tidak dapat mengetahui mana para
penyerang yang berasal dari golongan hitam dan mana dari golongan putih.
Karenanya sebelum pertempuran berlangsung lebih jauh Lor Gambir Seta
berteriak: "Manusia-manusia muka hitam berasal dari golongan putih
dengar. Kami tidak mau kesalahan tangan. Lekas mundur, selamatkan diri
kalian!" Tapi otak manusia-manusia golongan putih itu telah terjebak
dalam Ilmu siluman Sonya hingga tak satu dari mereka yang ambil peduli
dan mendengar perintah itu. Dewa Tuak menyemburkan tuaknya terus
menerus. Tabung bambu dihantamkannya kian kemari. Selagi musuh
menghindar Dewa Tuak pergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sonya. Sonya
melompat ke samping kiri. Matanya tidak lepas pada genangan air di
lantai. Dari tempat yang dirasakannya aman, dia keluarkan ilmu
silumannya yang bernama "Asap Jalur Penidur. Asap kecil hitam melesat
bergulung-gulung, melejit ke arah Dewa Tuak, Lor Gambir Seta dan Wiro
Sableng. "Lekas menyingkir" teriak Lor Gambir Seta.
SAMBIL
berteriak Lor Gambir Seta melompat keluar menjauhi kalangan
pertempuran. Dalam mundur menjauh ini dia sempat menotok dua lawan
bermuka hitam yang menurut dugaannya adalah dari golongan putih. Pendekar
212 babatkan kapak saktinya ke depan. Asap siluman yang menyerbunya
terpental dan buyar hingga dia selamat dari malapetaka. Lain halnya
dengan Dewa Tuak. Tokoh kawakan ini hantamkan tangan kirinya ke atas.
Asap hitam buyar namun dari samping membalik kembali dan menyerbu ke
arahnya! "Celaka!" keluh Dewa Tuak ketika dirasakannya kepalanya
mendadak pusing dan sepasang matanya menjadi berat laksana dicantoli
batu Dia menahan nafas dan kerahkan tenaga dalam. Lututnya goyah dan
tubuhnya mulai menghuyung. Namun dia masih sanggup bertahan dengan
menutup seluruh inderanya. Melihat Dewa Tuak dalam bahaya Wiro segera
bertindak cepat. Didahului teriakan menggelegar murid Eyang Sinto
Gendeng ini berkelebat. Tiga orang terjungkal. Dua bobol perutnya, satu
lagi hampir tanggal lehernya. Selagi tubuhnya mengapung di udara, Wiro
lepaskan pukulan sinar matahari yang panas dan menyilaukan. Asap siluman
yang hampir menguasai Dewa Tuak musnah. Dewa Tuak sendiri terpental dan
jadi kalang kabut ketika sebagian janggut putihnya terbakar oleh
pukulan sinar matahari. "Gila! Edan! Ooala” teriak Dewa Tuak dan cepat padamkan janggutnya yang terbakar. "Kurang
ajar!" kutuk Sonya geram. Sedang matanya membersitkan sinar maut. Tak
dapat dipercayanya kalau hari itu semua asap-asap ilmu silumannya dapat
di musnahkan lawan, satu hal yang tak pernah kejadian sebelumnya. Sonya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara lalu kedua telapak tangannya disatukan dan saling digesek. “Gorda! Keluarlah! Bunuh pemuda berambut gondrong itu!" Serangkum
asap hitam keluar dari celah kedua telapak tangan manusia siluman itu
mengeluarkan suara mendesis. Asap itu kemudian berubah menjadi sesosok
makhluk yang luar biasa seram dan besarnya. Kepalanya menyondok
langit-langit ruangan yang tingginya hampir tiga meter itu. Sepasang
matanya yang merah hampir sebesar buah kelapa. Mulutnya menyeringai
memperlihatkan barisan gigi-gigi raksasa. Dia melangkah mendekati Wiro.
Setiap langkah yang dibuatnya menggoyangkan lantai ruangan! Tiba-tiba
makhluk bernama Gorda ini ulurkan kedua tangannya yang besar dan
panjang, berbulu dan berkuku runcing. Wiro meskipun agak tergetar tapi
cepat babatkan Kapak Naga Geni 212. Didahului sinar putih perak, senjata
mustika itu membabat salah satu tangan Gorda. Makhluk ini menggerung
dan melangkah mundur. Tangan kirinya hampir putus dan anehnya
mengeluarkan darah seperti darah manusia. Menyadari bahwa senjatanya
hanya mampu menciderai lawan maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera
menggenjot tubuhnya dan melayang ke udara. Sekali lagi Kapak Maut Naga
Geni 212 berkilat. "Craass!" Terdengar seperti suara ratusan
srigala melolong serentak. Kepala makhluk siluman itu menggelinding.
Darah bergenangan. Namun sesaat kemudian sosok tubuh siluman itu lenyap.
