KETIKA dia memasuki Klung-kung, kota itu masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi dipecah oleh derap kaki kuda yang ditungganginya.
Sesampainya di depan pura besar yang terletak dipersimpangan jalan
seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena hari masih terlalu pagi
diputuskannya untuk menghangati perutnya dengan secangkir kopi lebih
dulu di kedai yang terletak tak berapa jauh dari persimpangan itu. Meskipun
hari masih pagi di dalam kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki
yang baru datang ini duduk di tempat yang masih lowong sementara pemilik
kedai melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu
meneruskan menyantap kue-kue atau menghirup minumannya. Beberapa
diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti karena
kedatangan pengunjung baru ini. "Semarak kota Klungkung kini semakin
tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata seorang laki-laki
sambil memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima puluhan. "Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau." menyahut kawannya. "Kalau
anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang
sudah tua begini, ampun . . . " Dicabutnya rokok kaungnya dari sela
bibir lalu dihembuskannya jauh-jauh. Laki-laki yang pertama tertawa.
Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal beberapa saja
sedang kedua pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku. Kecantikan
seorang perempuan bukan hak orang muda-muda semata untuk
membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak
gadis I Krambangan itu benar-benar cantik luar biasa. Belum pernah aku
sampai setua ini melihat yang secantik dia." "Apakah dia secantik bidadari?" "Ah
sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum
bertemu dengan dia. Nantilah …. kalau kau lihat anak gadisnya I
Krambangan itu hem … Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan
ke dunia ini hingga ketika dia muncul di Klungkung ini kau sudah jadi
seorang tua renta, kakek-kakek peot macam terong rebus!" Beberapa
orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi
meneruskan lagi kata-katanya sementara tamu yang baru datang, sambil
menikmati kopi hangatnya tidak menyia-nyiakan pula untuk memasang
telinga. "Kau tanya apakah dia secantik bidadari. Sobat … meski aku
belum pernah lihat bidadari, tapi aku yakin mungkin dia lebih cantik
dari bidadari di kayangan! Kau tahu, kulitnya kuning langsat, potongan
tubuhnya besar diatas besar di bawah dan langsing di tengah-tengah.
Matanya . . . hem … pernah kau lihat bintang timur? Sepasang mata anak
gadis I Krambangan itu lebih bagus dari bintang timur. Lehernya jenjang,
pipinya selalu merah, apalagi kalau kena sinar matahari persis macam
pauh di layang. Sepasang alisnya tebal hitam seperti semut beriring,
hidungnya mancung kecil macam dasun tunggal. Dagunya seperti lebah
bergantung … pokoknya segala macam oerumpamaan yang diberikan orang
cocok melekat pada darinya. Dan kalau dia tersenyum sobatku, hem … rasa
di awan kita melihatnya …" "Sudahlah," memotong kawannya. "Habiskan
saja kopimu. Kalau kau terus bicara tentang anak gadis I Krambangan itu
mungkin lewat tengah hari baru kita sampai ke tempat pekerjaan!" Setelah
kedua orang tua itu pergi, tamu tadi berpikir-pikir. Rupanya tentang
kecantikan anak gadis I Krambangan itu sudah tersebar luas sampai ke
pelosok kota Klungkung. Jangankan orang-orang muda, orang-orang tua
seperti yang dua tadipun masih punya minat untuk membicarakannya. Dia
memandang ke luar kedai. Matahari telah agak tinggi. Dihabiskannya
kopinya dan setelah membayar harga minuman serta kue yang dimakannya
orang inipun keluar dari kedai itu, menunggangi kudanya dengan tidak
tergesa-gesa menuju ke selatan. Di tepi jalan seorang laki-laki
separuh baya tengah mengukir sebuah patung di depan rumahnya. Penunggang
kuda ini berhenti dan bertanya letak rumah yang tengah ditujunya.
Setelah mendapat keterangan maka dia pun melanjutkan perjalanan. Rumah
itu kecil mungil. Keseluruhan papannya baru dicat. Baru saja dia
berhenti dan turun dari kudanya, pintu muka terbuka, seorang laki-laki
berpakaian bersih keluar, ketika melihat orang yang turun dari kuda ini,
orang itupun berseru gembira, "Made Trisna!" "I Krambangan!" "Sahabat lama! Kedatanganmu laksana dibawa oleh Dewa-dewa di Swargaloka! Bagaimana kau bisa tahu aku tirggal di sini?" "Secara
kebetulan saja. Aku bertemu dengan Ida Bagus Seloka di Denpasar. Dia
yang menerangkan bahwa kau pindah dan menetap di sini." "Oh!." I
Krambangan manngut-marggut beberapa kali. "Mari silahkan masuk sahabat.
Tadinya aku hendak ke ladang. Tapi biar kubatalkan. Seharian ini kita
akan bicara panjang lebar!" Kedua sahabat lama itupun naik kegatas
rumah Setelah bicara panjang lebar ke barat-ke timur maka Made Trisna
mengutarakan maksud kedatangannya yang sebenamya. "Sahabatku I
Krambangan, di samping hendak menyambangimu disini, sebenarnya maksud
kedatanganku ini membawa pula satu maksud yang sangat baik." "Gembira sekali aku mendengarnya, Made Trisna," ujar I Krambangan, "katakanlah apa maksudmu yang sangat baik itu." Setelah batuk-batuk beberapa kali baru Made Trisna membuka mulutnya, "Kau tentu masih ingat dengan Tjokorda Gde Anyer." "Oh, siapa yang akan lupa pada manusia pemberani itu!" "Nah justru kedatanganku kemari ini ada sangkut paut dengan dirinya." "Hem, begitu? Sangkut paut bagaimana, Made?" "Dialah yang meminta aku ke sini untuk menyampaikan salam hormat." "Ah, aku yang rendah ini mana berani menerima salamnya?" potong I Krambangan. "Kau
tahu sendiri sifat Tjokorda Gde Anyer. Baginya semua orang sama, tak
ada tinggi dan rendah tak ada bangsawan dan rakyat jelata. Nah
sahabatku, dia menyuruh aku kemari untuk tolong menyampaikan salam
hormat di mana dia berhajat untuk meminang anakmu . . ." "Maksudmu Ni Ayu Tantri?" "Tentu! Kau kan tak punya anak lain dari pada si tunggal Tantri itu." I
Krambangan meneguk ludahnya. "Sungguh satu kehormatan luar biasa.
Tjokorda Gde Anyer mempunyai hasrat baik untuk melamar anakku. Setahuku
dia juga cuma punya seorang anak!" "Betul namanya Tjokorda Gde
Jantra. Parasnya gagah, usianya dua tahun lebih tua dari anak gadismu.
Ringkas kata, kalau anakmu dijodohkan dengan dia pasti cocok sekali
laksana pinang dibelah dua. Satu bulan satu mentari." Sejak sepuluh
tahun yang lalu I Krambangan tak pernah bertemu dengan Tjokorda Gde
Anyer. Sewaktu anak Tjokorda Gde Anyer masih kecil dia memang pernah
melihatnya dan menurut pendapatnya anak itu tidaklah gagah parasnya,
mukanya senantiasa pucat macam orang sakit, tubuh kurus dan kelakuannya
nakal bengal luar biasa. Tapi itu dulu selagi masih kanakkanak. Sekarang
sesudah jadi pemuda mungkin sifatnya telah berubah dan parasnya menjadi
gagah. Karena I Krambangan lama tak bersuara maka berkatalah Made
Trisna, "Apa lagi yang kau pikirkan, sahabatku? Terima saja lamaran
itu. Tjokorda Gde Jantra pemuda gagah anak bangsawan dan kaya raya.
Pasti hidup anakmu akan terjamin dan bahagia!" "Memang betul
kata-katamu itu Made," jawab I Krambangan. "Tapi justru mengingat
perbedaan darah turunan antara kami dan dialah maka rasanya agak malu
juga aku menerima lamarannya itu. Aku rakyat jelata mana mungkin
berbesan dengan orang bangsawan, sekalipun sebelumnya sudah saling
mengenal." Made Trisna tertawa. "Sekarang bukan jamannya berpikir
sekolot itu, I Krambangan. Apalagi kau ingat sifatnya Tjokorda Gde Anyer
yang tak mau membeda-bedakan di antara manusia." Kembali I Krambangan berdiam diri beberapa lamanya. Lalu: "Anakku Ni Ayu Tantri berparas buruk. Masakan anaknya Tjokorda Gde Anyer bersedia mengambilnya jadi kawan hidup …?" "Kau
keliwat merendah, sahabat," kata Made Trisna pula seraya menggulung
sebatang rokok kaung. "Kecantikan paras anak gadismu laksana bunga harum
semerbak yang dihembuskan angin ke pelbagai penjuru. Pagi tadi sebeLum
ke sini aku mampir di sebuah kedai. Dan kau tahu? Pagi-pagi buta begitu
tamu-tamu di situ sudah bicara tentang kecantikan paras anakmu.
Bayangkan!" I Krambangan mengusap-usap dagunya, memandang ke arah
jalan di mana meluncur sebuah pedati menarik tumpukan kayu-kayu bakar.
Suara klenengan sapi-sapi penarik pedati itu terdengar sepanjang jalan. "Walau
bagaimanapun gunjingan orang di luaran tentang diri anakku, tapi
Tjokorda Gde Jantra sendiri belum pernah bertemu muka dengan anakku.
Jangan-jangan begitu lamaran kuterima, setelah bertemu tahu-tahu pemuda
itu kecewa dan menyesal!" "Kalau dia tak pernah melihat paras anakmu
dengan mata kepala sendiri, masakan dia dan ayahnya sampai memaksaku
agar datang kemari!" kata Made Trisna pula. Kembali I Krambangan
menelan ludahnya. Akhirnya berkata laki-laki ini. "Beri aku waktu barang
seminggu dua minggu untuk merundingkan hal ini bersama istriku. Aku
sendiri pada dasarnya setuju, cuma bagaimanapun aku musti minta pula
pertimbangan istriku. Di samping itu yang terpenting Tantri pun harus
diberi tahu." Made Tisna manggut-manggut. "Aku yakin istrimu serta
Ni Ayu Tantri menyetujui pinangan yang kusampaikan ini. Dua minggu
terlalu lama sobat, biar aku datang minggu depan kemari untuk meminta
jawabanmu. Akur…" "Baiklah Made. Karena istriku sudah menyiapkan
hidangan pagi di dalam, marilah kita masuk." Kedua orang itu berdiri
lalu masuk ke ruang tengah.
SEPERTI
yang dikatakan Made Trisna, satu minggu kemudian dia kembali ke
Klungkung menemui I Krambangan untuk meminta kabar atau jawaban mengenai
pinangan yang disampaikannya tempo hari. Dia yakin betul I Krambangan
akan menerima pinangan Tjokorda Gde Anyer. Begitu sampai di rumah
sahabatnya itu langsung Made Krisna menanyakan persoalan. "Minumlah
dulu, Made." kata I Krambangan mempersilahkan sahabatnya. Bila Made
Trisna sudah meneguk minuman yang disuguhkan maka I Krambangan baru
membuka persoalan. "Seperti yang kukatakan tempo hari, pada dasarnya
aku bisa menerima lamaran Tjokorda GdeAnyer. Bukan saja menerimanya tapi
malah menganggapnya itu satu penghormatan yang luar biasa mengingat dia
bangsawan kaya raya mau mengulurkan tangan pada keluargaku bangsa
rakyat jelata. Ketika kubicarakan pada istrikupun, dia terkejut dan
hampir tak percaya. Dan seperti aku, diapun menyetujui lamaran itu.
Namun setelah kuterangkan pada Tantri, kita terbentur pada satu
persoalan, Made. Hal ini memang sudah kuduga dari semula, yaitu sejak
kau mengemukakan lamaran satu minggu yang lalu itu." "Persoalan apakah yang menjadi halangan itu, I Krambangan?" tanya Made Trisna pula. "Dua
tahun sebelum kami pindah kesini, sebenarnya Tantri telah mempunyai
pilihan hati sendiri. Kau tentu mengerti maksud ucapanku …." "Maksudmu Tantri telah mempunyai kekasih?" I
Krambangan mengangguk. "Mereka saling mencinta dan sudah punya rencana
untuk menikah sesudah Hari Raya Galungan beberapa bulan dimuka. Meski
aku orang tuanya, tapi kau tentu dapat memaklumi Made, bagaimana aku tak
bisa memaksa Tantri untuk memutuskan hubungannya dengan itu pemuda yang
dicintainya. Terlalu besar dosanya memutuskan tali kasih seseorang. Aku
kawatir tak akan dirakhmati Dewa-dewa lagi jika aku berani memutuskan
hubungan kasih anakku." Lama Made Trisna termenung. Kemudian
berkatalah laki-laki ini, "Kau terlalu banyak kawatir, sahabatku.
Masakan Dewadewa di kayangan tidak akan merakhmatimu. Bukankah dengan
menikahkan Tantri dengan Tjokorda Gde Jantra berarti kita membuat satu
kebajikan dan pahala besar?" "Itu betul Made. Tapi bagaimana dayaku
untuk memutus hubungan Tantri dengan pemuda yang dikasihinya? Aku
sebagai orang tua benar-benar tidak tega . . . " "Apakah kau sudah
terangkan padanya bahwa yang melamar adalah Tjokorda Gde Anyer? Apakah
kau terangkan pula orang yang bagaimana adanya bangsawan kaya raya itu?" "Sudah."
jawab I Krambangan, "semuanya sudah. Bahkan kubujuk pula anak itu untuk
mau menerima lamaran tersebut. Tapi sia-sia belaka, Made." Untuk
kedua kalinya Made Trisna termenung. Setelah saling berdiam diri
beberapa lamanya kemudian bertanyalah Made Trisna, "Apakah kau tak
melihat cara atau jalan lain agar Tantri menyetujui perjodohannya dengan
Tjokorda Gde Jantra?" "Sudah kutempuh berbagai cara Made. Agaknya
memang sukar melembutkan hati yang sudah diberikan pada seorang lain
yang dikasihi. Kita harus maklum itu karena kitapun pernah muda …"’ "Sebagai orang tua, apakah kau tidak merasa itu merupakan satu keingkaran? Menyatakan bagaimana anakmu tidak berbakti padamu …?" I
Krambangan menggigit bibirnya. Pertanyaan itu merupakan satu pukulan
baginya. Tapi dia tersenyum sewaktu menjawab, "Meski aku orang tuanya.
Made, tapi aku juga bisa melihat sampai batas-batas mana seorang tua
bisa mencampuri urusan pribadi anaknya. Penolakan yang dikemukakan
Tantri bukan kuanggap sebagai satu keingkaran atau satu kenyataan bahwa
dia tidak berbakti terhadapku. Kurasa siapa saja mempunyai hak untuk
mengemukakan pendapatnya mengenai. urusan pribadinya. Apalagi urusan
yang menyangkut masa depan. Kukatakan aku dan istriku menyetujui lamaran
Tjokorda Gde Anyer. Tapi kita musti sadar pula bahwa bukan aku atau
istriku atau kau atau juga Tjokorda Gde Anyer yang akan dijodohkan dan
akan menempuh hidup baru berumah tangga itu, tapi Tantri." "Betul,
betul sekali." sahut Made Trisna cepat-cepat karena kata-kata I
Krambangan itu menggejolakkan hatinya. "Betul sekali apa yang kau
katakan itu, sahabat. Tapi kita musti pula menyadari, dunia ini masih
belum terbalik. Kita orang-orang tua mempunyai hak dan kewajiban untuk
memelihara anak kita dan kalau sudah besar membuat dia berbakti pada
kita, mengikuti apa mau kita karena niscaya orang tua itu tak ada yang
berniat mencelakakan anaknya. Dunia masih belum terbalik sahabatku.
Masakan kita orang-orang tua musti mengikuti maunya anak kita, justru
anaklah yang harus patuh dan mengikuti kemauan orang tuanya!" "Menyesal
sekali, rupanya jalan pikiran kita sedikit berbeda Made," kata I
Krambangan. "Bagaimana pun aku tak merasa dunia ini telah terbalik hanya
karena aku memberikan hak untuk menentukan kehidupan masa depan pada
anakku. Dan aku juga menyadari bahwa memang bukan adat atau pun
kebiasaan kita untuk berlaku seperti itu. Tapi harus disadari Made,
dunia kita di masa lalu tidak sama dengan dunia orang-orang sekarang.
Dunia orang-orang sekarang tak sama pula dengan dunia orang-orang di
masa nanti. Segala sesuatunya harus tunduk pada keadaan dan kehendaknya
jaman . . . " "Dimana orang tua-tua tidak mempunyai daya apa-apa lagi
terhadap anaknya? Dimana anak-anak sanggup mengatur orang tuanya dan
bukan orang tuanya yang mengatur diri mereka? Sungguh lucu jaIan
pikiranmu. Jika memang itu pendirianmu, memang sungguh berbeda jalan
pikiran kita sahabat. Dan adalah sangat disayangkan kalau kau sampai mau
menolak lamaran Tjokorda Gde Anyer. Kau tahu, I Krambangan. Jika
perjodohan ini jadi, kau sekeluarga akan dibuatkan sebuah rumah gedung
dan disuruh pindah ke Denpasar. Tentang kehidupan masa tuamu tak perlu
memikirkan, kau hanya ongkang-ongkang kaki saja karena semua keperluan
dijamin oleh Tjokorda Gde Anyer. Tentang anakmu … dia akan hidup bahagia
bersama Tjokorda Gde Djantra!" "Memang sudah kubayangkan betapa
kebahagiaan akan menyelimuti bila Tantri nikah dengan anak Tjokorda Gde
Anyer. Tapi aku tak punya daya untuk memaksa Tantri." Made Trisna
menjadi putus asa dan penasaran sekali pada sahabatnya itu. "Kalau aku
boleh bertanya," katanya, "siapa gerangan pemuda yang dikasihi oleh
anakmu itu? Apakah dia tampan gagah, anak orang bangsawan tinggi, punya
sawah ladang berhektar-hektar, punya ternak berkandang-kandang dan punya
harta bergudang-gudang, hingga mata dan hati anakmu tak dapat dialihkan
kepada yang lain lagi?" "Pemuda itu bernama Nyoman Dwipa. Dia
tinggal di desa Jangersari dan agaknya bagi Tantri, sawah ladang atau
ternak atau harta kekayaan itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan
nilai kasih sayang yang dipadunya dengan Nyoman Dwipa." Rasa putus
asa dan penasaran yang menggelorai hati Made Trisna lama-lama berubah
menjadi kejengkelan dan rasa muak yang akhirnya berubah pula menjadi
rasa benci terhadap sahabat lamanya itu. Dianggapnya I Krambangan
keterlaluan tolol! "Baiklah I Krambangan," kata Made Trisna seraya
berdiri, "kalau begitu putusanmu memang tak bisa aku memaksa. Tapi terus
terang kukatakan bahwa sebagai manusia hidup kau terlalu bodoh untuk
tidak mau menerima lamaran Tjokorda Gde Anyer." "Terserahlah kau mau
bilang apa, sahabatku," jawab I Krambangan dengan pelahan. "Mungkin aku
memang orang tolol. Tapi aku yakin dalam ketololan itu aku berpijak pada
kebenaran dan hak pribadi yang tak bisa diganggu gugat!" Made Trisna memacu kudanya dengan kencang. Hatinya mencaci maki habis-habisan I Krambangan!
***
Denpasar sebuah kota besar dan bagus di pulau Bali. Beberapa buah pura
besar yang sangat indah bangunannya terdapat di sana. Di tengah-tengah
kota terdapat sebuah gedung besar yang atapnya berbentuk candi. Tak ada
satu orangpun di Denpasar yang tidak tahu siapa pemilik gedung bagus dan
besar itu. Bahkan penduduk yang tinggal di pinggiran kotapun tahu bahwa
itu adalah gedung kediaman bangsawan kaya raya Tjokorda Gde Anyer. Waktu
itu hari telah rembang petang ketika Made Trisna dan kudanya sampai di
pintu gerbang gedung, langsung masuk ke halaman dalam, dan menemui
Tjokorda Gde Anyer. Sebelum dia membuka pembicaraan, Tjokorda Gde
Djantra sudah muncul pula hingga dapatlah ia memberi keterangan
sekaligus pada kedua beranak itu. Betapa terkejutnya bangsawan dan
anak tunggalnya itu tatkala mendengar penuturan Made Trisna, tatkala
mengetahui bahwa lamaran mereka ditolak oleh I Krambangan. Tak perduli
alasan apapun yang dikemukakan I Krambangan, yang nyata ini adalah
merupakan satu penghinaan besar! "I Krambangan manusia tak tahu diri!
Tak tahu diuntung!" maki Tjokorda Gde Anyer. Lalu dia berpaling pada
anaknya dan berkata, "Sudah, kau cari saja gadis lain! Di Denpasar ini,
di pulau Bali ini ada ratusan gadis-gadis yang jauh lebih cantik dari
anaknya si Krambangan itu, yang turunan bangsawan terpandang, kaya
raya!" Tjokorda Gde Djantra termanggu beberapa lamanya. Mukanya yang
senantiasa pucat macam orang mau mati besok, saat itu kelihatan makin
tambah pucat! Seperti ayahnya, pemuda inipun merasa terhina. Tapi
hatinya benar-benar sudah terpaku pada gadis itu hingga tak mungkin
baginya untuk mencari lain gadis seperti yang dikatakan ayahnya. "Kita sudah diberi malu Djantra!" berkata Tjokorda Gde Anyer. "Kuharap kau jangan memberi malu yang kedua kalinya. "Tapi ayah aku tak sanggup hidup bersama gadis lain." "Kenapa
tidak sanggup? Sepuluh gadis yang lebih cantik dari si Tantri itu bisa
kau ambil jadi istri sekaligus!" Tjokorda Gde Djantra berdiri dari
kursinya. "Walau bagaimanapun aku musti dapatkan gadis itu, ayah.
Tidak dengan cara baik-baik dengan jalan burukpun bisa. Rasa malu yang
kita terima akan kubalas malam ini juga!" Tjokorda Gde Djantra lantas
berlalu dari situ. Tjokorda Gde Anyer dan Made Trisna saling
berpandangan. Kedua orang ini sudah bisa menduga apa yang bakal
dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra. Dan berkatalah Made Trisna, "Kalau
betul itu hendak dilakukan oleh Tjokorda Gde Djantra, kurasa tak ada
salahnya. Itu sudah menjadi adat kebiasaan kita di sini."
HARI
itu sejak petang lingkungan langit di ataskota Klungkung diselimuti
kemendungan. Gumpalan awan hitam datang bergulung-gulung tiada hentinya
dari arah barat. Menjelang senja angin keras mulai bertiup, menerbangkan
debu di segala pelosok, membuat kota tenggelam dalam udara pengap.
Tepat sewaktu sang surya lenyap di ufuk barat maka hujan deraspun
turunlah. Suaranya menggemuruh ditimpal oleh deru angin. Setiap telinga
yang mendengarnya merasa ngeri. Sekali-sekali menggelegar guntur,
berkelebat kilat. Dalam tempo yang singkat parit dan selokan di seluruh
kota telah luber oleh air hujan, sungai-sungai kecil banjir menerpa
segala apa saja yang ada di sekitarnya. Kadang-kadang hujan itu mereda
sebentar lalu turun lagi dengan lebih lebat. Dinginnya udara seperti
merembas dan mencucuk sampal ke tulang-tulang sungsum! Dalam lebatnya
curahan hujan, dalam kerasnya deru angin dan dalam gelapnya suasana
malam yang sangat dingin itu, dari jurusan timur laksana bayangan setan,
kelihatanlah empat penunggang kuda memasuki Klungkung. Sesampainya di
persimpangan jalan di depan pura, keempatnya membelok ke kiri tanpa
mengurangi kecepatan kuda masing-masing. Air hujan dan lumpur
bercipratan di belakang kaki-kaki ke empat binatang itu. Hampir
mencapai ujung jalan, salah seorang penunggang kuda menunjuk ke depan
dan berkata, "Yang itu rumahnya! Pergilah, aku menunggu di sini." Tiga
penunggang kuda lainnya segera mengeluarkan sapu tangan-sapu tangan
besar yang berwarna hitam dan menutupi paras mereka dengan sapu tangan
itu sebatas mata ke bawah kemudian ketiganya segera bergerak ke rumah
kecil yang ditunjuk tadi. Seperti keadaan rumah-rumah di sekitarnya,
rumah yang mereka tuju inipun sunyi senyap, tak satu lampupun yang
menyala tanda seluruh penghuninya telah tidur nyenyak dalam kehangatan
selimut masing-masing. Ketiga orang itu turun dari kuda. Setelah
meneliti keadaan sekeliling mereka langsung ketiganya menuju ke pintu
depan. Dengan mempergunakan sebuah alat, pintu yang terkunci berhasil
dibuka. Hampir tanpa suara sedikitpun ketiga orang itu masuk ke dalam
rumah. Mata mereka terpentang lebar-lebar dalam kegelapan. Selangkah
demi selangkah ketiganya bergerak. "Kurasa yang ini kamarnya,"
berbisik salah seorang dari yang tiga lalu mendahului kawan-kawannya
maju ke pintu dan mengintai. Di dalam kamar gelapnya bukan main, tapi
matanya yang tajam sanggup juga melihat sesosok tubuh yang terbaring
bergelung diatas tempat tidur. "Biar aku yang masuk," berkata
laki-laki bertubuh kurus. Didorongnya daun pintu. Pintu itu mengeluarkan
suara berkereketan tapi suara ini tertelan oleh suara hembusan angin
deras dan hujan lebat. Dengan dua jari tangan terpentang lurus siap
untuk menotok, laki-laki berbadan kurus ini melangkah mendekati tempat
tidur. Tiba-tiba orang yang tidur di atas pembaringan menbalikkan
badannya, selimut yang menutupi sebagian wajahnya terbuka dan ketika dia
bangun dengan cepat orang ini segera membentak, "Siapa kau?!" "Keparat!
