Matahari
bersinar terik membakar jagat. Pemuda berpakaian sederhana itu
melangkah menyusuri jalan berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang
dikawal oleh dua orang prajurit bersenjatakan tombak dia berhenti.
Sesaat dengan sepasang matanya yang disipitkan diperhatikannya bangunan
pintu gerbang yang kokoh itu. Lalu dia berpaling pada salah seorang
pengawal yang berdiri di situ.
Adipati dan istrinya turun dari kereta. Dipasingara berdiri dekat
tangga Kadipaten. Sepasang matanya yang sipit menatap paras perempuan
itu. Ketika itu Galuh Resmi mengerling pula, sesaat pandangan mata
mereka saling bertemu. Galuh Resmi palingkan wajahnya dan cepat-cepat
menaiki tangga lalu masuk ke dalam gedung. Bentrokan pandangan ini sama
sekali tidak diketahui Adipati Kebo Panaran. Sebaliknya Suramanik sempat
melihatnya sehingga semakin besar kegusarannya terhadap Dipasingara.
Kusir
membawa kereta ke halaman samping. Kebo Panaran memberi isyarat pada
Dipasingara untuk mengikutinya ke langkan Kadipaten, sementara Suramanik
dan anak buahnya tetap berdiri di anak tangga sebelah bawah. Dua orang
prajurit sebelumnya sudah disuruhnya untuk menggotong dua pengawal pintu
gerbang yang cidera.
“Nah sekarang katakan pekerjaan apa yang kau
inginkan,” kata Adipati. Tapi dia tak menunggu jawaban malah
menambahkan: “Untuk mengurus kandang kuda aku sudah punya orang. Tukang
kebun juga sudah ada. Pengawal banyak. Kau mau kujadikan sebagal perawat
kuda-kuda kesayanganku?”
“Terima kasih Adipati. Terima kasih atas kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan macam itu yang aku inginkan.”
Di
bawah langkan gedung Suramanik menggertakkan rahangnya tanda marah.
Sudah diberi pekerjaan menolak pula. Dasar manusia kampung tidak tahu
diri. Demikian kepala pengawal Kadipaten itu mengumpat dalam hati.
“Lantas pekerjaan yang bagaimana yang kau inginkan?” tanya Adipati pula.
“Aku ingin menjadi kepala pengawal di Kadipaten ini, Adipati!”
Kebo
Panaran tersentak kaget mendengar ucapan Dipasingara. Dia mulai
berpikir apakah pemuda ini sehat otaknya atau bagaimana. Suramanik
sendiri sampai melotot kedua matanya. Saat itu dia adalah kepala
pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan itulah yang diinginkan Si
pemuda sialan itu! Benar-benar membuat Suramanik menjadi panas dingin
menahan amarah. Kalau saja Adipati Kebo Panaran tidak ada di situ sudah
sejak tadi dilabraknya pemuda lancang mulut itu!
Kebo Panaran
batuk-batuk beberapa kali. “Tentunya kau tidak bicara bertele-tele atau
ngaco, orang muda. Aku sudah memiliki kepala pengawal. Tak mungkin
jabatan itu kuberikan padamu.”
“Rasanya tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Adipati,” jawab Dipasingara.
“Disamping itu untuk jadi kepala pengawal tidak sembarangan. Ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syarat-syarat itu Adipati?”
Kebo Panaran merasa didesak dan jadi jengkel.
“Sudahlah
orang muda. Aku tak punya waktu lama untuk bicara denganmu. Juga tak
ada pekerjaan lowong di sini untukmu. Kecuali jika kau mau bekerja
sebagai perawat kuda-kudaku. Kalau tidak silahkan pergi dan cari
pekerjaan di tempat lain!”
Dipasingara terdiam sejenak. Lalu angkat bahu. Dia menjura “Jika begitu katamu baiklah Adipati. Aku minta diri….”
Pemuda itu membalikkan tubuh dan siap untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar Kebo Panaran berkata:
“Tunggu dulu!”
“Ada apa Adipati?” tanya Dipasingara.
Saat
itu sang Adipati teringat akan dua pangawal pintu gerbang yang telah
dipreteli Dipasingara. Tak dapat tidak tentu pemuda ini memiliki
kepandaian silat yang diandalkan. Kalau tidak mana dia mampu dan punya
keberanian untuk berbuat begitu. Dan jika dia menginginkan jabatan
kepala pengawal Kadipaten pasti dia tidak main-main.
“Dengar orang
muda,” kata Kebo Pananan. “Aku akan memberikan jabatan yang cukup layak
untukmu. Asal saja kau mau menerangkan kepandaian apa saja yang kau
miliki!”
“Maaf Adipati. Rahasia diriku tak mungkin kuberitahu. Aku hanya menginginkan jabatan kepala pengawal. Lain tidak….”
Suramanik
yang sejak tadi sudah kelangsangan dilanda amarah, serasa terbakar
tubuhnya. Dia merasa dihina oleh pemuda desa itu. Suramanik melompat ke
langkan Kadipaten dan berkata lantang:
“Adipati, aku bersedia
menyerahkan jabatanku pada pemuda kurang ajar ini jika dia sanggup
menerima pukulanku satu kali saja pada dadanya!”
Suramanik memang
bukan sembarang orang. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi tentu dia
tak akan menjabat kepala pengawal Kadipaten.
Kebo Panaran terkesiap
mendengar ucapan kepala pengawalnya itu. Urusan jadi ruwet jika pemuda
desa itu sampai kena dihantam tinju Suramanik apa jadinya? Sebaliknya
dengan tenang Dipasingara menyahuti:
“Kalau aku sanggup menahan pukulanmu, kau akan kehilangan jabatanmu, kepala pengawal!”
“Mari
kita buktikan!” bentak Suramanik dengan mata melotot dan amarah meluap.
Dalam hatinya dia berkata: “Sekali jotosanku mendarat di dadamu kau
akan terbang ke neraka!”
Dipasingara berpaling pada Adipati Kebo Panaran.
“Adipati, apakah kau izinkan kami menjalankan pertaruhan ini?”
“Itu
urusan kalian. Tapi kunasihatkan agar kau jangan menantang Suramanik.
Lebih bagus kau mencari selamat dan tinggalkan tempat ini!” Begitu
jawaban Kebo Panaran karena dia tahu kehebatan kepala pengawalnya.
“Karena
aku tetap menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu
Adipati kalau aku terpaksa melayani tantangannya.”
Dipasingara turun
ke halaman. Di belakangnya menyusul Suramanik. Kebo Panaran yang juga
ingin menyaksikan adu tanding itu ikut turun sementara beberapa prajurit
berdiri membentuk lingkaran besar. Ditengah-tengah lingkaran Suramanik
dan Dipasingara saling berhadap-hadapan.
Di belakang tirai jendela
depan gedung Kadipaten sepasang mata mengintai dengan hati berdebar.
Yang mengintip ini adalah Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-diam dia
telah mendengar percakapan orang-orang itu dan kini ingin melihat apa
yang bakal terjadi.
Entah mengapa dia sangat menyesalkan ketololan
pemuda bertampang gagah itu yang mau saja melayani tantangan Suramanik.
Dia tahu Suramanik berilmu tinggi dan kabarnya memiliki pukulan sakti.
“Dia
pasti mati begitu pukulan Suramanik menghantam dadanya!” membathin
Galuh Resmi. Aneh. Perempuan ini merasa kawatir. Mengkawatirkan
keselamatan pemuda yang tidak dikenalnya itu.
“Sudah siapkah kau menerima pukulanku?!” terdengar suara Suramanik. Rahangrahangnya tampak menonjol.
“Sebentar sobat,” jawab Dipasingara. “Biar kubuka dulu bajuku agar kau bisa mencari bagian yang empuk untuk kau pukul!”
“Manusia takabur! Sebentar lagi akan kau rasakan akibat tingkahmu yang sembrono!” tukas Suramanik.
Dengan tenang Dipasingara membuka bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada. Tubuhnya kelihatan bersih ramping.
“Nah kau carilah sasaran yang empuk!” kata pemuda itu pada Suramanik disertai senyum sinis.
Seorang prajurit Kadipaten memaki dalam hatinya:
“Pemuda gendeng! Sudah mau mati masih saja bicara sombong!”
Dengan
menyeringai geram Suramanik mengepalkan jari-jari tangan kanannya.
Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke situ. Dia sengaja mengerahkan
keseluruhan kekuatannya karena ingin melihat pemuda kurang ajar itu
meregang nyawa dalam sekali pukul!
Sebagai kepala pengawal Kadipaten
Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti. Yang paling hebat adalah
pukulan “Wesi Ireng”. Selama lima tahun dia telah melatih diri untuk
menguasai ilmu pukulan dahsyat tersebut. Dan kini pukulan itulah yang
akan dihadiahkannya pada Dipasingara.
Perlahan-lahan tangan kanan
Suramanik sampai sebatas pergelangannya berubah menjadi kehitaman. Semua
orang termasuk Dipasingara melihat perubahan yang mengerikan itu.
Adipati Kebo Panaran maklum kalau kepala pengawalnya benar-benar ingin
menghabiskan riwayat pemuda desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia
tahu, jangankan dada manusia, tembok tebal sekali pun akan hancur luluh
dihantam pukulan itu. Dan yang mencengangkan sang Adipati ialah bahwa si
pemuda itu masih saja tenang-tenang bahkan selalu menyunggingkan senyum
mengejek terhadap Suramanik.
“Kasihan…” kata Kebo Panaran dalam hati. “Dia tak sadar kalau sebentar lagi akan menemui kematian!”
Suramanik mundur selangkah. Tangan kanannya diangkat sebatas kepala.
“Kau sudah siap untuk mampus orang muda?” ujar Suramanik.
“Cepatlah, aku sudah siap sejak tadi!”
“Kalau begitu kau terimalah detik kematianmu!”
Didahului satu bentakan garang Suramanik menghantamkan tinju kanannya ke dada Dipasingara.
“Buk!”
Tinju keras tepat menghantam dada Dipasingara di bagian jantung. Dan terdengarlah satu pekikan dahsyat!

Tubuh Dipasingara sedikit pun tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Didepannya Suramanik terbungkuk-bungkuk memegangi tangan kanannya dengan
tangan kiri. Belasan kerut kesakitan muncul di kulit mukanya yang
beringas. Semua orang kini menyaksikan bagaimana tangan kanan Suramanik
yang tadi sebatas pergelangan berwarna hitam, kini menjadi gembung
lecet. Dari mulut kepala pengawal ini tiada hentinya terdengar suara
rintihan.
Terkejutlah Adipati Kebo Panaran. Juga semua orang.
Termasuk Galuh Resmi yang mengintip di balik tirai jendela. Semula semua
orang sudah sama memastikan bagaimana pemuda itu akan terjengkang
dilanda jotosan sakti Wesi Ireng, menggeletak di tanah tanpa nyawa. Apa
yang kemudian terjadi hampir tak dapat mereka percaya.
Suramanik
masih mengerang. Lututnya terasa goyah. Dia coba bertahan tapi tak
mampu. Dia jatuh berlutut. Tangan kanannya tampak semakin merah. Dari
bagian-bagian yang lecet darah mulai membersit. Kebo Panaran
geleng-gelengkan kepala. Setelah menarik nafas dalam dia berkata:
“Suramanik, ternyata pemuda itu sanggup menahan pukulanmu….”
Rahang
Suramanik menggembung. “Aku tahu maksud ucapanmu Adipati. Tak usah
kawatir. Aku bukan bangsa manusia yang tidak memegang janji. Kau
terimalah pemuda hina dina itu menjadi kepala pengawal Kadipaten!”
Habis berkata begitu Suramanik memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu!”
seru Dipasingara. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong
kertas kecil. Di dalam kantong ini terdapat sejenis obat mujarab.
“Taburkan obat ini di tanganmu. Lukamu pasti akan sembuh dalam waktu cepat!”
Suramanik mendengus dan menampik kantong kertas yang dilemparkan padanya.
“Aku
tak butuh obatmu! Apa yang kau lakukan hari ini kelak akan kubalas
berikut bunganya! Bersiaplah dari sekarang. Karena aku pasti datang
menemuimu!”
Suramanik membalikkan tubuh dan berlalu cepat. Ketika dia
lenyap dikejauhan semua mata kini ditujukan pada Dipasingara. Pada
dasarnya prajurit-prajurit Kadipaten itu diam-diam mengagumi kehebatan
si pemuda. Namun masing-masing mereka juga merasa kurang senang terhadap
sikap dan tindak tanduk Dipasingara yang mereka anggap ombong.
Setelah beberapa lama kesunyian menggantung, akhirnya Kebo Panaran membuka mulut:
“Orang
muda, sesuai perjanjianmu dengan Suramanik dan dengan kepergiannya dari
sini maka mulai saat ini jabatan kepala pengawal menjadi hakmu. Namun
sebelum jabatan itu kuberikan padamu, satu ujian lagi harus kau
lewati….”
“Adipati, apa maksudmu?” tanya Dipasingara,
Sebagai jawaban Kebo Panaran melemparkan sebilah golok pada Dipasingara. Lalu pada enam orang prajurit Kadipaten dia berseru:
“Cabutlah
golok kalian dan serang dia!” Pada Dipasingara Kebo Panaran menambahkan
“Kau harus sanggup merobohkan mereka dalam waktu tiga jurus. Tapi
ingat, tak satu pun harus terluka!”
Dipasingara menyambut golok yang
dilemparkan sambil tersenyum sementara enam prajurit dengan golok
terhunus menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di belakang jendela
Galuh Resmi yang masih mengintip kembali merasa cemas. Dikeroyok oleh
enam prajurit-prajurit kelas satu apakah pemuda itu sanggup bertahan?
Enam golok serentak berkelebat menyerang.
Dipasingara
menekuk kedua lututnya. Golok di tangan kanannya dibabatkan ke atas
dalam bentuk lingkaran. “Trang… trang… trang….” Terdengar suara
beradunya senjata sampai enam kali berturut-turut. Lalu suara
bergedebukan dan pekik kesakitan susul menyusul.
Dengan mata
kepalanya sendiri Adipati Kebo Panaran menyaksikan bagaimana setelah
menangkis serangan enam golok si pemuda lantas pergunakan kaki dan
tangan kirinya serta gagang golok untuk menghajar ke enam pengeroyoknya
hingga tiga orang terpelanting roboh, dua kena di totok dan satu berdiri
sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah.
Di belakang jendela Galuh Resmi sampai ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo
Panaran memegang bahu Dipasingara. “Kau ternyata tidak mengecewakan.
Kau memang pantas menjadi kepala pengawal Kadipaten. Mulai hari ini kau
menjalankan tugas di Kadipaten Gombong!”
Dipasingara tersenyum dan menjura dalam-dalam.
“Terima kasih Adipati. Terima kasih.” Katanya seraya mengembalikan golok yang tadi diberikan Kebo Panaran.
Ketika
Adipati itu berlalu Dipasingara memalingkan kepalanya ke arah jendela.
Meski cuma sekilas tapi masih sempat dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh
Resmi merasakan wajahnya bersemu merah dan bergegas masuk ke dalam
kamar. Sesaat dia tegak di depan kaca menatap wajahnya sendiri. Pemuda
itu tahu kalau dia mengintip. Betapa malunya. Tetapi kenapa dia begitu
merasa tertarik padanya?
Kebo Panaran, Adipati yang berusia setengah
abad itu menaruh kepercayaan penuh pada kepala pengawalnya yang baru.
Namun dia tidak menduga sama sekali kalau justru Dipasingara sebenarnya
adalah manusia biang racun yang bakal merusak rumah tangganya.
Tanpa
setahu siapa pun di gedung Kadipaten itu, diam-diam Dipasingara mulai
main api dengan Galuh Resmi. Banyak hal yang membuat istri Adipati
Gombong itu melayani kedipan mata, lirikan nakal dan senyum berbisa
Dipasingara. Pertama Dipasingara seorang pemuda bertampang gagah.
Pertemuan pertama dulu dengan ketinggian ilmunya telah mendatangkan rasa
kagum dalam diri Galuh Resmi. Kedua, karena kehidupan rumah tangga
perempuan itu dengan Kebo Panaran tidak berbahagia. Sebagai seorang
lelaki berusia 50 tahun Kebo Panaran tidak mungkin mempunyai kesanggupan
untuk menjalankan kewajiban badaniah terhadap istri yang cantik jelita
dan baru berusia delapan belas tahun itu. Ketidak sanggupan ini ditambah
pula dengan seringnya sang Adipati melakukan kunjungan kerja ke
desa-desa. Lalu pergi menghadap pembesar-pembesar di Kotaraja untuk
memberi laporan. Semua ini membuat Galuh Resmi seperti terasing jauh
dalam kesunyian.
Ketika Dipasingara muncul dengan keberaniannya yang
nakal berbisa Galuh Resmi tak kuasa untuk mengelak bahkan tanpa disadari
dia sendiri senantiasa membalas setiap senyuman kepala pengawalnya yang
gagah itu.
Meskipun tidak merupakan kebiasaan tapi pada umumnya
setiap pembesar di masa itu mempunyai dua buah kamar tidur. Satu untuk
dirinya sendiri dan satu lagi untuk istrinya. Demikian pula dengan Kebo
Panaran. Setiap malam dia selalu tidur di kamar besar di sebelah depan
gedung Kadipaten sedang istrinya di kamar lain yang bersebelahan. Antara
kedua kamar itu dihubungkan dengan sebuah pintu. Dengan adanya dua
kamar inilah Dipasingara mempunyal kesempatan untuk berbuat lebih
berani.
Suatu malam, ketika seluruh gedung Kadipaten diselimuti
kesunyisenyapan Dipasingara ke luar dari kamarnya di bagian belakang
gedung Kadipaten. Malam itu dia telah menyusun rencana untuk
melaksanakan niat terkutuk yang selama ini masih ditahan-tahannya. Dia
yakin Galuh Resmi tidak akan menolak. Kalau pun ternyata nanti perempuan
cantik itu tidak bersedia melayaninya akan dipaksanya dengan kekerasan,
lalu menyingkir dari Gombong. Habis perkara! Bukankah maksudnya meminta
jabatan kepala pengawal Kadipaten itu sebenarnya hanyalah kedok belaka?
Karena yang diintainya bukan lain adalah istri Adipati Gombong yang
muda belia dan cantik rupawan itu!
Di hadapan pintu kamar yang
diketahuinya adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala pengawal itu
berhenti, tegak sejenak memasang telinga. Semuanya serba sunyi. Dia
melangkah mendekati pintu satu lagi. Di sini didengarnya suara dengkur
Adipati Kebo Panaran.
Dipasingara kembali ke pintu pertama dan mulai
mengetuk daun pintu perlahan-lahan. Tak selang beberapa lama didengarnya
suara orang turun dari ranjang, disusul suara langkahlangkah kaki.
Lalu pintu di depannya terbuka sedikit. Wajah Galuh Resmi menyeruak di
celah pintu. Perempuan ini tampak agak kaget melihat Dipasingara.
“Ada apakah…?” tanya Galuh Resmi.
“Adipati telah tidur?”
“Ya, kenapa?”
“Boleh
aku masuk?” tanya Dipasingara. Matanya memandang tajam. Lalu tanpa
menunggu jawaban dia mendorong daun pintu dan menyelinap masuk ke dalam.
Sampai di dalam daun pintu ditutupnya dengan cepat.
“Kepala pengawal, tindakanmu masuk ke dalam kamar dan malam-malam begini sangat diluar kesopanan!” Suara Galuh Resmi bergetar.
Dipasingara tersenyum.
“Kau
tau mengapa aku datang kemari, Galuh?” ujar Dipasingara pula. Suaranya
setengah berbisik dan senyum masih terus menyungging di bibirnya.
Galub
Resmi merasakan dadanya berdebar. Pemuda yang selama ini selalu
memanggilnya dengan sebutan “jeng” kini langsung menyebut namanya.
“Kau ingin bertemu dengan Adipati?”
Dipasingara menggeleng.
“Aku hanya ingin menemuimu. Bukankah pertemuan ini sudah sejak lama sama kita nantikan?”
“Kepala pengawal. Jaga mulutmu..”
“Namaku Dipasingara.”
“Jika Adipati tahu kau masuk malam-malam ke sini, kau bisa celaka!”
“Dan agar suamimu tidak tahu boleh kukunci pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar sebelah?”
“Tidak! Kau harus ke luar dan sini Dipasingara. Saat ini juga!”
Kembali si pemuda tersenyum. Dia melangkah ke arah pintu penghubung lalu menguncinya.
“Kau…! Apa-apaan ini? Apa maksudmu Dipasingara?”
Kepala pengawal itu melangkah ke hadapan Galuh Resmi, membuat perempuan ini tersurut mundur.
“Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap ku, aku akan menjerit!” Galuh mengancam.
“Galuh,
jangan tipu dirimu sendiri,” bisik Dipasingara. “Jangan tipu perasaan
hati sanubarimu. Apakah layangan senyum dan lirikan mata mesramu selama
ini hendak kau musnahkan dengat satu teriakan yang akan membangunkan
seluruh isi gedung Kadipaten ini?”
“Tapi….”
“Aku menyukaimu. Dan
kau menyukaiku. Kita sama-sama tau hal itu. Atau masihkah kau hendak
berpura-pura?” “Kalau semua itu terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh
ini. Kau berani masuk ke kamarku!”
“Lagi-lagi kau menipu dirimu
Galuh. Aku yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari bahwa satu saat
pertemuan seperti ini pasti akan terjadi. Aku telah masuk ke mari
menemuimu, orang yang kukagumi kecantikannya, yang ku… yang kukasihi.
Apakah semua itu hendak kau hancurkan…?”
Gauh Resmi tundukkan kepala. Dadanya yang kencang bergoyang turun naik.
“Masih banyak kesempatan untuk bertemu Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan malammalam begini. bukan di kamar….”
“Jadi kau inginkan aku keluar dari kamar ini?” tanya Dipasingara.
Galuh
Resmi tak menjawab. Disadarinya bahwa diam-diam dia memang menyukai
Dipasingara pada saat pertama kali melihat pemuda ini. Tetapi tindakan
Dipasingara masuk ke dalam kamar seperti itu sangat berbahaya. Namun
untuk menyuruh si pemuda ke luar dari kamarnya hatinya terasa sangat
berat. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri. Kemudian dirasakannya nafas
pemuda itu menghembus hangat di wajahnya. Lalu terasa pegangan jarijari
tangan Dipasingara pada kedua bahunya.
“Kau izinkan aku bersamamu malam ini di sini Galuh?”
Pemuda
itu mengusap dagu Galuh Resmi. Perlahan-lahan diangkatnya hingga
perempuan itu menengadah. Sepasang mata mereka saling bertatapan.
“Dipa, kau terlalu berani Dipa. Terlalu berani.” desis Galuh Resmi.
“Semuanya karena kau. Demi kau Galuh…” balas berbisik Dipasingara.
Perempuan
itu menggeliat sewaktu lehernya disentuh ciuman Dipasingara. Ah, betapa
tubuhnya menjadi menggigil panas dingin tetapi nikmat. Betapa darahnya
menyentak-nyentak. Betapa lainnya terasa peluk dan ciuman pemuda itu
dibanding dengan rangkulan suaminya yang berusia setengah abad itu!
“Jangan di sini Dipa. Jangan di sini…” kata Galuh Resmi waktu pemuda itu membimbingnya ke tempat tidur.