Darahnya yang membasahi lantai pun ikut lenyap tiada bekas! Sonya
terkesiap melihat apa yang terjadi hingga dia lengah ketika Pendekar 212
Wiro Sableng kini menerjang ke arahnya dan membacokkan Kapak Maut Naga
Geni 212. Sonya tak punya kesempatan untuk mengelak. Senjata warisan
Eyang Sinto Gendeng itu mendarat di dadanya dan "trang!" Terdengar bunyi
keras. Tubuh Sonya tak bergerak sedikit pun. Kapak Naga Geni 212
laksana menghantam dinding baja yang maha atos. Inilah untuk pertama
kalinya senjata mustika sakti itu tidak mempan menghadapi kehebatan ilmu
kebal siluman yang di miliki Sonya. Dewa Tuak dan Lor Gambir terbeliak. Saking
kagetnya Wiro sampai lupa penjagaan dirinya. Dia. terkesiap dengan
mulut ternganga. Justru saat itulah Sonya melompatinya dengan tangan
kanan lancarkan serangan "Cakar Siluman yang sudah sama diketahui
kehebatannya. Jangankan tubuh manusia, tembok besi pun pasti hancur
dibuatnya. Kini Pendekar 212 lah yang tidak punya kesempatan untuk
selamatkan diri. Satu detik lagi muka Wiro Sableng akan hancur remuk
diremas cakaran siluman itu, tiba-tiba dari samping menderu air hujan
yang disemburkan Dewa Tuak! Ketika air hujan itu menyirami tubuhnya,
terdengar suara seperti air disiramkan di atas bara panas. Pakaiannya
melepuh, kulit dan dagingnya mengelupas matang mengepulkan asap dan
mengumbar bau menjijikkan! Dewa Tuak semburkan sekali lagi air hujan
dalam mulutnya. Tubuh Sonya bergetar hebat. Mukanya yang angker
kelihatan seperti membesar. Pipinya menggembung dan mulutnya tertutup
rapat-rapat. Tiba-tiba mulut itu membuka dan terdengarlah jeritannya
yang mengerikan sepasang matanya membeliak. Dia lari bangun jatuh
seputar ruangan, kadang-kadang bergulingan. Orang-orang bermuka hitam
yang keseluruhannya telah ditotok oleh Lor Gambir Seta tampak berdiri
gelisah. Sementara dari ruangan sebelah di mana gadis-gadis cantik tadi
berkumpul, terdengar suara mereka memekik aneh. "Lekas kau selesaikan manusia siluman itu Wiro!" kata Lor Gambir Seta. Pendekar kita ragu sejenak. Sambil pandangi Sonya dan kapaknya. "Tak usah ragu. Hantamlah!" kata kakek mata picak itu. Wiro
bergerak. Kapak Naga Geni 212 berkelebat. Untuk kedua kalinya senjata
itu menghantam tubuh Sonya. Kalau tadi sama sekali tidak mempan, maka
sekarang kelihatan bagaimana senjata itu hampir membabat putus pinggang
Sonya. Anehnya dari luka besar di tubuhnya itu sama sekali tidak
mengeluarkan darah. Sonya terhuyung-huyung, lantai yang diinjaknya
laksana roboh. Tubuhnya terjungkal. Dari tubuh itu kini mengepul asap,
makin tebal dan makin hitam. Dari mulutnya menggelepar jeritan dahsyat.
Jeritan yang tidak beda dengan lolongan srigala. Begitu lolongan itu
berhenti maka putuslah nyawa manusia siluman ini. Bersamaan dengan
matinya Sonya, maka lenyap pulalah segala macam ilmu siluman yang
menguasai tokoh-tokoh silat yang ada di ruangan itu, yang selama ini
menjadi budak Sonya, disuruh membunuh dan menculik. Wajah-wajah yang
tadinya hitam berkilat secara aneh kini perlahan-lahan berubah menjadi
muka manusia wajar. Mereka tampak terheran-heran begitu lepas dari
kungkungan ilmu siluman. Memandang wajah-wajah mereka, Wiro, Dewa Tuak
dan Lor Gambir Seta segera mengenali mana-mana tokoh silat dari golongan
putih. Murid Si Raja Penidur itu segera melepaskan totokan di tubuh
mereka. Begitu bebas dari totokan, mereka semua menjura dalam-dalam
dan tiada hentinya mengucapkan terima kasih. Beberapa di antara mereka
ada yang berkaca-kaca matanya. Wiro memandang pada empat tokoh
golongan hitam yang ada di tempat itu masih dalam keadaan tertotok. "Apa
yang akan kita lakukan terhadap mereka?" tanya Wiro. "Jika mereka
menyesal atas segala perbuatan mereka di masa lampau dan selanjutnya mau
menempuh hidup baik, aku akan beri ampunan pada mereka!" jawab Lor
Gambir Seta. Tanpa ditanya lagi empat tokoh silat itu serempak
membuka mulut, mohon ampun dan berjanji untuk menempuh hidup baru yang
benar. Lor Gambir Seta lalu lepaskan totokan mereka. Keempatnya menjura,
mengucapkan terima kasih lalu tinggalkan tempat itu. Dewa Tuak menghela nafas dalam lalu teguk tuaknya. Dia menyumpah dan bantingkan buli-buli itu ke lantai. "Sialan! Tuakku habis!" keluhnya. "Mati aku…!" Wiro tertawa gelak-gelak sedang Lor Gambir Seta cuma mengulum senyum. "Aku tak betah lagi di sini. Aku harus pergi. Aku harus dapatkan tuak! Kalau tidak bisa mati!" "Aku pun harus pergi sekarang," berkata Lor Gambir Seta. "Hai tunggu!" Wiro tiba-tiba berseru. "Ada apa lagi pendekar?" tanya Lor Gambir Seta sementara Dewa Tuak terus-terusan menggerutu. "Bagaimana dengan gadis-gadis cantik di ruangan sebelah itu?" tanya Wiro. Dewa
Tuak memandang sebentar pada Lor Gambir Seta. Dewa Tuak kedipkan mata
lalu kedua tokoh silat itu sama-sama tertawa mengekeh. Kakek yang
kebakaran janggut itu lantas berkata: "Kami sudah tua bangka, mana
pantas mengurusi boneka-boneka itu. Kau uruslah mereka. Tapi ingat,
jangan main gila. Jangan berbuat apa yang dilakukan manusia siluman
bernama Sonya itu" Selesai berkata begitu Dewa Tuak berkelebat pergi. Disusul oleh Lor Gambir Seta. "Tunggu dulu!" seru Wiro. Tapi kedua tokoh itu sudah lenyap. Wiro
garuk-garuk kepala. Perlahan-Lahan dia melangkah ke ruangan sebelah.