Bukan dia!" rutuk laki-laki yang mukanya tertutup kain hitam sementara
dua orang kawannya yang berdiri di ambang pintu berjaga-jaga juga
terkejut sekali. Tadinya mereka menyangka orang yang tidur di atas
pembaringan itu adalah Ni Ayu Tantri, gadis yang hendak mereka culik.
Tapi suara bentakan itu nyata sekali suara laki-laki! Tak dapat tidak
yang tidur di situ adalah ayah dari gadis itu! "Maling rendah! Kau
berani masuk ke dalam rumahku!" terdengar lagi bentakan. Itu adalah
suara bentakannya I Krambangan yang menyangka manusia yang masuk ke
dalam kamar itu adalah maling! Segera laki-laki itu melompat menyambar
sebilah parang yang tersisip di dinding. Namun sebelum tangannya
mencapai senjata itu satu pukulan menyambar dari samping! I
Krambangan dulunya adalah seorang bekas kepala prajurit kerajaan, dengan
sendirinya memiliki ilmu silat yang cukup bisa diandalkan, apalagi
kalau cuma menghadapi seorang maling! Mendapat serangan itu dengan cepat
dia melompat ke samping, berkelit dan menyusupkan satu tendangan ke
dada lawan! Tapi yang dihadapi I Krambangan bukan "maling biasa".
"Maling" itupun ternyata memiliki ilmu silat yang lihay. Dengan mudahnya
dia mengelakkan serangan I Krambangan lalu berkelebat cepat dan "buk".
Tahu-tahu jotosannya melanda dada I Krambangan. Orang tua itu
mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. Nafasnya sesak dan
dadanya sakit bukan main. Tapi karena dia tersandar ke dinding dengan
sendirinya dia mempunyai kesempatan baik untuk menyambar parang. Cuma
dia masih kurang cepat. Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu
dari kiri kanan dua pasang tangan yang kuat-kuat telah mencekal kedua
lengannya. Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat kemudian satu
pukulan yang amat keras mendarat di keningnya. I Krambangan coba
mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi pukulan itu
terlalu keras. Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang yang mencekalnya
melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke lantai tanpa sadarkan diri! Di
kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang terbangun
dari tidur masing-masing. Mereka adalah Ni Ayu Tantri dan ibunya.
Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan tapi karena malam itu
ibunya diserang demam panas, si gadis sengaja tidur bersama sekalian
untuk menjaga perempuan itu. "Ada apa, nak …?" bisik Ni Warda, ibunya Tantri. "Seperti suara orang berkelahi, bu." jawab Tantri "Kudengar keluhan ayah … Biar aku lihat keluar." Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata gemetar: "Jangan, Tantri. Pasti itu orang-orang jahat. Kalau kau keluar…." "Tapi
ayah bu," ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. Dan baru saja gadis ini
berkata demikian pintu kamar itu terpentang lebar oleh satu tendangan
keras! Ni Warda dan Ni Ayu Trisna menjerit sewaktu melihat tiga orang
laki-laki bertutupkan kain hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam
kamar itu!
***
Baru saja matahari pagi
tersembul di ufuk timur, seluruh Klungkung sudah heboh oleh berita yang
disampaikan dari mulut ke mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis cantik
yang belum lama ini pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap diculik
orang malam tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk
semalam-malaman itu telah berusaha mencari jejak si penculik, namun
sia-sia belaka. Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu
Tantri itu adalah gerombolan rampok yang bersarang di Bukit Jaratan
karena rampok-rampok itu memang selalu mengenakan kain hitam penutup
muka bila menjalankan kejahatannya. Tapi I Krambangan sendiri
mempunyai dugaan lain. Bersama dua orang tetangga, dengan menunggangi
kuda pagi itu dia berangkat menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari
gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer. Akan Tjokorda Gde Anyer ketika
melihat kedatangan I Krambangan berubahlah parasnya. Tapi seseat
kemudian bangsawan ini tertawa lebar dan berkata: "Sungguh tak
disangka-sangka kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan masuk." "Cukup kita bicara disini saja, Tjokorda Gde Anyer. . ." "Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi besanku hanya berdiri …" "Jangan
bicara segala macam soal besan, Tjokorda Gde Anyer!" potong I
Krambangan pula dengan suara keras. "Panggil anakmu! Aku ingin bicara
dengan dia!" Tjokorda Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya.
"Sobat lama, agaknya satu kemarahan menyelimuti dirimu. Bicaralah dengan
tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu, dan maksudmu
hendak bertemu serta bicara dengan anakku. Dalam pada itu kuharap kau
suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik." Seseorang keluar dari
dalam gedung. Parasnya kusut mungkin kurang tidur. Orang ini bukan lain
Made Trisna. Dia tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu
melihat I Krambangan. Namun seperti Tjokorda Gde Anyer tadi, diapun
lantas tertawa dan menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan
orang ini melainkan memandang menyorot pada Tjokorda Gde Anyer. "Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!" tanya tuan rumah. "Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku anakmulah yang menjadi biang ketidak beresan ini!" "I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! Katakan apa yang telah terjadi sampai kau bicara begini rupa!" "Kurasa
kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadil Aku bisa
mengetahui pada pertama kali aku melihat air muka kalian! Tapi tak apa
saat ini kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu ketika aku akan tahu
kedustaan kalian! Dengar, sesudah pinanganmu kutolak secara baik-baik
kemarin, malam tadi tiga orang telah memasuki rumahku dan menculik Ni
Ayu Trisna!" "Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah
yang telah menculik anak gadismu? Sungguh tuduhan yang sangat rendah dan
tanpa bukti sama sekali!" "Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa anakmulah yang melakukannya! Sekarang katakan dimana anakmu itu?" "Dia tak ada di sini, I Krambangan." "Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan diculiknya Ni Ayu Trisna!" "Jangan
menuduh sembarangan!" tukas Tjokorda Gde Anyer dengan marah. "Sekalipun
lamaranku ditolak apa perlunya anakku menculik anakmu? Sepuluh
gadis-gadis yang lebih cantik dari anakmu bisa didapat oleh Tjokorda Gde
Djantra!" I Krambangan menyeringai. "Katakan saja di mana anakmu berada!" "Sejak
siang kemarin dia meninggalkan rumah! Kemana perginya aku tidak tahu.
Kalau kau tidak percaya silahkan tanya pada Made Trisna." "Dengar
Tjokorda Gde Anyer!" kata I Krambangan dengan memandang tajam-tajam.
"Jika aku mendapat bukti-bukti dan kenyataan bahwa anakmulah yang telah
menculik anakku dan terjadi apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan
bunuh dia! Siapa saja yang berani menghalangi perbuatanku akan
kusingkirkan dari muka bumi ini! Termasuk kau dan Made Trisna!" Habis berkata begitu I Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera meninggalkan gedung itu.
DALAM
hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan
rumah I Krambangan dengan cepat. Dalam waktu yang singkat keempatnya
telah meninggalkan kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan keempatnya
berhenti. Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh
perempuan di pangkuannya berkata pada tiga orang lainnya, "Kita berpisah
di sini." "Baik Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah
seorang dari mereka. Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera
meninggalkan persimpangan itu sedang yang seorang tadi menyentakkan tali
kekang kudanya dan menempuh jalan sebelah kanan. Dua jam lamanya
laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti. Sewaktu fajar menyingsing dia
sampai di sebuah lereng bukit dan memperlambat lari kudanya. Sambil
menunggangi kuda tak henti-hentinya dia menundukkan kepala memandang
paras jelita dari gadis yang berada dalam keadaan pingsan di
pangkuannya. Di puncak bukit laki-laki ini berhenti untuk melepaskan
lelah sementara kuda tunggangannya menjilati air empun dan memakan
rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang
itu meneruskan perjalanannya kembali. Di tepi sebuah telaga berair
bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan lima belas kilo
dari Denpasar terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk dan tak
terurus. Tapi karena lantai, dinding dan atap dibuat dari kayu jati,
meski tak terurus, keadaannya masih cukup baik untuk ditempati. Tjokorda
Gde Djantra menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan
yang diculiknya ke dalam pondok, membaringkannya di atas sebuah tumpukan
jerami kering yang dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur
yang cukup nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. Setelah
memandangi wajah gadis itu beberapa lamanya dengan seringai di bibir,
Tjokorda Gde Djantra keluar dari pondok dan membersihkan diri dalam
telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia keluar dari telaga. Ketika dia
masuk ke dalam pondok didapatinya gadis itu telah siuman dan duduk di
tepi tempat tidur jerami tengah memandang berkeliling dengan perasaan
takut bercampur heran. "Kau sudah siuman Tantri … ?" Ni Ayu Tantri
terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan
cepat. Dia tak kenal dengan pemuda berparas pucat yang berdiri di ambang
pintu itu. Tapi bila dia ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia
bahwa manusia ini pastilah salah seorang dari orang-orang jahat yang
menculiknya! Cepat-cepat gadis ini berdiri. "Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra. Yang
mengherankan Ni Ayu Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya.
Melihat kepada pakaiannya yang bagus kemungkinan dia seorang pemuda
bangsawan! Tapi siapa dia dan mengapa telah melakukan penculikan
benar-benar tak bisa dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa
takutnya semakin bertambah besar detik demi detik. " "Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri. Tjokorda Gde Djantra tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali terdengar di liang telinganya. "Kau
tak usah takut Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku
tapi aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah kau dengar dalam
beberapa hari belakangan ini." "Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke Klungkung dengan cepat!" "Kau tak akan kembali ke Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra. Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. "Apa … Aku tak akan kembali ke Klungkung?!" tanyanya. Tjokorda Gde Djantra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau akan kembali ke Denpasar. Kerumahku. Dan kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang berbahagia!" Pucatlah
paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia
berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah pemuda bermuka pucat ini Tjokorda
Gde Djantra, anak bangsawan yang telah ditolak lamarannya satu hari yang
lewat! Dan ketika Tantri menyadari apa maksud penculikan yang dilakukan
Tjokorda Gde Djantra sesudah lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu
kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis ini menjerit dan coba menerobos ke pintu.
Tjokorda Gde Djantra memegang lengan gadis itu dan menariknya ke tengah
pondok. "Tak ada yang harus kau takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau bergembira karena kita akan hidup bahagia! " "Lepaskan
aku!" teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan
Tjokorda Gde Djantra terlalu keras dan erat untuk bisa dilepaskannya. "Duduklah dulu ditumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baik-baik …" "Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak Tantri. Tjokorda
Gde Djantra tertawa pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?"
ujarnya. "Justru perbuatan pemuda-pemuda Bali yang gagah dan berhati
jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata ini!" "Lepaskan
aku manusia keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda
itu berulang kali. Tjokorda Gde Djantra mendorong Tantri keras hingga
terbaring di atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu
dan memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati
Tantri yang menjerit-jerit dan ketakutan setengah mati. "Aku tak
mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka
dada, "tak mengerti mengapa kau sampai menolak lamaranku …" "Manusia keji keluarkan aku dari sini!" "Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, Betul?" "Itu bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!" "Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak, Tantri." Ni
Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri
sia-sia saja karena untuk kedua kalinya pemuda bangsawan itu berhasil
mencekal lengannya dan mendorongnya kembali hingga terbanting di atas
tempat tidur jerami kering. "Nama pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa bukan?" Tantri tak menjawab melainkan menangis dan berteriak-teriak. "Dengar
Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga
bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-sia. Segala keperluan
hidupmu kujamin penuh." "Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!" "Kadang-kadang
cinta itu memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi
berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan hidup masa depanmu di tangan
seorang pemuda desa yang tak punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan
kehidupanmu yang masih panjang ini hanya karena kasih sayang gilamu …?!" "Diam!" jerit Ni Ayu Tantri. "Kekasihku
memang tak punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari
pada kekejian yang kau lakukan ini! Menculik gadis yang tidak sudi kawin
dengan kau! Cis! Kau adalah pemuda bangsawan yang paling rendah di atas
dunia ini!" "Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa
atas dirimu, apakah masih akan menolak nanti untuk kawin denganku?"
tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan seringai mengejek. "Aku lebih baik bunuh diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri blak-blakan! "Tolol sekali mau mati muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu melangkah maju. "Pergi!" teriak Tantri! "Tantri,
kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil? Dengar … aku tak
akan melakukan apa-apa atas dirimu jika kau bersedia menerima
lamaranku." "Lebih baik aku kawin dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab Tantri pula seraya mundur menjauhi pemuda itu. Ucapan
yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah
diterima pemuda bangsawan itu selama hidupnya. Mukanya yang senantiasa
pucat pasi mendadak sontak menjadi kelam merah. Mulutnya terkatup
rapat-rapat, rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau
yang kelaparan pemuda ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak
cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit. "Breet! Breet …!" Suara robekan
pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri
mengumandang melengking tinggi. Kemanapun gadis ini berusaha lari dia
tak dapat menyelamatkan diri dari keganasan sepasang tangan Tjokorda Gde
Djantra yang merobek-robek pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat
boleh dikatakan gadis itu sudah seperti tak berpakaian lagi. Auratnya
yang kuning langsat penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat
darah di tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana mendidih! "Ini kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan baik-baik padamu!" "Bunuh aku! Bunuh saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan menjerit terus-terusan. Tjokorda
Gde Djantra menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya
mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat
tidur jerami! "Terlalu gila kalau aku mau membunuhmu,Tantri!" kata
pemuda itu dengan mata yang bersinar-sinar penuh nafsu. Ni Ayu Tantri
tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Cepat-cepat dia melompat tapi
kembali tangan pemuda itu membuatnya jatuh tertelentang di atas tumpukan
jerami! "Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa
menolak kawin denganku, Tantri⁄" Suara Tjokorda Gde Djantra lebih
merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu dari pada ucapan sebenarnya
yang sampai ke telinga Tantri. Gadis ini coba menghantamkan salah satu
lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde Djantra telah
menghimpitnya membuat gadis itu tak punya daya apa-apa lagi selain dari
pada menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun
sampai dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang
laksana sudah berubah menjadi binatang buas! Di luar pondok hujan
rintik-riptik turun. Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan alam
ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana meratap menangisi apa yang
telah terjadi di dalam pondok. Ni Ayu Tantri menggeletak di atas
tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup selembar benang itu
tiada bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis ini telah
jatuh pingsan. Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu,
terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan tubuh mandi keringat, hidung
kembang kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya kepalanya
ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa luar biasanya
kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu. Dengan apa
yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde
Djantra jelas sudah bahwa baik Tantri sendiri maupun kedua orang tuanya
tak bakal bisa lagi menolak lamarannya tempo hari. Memandangi tubuh
itu, lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di sekujur
tubuh Tjokorda Gde Djantra. Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya
tubuh itu bergerak sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri
membuka. Telah sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan
cepat, memandang pada tubuhnya sebentar lalu ketika sepasang matanya
membentur Tjokorda Gde Djantra, dari mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik
yang mengerikan! Tjokorda Gde Djantra sendiri sampai berdiri bulu
kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih termanggu-manggu
antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang mengobari
sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke arah dinding kayu
jati. "Tantri! Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan sebat. Tapi nasib! Terlambat sudah! Kepala
Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat
kerasnya. Terdengar suara pecahnya batok kepala perempuan itu. Tubuhnya
terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri bukanlah satu
perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah memperlihatkan bahwa baginya
kehormatan dan kesucian diri adalah jauh lebih berharga daripada
jiwanya!
DI
daerah sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga rombongan yang
masing-masing terdiri dari sepuluh orang telah menjelajah melakukan
pencarian terhadap Ni Ayu Tantri yang telah diculik itu. Rombongan
pertama dipimpin oleh I Krambangan menyelidik daerah sekitar Denpasar.
Rombongan kedua dipimpin oleh Nyoman Dwipa, kekasih Ni Ayu Tantri,
menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang terakhir
dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang bernama I Gusti
Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga rombongan itu melakukan
penyelidikan namun sia-sia belaka. Pada hari ke delapan I Krambangan
dengan putus asa meninggalkan daerah luar kota Denpasar, kembali menuju
ke Klungkung. Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan
menempuh daerah sebelah timur laut, menyusur rimba belantara dan
kaki-kaki bukit. Udara panasnya bukan main karena matahari bersinar
dengan terik. Sewaktu melewati sebuah kaki bukit, I Krambangan melihat
kuda tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya. Mulutnya yang
berbusah senantiasa tak bisa diam sedang cuping hidungnya
bergerak-gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu berada dalam
keadaan seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa dia tengah membaui
air segar. Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu.
Lebih cepat kembali ke Klungkung adalah lebih baik baginya. Siapa tahu
rombongan yang dipimpin oleh Nyoman Dwipa atau I Gusti Wardana telah
berhasil menemukan anak gadisnya. "I Krambangan," tiba-tiba seorang
anggota rombongan yang berada di samping I Krambangan menegur.
"Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa
ketika? Kalau aku tidak salah, di sebelah sana terdapat sebuah telaga
berair jernih . . . " Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa
rombongan ke arah telaga yang dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin
dekat ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar
menyambar hidung setiap anggota rombongan. "Adakah kalian membaui sesuatu?" tanya I Krambangan. "Ya.
Bau busuk apa ini!" jawab seorang di belakangnya sambil memandang
berkeliling. Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga. "Hai lihat!" seru seorang di antara mereka. "Ada pondok di tepi telaga sana!" Memang
benar di seberang telaga kelihatan sebuah pondok kayu. Dan dari pondok
inilah agaknya santar sekali menyambarnya bau busuk itu. I Krambangan
mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba selintas pikiran timbul di benak
orang tua ini. Dadanya berdebar. Disentakkannya tali kekang kudanya. I
Krambangan memacu binatang itu memutari telaga hingga akhirnya sampai di
depan pondok. Laki-laki ini melompat turun dari kudanya dan lari ke
pintu pondok. Pintu itu tidak dikunci. Ketika didorong segera terpentang
lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat suasana tambah
ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka bau busuk
menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu. Sambil menutup
hidung I Krambangan masuk ke dalam dan langkahnya terpaku ke lantai
pondok sewaktu matanya membentur sesosok tubuh perempuan yang
menggeletak di atas lantai. Hanya seketika I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. Bila ditelitinya paras yang rusak itu terpekiklah dia! "Dewa Agung!" I
Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. Beberapa
orang anggota rombongan kemudian memasuki pula pondok kecil itu dan
semua mereka terkesiap ngeri melihat pemandangan di depan mata mereka!
Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain adalah sosok
tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak selembar benangpun
yang menutupi auratnya, tubuh itupun sangat rusak, sudah membusuk
bahkan di beberapa bagian sudah ada yang dimakani ulat! Parasnya yang
cantik jelita kini hanya merupakan satu benda yang mengerikan untuk
dipandang. Keningnya pecah. Seluruh mukanya yang tertutup darah kental
beku itu sebagiannya telah busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya
belatung-belatung yang berjalan kian kemari! "Dewa Agung⁄" rintih I
Krambangan yang menundukkan kepala dan mencucurkan air mata karena tak
sanggup menyaksikan keadaan anak gadisnya, "dosa apakah yang aku buat,
kesalahan apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini
rupa . . ?" Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan
jawaban. Sebaliknya di lubuk hati I Krambangan seolah-olah muncul
sebuah titik merah yang makin lama makin besar, makin besar … makin
besar dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api yang membakar hati
dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang menyelimuti
dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat! Rahang-rahangnya
terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletukan. Tibatiba
berteriaklah I Krambangan laksana geledek dahsyatnya, membuat semua
orang yang ada di situ menjadi kaget sekali. "Tjokorda Gde Anyer! Ini
semua gara-garamu! Ini pasti anakmu yang punya perbuatan! Demi Dewa
Agung aku bersumpah untuk membunuh seluruh keluargamu! Akan kuhirup
darah anakmu yang jahanam itu!" Bersarnaan dengan berakhirnya
teriakan itu, di luar pondok udara tiba-tiba menjadi gelap. Langit
mendung. Angin menderu keras. Guntur menggelegar, kilat menyambar dan
hujan lebatpun_ turunlah! Keadaan seperti itu seolah-olah delapan
penjuru jagat dan Dewa-dewa di Kahyangan telah mendengar teriak sumpah I
Krambangan tadi!
***
Saat itu memang
musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I Krambangan memasuki Denpasar.
Di belakangnya kelihatan empat orang laki-laki memacu kuda
masing-masing. Sejak dari Klungkung keempat laki-laki itu telah coba
menjernihkan hati serta pikiran I Krambangan yaitu agar laki-laki itu
mencari penyelesaian menurut jalan wajar. Mereka telah menasihatkan agar
perkara tersebut diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota Klungkung
yaitu I Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam memimpin
rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam keadaan
darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk memberi nasihat
pada I Krambangan yang sudah seperti manusia kemasukan setan itu! Sambil
menyisipkan sebilah keris pusaka almarhum kakeknya I Krambangan berkata
pada tetangga-tetangga yang ada di hadapannya, "Nyawa dan kehormatan
anak gadisku harus dibayar oleh seluruh keluarga Tjokorda Gde Anyer
keparat itu! Aku belum puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya
yang durjana! Kalian tak usah ikut campur! Ini adalah urusan pribadiku!" Semua
orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. Maka untuk
berusaha agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak diinginkan itu,
empat orang tetangga telah berangkat pula sengaja mengikuti I Krambangan
ke Denpasar. Pintu gerbang besar rumah gedung Tjokorda Gde Anyer
terkunci. Tanpa turun dari kudanya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak
berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang pelayan laki-laki
memunculkan kepalanya. "Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Anyer dan
anaknya yang bernama keparat Tjokorda Gde Djantra itu ada di dalam?!"
bentak I Krambangan. Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan
kaget. Tapi ucapan I Krambanganlah yang menjadi terkejut. Pelayan ini
ingat pada pesan majikannya, maka diapun berkata, "Sayang sekali,
majikanku dan keluarganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. Beliau
berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan." "Hem . . . begitu pesannya?" ujar I Krambangan. Pelayan
itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I Krambangan menggerakkan
kaki kanannya, menendang dengan sekuat tenaga ke arah kepala pelayan
itu. Didahului oleh satu jeritan kesakitan yang luar biasa, si pelayan
terpelanting dan roboh tak sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I
Krambangan menendang pintu hingga pintu itu terpentang lebar. Di
depan tangga langkan gedung kediaman Tjokorda Gde Anyer, laki-laki ini
melompat turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan hal yang sama
dan berdiri di belakang I Krambangan. Setelah memandang berkeliling
dengan mata yang merah laksana dikobari nyala api, maka berteriaklah I
Krambangan. "Anjing busuk yang bernama Tjokorda Gde Anyer keluarlah untuk menerima mampus!" Tak
ada jawaban I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi sampai
berulang-ulang! Sewaktu masih tetap tak ada jawaban maka menggelegaklah
kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak! Pot bunga buatan Cina yang
besar dan terletak di langkan itu pecah berantakan dengan mengeluarkan
suara berisik. Apapun perabotan yang ada di ruangan muka itu hancur
musnah dirusak I Krambangan sementara empat orang kawannya tak bisa
berbuat apa-apa, apalagi melarang. Mereka hanya memperhatikan saja
dengan hati cemas. Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan
gedung mewah itu ialah lampu minyak besar yang tergantung di
langit-langit. I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah
patah-patah dan melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah
berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah pintu
di sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri. Kemunculan orang
ini disambut oleh dampratan I Krambangan, "Tikus kotor Made Trisna! Mana
majikanmu si anjing Tjokorda Gde Anyer itu?!" Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam lalu katanya dengan suara lunak, "Sahabatku, I Krambangan." "Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya majikan kalau tidak ingin mampus! " "Apa-apaan ini sebenarnya I Krambangan? Tak ada pasal lantaran kenapa kau mengamuk di rumah orang … ?!" "Keparat
laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu dibunuh oleh anjing
kurap bernama Tjokorda Gde Djantra! Dan kau masih bisa bilang tak ada
pasal tak ada lantaran…!" " Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!" "Manusia
bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!" teriak I
Krambangan. Sambil melompat ke muka keris pusaka di pinggangnya dicabut.