Tapi
Dipasingara menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi pada pangkal
lehernya. Membuat perempuan itu bergelinjang, menggeliat dan
mengeluarkan suara lirih. Nafasnya memburu tetapi tersendat-sendat.
“Tidak di sini Dipa. Aku khawatir suamiku bangun….”
“Semua
pintu telah kukunci. Tak ada yang harus kau takutkan,” kata
Dipasingara. Dia membungkuk, membenamkan hidungnya di celah antara kedua
buah dada Galuh Resmi, membuat perempuan itu mencengkeramkan kuku-kuku
jarinya ke punggung Dipasingara. Ketika tubuhnya diangkat, Galuh
menggelungkan tangannya ke leher si pemuda.
Kini dia terbaring di
atas tempat tidur. Dipa yang membaringkannya. Galuh memejamkan matanya.
Tak berani menatap wajah Dipasingara. Sesaat kemudian dirasakannya
jari-jari tangan Dipasingara menyelinap di balik pakaiannya. Galuh Resmi
tersentak, menggeliat kelangsangan. Selama ini hanya jari-jari tangan
lelaki tua bernama Kebo Panaran yang menggerayangi tubuhnya. Betapa
lainnya dengan rabaan seorang pemuda.
Galuh Resmi menggeliat lagi,
lagi dan lagi sampai akhirnya tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan
menggigit dada Dipasingara. Pemuda itu mengeluh kesakitan tapi sekaligus
menimbulkan gelegak rangsangan. Tangan Dipasingara menggerayang lebih
berani. Galuh Resmi merasa seperti pembuluh-pembuluh darahnya meletus
sewaktu pemuda itu mulai membuka pakaiannya. Tidak berani dia membuka
matanya. Tak berani dia membuka mulut. Desau nafasnya membara.
Dirasakannya tubuh Dipasingara meneduhi tubuhnya. Tubuh kukuh itu
dipeluk Galuh Resmi kuat-kuat.
Demikianlah malam itu telah terjadi
hubungan gelap dan mesum antara Dipasingara dengan Galuh Resmi. Antara
seorang kepala pengawal dengan perempuan yang menjadi istri Adipati
atasannya sendiri! Apa yang terjadi malam itu baru merupakan permulaan
saja dari serangkaian panjang perbuatan mesum terkutuk diantara mereka
berdua.

Betapa pun suatu kejahatan tidak akan berlangsung selama-lamanya tanpa
diketahui orang. Bagaimana pun sesuatu yang berbau busuk itu tak mungkin
dibungkus disembunyikan. Lama kelamaan akan tercium dan ketahuan juga.
Demikian pula dengan segala perbuatan mesum yang dilakukan Dipasingara
dan Galuh Resmi.
Hanya dalam waktu dua bulan, entah bagaimana
sebabnya, seisi gedung Kadipaten telah mengetahui hubungan gelap dan
kotor kedua orang itu. Hanya karena takut terhadap Galuh Resmi, terlebih
lagi ngeri akan tindakan yang bakal dilakukan Dipasingara yang berilmu
tinggi itu, maka tak ada seorang pun yang berani menyampaikan atau
mengadukan kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran. Namun pada akhirnya
diam-diam Kebo Panaran merasakan adanya kelainan pada tindak tanduk
istrinya.
Kemudian diperhatikannya pula tingkah laku Dipasingara.
Sikap Galuh Resmi jika berada di dekat kepala pengawalnya itu, Pastilah
ada hubungan tertentu antara kedua orang ini. Dan hubungan antara lelaki
muda dengan seorang perempuan jelita apalagi kalau bukan menjurus pada
hubungan hati dan badaniah? Sudah sampai sebegitu jauhkah hal itu
terjadi?
Kebo Panaran berusaha mencari bukti-bukti. Tetapi gagal.
Dicobanya memancing kedua orang itu dengan pura-pura pergi menjalankan
tugas ke kota atau ke desa-desa. Lalu diamdiam bersama beberapa
pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi semuanya tetap tidak membawa
hasil.
Suatu ketika Kebo Panaran mendapat akal. Sengaja dicarinya
satu kesempatan baik. Selagi berdua-dua dengan Galuh Resmi berkatalah
Adipati ini:
“Istriku Galuh, seingatku telah lebih dari tiga bulan dinda tak pernah menyambangi ibu mertuamu di Karangtretes….”
“Memang betul kanda. Sudah tiga bulan kita tak pernah ke sana.” Menyahuti Galuh Resmi.
“Aku
kawatir kalau-kalau nanti mereka kecewa dalam berharap-harap. Dan
menganggapmu sebagai seorang menantu yang tak punya perhatian…”
Galuh Resmi terdiam. Kebo Panaran melirik dan meneruskan:
“Bagaimana kalau besok kau berangkat ke Karangtretes?”
“Jika begitu kehendak kanda, saya akan berangkat besok. Kanda tentu akan ikut serta pula bukan?”
“Ada
urusan yang perlu kuselesaikan di Kotaraja. Penting sekali. Aku tak
mungkin menemanimu. Sampaikan saja salam hormatku pada orang tuaku….”
“Ah,
mana enak pergi tanpa kanda. Kanda yang menyuruh saya pergi tapi kanda
sendiri tidak ikut,” mengajuk Galuh Resmi membuat Kebo Panaran agak
bimbang apa benar sedemikian besar perhatian serta kasih sayang
istrinya.
“Lagi pula saat ini daerah yang bakal dilalui kabar-kabarnya kurang aman,” kata Galuh Resmi lebih lanjut.
“Hal itu tak usah dinda kawatirkan. Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi bersama beberapa prajurit.”
“Meskipun
demikian, jika urusan kakanda di Kotaraja cepat selesai, saya harap
kanda mau menjemput ke Karangtretes dan pulang bersama-sama.”
Kebo
Panaran menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian suami istri itu pun
masuk ke kamar mereka. Di atas ranjang malam itu Galuh Resmi sangat
bergairah. Ini agak mengherankan Kebo Panaran. Sebenarnya perempuan itu
bergairah karena ingat saat berduadua dengan Dipasingara yang bakal
dialaminya dalam perjalanan ke Karangtretes pulang pergi.
Karangtretes
sebuah desa subur di tepi lembah yang jaraknya kira-kira satu setengah
hari perjalanan dari Gombong. Jika seseorang berangkat pagi hari dengan
mengendarai kuda, pada malamnya dia akan sampai di sebuah kampung pusat
perdagangan yang terletak setengah hari perjalanan dari Karangtretes.
Biasanya orang akan berhenti dan menginap di sana. Keesokan hari baru melanjutkan perjalanan lagi.
Demikian
pula dengan rombongan Galuh Resmi. Mereka sampai di kampung itu sewaktu
siang telah berganti malam. Dipasingara yang memimpin rombongan
langsung membawa rombongan ke sebuah penginapan. Di situ disewanya tiga
buah kamar.
Kamar yang paling besar dan bagus serta bersih untuk
Galuh Resmi. Kamar kedua yang bersebelahan dengan kamar pertama
ditempati oleh kusir kereta dan prajurit-prajurit yang berjumlah tiga
orang. Kamar terakhir yang terletak di sebelah kiri kamar Galuh Resmi
ditempati oleh Dipasingara seorang diri.
Mengetahui bahwa yang
menginap adalah rombongan istri Adipati Gombong maka pemilik dan
pembantu-pembantunya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena
perjalanan seharian penuh itu, sehabis makan para prajurit dan kusir
kereta yang keletihan langsung masuk kamar dan tertidur pulas.
Sebelumnya kepada mereka Dipasingara berkata bahwa malam itu dia sendiri
yang akan berjaga-jaga. Tetapi semua orang sudah maklum kalau pimpinan
mereka itu akan mempergunakan kesempatan untuk bersenangsenang berbuat
mesum dengan istri Adipati. Karena mereka tidak perduli dan sudah muak
maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam kamarnya Galuh
Resmi berdiri di depan kaca, memupuri wajahnya yang halus dengan bedak
harum. Di antara heningnya malam Galuh Resmi kemudian mendengar suara
ketukan halus di pintu kamar. Dia tersenyum. Diletakkannya kotak bedak
di atas meja lalu cepat-cepat membuka pintu.
“Aku masih belum selesai
berhias, engkau sudab datang kemari,” kata Galuh Resmi dengan senyum
lebar memanaskan birahi Dipasingara.
Tanpa menunggu lebih lama Dipasingara masuk dan sekaligus mengunci pintu.
“Orang secantikmu tak perlu berdandan lagi Galuh,” ujar Dipasingara.
“Seorang permaisuri raja pun tetap memerlukan berhias. Apalagi aku…” sahut Galuh Resmi.
“Soalnya mungkin permaisuri itu jelek. Dan kau secantik bidadari. Tidak pernah membosankan,…”
Tak sabar lagi Dipasingara langsung mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Galuh Resmi kencang-kencang.
Sebelumnya
mereka telah biasa berbuat kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena
merasa lebih bebas serta aman maka masing-masing lebih terangsang oleh
kobaran nafsu, lebih hebat dari yang sudah-sudah. Dalam keadaan setengah
telanjang keduanya bergulingguling di atas tempat tidur. Tempat tidur
besar itu kini berubah menjadi sebuah arena pertandingan. Pertandingan
mesum.
“Dipa…” bisik Galuh Resmi suaranya lirih. Matanya setengah terpejam. Jari-jarinya mencengkam punggung si pemuda.
Dipasingara
tahu betul apa arti bisikan itu. Satu demi satu segera ditanggalkannya
pakaian yang melekat di tubuh Galuh Resmi. Ketika lelaki ini hendak
melepaskan pakaian terakhir yang melekat di aurat Galuh, tiba-tiba pintu
kamar ditendang dari luar hingga terpentang lebar dan hancur
berantakan!
Menyusul terdengar suara bentakan menggeledek.
“Manusia-manusia dajal! Malam ini kalian berdua akan mampus dalam kemesuman!”
Galuh Resmi memekik. Dia mengenali suara itu. Juga Dipasingara.
“Wuutt!”
Satu sambaran angin keras menderu dekat kepala Dipasingara.
Pemuda ini cepat jatuhkan diri dan berpaling menghadapi. Adipati Kebo Panaran! Dia
berhadap-hadapan
dengan Adipati itu! Di tangan kanan Kebo Panaran tergenggam sebilah
pedanq panjang. Parasnya kelam membesi, seram menggidikkan!
“Pemuda haram jadah! Jadi inilah balas jasamu terhadapku! Mampuslah!”
Untuk
kedua kalinya Kebo Panaran membabatkan pedangnya ke arah kepala
Dipasingara. Untuk kedua kalinya pula kepala pengawal Kadipaten ini
berhasil mengelak. Dengan kalap karena diamuk amarah Kebo Panaran
memburu dan hantamkan pedangnya bertubi-tubi.
“Kanda! Kanda Kebo
Panaran! Hentikan… Hentikan…!” Galuh Resmi menjerit panjang sambil
menjangkau kain untuk menutupi auratnya yang polos.
“Perempuan laknat! Kau mampus duluan!”
Kebo Panaran tusukkan pedangnya ke dada telanjang istrinya.
Galuh Resmi menjerit.

Sebelum ujung pedang menembus dada yang putih telanjang itu, satu deru
angin dahsyat datang memapas dari samping. Kebo Penaran
terhuyung-huyung, bahkan hampir
terpelanting jika dia tidak lekas-lekas memperkuat kuda-kuda kakinya. Tusukan
pedangnya meleset jauh.
Ternyata
Dipasingara telah lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal
ini membuat Adipati Gombong itu menjadi penasaran.
Sambil berbalik tangan kirinya dipukulkan ke depan.
Serangkum
cahaya putih yang luar biasa panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti
bernama “Perak Mendidih” yang merupakan pukulan paling hebat yang
dimiliki oleh Adipati Gombong itu. Dia sengaja mengeluarkan pukulan
sakti itu siang-siang karena ingin menamatkan riwayat Dipasingara detik
itu juga.
Dipasingara kaget bukan kepalang. Tidak disangkanya Adipati
tua yang kelihatannya mulai pikun itu ternyata memiliki ilmu pukulan
tangan kosong yang demikian hebatnya. Buru-buru dia melompat ke samping
selamatkan diri. Tak urung hawa panas masih sempat menyambar pundak
kirinya hingga kelihatan menjadi merah dan perih.
Pukulan “Perak
Mendidih” lewat, terus melanda dinding kamar hingga hancur hangus
berkeping-keping dengan suara gaduh, ini membuat terbangunnya seluruh
isi penginapan.
“Bangsat!” bentak Adipati Kebo Panaran geram ketika
melihat pukulannya tidak mengenai sasaran. Dia pukulkan tangan kirinya
sekali lagi untuk melancarkan serangan yang sama.
Namun saat itu
Dipasingara sudah bersiap sedia. Dia tak ingin berada di tempat itu
lebih lama dalam keadaan hampir telanjang begitu rupa. Dari balik
pakaiannya yang terletak di tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
“Sreett!”
Benda
hitam itu terbuka. Ternyata adalah sebuah kipas hitam legam. Sekali
Dipasingara menggoyangkan tangannya, bersiurlah larikan sinar hitam yang
sangat menggidikkan. Pukulan “Perak Mendidih” yang siap dilancarkan
Kebo Panaran musnah tertindih. Sinar hitam terus melabrak.
Kebo
Panaran menjerit keras. Tubuhnya mental dan bergulingan di lantai,
hangus hitam tanpa nyawa. Laksana sepotong kayu dimakan api!
Galuh Resmi memekik tiada henti.
Di luar kamar yang porak poranda itu penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara
menggigit bibir. Cepat dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya.
Kipas hitam diselipkannya dibalik pinggang. Lalu seperti tidak terjadi
apa-apa di situ pemuda ini balikan tubuh siap untuk berlalu.
“Dipa,
kau mau ke mana…?” seru Galuh Resmi. Dipasingara tersenyum. Senyum aneh
yang lebih merupakan seringai sadis di mata Galuh Resmi.
“Ke mana aku mau pergi itu bukan urusanmu!” Kata-kata itu terluncur dari mulut Dipasingara. Ini sangat mengejutkan Galuh Resmi.
“Jadi… jadi kau mau pergi begitu saja?!”
“Antara kita tak ada hubungan apa-apa sejak semula. Biar semua berakhir seperti itu!”
“Kau… jangan pergi Dipa! Bawa aku bersama mu!”
Kembali Dipasingara menyeringai buruk. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh.
“Aku tidak butuh kau lagi Galuh. Aku telah mendapatkan segalanya darimu!’
“Mulutmu keji. Hatimu ternyata jahat! Kau manusia jahat!”
Dipasingara
tertawa bergelak. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat
itu. Hanya suara tawanya saja yang sesaat masih terdengar menggema di
kejauhan di malam yang dingin.
Galuh Resmi merasakan dadanya sesak. Dia menjerit keras lalu terkulai dan jatuh pingsan di lantai kamar.
Tiga
prajurit Kadipaten menghambur masuk ke dalam kamar diikuti oleh pemilik
kedai dan pembantu-pembantunya. Kesemuanya langsung terpaku di lantai
begitu menyaksikan sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang hangus hitam
hampir tak dikenal menggeletak di lantai. Tak jauh dan situ terkapar
istrinya dalam keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya.
Seseorang mengambil kain dan menutupi tubuh ini.
Untuk beberapa
lamanya tak seorangpun melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku oleh
rasa tak percaya tetapi juga ngeri. Tiba-tiba tubuh Galuh Resmi
kelihatan bergerak. Dua prajurit segera mendekat untuk menolong. Tetapi
perempuan muda ini tiba-tiba menjerit.
“Pergi! Jangan dekati aku! Jangan pegang!”
Perempuan
itu melompat tegak. Dia seperti tidak menyadari kalau saat itu dia
tidak berpakaian sama sekali dan tegak di hadapan banyak orang.
Tiba-tiba dia menjerit keras.
“Istri Adipati ini pasti sudah jadi gila…” kata pemilik penginapan dalam hati.
Didahului
oleh satu raungan panjang, tiba-tiba Galuh Resmi lari ke tempat
suaminya terbujur. Tanpa ada satu orangpun yang dapat mencegah,
perempuan ini mengambil pedang milik Kebo Panaran lalu berteriak:
“Kanda Kebo Panaran! Ampuni istrimu! Aku menyusulmu kanda!”
Apa
yang terjadi kemudan sangat cepat. Semua orang tertegun terkesiap. Tak
seorangpun sempat atau mampu mencegah tindakan Galuh Resmi. Mereka
seolah-olah baru tersadar ketika Galuh Resmi sudah terkapar mandi darah
di lantai. Pedang Kebo Panaran menancap di dadanya. Sungguh malang
perempuan muda ini. Sisa hidupnya sejak beberapa bulan lalu penuh
kekotoran bergelimang dosa mesum. Dan kini kematiannyapun dalam jalan
yang sesat pula. Semua gara-gara Dipasingara. Pemuda terkutuk yang telah
melarikan diri entah kemana!

Jika seseorang berdiri di puncak gunung Slamet, maka dia akan dapat
melihat pemandangan indah terbentang di bawahnya. Di mana-mana hutan
menghijau segar, di seling oleh sawah luas yang menghampar kuning
laksana permadani emas. Beberapa sungai kecil yang mengalir
berkilau-kilau airnya ditimpa sinar matahari, tak ubah seperti ular yang
tengah melenggang lenggok.
Kita menuju ke lereng timur gunung Slamet yang menjulang tinggi itu.
Di
hadapan sebuah pondok papan tampak berdiri seorang lelaki tua yang
menurut taksiran paling tidak usianya telah mencapai tuluhpuluhan. Di
depan orang tua ini tegak seorang pemuda bersama seorang gadis manis
ayu, berkulit kuning langsat.
Setelah memandang pada pemuda yang berdiri di hadapannya itu beberapa lama maka berkatalah si orang tua:
“Walau
bagaimanapun kita tidak dapat menolak kenyataan, bahwa di antara seribu
satu peristiwa dalam kehidupan manusia, sepasang di antaranya adalah
pertemuan dan perpisahan. Setiap ada pertemuan tentu ada pula
perpisahan. Pertemuan tidak kekal karena selalu adanya perpisahan.
Demikianlah sifat segala apa yang ada di alam ini. Semuanya tidak kekal.
Tak ada yang abadi. Hanya satu yaitu Yang Esa sajalah yang akan tetap
kekal selama-lamanya.
Hari ini kalau aku tidak salah hitung tepat
sewindu lamanya kau tinggal bersamaku dan mengenyam segala macam ilmu
pelajaran. Justru di hari ini pula kepadamu akan kuberikan satu tugas.
Tugas ini membuat kau harus berpisah denganku. Dan lebih dari itu
terpaksa berpisah dengan orang yang kau kasihi.
Tetapi aku yakin
Sanjaya, perpisahan ini tentu sudah kau sadari sebelumnya. Karenanya
sebagai seorang lelaki kau tentu akan menunjukkan ketabahan hati dan
kebesaran jiwa. Bila nanti tugasmu telah selesai kau akan kembali
kemari. Pertemuan kita nanti sekaligus akan merupakan hari paling
bahagia dalam hidupmu. Yakni perkawinanmu dengan Wulandari…”
Sampai di situ orang tua itu hentikan kata-katanya.
Dilihatnya Sanjaya menunduk agak tersipu maka sedang Wulandari juga menunduk dengan wajah kemerahan.
“Sebagai
seorang berilmu tinggi,” melanjutkan orang tua itu, “Harus kau sadari
bahwa setiap tugas adalah mahal. Dan memang adalah menjadi satu
kewajiban bagi seseorang yang telah berilmu untuk mengamalkan ilmunya
itu. Ilmu yang tidak diamalkan tak ada gunanya. Tak ada manfaatnya.
Nah
Sanjaya, tak banyak nasihat atau petuah yang akan kuberikan pada saat
ini. Segala sesuatunya nanti akan terletak di tanganmu sendiri. Pergilah
ke Kotaraja dan kembalilah bila tugasmu sudah selesai. Berikan
pengabdianmu yang tulus pada kerajaan. Aku gurumu dan kekasihmu
Wulandari akan menunggumu di sini”
Selesai berkata begitu si orang
tua lantas mengundurkan diri masuk ke dalam pondok guna memberikan
kesempatan pada sepasang muda mudi yang merupakan murid-murid
kesayangannya.
Di bagian belakang pondok terdapat sebuah kebun kecil.
Di ujung kebun terletak telaga buatan berair jernih karena berasal dari
pancuran air gunung yang segar. Wulandari melangkah ke tepi telaga
diikuti oleh Sanjaya.
Lama keduanya berdiri di tempat itu tanpa satu
orangpun membuka mulut. Detik-detik perpisahan yang menggugah hati itu
membuat seolah-olah lidah mereka menjadi kelu, membuat mulut
masing-masing seperti terkunci, tak sanggup melafatkan kata-kata.
Namun setelah beberapa lama akhirnya Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya agak bergetar.
“Wulan, perpisahan ini merupakan satu ujian bagi kita….”
“Aku
kawatir kak,” sahut Wulandari sambil memperhatikan air pancuran yang
jatuh memercik di atas batu hitam, baru mengalir ke dalam telaga.
“Apa yang kau kawatirkan?” tanya Sanjaya.
“Kotaraja
ribuan lebih bagus segala-galanya dari pada di sini. Gadis-gadisnya
cantik-cantik, tidak seperti gadis buruk di puncak gunung Slamet ini.
Akan sanggupkah kau menghadapi ujian seperti itu?”
Sanjaya kontan tersenyum lebar. Dia maju mendekati gadis itu. Sambil memegang jari-jari Wulandari dia berkata:
“Selama
rimba masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan lepas,
selama itu pulalah cintaku terhadapmu tak akan luntur. Selama itu pula
aku setia pada cinta kita.”
Sunyi beberapa lamanya. Di kejauhan
terdengar kicau burung-burung. Jari-jari tangan mereka saling beremasan.
Wulandari kemudian melihat paras pemuda itu mendekati wajahnya.
Dipejamkannya kedua matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman lembut dan
mesra pada keningnya. Dan terdengar bisikan Sanjaya:
“Wulan, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…“
“Hati-hati.
Dan lekas kembali.” bisik Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai perak
di rambutnya dan menyerahkannya pada Sanjaya seraya berkata:
“Bawalah ini, simpan baik-baik. Jika kau ingat aku ambil dia dan pandanglah. Mudahmudahan rindumu akan terobat.”
“Terima
kasih Wulan,” kata Sanjaya dengan terharu sambil menerima tusuk kundai
perak itu. Dia berpikir-pikir benda apa yang akan diberikannya pada
Wulandari sebagai balasan. Tibatiba dia teringat pada cincin berbatu
biduri bulan di tangan kirinya. Ditanggalkannya benda itu lalu berkata:
“Pakai cincin ini sebagai pengganti diriku….”
Sanjaya kemudian
memasukkan cincin tersebut ke jari manis tangan kanan Wulandari. Setelah
menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan memasukkannya dalam
sebuah buntalan, Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya. Selesai pamit
pemuda itu segera menuruni gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya
sampai di sebuah tikungan dan baru kembali ke pondok bilamana pemuda
yang dicintainya itu lenyap dari pandangan di kejauhan.
“Ya Tuhan,
selamatkanlah dia dalam perjalanan. Lindungi dia dalam tugas mengabdi
Kerajaan. Selamatkan pula dia dalam perjalanan kembali…” demikian
Wulandari berdo’a dalam hati untuk kekasihnya.