Ruangan itu di tutup oleh sebuah pintu. Wiro membuka daun pintu. Begitu
pintu terbuka berpekikkanlah keenam belas gadis cantik tanpa pakaian di
dalam sana. Kalau sebelumnya mereka tidak merasa malu sama sekali,
setelah Sonya mati dan ilmu silumannya sirna, maka kini setelah
kesadarannya pulih, gadis-gadis itu jadi kalang kabut. Mereka berusaha
menutupi aurat masing-masing dengan kedua tangan. Tentu saja mereka tak
dapat menyembunyikan banyak. Wiro menutup pintu dan kembali ke ruangan
semula. Dia memandang pada tokoh-tokoh silat golongan putih yang masih
di situ. "Dengar, kita butuh pakaian untuk gadis-gadis itu…" kata Wiro. Seorang lelaki bermuka putih maju. Dia bukan lain adalah Akik Mapel alias Malaikat Berambut Kelabu. "Pendekar,"
katanya, "Di bawah ruangan ini ada sebuah gudang. Sonya menyimpan
segala macam barang di situ, termasuk pakaian gadis-gadis itu. Aku akan
segera mengambilnya." "Cepatlah agar gadis-gadis itu tidak kedinginan," kata Wiro pula. Akik
Mapel menekan sebuah tombol rahasia. Lantai ruangan terbuka. Tampak
sebuah tangga menuju ke sebuah ruangan. Orang tua ini segera masuk. Di
sini dia mengambil enam belas potong pakaian perempuan. Ketika hendak
keluar kepalanya membentur sesuatu. Mendongak ke atas dilihatnya burung
Nuri Merah dalam sangkar tulang. Akik Mapel tahu betul binatang ini
adalah peliharaan kesayangan Sonya. Tak dapat membalas dendam terhadap
pemiliknya, sebagai gantinya Akik Mapel membanting sangkar tulang Itu ke
lantai dan menginjak mati burung di dalamnya. Setelah mengenakan
pakaian, enam belas orang gadis itu keluar dari dalam ruangan. Rata-rata
mereka mengucurkan air mata, termasuk Dwiyana, murid Akik Mapel. Gadis
ini kemudian memimpin kawan-kawan senasibnya menghaturkan terima kasih
pada Wiro Sableng. Pendekar kita jadi jengah dan sambil garuk-garuk
kepala berkata: "Aku tak berani menerima ucapan terima kasih kalian. Ada
orang lain yang lebih pantas menerimanya. Dialah yang mengatur rencana
penyelamatan ini. Orangnya berjuluk Si Raja Penidur! Tentu saja
gadis-gadis itu tidak tahu siapa adanya Raja Penidur. Sebaliknya para
tokoh silat yang ada tampak melengak kaget. Mereka tidak menyangka kalau
manusia paling lihay di dunia persilatan itu masih hidup. "Kalau
begitu sebaiknya kita menyambanginya di tempat kediamannya," mengusulkan
Akik Mapel. Semuanya setuju. Akik Mapel memimpin jalan, diikuti para
tokoh silat, lalu Wiro Sableng yang diapit oleh keenam belas dara-dara
cantik itu. Dia berjalan sambil senyum-senyum. "Eh, ada apakah?" berpaling Akik Mapel. "Ah,
kalian orang-orang tua jalan terus sajalah. Biarkan kami orang-orang
muda berjalan di belakang sini seenaknya," jawab Wiro Sableng. Akik
Mapel hanya bisa angkat bahu. Yang lain-lainnya mengulum senyum. Dan
mereka berjalan terus. Teluk Gonggo semakin jauh di belakang mereka.