Sesaat kemudian secarik sinar putih menderul Itulah satu tusukan cepat
yang dilancarkan oleh I Krambangan dengan keris peraknya ke arah leher
Made Trisna! Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna
cepat-cepat melompat. Serangannya yang mengenai tempat kosong membuat I
Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia membalik. Sewaktu I
Krambangan hendak melancarkan serangan maut untuk kedua kalinya, maka
menggemalah satu teriakan lantang, "Tahan!" I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat. "Anjing busuk! Akhirnya kau keluar juga dari persembunyianmu!" seru I Krambangan. Paras
Tjokorda Gde Anjer mengelam. "I Krambangan!" katanya menegur, "Apa yang
kau perbuat di sini benar-benar membuat aku terkejut!" I Krambangan mendengus keras. "Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu telah menculik dan merusak kehormatan Tantri dan membuhuhnya?!" "A
… apa?!" seru Tjokorda Gde Anyer terkejut. Dan ini adalah satu
kepura-puraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa yang
terjadi atas diri Tantri. "Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau
kau tidak takut atas tanggung jawab yang harus kau pikul perlu apa kau
memberikan pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar sana?!" "Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu rupa pada pe …" "Sudahlah! Dihadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! Bicaralah nanti di liang kubur!" Habis berkata demikian I Krambangan melompat dan keris perak untuk kesekian kalinya berkiblat mencari maut! "I Krambangan! Lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!" seru Tjokorda Gde Anyer. "Aku
sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!" jawab I Krambangan dan
serangannya makin ganas. Di serang bertubitubi begitu rupa Tjokorda Gde
Anyer tak bisa berdiam diri saja. Bangsawan kaya raya ini segera
mencabut sebilah keris bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat
kemudian terjadilah pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun
keempat kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau menghentikan
pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma memperhatikan jalannya pertempuran
dengan hati penuh kekawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah dapat
dipastikan akan meminta salah satu korban jiwa! Bagaimanapun hebatnya
serangan-serangan Krambangan pada jurus-jurus permulaan pertempuran itu
namun sudah dapat dipastikan bahwa Tjokorda Gde Anyer bukanlah
tandingannya. Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di
Kerajaan Bali sekitar dua puluh tahun yang lalu adalah seorang perwira
Kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa
perwira lainlah kaum pemberontak berhasil ditumpas, takhta kerajaan
berhasil diselamatkan. I Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan darah
itu terjadi hanya memegang jabatan sebagai Kepala Prajurit Kerajaan,
hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu sudah dapat
ditaksir ketinggian tingkat ilmu silat masing-masing. Lima jurus
berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang laksana hujan mencurah itu
mulai ditanan dan dibendung oleh keris bereluk dua belas di tangan
Tjokorda Gde Anver vang nyatanya bukanlah keris sembarangan pula! Dengan
senjata itulah dulu kabarnya Tjokorda Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan
Bali! Pada jurus kesembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap
dan membahayakan dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai bahu
kiri lawannya Tjokorda Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi dia cuma
bertahan dan menunggu kesempatan untuk merampas senjata lawan maka kini
diapun tak mau main-main lagi. Keris ditangannya diputar demikian rupa,
gerakangerakannya berubah dan dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi
dibikin sibuk! Berada dalam keadaan terdesak bukan membuat I Krambangan
menjadi cemas sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad bulat
untuk membunuh lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. Maka diapun
mengeluarkan segala kepandaian yang ada. Memasuki jurus keduapuluh
sembilan I Krambangan benar-benar kalang kabut. Delapan kali saling
benturan senjata dengan lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan
sakit. Melihat pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling
lama tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya! "I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku bersedia untuk tidak memperpanjang urusan!" berseru Tjokorda Gde Anyer. "Seluruh keluargamu mampus dulu di tanganku baru aku mau menyerah pada mayat-mayat busuk kalianl" jawab I Krambangan. Tjokorda
Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu bentakan
menggeledek dia membuka jurus ketiga puluh dengan satu serangan yang
hebat. Serangan ini dinamakan lengan dewa merangkul awan." Mula-mula
kerisnya kelihatan menusuk tajam ke arah batok kepala lawan. Ketika
lawan menangkis, mendadak lengannya bergerak menghantem ke leher dalam
kecepatan yang luar biasa dan sukar diduga. Mana diduga kalau serangan
senjata yang dilancarkan oleh tangan kanan, bisa berubah dengan satu
pukulan tangan kosong yang lihay! I Krambangan tau bahwa dia tak
punya daya untuk menangkis, tak punya kesempatan untuk mengelak.
Karenanya dengan untung-untungan laki-laki ini tusukkan kerisnya ke dada
lawan. Tapi posisi Tjokorda Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh
tusukan itu! Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan
kanan Tjokorda Gde Anyer membabat deras dan "krak"! Patahlah batang
leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, nyawanya
sudah lepas! Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya
berdiam diri menyaksikan pertempuran itu dengan kawatir, kini
bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi marah sewaktu
melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa nyawa, Tanpa menunggu
lebih lama keempatnya menghunus keris dan menyerbu! Made Trisna tidak
tinggal diam pula. Maka kini pecahlah pertempuran empat lawan dua yang
teramat seru tapi yang juga berjalan duabelas jurus. Satu demi satu
keempat orang itu roboh mandi darah dan mati!
DALAM
melarikan kuda hitamnya laksana diburu setan itu, masih terbayang di
pelupuk matanya upacara pembakaran jenazah Ni Ayu Tantri. Masih
terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu
terbayang olehnya upacara pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu
terbayang pula bagaimana Ni Warda, istri I Krambangan dengan segala
ketabahan dan keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak
api di mana jenazah suaminya dibakar! Berhenti di puncak bukit itu
dikeluarkannya sebuah kotak kayu jati yang berukir-ukir dari balik
pakaiannya. Sebelum abu pembakaran jenazah Tantri dibuang kelaut, pemuda
ini telah memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam
kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata,
"Tantri, aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan keluargamu! Bila
manusia-manusia keji itu berhasil kutumpas, akupun rela untuk
menyusulmu!" Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik
pakaiannya kembali. Ketika tali kekang kuda hitam hendak disentakkannya,
matanya melihat seorang penunggang kuda keluar dari hutan, memasuki
jalan kecil di kaki bukit lalu memacu kudanya ke arah timur. Entah
karena apa timbul kesyakwasangkaan di hati pemuda di atas puncak bukit
terhadap penunggang kuda di bawah sana. Dia memandang ke timur. Jika dia
bergerak cepat, sekurang-kurangnya dia akan berhasil menyusul orang itu
dan menunggunya di tikungan dekat jurang di sebelah timur sana! Setelah
mempertimbangkan sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali
kekang dan larilah kudanya menuju ke timur. Kira-kira setengah jam
kemudian pemuda berkuda hitam itu sudah berada di tikungan jalan.
Tikungan itu selain patah tajam juga berbahaya karena di sebelah kirinya
terdapat jurang batu yang sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di
tepi kanan jalan pemuda ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda
yang tadi dilihatnya lalu. Kira-kira lewat sepeminum teh telinga
pemuda ini mulai menangkap suara derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Makin
lama suara itu makin jelas dan keras tanda kuda dan penunggangnya sudah
tambah dekat. Ketika orang yang dihadangnya itu tinggal beberapa tombak
saja, pemuda berkuda hitam keluar dari balik tebing batu. Orang yang
dihadang, seorang pemuda berpakaian bagus, mula-mula tidak menaruh
curiga akan kemunculan seorang penunggang kuda di hadapannya. Jalan yang
ditempuhnya satu-satu jalan yang menghubungkan Denpasar jengan daerah
luar kota. Jadi adalah biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain.
Namun sewaktu melihat pemuda berkuda hitam itu sengaja berhenti di
tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. Pemuda berpakaian bagus itu
menghentikan kudanya dalam jarak lima belas langkah. Keduanya saling pandang sejurus. Pemuda yang berpakaian bagus akhirnya membuka mulut, "Saudara, harap kau suka memberi jalan." "Saudara!
Apa kau tak dengar orang minta jalan!" ujar pemuda berpakaian bagus,
berbadan tinggi kurus dan berwajah pucat pasi. Suaranya mulai keras
tanda gusar. "Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!" kata pemuda berkuda hitam tapi dia sama sekali tidak menepikan kuda tunggangannya! Melihat ini pemuda berpakaian bagus jadi penasaran dan membentak: "Siapa kau? Apa maksudmu menghadang perjalanan orang!!" Satu
seringai tersungging di mulut pemuda berkuda hitam. "Akui terus terang
manusia muka pucat! Kau tentu bangsatnya yang bernama Tjokorda Gde
Djantra dari Denpasar!" Ucapan ini membuat pemuda berpakaian bagus
menjadi kaget. Nalurinya memperingatkan agar mulai detik itu dia harus
berhati-hati karena memang dia adalah Tjokorda Gde Djantra! "Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!" Sebagai
jawaban pemuda berkuda hitam mencabut sebilah keris bereluk tujuh
berwarna coklat tua. Sinar matahari yang terik membuat senjata ini
berkilau memancarkan sinar kehitaman! "Silahkan cabut keris di
pinggangmu! Aku yakin kau adalah manusia keji yang bernama Tjokorda Gde
Djantra. Aku Nyoman Dwipa kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan
jiwamu saat ini juga sebagai pertanggungan jawab atas apa yang telah kau
lakukan terhadap gadisku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I
Krambangan serta empat orang kawan-kawannya!" Kejut Tjokorda Gde
Djantra bukan alang kepalang. Tapi dia tidak gentar. Dia tertawa
gelak-gelak kemudian berkata, "Jadi ini tampang manusia yang mengaku
kekasih Ni Ayu Tantri? Ha . . . ha … ha! Tampangmu boleh juga sobat!
Tapi kalau kau punya rencana untuk membunuhku, kau harus berpikir tiga
kali sebelum melakukannyal Apakah kau punya kepandaian yang bisa
diandalkan? Hidungku membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja
kembali ke desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat
sobat!" Dan Tjokorda Gde Djantra tertawa lagi terbahak-bahak! Nyoman Dwipa kertakkan rahang-rahangnya dan majukan kudanya beberapa langkah. "Tertawalah sepuasmu manusia keji. Kalau kau sudah mampus hanya setan iblislah yang akan tertawa menyambutmu di liang kubur!" Tjokorda Gde Djantra mendengus lalu berkata, "Aku
yakin tentu kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuh
kekasihmu itul Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! Sungguh
kurang ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa punya
bukti-bukti kuat dan nyata!" "Pemuda keji! Lamaranmu ditolak! Adalah cukup alasan bagimu untuk menculik Ni Ayu Tantri!" Tjokorda Gda Djantra kembali mendengus dan menjawab, "Kau
kira cuma gadis itu saja yang ada di pulau Bali ini? Sepuluh
gadis-gadis lebih cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi istriku,
perlu apa aku sampai menculik perempuan tak berguna dan hina dina itu!" "Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau manusia biang racun yang telah melakukan kejahatan kotor terkutuk itu!" "Aku katakan padamu sobat! Jangan menuduh sembarangan!" bentak Tjokorda Gde Djantra. Nyoman
Dwipa menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. Ketika tangan itu
keluar lagi kelihatan memegang sebuah benda bundar yang ternyata adalah
sebuah kancing baju yang terbuat dari perak. "Manusia laknat
pengecutl Kancing baju ini ditemukan di pondok di tepi telaga. Kancing
ini sama bentuknya dengan kancing pakaian yang kau kenakan saat ini!
Apakah mulut busukmu masih mau mungkir!’ Tjokorda Gde Djantra
terdiam. Kancing perak itu memang kancing pakaiannya yang telah
direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia hendak merusak kehormatan
gadis itu! "Kau terdiam dan tampangmu tambah pucatl Sekarang
bersiaplah untuk mampus!" teriak Nyoman Dwipa. Tali kekang
disentakkannya. Kuda melompat ke muka dan keris berluk tujuh di tangan
kanannya berkelebat dengan ganas, mengirimkan satu tusukan ke arah dada
kanan Tjokorda Gde Djantra! "Trang!!!" Terdengar suara beradunya
senjata sewaktu Tjokorda Gde Djantra menangkis serangan lawan dengan
keris Bradjaloka bereluk tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas
punggung kudanya Nyoman Dwipa terkejut bukan main! Daya tangkis lawan
kuat luar biasa hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi
tubuhnyapun terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang
pada tali kekang kuda mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan yang
lebih mengejutkan serta membuat pemuda ini mengeluh dalam hati ialah
sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam dari kerisnya yang cuma
bereluk tujuh telah gompal dihantam keris lawan dalam bentrokan senjata
tadi! Mengetahui sampai dimana tingkat kepandaian lawan maka tertawalah Tjokorda Gde Djantra berkakakan seraya melontarkan ejekan, "Manusia yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak jual lagak besar di hadapanku!" "Iblis bermuka manusia pucat!" jawab Nyoman Dwipa, "percuma aku menghadangmu kalau tidak dapat mencincang seluruh tubuhmu!" Tjokorda
Gde Djantra ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi sewaktu Nyoman
untuk kedua kalinya melancarkan serangan dari depan. Tapi kali ini dia
tertipu. Serangan lawannya hanya pancingan belaka. Begitu Tjokorda Gde
Djantra menggerakkan tangan untuk menangkis, keris di tangan Nyoman
Dwipa berkelebat turun dan membabat ke arah perut! "Keparat!" maki
Tjokorda Gde Djantra. Disentakkannya tali kekang kudanya hingga binatang
itu melompat ke depan dan dengari memiringkan tubuhnya pemuda ini
berhasil mengelakkan sambaran keris lawannya. Namun Nyoman Dwipa rupanya
tidak kepalang tanggung. Dengan amat cepat pemuda ini susulkan satu
tendangan kaki kanan! Masih untung Tjokorda Gde Djantra sempat
berkelit. Tapi kuda tunggangannya bernasib sial. Tendangan Nyoman Dwipa
mendarat tepat di leher binatang itu. Kuda ini meringkik keras,
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat
penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah! Tjokorda Gde Djantra
seorang pemuda turunan bangsawan yang telah menuntut ilmu silat dan
kebatinan serta kesaktian pada seorang sakti di puncak Gunung Agung
bernama Sorablungbung. Di pulau Bali pada masa itu terdapat tiga orang
tokoh silat kawakan yang sangat tinggi ilmu silat dan kesaktiannya.
Salah seorang di antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda
yang diam di Danau Batur. Karena dia sering mengembara maka jarang
sekali dia berada di Danau tersebut. Tokoh silat ketiga bernama Menak
Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua persilatan di Pulau
Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak Putuwengi karena tokoh
silat yang berumur 70 tahun ini lenyap begitu saja dari dunia
persilatan, entah mengundurkan diri entah telah menemui ajalnya. Di
antara ketiga tokoh silat itu Menak Putuwengilah yang paling tinggi ilmu
kepandaiannya. Senjatanya segala benda apa saja yang berbentuk tongkat,
baik beberapa helai lidi atau daun bambu ataupun ranting kering atau
besi, bila berada di tangannya pasti akan menjadi senjata yang dahsyat.
Karena itulah Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat
Penjuru Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh
itu bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan pertandingan
persahabatan, menguji ilmu kepandaian masing-masing. Dalam pertandingan
yang sangat hebat dan dihadiri oleh tokoh-tokoh silat di Pulau Bali maka
Menak Putuwengi keluar sebagai jago nomer satu setelah berturut-turut
mengalahkan Sorablungbung dan Walalang Tjarda. Setelah lima belas tahun
berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih hebat
karena di samping ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi mengadakan
pertandingan juga kabarnya Sorablungbung serta Walalang Tjarda telah
memperdalam ilmu masingmasing hingga mencapai tingkat yang sangat
tinggi. Sebaliknya Manak Putuwengi lenyap begitu saja tak diketahui
kemana perginya! Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang
pernah digembleng selama empat tahun, dengan sendirinya Tjokorda Gde
Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan Nyoman
Dwipa yang cuma berguru pada seorang pertapa yang tingkat kepandaiannya
jauh berada di bawah Sorablungbung dengan sendirinya Nyoman Dwipa bukan
apa-apa bagi Tjokorda Gde Djantra. Tapi karena kurang hati-hati meski
tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi Tjokorda Gde Djantra kena juga
dihantam lawan meski kudanya yang menjadi korban! Tjokorda Gde
Djantra terpelanting ke tanah tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu dan tetap berdiri. Kemarahan
membuat darahnya seperti mendidih. "Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!" Tjokorda
Gde Djantra melompat ke muka, tangan kiri kanam berkelebat cepat dalam
satu jurus yang hebat! Nyoman Dwipa terkejut ketika melihat bagaimana
kecepatan gerak lawannya membuat tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana
lenyap. Dia cuma merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan
maka cepat-cepat pemuda ini melompat turun dari kudanya. "Breet!" "Buuk!" Dua
suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara robeknya
pakaian Nyoman Dwipa di sambar ujung keris Brajaloka sedang suara kedua
ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam kepala kuda hitam milik
Nyoman Dwipa. Binatang ini rubuh dengan kepala pecah, melejang-lejang
beberapa ketika lalu tak bergerak lagi! "Kudamu sudah duluan, Nyoman Dwipa! Dia akan menunggumu untuk membawa tuannya ke neraka!" ejek Tjokorda Gde Djantra! Sebenarnya
sejak bentrokan senjata pertama kali tadi Nyoman Dwipa telah memaklumi
bahwa tingkat kepandaian ilmu silat dan tenaga dalam Tjokorda Gde
Djantra bukanlah lawannya. Tapi untuk membatalkan niatnya menuntut balas
tentu saja pemuda itu tidak sudi! Lebih baik mati secara jantan dari
pada lari atau menyerah secara pengecut! Dengan mengeluarkan bentakan
yang keras Tjokorda Gde Djantra berkelebat ganas. Seperti tadi kedua
tangannya bergerak cepat. Nyoman Dwipa bertahan mati-matian. Dalam jurus
itu dia berhasil mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus
berikutnya, satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak
dapat lagi mempertahankan kerisnya! Senjata itu terlepas mental dihantam
senjata lawan! Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah
mendekati Nyoman Dwipa yang kepepet ke tepi jurang, Tjokorda Gde Djantra
berkata, "Kau akan segera mampus sobat! Dan kau tahu …? Betapa
mengerikannya kematian itu! Kau lihat keris Brajaloka yang terbuat dari
emas di tanganku ini? He … he..! Sebentar lagi sobat! Beberapa detik
lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha . . Ha . . ha …!" Tjokorda
Gde Djantra mengangkat tangan kanannya yang memegang keris
tinggi-tinggi sementara dalam keadaan kepepet ke tepi jurang itu Nyoman
Dwipa berusaha mencari jalan agar dapat menyelamatkan diri! Kalau lawan
menyerang dia sudah nekat untuk menyerbu ke muka dengan tangan kosong,
menarik tubuh Tjokorda Gde Djantra dan sama-sama menghambur masuk
jurang! Itu adalah cara yang paling baik menurut Nyoman Dwipa asal saja
dia benar-benar bisa melakukannya! Jarak kedua orang itu semakin
pendek dan kini cuma tinggal empat langkah saja lagi. Antara Nyoman
dengan tepi jurang di tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah
saja. Nyoman Dwipa memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia
menunggu dengan kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam
ke muka, menunggu kesempatan yang ada! Mendadak Tjokorda Gde Djantra
hentikan langkahnya dan kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila suara
tertawa itu dihentikannya maka berkatalah dia, "Tidak! Aku tak akan
membunuhmu dengan keris ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar
biasa sobat! He … he … he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya
bila jatuh ke dalam jurang di belakangmu itu? Kematian menunggumu di
batu-batu cadas di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju
detik-detik kemampusan itu kau akan dikungkung kengerian yang luar
biasa!" Nyoman Dwipa menggeram mendengar ucapan dan maksud Tjokorda Gde Djantra yang ganas itu. Dia tak bisa menunggu lebih lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul tubuh lawannya walau apapun yang terjadi!
Maka tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera melompat ke hadapan
lawannya. Tjokorda Gde Djantra mendengus. Dengan seringai maut
tersungging di mulutnya pemuda ini memukulkan tangan kirinya ke depan!
Nyoman Dwipa merasakan satu sambaran angin yang laksana badai hebatnya!
Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu angin dahsyat itu tapi
sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental sampai enam tombak untuk
kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi suara kumandang tertawa Tjokorda
Gde Djantra.
DALAM
tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu Nyoman Dwipa pada mulanya
memang merasa ngeri sekali! Siapa yang tak akan ngeri menemui ajal
apalagi mengetahui bahwa ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam
batu-batu cadas besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa
kematian yang bakal dihadapinya itu adalah kematian secara jantan,
ditabahkannya hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di
alam akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya
kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat hal itu
akan kesampaian. Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh
pemuda itu. Di atas jurang masih mengumandang suara tertawa Tjokorda Gde
Djantra. Betapapun tabahnya hati Nyoman Dwipa namun ketika sekilas
matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu besar yang cuma
tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan kepala dan
tulang-tulang ditubuhnya, Nyoman Dwipa jatuh pingsan! Tapi dalam
kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada kenyataan-kenyataan bahwa
sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah yang terjadi dengan diri
Nyoman Dwipa. Sewaktu tubuh pemuda itu hanya tinggal enam tombak saja
lagi dari permukaan sebuah batu cadas yang sangat besar berkelebatlah
satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan, "Dewa Agung!!!" Yang
berseru ini adalah seorang kakek-kakek tua renta berpakaian putih.
Rambutnya yang panjang terurai macam rambut perempuan, janggutnya yang
menjela dada serta kumis bahkan kedua alisnya berwarna putih bersih
macam kapas. Meski umurnya sudah lebih dari 70 tahun tapi kakek-kakek
ini memiliki tubuh yang masih kekar dan kegesitan yang luar biasa.
Sewaktu dia melinat sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang
kejutnya bukan alang kepalang. Dia tidak tahu apakah manusia yang jatuh
itu masih hidup atau sudah mati. Meski demikian kakek-kakek ini segera
mengangkat kedua tangannya dan mendorong ke atas! Satu gelombang
angin padat bertiup memapasi tubuh Nyoman Dwipa. Untuk beberapa detik
tubuh pemuda itu tertahan di awang-awang. Untuk mengurangi kekuatan
jatuh tubuh pemuda itu si orang tua menggerakkan kedua tangannya ke
kanan. Tubuh Nyoman Dwipa terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke
atas dan ketika jatuh kembali ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan
kedua tangan! Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini. Tubuh
Nyoman Dwipa dipanggul di atas bahu kanan dan sekali berkelebat orang
tua itu sudah lenyap dari pemandangan. Si orang tua membawa Nyoman Dwipa
ke dalam sebuah goa batu dan setelah diperiksa ternyata pemuda itu
masih bernafas. Kakek-kakek ini mengurut dada dan kening Nyoman Dwipa
beberapa kali hingga akhirnya pemuda itu sadar dari pingsannya. Setelah
membuka kedua matanyaı Nyoman Dwipa kemudian memandang berkeliling.