Hari itu adalah hari
kedua sejak Sanjaya meninggalkan pondok gurunya di gunung Slamet.
Wulandari mempersibuk diri dengan berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil
sayuran segar di ladang, ditampungnya air pancuran dalam sebuah kendi
besar. Sewaktu dia membawa kendi serta sayuran itu kembali ke pondok,
gadis ini dikejutkan oleh kemunculan seorang yang tak dikenal di
hadapannya.
Orang ini masih muda belia, mungkin seusia Sanjaya.
Pakaiannya putih sederhana. Rambutnya hitam tebal menyela bahu. Wajahnya
yang cakap tampan itu memiliki sepasang mata sipit yang mempunyai
pandangan tajam.
Sebagaimana terkejutnya Wulandari demikian pula
tampaknya pemuda asing itu. Dalam keterkejutan untuk beberapa saat
lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Maaf saudari…” si
pemuda akhirnya membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya sopan. “Kalau
aku boleh bertanya, apakah di sini tempat kediaman Eyang Wulur
Pamenang?”
Wulandari tak segera menjawab. Dia meneliti pemuda itu sesaat baru menganggukkan kepala.
“Apakah
saat ini beliau ada di dalam?” Wulandari mengangguk lagi. “Dapatkah aku
bertemu dengan beliau?” Sebelum Wulandari menjawab dari dalam pondok
terdengar suara gurunya.
“Tamu yang datang, silahkan masuk ke dalam pondokku yang buruk.”
Wulandari
memberi jalan. Si pemuda lalu masuk ke dalam pondok. Di bagian depan
pondok pemuda itu melihat seorang tua duduk bersila di atas sehelai
kulit kambing putih. Dipangkuannya ada seuntai tasbih warna kuning yang
memancarkan sinar terang.
Begitu sampai di hadapan si orang tua,
pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang Wulur Pamenang adalah seorang
yang paling tidak senang dihormati secara berlebihan, apalagi pakai
berlutut segala. Buru-buru dia berkata:
“Duduklah di tikar. Katakan siapa kau, datang dari mana dan ada keperluan apa mencariku.”
Si
pemuda duduk bersila di hadapan Eyang Wulur Pamenang. Dia tidak segera
membuka mulut memberikan jawaban. Tampaknya ada sesuatu yang
mengganjalnya.
“Anak muda, kau belum menjawab pertanyaanku,” menegur Wulur Pamenang.
“Eyang, saya bernama Handaka. Datang dari desa Kembiring, dua minggu perjalanan dari sini. Saya….”
Si pemuda tak bisa meneruskan kata-katanya.
“Anak muda, tenanglah hatimu. Bicaralah biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang dikawatirkan di sini.”
“Saya, saya mencari Eyang karena malapetaka besar telah menimpa kampung saya termasuk orang tua serta saudara-saudara saya.”
“Malapetaka apakah yang telah menimpa desa serta keluargamu?”
Si
pemuda lantas menerangkan. “Sehari sebelum terjadinya malapetaka itu
seorang anggota gerombolan rampok yang dipimpin oleh Warok Grimbil telah
kedapatan mati dalam cara amat mengerikan. Mayatnya ditemukan dalam
desa kami. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki hancur
lumat bekas dicincang. Tak seorangpun tahu siapa yang membunuhnya dan
bagaimana bisa berada di desa kami. Kemudian datanglah malapetaka itu.
Warok
Grimbil dan orang-orangnya menyangka bahwa penduduk Kembiringlah yang
telah membunuh anak buah dan teman mereka itu. Malam hari, ketika
penduduk sedang tidur Warok Grimbil dan anak buahnya datang menyerbu.
Setiap bangunan di desa dibakar. Semua orang dibunuh. Tak perduli orang
tua, perempuan ataupun anak-anak yang tidak berdosa. Setelah melakukan
perbuatan biadab itu gerombolan rampok membawa harta benda dan ternak
penduduk lalu melarikan diri…”
Eyang Wulur Pamenang termenung. Memang
sudah sejak lama mendengar kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan
rampok pimpinan Warok Grimbil seorang jahat yang berkepandaian tinggi.
“Kau sendiri bagaimana bisa menyelamatkan diri?” bertanya Wulur pamenang.
“Sewaktu
bencana itu terjadi, saya berada di desa tetangga. Melihat kepulan asap
dan langit merah tanda ada kebakaran, saya cepat-cepat kembali ke
Kembiring. Yang saya temui hanya kemusnahan yang memilukan dan
mengerikan. Di mana-mana mayat berkaparan, Warok Grimbil dan anak
buahnya telah melarikan diri di hadapan reruntuhan rumah saya, saya
temui kedua orang tua saya dan semua saudara-saudara menemui ajal dengan
cara yang mengerikan. Ketika saya menangis seperti orang gila,
lapat-lapat saya dengar suara orang menggerang sambil memanggil nama
saya. Orang itu ternyata adalah sahabat dan tetangga saya. Tubuhnya
penuh luka bekas tusukan senjata tajam. Dalam keadaan sekarat Ia masih
bisa menerangkan bahwa Warok Grimbil bersama anak-anak buahnyalah yang
telah melakukan kebiadaban itu….”
Ketika Handaka mengakhiri ceritanya suasana dalam pondok ini menjadi sunyi sampai akhirnya Eyang Wulur Pamenang membuka mulut:
“Setelah kejadian itu, kau langsung menuju kemari?”
“Betul Eyang.”
“Tentunya dengan mengandung sesuatu maksud.”
“Benar. Tentang maksud itu saya rasa Eyang tentu sudah maklum.”
“Ah, aku yang sudah tua ini terlalu pikun untuk meraba maksud seseorang.”
“Eyang…
apa yang telah terjadi dengan orang tua dan saudara-saudara saya, telah
menimbulkan satu dendam kesumat yang berurat berakar dalam dada saya.
Walau bagaimanapun, dan sampai di manapun saya harus membalaskan sakit
hati kematian orang-orang yang saya kasihi itu. Namun saya menyadari,
seorang diri tak mungkin untuk melakukan pembalasan. Apalagi mengingat
saya tidak memiliki kepandaian apapun. Karena itulah saya datang kemari
untuk meminta bantuan Eyang. Sudilah kiranya Eyang mengambil saya jadi
murid. Perkenankan saya menerima sejurus dua jurus ilmu silat dari
Eyang….”
Lama Wukir Pamenang termenung. Ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan
orang-orang macam Warok Grimbil sudah semestinya ditumpas. Namun
menerima pemuda bernama Handaka itu untuk jadi muridnya terasa agak
berat bagi orang tua ini. Dia telah mempunyai dua orang murid yaitu
Sanjaya dan Wulandari. Di samping itu usianya telah terlalu tua untuk
memberikan pelajaran-pelalaran dasar pada seorang murid baru. Kemudian
ada satu hal yang membuat dia merasa keberatan untuk mengambil Handaka
jadi muridnya. Dia melihat satu bayangan pada wajah pemuda ini.
Sepasang
mata Wulur Pamenang yang tajam penuh pengalaman disertai perasaan hati
yang arif melihat bahwa ada sifat-sifat buruk tertentu mengendap dalam
diri pemuda itu.
Namun untuk tidak mengecewakan Handaka, Wulur
Pamenang tidak mau menyatakan penolakannya secara terang-terangan.
SebaliknYa dia berkata:
“Handaka, ketahuilah dari sekian banyak
sifat-sifat buruk di dalam dunia ini satu di antaranya adalah dendam dan
balas dendam. Dendam yang selalu dilampiaskan tak akan habis-habisnya
sampai turun temurun. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya telah membunuh
orang tuamu, saudara-saudaramu serta sahabat-sahabatmu sedesa. Layak
kalau rasa sakit hati dan dendam berurat berakar dalam tubuhmu.
Satu-satunya tekad yang ada dalam hatimu saat ini adalah balas dendam!
Katakanlah
pembalasan berhasil kau lakukan. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya
berhasil kau bunuh. Namun tanpa setahumu Warok Grimbil mungkin memiliki
seorang putera yang kelak kemudian hari akan menuntut balas pula atas
kematian ayahnya. Demikian seterusnya tiada henti.
Semua ini terjadi
lain tidak karena manusia-manusia tidak dapat menahan nafsu untuk balas
dendam melampiaskan sakit hati dan pembalasan. Lalu bagaimanakah jadinya
jika hal itu berlangsung demikian rupa terus menerus? Dapat kau
bayangkan sendiri Handaka.
Orang-orang yang tidak ada sangkut paut
dan dosa apa-apa harus menemui kematian dengan cara mengenaskan.
Kemanusiaan dan kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi oleh
manusia-manusia yang katanya beradab. Mereka berubah menjadi binatang.
Malah lebih jahat dari binatang. Karenanya kuharap kau bisa menahan
diri. Bersabar menghadapi musibah atau cobaan besar ini. Tidak
terpengaruh untuk menempuh jalan sesaat yang akan merugikan dirimu
sendiri, bahkan banyak orang!”
Setelah berdiam diri beberapa lamanya baru Handaka membuka mulut memberikan jawaban:
“Semua
yang Eyang katakan itu memang benar. Tapi jika boleh saya menjawab,
saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apakah akan dibiarkan saja
manusia-manusia macam Warok Grimbil itu hidup terus malang melintang
berbuat kejahatan, membunuh, merampok, memperkosa?”
Wulur Pamenang tersenyum dan menjawab:
“Betul
Handaka. Betul sekali kalau kau mengajukan pertanyaan seperti itu.
Sebagai jawabannya ingin kukatakan padamu bahwa di dunia ini bukan hanya
manusia-manusia saja yang bisa mengambil tindakan. Lebih dari itu
kekuasaan Tuhan berada di mana-mana. Kelak manusia macam Warok Grimbil
dan anak-anak buahnya akan mendapat hukuman dan pembalasan dari-Nya!”
Kini Handaka yang ganti tersenyum.
“Seorang
manusia yang cuma berlepas tangan menunggu pembalasan Tuhan tanpa
mengadakan usaha sama sekali, sama saja dia mati dalam hidupnya. Dan
apakah arti serta gunanya hidup semacam itu?”
“Kepala sama berambut
Handaka, rambut sama hitam. Tapi jalan pikiran orang berbeda satu dengan
lainnya…” kata Eyang Wulur Pamenang pula. Ucapan pemuda itu tadi telah
membuat wajahnya yang tua jadi berubah kemerahan,
“Betul Eyang,
tetapi setiap manusia yang bijaksana akan berusaha mengambil jalan ke
arah yang benar. Mungkin Eyang kurang atau tidak dapat merasakan sakit
hati seseorang yang mengalami musibah matapetaka seperti saya ini.
Karena Eyang tidak terlibat. Karena Eyang tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bagaimana lusinan mayat manusia tak berdosa berhamburan
dalam keadaan mengerikan. Mayat perempuan-perempuan tua, perempuan
hamil, anak-anak bahkan bayi yang masih merahi”
Wulur Pamenang memandangi tasbih hijau di pangkuannya lalu berkata:
“Baiklah
Handaka. Aku mengerti perasaan serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun
bila kau menghendaki aku mengambilmu jadi munid, sesungguhnya kau telah
datang ke tempat yang salah….”
“Salah bagaimana Eyang?” tanya Handaka tak mengerti.
“Orang tua pikun yang hampir masuk liang kubur macamku ini, ilmu kepandaian apakah yang kumiliki dan bisa kuajarkan padamu?”
“Ah, Eyang terlampau merendahkan diri. Delapan penjuru angin dunia persilatan boleh dikatakan sudah mengenal nama besar Eyang.”
“Akan
lebih baik jika kau mencari guru lain yang lebih segala-galanya dariku.
Hingga kelak kau benar-benar menjadi seorang pemuda yang berilmu
tinggi”
“Eyang,” sahut Handaka. “Saya telah datang kemari karena
tekad saya sudah bulat hanya akan berguru kepada Eyang, tidak kepada
orang lain. Akan Eyang kecewakankah manusia bernasib buruk ini?”
“Aku telah mempunyai dua orang murid. Tak mungkin aku harus menerimamu pula….”
“Tak mungkin? Mengapa tidak mungkin Eyang?” tanya Handaka.
Tapi orang tua itu tidak menjawab. Setelah menunggu dan tidak kunjung ada sahutan, Handaka berkata:
“Baiklah
Eyang, memaksa orang yang tidak mau adalah tidak baik. Seperti saya
katakan, saya tidak berniat mencari guru lain. Jika saya turun dari
puncak gunung Slamet ini, dengan ilmu yang bernama ketabahan hati dan
kesabaran serta senjata sepasang tangan ini saya akan mencari Warok
Grimbil. Apakah saya bakal dapat membunuhnya atau kepala saya yang bakal
menggelinding lebih dulu, entahlah…”
Handaka menjura di hadapan Eyang Wulur Pamenang lalu berdiri.
“Sebelum
saya pergi Eyang, pernah saya mendengar ucapan seorang tua di desa.
Katanya Seorang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkan dan
mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sama artinya dengan seorang
paling tolol di dunia ini. Dan kelak orang itu akan mati dalam
ketololannya. Apakah ucapan orang tua itu benar atau tidak harap Eyang
sudi merenungkannya…”
Sekali lagi pemuda itu menjura lalu membalikkan
tubuh. Pada saat Handaka mencapai ambang pintu dan siap untuk melangkah
keluar pondok tiba-tiba didengarnya Eyang Wulur Pamenang memanggil :
“Handaka, kembalilah! Aku akan mengambilmu jadi murid!”

Enam bulan telah berlalu sejak kedatangan Handaka dan sejak pemuda itu
diambil menjadi murid Eyang Wulur Pamenang di puncak gunung Slamet.
Orang tua itu memang merasa heran melihat Handaka dapat mengikuti setiap
pelajaran silat yang diberikan dengan cepat hingga hanya dalam waktu
enam bulan dia benar-benar telah menguasai ilmu silat yang diturunkan
kepadanya.
Pemuda ini luar biasa, demikian Wulur Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak kecewa mendapatkan murid seperti Handaka.
Sebagai
dua orang saudara seperguruan tentu saja hubungan Wulandari dengan
Handaka rapat sekali. Mereka sering berlatih berdua, sering
bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit rasa sepi yang ada di hati
Wulandari karena ditinggal Sanjaya menjadi berkurang bahkan akhirnya
pupus sama sekali. Harus diakui bahwa Handaka bukan saja lebih gagah
parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai bicara, suka bercerita dan
sering melucu.
Pada mulanya hubungan mereka tidak lebih dari apa yang
telah dilukiskan di atas. Namun lambat laun Wulandari menyadari bahwa
dari pihak Handaka hubungan itu telah dipandang secara lain. Sampai pada
suatu hari ketika mereka sedang berdua-dua di tepi telaga Handaka
mengatakan bahwa dia mencintal gadis itu.
Wulandari bukan seorang
gadis yang mudah berubah haluan. Sekali dia mencintai seseorang dia akan
mencintai selama-lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang gadis yang
kesepian kadangkala tidak sanggup menghadapi godaan dari pemuda lain.
Apalagi dari seorang pemuda setampan Handaka yang pandai bicara lihay
merayu. Hubungan mereka sehari-hari yang selalu berdekatan itu lambat
laun membuat Wulandari menjadi mulai tertarik pada Handaka,
Gadis ini
mulai membanding-banding antara Handaka dengan Sanjaya yang jauh di
Kotaraja. Dan cinta, bilamana sudah sampai pada tingkat banding
membandingkan tanda umurnya tak akan lama lagi!
Demikianlah kalau
dulu hampir setiap saat Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya setiap
malam hampir tak pernah dia lupa berdoa untuk keselamatan kekasihnya
itu, maka kini mulai dilupakan Wulandari.
Sebagai seorang tua lanjut
usia yang dalam waktu tidak lama lagi kelak bakal menutup mata, sekali
seminggu Wulur Pamenang pergi ke puncak Slamet paling tinggi dan sunyi
untuk bersemedi, bertafakur dalam sebuah goa.
Kesempatan-kesempatan
seperti inilah yang memberikan peluang-peluang baik pada Handaka dan
Wulandari. Mula-mula hanya saling pandang memandang. Kemudian meningkat
saling beremesan tangan. Lalu lebih berani lagi, lebih berani lagi
hingga keadaan keduanya tidak beda dengan hubungan suami istri.
Bagaimanapun
juga lambat laun Wulur Pamenang akhirnya mengetahui jalinan hubungan
antara kedua muridnya itu. Namun tak pernah diduganya sama sekali kalau
hubungan mereka sudah demikian rapatnya, melewati batas-batas hubungan
adik dengan kakak, hubungan saudara seperguruan, Wulur Pamenang
memutuskan untuk menjauhkan kedua orang itu secara halus. Handaka akan
disuruhnya mendirikan sebuah pondok di lereng barat gunung Slamet.
Namun
sebelum hal itu dilakukannya, Wulur Pamenang keburu mengetahui bahwa
satu hal luar biasa telah terjadi atas diri murid perempuannya itu. Rasa
marah dan kecewa bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal mengapa dia
dulu mengambil Handaka jadi murid. Kesemuanya itu menumpuk menjadi
kemarahan yang meluap.
Ketika Handaka sedang berlatih silat di tepi telaga Wulur Pamenang membawa Wulandari ke ruang dalam pondok.
“Mungkin kau sudah bisa menduga kenapa aku memanggilmu, Wulan?”
Sang
murid memandang wajah gurunya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan
pada wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
“Mana mungkin saya menduganya Eyang,” kata Wulandari pula.
“Sejak
beberapa lama ini aku merasa curiga melihat hubunganmu dengan Handaka.”
Bicara sampai di situ Wulur Pamenang dapat melihat perubahan pada wajah
muridnya. Lalu dia melanjutkan:
“Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh jasmanimu.”
“Pe… perubahan apa maksud Eyang….” Wulandari gugup. “Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa….”
“Kau gugup Wulan….”
“Karena… karena saya terkejut mendengar ucapan Eyang tadi.”
Wulur Pamenang tersenyum rawan.
“Kau
pandai bicara sekarang Wulan. Dan pandai serta berani pula berdusta
kepadaku. Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama
bertahun-tahun kau di sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan
menipu diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu? Apakah
Handaka yang telah mengajarkannya padamu?”
Sampai di situ mulut Wulan
terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya tidak dapat
lagi menatap ke arah sang guru sedang wajahnya merah sampai ke telinga.
“Kau sudah ditunangkan dengan Sanjaya. Apa kau lupa hal itu?”
Kepala Wulandari semakin tertunduk.
“Jawab, kau lupa?”
“Tidak Eyang, saya tidak lupa….”
“Bagus.
Kalau kau betul-betul tidak lupa. Lalu mengapa kau bermain api dengan
pemuda lain? Mengapa kau menjalin cinta dengan Handaka?”
“Eyang,
saya… saya tidak….” Wulandari tak dapat meneruskan kata-katanya. Sebagai
gantinya dari mulutnya mulai terdengar isak tangis. Kedua tangannya
ditutupkan ke wajah.
“Diam!” bentak Wulur Pamenang. “Aku paling benci melihat orang menangis. Terutama yang menangis karena kesalahannya sendiri!”
Wulandari menyusut air matanya. Ditahannya tangis yang hendak meledak sedapatdapatnya.
“Sejak
akhir-akhir ini kau tidak senang lagi dengan nasi dan sayuran. Kau
jarang makan. Lebih banyak makan asam-asaman dan buah-buahan. Pembawaan
seperti itu hanya ada pada diri perempuan yang sedang hamil! Apa kau
juga hamil Wulan? Jawab pertanyaanku?“
“Eyang… saya… saya.”
“Katakan saja. Kau hamil atau tidak?!” hardik sang guru.
“Tidak Eyang… saya tidak hamil.. Hanya… hanya kurang enak badan sejak beberapa hari ini….”
“Murid
penipu!” bentak Wulur Pamenang seraya berdiri dari tikar kulit kambing
yang didudukinya. Dia menunjuk ke pintu. “Tidak kusangka akan sekotor
itu hatimu. Tidak kusangka kau berani bicara dusta terhadap gurumu!
Pondok yang kudirikan ini kau nodai dengan perbuatan mesum! Kau
betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kusukai sebagai murid
lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!”
“Eyang…!” Wulandari jatuhkan diri. “Ampuni muridmu ini!”
“Jangan
bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku!
Karena dosamu bukan padaku. Tapi pada Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak
sudi melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam pondok kelak lahir seorang
anak haram!”
Wulandari yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata gurunya itu menggerung dan lari ke luar pondok.
Wulur
Pamenang katupkan rahangnya rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak.
Lalu dia melangkah ke pintu dan cepat-cepat menuju ke telaga.
Di situ Handaka tengah melatih ilmu silatnya seorang diri.
“Pemuda
keparat hidung belang! Hentikan latihanmu! Mulai detik ini kau tidak
kuizinkan mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan padamu!”
Handaka
tampak terkejut mendengar bentakan itu. Dihentikannya gerakannya dan
berpaling dengan cepat. Dilihatnya Eyang Wulur Pamenang berdiri tolak
pinggang. Mukanya merah laksana bara dan matanya berapi-api.
“Eyang, dengan siapakah Eyang bicara?” bertanya pemuda itu.
Justru pertanyaan ini membuat Wulur Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
“Bangsat! Dengan siapa lagi kalau bukan dengan manusia dajal sepertimu!”
Sepasang mata Handaka yang sipit menjadi tambah sipit.
“Ada apakah hingga Eyang sampai marah begini rupa…?”
Wulur Pamenang mendengus.
“Kau masih bisa berpura-pura bertanya!”
“Saya tidak mengerti. Agaknya telah terjadi sesuatu…?”
“Memang
telah terjadi sesuatu! Dan sesuatu itu kau yang menjadi biang
keladinya! lngat sewaktu kau dulu mengemis minta aku mengambilmu jadi
murid! Setelah aku berbelas kasihan mau menerimamu di sini, semua itu
kini kau balas dengan noda besar! Kau main gila dengan Wulandari.
Padahal kau tahu gadis itu sudah ditunangkan dengan Sanjaya! Kau rayu
dia! Kau bujuk dan kau rusak kehormatannya. Kini gadis itu hamil! Kau
benar-benar manusia bejat!”
“Eyang, sebaiknya kita panggil Wulandari ke sini agar kita….”
“Tak
usah banyak bicara! Gadis itu sudah kuusir. Dan kaupun musti angkat
kaki dari sini. Tapi sebelumnya hukuman yang setimpal akan kujatuhkan
atas dirimu. Ulurkan kedua tanganmu!”
“Eyang, kau mau bikin apa…?” tanya Handaka.
“Ulurkan kedua tanganmu manusia murtad. Jangan banyak tanya!” hardik Wulur Pamenang.
Karena
Handaka tidak mau mengulurkan tangannya maka naik pitamlah si orang
tua. Dari hidungnya ke luar suara mendengus. Rahangnya bergemeletak. Dia
melompat. Tangannya kiri kanan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya
menyambar ke arah kedua tangan Handaka. Wulur Pamenang yang telah banyak
pengalaman dan memiliki ilmu tinggi yakin sekali bahwa sekali bergerak
dia bakal dapat meringkus murid terkutuk itu.