Sekelilingnya ruangan batu yang bersih. Apakah aku sudah berada di alam
baka, pikir pemuda ini. Tapi bila matanya membentur tubuh dan paras
seorang tua berpakaian putih-putih, berkumis dan berjanggut putih
heranlah pemuda ini. Orang tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah
ruangan. Kedua telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang
kedua matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi. Tapi
anehnya begitu Nyoman Dwipa menyalangkan mata dan memandang
terheran-heran berkeliling, tanpa membuka matanya si orang tua berkata:
"Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada di tempat aman." "Di
manakah saya, bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah bapa ini …?"
tanya Nyoman Dwipa seraya bangun dari tempat tidur yang terbuat dari
batu. Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata: "Kau
berada di tempat yang aman orang muda. Ketika aku berada di dalam goa
kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling suara tertawa serta suara
beradunya senjata di atas. Aku keluar dari goa tepat pada saat kulihat
sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar jurang. Selanjutnya Dewa Yang
Agung telah menyelamatkan kau dari kematian . . .". Kini ingatlah
Nyoman Dwipa akan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia bertempur
dengan Tjokorda Gde Djantra kemudian didorong dengan satu pukulan
dahsyat hingga mencelat mental dan jatuh masuk jurang! Dari ucapan si
orang tua berambut putih meski dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang
Agunglah yang telah menyelamatkan jiwanya tapi Nyoman Dwipa sadar bahwa
orang tua inilah yang telah menolongnya dari renggutan maut. Segera
Nyoman Dwipa turun dari tempat tidur batu, melangkah ke hadapan
kakek-kakek itu dan berlutut seraya berkata, "Orang tua, aku Nyoman
Dwipa menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi
pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini dan
semoga Dewa Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu namamu agar
sewaktu-waktu aku tidak sukar mencarimu." Si orang tua tertawa dan
menjawab, "Apalah artinya nama? Kita dilahirkan tanpa nama. Apa gunanya
menyebut-nyebut segala hutang nyawa karena memang kita manusia
ditugaskan Yang Kuasa untuk menolong sesama manusia. Orang muda, cobalah
kaus terangkan apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari
tepi jurang." Nyoman Dwipa lalu menuturkan pertempurannya dengan
Tjokorda Gde Djantra bahkan diterangkannya juga pangkal sebab
pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang penduduk
Klungkung. Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama
kalinya dia membuka kedua matanya. Mata itu sipit sekali macam mata
orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh wibawa! "Cinta
itu pada dasarnya adalah sesuatu yang suci. Tapi nafsu selalu
membuatnya menjadi hal yang kotor. Seringkali menusia buta karena cinta,
karena kecantikan paras perempuan. Kalau sudah begitu segala sesuatunya
yang keji dan kotor bisa terjadi hingga tidaklah aneh lagi kalau
manusia tega membunuh manusia lain bahkan sahdara kandungnya sendiri
hanya karena cinta." Nyoman Dwipa termangu diam beberapa lamanya.
Kemudian katanya: "Orang tua beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan
tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk padaku." "Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati dendam kesumatmu itu, Nyoman?" "Benar, orang tua." jawab Nyoman Dwipa terus terang. "Kau
tak akan kuat menghadapi Tjckorda Gde Djantra," kata kakek-kakek itu
pula secara terus terang. "Buktinya pukulan tangan kosongnya saja
sanggup mengirimkan kau ke liang maut jika saja Dewa Agung tidak
menghendaki agar kau tetap hidup. Kau mungkin tidak tahu siapa adanya
Tjokorda Gde Djantra. Dia salah seorang murid Sorablungbung, orang tua
sakti yang diam di puncak Gunung Agung." Terkejutlah Nyoman Dwipa
mendengar keterangan itu. Pantas saja dia tak sanggup melawan Tjokorda
Gde Djantra. Maka kalau diteruskannya niat untuk membalas dendam dengan
tingkat kepandaian yany jauh lebih rendah pastilah akan sia-sia belaka
dan diam-diam pemuda ini mengeluh dalam hati. Diangkatnya kepalanya yang
ditundukkan dan berkata dengan sungguh-sungguh pada si orang tua. "Aku yang bodoh ini mohon petunjukmu orang tua." Kakek-kakek
itu tertawa. Sampai saat itu Nyoman Dwipa tidak tahu dengan siapa
sesungguhnya dia berhadapan. Kakek kakek berambut dan berjanggut putih
itu bukan lain Menak Putuwengi itu tokoh silat yang paling tinggi ilmu
kesaktiannya di antara tokoh-tokoh silat lainnya sekitar belasan tahun
yang silam! "Aku tak bisa memberi petunjuk apa-apa padamu Nyoman," kata Menak Putuwengi pula. Pemuda
itu merasa kecewa tapi juga heran ketika melihat dalam berkata itu si
orang tua tersenyum. Dan Menak Putuwengi lantas berkata, "Aku cuma bisa
mengajukan satu tawaran. Sudikah kau mempelajari permainan silat ilmu
tongkat? Bukan aku sombong, dalam tempo dua-tiga bulan saja pasti kau
dapat mengalahkan murid Sorablungbung itu." Bukan alang kepalang
gembiranya hati Nyoman Dwipa. Dia menjura dalam-dalam ,dan menjawab:
"Tentu saja mau. Kalau kau tak keberatan mulai saat ini aku akan
memanggilmu guru. Sekali lagi aku mohon agar kau sudi memberitahu
namamu, orang tua…" "Ah, soal namaku …" kata Menak Putuwengi, "Sudah
sejak belasan tahun dilupakan dunia persilatan di Pulau Bali ini.
Biarlah nanti saja kuberi tahu padamu. Nah sekarang mari kita berangkat
…" "Berangkat kemana guru?" tanya Nyoman tak mengerti. "Goa ini
terlalu sempit dan kurang baik untuk belajar ilmu silat. Kau lihat
pedataran tinggi di sebelah, timur sana ….?" ujar Menak Putuwengi seraya
menunduk keluar goa. "Disitu lebih cocok tempatnya." "Baiklah guru",
jawab Nyoman Dwipa seraya bangkit dan mengikuti gurunya keluar goa.
Ternyata bagian lamping kiri dari jurang tersebut menuju ke sebuah
daerah pesawangan yang banyak ditumbuhi lalang lebat. Menak Putuwengi
kelihatannya berjalan lenggang kangkung seenaknya. Tapi bagaimanapun
Nyoman Dwipa mengerahkan ilmu larinya, tetap saja dia ketinggalan
belasan tombak di belakang! Sesampainya di pedataran tinggi itu, Nyoman Dwipa tercengang-cengang melihat indahnya pemandangan di sekelilingnya. "Kita
mulai saja pelajaran permulaan", kata Menak Putuwengi. "Coba keluarkan
dan perlihatkan padaku jurus-jurus ilmu silat yang kau miliki." Atas perintah gurunya itu maka Nyoman Dwipa mulai bersilat sampai dua puluh jurus. "Sudah
. . . sudah cukup!" seru Menak Putuwengi. "Ilmu silatmu jauh dari pada
lumayan. Tapi permulaan yang cukup baik!" Habis berkata begitu Menak
Putuwengi lantas mematahkan dua buah ranting pohon. Salah satu
diberikannya kepada Nyoman Dwipa seraya berkata, "Pertama kali ini
kuberikan kau dasar-dasar ilmu tongkat. Kemudian kau harus melatih diri
dalam tenaga dalam dan meringankan tubuh." Demikianlah, mulai saat itu Nyoman Dwipa digembleng oleh tokoh silat klas satu Menak Putuwengi.
BERDIRI
di tepi danau yang dikeiilingi pohon-pohon besar pada siang hari yang
panas terik itu membuat pemuda pengelana itu ingin sekali mandi
merasakan kesejukan air danau. Sambil bersiul-siul pemuda ini lalu
membuka pakaiannya. Sesaat kemudian diapun sudah mencebur masuk ke dalam
air danau. Sengaja dia menyelam dalam-dalam lalu muncul lagi
dipermukaan air danau untuk bernafas lalu menyelam lagi. Gemikian sampai
beberapa kali. Pada kali yang keenarn dia memunculkan kepala di
permukaan air danau mendadak sontak berubahlah parasnya oleh rasa kaget
yang bukan alang kepalang! Dari seluruh tepi danau dilihatnya
meluncur ular hitam berbelang-belang kuning sebesar betis dan rata-rata
panjangnya satu sampai satu setengah meter! Binatang-binatang itu dengan
sangat cepat berenang ke tengah danau di mana pemuda berada! "Gila!"
seru pemuda itu lalu kedua kakinya dihentakkan ke bawah. Dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat dari dalam air pemuda
ini sanggup melesatkan tubuhnya sampai beberapa tombak. Ketika dia
berhasil melompat ke daratan cepat-cepat dia hendak mengambil
pakaiannya! Tapi untuk kedua kalinya pemuda ini menjadi melengak kaget
karena dari balik semak belukar, puluhan ekor ular jenis yang sama telah
menyerbunya pula hingga dia tak punya kesempatan untuk mencapai
pakaiannya! Dengan memaki dalam hati pemuda ini melompat ke sebuah
pohon. Tapi au! Kakinyamenginjaksesuatu yang bulat dan licin hingga
kalau saja ilmu meringankan tubuhnya tidak sempurna pastilah dia akan
jatuh! Ketika dia memandang ke bawah, pemuda ini kertakkan rahang karena
benda bulat licin yang tadi dipijaknya nyatanya adalah seekor ular
hitam berbelang-belang kining. Dan ketika dia memandang berkeliling,
seluruh pohon serta pohon-pohon di sekitar tempat itu penuh dengan
ular-ular tersebut. Kemanapun dia mernandang, ke pohon-pohon, ke tanah
dan ke danau seluruhnya penuh dengan ular! Betul-betul dia tak bisa
mengerti dari mana datangnya puluhan bahkan ratusan binatang itu! Dari
lidahnya yang bercabang dan berwarna hijau nyatalah bahwa ular-ular itu
mengindap racun yang amat jahat. Meskipun dia kebal segala macam racun
namun menyaksikan itu mau tak mau merinding juga bulu tengkuknya! Dan
menyadari dirinya tanpa pakaian begitu rupa pemuda ini merutuk
habis-habisan dalam hati. Sementara itu dia tak dapat berdiri lebih
lama di cabang pohon karena sebentar saja belasan ekor ular telah
menyerbunya pula! Tak ada tempat yang kosong lagi untuk tempat
berpindah! Sambil melompat turun pemuda ini pukulkan kedua tangannya ke
bawah! Angin deras menderu. Puluhan ular mental dan si pemuda berhasil
turun di tanah yang kini kosong dari ular-ular itu. Tapi anehnya
binatang-binatang yang kena dihantam dan dibuatnya mental tadi sama
sekali tidak cedera ataru mati dan dalam waktu yang singkat bersama
kawan-kawannya segera menyerbu pemuda itu kembali. Kini pemuda
tersebut segera maklum bahwa binatang-binatang yang dihadapinya itu
bukan ular-ular biasa. Mungkin binatang jadi-jadian. Dan binatang apapun
ular itu adanya dia musti bisa menyelamatkan diri. Tiga ekor ular hitam
berbelang kuning berhasil melilit kakinya. Seekor diantaranya mematuk
betis pemuda itu hingga menoeluarkan darah kehitaman bercampur racun
yang tertekan ke luar akibat hawa tenaga dalam yang ada di tubuh si
pemudar. Sekali dia menggerakkan tubuh rnaka ketiga ular itu
berpelantingan. Tapi puluhan lainnya menyerbu lagi dengan dahsyat
laksana air bah! Tidak main-main lagi kini pemuda itu pergunakan ilmu
pukulan sakti yang sangat diandalkannya. Sepasang tangannya kelihatan
putih memerah, sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar yang menyilaukan! "Wuus! Wuuss!" Dua
larik sinar putih yang panas menderu dahsyat! Itulah pukulan sinar
matahari yang hebat luar biasa! Puluhan ekor ular menemui ajalnya mati
terkuntung-kuntung dalam keadaan hangus! Yang masih hidup agaknya marah
sekali melihat kematian kawankawan mereka. Binatang-binatang ini dengan
mengeluarkan suara mendesis menyerbu si pemuda dan si pemuda
menyambutinya dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Binatang-binatang
yang masih hidup bukannya takut tapi malah terus menyerbu dengan kalap
sehingga pemuda yang berada dalam keadaan bertelanjang bulat itu menjadi
sibuk sekali! Meski suasana mengerikan sekali di tempat itu, tapi
melihat si pemuda mencak-mencak telanjang begitu rupa ada juga
kelucuannya! Menurut dugaan si pemuda sudah lebih dari seratus ular
yang dibunuhnya tapi yang datang menyerangnya seperti tak ada
kurang-kurangnya malah makin lama makin banyak! Dalam pada itu ular-ular
yang berjalaran di pohon dengan melilitkan ekorekor mereka di cabang
atau di ranting-ranting pohon, bergelantungan menyambar si pemuda hingga
si pemuda bukan saja diserang dari bawah tapi juga dari atas! "Benar-benar edan!" maki pemuda itu seraya percepat melancarkan pukulan-pukulan sinar matahari ke atas dan ke bawah! Dalam
seru-serunya pertempuran antara ular lawan manusia itu tiba-tiba
terdengarlah seruan, "Sobat! Bertahanlah terus! Aku akan membantu!" Baru
saja seruan itu berakhir maka disitu muncullah seorang pemuda
berpakaian biru. Di tangan kanannya ads seikatan jerami tebal yang
ujungnya dibakar. Kobaran api jerami ini membuat puluhan ular hitam
berbelang kuning menjadi terbiritbirit ketakutan. Tapi tidak semua
binatang itu lari. Puluhan lainnya menyerbu pemuda baju biru ini. Si
pemuda menghadapinya dengan tenang-tenang saja. Di tangan kiri pemuda
ini ada sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu kuning. Dengan
memutar-mutar tongkat kecil itu maka setiap ular yang berani
mendekatinya pasti akan mati dalam keadaan tubuh terkuntungkuntung!
Hebat sekali permainan tongkat bambu kuning si pemuda hingga dalam tempo
yang singkat puluhan ular hitam berhasil dimusnahkannya! "Hebat!"
kata pemuda yang pertama dalam hati lalu menyambar pakaiannya, dengan
cepat mengenakannya kemudian bersama-sama pemuda baju biru terus
memusnahkan ular-ular yang mengamuk itu. Lebih dari separoh ular hitam
berbelang kuning yang ads di tempat itu telah musnah menemui
kematiannya. Sementara itu dalam berlangsungnya pemusnahan
binatang-binatang tersebut terjadilah perkenalan antara kedua pemuda. "Namaku
Nyoman Dwipa!" kata pemuda pakaian biru seraya sabatkan tongkat bambu
kuningnya. Dua ekor ular rubuh dengan kepala pecah. "Darimana ular
sebanyak ini! Bagaimana kau sampai diserang mereka?!" "Aku sedang
asyik-asyikan mand!" menerangkan pemuda berpakaian putih. "Ketika
menyelam dan muncul di atas air danau kulihat puluhan ekor ular, entah
dari mans datangnya berenang menyerangku! Sewaktu aku naik kedaratan
ternyata puluhan binatang itu telah menungguku pula disana. Gila betul!" "Hai kau belum menerangkan namamu sobat!" seru pemuda baiu biru. "Namaku Wiro Sableng!" "Kau bukan penduduk sini agaknya!" "Betul"
sahut pemuda baju putih yang bukan lain dari Pendekar 212 Wiro Sableng
adanya! "Terima kasih atas pertolonganmu, Nyoman!" "Ular-ular ini
benar-benar gila betul!" seru Nyoman Dwipa yang melihat bagaimana
binatang itu masih terus menyerbu mereka dengan beraninya! "Sebaiknya
mari kita tinggalkan tempat ini!" Bagaimana Nyoman Dwipa sampai berada
di tempat itu baiklah kita tuturkan sedikit. Sebagaimana yang telah
diceritakan, sewaktu jatuh ke dalam jurang Nyoman Dwipa telah
diselamatkan oleh seorang kakek-kakek sakti bernama Menak Putuwengi.
Orang tua ini kemudian mengambil pernuda itu menjadi muridnya. Setelah
tiga bulan lebih menggembleng Nyoman Dwipa maka boleh dikatakan pemuda
itu sudah menguasai pelajaran silat ilmu tongkat si kakek cuma tentu
saja dia musti banyak berlatih agar mencapai tingkat kesempurnaan.
Memasuki pertengahan bulan yang keempat Menak Putuwengi mengizinkan
muridnya untuk pergi mencari orangorang yang bertanggung jawab atas
kematian kekasihnya dan I Krambangan serta beberapa penduduk Klungkung
lainnya. Menak Putuwengi juga memberi nasihet agar pemuda itu jangan
terlalu mengikuti nafsu dendam kesumat dan kalau bisa jangan menurunkan
tangan maut terhadap siapa pun selagi masih ada jalan penyelesaian yang
baik! Demikianlah maka Nyoman Dwipa dengan bekal ilmu kepandaian yang
dipelajarinya dari Menak Putuwengi meninggalkan tempat kediaman si
orang sakti yang nyatanya masih hidup, jadi tidak benar seperti yang
diduga dunia luaran bahwa kakek-kakek sakti itu telah meninggal dunia.
Menak Putuwengi sebenarnya sudah jemu dengan persoalan-persoalan duniawi
karena itulah dia mengundurkan diri dari dunia persilatan, membersihkan
diri dari dosa dan kesalahan-kesalahan di masa mudanya serta
memperdalam ilmu silat, ilmu kesaktian dan kebathinan di dalam goa di
dasar jurang itu. Dalam perjalanannya menuju Denpasar pemuda itu
sengaja melewati hutan belantara mengambil jalan singkat agar lebih
lekas sampai ke tempat tujuan. Karena melewati rimba belantara itulah
maka dia sampai bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng! Mulanya dia
merasa heran dan kaget sewaktu menyaksikan seorang pemuda berambut
gondrong basah kuyup dalam keadaan bertelanjang bulat bertempur melawan
ratusan ekor ular yang sebesar-besar betis. Dilihat pada gerakan-gerakan
serta pukulan-pukulan yang dilancarkannya dalam memusnahkan
binatang-binatang itu nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Tapi
mengapa sampai bertempur telanjang bul!at begitu rupa?! Nyoman tidak
tahu bahwa sewaktu diserang, Wiro tengah mandi dalam danau. Sebenarnya
Nyoman Dwipa maklum bahwa tanpa dibantupun pemuda yang bertelanjang itu
pasti akan sanggup memusnahkan semua ular yang menyerbunya. Tapi
bukankah lebih baik dia turun tangan menolong seraya mempraktekkan ilmu
tongkat yang dipelajarinya dari Menak Putuwengi? Maka setelah
mengumpulkan lalang serta jerami kering dan membakarnya dengan tongkat
bambu kuning di tangan kiri Nyoman Dwipa menyerbu ke dalam pertempuran
binatang lawan manusia itu! "Wiro! Ayo kita tinggalkan tempat ini!" kata Nyoman Dwipa kembali. "Tunggu
dulu sobat!" sahut Wiro Sableng, "aku mempunyai firasat bahwa ular-ular
ini bukan binatang biasa! Mungkin binatang jadi-jadian, mungkin pula
ada pemiliknya. Bagaimana kalau kita selidiki sama-sama?!" Baru saja Wiro berkata begitu maka dari dalam hutan mengumandanglah suara bentakan menggeledek! "Manusia-manusia
kotor dari mana yang berani membunuh binatang peliharaanku?!" Wiro
mengeluarkan suara bersiul dan berpaling pada Nyoman Dwipa. "Nah, apa kataku!" ujarnya.