Namun betapa
terkejutnya ketika Handaka berhasil mengelakkan serangannya. Jika saja
Handaka mengandalkan kecepatan bergerak untuk mengelakkan serangan
tersebut, si orang tua tak akan demikian terkejutnya. Tapi disaksikannya
sendiri si pemuda mengelakkan serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat
aneh yang sama sekali tak pernah diajarkannya pada Handaka!
Heran
bercampur marah Wulur Pamenang kembali menyerang si pemuda. Dan sekali
inipun Handaka berhasil berkelit dengan mempergunakan gerakan ilmu silat
lain!
“Murid mesum! Jadi ternyata kau memiliki ilmu silat lain?! Bagus! Akan kuberi hajaran padamu dalam dua jurus!”
Habis
berkata begitu Wulur Pamenang berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah
angin pukulan tangan kosong yang dahsyat menderu ke arah dada dan perut
Handaka.
Si pemuda keluarkan bentakan nyaring. Tubuhnyapun lenyap.
Sesaat kemudian terdengar seruan tertahan ke luar dari mulut Eyang Wulur
Pamenang.
Betapakan tidak!
Serangan yang dilancarkan tadi
merupakan salah satu dari beberapa buah serangan terhebat yang
dimilikinya, bernama “Dua Naga Sakti Berebut Mangsa.” Tak pernah seorang
musuhpun sebelumnya sanggup mengelakkan dua jotosan itu sekaligus.
Karena kedahsyatannya jarang dia mengeluarkan pukulan maut itu. Namun
kini serangannya itu tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan dia merasakan
kedua tangannya bergetar sewaktu dipapasi serangan balasan yang
dilancarkan Handaka! Bertambah terkejutlah orang tua ini. Mungkinkah
Handaka telah memiliki ilmu silat tinggi sebelum dia mengambilnya jadi
murid?
Lalu apa maksud pemuda ini sesungguhnya datang kepadanya?
Siapakah dia sebenarnya? Melihat Wulur Pamenang tertegun di hadapannya,
Handaka lalu keluarkan suara tertawa.
“Wulur Pamenang!” kata pemuda
ini seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang, seolaholah dia bicara
dengan orang yang seusia dengan dirinya. “Kenapa kau tertegun? Bukankah
kau sendiri yang memerintahkan agar aku tidak boleh mempergunakan ilmu
silat yang kupelajari darimu? Mengapa heran kalau aku terpaksa
mengeluarkan ilmu silat yang lebih hebat dan lebih berguna dari ilmu
silat jenis picisan yang kau ajarkan padaku?!”
Muka Wulur Pamenang
merah sampai ke telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kedua
telapak tangan. Tubuhnya bergetar, pelipisnya bergerak-gerak dan
sepasang matanya seperti mau melompat dari rongganya.
“Dajal bermuka
manusia!” desis Wulur Pamenang. “Aku sudah berpantang dan bertobat untuk
tidak membunuh! Namun hari ini biarlah aku menanggung dosa asal aku
dapat mengirimmu ke dasar neraka!”
Wulur Pamenang tutup ucapannya
dengan pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar suara menderu. Bumi
laksana dilanda topan. Tanah bergetar. Debu dan pasir beterbangan. Semak
belukar rambas berhamburan. Daun-daun berguguran dan beberapa pohon
rambas tumbang.
Dikejap itu dua larik sinar hijau berkiblat mengerikan. Apapun yang ada di depan kedua sinar itu pasti musnah!
Wulur
Pamenang turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Handaka tak
tampak lagi dihadapannya. Tak dapat tidak pemuda itu pasti sudah menemui
kematian dengan keadaan tubuh mengerikan.
Tapi laksana mendengar
petir di liang telinganya, begitulah kagetnya Wulur Pamenang ketika
didengarnya suara tertawa bergalak. Orang tua ini memutar tubuhnya
dengan cepat. Handaka berdiri di depannya. Tangan kiri bertolak pinggang
sedang tangan kanan memegang sebuah kipas hitam yang dikibas-kibaskan
di depan mukanya sambil tersenyum mengejek?
Kontan air muka Wulur Pamenang berubah total ketika melihat kipas hitam di tangan Handaka itu.
“Kipas Pemusnah Raga…!” seru orang tua itu setengah tercekik. “Pemuda dajal dari mana kau dapat kipas sakti itu?!”
Handaka tertawa gelak-gelak.
“Mukamu pucat melihat kipas ini? Ha… ha…. Dari mana aku mendapatkan itu bukan urusanmu?!”
“Sret!”
Handaka menggoyangkan tangannya. Kipas hitam itu terkembang lebih lebar.
“Wulur
Pamenang, karena kau benar-benar inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi
kau sekarang di lain hari tentu kau hanya akan membikin repotku saja!
Nah, selamat jalan ke alam baka!”
Habis berkata begitu Handaka
mengibaskan kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si orang tua yang telah
maklum akan kehebatan senjata sakti di tangan lawan secepat kilat
mengeluarkan senjata andalan nya yakni sebuah tasbih hijau. Ketika sinar
hitam pekat yang keluar dari Kipas Pemusnah Raga berkelebat deras
kearahnya, orang tua ini cepat memapaskan tasbih hijaunya dengan sebat.
Sinar hijau berkelibat menangkis datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat kemudian terdengarkan suara menggelegar!
Tasbih
di tangan Wulur Pamenang hancur bertaburan. Orang tua ini sendiri
terpelanting jauh dan menyangsang di semak-semak. Sekujur tubuhnya hitam
hangus seperti terpanggang.
Handaka memandang sebentar pada kedua kakinya yang amblas ke tanah sampai seperempat jengkal,
“Hebat
juga tenaga dalam monyet tua itu…” katanya dalam hati. Lalu sambil
kipas-kipasan senjatanya ditinggalkannya tempat itu. Dari mulutnya tiada
henti keluar suara tertawa mengakak.

Serombongan pasukan bekuda kerajaan yang berjumlah tigapuluh orang
dibawah pimpinan seorang perwira muda, kelihatan ke luar dari pintu
gerbang tenggara, bergerak cepat menuju ke selatan. Perwira muda itu
bukan lain adalah Sanjaya yang telah mengabdikan diri pada Kerajaan. Dia
membawa pasukannya ke arah kaki gunung Slamet menuju hutan Walu dimana
menurut keterangan disitulah bersarangnya gerombolan perampok jahat yang
dipimpin oleh Warok Grimbil.
Karena Sanjaya mengetahui seluk-beluk
daerah sekitar kaki gunung itu, maka Sri Baginda telah mempercayakannya
untuk memimpin pasukan Kerajaan guna menumpas gerombolan Warok Grimbil.
Akhir-akhir
ini memang kejahatan yang dilakukan oleh Warok Grimbil dan anak-anak
buahnya sudah sangat di luar batas. Hampir setiap hari ada saja kampung
atau desa yang menjadi korban keganasannya. Berkali-kali pasukan
kerajaan mencoba melakukan penyergapan dan pengejaran, namun sampai
sebegitu jauh semua usaha yang dilakukan untuk membasmi geromboan itu
tak kunjung berhasil.
Kini dibawah pimpinan Sanjaya, murid Wulur
Pamenang dari gunung Slamet kembali prajurit-prajurit Kerajaan turun
tangan. Apakah akan berhasil atau tidak, kenyataanlah nanti yang akan
menentukan.
Pada malam hari mereka berhasil mencapai tepi timur hutan
Walu, Sanjaya memerintahkan pasukannya untuk berhenti dan berkemah di
situ. Mereka berkemah tanpa menyalakan api unggun dan sengaja dicari
tempat yang gelap pekat serta perlindungan oleh semak-belukar lebat.
Karena jika mereka sampai terlihat oleh gerombolan Warok Grimbil pasti
akan sia-sialah rencana pembasmian itu.
Malam itu, sebelum masuk ke
dalam tendanya, lama sekali Sanjaya berdiri memandang ke sebelah utara,
di mana dalam kegelapan malam, jauh di sana kelihatan menghitam lereng
gunung Slamet. Telah sepuluh purnama dia meninggalkan gurunya dan tak
pernah melihat kekasihnya Wulandari. Telah sekian lama dia membendung
kerinduan. Dia yakin gadis itu tetap menantinya di puncak Slamet.
Masih terngiang ucapan perpisahan Wulandari sewaktu dia akan pergi dulu: “Hati-hati. Dan lekas kembali…”
Dari
balik pakaiannya Sanjaya mengeluarkan tusuk kundai perak yang tempo
hari diberikan oleh Wulandari. Setiap dia merindukan gadis itu, benda
itu selalu dikeluarkannya, dipandang dan ditimangnya, dibelai serta
diciumnya. Namun perasaan rindu tak bisa dilenyapkannya seluruhnya.
“Dua
purnama lagi, bila Sri Baginda memberi izin aku akan menjengukmu
Wulan…” bisik Sanjaya. Lalu perwira muda ini masuk ke dalam tendanya.
Ketika
malam yang gelap sampai pada saat sedingin dan sesunyi-sunyinya,
mendadak terdengar teriakan beberapa prajurit yang bertugas mengawal.
“Semua bangun Kita diserang!”
Suasana
yang tadi sunyi-senyap kini menjadi hiruk pikuk kacau-balau. Beberapa
buah tenda tampak terbakar. Kira-kira dua lusin manusia berseragam hitam
muncul dari tempattempat gelap, langsung menyerbu dengan berbagai
senjata tajam.
Sanjaya melompat bangun, menyambar pedang dan keluar
dari tenda. Prajurit-prajurit dilihatnya tengah bertempur melawan para
penyerang. Dari pakaian serta tampang-tampang mereka yang kotor tak
terurus Sanjaya segera maklum bahwa penyerang adalah gerombolan jahat.
Dari gerombolan mana lagi yang berada di sekitar tempat ini kalau bukan
gerombolannya Warok Grimbil?
Sebuah benda melesat ke arah Sanjaya.
Perwira muda itu cepat putar pedangnya. Anak panah yang hendak
menghantam dadanya jatuh patah dua ke tanah. Sanjaya tak menunggu lebih
lama, segera terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran.
Pertempuran
dalam gelap-gulita itu berjalan Seru. Suara beradunya senjata
berselangseling dengan suara mereka yang terpekik karena luka. Korban
mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Sanjaya mengamuk hebat. Ini
membuat penyerang menjadi kacau dan mulai mundur.
“Mana pemimpin kalian?!” teriak Sanjaya.
Sebagai
jawaban terdengar satu suitan keras. Para penyerang serta-merta
melompat mundur dan melarikan diri ke dalam rimba belantara yang gelap.
“Jangan kejar!” seru Sanjaya ketika dilihatnya beberapa anak buahnya hendak melakukan pengejaran.
Kerugian
yang diderita pihak Sanjaya cukup besar. Enam tenda musnah dimakan api.
Tujuh prajurit menemui ajal. Di pihak penyerang delapan orang tewas,
seorang tertangkap hiduphidup, Namun sebelum sempat ditanyai orang ini
keburu meninggal karena luka-luka parah yang dideritanya.
Pagi
harinya setelah prajurit-prajurit yang gugur dikuburkan di tepi hutan
Walu, Sanjaya kembali memimpin pasukannya memasuki rimba belantara itu.
Mereka bergerak dengan sangat hati-hati. Meskipun hutan itu liar dan
rapat namun jelas kelihatan bekas-bekas yang dilalui manusia.
Sanjaya
menunggangi kudanya di depan sekali. Dengan adanya penyerbuan malam
tadi jelaslah bahwa kedatangan rombongannya telah diketahui oleh Warok
Grimbil. Di satu tempat Sanjaya membagi dua pasukannya. Yang pertama
terdiri dari sepuluh orang langsung dibawah pimpinannya. Sisanya
sebanyak dua belas orang dibawah pimpinan seorang perwira. Kelompok
pertama bergerak di sebelah depan, kelompok kedua menyusul di belakang
dalam jarak dua ratus langkah.
Di satu tempat kelompok terdepan
membelok ke kiri sedang kelompok kedua bergerak ke jurusan kanan. Sesuai
dengan rencana yang telah diatur Sanjaya dan orang-orangnya akan lebih
dulu menyerbu ke sarang Warok Grimbil. Jika pertempuran sudah berkecamuk
baru kelompok kedua menyerbu memberikan bantuan.
Sanjaya
menghentikan kudanya dan memberi pada anak buahnva. Lima belas meter di
hadapan mereka kelihatan sebuah rumah. Rumah pertama dan terdekat dari
perkampungan perampok. Perwira muda ini meneliti suasana. Menurut
taksirannya di perkampungan di tengah hutan itu paling tidak terdapat
sekitar tujuh sampai delapan rumah. Ditambah dengan sebuah bangunan yang
agak besar. Dapat dipastikan bangunan besar ini adalah tempat kediaman
Warok Grimbil selaku pimpinan gerombolan. Perkampungan itu tampak sunyi,
tenang.
Seorang perempuan tengah menjemur pakaian di samping sebuah
rumah. Dua orang lainnya menumbuk padi di halaman. Tak seorang anggota
rampokpun kelihatan. Mungkinkah Warok Grimbil dan orang-orangnya tengah
pergi melakukan perampokan? Ini sama sekali tak masuk akal. Karena
dengan tewasnya banyak anggotanya malam tadi serta bahaya akan diserang
pagi hari tentunya Warok Grimbil tidak akan melakukan hal itu. Sanjaya
menduga keras Warok Grimbil telah menyusun satu rencana jebakan. Seorang
prajunit dikirim untuk menyelidiki sekeliling kampung. Tak berapa lama
kemudian prajurit ini kembali.
“Tak ada tanda-tanda bahwa Warok Grimbil dan orang-orangnya sembunyi di sekitar kampung.” prajurit itu melapor.
“Aneh,”
kata Sanjaya. “Kita tunggu sampai sepeminuman teh….” Sepeminuman teh
lewat. Sanjaya memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka bergerak dengan
cepat ke tengah perkampungan. Orang-orang perempuan yang ada di luar
tampak terkejut melihat kedatangan prajurit-prajurit kerajaan. Ketakutan
dan terbirit-birit mereka masuk ke dalam rumah masing-masing.
“Kalian
orang-orang perempuan tak usah takut!” seru Sanjaya dari atas kudanya.
Dia memandang tajam berkeliling. Masih belum kelihatan seorang rampok
pun.
“Mana orang laki-laki? Apakah mereka dan Warok Grimbil bersembunyi dalan rumah?!” berseru Sanjaya.
Tak
ada yang menjawab. Setiap pintu rumah kelihatan tertutup. Sanjaya
menunggu. Dia jadi kesal. Didekatinya sebuah rumah dan digedor pintunya.
Pintu terbuka. Dan keluarlah perempuan yang tadi tampak menjemur
pakalan.
“Lekas katakan di mana rampok-rampok yang tinggal di sini?!”
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak tahu atau gagu?!” sentak Sanjaya.
“Warok Grimbil membawa mereka pagi-pagi tadi..” perempuan itu menerangkan.
“Semuanya?”
“Mereka menuju ke mana?” tanya Sanjaya lagi.
“Tidak tahu. Tak seorang pun diberitahu…”
Sanjaya menunjuk ke rumah paling besar di tengah kampung
“Itu rumahnya Warok Grimbil?”
“Benar.”
“Siapa yang ada di dalamnya…”
“Empat
perempuan muda peliharaan Warok….” Sanjaya memberi isyarat pada
anak-anak buahnya lalu bergerak ke arah rumah besar. Suasana di dalam
rumah besar itu kelihatan sunyi. Sanjaya mendorong daun pintu. Ternyata
tidak dikunci. Dari atas kudanya dia dapat melihat empat orang perempuan
duduk berjejer di ruangan dalam. Keempatnya masih muda dan memiliki
paras cantik. Yang membuat perwira muda ini jadi menahan napas ialah
karena empat perempuan tersebut duduk di tempat masing-masing tanpa
mengenakan pakaian! Malah ketika melihat Sanjaya dan prajurit-prajurit
itu di pintu, mereka tersenyum, menggeser duduk masing-masing hingga
sikap mereka benar-benar menantang dan mengundang! Prajuritprajurit
Kerajaan jadi melotot tak berkesip dan teguk air liur!
Salah seorang dari empat perempuan bertelanjang itu melambaikan tangannya dan berkata:
“Kalian
petugas-petugas Kerajaan silakan masuk! Warok berpesan bahwa tamu mana
saja yang datang harus disambut dengan hormat dan hangat!”
Sepasang
mata Sanjaya menyipit. Dari suasana yang dihadapinya sekarang ini
semakin yakin dia bahwa Warok Grimbil betul-betul tengah memasang satu
jebakan berbahaya. Dia memberi tanda pada orang—orangnya agar berlaku
waspada.
“Mana Warok Grimbil dan anak buahnya?” tanya Sanjaya pada perempuan di dalam rumah.
“Masuklah. Mari kita bicara di dalam sini..” menjawab perempuan di ujung kiri.
Perempuan
yang di sampingnya menyambung “Jauh-jauh dari Kotaraja kau tentu haus
perwira muda. Haus dan letih. Mari masuk minum anggur dan melemaskan
otot-ototmu….”
Perempuan berikutnya menimpali:
“Masuklah, minum anggur dan bersenang-senang lalu tidur….”
Muka
Sanjaya menjadi merah. Dia berkata “Kalian dengar baik-baik. Siapa saja
yang ada di sini bisa kami tangkap. Kami berjanji akan membebaskan
kalian jika kalian mau mengatakan di mana Warok Grimbil dan anak
buahnya.”
Keempat perempuan itu tiba-tiba serentak berdiri. Tubuhnya
yang telanjang bulat itu kelihatan jelas dari ujung rambut sampai ujung
kaki.
“Masukah perwira, tak pantas bicara dari luar saja…” kata salah seorang dari mereka sambil membusungkan dadanya yang padat.
“Geledah rumah ini!” perintah Sanjaya.
Lima orang prajurit serentak hendak turun dari kudanya.
Justru
pada saat itu entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah anak panah
dan menancap tepat di samping pintu sebelah kanan. Pada ekor anak panah
terikat sehelai kertas yang ternyata sepucuk surat dan ditujukan pada
pasukan Kerajaan.
Sanjaya merenggutkan surat tersebut lalu membaca
isinya. Di situ hanya tertulis satu baris kalimat dengan huruf-hurufnya
berbunyi:

“SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MAMPUS!”

Pada detik Sanjaya selesai membaca sebaris kalimat itu, pada saat itu
pula di sekitarnya terdengar suara pekik riuh rendah. Empat perempuan
telanjang di dalam rumah lenyap masuk ke dalam sebuah kamar. Seorang
prajurit di samping Sanjaya mengeluarkan seruan tertahan. Sebatang anak
panah menancap di dadanya. Tak ampun lagi prajurit ini meliuk dan jatuh
dari punggung kuda.
Tiba batang anak panah dalam pada itu melesat ke
arah Sanjaya. Murid Wulur Pamenang ini dengan cekatan pergunakan ujung
tali les kudanya untuk menghantam mental ketiga anak panah itu! Ketika
dia memandang berkeliling kelihatanlah sekitar dua lusin manusia
berseragam hitam bertampang ganas bersenjata pedang dan golok, bahkan
ada yang membawa kapak, menyerbu ke arah mereka.
Di belakang sana
seorang lelaki bertubuh pendek katai berjalan lenggang kangkung
seenaknya. Di tangan kirinya dia memegang sebuah bumbung berisi puluhan
anak panah. Tanpa mempergunakan busur, tapi dengan jalan melemparkan
anak-anak panah itu dengan tangannya, dia melakukan serangan panah tiada
henti, terutama sekali ke arah Sanjaya. Hebat sekali daya lempar
manusia ini. Meskipun belum pernah bertemu muka sebelumnya namun Sanjaya
telah menduga bahwa manusia katai bermata liar dan bercambang bawuk ini
pastilah si pemimpin rampok Warok Grimbil. Tanpa tunggu lebih lama
Sanjaya segera cabut pedangnya.
Sembilan pajurit terpilih di bawah
pimpinan murid Wulur Pamenang itu dengan gagah berani baku hantam
menghadapi dua puluh empat rampok ganas. Hebat sekali jalannya
pertempuran. Menghadapi lawan yang lebih banyak di atas kuda kurang
memberikan keleluasaan, malah amat membahayakan bagi yang punya diri.
Menyadari hal ini setelah bertempur dua jurus Sanjaya berteriak memberi
aba-aba agar semua anak buahnya melompat turun dari kuda masing-masing.
Seorang
prajurit yang kurang hati-hati waktu melompat turun kena disambar
perutnya oleh ujung golok lawan hingga bobol dan ususnya membusai.
Dengan demikian jumlah orang-orang Kerajaan hanya tinggal delapan orang
kini, sembilan dengan Sanjaya.
Walau hati geram tetapi mereka tetap
memakai perhitungan sambil menunggu datangnya bala bantuan kelompok
kedua. Sanjaya mengamuk dengan pedangnya. Dua orang rampok tergelimpang
roboh. Satu lagi kemudian menjenit dengan leher hampir putus. Melihat
ini para perampok yang mengurung memperciut kurungannya hingga Sanjaya
dan anak buahnya terjepit di tengah kalangan pertempuran. Namun mereka
terus menghadapi lawan dengan semangat tinggi penuh ketabahan.
Dua
prajunit Kerajaan roboh, dan ini harus diimbangi oleh empat nyawa
anggota rampok. Warok Grimbil yang sejak tadi hanya tegak menyaksikan
jalannya pertempuran sambil sekalisekali melemparkan panah, kini
melompat ke muka. Lima batang anak panah terakhir yang dipegangnya
sekaligus dilemparkannya ke arah Sanjaya. Anak-anak panah ini melesat ke
arah lima bagian tubuh Sanjaya. Empat anak panah berhasil dihantam
runtuh dengan putaran pedang. Anak panah ke lima masih sempat
menyerempet bahu kiri pemuda itu.
“Perwira keparat! Mari sini! Aku
lawanmu!” teriak Warok Grimbil. Orangnya katai kecil. Tapi suaranya
besar luar biasa. Apalagi teriakannya tadi disertai dengan tenaga dalam
hingga terdengar hebat menggetarkan dada.
“Manusia kerdi!, jadi kau ini biang durjana yang bernama Warok Grimbi!?” tanya Sanjaya sambil melintangkan pedang di muka dada.
“Anjing
Kerajaan! Kurobek mulutmu!” bentak Warok Grimbil marah sekali. Tangan
kanannya bergerak dan tahu-tahu selusin senjata rahasia berbentuk paku
rebana telah melesat ke arah Sanjaya!
Murid Wulur Pamenang itu kaget
bukan kepalang. Tak disangkanya kepala rampok itu memiliki kecepatan
luar biasa dalam melancarkan serangan mendadak. Untung saja saat itu dia
dalam sikap melintangkan pedang di depan dada. Hingga dengan sigap dia
bisa pergunakan senjata itu untuk melindungi diri. Delapan paku rebana
berhasil dihantam mental, tiga buah dapat dikelit tapi yang satu lainnya
menancap di bahu kiri, dekat luka bekas serempetan anak panah.
Sanjaya
menggigit bibir menahan sakit dan cabut senjata rahasa itu dari
bahunya. Di hadapannya Warok Grimbil melompat, lima jari tangan kirinya
bergerak ke mulut Sanjaya siap untuk merobek tapi dapat dikelit.
Warok Grimbil ketawa mengekeh.
“Anjing Kerajaan, nyatanya tak seberapa kehebatanmu. Kau datang hanya untuk mengantar nyawa!”
“Warok
Grimbil manusia biadab! Jika kau masih ingin hidup menyerahlah. Niscaya
Kerajaan akan mengurangi hukumanmu!” bentak Sanjaya.
“Hukum?”
Sepasang ails mata Warok Grimbil mencuat naik. Lalu dia tertawa
gelak-gelak. “Seumur hidupku aku tak pernah kenal hukum! Persetan dengan
segala hukum!”
“Jika begitu kematian memang pantas untukmu. Neraka sudah lama menantimu!”
Kembali Warok Grimbil tertawa gelak-gelak.
“Justru di sinilah bangkaimu akan menggeletak dan membusuk!” tukas pemimpin rampok hutan Walu itu.
“Perlawananmu akan sia-sia! Kau dan anak buahmu sudah terkurung. Perhatikan sekelilingmu!”
Bola
mata Warok Grimbil berputar liar, memandang berkeliling. Saat itu
memang dilihatnya kira-kira selusin prajurit Kerajaan yang menunggang
kuda dan bersenjata lengkap menyeruak dari semak belukar, bergerak dalam
posisi mengurung.
Warok Grimbil tertawa mengejek.
“Siapa takut pada kacoak-kacoak Kerajaan?” katanya. Lalu mendengus dan gerakan kedua tangannya sekaligus!
Tangan pertama melepaskan satu pukulan ke arah Sanjaya, yang satu lagi ke jurusan prajurit-prajurit yang baru datang.
Sanjaya
yang memang sudah bersiap-siap denqan cepat melompat selamatkan diri.
Sebaliknya dua orang prajurit di muka sana, yang tidak menduga kalau
bakal mendapat serangan, terjungkal dari kuda masing-masing,
menggelepar-gelepar beberapa kali di tanah, lalu diam tak bergerak lagi.
“Warok Grimbil! Lihat pedang!” terdengar seruan Sanjaya. Dan sinar pedang berkiblat ke arah kepala rampok itu.
Warok
Grimbil menyingkir sebat dan serentak membalas dengan pukulan tangan
kosong lagi. Tapi Sanjaya tak mau memberi kesempatan, mengirimkan satu
tebasan ganas ke arah tangan lawan hingga pemimpin rampok ini sambil
memaki terpaksa tarik pulang tangannya.
Dalam jumlah kedua belah
pihak kini tampak berimbang sehingga kecamuk pertempuran semakin
menggila. Korban-korban berjatuhan hampir setiap dua jurus.
Beberapa
bulan yang lalu Warok Grimbil dan anak buahnya pernah disergap pasukan
Kerajaan dibawah pimpinan dua orang perwira. Bukan saja para penjahat
itu berhasil menghadapi pasukan Kerajaan tapi bahkan tak seorangpun yang
mereka biarkan hidup. Semula Warok Grimbil menyangka bahwa pasukan yang
datang kali ini juga bakal dapat dibereskannya dalam waktu singkat.
Namun hatinya jadi tergetar ketika melihat kenyataan bahwa perwira muda
yang memimpin pasukan Kerajaan itu bukan orang sembarangan.
Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dua perwira yang dulu pernah
dibunuhnya! karenanya sebelum mendapat celaka kepala rampok ini segera
keluarkan senjata yang amat diandalkan yakni sebuah keris berwarna ungu
yang ujungnya bercabang dua dan agak melengkung sedang gagangnya berukir
kepala kelabang. Keris ini bernama “Kelabang Ungu”.
Dari sinar yang
memancari di tubuh senjata itu Sanjaya segera maklum kalau keris lawan
adalah sejenis senjata yang tidak boleh dianggap remeh. Cepat-cepat
Sanjaya lancarkan serangan berantai. Warok Grimbil berkelit gesit.
Tubuhnya yang katai itu lenyap dari pemandangan. Kini hanya sinar ungu
kerisnya saja yang tampak bergulung-gulung, menyambar ganas kian kemari!
Anginnya bersiur dan memerihkan kulit.
Meskipun keris di tangan
Warok Grimbil merupakan senjata sakti berbahaya, namun menghadapi
sebatang pedang d tangan Sanjaya, kepala rampok ini tidak bisa berbuat
banyak. Beberapa kali sudah senjatanya bentrokan dengan pedang lawan.
Kepala rampok ini diam-diam mengeluh karena setiap bentrokan yang
terjadi dia segera mengetahui bahwa tenaga dalam lawannya masih muda itu
berada dua atau tiga tingkat di atasnya!
Tiba-tiba dari mulut Warok
Grimbil keluar satu teriakan dahsyat. Permainan silatnya mendadak sontak
berubah. Senjatanya bertabur laksana curahan hujan dan membuat Sanjaya
menjadi bingung.
Sebelum perwira muda ini bisa mengimbangi
jurus-jurus aneh yang dimainkan lawannya itu tiba tiba dirasakannya
badan pedangnya telah terjepit di atas kedua ujung bercabang keris
“Kelabang Ungu”
Cepat-cepat Sanjaya hendak menarik pedangnya. Namun
jepitan itu ketat luar biasa. Sekali Warok Grimbil memutar lengannya
maka patahlah pedang Sanjaya.
Warok Grimbil tertawa panjang.
“Ajalmu sudah di depan mata, perwira!” seru Warok Grimbil.
Tapi kepala rampok ini terlalu cepat bergembira.
Sanjaya
yang sudah memaklumi bahaya apa yang dihadapinya, begitu pedangnya
patah, pada kejap itu pula dia mengirimkan satu tendangan kilat ke
depan!
Warok Grimbil kaget bukan main, tapi juga penasaran. Kelabang
Ungu dibabatkannya ke bawah, ke arah kaki Sanjaya. Namun apa yang
dilakukannya sudah tenlambat. Kaki kanan lawan datang lebih cepat.
Sedapat-dapatnya Warok Grimbil jatuhkan diri ke samping secara nekat.
Kenekatannya tidak membawa hasil yang diharapkan karena kaki kanan
Sanjaya masih sempat menghantam siku tangan kanannya hingga siku itu
bukan saja tanggal dari persendiannya tetapi juga hancur tulangnya.
Jeritan
kepala rampok itu setinggi langit. Dia tak peduli lagi ke mana mental
dan jatuhnya keris Kelabang Ungu. Dia melompat dua tombak menjauhi
Sanjaya. Tak mungkin lagi baginya untuk meneruskan perkelahian.
Anak-anak buahnya yang melihat keadaan pemimpin mereka jadi ciut
nyalinya. Hendak lari merasa takut karena belum mendapatkan perintah.
“Ringkus dia!” penintah Sanjaya.
Lima orang prajurit segera bergerak. Untuk meringkus pemimpin rampok yang tak berdaya dan kesakitan setengah mati itu.
Tapi dalam detik itu terjadilah hal yang sangat mengejutkan laksana adanya geledek di siang bolong.
“Adikku Grimbil! Siapa yang berani kurang ajar menyakitimu?!”
Satu
bentakan nyaring terdengar disusul oleh jeritan-jeritan mengerikan.
Lima prajurit yang tadi hendak meringkus Warok Grimbil menjerit.
Kelimanya berdiri terhuyung-huyung sambil pegangi leher masing-masing.
Dari leher itu menyembur darah. Ketika Sanjaya memperhatikan dengan mata
membelalak ternyata leher ke lima prajurit telah ditancapi sebuah pisau
kecil! Satu demi satu prajurit-prajurit yang malang ini roboh ke tanah
dan tak bergerak lagi selamalamanya.
Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang punya perbuatan membunuh lima prajurit itu hanya dalam sekejapan mata saja?

Suasana sehening di pekuburan. Semua yang bertempur laksana dipukau
oleh satu kekuatan gaib. Semua sama memutar kepala, berpaling ke jurusan
munculnya seorang nenek-nenek aneh bertubuh kurus kering, bermuka
perot. Seperti Warok Grimbil, neneknenek ini pun memiliki tubuh pendek
katai. Dia mengenakan jubah yang amat dalam hingga menjela sampai ke
tanah. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan debu mengepul ke udara.
Jubah
yang dikenakannya bukan jubah sembarangan jubah. Pakaian ini mulai dari
atas sampai ke bawah digantungi dengan puluhan bahkan mungkin ratusan
pisau-pisau kecil. Pisaupisau seperti inilah yang telah mengakhiri
nyawa lima prajurit Kerajaan tadi!
“Muning Kwengi!” seru Warok
Grimbil. Suara dan wajahnya menunjukkan kegembiraan luar biasa. Semangat
dan nyalinya tampak berkobar kembali ketika melihat siapa yang datang.
Demikian pula anggota-anggota rampok lainnya yang sebenarnya sudah
siap-siap untuk ambil langkah seribu.
“Muning! Syukur kau datang! Lekas bunuh kerak-kerak Kerajaan itu! Perwira keparat ini lebih dulu!”
Muning
Kwengi, demikian nama si nenek katai ternyata adalah kakak kandung
Warok Grimbil. Dia bertempat tinggal di sebuah pulau di pantai utara.
Dalam dunia persilatan karena kehebatannya memainkan pisau kecil nenek
ini diberi julukan “Iblis Pisau Terbang.”
Seperti juga adiknya Muning
Kwengi pun bukanlah manusia baik-baik. Ilmu kepandaiannya dipergunakan
untuk malang-melintang berbuat kejahatan sekehendak hatinya. Di samping
itu nenek tua yang hanya tinggal beberapa meter dari liang kubur ini
juga ternyata masih genit, suka daun muda alias senang pada laki-laki
yang jauh lebih muda apalagi tampan. Memandang kepada adiknya dan
melirik pada Sanjaya si nenek muka perot cengar-cengir lalu berkata:
“Hanya
seekor kucing dapur begini kau sudah tidak mampu menghadapinya Grimbil?
Huh, betul-betul membuat aku tidak punya muka menjadi kakakmu!”
Muning Kwengi memandang berkeliling. Lalu membentak pada anggota-anggota rampok yang memandang angker padanya.
“Kalian kenapa melongo?! Ayo musnahkan prajurit-prajurit Kerajaan itu! Itu urusan kalian!”
Anak-anak
buah Warok Grimbil yang sudah tahu siapa adanya nenek tua tersebut,
timbul kembali keberaniannya. Mereka serempak menyerbu prajurit-prajurit
Kerajaan.
Muning Kwengi maju dua langkah, kedip-kedipkan mata
kirinya lalu menuding dengan jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke
arah Sanjaya yang tegak delapan langkah di hadapannya.
“Perwira, membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku….”
“Begitu?!”
tukas Sanjaya. Sejak tadi dia sudah berwaspada. Cara muncul dan
gerak-gerik nenek ini cukup menyatakan bahwa dia bukan sembarangan.
Tingkat ilmunya jauh lebih hebat dari Warok Grimbil, mungkin mendekati kepandaian gurunya Eyang Wulur Pamenang.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi mata kirinya.
“Sangat
mudah!” kata Muning Kwengi pula. “Tapi orang segagahmu terlalu sayang
kalau harus mati muda mati percuma. Jika kau bersedia ikut denganku dan
jadi peliharaanku selama lima tahun, akan kuampuni kau punya jiwa!”
Air muka Sanjaya menjadi gelap merah. Muning Kwengi tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka peot! Tak tahu diburuk diri! Tak ingat liang kubur sudah menganga masih saja punya otak kotor cabul!”
“Ahai!
Orang muda, jangan bicara keliwat menghina!” sahut Muning Kwengi seraya
usapusap kedua pipinya yang kempot berkerut. “Aku memang sudah tua…
sudah peot! Tapi bukan tua sembarang tua. Bukan peot sembarang peot!
Sekali kau merasakan kehangatan pelukanku, sekali kau tidur bersamaku,
seumur hidup kau akan mengekor ke mana aku pergi! Hik… hik… hik… hik!”
Warok Grimbil yang tidak sabar melihat tingkah laku kakaknya itu berteriak “Muning! Kau tunggu apa lagi? Bunuh bangsat itu!”
“Sabar…
sabar adikku! Kalau aku bisa mendapatkan keuntungan dari daun muda ini
bukankah lebih baik dia dibiarkan hidup untuk sementara?!”
Warok
Grimbil mengomel panjang pendek. Dia maklum tak bakal dapat memaksa
kakaknya yang beradat aneh itu. Saking kesal akhirnya dia duduk
menjelepok di tanah sambil coba mengobati cedera di sikunya.
“Perwira,”
kembali Muning Kwengi membuka mulut sambil kedipkan mata kiri dan
sunggingkan senyum di mulut yang perot. “Coba kau pikir baik-baik.
Inginkan hidup berarti kau bakal mendapat banyak kenikmatan dariku.
Inginkan mati maka kau bakal menemul ajal secara mengenaskan detik ini
juga! Nah, pilih mana?”
“Aku lebih suka mati berkalang tanah daripada menjadi budak peliharaan manusia mesum macammu!” jawab Sanjaya.
Si nenek geleng-geleng kepala.
“Apakah musti kubuktikan sekali lagi bahwa kematianmu itu nantinya benar-benar amat mengerikan? Nah kau saksikanlah!”
Hampir
tak terlihat kapan dia menggerakkan kedua tangannya tiba-tiba terdengar
suara bergemerincingan. Sedetik kemudian diikuti oleh pekik susul
menyusul. Sanjaya memutar tubuh ke belakang. Delapan prajurit Kerajaan
yang tengah bertempur melawan anggota rampok roboh menggeletak. Di
kepala masing-masing menancap pisau kecil yang telah dilemparkan Muning
Kwengi!
Ketegangan yang menggantung di udara dirobek oleh suara tawa cekikikan Muning Kwengi!
“Indah atau sangat mengerikan kematian itu hai perwira muda?”
“Memang
mengerikan perempuan iblis!” sahut Sanjaya dengan kertakkan rahang.
“Tapi tidak lebih mengerikan dari kematian yang bakal kau terima.
Lihat!”
Sanjaya pukulkan tangan kanannya ke depan. Selarik sinar yang
memiliki tiga warna yaitu merah, biru dan kuning menderu ke arah Muning
Kwengi.
“Pukulan Tiga Racun!” seru si nenek dan cepat-cepat
menyingkir. “Ladalah! Apakah kau muridnya si Wulur Pamenang?! Jadi si
tua bangka perot itu masih juga belum mampus hah?!”
“Hatimu jahat dan
mulutmu kotor!” teriak Sanjaya. Pemuda itu marah sekali karena gurunya
dihina dengan sebutan demikian rupa. Kali ini dia lancarkan lagi Pukulan
Tiga Racun dengan tangan kiri kanan.
Muning Kwengi jatuhkan diri
sama rata dengan tanah. Serentak dengan itu dia cabut lima buah pisau
kecil dan melemparkannya ke arah Sanjaya. Karena saat itu dia tidak
bersenjata terpaksa pemuda ini jatuhkan diri ke tanah. Namun dari
belakang sana Muning Kwengi kembali melemparkan lima buah pisau. Sanjaya
bergulingan di tanah. Tapi tak urung salah satu pisau itu masih sempat
menghantam tubuhnya, menancap di dada sebelah kanan!
Perwira muda itu
mengeluh. Dengan menahan sakit dia cabut pisau tersebut langsung
menyerbu ke arah si nenek. Muning Kwengi alias Iblis Pisau Terbang
menyambut dengan tawa mengejek. Tubuhnya berkelebat lenyap. Dia sama
sekali tidak melancarkan serangan. Agaknya sengaja memamerkan ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi. Dengan berkelebat kian kemari laksana
bayang-bayang semua serangan Sanjaya dielakkannya dengan gampang.
Di
saat itu Sanjaya merasakan dadanya yang bekas ditancapi pisau lawan
sakit sekali. Nafasnya menyesak dan kerongkongannya panas seperti
tersekat. Serangannya menjadi kendor bahkan ketika pandangannya menjadi
gelap pemuda ini hanya bisa berdiri terhuyunghuyung. Bumi ini laksana
terbalik di matanya.
Muning Kwengi tersenyum. “Racun pisau telah
bekerja… racun pisau telah bekerja,” katanya dalam hati lalu hentikan
gerakannya. Dia maju beberapa langkah menghampiri Sanjaya dan berkata:
“Orang
muda, sekarang maut ada di depan hidungmu. Jika kau bersedia ikut
denganku, akan kuberikan obat penawar racun. Tapi jika kau tetap
membandel, satu jam dimuka nyawamu tak akan tertolong lagi…!”
“Lebih
baik mati. Seribu kali lebih baik mati daripada menyerahkan diri ikut
dengan iblis macammu!” sahut Sanjaya. Suaranya demikian perlahan seperti
berbisik. Kedua kakinya tertekuk. Tubuhnya terkulai dan jatuh ke tanah.
Dari mulutnya ke luar ludah membusah. Dalam keadaan seperti itu
dilihatnya Warok Grimbil memungut sebatang golok dan lari ke arahnya
seraya berteriak:
“Muning Kwengi! Jika kau tidak mau membunuhnya, biar aku yang bikin mampus bangsat ini!”
Sesaat
kemudian golok di tangan kiri kepala rampok itu diayunkan ke arah batok
kepala Sanjaya. Si perwira muda ini tak mampu berbuat apapun selain
diam menunggu kematian. Sekujur tubuhnya panas dingin akibat racun
pisau. Di saat kematian datang itu terbayang olehnya wajah gurunya,
wajah Wulandari. Terakhir sekali dia berseru menyebut nama Tuhan!
Selama
seorang manusia tidak melupakan Tuhannya maka selama itu pula Tuhan
ingat kepadanya. Begitulah yang terjadi dengan Sanjaya.
Pada detik
golok di tangan Warok Grimbil akan membelah batok kepala perwira muda
itu, entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah batu sebesar kepalan.
Terdengar pekik kepala rampok itu. Sikut kirinya hancur. Golok terlepas
dari tangannya. Dengan demikian kedua sikut kiri kanan kepala rampok
ini mengalami cedera parah.
Sebelum Sanjaya jatuh pingsan masih
sempat dilihatnya kemunculan seorang pemuda berambut gondrong,
berpakaian serba putih, berdiri di bawah cucuran atap sebuah rumah
sambil bertolak pinggang dan cengar-cengir seenaknya seperti orang
kurang waras!

Anjing kurap! Setan alas! Siapa kau?!" bentak Muning Kwengi menggeledek
dan marah sementara adiknya Warok Grimbil terkapar di tanah mengerang
kesakitan. Pemuda di bawah cucuran atap kembali menyeringai dan
keluarkan suara bersiul.
"Haram jadah!" maki Muning Kwengi.
Sekali
tangannya bergerak lima pisau kecil terbang ke arah si pemuda. Di
seberang sana pemuda berambut gondrong itu kembali keluarkan suara
bersiul. Dia telah lama mendengar kehebatan nenek-nenek bertubuh katai
itu. Karenanya begitu diserang segera dia pukulkan tangan kirinya. Satu
gelombang angin bersiur menerpa lima pisau terbang. Senjata-senjata maut
beracun itu mental dan hebatnya kini membalik menggempur pemiliknya
sendiri!
Kagetnya Muning Kwengi bukan alang kepalang. Cepat dia
menyingkir. Selama malang melintang memegang gelar lblis Pisau Terbang
hanya ada satu tokoh silat yang pernah membendung bahkan mengembalikan
serangan pisaunya. Tokoh silat itu adalah Dewi Siluman Dari Bukit
Tunggul yang kini sudah mati yaitu ketika terjadi perselisihan antara
sesama tokohtokoh golongan hitam. Dengan mata membeliak hatinya
bertanya-tanya siapa gerangan adanya pemuda berambut gondrong yang
memiliki kepandaian bukan sembarangan ini!
"Muning Kwengi!" Tiba-tiba si pemuda berseru, membuat kaget si nenek.
"Ladalah! Kowe kenal namaku!" tukas lblis Pisau Terbang.
Tanpa
acuhkan keterkejutan orang si rambut gondrong kembali berkata:
"Seminggu lalu secara biadab kau menghancurkan seluruh pesantren Bintang
Hijau di lembah Beringin …."
"Oh, jadi kau anak murid pesantren Bintang Hijau yang datang untuk menuntut balas?!" sentak Muning Kwengi.
"Siapa
aku, kau tak perlu tahu! Setiap orang yang berada di jalan kebenaran
berhak meminta pertanggungan jawabmu atas semua kejahatan yang telah kau
lakukan!"
"Hebat sekali!" sahut Muning Kwengi lalu tertawa panjang.
"Enam tokoh silat kelas satu pernah mengeroyokku satu bulan lalu. Mereka
juga bicara tentang segala macam kebenaran dan tanggung jawab! Dan
mereka semua mampus di tanganku!"
"Memang betul! Ada kalanya kejahatan itu dapat menghancurkan kebenaran, tapi tidak selamanya…."
"Ah
ucapanmu tinggi dan sombong. Melihat tampangmu yang tolol kau tentu
bukan seorang terpelajar, apalagi sastrawan! Disamping itu aku tidak
terlalu suka mendengar obrolan panjang lebar. Lekas terangkan siapa kau
dan ilmu kepandaian apa yang hendak kau andalkan hingga berani datang
untuk jual tampang di hadapanku si lblis Pisau Terbang?"
"Aku utusan kematian! Mewakili malaikat maut untuk minta roh busukmu!" sahut pemuda berambut gondrong.
Menggelegaklah
kemarahan Muning Kwengi. Rahangnya bertonjolan dan matanya membeliak.
Didahului oleh pekikan keras nenek-nenek ini melompat ke muka seraya
lancarkan satu tendangan dan dua pukulan tangan kosong yang hebat!
"Ciat!"
Pemuda
rambut gondrong membentak nyaring dan berkelebat ke samping. Tangannya
yang mengepal dipukulkan ke depan. Terdengar angin bersiur. Muning
Kwengi tersentak kaget ketika merasakan tubuhnya terapung di udara tak
bisa maju lagi laksana ditahan oleh selapis dinding yang amat atos!
"Dinding
Angin Berhembus Tindih Menindih!" seru nenek katai itu begitu dia
mengenali pukulan pertahanan yang dilepaskan lawan. Melihat kenyataan
ini tergetarlah hatinya. Mukanya menjadi pucat. Kini dia sudah dapat
memastikan siapa adanya pemuda gondrong itu!
Sebagai tokoh silat
golongan yang sudah terkenal di delapan penjuru angin tentu saja Muning
Kwengi tidak mau memperlihatkan kegentarannya. Setelah melompat ke
samping guna menghindarkan terpaan angin pukulan lawan, secepat kilat
dia lemparkan setengah lusin pisau beracun. Serangan ini masih disusul
lagi dengan satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan sinar biru
menggidikkan!
Baik pisau terbang maupun pukulan tangan kosong keduanya sama mengandung racun yang amat jahat.
Pemuda
rambut gondrong melompat, dua tombak ke udara. Dari atas dia lalu
melepaskan satu pukulan dahsyat yang selama ini merupakan pukulan yang
telah menggetarkan dunia persilatan.
lblis Pisau Terbang berseru tegang ketika melihat sinar putih menyilaukan laksana kilat dari langit menyambar panas ke arahnya!
"Pukulan Sinar Matahari!"
Nenek-nenek
itu membuang diri ke samping kiri, bergulingan di tanah untuk kemudian
berdiri dengan kedua tangan dipentangkan di depan dada, menjaga segala
kemungkinan sementara wajahnya yang keriput kelihatan bertambah pucat.