BEGITU
bentakan lenyap maka dari dalam hutan belantara keluarlah seorang
laki-laki yang memiliki tampang dahsyat. Kepalanya panjang, kening
menjorok ke depan sedang leher kecil singkat. Rambutnya hitam legam tapi
cuma sedikit tumbuh di atas batok kepalanya. Kulit mukanya berwarna
hitam dan berminyak hingga bila disorot sinar matahari mukanya itu jadi
berkilat-kilatl Jika dibandingkan dengan ular, tampang manusia ini
memang hampir tidak beda! Dia mengenakan pakaian berbentuk jubah yang
terbuat keseluruhannya dari kulit u!ar. Yang dahsyatnya di lehernya
melilit dua ekor ular besar yang sudah mati dan dikeringkan! Begitu
sampai di hadapan Wiro Sableng serta Nyoman Dwipa dan melihat puluhan
ekor ular musnah berkaparan di mana-mana marahlah manusia yang punya
tampang macam ular itu! "Keparat-keparat laknat! Tentu kalian sudah bosan hidup berani membunuh binatang peliharaanku!" Sementara
Wiro dan Nyoman masih sibuk menghadapi ular-ular hitam berbelang kuning
maka manusia aneh itu telah menyerbu dan membagi serangan pada kedua
pemuda itu! Wiro dan Nyoman kaget bukan main karena serangan si orang
aneh sebelum sampai sudah didahului oleh sambaran angin yang sekaligus
mengarah dua belas jalan darah kematian di tubuh pemuda-pemuda itu! Baik
Wiro maupun Nyoman Dwipa cepat-cepat melompat menyelamatkan diri! Siapakah
manusia aneh yang baru muncul dari rimba belantara dan mengaku sebagai
pemelihara ular-ular yang menyerang kedua pemuda itu? Di Bali namanya
belum dikenal karena dia seorang pendatang dari pulau Jawa yang
diam-diam menyelusup ke pulau untuk maksud tertentu. Ki Sawer
Balangnipa, demikian nama orang ini selain memiliki ilmu silat yang
tinggi, juga telah memelihara tiga ratus ekor ular hitam belang-belang
kuning yang sangat berbisa! Tentu saja dia menjadi marah setengah mati
ketika menyaksikan bagaimana dua orang pemuda tak dikenal berani
membunuh binatang-binatang peliharaannya. Maka dengan serta merta dia
melancarkan satu jurus serangan yang dahsyat yaitu yang bernama "dua
raja ular menyerbu ke langit". Kehebatan jurus serangan ini sudah kita
ketahui di muka yaitu sebelum pukulan sampai, sambaran angin telah
mendahului menggempur dua bela: jalan darah kematian di tubuh kedua
pemudal Dengan melancarkan serangan hebat itu Ki Sawer Balangnipa
bermaksud untuk membuat pemuda-pemuda itu konyol sekaligus detik itu
juga! Tapi betapa terkejutnya dia sewaktu menyaksikan bagaimana Wiro dan
Nyoman berhasil mengelakkan dua serangannya itu! Ki Sawer Balangnipa
mengeluarkan suara suitan keras yang menyakitkan telinga! Anehnya
ular-ular yang ada di situ, mendengar suara suitan itu segera
berserabutan lari ke dalam hutan. Ki Sawer Balangnipa berdiri dengan
bertolak pinggang! "Kunyuk-kunyuk bermuka manusia! Nyatanya kalian
memiliki ilmu yang diandalkan hingga aku tahu sampai dimana kelebatan
kunyuk-kunyuk yang berasal dari Pulau Bali ini!" Nyoman Dwipa marah
sekali mendengar hinaan itu. Tapi Wiro ganda tertawa dan menjawab,
"Kawanku ini memang berasal dari Pulau Bali, tapi aku bukan! Soal asal
tak perlu dipidatokan di sinil Tapi kalau kau memaki kami kunyuk-kunyuk
bermuka manusia, berarti kau sama saja dengan monyet-monyet bermuka
setan!". Habis berkata begitu Wiro tertawa berkakan hingga menggetarkan
seantero tempat! Sekaligus dia hendak memperlihatkan bahwa suitan yang
menyakitkan telinga dari Ki Sawer Balangnipa itu cukup bisa
ditandinginya dengan suara tertawanyal Diam-diam Ki Sewer Balangnipa
sendiri terkejut melihat kehebatan tenaga dalam si pemuda, tapi dia sama
sekali jauh dari gentar! "Enam puluh tahun hidup baru hari ini ada tikus busuk yang berani menghina Ki Sawer Balangnipa!" "Ah,
nyatanya kau juga bukan orang sini!" ujar Wiro dengan menyengir
seenaknya. "Sekarang kau katakan aku tikus busuk, betul-betul
keterlaluan! Tapi supaya kau tahu diri memang namamu sesuai dengan
tampangmu macam raja ular penyakitan!" (Sawer = ular, bhs. Jawa, pen.) "Bangsat rendah! Kau benar-benar minta kubikin lumat!" Tubuh
Ki Sawer Balangnipa berkelebat dalam satu gerakan yang hampir tak
kelihatan dan tahu-tahu sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram ke
perut dan ke muka Pendekar 212 Wiro Sableng! Ini adalah jurus serangan
yang bernama "sepasang cengkeram kehancuran". Sekali cengkeram itu
bersarang di muka Wiro pasti muka pemuda itu akan hancur mengerikan. Jika
perutnya kena direnggut lima jari tangan lainnya pasti akan robek dan
ususnya berserabutan keluar! Begitulah kehebatan jurus "sepasang
cengkeram kehancuran"! Pendekar 212 Wino Sableng memang masih muda
dalam usia tapi sudah cukup punya pengalaman dalam berbagai pertempuran
menghadapi tokoh-tokoh silat kelas satu di pelbagai penjuru rimba
persilatan! Sewaktu menerima serangan pertama kali dari Ki Sawer
Balangnipa tadi dia sudah maklum bahwa orang tua ini bukan seorang yang
bisa dibuat main. Maka dengan cepat pendekar kita berkelit ke samping
seraya lancarkan satu tendangan kaki kanan ke arah rusuk lawan! Melihat
dua cengkeramannya yang hebat sanggup dikelit oleh lawan Ki Sawer
Balangnipa penasaran bukan main. Di lain pihak Wiro Sableng merasakan
adanya satu ancaman yang tersembunyi sewaktu menyaksikan bagaimana
tendangannya yang hampir menemui sasarannya itu sama sekali tidak
diperdulikan oleh lawan! Mustahil manusia itu tidak mengetahui bahaya
yang mengancam dirinya! Satu detik lagi kaki kanan Pendekar 212 akan
mendarat dan menghancurkan tulang-tulang rusuk lawan, Pendekar 212 Wiro
Sableng yang punya firasat tidak enak mendadak sontak segera menarik
pulang kakinya dan melancarkan satu pukulan tangan kosong yang dinamakan
pukulan "kunyuk melempar buah"! Satu hal yang hebatpun terjadilah! Adalah
satu keuntungan besar bagi Wiro Sableng menarik pulang tendangannya
tadi karena di saat yang hampir bersamaan Ki Sawer Balangnipa
membab)atkan tepi telapak tangan kanannya ke bawah dengan deras! Bukan
saja ini satu pukulan tangan yang amat dahsyat tapi juga diisi dengan
kekuatan sakti yang sanggup membuat batu karang paling ataspun bisa
hancur lebur! Dapat dibayangkan bagaimana kalau pukulan itu mengenai
kaki kanan Wiro Sableng! Karena pukulannya mengenai tempat kosong dengan
dendirinya angin pukulan itu terus melanda tanah! Pasir dan batu-batu
berhamburan sampai beberapa tombak ke samping dan ke atas. Bumi bergetar
dan etika Wiro memandang ke depan dilihatnya bagaimana tanah yang kena
angin pukulan lawan berlobtang besar dan berwarna kehitaman! Diam-diam
Pendekar 212 kaget juga karena sebelumnya tak pernah ia melihat ilmu
pukulan yang begitu hebatnya! Mulai saat itu dia kerahkan tiga perempat
tenaga dalamya untuk menghadapi lawan. Dari mulutnya terdegar suara
suitan keras dan pada detik itu juga tubuhya lenyap! Kalau tadi Wiro
yang dibikin terkejut oleh serangan hebat lawan maka kini Ki Sawer
Balangnipalah yang terkejut bukan main! Didengamya suitan pemuda itu,
lalu tubuh si pemuda lenyap dari hadapannya dan sesaat kemudian
dirasakannya sambaran angin serangan yang tajam dari kiri kanan! Ki
Sawer Balangnipa melompat mundur sampai lima langkah membentak keras dan
maju lagi dalam satu kelebatan cepat menyambuti serangan Pendekar 212
Wiro Sableng! Nloman Dwipa yang menyaksikan pertempuran diam-diam
memuji kehebatan kedua belah pihak yang bertempur. Kalau saja dia tidak
mendapat gemblengan dari Menak Putuwengi pastilah matanya akan sakit dan
kepalanya akan pusing melihat kelebatan-kelebatan mereka yang bertempur
yang hanya merupakan bayang-bayang hitam dari jubah yang dikenakan Ki
Sawer Balangnipa dan bayangan putih pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kini semakin terbuka mata Nyoman Dwipa bahwa di atas jagat ini banyak
sekali terdapat tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti kedua
orang itu! Dan diam-diam Nyoman Dwipa membathin apakah tingkat
kepandaian Tjokorda Gde Djantra setingkat dengan kedua orang itu. Kalau
betul tentu masih bukan suatu hal yang mudah baginya untuk bisa
mengalahkan musuh besamya itu dalam tempo sepuluh sampai duapuluh jurus! Nyoman
Dwipa kembali memperhatikan kedua orang yang bertempur. Sementara itu
telinganya mendengar lengking siulan yang nyaring luar biasa. Sesudah
mengerahkan tenaga dalam dan menutup pendengarannya barulah rasa sakit
yang menyamaki gendang-gendang telinganya akibat suara siutan aneh itu
menjadi lenyap! Dan di muka sana dilihatnya bagaimana Ki Sawer
Balangnipa mulai terdesak oleh serangan-serangan gencar Pendekar 212. Dalam
jurus keempat puluh Ki Sawer Balangnipa mulai menyadari bahwa jika dia
terus bertahan dalam posisi demikian rupa naga-naganya paling lama
sepuluh jurus lagi pasti dia akan kena dihantam lawannya! Keringat telah
membasahi tubuh lakilaki ini, apalagi karena dia mengenakan jubah yang
terbuat dari kulit ular yang tak tembus air! "Pemuda gelo! Jika kau
sayang nyawa cepat cabut senjatamu!" tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa
berseru dan habis berseru demikian dia lepaskan dua ekor ular yang telah
dikeringkan dari lehernya! Sepasang binatang yang sudah mati itu, di
tangan Ki Sawer Balangnipa tak ubahnya kembali menjadi hidup, menyambar
dan meliuk, mematuk dan menjabat ke arah Pendekar 212. Dari tubuh
ular-ular yang sudah dikeringkan itu menghampar bau anyir yang
menyesakkan rongga pernafasan sedang dan mulutnya yang membuka menyambar
sinar hijau menggidikkan. Itulah sinar racun yang jahat sekali.
Menghadapi ini Wiro segera tutup jalan pernafasannya dan berkelebat
lebih cepat untuk menghindarkan serangan- serangan sepasang ular kering
di tangan lawannya! Sepuluh jurus lagi berlalu. Agaknya Ki Sawer
Balangnipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat simpanannya kanena
kelihatan sekali bagaimana permainan silatnya berubah. Tubuhnya bergerak
gesit laksana seekor ular besar, meliuk kesana meliuk kesini! Pendekar
212 Wiro Sableng mulai berada di bawah angin! Jurus demi jurus dia
semakin terdesak ke tepi danau membuat pemuda ini memaki dalam hati. Dia
tengah berpikir-pikir untuk mulai mengeluarkan ilmu silat "orang gila"
yang dipelajarinya dari Tua Gila ketika salah satu dari senjata di
tangan Ki Sawer Balangnipa menghantam dadanya! Pendekar 212 menjerit keras! Tubuhnya terjerongkang ke belakang dan kecebur masuk danau! Dadanya
sakit bukan main dan laksana hancur remuk! Pemandangannya
berkunang-kunang! Untuk beberapa lamanya dia apungkan diri di permukaan
air danau sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian yang kena
dihantam lawan! Di lain pihak Ki Sawer Balangnipa adalah hampir tidak
percaya akan apa yang disaksikannya. Seorang yang kena digebuk ular
kering yang menjadi senjatanya, tak ampun lagi pasti akan menemui
kematian dengan tubuh remuk! Tapi kenyataannya pemuda itu masih hidup
dan mengapungkan diri di atas air danau! "Ki Sawer Balangnipa hadapi
aku!" satu suara membentak dari samping dan Nyoman Dwipa dengn tongkat
bambu kuningnya sudah melompat kehadapan Ki Sawer Balangnipa! Manusia yang punya tampang seperti ular itu menyeringai mengejek. "Bagus!" katanya, "kaupun minta digebuk! Ayo majulah!" Nyoman
Dwipa bolang-balingkan tongkat bambu kuningnya. Meski tongkat itu kecil
saja tapi deru angin yang keluar akibat putarannya deras bukan main.
Sinar kuning menjulang panjang hingga diam-diam Ki Sawer Balangnipa
segera maklum bahwa lawannya yang kedua inipun bukan orang sembarangan
pula! "Silahkan mulai, Ki Sawer Balangnipa!" kata Nyoman Dwipa pula.
Dia sudah siap dengan kuda-kuda pertahanan sambil membolang-balingkan
tongkat kecilnya! "Sialan! Disuruh mulai menyerang lebih dulu malah
menantang sombong!" damprat Ki Sawer Balangnipa. Dia maju satu langkah
untuk melancarkan sebuah serangan yang dahsyat. Di saat pertempuran
antara Nyoman Dwipa dan Ki Sawer Balangnipa hendak pecah tiba-tiba dari
arah danau terdengar seruan keras: "Nyoman! Biar aku teruskan
pertempuranku dengan manusia bermuka ular penyakitan itu!" Seruan itu
disertai dengan melayangnya kira-kira selusin ular-ular yang telah mati
ke arah Ki Sawer Balangnipa! Jika saja laki-laki itu tak lekas
menyingkir pasti kepala dan tubuhnya akan dihantam binatang-binatang
peliharaannya itu sendiri! Ki Sawer Balangnipa menjadi lupa terhadap
Nyoman Dwipa dan membalikkan tubuh dengan cepat melompat ketepi danau.
Tenaga dalam dikerahkan seluruhnya ke tangan kanannya dan sekali dia
menyapukan ular di tangan kanannya itu, maka menderulah satu gelombang
angin yang deras ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengapung di
tengah danau! Air danau muncrat sampai setinggi delapan tombak dilanda
derasnya pukulan tangan kosong tersebut tapi Wiro sendiri saat itu sudah
melesatkan tubuhnya ke tepi danau sebelah kiri. Dadanya sebenamya masih
sakit tapi karena-yakin bahwa dirinya tak mengalami luka di dalam maka
begitu sampai di daratan pemuda itu berseru lantang, "Muka ular! Terima
pukulanku ini!" Terlalu cepat bagi Ki Balangnipa untuk bisa melihat
pukulan apa yang dilepaskan lawan tahu-tahu "wuus" satu larik sinar
putih yang panas dan menyilaukan matanya menerpa dahsyat ke arahnyal
Manusia yang mukanya seperti ular itu berseru keras lalu melompat
cepat-cepat ke samping kanan. Tapi tak urung ular kering yang ditangan
kirinya masih tempat disambar pukulan sinar matahari yang dilepaskan
Wiro Sableng hingga senjata itu hancur lebur dan hanya bagian ekornya
saja yang masih tergenggam dalam tangan kiri Ki Sawer Balangnipa! "Keparat
rendah!" maki Ki Sawer Balangnipa marah luar biasa hingga sepasang
matanya laksana api berkobar! Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng belum
menjejakkan kedua kakinya di tanah, dia segera melancarkan serangan
balasan yang tak kalah hebatnya! Tangan kiri dipukulkan ke depan.
Satu gelombang angin menggebu laksana topan, siap untuk menyapu dan
menghancur leburkan tubuh Pendekar 212. Yang dilepaskan Ki Sawer
Balangnipa adalah pukulan sakti yang sangat diandalkannya dan yang
jarang sekali dikeluarkannya jika tidak menghadapi lawan yang teramat
tangguh! Itulah pukulan yang bernama "sejagat baju". Jangan kata
manusia, batu karangpun jika dihantam pasti akan hancur jadi debu!
Serangan yang dilancarkan Ki Sawer Balangnipa tak kepalang tanggung
karena sehabis memukul itu tubuhnya melesat ke depan dan menyusul
serangan pertama tadi dengan serangan ular kering di tangan kanannya
yang menderu ke arah batok kepala Pendekar 212 Wiro Sableng! Pukulan
"sejagat baju" membuat tubuh Wiro Sableng tak dapat melayang turun
menjejak tanah Betapapun dia mengerahkan tenaga dalamnya serta memukul
ke muka dengan ilmu pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih" tetap
saja tubuhnya tersapu sampai delapan tombak! Jika dia tak cepat
membuang diri ke samping dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang tinggi, pastilah dia akan menghantarn pohon besar di belakang sana!
Pukulan sejagat baju melanda pohon besar itu dan pohon-pohon serta
semak belukar di sekitarnya, membuat semuanya itu tumbang dan tersapu
sampai sepuluh tombak lebih dengan mengeluarkan suara berisik luar
biasa. Air danau yang turut terserempet pukulan tersebut muncrat
setinggi dua tombak! Setelah jungkir balik dua kali berturut-turut
Wiro Sableng berhasil mencapai tanah dengan kedua kaki lebih dahulu.
Nafasnya sesak, tulang-tulang di sekujur tubuhnya serasa tanggal sedang
dari sela bibirnya kelihatan darah kental! Pemuda ini ternyata telah
terluka di dalam! Cepat-cepat Wiro menelan butir pil merah lalu duduk
tak bergerak, meramkan mata mengatur jalan nafas dan tenaga dalam serta
mengalirkan hawa sejuk dari pusarnya ke dada! Ki Sawer Balangnipa
tertawa gelak-gelak sambil mendekati Wiro Sableng. "Ha! ha! Sekarang kau
baru tahu kehebatan Ki Sawer Balangnipa! Nah selamat jalan ke neraka,
budak hina dina!" Ki Sawer Balangnipa mengangkat tongkat ularnya
tinggi-tinggi lalu dihantamkan secepat kilat ke arah batok kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng! "Pengecut! Beraninya menyerang lawan yang sudah tak berdaya!". Satu
bentakan menggeledek dan selarik sinar kuiing menderu menangkis ular
kering di tangan Ki Saver Balangnipa. Itulah tongkat bambu kuningnya
Nyoman Dwipa. Pemuda ini ketika menyaksikan bagaimana Ki Sawer
Balangnipa hendak menamatkan riwayat Wiro Sableng dalam keadaan pemuda
itu tak berdaya, menjadi sangat geram dan menyerbu ke muka! Namun
sebelum tongkat bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa saling beradu dengan
ular kering di tangan kanan Ki Sawer Balangnipa, terdengar suara
menggembor yang disusul dengan bentakan lantang. "Siapa bilang aku tak berdaya, Nyoman!" Dan "wuut"! Selarik sinar putih yang amat menyilaukan serta panas berkelebat diiringi suara mengaung macam ratusan tawon mengamuk! Dan "cras"! Terdengar
kemudian pekik setinggi langit keluar dari mulut Ki Sawer Balangnipa.
Tangan kanannya sebatas pergelangan lengan buntung dan memuncratkan
darah! Telapak dan jari-jari tangan yang masih memegang ular kering
tadi, kelihatan mental ke udara lalu jatuh ke dalam danau, membuat air
danau di tempat jatun berwrrna kemerah-merahan oleh darahl Apakah yang
telah terjadi? Sewaktu Ki Sawer Balangnipa siap untuk menamatkan
riwayat Wiro Sableng, sebelum Nyoman Dwipa sempat menangkis senjata Ki
Sawer Balangnipa maka Wiro sableng yang duduk diam mematung itu
tiba-tiba membuat gerakan cepat luar biasa, mencabut Kapak Maut Naga
Geni 212 dan membabat ke depan! Maksudnya cuma hendak menabas senjata
lawan tapi tak terduga serangannya itu justru membuat buntung
pergelangan Ki Sawer Balangnipa! Laki-laki ini menotok jalan darah di
bahu kanan hingga darah berhenti memancur! "Pemuda keparat! Kali ini
kau menang! Tapi lain ketika jangan harap kau bisa hidup jika aku muncul
kembali di depan hidungmu!" Habis berkata begitu Ki Sawer Baangnipa
berkelebat dan lenyap di jurusan timur danau! Wiro Sableng masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya lalu berdiri dengan perlahan-lahan. Nyoman Dwipa memegang bahunya. "Kau tak apa-apa, Wiro?" "Aku terluka di dalam," jawab Wiro mengaku terus terang, "tapi tak begitu berbahaya. Manusia itu hebat sekali ilmu pukulannya!" "Tapi
kau jauh lebih hebat!" kata Nyoman Dwipa pula. Dan dalam hati pemuda
Bali ini menyadari sepenuhnya kalau saja dia yang berhadapan dengan Ki
Sawer Balangnipa pasti akan lebih cepat dirobohkan, bahkan mungkin akan
memenuhi ajal secara mengenaskan! "Aku kebetulan lewat di sini dan
mendengar suara ribut-ribut. Ketika kuselidiki kutemui kau mencak-mencak
telanjang bulat melawan puluhan ular!" Wiro tertawa sambil
garuk-garuk kepalanya yang berambut basah. Kedua orang pemuda itu lalu
menuturkan riwayat masing-masing. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala
mendengar cerita Nyoman dan berkata, "Hebat sekali riwayatmu, Nyoman.
Juga menyedihkan. Manusia macam Tjokorda Gde Jantra itu memang patut
dihajar Sayang aku ada urusan yang perlu diselesaikan dengan cepat Kalau
tidak pasti aku akan seiring denganmu. Tapi begitu urusanku selesai aku
segera akan menyusulmu, Nyoman! Ingin sekali aku melihat tampangnya itu
pemuda yang bernama Tjokorda Gde Jantra!" "Terima kasih yang kau ada perhatian terhadap urusanku, Wiro," kata Nyoman Dwipa pula. Wiro Sableng sekali lagi mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat baru itu saling menjura lalu berpisah.
SEPERTI
telah dituturkan untuk mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa
sengaja menempuh rimba belantara. Menjelang tengah hari dia sampai ke
kaki sebuah bukit. Bukit itu jarang didatangi manusia bahkan lewat di
sanapun boleh dikatakan tak ada yang berani karena dibukit itulah
bersarangnya gerombolan rampok yang dipimpin oleh seorang bernama Warok
Gde Jingga. Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok Jingga saja.
Namun kemudian ditambah di tengah-tengah dengan kata "Gde". Bagi
Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang
perjalanannya selama setengah hari. Meskipun dia sendiri tahu bagaimana
besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut namun karena ingin
cepat-cepat sampai ke Denpasar dan ingin cepat-cepat melunaskan sakit
hati dendam kesumat yang telah diindapnya selama beberapa bulan di lubuk
hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat sengaja menempuh bukit
tersebut. Beberapa jam kemudian dia sudah sampai kelereng bukit
sebelah selatan. Sekurang-kurangnya menjelang magrib dia pasti sudah
sampai ke kota tujuannya. Dia harus memasuki satu rimba belantara
sebelum mencapai kaki bukit di mane membujur jalan yang menuju ke
Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu nyatanya dia tak
mengalami kesukaran apa-apa dalam menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit
tempat bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde Jingga. Sewaktu
Nyoman Dwipa telah menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara
itu, mendadak di sebelah muka di dengamya suara bentakan-bentakan dan
suara beradunya senjata. Tak dapat tidak itu pastilah suara orang yang
tengah bertempur. Pemuda ini percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi
bagaiman baju birunya dikait semak belukar. Tepat di kaki bukit, di tepi
jalan besar kelihatanlah satu pemandangan yang hebat! Empat orang
laki-laki berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur
mengeroyok seorang perempuan berpakaian dan berkerudung kain hitam. Di
tepi jalan sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua dengan tubuh
mengigil sedang dibelakangnya, di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di
bagian depan kereta, seorang kusir tua duduk dengan paras pucat pasi! Perempuan
yang parasnya ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali.
Pedang perak di tangan kanannya berkelebat kian kemari, menangkis
serangan-serangan golok panjang ke empat pengenyok bahkan juga sekaligus
balas menyerang dengan gencarnya! Namun betapapun hebatnya ilmu
pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya adalah
prajurit-prajurit klas satu yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman
Dwipa datang mereka telah bertempur lebih dari sepuluh jurus dan si baju
hitam berada dalam keadaan terdesak yang cukup membahayakan
keselamatannya! "Breet"! Tiba-tiba salah satu ujung golok panjang
berhasil nembabat putus buhul kain hitam yang menjadi kerudung si baju
hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu! Jangankan Nyoman
Dwipa, keempat prajurit yang bertempurpun terkesiap saking tidak
menyangka kalau paras di balik kerudung itu nyatanya adalah paras
seorang dara yang jelita dan paras itu kelihatan pucat akibat sambaran
senajata lawan yang hampir saja membelah batok kepalanya! Salah
seorang prajurit melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau
kau tak segera mengembalikan patung itu, jangan harap kau akan melihat
matahari tenggelam sore nanti!" Dara jelita berpakaian hitam
mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia kiblatkan pedang
peraknya hingga pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini seperti
tadi, lagi-lagi si baju hitam berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke
empat prajurit itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara
benar-benar terancam! Meski dia tak ada sangkut paut dengan
pertempuran yang berkecamuk itu, tapi Nyoman Dwipa merasa kasihan dan
tidak tega kalau sang dara berbaju hitam sampai mendapat celaka di ujung
golok-golok ke empat lawannya. Dari balik semak-semak di mana dia
bersembunyi mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah
kalangan pertempuran seraya berseru, "Hentikan pertempuran!" Karena
suara itu disertai aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke
seantero rimba. Keempat prajurit berpaling terkejut dan kemudian menjadi
marah melihat seorang pemuda tak dikenal mengganggu serta mencampuri
jalannya pertempuran! Salah seorang dari mereka memberi isyarat agar
tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa. Maka keempatnya kemudian kembali
hendak menyerbu si gadis baju hitam. Tapi betapa terkejutnya mereka
ketika melihat kenyataan bahwa dara itu tak ada lagi dihadapan mereka,
sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka tertumpah pada
Nyoman Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat prajurit itu tertuju
pada diri Nyoman Dwipa kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara
mereka kiblatkan golok panjang menyerang pemuda itu! Karena sudah
menyaksikan kehebatan permainan golok keempat orang prajurit itu Nyoman
segera pula bertindak cepat. Golok pertama yang datang menusuk ke
dadanya dikelit sigap dan tahu-tahu lima jari tangan kirinya yang
dilipat sudah menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru kesakitan!
Goloknya terlepas sedang sambungan sikunya putus dihantam pukulan Nyoman
Dwipa. Sementara tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat
peristiwa itu, Nyoman Dwipa dengan cepat menyambuti golok yang jatuh.
Lalu dengan golok itu Nyoman membabat golok-golok di tangan ketiga
lawannya hingga satu demi satu bermentalan di udara! Keempat prajurit
itu kagetnya bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki
habis-habisan. Bahkan salah seorang dari mereka secara blak-blakan
berkata dengan suara keras penuh amarah. "Pemuda tak tahu diri! Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga mencampuri urusan orang lain?!" Prajurit yang kedua membuka mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis berbaju hitam tadi?!" "Aku
memang tak ada sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga
tidak tahu siapa kalian, apalagi gadis yang kabur itu!" "Tindakanmu ceroboh lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan melarikan patung emas yang kami bawa!" "Patung emas?!" ujar Nyoman. "Ya,
patung emas! Dan kau musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap
dan clihadapkan pada Adipati Surabaya untuk menerima hukuman!" kata
prajurit yang lain. "Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman. "Tak usah banyak tanya! Lekas serahkan dirimu!" "Sobat,
sebaiknya kau terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok
gadis itu. Jika memang dari keteranganmu nanti aku telah melakukan
kesalahan, percayalah aku akan menebus kesalahanku itu." Salah
seorang dari keempat prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah
utusan dari Kadipaten Surabaya yang berangkat menuju ke Bali untuk
melamar seorang gadis anak bangsawan yang tinggal di Denpasar. Sebagai
bawaan, Adipati Surabaya telah memberikan sebuah patung emas untuk
diserahkan pada keluarga si gadis sebagai tanda penghormatan. Setelah
menyeberangi lautan, sesampainya di Bali mereka melanjutkan perjalanan
dengan kereta. Perempuan tua yang ikut bersama keempat prajurit itu
adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran Adipati Surabaya kepada si
gadis. Sebagai orang asing tentu saja mereka tidak mengetahui bahwa
bukit Jaratan dan daerah sekitarnya adalah tempat malang melintangnya
gerombolan rampok yang dikepalai oleh Warok Gde Jingga. Ketika mereka
lewat di kaki bukit di sepanjang tepi hutan, mereka telah dicegat oleh
seorang perempuan berkerudung kain hitam. Kusir kereta yang pernah
mendengar tentang ciriciri perempuan itu segera memberi tahu bahwa dia
adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala rampok Warok Gde Jingga yang
sangat ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki ilmu
silat yang tinggi maka dia selalu melakukan kejahatan seorang diri.