Pukulan
Sinar Matahari yang dilepaskan si pemuda yang dengan demikian
menyatakan bahwa dia adalah bukan lain Wiro Sableng yang bergelar
Pendekar Kapak Maut Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede!
Seruan Muning Kwengi yang menyebut nama pukulan yang barusan
dilepas lawan lenyap ditelan gelegar suara beradunya sinar pukulan itu
dengan sinar biru yang dilepaskan Muning Kwengi untuk mempertahankan
diri.
Dua pukulan itu laksana raksasa, berkecamuk, bergelungan, lalu
memecah ke kiri untuk kemudian menyerempet sisa-sisa prajurit-prajurit
dan anggota-anggota rampok yang masih bertempur. Terdengar pekik-pekik
kematian. Semuanya berkaparan di tanah dengan tubuh hangus laksana
dipanggang!
Muning Kwengi merasakan dadanya berdenyut-denyut.
Menggempur pemuda itu sampai lima puluh atau seratus jurus sekalipun
belum tentu dirinya akan sanggup mengalahkannya. Karenanya daripada
membuang-buang waktu dan bukan mustahil dia bisa celaka maka neneknenek
ini segera menyambar dan mendukung tubuh adiknya. Untuk tidak
kehilangan muka dia berkata:
"Pendekar 212! Sayang aku tak punya
waktu banyak. Jika nyalimu benar-benar besar aku tunggu kau! Malam bulan
purnama besar di pekuburan Blumbung!"
"Nenek-nenek keriput! Kau mau
ke mana?!" sentak Wiro Sableng. "Apa yang telah kau mulai hari ini,
harus diselesaikan hari ini juga!"
lblis Pisau Terbang pencongkan
mulut. Uengan tangan kanannya dilemparkannya tiga buah pisau ke arah
Wiro Sableng. Pendekar ini cepat menghantam serangan lawan dengan
pukulan tangan kosong. Namun pisau-pisau yang dilemparkan si nenek kali
ini bukan sembarangan pisau. Karena begitu angin pukulan Wiro membentur
badan pisau, ketiga pisau itu yang bagian dalamnya mempunyai rongga,
meledak dan tiga gulungan asap hitam menggebubu menutupi pemandangan!
"Kurang
ajar!" maki Wiro dan sadar kalau sudah tertipu. Tak menunggu lebih lama
dia segera lepaskan dua pukulan Sinar Matahari ke jurusan di mana
Muning Kwengi sebelumnya tadi berdiri. Tapi si nenek katai tidak roboh.
Begitu asap bertabur dia melompat tiga tombak ke samping kiri untuk
kemudian lenyap di dalam rimba belantara bersama adiknya.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala dan memandang berkeliling. Mayat bertaburan
dimanamana. Perkampungan di tengah hutan itu sesunyi di pekuburan. Wiro
melangkah mendekati sosok tubuh Sanjaya. Ditotoknya tubuh perwira yang
malang itu di beberapa bagian kemudian dipanggulnya meninggalkan tempat
itu.
Di barat langit telah kuning kemerahan. Sebentar lagi sang surya
akan segera tenggelam. Pendekar 212 Wiro Sableng tinggalkan hutan Walu
dengan berlari cepat ke jurusan selatan.
Telaga itu terletak di
antara dua kaki bukit. Bulan sabit tampak menggantung tinggi di langit,
sebentar-sebentar tertutup angin kelabu yang berarak ke arah timur.
Sebuah api unggun menyala di salah satu tepian telaga. Tak berapa jauh
dari api unggun kelihatan dua orang lelaki duduk berhadap-hadapan.
"Sebaiknya kau berbaring saja perwira. Agar kau bisa istirahat dan jalan darahmu teratur …."
"Ah, lagi-lagi kau memanggilku dengan sebutan perwira itu Wiro. Namaku Sanjaya …."
Wiro cuma menyengir. "Berbaringlah…" katanya lagi.
Sanjaya gelengkan kepala. Dia memandang pada balutan di dadanya.
"Bubuk obat yang kau berikan ternyata mujarab sekali. Aku telah berhutang nyawa terhadapmu…."
"Jangan kau sebut-sebut lagi hal itu …."
"Menyebutnya atau tidak namun itu adalah kenyataan."
Sanjaya diam seketika. Lalu: "Bagaimana kau bisa muncul di perkampungan rampok itu?" tanyanya kemudian.
"Aku
memang sudah sejak lama memburu bangsat tua berjuluk lblis Pisau
Terbang itu. Kejahatannya benar-benar telah lewat takaran. Terakhir
sekali dia memusnahkan secara kejam pesantren Bintang Hijau di lembah
Beringin. Jejaknya kuikuti sampai ke dalam rimba belantara Walu. Justru
kuketahui di situ juga bersarang gerombolan rampok ganas pimpinan Warok
Grimbil. Menurut keterangan yang kudapat Warok Grimbil masih bersaudara
kandung dengan lblis Pisau Terbang. Kujelajahi rimba belantara dan
akhirnya betul-betul bertemu dua manusia jahat itu. Tapi sayang,
keduanya berhasil meloloskan diri!" Lalu Wiro menerangkan bagaimana dia
telah tertipu oleh tiga pisau terbang Muning Kwengi.
Karena sudah
merasa sangat dekat dengan Wiro maka tanpa ditanya Sanjaya menuturkan
pula tugas yang dijalankannya atas perintah Sri Baginda yakni untuk
membasmi komplotan rampok jahat Warok Grimbil, menangkap pemimpinnya
hidup atau mati.
"Semua prajuritku menemui kematian," keluh Sanjaya. "Bagaimana aku bisa kembali ke Kotaraja begini rupa?!"
"Tak usah kawatir, cepat atau lambat tentu ada orang lain yang akan membekuk kedua manusia jahat itu."
"Betul,
tapi aku yang ditugaskan untuk membasminya justru aku sendiri yang
selamat. Tidak mustahil orang akan berprasangka buruk padaku …."
"Kalah atau menang dalam satu pertempuran adalah satu hal yang lumrah sobat," menghibur Wiro.
"Yah,
kekalahan yang terlalu pahit untuk ditelan," desis Sanjaya. Dia
teringat pada gurunya dan menyambung dengan suara perlahan: "Yang akan
mengalami kekecewaan besar adalah Eyang Wulur Pamenang, guruku. Dia
tentu malu mempunyai seorang murid yang tidak berguna macamku ini. Aku
sendiri tak punya muka untuk bertemu dengan dia …."
Wiro Sableng
garuk-garuk kepala dan tertawa. "Jangan putus asa Sanjaya. Kita harus
ingat, betapapun tingginya ilmu seseorang kelak ada lain orang yang
lebih tinggi kepandaiannya. Di luar langit ada langit lagi. Begitu orang
memberi perumpamaan …."
Sanjaya menghela nafas dalam dan memandang
ke utara di mana dalam gelapnya malam sepasang matanya masih mampu
melihat puncak gunung Slamet menghitam di kejauhan. Berada di situ
pemuda ini sama sekali tidak mengetahui malapetaka yang telah menimpa
gurunya serta tunangannya dua bulan yang lewat.

Kedai Pak Tanu terletak di tengah pasar di pusat kota Bumiayu,
merupakan kedai yang buka siang malam di kota kecil itu. Karena Bumiayu
menjadi pusat persimpangan lalulintas dari lima jurusan maka meskipun
kecil tapi sepanjang hari sampai malam kota ini senantiasa ramai.
Kedai
pak Tanu terkenal sampai ke mana-mana dan selalu ramai pengunjungnya.
Sebenarnya makanan yang dimasak bu Tanu tidak terlalu luar biasa. Namun
orang selalu datang ke sana untuk makan atau minum karena harganya
murah. Dan ada hal lain lagi yang membuat orang mengalir sepanjang hari
masuk ke kedai tersebut.
Pak Tanu mempunyai dua orang anak. Satu
lelaki seusia sepuluh tahun sedang satu lagi perempuan yang sudah remaja
puteri, berkulit hitam manis dan berparas cantik. Hidung mancung, bibir
kecil, dagu laksana lebih bergantung. Leher jenjang, alis laksana bulan
sabit dan bulu mata panjang melentik. Ditambah pula dengan lenggang
lenggoknya ketika berjalan serta sikapnya yang genit manja, semua itulah
yang sebenarnya menjadi penyebab mengapa kedai pak Tanu terkenal dan
banyak dikunjungi orang.
Selaku pemilik kedai pak Tanu agaknya memang sengaja menyuruh anak gadisnya itu duduk di kedai untuk melayani para tetamu.
Colak
colek dan cubitan tangan lelaki-lelaki bagi Sri Wening -begitu nama
puteri pak Tanu – sudah merupakan hal-hal yang biasa, malah tak jarang
banyaklah yang tergila-gila padanya. Makin banyak yang tergila berarti
tambah banyak tamu yang datang dan tambah penuh kocek pak Tanu.
Sedemikian
banyak para pemuda dan para pedagang yang terpikat namun sebegitu jauh
tak seorang pun yang bisa mendekatinya. Banyak yang melamar malah. Semua
ditolak. Jinakjinak merpati. Begitulah julukan yang diberikan orang
pada Sri Wening.
Suatu malam hujan lebat sekali. Di kedai pak Tanu
terdapat sekitar selusin tamu. Kebanyakan di antara mereka minum teh
atau kopi hangat sambil merokok dan tentunya tak lupa melirik puteri
pemilik kedai yang hitam manis itu. Kadang-kadang seseorang sengaja
menghabiskan minumannya cepat-cepat agar bisa minta minuman baru dan
dengan demikian berkesempatan untuk mengganggu, meraba atau mencolek Sri
Wening yang datang melayani.
Pada saat hujan lebat berganti
rintik-rintik, masuklah seorang tamu muda berpakaian sederhana. Dia
memandang dulu seputar kedai, lalu memilih tempat duduk di sudut yang
agak terpencil. Diusapnya wajahnya yang basah oleh air hujan. Sri Wening
mendatangi dengan lenggang-lenggok dan genit.
"Hai, kau datang lagi sahabat muda," sapa Sri Wening dan tak lupa melontarkan senyum memikat.
"Ya … ya …" sahut si pemuda sambil garuk-garuk belakang kepalanya.
"Nah, kau pasti lupa apa yang kupesankan malam kemarin ketika kau datang ke mari …."
"Apa … ? Pesan apa ya?" balik bertanya sang tamu sambil coba mengingat-ingat dengan tampang yang tolol.
Sri
Wening tertawa berderai hingga semua orang memandang ke jurusannya.
Diam-diam banyak yang merasa iri pada tamu muda bertampang bodoh itu.
"Ah,
kau seorang pelupa rupanya! Malam kemarin kupesankan padamu agar kau
memotong rambutmu yang gondrong tak karuan itu! Kau ingat?!"
"Ya … ya, aku ingat sekarang. Tapi … ngg …. Aku lebih suka gondrong begini!"
"Perempuan akan jijik melihatmu!" ujar Sri Wening.
"Biar, biar semua perempuan. Asal kau sendiri tidak," sahut si pemuda.
Kembali Sri Wening tertawa panjang.
"Kau
ceriwis!" Sri Wening mencubit belakang tangan sang tamu. Si pemuda
tersenyum dan kedipkan matanya. "Kau genit. Ih!" Gadis itu menjauh.
"Katakan sekarang, kau mau pesan makanan apa?"
"Seperti yang semalam."
"Yang semalam?"
Sang
tamu mengangguk. Sri Wening masuk ke bagian belakang kedai. Tak lama
kemudian dia ke luar kembali membawa makanan dan minuman yang dipesan.
Saat itu dua orang tamu lagi datang.
"Nah,
habiskan makananmu ya!" kata gadis itu lalu siap melayani dua tamu yang
barusan masuk. Selesai makan pemuda berambut gondrong itu duduk
mengulurkan kedua kaki seenaknya. Tangannya mengusap-usap perutnya yang
kenyak gembul sedang kedua matanya setengah terpejam. Dia kelihatan agak
terganggu ketika seorang yang sejak tadi duduk di dekatnya mendekati
dan bertanya:
"Mengantuk?" Suara bertanya ini sember dan tak sedap didengar.
Si
pemuda palingkan kepala. Yang menegurnya ternyata seorang kakek-kakek
berhidung besar tapi pesek sekali. Demikian peseknya hingga hampir sama
dengan pipinya yang cekung keriput. Rambut serta sepasang alis matanya
berwarna putih oleh kelanjutan usia.
"Hemm …" pemuda yang ditanya menjawab dengan gumam segan-segan.
"Kau datang dari mana, rambut gondrong?" tanya si kakek.
"Desa …."
"Desa mana?"
Yang
ditanya membetulkan duduknya memperhatikan si kakek dengan pandangan
meneliti. Si kakek justru tertawa lebar. Waktu tertawa jelas kelihatan
tak ada sepotong gigi pun yang masih tumbuh di gusi atas mau pun bawah.
"Heh, aku bukan menyelidik …" kata si kakek.
"Hanya orang-orang dengan maksud tertentu yang suka menyelidiki orang lain …."
"Betul,
kau betul sekali anak muda." Kakek hidung pesek angguk-anggukkan
kepalanya. Lalu dikeluarkannya sebuah dompet tikar pandan. "Kau
merokok?"
Si pemuda menggeleng.
Orang tua itu mencabut sebatang
rokok kawung, menyalakannya lalu duduk menyandarkan punggung ke dinding
kedai, memandang ke arah pintu.
"Kau sendiri siapa, kek?" kini pemuda rambut gondrong ganti bertanya.
"Sama sepertimu. Tamu di kedai ini. Hanya aku sudah kakek keriput dan kau masih muda …."
"Tua
bangka konyol …" maki si gondrong dalam hati. Sementara si kakek
menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi ke udara. Sesaat kemudian dia
membuka mulut kembali. "Kuperhatikan sudah empat malam ini kau datang ke
mari. Apa kecantikan dan kegenitan anak gadis pemilik kedai ini telah
membuatmu tergila-gila? Kulihat kau tadi bercanda dengannya. Bahkan
kedipkan mata segala!"
"Ah, matamu yang tua itu ternyata belum lamur.
Malah tajam sekali kek. Sudah kodrat alam jika pemuda tertarik dengan
gadis cantik. Tak dapat disalahkan. Tapi kau yang sudah begini, apakah
ikut tertarik dengan gadis itu kek? Kalau tak salah kaupun sudah empat
malam datang kemari!"
Si kakek tertawa mengekeh hingga hidungnya yang lebar itu jadi tambah lebar dan tambah pesek.
"Sekalipun
aku tergila padanya, mana mungkin dia suka padaku. Bisa aku keblinger
sendiri!" Habis berkata begitu si kakek kembali tertawa lalu menyambung:
“Anak muda, aku tak akan mengganggumu lagi. Aku juga mengantuk dan
ingin tidur sebentar." Lalu dia kembali ke tempat duduknya semula. Hanya
sebentar sudah terdengar dengkurnya yang tidak sedap.
Wiro Sableng,
si pemuda berambut gondrong tadi kembali melunjurkan kakinya dan kedua
matanya ditutupkan setengah terpejam. Hampir satu kaili peminuman teh
berlalu ketika kedua mata murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu
tampak membesar dan memandang ke arah pintu kedai.
Seorang pemuda
bertampang keren masuk dengan langkah tegap. Dia langsung duduk di
belakang meja. Sepasang matanya yang sipit tidak berkesip dan selalu
tertuju pada Sri Wening. Si gadis yang merasa diperhatikan balas
memandang dan tersenyum genit lalu mendekati pemuda itu.
"Orang gagah, kau datang dari mana?" sapa Sri Wening.
Cuping hidung tamu yang ditegur tampak bergerak-gerak, kedua matanya membesar sedikit.
"Datang dari jauh adik. Bukankah namamu Sri Wening?"
"Ah,
kau sudah tahu namaku. Rupanya namaku diterbangkan angin sampai jauh
…." Anak gadis pak Tanu itu kembali melayangkan senyum memikat.
"Tentu parasmu yang cantik jelita laksana harumnya bunga yang diterbangkan angin ke mana-mana!"
"Kau pandai merayu. Siapa namamu sahabat muda?" tanya Sri Wening.
"Prana."
"Hanya Prana? Tak ada sambungannya?"
Si pemuda menggeleng.
"Pendek amat namamu. Tapi bagus, sebagus orangnya. Nah sekarang katakan kau mau makan apa, mau minum apa."
Tamu
itu menyebutkan makanan yang diinginkannya dan juga memesan tuak haruna
satu buli-buli penuh. Sambil menunggu pesanannya dia memandang
berkeliling. Tak banyak yang menarik perhatiannya dalam kedai itu. Juga
terhadap Pendekar 212 yang tidur-tidur ayam serta orang tua berhidung
pesek yang mendengkur tak berapa jauh dari Wiro.
"Boleh aku menemanimu makan?" tanya Sri Wening manja begitu selesai meletakkan hidangan di atas meja.
"Tentu, tentu saja," jawab Prana gembira.
Diambilnya
sebuah kursi dan diletakkannya dekat-dekat ke kursinya lalu
dipersilahkannya Sri Wening duduk di situ. Tangan kanan menyuap makanan
sedang tangan kiri memegangi pinggul gadis pemilik kedai itu. Bagi Sri
Wening yang genit hal ini belum pernah dilakukan lelaki lain sebelumnya.
Memang banyak yang suka mencubit tangannya, tapi memeluk begitu
benarbenar satu keberanian luar biasa. Bagi pak Tanu dan istrinya yang
memang sengaja memancing para tamu dengan kecantikan anaknya, hal sejauh
itu tidak diharapkannya. Tamutamu lain di kedai itu juga memperhatikan
dengan mata melotot. Ada yang dongkol, ada yang menganggap tindakan
Prana kurang ajar tapi ada juga yang iri. Hanya dua orang tamu yang
sepertinya tidak perduli. Yakni Wiro Sableng dan si kakek hidung pesek.
Selesai makan Prana meneguk tuak dalam buli-buli sampai setengahnya. Wajahnya yang putih kelihatan menjadi merah.
"Masakannya enak apa tidak?” tanya Sri Wening.
Dia
juga merasa risih dan hendak berdiri. Tapi pelukan tangan Prana di
pinggulnya kencang sekali, membuat dia hampir tak bisa bergerak.
"Enak sekali. Pasti kau yang memasaknya bukan?"
Sri
Wening mengangguk meski semua makanan yang dijual di kedai itu
ibunyalah yang memasak. Dia hanya tahu bersolek dan menunggu tamu. Prana
menuang lagi tuaknya. Mukanya makin merah. Tiba-tiba ditariknya kepala
Sri Wening lalu diciumnya wajah gadis itu bertubi-tubi. Si gadis
menggeliat dan meronta serta berseru tegang setengah marah setengah
takut. Semua orang dalam kedai tampak terkejut. Pak Tanu dan istrinya
terkesima saling pandang.
Tiba-tiba pak Tanu berdiri dan melangkah cepat ke meja Prana dan membentak keras:
"Manusia kurang ajar! Lekas bayar makanan dan tuak itu. Lalu angkat kakimu dari kedaiku!"
Dibentak
begitu si pemuda tenang-tenang saja seperti tak mendengar. Malah
tangannya merayap lebih berani. Yang satu masih melingkar di pinggang
Sri Wening, satunya lagi bergerak ke dada. Pak Tanu cepat menarik
anaknya dari pelukan Prana, tapi tak berhasil.
"Lepaskan anakku!" teriak pak Tanu.
Prana mengekeh.
"Bukankah
kau sendiri yang sengaja menyuruh anakmu melayani tetamu, mengandalkan
kecantikan dan kegenitannya supaya dapat banyak uang. Sekarang dia
tengah melayaniku, kenapa kau justru jadi marah? Jangan takut aku tak
akan lupa membayar harga makanan dan tuak itu. Malah akan kutambah
dengan harga kehangatan tubuh anakmu!"
Marah pak Tanu tak terbendung lagi. Diambilnya buli-buli arak dari atas meja lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jika tak kau lepaskan anakku dan segera membayar, kupecahkan kepalamu!" ancam pak Tanu.
Prana
ganda tertawa. Dia sama sekali tidak perdulikan ancaman pemilik kedai
malah kini dengan kurang ajar tangan kanannya menyelinap di balik dada
pakaian Sri Wening.
"Manusia bejat haram jadah!" maki pak Tanu.
Tangan
kanannya bergerak menghantam buli-buli tuak ke kepala Prana. Tetapi
pemilik kedai ini jadi kaget ketika mendapatkan dirinya tahu-tahu sama
sekali tidak dapat bergerak. Tangan dan sekujur badannya kaku.
"Hai, kenapa diam saja?" tanya Prana. "Bukankah kau hendak menghancurkan kepalaku?"
"Setan
alas! Aku tak bisa menggerakkan tanganku. Aku tak bisa bergerak!" seru
pak Tanu dengan mata melotot. Rasa takut lebih banyak dari pada rasa
heran.
Semua orang yang menyaksikan dan mendengar ucapan pemilik
kedai itu jadi melengak kaget. Pada saat itu pula Sri Wening merasakan
sesuatu tusukan pada punggungnya. Setelah itu dia juga tak dapat
bergerak. Dia hendak berteriak tapi mulutnya pun tak mau membuka.
Lidahnya seperti kelu! Dia sama sekali tak dapat mengeluarkan suara!
Dari balik pakaiannya Prana mengeluarkan beberapa keping uang dan
dilemparkannya di atas meja.
"Uang ini cukup banyak untuk membayar makanan, tuak serta anak gadismu ini. Karenanya aku berhak untuk membawanya sekarang …."
Selesai berkata begitu Prana langsung berdiri dan memanggul Sri Wening di bahu kirinya.
"Kau mau bawa ke mana anakku?!" teriak bu Tanu seraya berlari mendatangi.
"Oh,
kau ibunya?" ujar Prana. "Tak usah khawatir, aku akan membawa anakmu
sebentar saja dan tenang sajalah!" Prana lambaikan tangannya pada ibu
Sri Wening yang tengah berlari mendatangi langsung tertegun mematung
tanpa bisa bergerak lagi di samping suaminya. Kedua suami istri ini
berteriak-teriak minta tolong. Kedai itu jadi hingar bingar.
Beberapa orang tamu muda segera menghadang di pintu depan.
"Eh, kalian mau menghalangiku?" tegur Prana dengan pandangan angker.
"Penculik! Lepaskan gadis itu kalau mau selamat!" teriak seorang pemuda bertubuh tinggi besar.
Prana menyeringai.
"Aku
muak melihat tampangmu. Pergilah!" hardik Prana seraya mendorongkan
telapak tangan kanannya ke depan. Pemuda itu kontan menjerit dan
tubuhnya terlempar ke luar kedai, jatuh di jalanan yang becek. Beberapa
orang segera menghunus senjata dan mengurung Prana.
"Aku peringatkan pada kalian. Lebih baik menyingkir!" bentak Prana.
"Bangsat
penculik! Makan pisauku ini!" Dari samping seorang menghujamkan pisau
panjang ke arah lambung Prana. Yang diserang menggeser tubuhnya dengan
cepat. Di lain kejap tempelengannya sudah menghantam kening penyerang.
Pemegang pisau melintir dan jatuh di lantai tanpa bisa bangun lagi.
Beberapa tamu lain yang juga berusaha menyerbu mengalami nasib sama,
dihantam pingsan satu demi satu. Gerakan Prana cepat sekali tanda dia
memiliki kepandaian silat yang tidak sembarangan.