Rupanya rampok betina ini sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati
Surabaya itu ada membawa benda berharga. Maka begitu dia melakukan
penghadangan dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam kereta dan
berhasil merampas patung emas! Keempat prajurit Kadipaten Surabaya tentu
saja tidak tinggal diam. Justru mereka telah diberi kepercayaan untuk
melindungi barang berharga itu. Maka tanpa banyak cerita lagi segera
mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti. Ketika mereka sudah hampir
berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu muncullah Nyoman Dwipa
memberikan pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan Sarti berhasil
kabur dengan membawa serta patung emas! Kini tahulah Nyoman Dwipa
akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa yang bisa
menduga kalau gadis secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang
perampok? Dan pemuda manakah yang tega membiarkan seorang dara jelita
terancam bahaya mautl! Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun berkata.
"Memang besar salahku! Kurasa sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya
kita lakukan pengejaran. Kalau perlu kita datangi sarangnya!" Keempat
prajurit Kadipaten Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang
sejak tadi berdiam diri karena ketakutan untuk pertama kalinya buka
suara, "Mendatangi sarang Warok Gde Jingga berarti mencari mati!" "Kalau begitu kalian tidak menginginkan patung emas itu kembali?" "Tentu
saja menginginkanl" jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya
gerombolan rampok itu besar sekali bahayanya. Karena itu kau yang punya
gara-gara maka kau sendiri yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di
sini! Kami tak perduli apakah untuk mendapatkan patung emas itu kau
harus menyerahkan kepalamu!" "Kalau aku pergi seorang diri dan
berhasil mengambil kembali patung itu, jangan harap aku akan membawanya
ke sini….," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai. "Kalau begitu …."
kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya, "aku, kau
dan dua orang kawanku berangkat ke sana. Yang lain tetap tinggal di
sini." Nyoman menyetujui pendapat itu, lalu tanpa menunggu lebih lama
mengajak ke empat orang itu untuk segera berangkat. Kusir kereta
mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara dengar nasihatku. Adalah
sia-sia kalian pergi mengambil kembali patung emas itu! Warok Gde Jingga
memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di samping itu dia memiliki anak
buah yang banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti maka sekalipun kalian
berjumlah lima kali lebih besar, jangan harap kalian akan berhasil.
Kataku kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda
biang runyam itu ke hadapan Adipati Surabaya!" "Bagiku kemarahan
Adipati Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa kalian
semua juga tak luput dari hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa.
Jangan menyesal kalau patung emas itu jatuh ke tanganku sedang kalian
mendapat hukuman dari Adipati kalian!" Nyoman Dwipa cepat berlalu
dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan. Akhirnya setelah
mengambil senjata masing-masing yang tadi jatuh di tanah, ketiganya
segera menyusul Nyoman Dwipa. "Mereka akan mati percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil memperhatikan kepergian orang-orang itu.
SEORANG
anggota rampok yang berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat
kedatangan keempat orang itu. Cepatcepat dia turun dari atas pohon dan
memberikan laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga. Kebetulan
saat itu Luh Bayan Sarti ada pula di situ. "Coba terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh Bayan Sarti. "Yang tiga orang berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi pemuda berpakaian biru." "Hem …." gadis itu mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya. "Biarkan saja mereka datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si kepala rampok. "Memang pendapatkupun demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala pada anggota rampok yang melapor. Setelah
anggota rampok itu pergi berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan
berhadapan kembali dengan tuan penolongmu yang gagah itu! Bukankah itu
yang kau inginkan, Sarti?" Luh Bayan Sarti menjadi merah parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut kedatangan mereka!" Warok Gde Jingga tertawa lalu mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu di langkan. Karena
telah dipesankan agar keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika
memasuki perkampungan, tak ada seorang rampokpun yang mengalangi.
Nyoman Dwipa dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu. Di halaman
rumah besar keempatnya berhenti. Nyoman melirik sekilas pada Luh
Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang
hanya mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang bidang tertutup oleh
bulu sedang wajahnya diranggasi cambang bawuk yang lebat kaku. "Apakah kami berhadapan dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah terlebih dahulu menjura. "Orang
muda," kata Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang
ke mari! Sesudah menolong adikku dari bahaya dikeroyok oleh
prajurit-prajurit hina dina itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak
minta hadiah imbalan?!" Nyoman Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh
dari itu, Warok. Justru aku datang ke sini untuk menebus kesalahanku
terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya ini. Satu-satunya jalan
untuk dapat menebus kesalahanku itu ialah meminta kesudianmu untuk mau
menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh adikmu ini."
Nyoman lalu menggoyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti. Gadis itu tertawa cekikikan. Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras Nyoman Dwipa yang gagah cakap itu. "Enak
betul bicaramu. Sudah lancang dating kemari, sekarang berani
bertingkah! Apakah kau bersedia menyerahkan selembar nyawamu sebagai
pengganti patung emas itu?!" Nyoman tertawa lebar. Dalam tertawa itu
dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti sungguh jelita. Kulitnya
halus mulus. Sungguh sangat disayangkan dara sejelita ini hidup menjadi
perampok, berbuat kejahatan dan diam di tengah-tengah manusia-manusia
kasar! Sementara itu Warok Gde Jingga mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok. "Selembar
nyawaku bukan apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab
pertanyaan Luh Bayan Sarti tadi. "Yang penting patung emas itu harus
diserahkan pada ketiga prajurit ini." "Kalau begitu biar kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu akan kuberikan pada manusiamanusia jelek ini!" "Serahkan dulu patung emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa. Luh Bayan Sarti mendelikkan kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang peraknya. "Tahan
dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika
gadis itu hendak melompat ke hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur
begini saja orang muda. Karena patung emas itu boleh dibilang milik
ketiga kunyuk-kunyuk Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka
turun tangan sendiri. Jika mereka bertiga berhasil mengalahkanku,
kuserahkan patung itu kembali pada mereka. Tapi kalau mereka kalah,
patung emas itu tetap milikku dan mereka kubebaskan. Untuk itu kau harus
mempertaruhkan batang lehermu!" Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya
terkejut bukan main. Jangankan mereka bertiga, sepuluh orangpun mereka
belum tentu sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga yang kesaktian dan ilmu
silatnya sangat tinggi itu! Nyoman Dwipa berbatuk-batuk. "Warok Gde
Jingga," kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka biarlah
aku mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi permintaanmu tadi." Warok
Gde Jingga tertawa gelak-gelak. "Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi
kelonggaran padamu! Kau boleh maju bersama-sama prajurit-prajurit tak
berguna itu!" "Walau ilmuku sangat dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku biarlah aku menghadapimu seorang diri." "Baik … baik … baik! Jika itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde Jingga seraya melompat ke halaman. Tubuhnya
yang tirrggi besar dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak
sedikitpun menimbulkan suara ketika kedua kakinya menjejak tanah
halaman. Satu pertanda bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai
tingkat yang tinggi! Nyoman Dwipa tak mau kalah siap! Sekali dia
berkelebat maka bayangannya lenyap dan sedetik kemudian sudah berdiri
enam langkah di hadapan kepala rampok itu! Warok Gde Jingga terkejut
bukan main! Tiada diduganya pemuda yang dianggapnya sepele itu memiliki
gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di
bawahnya! Melihat kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Luh
Bayan Sarti tiba-tiba melompat dan berseru, "Kak Gde Jingga! Biar aku
yang mengadapi pemuda sombong ini! Kau lihat sajalah bagaimana adikmu
akan memberi pelajaran padanya!" Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Luh
Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa, tersenyum sekilas lalu
berkata sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya. "Silahkan kau
mulai lebih dulu!". "Ah, tuan rumahlah yang lebih pantas memulai,"
sahut Nyoman Dwipa pula. "Kuharap kau benar-benar memberi pelajaran
berguna pada orang bodoh macamku ini, saudari!" Luh Bayan Sarti
tertawa kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena pedangku
ini tidak bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis dengan satu serangan
setengah melompat. Ketika menabas pedang peraknya hanya merupakan
selarik sinar putih yang mengeluarkan suara bersiur karena saking
cepatnya! Sebelumnya Nyoman Dwipa telah melihat ilmu pedang gadis itu
yakni sewaktu Luh Bayan Sarti bertempur melawan prajurit-prajurit.
Kadipaten Surabaya. Namun sekali ini dilihatnya si gadis mengeluarkan
jurus serangan yang lain dari yang lain hingga Nyoman Dwipa tak mau
bersikap memandang enteng, cepat mencabut tongkat bambu kuningnya yang
kecil dan dengan gesit berkelebat mengelakkan tabasan yang mengincar
pinggangnya! Setengah jalan tiba-tiba sekali tabasan yang dilakukan
Luh Bayan Sarti berubah menjadi satu tusukan tajam ke arah dada. Tusukan
ini sebelum sampai memecah laksana kilat keempat bagian tubuh Nyoman
Dwipa yaitu kepala, leher, dada dan perut! Ketiga prajurit Kadipaten
Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si gadis adalah
serangan hebat luar biasa. Melihat dekatnya tusukan-tusukan pedang
itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa cemas kalau-kalau si
pemuda kali ini tak sanggup menvelamatkan dirinya! "Hebat!" Justru
dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan memuji.
Tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru
itu bekelebatlah selarik sinar kuning. Itulah sinarnya bambu kuning di
tangan Nyoman Dwipa. Melihat lawan memiliki ilmu meringankan tubuh
yang hebat maka Luh Bayan Sarti kerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya
hingga dalam jurus pertama itu keduanya sudah merupakan baying-bayang
saja! Nyoman tersenyum melihat kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini
menggerakkan bambu kuningnya dalam jurus "gendewa sakti membentur
gunung". Jurus ini mengandalkan tenaga dalam yang dialirkan ke tongkat
bambu kuning. Dalam jurus kedua terjadilah hal yang sangat mengejutkan
Warok Gde Jingga. Sewaktu dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti kembali
melancarkan serangan yang hebat, bambu kuning di tangan Nyoman sudah
bergerak dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung" itu. Luh Bayan
Sarti heran ketika merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula
meluncur pesat tahu-tahu dengan tiba-tiba sekali tersendat laksana
diterpa oleh satu angin yang luar biasa dahsyatnya. Belum habis rasa
herannya itu, bambu kuning di tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah
berada dekat sekali di samping pedang peraknya! Luh Bayan Sarti
seorang berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan mengetahui
bahwa tenaga dalam lawan tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa
hendak memukul badan pedangnya dalam satu pukulan yang hebat dan
memungkinkan pedang perak itu terlepas dari tangannya! Karenanya dengan
sigap gadis ini menaikkan tangannya ke atas lalu membabat ke samping,
menaebas ke arah batang leher Nyoman Dwipa! Di lain pihak Nyoman
Dwipa tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama. Kedudukan tangan
dan senjata lawan yang berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri
justru itulah yang dikehendakinya! Bambu kuning di tangan pemuda ini
menerpa ke atas Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang
memegang pedang menjadi kesemutan. Dia melompat mundur tapi tak bisa
karena pada saat itu bambu kuning di tangan lawan laksana seekor ular
seakan-akan telah membelit pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa memutar-mutar
bambu kuningnya, pedang perak di tangan gadis itupun ikut berputar
melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa mempertahankan senjata itu kecuali
kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir dan tanggal dari
persendiannya! Warok Gde Jingga bukan olah-olah kejutnya menyaksikan
bagaimana adiknya yang berkepandaian tinggi itu hanya mampu menghadapi
pemuda itu dalam tempo dua jurus saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan
saja dia dikalahkan tapi senjatanya sekaligus kena dirampas! Luh Bayan
Sarti sendiri sesudah pedangnya tertarik dan berada digenggaman Nyoman
Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga malu sekali. Dengan paras merah
sambil banting-banting kaki gadis ini memutar tubuh dan meninggalkan
tempat itu. "Eh, saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa. Luh
Bayan Sarti tak mau berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus
nyelonong ke langkan rumah Karena orang tak mau menerima kembali
senjatanya maka Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang memegang
pedang. Senjata itu lepas dan mendesing di udara lalu menancap di tiang
langkan rumah, tepat pada saat Luh Bayan Sarti berada di samping tiang
itu! Luh Bayan Sarti berbalik dan mendelikkan kedua matanya pada
Nyoman Dwipa. Sebaliknya pemuda itu hanya tersenyum saja, membuat si
gadis benar-benar penasaran setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari
tiang langkan lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah! Nyoman berpaling
pada Warok Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang. Karena
dia bertindak sebagai wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati
janjimu Warok. Harap kau segera mengembalikan patung emas itu pada
ketiga prajurit ini…. " Warok Gde Jingga mengusap-usap dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak. "Ingatanmu
selalu pada patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan
kemenanganmu! Terangkan dulu namamu dan siapa kau sebenarnya …" "Kalau sudah kuterangkan lantas kau akan mengembalikan patung itu?!" Kembali
kepala rampok itu tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang
berdiri mengeliling halaman lalu menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku
tahu nama dan siapa kau adanya, kita main-main sebentar . . . " Nyoman
tahu apa yang dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main" itu.
Maka dia berkata, "Dan kalau dalam main-main itu kau mengalami nasib
sama dengan adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain untuk tidak
menyerahkan patung emas itu?!" Merahlah paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda sontoloyo!" katanya keras. "Ah
kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah,
apakah kini kita bisa memulai permainan yang kau maksudkan itu?!" Warok
Gde Jingga menggeram. Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar
keluarlah seorang pelayan membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga
yang bentuknya aneh dan dahsyat! Belum pernah Nyoman Dwipa melihat
senjata semacam itu. Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri kelihatan
saling berbisik karena setahu mereka, Warok Gde Jingga jarang sekali
mempergunakan senjata itu kalau tidak dalam keadaan terpaksa atau ketika
menqhadapi lawan yang tangguh luar biasa!
SENJATA
di tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada
kedua ujungnya digantungi masing-masing tiga buah kaitan besi yang juga
berwarna hitam. Setiap ujung kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan
lagi dan masing-masing ujungnya tetah dicelup dengan racun yang amat
jahat selama tiga tahun. Sekali manusia yang tidak memiliki kekebalan
racun, meskipun memiliki tenaga dalam bagaimanapun tingginya pasti akan
menemui kematian bila sampai kena tertusuk oleh ujungujung kaitan itu!
Di samping itu kaitankaitan tersebut merupakan senjata yang berbahaya
karena sanggup membetot daging atau urat seorang lawan! Menurut taksiran
keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari lima puluh kati. Tapi Warok
Gde Jingga memegangnya tak ubahnya seperti memegang sebuah ranting
kering belaka! Nyoman Dwipa tahu benar kehebatan ilmu suit lawan yang
dihadapannya itu. Jauh lebih tinggi dari ilmu silat Luh Bayan Sarti
yang tadi telah dikalahkannya. Dan melihat kepada senjata di tangan
Warok Gde Jingga, pemuda ini sudah maklum bahwa senjata itu amat
berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman Dwipa pasang
kuda-kuda pertahanan yang bernama "elang menukik laut". Kedua kaki
merenggang agak menekuk di bagian lutut. Tangan kiri agak mengembang ke
samping sedang tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning
dipalangkan di muka dada. "Ayo majulah!" kata Warok Gde Jingga. "Silahkan tuan rumah memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa. Kepala
rampok dari bukit Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota
rampok yang mengelilingi tempat tersebut membuka mata masing-masing
selebar mungkin untuk menyaksikan pertempuran yang bakal berlangsung
yang tidak bisa tidak pasti sangat hebat! "Awas perut!" teriak Warok
Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi dengan berkelebatnya
tubuh pemimpin rampok itu. Ujung toya sebelah kanan menderu ke arah
perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan berdesing siap untuk membetot dan
membusaikan isi perut pemuda itu! Nyoman Dwipa melompat ke belakang
untuk mengelak. Di’saat itu pula dengan tak terduga, cepat sekali ujung
toya besi yang sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda itu! Kejut
Nyoman Dwipa bukan alang kepalang. Sambil membentak keras pemuda
gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan
menggerakkan tongkat bambu kuningnya, memukul bagian tengah toya besi di
tangan Gde Jingga. Melihat lawan hendak memukul senjatanya, kepala
rampok itu sengaja tidak mengelak! Dia beranggapan bahwa sekali tongkat
bambu kuning itu membentur toya besinya pastilah akan patah dua! Tapi
betapa terkejutnya Warok Gde Jingga sewaktu melihat bukan saja tongkat
lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan terjadi, toya besinya
terpukul keras hampir saja terlepas dari genggamannya! Dengan
menggertakkan rahang Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya
laksana titiran, menderu dan mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh
penjuru! Sementara itu dari satu tempat yang terlindung di balik
jendela rumah besar, sepasang mata menyaksikan pertempuran itu dengan
hati cemas. Kecemasan itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu
adalah kalau-kalau si pemuda akan menjadi korban mendapat celaka di
tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika menyaksikan bagaimana Nyoman Dwipa
dengan tenang melayani lawannya, orang yang mengntai itu merasa lega
sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh Bayan Sarti, adik Warok Gde Jingga
yang telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi! Dua puluh jurus telah
berlalu. Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan ganas.
Toyanya lenyap dalam sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan
angin dingin serta bersiutan. Debu dan pasir beterbangan di sekeliling
orang-orang yang bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi jurus,
semakin meluap kemarahan Warok Gde Jingga. Sebagai kepala rampok yang
ditakuti dan punya nama besar dikalangan rimba persilatan di Pulau Bali,
baru kali ini dia menghadapi lawan yang demikian tanguhnya. Karena
pertempuran itu disaksikan oleh anak-anak buahnya pula maka tentu saja
rasa malu membuat amarahnya tambah menggelegak! Amarah yang menggelegak
ini tak bisa lagi dikendalikan karena bagaimana pun dia menggempur lawan
dengan toya besi serta dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kosong
yang hebat tetap saja menemui kesia-saan! Akibatnya saat itu semua orang
menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur macam kerbau gila atau
celeng kemasukan setan, seradak sana seruduk sini, melompat sini
melompat sana! Keringat membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan
pakaian. Gerakan-gerakannya yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan
lagi sewaktu dia dengan kalap terus menggempur marah karena ujung
tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa berhasil memukul ikatan kaitan di
ujung toya sebelah kanan hingga kaitan-kaitan itu terlepas dan mental! Tiga puluh lima jurus telah berlalu kini. "Warok Gde Jingga apakah masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai di sini saja?!" berseru Nyoman Dwipa. Seruan
ini membuat darah kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas
berteriak, "Aku belum kalah! Kalau kepalamu sudah pecah terpukul toyaku
baru pertempuran berhenti!" Nyoman Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat
tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dan ketika tongkat
itu membuat satu sambaran tajam ke bagian tengah toya besi di tangan
Warok Gde Jingga, ketika benturan keras terjadi, Warok Gde Jingga merasa
tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup lagi
mempertahankan toya itu hingga terlepas dari tangannya dan mental ke
udara! Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah mata
Warok Gde Jingga. Badan toya yang kena dihantam bambu kuning temyata
telah menjadi bengkok dan genting hampir putus! Nyoman Dwipa
tersenyum kecil lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik
pinggang kembali. "Permainan sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi
janjimu, menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampok oleh
adikmu!" Meskipun saat itu Warok Gde Jingga malu dan marah bukan
main, meskipun dia seorang yang sudah terkenal kejahatannya namun dalam
satu hal kepala rampok ini patut dipuji. Hal itu ialah sifatnya yang
memegang teguh segala janji yang diucapkannya. Maka dia memerintah
seorang anak buahnya untuk mengambil patung emas dari dalam rumah. Benda
itu kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan Nyoman Dwipa
selanjutnya menyerahkan pada prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya. Bukan
main gembira prajurit-prajurit itu. Di hadapan Warok Gde Jingga
Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih atas segala pelayanan
yang kau berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka mengembalikan
patung emas itu. Aku dan prajurit-prajurit ini hendak minta diri
sekarang." "Prajurit-prajurit itu boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde Jingga. "Eh, kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran. "Aku mau bicara denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu. Setelah
berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan
berpaling pada prajurit-prajurit di sampingnya. "Kalian pergilah, biar
aku tetap di sini dulu." Setelah mengucapkan terima kasih pada si
pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian meninggalkan sarang perampok
tersebut dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau mendapat kesulitan
baru pula di tempat itu. "Nah, mereka sudah pergi. Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman Dwipa. "Kita bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman Dwipa masuk ke dalam rumah besar. Sampai
di dalam Nyoman dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan
serba mewah. Warok Gde Jingga memerintahkan bujang-bujangnya untuk
menghidangkan makanan dan minuman yang tezat-lezat, Setelah menyantap
hidangan itu barulah Warok Gde Jingga menerangkan maksudnya menahan
Nyoman Dwipa. "Ilmu silatmu tinggi sekali. Permainan tongkatmu lihay.
Melihat kepada jurus dan gerak yang kau keluarkan, dan mengetahui bahwa
di Pulau Bali ini cuma ada seorang tokoh sakti yang memiliki ilmu
tongkat yang hebat luar biasa, apakah kau bukannya murid orang sakti
itu, Nyoman?" Nyoman Dwipa tertawa. "Orang sakti manakah maksudmu?" tanyanya. "Ah, kau pura-pura bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi itu tentunya!" Kembali
Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh
temama seperti Menak Putuwengi itu mana mau mengangkat aku jadi
muridnya?" Warok Gde Jingga meneguk tuaknya habishabis lalu berkata,
"Baiklah Nyoman, soal siapa gurumu tak perlu kita bicarakan. Yang
penting adalah kenyataan bahwa ilmu silatmu amat tinggi dan membuat aku
benar-benar kagum. Bagaimana kalau kita bekerja sama memimpin
orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini? Segala hasil yang
kita dapat menjadi milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta kekayaanku
yang ada sekarang akan kuberikan separohnya padamu!" "Rupanya inilah maksud kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam hati. "Terima kasih atas tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak dapat menerimanya…." "Ah!
Mari, kau lihatlah dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau
sudah melihat, pasti kau tak akan mau menampik lagi tawaranku." kata
Warok Gde Jingga seraya hendak berbangkit dari duduknya. Nyoman
melambaikan tangannya dan berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu banyak
sekali dan tak ternilai harganya," kata pemuda ini, "namun sebenarnya
ada banyak urusan yang harus kusalesaikan. Untuk saat ini aku
benar-benar tak bisa menerima tawaranmu, entah di lain ketika." Lalu
pemuda inipun berdiri dari kursinya. Warok Gde Jingga kecewa sekali.
Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti seluruh Bali akan
berada dalam genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa
memaksa. Dan pemimpin rampok inipun lantas berdiri, mengantarkan tamunya
ke ujung halaman.
***
Belum lewat
sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan
telinganya dan perasaannya yang tajam menyatakan bahwa seseorang saat
itu tengah menguntitnya. Di satu tikungan jalan pemuda ini menghentikan
larinya dan menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon besar yang
bagian bawahnya ditumbuhi semak belukar lebat. Dia menunggu dan selang
beberapa ketika lamanya penguntit itupun muncul di tikungan jalan.
Betapa terkejutnya Nyoman ketika melihat bahwa orang itu ternyata bukan
lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung Warok GdeJingga adanya! Maka
dengan penuh heran pemuda inipun keluar dari persembunyiannya. "Selamat berjumpa kembali saudari." kata Nyoman. Luh
Bayan Sarti terkejut. Parasnya merah seketika kemudian dicobanya
tersenyum dan berkata, "Aku tengah menuju ke Denpasar. Tak diduga
bertemu denganmu di sini." Nyoman berpikir apakah ucapan gadis itu bukan kedustaan belaka? "Aku sendiri juga tengah menuju ke sana," kata Nyoman. "Betul? Kalau kau tak keberatan . . . . " Nyoman
Dwipa sudah tahu kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong.
"Tentu saja aku tak keberatan pergi sama-sama denqanmu ke Denpasar".
Namun dalam hatinya Nyoman merasa menyesal mengeluarkan ucapan itu.
Maksudnya ke Denpasar adalah untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini
dia ke sana bersama gadis itu, tentu akan mencari tambanan pekerjaan
saja dan salah-salah bisa cari urusan baru! Dipandanginya paras gadis
itu. Cantik memang. Dan sungguh disayangkan kalau dara secantik ini
menjadi adik kandung kepala rampok dan ikut-ikutan pula menjadi
perampok! "Agaknya kau menyesal mengeluarkan ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba seraya mengerling pada si pemuda. Nyoman
tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan
adalah satu hal yang menyenangkan," katanya. "Apakah maksudmu pergi ke
Denpasar?" "Hendak mengunjungi seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti. "Kawan atau kekasih?" tanya Nyoman pula. Paras sang dara kembali menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih," katanya kemudian. "Oh….!" "Dan kau sendiri perlu apakah ke Denpasar? Kau tinggal di situ?" ganti menanya Luh Bayan Sarti. "Ada
urusan penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata.
"Kita harus berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti sudah sampai di
Denpasar."
MEREKA memasuki
Denpasar ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat. Untuk
tidak menarik perhatian orang keduanya memasuki kota dengan jalan kaki
biasa. "Aku akan mencari penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah akan terus ke tempat sahabatmu itu?" "Tubuhku
letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di
sebelah barat luar kota. Karena kita datang dari jurusan timur cukup
jauh juga untuk mencapai tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga
mencari penginapan. Besok baru meneruskan perjalanan kerumahnya." Nyoman
menganggukkan kepala. Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh
Bayan Sarti yang katanya hendak menguniungi sahabat lamanya itu adalah
satu kedustaan belaka. Sepanjang jalan dari bukit Jaratan sampai ke
Denpasar banyak sekali sikap gadis itu yang dirasakannya aneh. Berulang
kali dilihatnya Luh Bayan Sarti memperhatikannya secara diam-diam. Bila
sekali-sekali mereka saling berbentur pandangan, paras gadis itu berubah
kemerah-merahan dan kepalanya ditundukkan atau dipalingkan kejurusan
lain. Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama mempunyai perasaan lain
yang membuat hatinya jadi berdebar. Tapi perasaan itu dibuangnya
jauh-jauh bila dia ingat pada almarhum kekasih yang dicintainya yaitu Ni
Ayu Tantri. Kepergiannya ke Denpasar justru untuk menuntut balas
kematian gadis itu, juga kematian ayah dan kawan-kawannya. Dan kini
hati yang mendendam kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut
membuat Nyoman merasa bahwa seolah-olah dia telah melakukan
pengkhianatan terhadap Ni Ayu Tantri! Di sebuah rumah penginapan yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah kamar. Satu
untuknya sendiri dan yang lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara
begitu masuk ke kamar terus berbaring dan tertidur pulas maka Nyoman
Dwipa terlebih dulu pergi mandi membersihkan diri. Habis mandi rasa
letihnya agak hilang berganti dengan kesegaran. Dia memanggil pelayan
dan memesan dua porsi nasi. Yang satu porsi disuruhnya mengantarkan ke
kamar Luh Bayan Sarti. Sambil menyantap makanannya Nyoman berpikir-pikir
apakah malam itu juga akan dilakukannya penyelidikan di mana letak
tempat kediaman musuh besamya yang bemama Tjokorda Gde Jantra itu dan
sekaligus melakukan pembalasan melampiaskan dendam kesumat yang
dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau ditunggunya sampai besok? Tengah
dia menyantap makanan dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar
diketuk orang. Nyoman Dwipa meletakkan piringnya di atas meja lalu
membuka pintu. Pelayan penginapan berdiri di muka pintu itu dan
menerangkan bahwa ketika dia mengantarkan hidangan ke kamar Luh Bayan
Sarti temyata kamar itu kosong melompong, si gadis tak ada di dalamnya. "Saya rasa terjadi hal yang tidak beres." menerangkan pelayan itu. Mulanya
Nyoman Dwipa menyangka Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi
mendengar keterangan pelayan itu dia jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa
tahu ada yang tak beres?" "Jendela terpentang lebar, engselnya rusak!" Tanpa
menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti.
Apa yang di terangkan oleh pelayan temyata betul. Kamar itu kosong,
jendela terbuka lebar dan sebuah engselnya rusak. Buntalan pakaian milik
Luh Bayan Sarti masih tergeletak di atas pembaringan. Tak ada
tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian di kamar itu. Apakah
sesungguhnya yang telah terjadi? Ke mana perginya Luh Bayan Sarti?
Nyoman keluar dari rumah penginapan. Di luar hari telah malam. Udara
dingin oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggantung di
langit. Setelah melakukan penyelidikan di sekitar penginapan dan tak
berhasil menemui Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui pelayan
tadi dan berpesan agar tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun.
Lalu Nyoman sendiri kemudian meninggalkan rumah penginapan itu untuk
menyelidiki ke mana lenyapnya gadis itu. Dalam hati kecilnya dia
mengeluh. Jika betul terjadi apa-apa dengan gadis itu sedikit banyaknya
dia harus bertanggung jawab. Ini berarti datangnya satu urusan baru
padahal urusannya yang lebih penting yaitu melakukan pembalasan terhadap
Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum dilaksanakan! Hampir
dua jam lamanya Nyoman Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar
bahkan sampai ke-pelosokpelosok dan daerah luar kota. Penyelidikannya
sia-sia belaka. Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-pun tak dapat
dicarinyal Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinya! "Berabe kalau begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal pemuda ini kembali ke penginapan.
***
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh Bayan Sarti? Ketika
petang itu Nyoman dan Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan
barat, seorang penunggang kuda yang tangan kanannya buntung memapasi
mereka. Karena jalan yang ditempu memang banyak dilewati orang dan lagi
pula saat itu hari sudah agak gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama
sekali tidak memperhatikan orang-orang yang mereka papasi, termasuk
penunggang kuda tadi. Namun penunggang kuda ini bukanlah orang yang lalu
lalang biasa saja. Dia bukan lain dari Ki Sawer Balangnipa, si
manusia yang tampangnya macam ular yang telah pemah bertempur melawan
Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang lalu! Karena manusia
pemelihara ular ini seorang hidung belang bermata keranjang maka setiap
melihat perempuan pasti tak akan luput dari pandangan matanya! Begitu
juga ketika dia berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras Sarti
yang jetita, timbullah niat terkutuk dalam hati dan benaknya! Namun
sewaktu dia memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara,
kagetlah Ki Sawer Balangnipa. Cepat dia mengenali Nyoman Dwipa sebagai
pemuda yang telah bertempur dengan dia di tepi danau beberapa waktu yang
lalu! Jika gadis itu ada hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja
dia tak punya nyali untuk melaksanakan maksud terkutuknya itu. Tapi
sebagai seorang yang licik, Ki Sawer Balangnipa punya seribu satu macam
akal. Sengaja dia melewati kedua orang itu sampai beberapa jauhnya
kemudian berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta Sarti secara
diam-diam. Dia sudah menyusun rencana sebagai berikut. Mula-mula akan
diculiknya gadis berpakaian hitam yang sangat rnenarik hati dan
merangsang nafsu bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu gadis akan
dihubunginya beberapa tokoh-tokoh silat yanq berada di Denpasar lalu
bersama-sama mereka akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan
pembalasan atas kekalahannya tempo hari dalam pertempuran di tepi danau! Sewaktu
melihat kedua orang itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa
berpendapat inilah kesempatan yang baik baginya untuk segera
melaksanakan niat busuknya itu. Dengan mengandalkan kepandaiannya yang
tinggi Ki Sawer Balangnipa berhasil memasuki kamar penginapan di mana
Luh Bayan Sarti terbaring tidur keletihan tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur nyenyak mudah sekali bagi
manusia yang punya tampang seperti ular itu untuk menotok urat di tubuh
Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu kemudian
dilarikannya keluar kota. Kuda yang ditunggangi Ki Sawer Balangnipa
laksana anak panah lepas dari busurnya dalam gelapan malam. Menjauhi
kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis itu. Akhirnya dia
ingat sebuah kuil tua yang terletak di sebelah barat Denpasar. Kuil itu
sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas memakainya
sebagai tempat beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera laki-laki
ini memutar kudanya ke jurusan barat. Di langit buan sabit muncul
setelah beberapa lamanya bersembunyi di balik awan hitam tebal. Sinar
bulan sabit ini tak sanggup mengalahkan gelapnya malam di saat itu. Selewatnya
sebuah pesawangan Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan
berbatu dan mendaki. Kira-kira sepeminuman teh dia sampai satu
persimpangan. Ki Sawer Balangnipa menghentikan kudanya karena di antara
persimpangan itulah letak kuil tua yang ditujunya. Pada siang hari dua
mulut jalan yang mengapit kuil tua itu ramai dilewati orang-orang yang
lalu lintas terutama para pedagang. Tapi pada malam hari suasana di situ
sunyi senyap. Tak satu orangpun yang berani lewat kecuali
prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ sering kali
menjadi tempat beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde Jingga dari
Bukit Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa
beberapa hari yang lalu. Dengan memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki
itu melangkah memasuki halaman kuil. Semula dia hendak menurunkan tubuh
gadis itu di bagian depan, tapi setelah berpikir sejenak akhirnya dia
masuk ke bagian dalam kuil. Di sini keadaan lebih gelap, tapi
dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki Sawer
Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding kuil. Seringai setan
terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh yang
mencicir di kening, kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan
totokan ditubuh gadis itu. Luh Bayan Sarti membuka kedua matanya.
Kegelapan menghambar di hadapannya. Kemudian ketika sepasang matanya
menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis ini. Di manakah aku
berada, pikirnya. Dia memandang sekali lagi berkeliling. Tiba-tiba
tersentaklah dia karena tidak dinyananya kalau saat itu dekat sekali di
hadapannya duduk mencangkung sesosok tubuh yang hitam pekat di telan
kegelapan. Tak dapat dipastikan oleh gadis ini apakah yang dihadapannya
itu manusia atau setan tapi yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan
sekali, macam kepala dan paras seekor ular! "Mungkin aku bermimpi,"
pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dan pada saat
itu makhluk di hadapannya datang mendekat, mengulurkan tangannya hendak
menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging seringai buruk yang
menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh
yang amat pelahan sedang dari hidungnya menghembus nafas panas! "Siapa kau?!" bentak Luh Bayan Sarti seraya melompat. Orang dihadapannya berdiri perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa mengekeh. "Jangan bertanya segalak itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa!" "Aku tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari dapanku!" Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak. "Gadis galak biasanya juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat tidur . . . " "Bangsat rendah! Kau kira berhadapan dengan siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti. "Sreett!!" Gadis
itu cabut pedangnya dari balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah
berkelebat dan pedang di tangan kanannya menderu dalam satu bacokan
yang laksana kilat cepatnya ke batok kepala Sawer Balangnipa. "Trang!!" Pedang
Luh Bayan Sarti menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah
bagaimana mendadak sekali Ki Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari
hadapan gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti mengenai tempat kosong
dan terus melanda tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan dalam
hati. Sewaktu dirasakannya sambaran angin datang disamping kanannya,
gadis ini cepat membalik seraya kiblatkan pedangnya. Tapi lagi-lagi dia
menghantam tempat kosong dan sebelum dia bisa berbuat suatu apa, sebuah
totokan bersarang di dadanya membuat sekujur tubuhnya mendadak sontak
menjadi kaku tegang dalam keadaan masih memegangi pedang! Didahului
oleh suara tertawa mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali muncul
di hadapan Luh Bayan Sarti dengan cengar-cengir seenaknya. "Senjata
ini tak boleh dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa
lalu diambilnya pedang dari tangan gadis itu dan dilemparkannya sudut
kuil. "Bangsat kau lepaskah totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti. "Siapa
yang mau ambil risiko, nona manis?!" sahut Ki Sawer Balangnipa.
"Sudahlah, kau tak usah bicara keras-keras yang hanya mengejutkan
setan-setan penghuni kuil tua ini saja! Di samping itu tak baik berdiri
terus-terusan. Mari kutolong kau berbaring di lantai sini." "Setan alas! Kau mau bikin apa?!" "Mau
bikin apa …?" Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh.
"Kau lihat saja nanti. Yang pasti kau bakal merasakan bagaimana
pandainya aku merubah malam yang dingin ini menjadi malam yang hangat
bagi kita!" Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Ki Sawer
Balangnipa meraih pinggang si gadis dan membaringkannya di lantai kuil! "Keparat kalau kau tidak lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup bahkan menyesal sarnpai ke hang kubur!" "Ha
…. ha, siapa yang akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan
tubuhmu! Siapa yang menyesal merasakan kenikmatan dirimu sebagai seorang
perempuan, seorang perawan?! Ha … ha . . . ! Matipun aku tidak menyesal
nonaku!" Sehabis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menyelinapkan
tangan kirinya ke bawah baju si gadis! Luh Bavan Sarti laksana disengat
kalajengking sewaktu merasakan bagaimana jari-jari tangan laki-laki itu
menyentuh buah dadanya! "Manusia dajal! Rupanya kau belum tahu siapa aku!" "Ah
sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan
penuh geram nafsu dibetotnya baju gadis itu hingga kancing-kancingnya
berputusan. "Keparat! Nyawamu tak akan berampun! Aku adalah adik
Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan!" Ki Sawer Balangnipa terkejut juga
mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat kemudian kemheli terdengar suara
tertawanya. "Oh, jadi kau adiknya kepala rampok hina dina itu? Siapa
takutkan dia? Sepuluh manusia macam dia dijejer di hadapan Ki Sawer
Balangnipa pasti akan kulabrak musnah!" Lalu tangan laki-laki itu
berjerak mengelus perut Luh Bayan Sarti untuk kemudian dengan sangat
terkutuknya meluncur ke bawah! "Keparat! Kalau tidak kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang lehermu!" "Hem siapakah kawanmu itu?" "Nyoman Owipa! Dia murid Menak Putuwengi!" "Jangan
menipuku! Menak Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan
gerakan tangan Ki Sawer Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali
meluncur! Namun sebelum tangan terkutuk itu dapat meluncur lebih jauh,
satu bentakan menggeledek dari ruang depan. "Terkutuk! Di tempat suci
berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan melengking langit dan
berbarengan denjan itu selarik angin keras dan dingin menggidikkan
menyambar ke arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
KAGETNYA
Ki Sawer Balangnipa laksana melihat dan mendengar petir menyambar di
puncak hidungnya! Kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan
bergulingan di lantai kuil pastilah kepalanya tak bisa diselamatkan dari
hantaman angin dahsyat tadi! Begitu berdiri begitu dia membentak! "Bangsat
rendah yang menyerang secara gelap, coba unjukkan tampangmu!".
Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa melengak karena baru saja dia habis
membentak di belakangnya terdengar suara tertawa mengekeh. "Silahkan putar tubuh dan kau akan melihat tampangku manusia muka ular!" Ki
Sawer Balangnipa membalikkan tubuhnya dengan cepat! Heran, hebat sekali
gerakan manusia itu hingga dia tak sempat melihat bayangannyapun dan
tahu-tahu sudah berada di belakangnya! Ketika berhadap-hadapan dengan
manusia itu mendadak menciutlah nyali Ki Sawer Balangnipa. Betapakan
tidak. Orang yang kini berdiri di depannya bukan lain pemuda yang tempo
hari telah membunuh puluhan ekor ularnya di tepi danau! Tapi rasa
ngerinya itu tidak diperlihatkannya. Malah dia menyembunyikan dengan
membentak garang! "Kau rupanya bangsat haram jadah! Di cari-cari tak ketemu kini datang sendiri mengantar nyawa!" Orang
dihadapannya mengeluarkan suara bersiul. "Apakah tangan kananmu yang
buntung sudah disambung hingga kau bernyali besar sekali?!" Ki Sawer
Balangnipa marah sekali. "Keparat! Apa yang kau lakukan tempo hari kini
kau bakal terima balasannya bangsat Wiro Sableng!" Habis berkata
begitu Ki Sawer Balangnipa menggerakkan tangan kirinya dan sesaat
kemudian sebuah senjata yang dibuat dari ular kering menderu ganas ke
depan. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tahu kelihayan lawan meskipun
saat itu tangannya cuma tinggal satu, dengan tidak ayal segera bergerak
menyelamatkan kepalanya. Dilain pihak Ki Sawer Balangnipa yang sudah
pernah berhadapan dengan si pemuda dan suclah tahu betapa tingginya ilmu
silat serta kesaktian Wiro Sableng, segera mengeluarkan jurus-jurus
terhebat dari ilmu silatnya. Ular kering di tangan kirinya laksana hidup
menjadi puluhan banyaknya dan menyerbu ke seluruh bagian tubuh Pendekar
212 Wiro Sableng! Yang lebih hebatnya lagi karena dari mulut ular itu
setiap saat menyambar racun hijau yang amat berbahaya. Meskipun kebal
segala macam racun namun Wiro menutup penciumannya. Pertempuran
berjalan demikian serunya hingga Luh Bayan Sarti yang menyaksikan
sampai-sampai lupa diri di mana dia berada dan apa sesungguhnya yang
telah terjadi sebelumnya atas dirinya. Juga lupa nasib apa yang bakal
menimpa dirinya jika pemuda berambut gondrong berpakaian putih itu tidak
muncul di saat yang sangat kritis itu! Untuk menghadapi
serangan-serangan ganas yang bertubi-tubi serta jurus-jurus aneh yang
dilancarkan lawan, Wiro Sableng sengaja keluarkan jurus-jurus pertahanan
ilmu silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila. Jurus-jurus
pertahanan tersebut diselingnya dengan jurus-jurus serangan warisan
gurunya Eyang Sinto Gendeng. Hingga walau bagaimanapun hebatnya Ki Sawer
Balangnipa, untuk merobohkan pemuda itu sampai seribu juruspun dia
belum tentu bisa melakukannya. Di lain pihak WiroSablengsendiri maklum
pula yang dia tidak pula akan bisa mempecundangi lawannya dengan mudah!
Karena itu kedua tangannya kiri kanan mulai melancarkan pukulan-pukulan
sakti yang mengandung tenaga dalam teramat tinggi! Ki Sawer Balangnipa
mulai kewalahan! Jika saja gerakannya tidak gesit sudah tiga kali
kepalanya hampir dilanda pukulan lawan! Jurus kedua puluh ke atas Ki
Sawer Balangnipa sudah terdesak hebat. Ketika lengan kirinya kena
terpukul dan ular kering yang menjadi senjatanya mental jauh, nyali
manusia ini benar-benar meleleh! Didahului dengan bentakan dahsyat
laki-laki ini harttamkan tangan kirinya ke depan. Satu gelombang angin
yang amat keras menderu menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Itulah pukulan sejagat bayu! Sewaktu Wiro Sableng berdiri limbung
diterpa angin pukulan, kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Sawer
Balangnipa untuk melesat ke ruangan luar dan sebelum Wiro sempat
mengejar, laki-laki itu sudah lenyap di kegelapan malam! Pendekar 212
Wiro Sableng merutuk habis-habisan. Baginya manusia semacam Ki Sawer
Balangnipa tukang rusak kehormatan perempuan itu tak ada pengampunan,
apalagi mengingat pertempuran tempo hari di tepi danau. Tapi saat itu
dia tak bisa berbuat suatu apa karena lagi-lagi Ki Sawer Balangnipa
berhasil pula melarikan diri. Wiro Sableng masuk ke dalam kuil tua
kembali dan melangkah ke tempat di mana Luh Bayan Sarti terbujur dengan
dada tiada tertutup dan celana panjangnya merorot turun. Meskipun
keadaan dalam kuil itu gelap namun sepasang mata Pendekar 212 masih
sanggup menikmati kebagusan buah dada dan keputihan perut Luh Bayan
Sarti. Dengan mempergunakan jari-jari tangan kirinya Wiro kemudian
melepaskan totokan di tubuh sang dara. Begitu tubuhnya terlepas dari totokan, secepat Kilat Luh Bayan Sarti melompat, merapikan baju dan celana hitamnya. "Pemuda
tak dikenal, terima kasih atas pertolonganmu. Harap kau sudi memberi
tahukan nama …" kata Luh Bayan Sarti bila pakaiannya sudah rapi. "Aku Wiro Sableng. Kau siapa?" "Luh Bayan Sarti," jawab si gadis memberi tahukan namanya. "Sekali lagi terima kasih". Lalu gadis itu melompat ke pintu kuil. "Hai tunggu dulu!" seru Wiro Sableng mengejar. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan gadis itu. "Ada
apa?!" tanya Luh Bayan Sarti. "Mohon dimaafkan kalau aku tak bisa
bicara lama-lama dengan kau. Itu bukan aku tidak tahu diri dan tak
menghargai pertolonganmu, tapi karena aku harus cepat-cepat kembali ke
kota." Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. "Waktu aku sampai ke sini tadi kudengar kau menyebut-nyebut nama Nyoman Dwipa. Apa sangkut pautmu dengan pemuda itu?" Luh
Bayan Sarti tak segera menjawab. Di tengah perjalanan ke Denpasar,
Nyoman Dwipa menuturkan kepadanya tentang dendam kesumatnya terhadap
seorang pemuda yang telah membunuh kekasihnya. Nyoman tidak menerangkan
siapa nama pemuda itu. Tak bukan mustahil pemuda yang berdiri di
hadapannya saat ini adalah musuh besar Nyoman Dwipa. Kalau tidak mengapa
dia bertanya apa sangkut pautnya dengan Nyoman Dwipa? "Katakan dulu apa hubunganmu dengan Nyoman Dwipa," ujar Luh Bayan Sarti. Wiro kerenyitkan kening dan kembali menggaruk kepalanya. Dia tadi bertanya, tapi malah dijawab dengan balik bertanya. "Dia sahabatku," jawab Wiro. "Betul?! " Wiro tertawa dan berkata, "Ada alasan yang membuat kau tak percaya ucapanku?!" "Walau bagaimanapun baru kali ini aku kenal kau, meski kau adalah tuan penolongku!" "Ah,
jangan sebut-sebut soal pertolongan itu. Yang penting terangkan di mana
Nyoman Dwipa berada saat ini. Aku ingin bertemu dengan dia." "Kenapa ingin bertemu?" "Eh,
kau sangat curiga terhadapku! Dua sahabat ingin berternu apakah ada
larangan? Kalau aku seorang gadis cukup pantas kau tidak menyukai
pertemuanku dengan pemuda itu. Tapi toh aku ini laki-laki, sama seperti
Nyoman?!" "Kau tahu, sahabatku itu datang ke Denpasar untuk mencari musuh besarnya. Seorang pemuda yang telah membunuh kekasihnya . . . " "Dan
kau menduga aku orangnya yang menjadi musuh besar Nyoman Dwipa itu?!"
Wiro Sableng lantas tertawa gelakgelak. Lalu diceritakannya pada Luh
Bayan Sarti bagaimana pertama kali dia bertemu dengan Nyoman dan
sama-sama bertempur melawan Ki Sawer Balangnipa. "Justru aku dalam
perjalanan ke Denpasar mencari dia untuk menanyakan bagaimana
penyelesaian persoalannya itu." "Kalau begitu kita sama-sama saja ke
Denpasar," kata Luh Bayan Sarti. Wiro menyetujui. Kedua orang itu
kemudian berangkat ke Denpasar.
***
Mereka
sampai di Denpasar menjelang tengah malam. Penginapan sunyi senyap,
hanya dibeberapa bagian saja kelihatan lampu masih menyala. Seorang
pelayan membukakan pintu depan sewaktu diketuk oleh Luh Bayan Sarti.