Sampai saat itu
baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun si kakek hidung pesek tetap saja
duduk tenang-tenang di tempat masing-masing. Yang satu tidur-tidur ayam,
yang lain mengorok terus. Namun ketika Prana melangkah ke arah pintu,
dengkur si kakek tiba-tiba berhenti dan terdengar satu bentakan:
"Manusia bernama Prana, tunggu dulu! Jangan cepat-cepat pergi!"
Langkah
si pemuda tertahan. Dia rasa-rasa sudah pernah mendengar suara
mirip-mirip seperti orang yang membentak itu. Dia berpaling. Dilihatnya
orang tua pesek yang tadi mendengkur berdiri dari kursi dan melangkah
kehadapannya. Prana bertindak waspada. Jika si kakek mengetahui apa yang
terjadi berarti tadi dia tidak sesungguhnya tertidur pulas dan
mendengkur!
"Prana, kau kenal aku … ?" tanya si kakek.
"Ada untung apa aku kenal dengan kakek-kakek perot macammu! Aku tak punya banyak waktu untuk bicara!"
Prana
memutar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek pesek memegang bahu
kanannya. Pegangan ini laksana tindihan batu besar. Terkejutlah si
pemuda penculik.
"Orang tua, siapa kau sebenarnya … ?" desis Prana. Sepasang matanya menyipit kejam.
"Pandanglah parasku yang buruk ini Prana. Pandang baik-baik …" berkata si kakek.
Prana menatap wajah tua itu dalam-dalam.
"Aku tidak kenal kau dan jangan ikut campur urusanku!" kata Prana akhirnya dan siap hendak berlalu.
Tiba-tiba
orang tua itu menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya. Sehelai kulit
tipis yang selama ini menutupi mukanya dan merupakan topeng tipis
terbuka, kini kelihatan wajahnya yang asli. Ternyata wajahnya putih
bersih meskipun penuh dengan keriput ketuaan.
"Guru!" seru Prana
tersentak kaget begitu dia melihat wajah asli orang dihadapannya.
Demikian kagetnya pemuda itu hingga sampai mundur beberapa langkah.

Hemmm …" si orang tua bergumam. "Betul. Aku memang gurumu yang bernama
Jagat Kawung. Rupanya kau masih bisa mengenali guru yang telah kau nodai
dengan segala perbuatan-perbuatan terkutukmu selama ini. Warangas! Aku
menyesal seumur-umur telah mengambilmu jadi murid. Lepaskan gadis itu
dan bersiaplah untuk menerima hukuman!" "Guru, aku tak mengerti maksud
ucapanmu!" tukas Prana yang oleh si kakek tadi disebut dengan nama
aslinya yaitu Warangas. "Turunkan gadis itu!" bentak Jagat Kawung.
"Aku telah memutuskan untuk membawanya!" jawab Prana alias Warangas.
Sepasang
mata si kakek berkilat-kilat karena kemarahan luar biasa. "Di situ
jelas terlihat kebejatanmu! Dan kau masih hendak berpura-pura di
hadapanku. Kepandaian yang kuberikan padamu kau pergunakan untuk berbuat
kejahatan. Merusak rumah tangga orang. Mempermainkan isteri orang,
menodai gadis-gadis. Kau muncul dengan berbagai nama. Sebagai
Dipasingara. Sebagai Handaka. Sebagai Prana. Namun kau tetap Warangas,
manusia busuk terkutuk, pemuda hidung belang bejat di atas jagat ini!
Turunkan gadis itu Warangas!"
"Tidak!"
"Kau membangkang perintah gurumu?"
"Jika
kau berani menghukumku, mulai detik ini aku tidak menganggapmu sebagai
guru lagi!" jawab Prana alias Handaka alias Dipasingara alias Warangas.
"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"
Jagat
Kawung mencengkeramkan tangan kirinya ke muka muridnya yang aslinya
bernama Warangas itu. Tangannya yang satu lagi mencengkeram ke perut.
lnilah yang disebut gerakan maut "Sepasang Cengkeraman Garuda Sakti."
Warangas
cepat menyingkir. Dia tahu kehebatan gurunya. Karena begitu berhasil
mengelakkan serangan tadi cepat-cepat dia menurunkan Sri Wening. Terlalu
besar resikonya menghadapi sang guru dengan masih memanggul gadis itu.
"Guru, kuharap kau mau membendung kemarahan dan tidak menurunkan tangan kasar!"
"Manusia
laknat. Jangan panggil aku guru! Dan tak perlu mulut busukmu banyak
bicara!" Kembali Jagat Kawung berkelebat. Tapi kembali pula Warangas
berhasil mengelakkan diri.
Di samping luapan amarah, Jagat Kawung
juga jadi heran melihat ilmu yang dimiliki Warangas jauh lebih maju dari
kepandaiannya yang pernah diturunkannya dulu. Maka tanpa membuang waktu
Jagat Kawung segera keluarkan jurus-jurus serangan ampuhnya.
Serangannya datang bertubi-tubi laksana hujan mencurah. Kedai itu
bergetar oleh sambaransambaran angin kedua orang yang baku hantam.
Dalam
kelebatan tubuh hanya merupakan bayang-bayang saja, tiba-tiba terdengar
teriakan Jagat Kawung. Teriakan ini disertai dengan berkiblatnya sinar
merah menyala laksana lidah api, menyambar ke arah tubuh Warangas.
lnilah pukulan paling hebat yang dimiliki Jagat Kawung. Selama lima
belas tahun meyakini ilmu kesaktian tersebut tak satu kekuatan lawanpun
yang sanggup menghadapinya. Sudah dapat dibayangkan oleh orang tua itu
bagaimana tubuh muridnya yang terkutuk itu akan meleleh matang dihantam
pukulan sakti bernama "Pukulan Baja Merah" itu.
Namun sesaat kemudian
jadi melengak sewaktu menyaksikan bagaimana dari dua telapak tangan
muridnya menderu ke luar larikan-larikan sinar putih yang sanggup
menahan dan menangkis pukulan Baja Merah!
Tidak dapat tidak pastilah Warangas telah berguru pada seorang sakti lainnya, pikir Jagat Kawung.
Di
lain pihak meskipun Warangas kelihatan sanggup menghadapi pukulan sakti
gurunya namun saat itu kedua telapak tangannya terasa panas laksana
terpanggang dan berwarna merah sedang dari mulutnya ke luar darah
membuih.
Warangas cepat keluarkan beberapa butir obat dan menelannya
lalu kerahkan tenaga dalamnya ke bagian dada yang dirasakannya berdenyut
sekali. Kedua matanya yang sipit tampak merah. Pandangan buas beringas!
"Tua renta keparat! Kau rasakan pembalasanku!" kertak Warangas. Tangannya bergerak ke balik pakaian.
"Sret!"
Sebuah benda hitam bertebar membentuk setengah lingkaran.
Paras
Jagat Kawung kontan berubah melihat benda di tangan murid murtad itu.
Jadi benarlah kabar yang didengarnya selama ini bahwa Warangas memiliki
senjata luar biasa, sebuah kipas sakti berwarna hitam.
"Kipas Pemusnah Raga!" desis Jagat Kawung. "Murid keparat darimana kau dapatkan benda itu?!"
"Ha
… ha … nada pertanyaanmu jelas bahwa nyalimu menjadi ciut! Dari mana
aku dapatkan benda ini bukan urusanmu. Kalau kau tidak puas dengan
jawabanku, silahkan tanya nanti pada iblis-iblis di neraka!" Warangas
lalu gerakan tangan kanannya yang memegang kipas.
"Wut!"
Selarik
sinar hitam pekat menggidikkan ke luar menyambar dari Kipas Pemusnah
Raga. Jagat Kawung berseru keras dan angkat kedua tangannya ke atas. Dua
larik pukulan Baja Merah menyembur. Orang tua ini tidak yakin bahwa
ilmu kesaktiannya itu bakal dapat melindungi dirinya dari serangan kipas
sakti lawan. Tapi daripada tidak berbuat apa-apa sama sekali lebih baik
melepaskan pukulan itu.
Ketidak yakinan Jagat Kawung memang
beralasan. Terlihat dengan nyata bagaimana sinar hitam pekat memukul dua
larik sinar merah. Selanjutnya sinar hitam Kipas Pemusnah Raga terus
menggempur ke arah si orang tua.
"Celaka! Matilah aku sekarang!" keluh Jagat Kawung dalam hati. Dia berusaha membuang diri ke samping namun kasip.
Di
saat yang sangat kritis dari samping tiba-tiba terdengar suara menderu
laksana bumi dilanda air bah. Sinar hitam tampak bergoyang-goyang lalu
terdorong keras ke samping dan musnah tak berbekas.
Jagat Kawung yang
merasa dirinya diselamatkan oleh gelambang angin yang datang dari
samping tadi menjadi amat terkejut. Lebih-lebih Warangas yang berdiri di
seberang sana. Guru dan murid serentak sama-sama berpaling. Di sudut
sana Pendekar 212 Wiro Sableng perlahanlahan bangkit berdiri dari
kursinya seraya garuk-garuk kepala.
"Guru dan murid hendak saling
berbunuhan! Sayang … sayang sekali. Apalagi kalau sang guru sampai
celaka di tangan muridnya yang murtad. Orang tua, serahkan Warangas
padaku. Aku memang sudah lama mencarinya. Dosanya sudah lewat dari
takaran!"
Sebelum Jagat Kawung sempat bicara, Warangas sudah membuka
mulut: "Pemuda rambut gondrong! Apa perlumu ikut campur urusan orang
lain?!"
"Untuk membasmi manusia bejat macammu orang tak perlu mencari segala macam alasan," sahut Wiro.
"Kalau begitu kau mencari mati!"
Lalu
Warangas alias Handaka alias Dipasingara alias Prana mengebutkan Kipas
Pemusnah Raga. Sinar hitam pekat kembali berkiblat. Murid Eyang Sinto
Gendeng tak tinggal diam. Untuk kedua kalinya dia lepaskan pukulan sakti
"Dewa Topan Menggusur Gunung."
Ketika kedua kekuatan sakti itu
saling bentrokan, kedai pak Tanu tak sanggup lagi menahan hebatnya
getaran. Meja dan kursi berpelantingan. Dua buah tiang kedai patah,
salah satu dinding bobol. Orang-orang yang pingsan dan bergeletak di
lantai mencelat. Beberapa diantaranya putus nyawanya. Sri Wening dan
kedua orangtuanya dalam keadaan tertotok juga ikut mental ke luar kedai.
Warangas
merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Kipas saktinya hampir terlepas.
Ketika dia memandang ke bawah, ternyata kedua kakinya telah amblas
sedalam sepertiga jengkal ke lantai tanah kedai. Jagat Kawung sendiri
terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Kurang ajar! Siapa bangsat gondrong
ini sebenarnya?!" maki Warangas dalam hati. Diamdiam hatinya jadi
tergetar. Belum yakin kalau serangannya benar-benar bisa ditahan lawan
maka dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya kembali dia kebutkan
kipas sakti. Sinar hitam menggidikkan kembali menderu dan melabrak ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro melepaskan lagi pukulan Dewa
Topan Menggusur Gunung. Keadaan kedai pak Tanu semakin porak poranda.
Warangas yang menyadari bahwa sinar hitamnya tak mampu menandingi
pukulan lawan yang menggemuruh cepat melompat jauh-jauh Wiro merasakan
dadanya berdenyut. Dia cepat memburu ketika di depan sana dilihatnya
Warangas menangkap tubuh Sri Wening. Jagat Kawung ikut mengejar. Tubuh
Warangas lenyap di luar kedai, menyelinap dalam kegelapan malam. Tapi
baik mata Wiro maupun Jagat Kawung tak bisa ditipu oleh kegelapan. Dalam
waktu singkat keduanya berhasil mengejar dan berada di belakang pemuda
penculik itu.
"Keparat hidung belang! Tempat larimu satu-satunya adalah kematian!" tariak Wiro.
"Anjing kurap! Nyawa anjingmulah yang bakal minggat ke neraka malam ini!" Satu bentakan garang menimpali.
Wiro terkejut.
Yang
membentak bukanlah Warangas tapi orang lain. Tiga sosok tubuh
berkelebat di kegelapan. Pendekar 212 terpaksa hentikan pengejarannya.
Demikian pula Jagat Kawung. Gerakannya tertahan oleh hadangan tiga orang
tak dikenal. Ini membuat Warangas lolos dan lenyap bersama gadis
boyongannya.
"Sialan! Kalian siapa?!" bentak Wiro pada tiga orang
yang menghadang di hadapannya. Kegelapan malam membuatnya tak dapat
mengenali wajah mereka. Sewaktu ketiga orang ini melangkah mendekati
guru murid Eyang Sinto Gendeng ini mengenal mereka.
"Kerak-kerak
neraka! Malam yang kalian janjikan masih dua hari dimuka! Apakah kalian
datang sebelurn waktunya karena sudah tak sabar lagi untuk mampus?!"
Dua orang di depan Wiro mendengus. Yang satu lagi rangkapkan tangan di muka dada.
"Malam
terang bulan terlalu indah bagi kematian Pendekar 212! Kami memutuskan
untuk mengambil nyawamu pada malam mendung gelap ini. Apa kau sudah siap
untuk mampus?"
"Warok Grimbil! Rupanya nyalimu telah dipompa hingga
menggembung besar! Apakah kedua sikutmu sudah sembuh? Dan kau nenek
kontet Muning Kwengi yang dulu melarikan diri, apakah datang kemari
karena mengandalkan kambratmu yang berkepala botak itu? Apa si botak ini
sobat atau gendakmu?!" Wiro menuding pada laki-laki berkepala botak
yang tegak di samping Muning Kwengi hingga manusia ini kertakkan rahang
menahan marah. Dia mengerling pada orang tua di samping Wiro. Si botak
ini telah mendengar kehebatan Wiro dari Muning Kwengi. Tapi justru saat
itu dia memandang rendah terhadap Wiro sebaliknya menganggap kakek
itulah yang harus diperhatikan. Kemelesetan dugaannya inilah yang justru
bakal membuat dirinya celaka.
"Jadi kalian bertiga datang kemari untuk melanjutkan perhitungan tempo hari? Bagus! Kalian maju bertiga atau sendiri-sendiri?!"
"Bedebah!"
maki Warok Grimbil bekas kepala rampok hutan Walu. Dicabutnya dua golok
besar dari pinggang lalu memberi isyarat pada Muning Kwengi alias lblis
Pisau Terbang. Nenek katai ini ganti memberi tanda pada si botak di
sampingnya. Ketiga orang ini kemudian dengan serentak menerjang ke arah
Wiro.
Jagat Kawung yang merasa berhutang nyawa lantas ikut terjun dalam pertempuran seraya berkata:
"Orang muda, aku bantu kau!"
"Grimbil! Kau berdua kakakmu hadapi kakek-kakek busuk ini. Aku biar melayani pemuda sampah ini yang katamu tinggi ilmunya!"
Sebenarnya
si botak merasa gentar menghadapi Jagat Kawung. Karena itu sengaja
disuruhnya kedua kakak beradik itu mengeroyok si kakek. Wiro yang
diduganya tidak memiliki kepandaian apa-apa akan dilayaninya seorang
diri. Warok Grimbil dan Muning Kwengi yang telah pernah dihajar Pendekar
212 tentu saja merasa gembira karena dengan demikian mereka akan
terhindar dari malapetaka!
"Monyet botak!" ejek Wiro. “Sebutkan dulu namamu supaya aku tidak sungkan-sungkan menghadapimu!"
"Bocah
ingusan! Mulutnya sombong. Tapi biarlah nanti akan kurobek!" Sambil
menuding dadanya si botak ini meneruskan: "Jika ingin tahu aku inilah
manusianya yang bernama Lembu Surah bergelar Maut Tangan Delapan!"
Wiro tertawa gelak-telak.
"Bangsat kenapa kau tertawa?" bentak si botak.
"Namamu
seperti nama binatang. Gelarmu tangan delapan. Tapi mengapa kulihat
tanganmu Cuma dua? Kalau namamu Lembu sepantasnya gelarmu Maut Kaki
Ernpat!"
Marahlah Lembu Surah diejek demikian. Seumur hidup baru
sekali ini dia menerima penghinaan seperti itu. Dia menerjang ke muka.
Kedua tangannya bergerak cepat dan tampaknya betul-betul seperti berubah
jadi sebanyak delapan buah dan kesemuanya menyerbu ke arah Wiro
Sableng. Karena tidak tahu lengan mana yang asli dan mana yang hanya
bayangan belaka, Wiro tak mau bertindak gegabah.
Serangan lawan
disambutnya dengan jurus "Kipas Sakti Terbuka". Kedua lengannya
dipentang ke atas. Sesaat kemudian terdengar pekik si Maut Tangan
Delapan. Kedua tangannya beradu keras dengan tangan Wiro. Salah satu
tulang lengannya patah sedang lengan yang lain menggembung merah
kulitnya. Wiro sendiri merasakan kedua lengannya panas dan perih.
Sekalipun
memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah tetapi pada dasarnya si
botak berjuluk Maut Tangan Delapan ini adalah jenis manusia berhati
pengecut. Mendapat celaka pada jurus pertama telah membuat nyalinya
lumer.
"Grimbil! Kwengi! Maaf saja! Aku masih ada urusan lain yang
lebih penting untuk diselesaikan. Aku betul-betul menyesal ikut kalian
kemari!"
Selesai berkata begitu Lembu Surah cepat-cepat putar tubuh
dan larikan diri dari tempat itu. Wiro tak berniat mengejar karena
antara dia dengan si botak itu sebenarnya tak ada silang sengketa
apa-apa. Kini dia hanya berdiri memperhatikan Jagat Kawung yang
dikeroyok oleh Warok Grimbil dan Muning Kwengi.
Pada saat Lembu Surah
melarikan diri Warok Grimbil masih sempat melemparkan caci maki pada si
botak itu. Tiga jurus pertama meskipun mengandalkan tangan kosong Jagat
Kawung masih sanggup mengimbangi kedua lawan. Namun ketika Muning
Kwengi mulai melancarkan serangan-serangan pisau terbang sedang Warok
Grimbil menggempur dengan sepasang golok besarnya, mau tak mau orang tua
itu jadi tertekan juga. Ini mernbuat Jagat Kawung jadi jengkel.
"Manusia-manusia sialan! Kalau tidak karena kalian tentu murid keparat itu tidak akan lolos!"
Warok Grimbil dan Muning Kwengi balas menjawab dengan tawa mengejek.
"Memakilah sepuasmu sebelum roh busukmu meninggalkan tubuh peotmu!" teriak Warok Grimbil.
"Sombong!
Kau yang lebih dulu pergi ke neraka!" sahut Jagat Kawung lalu dari
salah satu tangannya menyambar selarik sinar menyala merah.
"Grimbil
awas!" teriak Muning Kwengi memperingatkan. Tapi sang adik berada dalam
keadaan yang sulit untuk mengelak. Kemudian terdengar pekik Warok
Grimbil. Tubuhnya yang katai terguling hangus laksana dipanggang. Tentu
saja nyawanya tidak tertolong lagi!
"Bangsat! Rasakan pembalasanku!"
bentak Muning Kwengi marah meluap melihat kematian adiknya mengenaskan
begitu rupa. Selusin pisau terbang dilemparkan ke arah Jagat Kawung,
tetapi sekali lagi sinar merah berkiblat. Selusin pisau terbang runtuh
ke tanah. Ketika orang tua itu hendak susul dengan pukulan kedua Wiro
Sableng cepat berseru: "Kakek, yang satu ini adalah bagianku!"
"Tahan! Jurus kematiannya harus di tanganku!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Sesosok
tubuh melompat dari kegelapan. Terdengar deru sesiuran angin. Si katai
Muning Kwengi yang bingung karena berturut-turut ada tiga manusia yang
inginkan jiwanya menjadi gugup waktu mengelak. Sebilah pedang tajam
berkelebat menyambar lehernya. Terdengar suara seperti kambing
disembelih dari tenggorokan perempuan bergelar lblis Pisau Terbang itu.
Darah menyembur dari lehernya yang hampir putus. Nenek katai ini
bersungkur ke tanah, mati di situ juga tanpa mengetahui siapa manusia
yang telah membunuhnya.
Seorang lelaki muda berwajah liar tetapi lusuh berdiri termangu memandangi mayat Muning Kwengi.
"Siapa dia … ?" tanya Jagat Kawung pada Wiro Sableng.
"Sanjaya,
perwira muda Kerajaan. Antara mereka memang ada dendam kesumat lama.
Memang pantas nenek rongsokan itu mati di tangannya. tengah menjalankan
tugas Kerajaan."
Sanjaya melangkah ke arah Wiro seraya menyarungkan pedangnya.
"Kita jumpa lagi sobatku," kata perwira muda itu.
"Aku senang bertemu denganmu lagi Sanjaya." Wiro lalu memperkenalkan Sanjaya pada Jagat Kawung.
"Wajahmu kulihat mendung. Tubuhmu lebih kurus. Agaknya ada sesuatu ganjalan dalam dirimu Sanjaya?" tanya Wiro pula.
Sanjaya menghela napas panjang. Lalu mengangguk. "Kesulitan besar Wiro. Rasanya tak sanggup kupikui lebih lama …."
"Kami adalah sahabatmu," kata Jagat Kawung. "Jika kau mau mengatakan kesulitanmu itu, mungkin kami bisa membantu."
Lama
Sanjaya berdiam diri, baru menjawab: "Dua minggu lalu aku kembali ke
gunung Slamet. Apa yang kutemui disana benar-benar mengejutkan. Mayat
guruku yang tinggal tengkorak utuh hanya digumpali daging rusak di
sana-sini kutemui menggeletak di semak belukar. Tulang-tulangnya hangus
hitam. Apa yang terjadi tidak kuketahui. Wulandari adik seperguruanku
juga merupakan tunanganku tak ada disitu. Seluruh puncak gunung Slamet
kuselidiki. Wulandari tetap tak kujumpai. Akhirnya aku turun gunung. Di
satu tempat kudengar suara tangis perempuan memilukan hati. Ketika
kudatangi ternyata Wulandari. Aku terkejut sekali melihat keadaannya.
Pakaiannya kotor dan robek-robek. Matanya merah bengkak karena terlalu
banyak menangis. Dia menjerit pada detik melihatku. Dia seperti orang
yang ketakutan lalu melarikan diri. Di satu tempat aku berhasil
mengejarnya dan pada saat itulah baru kulihat dengan jelas perutnya.
Menggembung besar, mengandung! Tapi yang paling menyedihkan ialah ketika
kuketahui bahwa Wulandari tidak lagi sehat otaknya. Kadang-kadang dia
menangis. Kadang-kadang tertawa. Sulit sekali. Dia menyebut-nyebut
pembunuhan atas diri Eyang Wulur Parmenang. Menyebut seseorang tak
kukenal bernama Handaka. Lalu soal pengusiran dan anak haram yang
dikandungnya. Aku coba mempelajari semua keterangan dari keadaan dirinya
itu namun tetap sulit mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.
Kemudian Wulan berteriakteriak dan lari. Kali ini aku tak dapat
mengejarnya. Menurutku satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan
adalah yang bernama Handaka yang disebut-sebut Wulan itu. Aku berusaha
melakukan penyelidikan tapi sia-sia belaka. Mau pecah rasanya kepalaku
dan mau gila rasanya otak ini!"
Lama kesunyian mencekam di tempat itu
setelah Sanjaya mengakhiri kisahnya. Ketika Jagat Kawung mengangkat
kepala dilihatnya sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng memandang
lekat-lekat kepadanya. Orang tua ini segera maklum apa arti pandangan
ini.
"Wiro, kau jelaskan semuanya pada Sanjaya …" kata Jagat Kawung perlahan.
Wiro
berpaling pada Sanjaya. "Ketahuilah, orang bernama Handaka itu adalah
orang yang juga tengah kami kejar. Barusan saja dia berada di sini,
tetapi berhasil meloloskan diri …."
"Lolos?! Ke mana dia melarikan diri. Aku harus mengejarnya dan minta keterangan!" kata Sanjaya.
"Sabar perwira, sabar …."
"Aku sudah meletakkan jabatan. Aku bukan perwira Kerajaan lagi. Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Wiro."
Wiro manggut-manggut dan meneruskan keterangannya.
"Handaka
adalah salah satu saja dari sekian banyak nama palsu yang dipakai orang
itu. Nama aslinya ialah Warangas. Dia pernah memakai nama Dipasingara.
Muncul dengan nama Handaka atau Prana dan sebagainya. Dia bukan manusia
baik-baik. Kejahatan yang dilakukannya adalah kejahatan paling terkutuk.
Merusak kehormatan setiap perempuan cantik yang ditemuinya, dengan
berbagai cara dan akal. Tak perduli apakah perempuan itu istri orang,
apalagi masih gadis …."
"Kalau begitu tunanganku Wulandari telah dirusak kehormatannya oleh pemuda itu. Hamil dan rusak jiwa serta pikirannya."
"Mungkin
sabatku, mungkin sekali. Mungkin pula dia jugalah yang telah membunuh
gurumu. Itu masih harus kita selidiki." Wiro lalu menerangkan peristiwa
di kedai pak Tanu. "Dia memiliki sebuah senjata dahsyat yaitu sebuah
kipas sakti berwarna hitam. Karena itu dia dijuluki Hidung Belang
Berkipas Sakti." Sesaat Wiro terdiam. Lalu meneruskan: "Adalah satu
kenyataan pahit dan pasti mengejutkanmu…." Wiro tak meneruskan, melirik
dulu pada Jagat Kawung. Orang tua ini mengerti dan berkata: "Teruskan
kalimatmu Wiro. Tak ada yang perlu dirahasiakan."
"Satu kenyataan pahit bahwa Handaka itu bukan lain adalah murid orang tua ini sendiri."
"Apa?!"
Suara Sanjaya seperti geledek. Tanpa pikir panjang lagi dia segera
cabut pedangnya. "Jadi dia muridmu?! Kalau begitu kau pantas kucincang
lebih dulu!"
Tangan Sanjaya yang memegang pedang bergerak. Jagat
Kawung hanya tundukkan kepala seolah-olah menyerah pasrah untuk dibunuh
saat itu juga. Tetapi Wiro Sableng cepat memegang lengan bekas perwira
Kerajaan itu dan berkata:
"Sabar sobatku. Sabar. Jangan kalap membabi
buta. Jika kau punya dendam terhadap muridnya adalah tolol membalaskan
sakit hati pada gurunya yang juga pernah mencari-carinya untuk
menjatuhkan hukuman!"
Kata-kata Wiro itu mengendurkan kemarahan
Sanjaya. Dengan tangan bergetar dan muka keringatan disarungkannya
pedangnya kembali. Kemudian didengarnya Jagat Kawung berkata: "Biarkan
dulu aku terus hidup untuk dapat menjatuhkan hukuman terhadap murid
murtad itu. Kelak jika dia sudah kusingkirkan dari dunia ini aku pasrah
menerima kematian di tanganmu! Memang terlalu memalukan untuk hidup
lebih lama …."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sanjaya kemudian.
Sunyi sejenak.
"Apa
lagi selain mencari keparat bernama Warangas itu!" sahut Jagat Kawung.
Di malam yang gelap ketiga orang itu segera meninggalkan tempat itu.

Kuda coklat itu dipacunya secepat-cepatnya menuju pantai selatan.
Tiba-tiba si penunggang mendadak sontak tarik tali kekang dan berhenti
memasang teiinga. Lapatlapat dikejauhan terdengar suara orang menangis.
Suara tangis perempuan. Demikian memilukan suara tangis itu hingga
penunggang kuda ini turun dari kudanya dan melangkah ke jurusan
datangnya suara tangis tersebut.
Tak berapa lama kemudian, dari balik
semak belukar dilihatnya seorang perempuan duduk menyelepok di tanah.
Pakaiannya rombeng dan kotor. Rambutnya yang panjang tergerai
awutawutan. Dia tak dapat melihat jelas wajah perempuan ini karena
ditutupi dengan kedua telapak tangannya. Yang lebih menarik perhatian
lelaki ini ialah kenyataan bahwa perempuan yang menangis itu berperut
besar alias sedang hamil. Paling tidak hamil enam bulan.
Tiba-tiba
suara tangisan itu berhenti. Perempuan itu berdiri dan mencabut sebilah
pedang. Kini lelaki itu dapat melihat wajah perempuan itu. Cantik. Debu
kotor tidak dapat menyembunyikan kecantikannya. Sepasang matanya tampak
merah dan beringas berputarputar. Mendadak dia menjerit keras. Pedang
di tangannya disabatkan kian kemari merambas pohon-pohon dan semak
belukar disekelilingnya.
"Mampus! Mampuslah kau Handaka! Mampus! Kau musti mampus!"
"Perempuan
gila …" desis lelaki itu mengintip. "Bunting dan gila. Kasihan, kenapa
dia jadi Begitu … ?" Sesaat kemudian dilihatnya perempuan itu lari ke
arah pantai sambil terus berteriak-teriak dan menyabatkan pedangnya kian
kemari. Mula-mula dikiranya perempuan itu hendak menceburkan diri ke
dalam laut Tapi ternyata terus lari sepanjang tepi pasir ke arah timur.
Karena jurusan larinya perempuan itu kebetulan sama dengan arah yang
hendak ditujunya cepat-cepat dia kembali ke kudanya dan membuntuti dari
kejauhan.
Siapakah adanya penunggang kuda yang bertubuh kekar dan
berkumis melintang ini? Dia bukan lain adalah Suramanik, bekas kepala
pengawal Kadipaten Gombong yang terpaksa melepaskan jabatannya secara
menyakitkan hati gara-gara Dipasingara yaitu sebagaimana yang telah
dituturkan pada permulaan kisah.
Sejak meninggalkan Gombong sejak itu
pula tertanam dendam kesumat terhadap Dipasingara. Melakukan pembalasan
berarti harus memiliki ilmu yang lebih tangguh. Ini disadari sepenuhnya
oleh bekas kepala pengawal itu. Maka setelah hampir satu setengah bulan
berkelana kian kemari akhirnya dia dapat juga berguru pada seorang
tokoh silat tak terkenal di timur. Meski tak terkenal dalam dunia
persilatan namun ilmu yang dipelajari Suramanik dari orang tersebut
cukup tinggi.
Setahun lebih menuntut kepandaian maka Suramanik merasa
sudah cukup dan minta diri pada gurunya guna mencari Dipasingara.
Ternyata pemuda itu tidak ada lagi di Kadipaten Gombong. Peristiwa yang
menimpa Adipati Kebo Panaran, yang diceritakan orang padanya benar-benar
mengejutkan Suramanik. Ternyata Dipasingara adalah pendekar bejat
terkutuk yang bergelar Hidung Belang Berkipas Sakti.
Dari
keterangan-keterangan yang dapat dikumpulkan oleh Suramanik akhirnya dia
mengetahui bahwa musuhnya itu tidak mempunyai tempat kediaman tertentu
tetapi sering berada di sebuah goa di teluk yang tenang di pantai
selatan. Maka Suramanik segera menuju ke tempat itu. Dalam perjalanan ke
selatan inilah dia bertemu dengan perempuan gila yang sedang hamil dan
bukan lain adalah Wulandari.
Selagi membuntuti Wulandari dari
belakang, Suramanik melihat tiga buah titik hitam bergerak cepat di
samping bukit tandus sebelah kirinya. Makin lama tiga titik itu makin
besar tanda makin dekat dan menuju ke jurusannya. Ternyata tiga titik
tadi adalah tiga orang yang tengah berlari cepat. Kira-kira dua puluh
tombak dari Suramanik ketiga orang itu berpencar. Jelas bahwa ketiga
orang tak dikenal itu sengaja mengurungnya.
"Berhenti!" satu bentakan mengumandang.
Suramanik
tarik tali kekang kuda. Dia tahu kalau tiga orang itu memiliki ilmu
lari cepat berarti mereka bukan orang sembarangan. Dari atas punggung
kudanya diperhatikan ketiganya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian
putih berambut gondrong. Yang kedua seorang kakek-kakek dan yang
terakhir seorang lelaki muda berwajah gagah tapi pucat. Di atas punggung
kudanya Suramanik menunggu dengan sikap waspada.
"Bukan dia …" kata pemuda berambut gondrong.
"Ya, memang bukan dia," menyahuti si kakek.
"Kalian bertiga siapa dan ada keperluan apa menyuruhku berhenti?" bertanya Suramanik.
"Harap
maafkan," menjawab pemuda bermuka agak pucat. Dia adalah Sanjaya. "Kami
kira kau adalah orang yang tengah kami cari. Dapatkah kau menerangkan
apakah Teluk Segara Anakan masih jauh dari sini?"
Suramanik memandang
ke tiga orang itu ganti berganti baru menjawab. "Kira-kira sepenanakan
nasi lagi. Akupun tengah menuju ke sana …."
Sanjaya berpaling pada
dua kawannya yaitu Wiro Sableng dan Jagat Kawung. Lalu bertanya pada
Suramanik: "Apakah kau tinggal di sana?"
Suramanik menggeleng.
"Seperti kalian akupun tengah mencari seseorang."
"Mencari seseorang? Boleh aku tanya siapa nama orang yang kau cari itu?" Yang bertanya adalah Jagat Kawung.
Sesaat
Suramanik merasa bimbang. Namun akhirnya menjawab juga. "Orang itu
memiliki beberapa nama. Tak tahu mana yang asli. Diantaranya yang
kuketahui ialah Dipasingara dan Handaka…."
"Kalau begitu kita mencari orang yang sama!" kata Sanjaya.
"Urusan apa sampai kau mencari orang itu?" kembali Jagat Kawung ajukan pertanyaan.
"Bangsat
itulah yang menyebabkan aku kehilangan jabatan sebagai kepala pengawal
di kadipaten Gombong sekitar satu tahun silam. Kudapat keterangan dia
melarikan istri Adipati Kebo Panaran dan membunuh Adipati itu."
Jagat Kawung menghela nafas panjang. Dia memandang ke laut dan berkata: "Mari kita cepat-cepat meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," kini Suramanik yang menahan.
"Ada
satu kejadian yang perlu kuterangkan pada kalian. Mungkin ada gunanya.
Ketika kalian hadang aku, sebenarnya aku tengah membuntuti seorang
perempuan muda berotak miring yang lari ke jurusan sana …."
Dada Sanjaya sesak. Parasnya berubah.
"Apakah… apakah perempuan itu sedang hamil…?" tanya Sanjaya.
"Ya. Bagaimana kau bisa tahu?" Suramanik agak heran.
"Pasti
Wulandari, pasti!" desis Sanjaya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera
berkelebat meninggalkan tempat itu disusul oleh Jagat Kawung dan Wiro
Sableng serta Suramanik yang menunggangi kuda.
Berlari selama
kira-kira sepenanakan nasi sampailah ke empat orang itu ke tempat yang
dituju yaitu Teluk Segara Anakan. Suasana tampak tenang. Ombak
bergulung-gulung dari tengah lautan menuju pantai dan memecah teratur di
pasir, di antara batu-batu karang yang banyak bertebaran di sana-sini.
"Inilah Teluk Segara Anakan. Dipasingara sering datang ke sebuah goa yang terdapat di sekitar sini …." Suramanik berkata.
"Kita cari goa itu sekarang juga," kala Sanjaya tidak sabaran.
"Tunggu
dulu sobat-sobatku…” ujar Wiro sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku
mendengar suara lelaki tertawa mengekeh diseling suara jeritan-jeritan
perempuan …"
Semua orang memandang pada Wiro. Tak satu pun di antara
mereka mendengar suarasuara yang dikatakan Pendekar 212 itu. Ini
merupakan satu pertanda bagaimana jauh lebih tajamnya pendengaran murid
Eyang Sinto Gendeng itu.
Semua orang memasang telinga. Sesaat
kemudian Jagat Kawung berkata. "Betul … suara itu. Aku kenal benar. Yang
tertawa adalah si keparat murtad. Datangnya dari balik gundukan batu
karang besar di sebelah sana! Mari!"
Keempat orang itu dengan cepat
segera menuju ke jurusan batu karang yang menjulang di sebelah barat
Teluk. Semakin dekat ke sana semakin jelas terdengar suara tawa mengekeh
serta jeritan perempuan. "Mampus! Mampuslah kau Handaka!"
Begitu
sampai di balik batu karang, keempat manusia itu disambut oleh satu
pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang tergerai
acak-acakan dan berperut besar hamil dengan pedang di tangan menempur
membabi buta seorang lelaki muda. Yang perempuan ternyata adalah
Wulandari, tunangan Sanjaya, sedang yang lelaki bukan lain Warangas
alias Dipasingara alias Handaka alias Prana dan banyak alias-alias
lainnya.
Perkelahian terjadi di depan sebuah goa. Di mulut goa tegak
seorang gadis berkulit hitam manis dalam keadaan tubuh setengah
telanjang, ikut menyaksikan jalannya pertempuran dengan tegang.
Perempuan hitam manis ini adalah Sri Wening, anak gadis pak Tanu yang
telah diculik dan disekap Warangas di goa itu sejak seminggu lalu.
Ketika Wulandari sampai ke goa itu Warangas tengah menggeluti tubuh Sri
Wening.
Meskipun otaknya miring namun serangan pedang Wulandari bukan
serangan sembarangan dan amat berbahaya. Akan tetapi Warangas
menyambuti dengan ganda tertawa dan andalkan tangan kosong.
Sebentar-sebentar tangannya merobek pakaian lusuh dan kotor yang melekat
di tubuh Wulandari hingga lambat laun perempuan muda yang malang ini
hampir berada dalam keadaan telanjang. Perutnya yang buncit dan
urat-urat membiru jelas kelihatan.
Sanjaya tidak dapat menahan luapan amarahnya lagi. Dihunusnya pedangnya lalu menghambur memasuki kalangan pertempuran.
"Manusia dajal terkutuk! Hari ini jangan harap kau bakal bisa lolos dari kematian!"
Warangas
terkesiap kaget melihat kemunculan Sanjaya yang tidak dikenalnya itu.
Lebih kaget lagi ketika di seberang sana dilihatnya pula Suramanik,
Jagat Kawung dan Wiro Sableng.
Wulandari yang tengah mengamuk dengan
pedang di tangan ketika melihat Sanjaya menjerit keras dan lari ke balik
gundukan batu karang rendah. Di situ dia menangis dan berteriak-teriak
tak karuan.
Karena tidak merasa punya silang sengketa dengan Sanjaya
heranlah Warangas ketika Sanjaya menyerbunya dengan serangan-serangan
gencar.
Dia tak punya kesempatan untuk tanya ini itu dan terpaksa
harus kerahkan kepandaian untuk menghindari sambaran-sambaran pedang
lawan. Dalam pada itu dilihatnya Suramanik telah turun dari kudanya dan
langsung masuk ke kalangan pertempuran dengan sebilah golok besar di
tangan.
"Suramanik! Biar aku sendiri yang akan mencincang rnanusia
terkutuk ini!" teriak Sanjaya. Dia ingin melampiaskan dendam kesumatnya
seorang diri.
"Aku juga punya hak untuk membelah batok kepalanya, Sanjaya!" tukas Suramanik.
"Akulah
yang paling berhak untuk mematahkan batang lehernya!" yang berteriak
kali ini adalah si kakek Jagat Kawung dan serentak dengan itu dia
menyerbu dengan tangan kosong, menghantamkan pukulan Baja Merah!
Mendapat
tiga serangan yang hebat luar biasa ini Warangas menyingkir satu tombak
ke samping lalu melompat tinggi ke udara. Ketika masih mengapung di
atas, pemuda hidung belang ini cepat keluarkan senjatanya yang amat
diandalkan yakni Kipas Pemusnah Raga.
"Lekas menyingkir!" seru Wiro
Sableng ketika dilihatnya kipas hitam di tangan Warangas terkembang.
Wiro yang berada sekitar enam belas langkah dari kalangan pertempuran
segera lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung untuk menangkis
sinar hitam kipas sakti dan guna memberi kesempatan pada Jagat Kawung,
Suramanik serta Sanjaya menyingkir.
"Jika kalian bertiga bertengkar
untuk saling dapat membantai manusia bejat ini, biar aku saja yang
mewakili kalian semua! Bagaimanapun mengeroyok adalah tindakan yang
tidak terpuji!" kata Wiro sarnbil bersiap dengan pukulan berikutnya.
"Bagi
manusia puntung neraka macam dia tak perlu memakai segala tata cara
persilatan. Yang penting dia musti mampus!" teriak Sanjaya. Lalu pemuda
ini melornpat ke udara seraya kiblatkan pedangnya.
Sinar hitarn
menggebu-gebu mernaksa Sanjaya menyingkir jauh-jauh. Dari samping kiri
kembali Jagat Kawung mengirimkan pukulan Baja Merah sedang Suramanik
begitu dilihatnya lawan menjejakkan kaki di tanah cepat-cepat menyerbu
dengan golok besarnya.
"Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!" teriak
Warangas marah dan kalap melihat serangan yang datang tiada henti.
Kipasnya dikembangkan lebih lebar lalu diputar dalam bentuk lingkaran.
Sinar hitam menderu ke seluruh penjuru, menyapu dahsyat laksana topan
prahara.
Di mulut goa terdengar jeritan Sri Wening ketika sinar hitam
itu menyambarnya, membantingkan tubuhnya yang hangus tak bernyawa lagi
ke dinding goa!
Wiro leletkan lidah. Ketika sinar hitarn itu
berkelebat ke arahnya murid Sinto Gendeng ini menangkis dengan pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung sedang tangan kanannya melancarkan pukulan
Sinar Matahari.
Warangas merasakan tubuhnya laksana disambar angin
puting beliung. Sinar hitam yang menggebu dari kipas saktinya musnah.
Sebelum dia sempat mengimbangi diri dan membetulkan kuda-kuda kedua
kakinya, pukulan Sinar Matahari telah menyambar kipas saktinya hingga
senjata itu hancur berantakan!
Paras Warangas sepucat kain kafan.
Tengkuknya sedingin salju. Tanpa senjata di tangan menghadapi empat
lawan berkepandaian tinggi seperti itu membuat nyalinya meleleh. Maut
telah di ambang pintu!
Tanpa tunggu lebih lama Warangas melompat
tidak menduga kalau di balik batukarang itu justru ada Wulandari.
Sebelum dia sempat bergerak untuk terus melarikan diri mendadak
dirasakannya sambaran angin. Seolah-olah bumi yang dipijaknya roboh
begitulah tubuh Warangas terbanting ke pasir ketika kedua kakinya
sebatas betis buntung disambar pedang Wulandari.
Pemuda hidung belang
itu menjerit setinggi langit. Tubuhnya terguling ke bawah. Dia
rnenjerit lagi ketika dari kiri kanan Suramanik dan Sanjaya bersirebut
cepat menghantarnkan golok dan pedang masing-masing ke tubuhnya! Pedang
di tangan Sanjaya membabat robek dada Warangas sedang golok di tangan
Suramanik membabat putus lengan kirinya sampai ke bahu!
"Cukup!
Sekarang giliranku orang-orang muda!" Terdengar suara Jagat Kawung.
Tubuhnya berkelebat cepat. Tangannya menjambak rambut Warangas. Namun
sebelum dia sempat memuntir kepala muridnya yang murtad itu, satu sinar
putih menderu dari samping dan cras! Kepala Warangas terpisah dari
badannya. Lehernya putus dibabat pedang Wulandari. Darah rnenyernbur.
Wulandari menjerit histeris dan lari ke arah laut.
"Aku terlambat … aku terlambat …" desis Jagat Kawung menyesali diri. Sekali dia meremas maka hancurlah kepala Warangas!
Ketika
melihat Wulandari lari ke arah laut, Sanjaya cepat mengejar. Dia tahu
apa yang bakal dilakukan, bekas tunangannya itu dan segera menyergapnya.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Biar aku terjun ke dalam laut!" teriak Wulandari.
"Tenang Wulan. Sadarlah! Kenapa kau mau mati dengan cara sesat bunuh diri?"
"Aku
memang sudah sesat! Lepaskan!" teriak Wulandari. Dia coba meronta
melepaskan diri tapi tak bisa. Tiba-tiba dia ingat pada pedang berdarah
yang masih tergenggam di tangannya. Secepat kilat senjata itu ditusukkan
ke dadanya.
"Wulan! Jangan!" jerit Sanjaya. Tapi terlambat. Pedang
masuk jauh ke dada Wulandari. Tubuh perempuan itu terkulai dalam pelukan
Sanjaya.
"Wulan, kenapa kau lakukan ini. Aku … aku masih
mencintaimu. Kenapa kau tinggalkan aku Wulan…?" Suara Sanjaya serak
menahan tangis. Air matanya membersit dan dadanya sesak.
Di saat
kematian mendatang itu jalan pikiran Wulandari tampaknya kembali normal.
"Semuanya telah kasip kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di
dunia ini. Ampuni dosaku kakak. Aku telah mengkhianati janji walau
sebenarnya akupun tetap mencintaimu …."
"Wulan adikku … !"
Kepala
Wulandari terkulai. Wulandari hanya tinggal jasad kasar belaka kini.
Jasad kasar yang ditancapi pedang dan dilumuri darah. Angin dari luar
bertiup lembut dan sejuk. Ombak putih bergulung teratur dan memecah di
depan kaki Sanjaya. Butir-butir air mata berlelehan di pipi pemuda ini.
Dia berlutut membaringkan tubuh Wulandari di pasir pantai, memeluk dan
menangisinya. Dia tak tahu entah berapa lama dia berada dalam keadaan
seperti itu sampai akhirnya satu tangan memegang bahunya.
"Sobatku
Sanjaya, Tuhan menghendaki segala sesuatunya berakhir sampai di sini,
dalam cara begini rupa. Tabahkan hatimu, kuatkan iman. Akan lebih baik
jika kita mulai menggali tempat peristirahatan terakhir baik Wulandari
…."
Sanjaya hanya menjawab dengan anggukan. Diangkatnya jenazah
tunangannya itu. Diikuti oleh Wiro, Suramanik dan Jagat Kawung dia
mendukung tubuh Wulandari ke bagian yang landai di bawah naungan batu
karang. Di situ mereka mulai menggali kubur.
Bila sang surya
menggelincir ke barat maka di pantai Teluk Segara Anakan kelihatan
sebuah kubur. Empat orang lelaki berdiri di sekeliling kuburan itu. Tapi
tanpa diketahui oleh tiga orang lainnya, salah seorang dari mereka
yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu sudah berkelebat lenyap dari
tempat itu.
– << TAMAT >> –