Setengah mengantuk, pelayan itu berkata. "Semua kamar terisi. Harap cari
saja penginapan lain." "Aku memang menginap di sini sebelumnya," jawab Luh Bayan Sarti. Diterangkannya bahwa dia dari luar kota menemui seorang kawan. "Dan saudara ini …?" tanya pelayan seraya menunjuk pada Wiro Sableng. "Dia bisa tidur sekamar dengan kawanku yang juga sama-sama menginap di sini." sahut Luh Bayan Sarti. Pelayan
penginapan kemudian membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan kedua
orang itu masuk. Nyoman Dwipa saat itu belum tidur. Dia duduk di tepi
pembaringan dalam kamarnya penuh gelisah memikirkan Luh Bayan Sarti yang
lenyap tak tahu ke mana perginya. Dalam kegelisahan itu pemuda ini
mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati kamarnya. Dia menyangka
itu adalah langkah tamu yang menginap dipenginapan itu dan hendak pergi
ke belakang. Tapi dia jadi terkejut sewaktu pintu kamarnya diketuk orang
dari luar. Begitu pintu dibuka kejut Nyoman Dwipa lebih lagi karena
yang berdiri diambang pintu adalah Luh Bayan Sarti sendiri dan
dibelakang gadis itu dilihatnya berdiri Wiro Sableng! Rasa terkejut
Nyoman Dwipa sesaat kemudian berubah menjadi kegembiraan. Karena kurang
baik bicara bertiga-tigaan di dalam kamar maka Nyoman mengajak kedua
orang itu ke tempat penerimaan tamu dan di sini dia minta agar Luh Bayan
Sarti menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Bukan main
geram dan marahnya Nyoman Dwipa sewaktu mendengar bahwa Ki Sawer
Balangnipalah yang telah membuat gara-gara, menculik Luh Bayan Sarti dan
hampir berhasil merusak kehormatan gadis itu jika sekiranya Wiro
Sableng tidak kebetulan lewat di depan kuil tua dalam perjalanannya ke
Denpasar. "Bangsat bermuka ular itu tidak sukar untuk mencarinya,"
kata Wiro. "Tapi bagaimanakah persoalanmu dengan orang yang bernama
Tjokorda Gde Djantra itu … ?" "Sebenarnya aku bermaksud mengadakan
penyelidikan malam ini jika saja tidak terjadi peristiwa yang menimpa
Luh Bayan Sarti. Besok pagi akan segera kucari keterangan di mana tempat
kediamannya! Bagaimanapun nyawa busuk manusia yang satu itu tak bakal
lepas dari kematian!" Karena hari sudah jauh malam ketiga orang itu
meninggalkan ruang tamu. Luh Bayan Sarti kembali ke kamarnya sedang Wiro
menumpang tidur di kamarnya Nyoman Dwipa.
MENJELANG
Dinihari hujan rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara
bukan alang kepalang membuat setiap orang yang seharusnya sudah bangun
saat itu, menyelimuti tubuhnya kembali dan meneruskan tidur. Beberapa
saat kemudian fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang
surya di sebelah timur hujan rintik-rintikpun berhenti. Udara kini
kelihatan cerah terang benderang. Suasana dingin diganti dengan
kehangatan sinar sang surya yang segar. Di jalanjalan dalam kota
Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan kendaraan-kendaraan
yang lalu lintas. Di bagian barat kota dua orang pemuda dan seorang
gadis kelihatan melangkah cepat menuju ke pusat Denpasar yang ramai.
Gadis berpakaian hitam bukan lain adalah Luh Bayan Sarti. Pemuda yang
berpakaian putih ialah Pendekar 212 Wiro Sableng. Kecantikan paras
Luh Bayan Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan rambut
yang menjela bahu dari Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi perhatian
setiap orang yang memapasi mereka. Kebanyakan orang segera memaklumi
bahwa ketiga orang muda itu adalah orang-orang dari dunia persilatan.
Menyaksikan orang-orang persilatan di dalam kota Denpasar bukan soal
baru lagi karena memang banyak dari mereka yang memasuki kota untuk
mengurus keperluan. Bahkan di Denpasar sendiri terdapat beberapa
perguruan silat sedang di luar kota terletak sebuah gedung besar tempat
berkumpul tokohtokoh silat yang terkenal di kota itu dan dari lain-lain
kota di Pulau Bali. Nyoman Dwipa telah mendapatkan keterangan dimana
letak rumah kediaman musuh besarnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra.
Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari itu. Pintu halaman yang
merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung kediaman Tjokorda Gde
Djantra masih dikunci. "Kita dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang besar itu dengan kaki kanannya. "Jangan!"
kata Wiro cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa
di Denpasar ini terdapat juga tokohtokoh silat klas satu …" "Siapa takutkan mereka?!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran untuk segera melampiaskan dendam kesumatnya. "Bukan
itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau
berhasil membalaskan sakit hatimu, berarti cukup besar juga halangan
bagimu. Sebaiknya selagi tak ada orang sekitar sini kita melompat saja.
Tembok itu tak seberapa tinggi." Nyoman menyetujui pendapat Wiro.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh masing-masing ketiga orang
itupun melompati tembok dan sampai di halaman dalam tanpa kaki-kaki
mereka menimbulkan suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah. Gedung
besar tempat kediaman Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi
senyap. Mungkin penghuninya masih tidur. Namun saat itu pintu samping
tiba-tiba terbuka dan seorang laki-laki separuh baya berpakaian bagus
muncul membawa dua ekor ayam jago yang dikempit di ketiak kiri kanan.
Orang ini menghentikan langkah dan memandang heran campur kaget pada
Nyoman Dwipa dan dua orang lainnya. Dia mengerling sekilas pada pintu
gerbang dan jelas dilihatnya pintu itu masih dipalang dari dalam. Tak
dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu pasti memasuki halaman
gedung dengan jalan melompat. "Orang-orang muda, kalian siapa?!" orang ini bertanya. "Katakan dulu dengan siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa. "Aku Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini." Rahang
Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau
bangsawan yang bernama Tjokorda Gde Anjer itu …?" ucapan ini disertai
dengan suara mendengus. "Harap kalian menerangkan siapa kalian adanya
dan punya maksud apa memasuki rumah orang pagi-pagi begini secara tidak
terhormat?!" Nyoman Dwipa menyeringai. "Rupanya kau masih memandang
tinggi nilai-nilai kehormatan, Gde Anjer!" ParasTjokorda Gde Anjer
berubah. "Apa maksudmu, orang muda?" dia bertanya. "Masih ingat
pembunuhan yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa orang
kawan-kawannya sekitar lima bulan yang lewat?!" Tjokorda Gde Anjer
terkejut. Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama
sekali tak diduganya. Sesudah peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan
ini merasa menyesal sekali. Dan hari ini muncul seorang pemuda dengan
dua orang kawannya mengungkap kembali persoalan yang sebenarnya sudah
dilupakannya, sekurang-kurangnya diusahakannya untuk melupakan! "Apa
sangkut pautmu dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan
tersebut. Matanya mengawasi ketiga orang itu terutama Nyoman Dwipa.
"Apakah kau anaknya I Krambangan yang datang untuk menuntut balas?!" "Jadi kau siapa?!" "Pembalasan
juga bisa dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar
Tjokorda Gde Anjer?! Hari ini kebenaran datang untuk minta tanggung
jawab atas nyawa-nyawa manusia yang pernah kau bunuh lima bulan yang
lalu itu!" "Kalau kau tak ada sangkut pautnya, dengan peristiwa itu
mengapa kini kau muncul untuk minta pertanggungan jawab segala?!" ujar
Tjokorda Gde Anjer. "Setiap kebenaran selalu mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman Dwipa seraya melontarkan senyum mengejek. Tjokorda
Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang
diapun berkata: "Sebenarnya aku menyesal terjadinya hal itu. Tapi
keadaan memaksaku untuk berbuat begitu …" "Penyesalan selalu datang
terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya bukan
penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula. Ucapan-ucapan yang dilontarkan
Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-pukulan berat yang
menghunjam bathin bangsawan itu. "Sekarang apa maumu orang muda?!" "Apakah
kau sebagai seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk
bertempur sampai beberapa puluh jurus guna mempertanggungjawabkan
perbuatanmu tempo hari?!" Tjokorda Gde Anjer tertawa getir. Sebagai
jawaban bangsawan itu melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi
dikempitnya. "Sebelum kita bertempur katakan dulu siapa kau adanya!" "Namaku Nyoman Dwipa. I Krambangan adalah calon mertuaku . . . " "Cuma baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa menjadi merah. "Kedatanganku
ke sini juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra.
Karena dialah kekasihku menemui kematian setelah sebelumnya dirusak
kehormatannya! Di mana anakmu itu sekarang?!" Tjokorda Gde Anjer
memutar otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di Gedung
Putih. Jika kau punya nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika
seandainya kau masih punya nyawa setelah bertempur denganku!" Nyoman
Dwipa tertawa menggeram lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda
Gde Anjer sendiri segera pula mencabut senjatanya yaitu sebilah keris
kuning ber-eluk duabelas. "Apakah kau akan maju bertiga?!" tanya bangsawan itu. "Aku
tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau
menghadapi I Krambangan bersama seorang kaki tanganmu. Kalau dia ada di
sini cepat panggil biar dapat kubereskan sekaligus!" "Jangan terlalu congkak orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa kau hadapi! Mulailah!" "Kau yang hendak mampus silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh penasaran karena ucapan ayah musuh besamya itu. Senyum
mengejek lenyap dari bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini
menerjang kemuka. Keris di tangan kanan berkelebat dan menderu ke arah
dada Nyoman Dwipa lalu membabat ketenggorokan dengan teramat cepatnya
hingga hanya sinar senjata itu saja yang kelihatan! Sungguh hebat
serangan yang dikeluarkan Tjokorda Gde Anjer ini. Itu adalah jurus
serangan yang bernama "menusuk bukit membabat puncak gunung". Dengan
mengeluarkan jurus itu dia berharap akan membuat si pemuda kepepet
demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua yang
mematikan! Nyoman Dwipa meskipun muda belia dan belum punya
pengalaman apa-apa dalam dunia persilatan tapi dia adalah murid
gemblengan Menak Putuwengi. Serangan dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak
membuatnya jadi gugup apalagi kepepet! Dengan membuat langkah mengelak
ke samping dia berhasil membuat serangan lawan mengenai tempat kosong. Dan
di saat itu pula dengan kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas
menyerang. Tongkat bambu kuningnya bersiuran dafr tahu-tahu ujungnya
menusuk ke perut lawan. Tjokorda Gde Anjer terkejut bukan main hingga
dia terpaksa membatalkan serangan susulannya yang sudah direncanakan
tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya menyapukan kerisnya ke muka
dengan sebat sengaja memapas jalannya senjata lawan dengan maksud
memotongnya jadi dua! Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu untuk meneruskan
tusukannya ke perut lawan hingga sesaat kemudian bambu dan keris itupun
saling bentrokanlah! Tangan kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar hebat.
Bukan saja kerisnya tak sanggup membabat buntung bambu kuning itu tapi
senjatanya sendiri hampir terlepas mental karena licinnya bambu dan
kerasnya bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer memercikkan keringat
dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang menjadi lawannya
memiliki tenaga dalam yang ampuh dan tidak dinyananya senjata lawan yang
cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya sebuah senjata yang tak bisa
dibuat main! Menyadari semua itu Tjokorda Gde Anjer tanpa menunggu
lebih lama segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang terhebat.
Kerisnya mencuit-cuit di udara, tubuhnya lenyap merupakan bayang-bayang.
Di lain pihak dengan mengertakkan geraham Nyoman Dwipa mempercepat pula
gerakannya. Dalam tempo yang singkat belasan jurus telah berlalu. Sinar
bamboo kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar itu semakin rapat
mengurung tubuh Tjokorda Gde Anjer. Pada jurus keduapuluh lima Nyoman
Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin dan merasa tak ada gunanya
lagi dia bertempur lebih lama dengan lawannya itu. Diiringi oleh satu
hentakan yang menggeledek dan menyirapkan darah Tjokorda Gde Anjer,
bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran
lalu laksana kilat menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer! Tjokorda Gde
Anjer terpekik! Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang
kedua tangannya memegangi perutnya yang robek besar dan memancurkan
darah. Sekali lagi bangsawan ini menjerit lalu tubuhnya tergelimpang
roboh di tanah, ususnya menggelegak membusai keluar! Di saat itu pula
diambang pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda
Gde Anjer. Perempuan ini menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya yang
saat itu megap-megap menuju sakarat! Pemandangan itu benar-benar
menyayat hati. Namun semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan
hiduplah yang menghendakinya!
KEMANA kita sekarang?" Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari gedung kediaman Tjokorda Gde Anjer. "Ke Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya. "Tunggu
dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu
hingga sesuatu perasaan aneh menyamak di hati Nyoman. Karena di situ ada
Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman lantas menarik
lengannya. "Ada apa?" tanya Nyoman Dwipa pula. "Sebaiknya kita jangan pergi kesana, Nyoman…" "Memangnya kenapa? Justru musuh besarku berada di sana!" "Aku mengerti. Kita tunggu saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru membuat perhitungan. Pergi ke sana besar bahayanya!" Nyoman tertawa. "Aku
memang pemah mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng.
"Di situ tempar berhimpunnya tokohtokoh silat kawakan di seluruh Bali.
Jika Tjokorda Gde Djantra berada di situ pasti di sana terdapat pula
beberapa tokoh silat temama lainnya . . ." "Aku tidak takut masuk ke sana!" kata Nyoman. "Memang, hitung-hitung untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling pada Luh Bayan Sarti. "Aku
cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman
sebelum dia sempat membalaskan sakit hatinya terhadap Tjokorda Gde
Djantra …. " Wiro tersenyum kecil. "Sepatutnya kau mengawatirkan
keselamatannya, Sarti!" kata Pendekar ini sehingga baik Nyoman maupun
gadis itu menjadi sama-sama kemerahan paras mereka. Tanpa banyak
perdebatan lagi akhirnya ketiga orang itupun meianjutkan perjalanan.
Gedung Putih adalah sebuah gedung besar yang terletak di luar kota
sebelah tenggara. Seperti yang diketahui oleh Wiro Sableng, memang
gedung itu manjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama bahkan juga
menjadi tempat menguji kepandaian serta tempat memberikan latihan ilmu
silat tingkat tinggi kepada orang-orang yang menjadi anggota Gedung
Putih. Salah seorang di antaranya adalah Tjokorda Gde Djantra.
Meskipun pemuda ini sudah tinggi ilmu silatnya tapi dari beberapa tokoh
silat lainnya dia masih memerlukan untuk menambah pelajaran silatnya
hingga dibandingkan dengan waktu lima bulan yang lalu kepandaian pemuda
ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak satu minggu Tjokorda Gde Djantra
berada di Gedung Putih menerima latihan-latihan dari beberapa tokoh
silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta kawan-kawannya menuju. Sesungguhnya
keterangan Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada di
Gedung Putih adalah mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu
dikatakannya dengan keyakinan bahwa kelak Nyoman Dwipa betul-betul akan
pergi ke sana. Dan pergi ke sana berarti sama saja masuk ke dalam
perangkap karena di Gedung Putih banyak sekali tokohtokoh silat klas
satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat dipastikan bahwa Nyoman
Dwipa akan menemui kematiannya kalau berani masuk ke Gedung Putih! Di
satu pendataran tinggi ketiganya berhenti. Luh Bayan Sarti menunjuk
ke bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan besar yang
keseluruhannya berwarna putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar
matahari. "Itulah Gedung Putih" kata gadis itu. Nyoman memandang dengan mata disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya, "makin cepat kita sampai di sana makin baik!" Dengan
mempergunakan ilmu lari cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi
menuju ke Gedung Putih. Kira-kira setengah peminuman teh merekapun
sampai di hadapan gedung besar itu. Dua orang laki-laki yang berdiri di
ambang pintu gedung yang tertutup menyambut kedatangan mereka. Salah
seorang di antaranya setelah melirik dulu pada Luh Bayan Sarti bertanya
dengan nada keren. "Siapa kalian dan maksudapa datang ke mari?!" Nyoman Dwipa yang sudah berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro Sableng yang berotak cerdik cepat mendahului. "Kami bertiga mencari sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra." Karena
di antara mereka terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua
orang penjaga pintu tidak menjadi curiga malah kini menunjukkan sikap
hormat. Nyatalah bahwa Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih
itu. "Sahabat yang kau cari memang berada di dalam. Tapi harap kau
rnenunggu sampai nanti siang atau kembali saja nanti siang jika ingin
bertemu dengan dia…." "Agaknya ada pertemuan penting di dalam gedung?" tanya Wiro. "Betul.
Di dalam tengah diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan
Tjokorda Gde Djantra adalah Ketua Panitia Pemilihan. Pemilihan baru
selesai siang nanti, jadi kalian bertiga kembali saja nanti siang kalau
sekiranya tak bersedia menunggu di sini." "Karena kami datang dari
jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng seraya
menggaruk-garuk kepala dan memandang berkeliling pura-pura mencari
tempat duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali bergerak
saja Wiro berhasil menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara.
Kedua orang itu kemudian dilemparkan ke balik sebuah gundukan tanah yang
terdapat tak jauh dari pintu depan tersebut. Dengan mudah pintu
besar dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh Bayan
Sarti dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan
yang bagus berperabotan mewah tapi di situ sunyi senyap tak seorangpun
yang kelihatan. Di ujung ruangan membentang sebuah tirai biru. Ketiganya
melangkah tanpa suara ke dekat tirai ini dan Nyoman menyibakkan ujung
tirai sedikit, memandang ke ruangan di balik sana. Dilihatnya sebuah
tangga batu mar-mar yang menuju ke sebuah pintu kayu jati yang
berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu berdiri dua orang
laki-laki berpakaian putih, bersenjatakan masing-masing sebilah pedang.
Di samping mereka terdapat sebuah gong besar yang terbuat dari perunggu.
Sebuah pemukul tergantung di samping gong. Wiro tengah memikirkan
satu akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia mempunyai
pikiran bahwa gong yang terletak di samping keduanya adalah gong tanda
bahaya. Namun sebelum dapat akal, Nyoman sudah menyibakkan tirai dan
melangkah cepat ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan
Sarti cepat-cepat mengikuti. "Hai siapa kalian?!" seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya cepat bergerak ke hulu pedang. "Jangan bertindak ceroboh Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab pertanyaannya! Wiro
lantas maju ke hadapan kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu
berkata, "Dua orang kawanmu di luar sana telah mengizinkan kami untuk
masuk ke dalam menemui Tjokorda Gde Djantra!" "Tak mungkin!" kata
penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih telah diberi tahu
untuk tidak memberi izin masuk siapapun …" lalu dia melangkah mendekati
gong perunggu. "Teman-temanmu juga bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang membawa gadis ini mereka telah memberi izin." "Siapa gadis ini?!" "Kekasih
Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian
tidak memberi izin menemuinya kelak kalian berdua akan kena damprat dari
Tjokorda Gde Djantra . . . " Kedua penjaga itu saling pandang
seakan-akan meminta persetujuan masing-masing apakah memberi izin masuk
terhadap ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro Sableng untuk
melompat ke muka dan menotok urat besar di dada kedua penjaga tersebut
hingga mereka berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku
tegang di tempatnya masingmasing! Di ruangan di balik pintu kayu jati … Dua
puluh orang tokoh-tokoh silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah
meja besar. Di ujung meja berdiri seorang pemuda yang bukan lain
Tjokorda Gde Djantra adanya. Di hadapannya terdapat sebuah kotak kayu
yang beriobang bagian atasnya. Ke dalam kotak itulah nanti akan
dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan nama calon. Ketua Gedung
Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru saja hendak
membuka suara ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar terbuka dan
tiga sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur
paras Nyornan Dwipa yang segera dikenalnya, terkaejutlah dia! Kemunculan
ketiga orang itu tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi
semua orang yang ada di ruangan pemilihan tersebut. Bagaimana
penjaga-penjaga di luar berani-beranian mengizinkan mereka masuk? Atau
mungkin ketiga orang ini telah mempreteli penjaga-penjaga Gedung Putih?!
Dan melihat kepada gerak-gerik ketiganya nyatalah bahwa mereka
orangorang dari dunia persilatan! "Para hadirin yang ada di sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu acara di sini… " "Kunyuk-kunyuk
kotor! Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!"
membentak seorang kakek-kakek berjubah putih bernama Prakata Gandara,
Dia adalah ketua Gedung Putih yang segera akan meletakkan jabatannya
bila calon Ketua baru terpilih. Wiro berpaling dan menjura pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum seenaknya. "Orang
tua, kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada
urusan buruk dengan kau orang tua maupun dengan yang lain-lainnya,
kecuali kawanku ini mempunyai silang sengketa dendam kesumat dengan
seorang pemuda bemama Tjokorda Gde Djantra yang katanya berada di sini!" Semua
mata memandang pada Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde
Djantra yang saat itu berdiri tak bergerak di ujung meja besar seraya
matanya memandang bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan penuh tanda tanya
Bukankah dulu dia telah bertempur melawan pemuda ini dan telah mengirim
Nyoman Dwipa ke dasar jurang?! Tapi kenapa sekarang hidup lagi dan
datang bersama dua orang tak dikenal lainnya?! Benar-benar dia tak
mengerti dan tak bisa percaya!. Sementara itu Luh Bayan Sarti yang
memandang berkeliling telah melihat pula Ki Sawer Balangnipa diantara
para hadirin sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia segera
menyambungi, "Aku sendiri juga mempunyai seorang musuh besar pula
diantara para hadirin! Itu … manusia yang punya tampang macam ular!" Merahlah
paras Ki Sawer Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya
dan membentak, "Gadis! Kau mencari mati berani masuk ke sini bersama
kawan-kawanmu!" Prakata Gandara berdiri dari kursinya dan berpaling
pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah dendam kesumat apa yang kau pendam
terhadap salah seorang anggota Gedung Putih!" "Aku tidak mendendam
dia sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia busuk yang
bemama Tjokorda Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula. "Baik, katakan urusanmu hingga kami di sini bisa memutuskan langkah selanjutnya!" ujar Prakata Gandara. "Dia
telah menculik calon istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu
akhirnya mati bunuh diri secara penasaran!" jawab Nyoman Dwipa tanpa
tedeng aling-aling. "Betul?!" tanya Prakata Gandara pada Tjokorda Gde Djantra. "Ketua,
aku menculik anak gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk
mengawininya. Dan cara itu sudah menjadi adat kebiasaan di Pulau Bali
ini!" sahut Tjokorda Gde Djantra. "Lidahmu tidak bertulang pemuda
busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau kau bemiat baik
terhadap gadis itu setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau
tinggalkan busuk di tepi telaga? Dan kau juga punya hutang jiwa yang
belum terselesaikan terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman Dwipa. "Dan
kau gadis cantik, apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau
berani datang ke sini dan menghinanya di depan mata hidung kami?!" "Menghina
ular tua itu bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang
benar-benar berjiwa satria dan berhati polos! Aku datang menginginkan
jiwanya karena beberapa hari yang lalu dia menculik dan hendak
memperkosaku!" Ki Sawer Balangnipa berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat sebelum Prakata Gandara menanyainya: "Ketua,
pertama sekali ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di
sini bahwa gadis berbaju hitam ini bukan lain Luh Bayan Sarti, adik
kandung perampok ganas yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit
Jaratan! Puluhan manusia tak berdosa telah mati di tangan rampok
perempuan ini serta kakaknya. Tak terhingga banyaknya harta kekayaan
Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa sebaiknya kita cepat-cepat membekuknya
dan menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan saja berarti kita membuati
pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk batang
leher kakaknya!" "Soal mencari pahala untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam kesumat itu selesai Ki Sawer!" kata
Wiro Sableng mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya
rapat-rapat penuh geram. Dia sudah tahu kelihayan Pendekar kita,
karenanya dia saat itu hanya mengutuk dalam hati habis-habisan. Prakata
Gandara berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda
rambut gondrong? Apakah juga punya urusan dendam kesumat dengan salah
seorang di sini?!" "Ah, aku orang buruk ini cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro Sableng. "Kalau
kau cuma kacung pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata
Gandara. Disemprot begitu Wiro Sableng ganda tertawa dan keluarkan suara
bersiulan! Kejut Ketua Gedung Putih dan semua orang di situ bukan main
karena suara siulan Wiro Sableng yang cuma terdengar pelahan itu tapi
menyakitkan liang telinga mereka! Maklumlah semua orang kalau pemuda
berambut gondrong bertampang tolol itu memiliki ilmu tinggi. Prakata
Gandara membuka mulut kembali. "Karena nyatanya memang ada
anggota-anggota Gedung Putih yang membuat sedikit kesalahan di luaran
maka biarlah aku dan para toa Gedung Putih yang akan menjatuhkan hukuman
setimpal atas diri mereka!" Nyoman tersenyum mendengar ucapan cerdik
orang tua itu. "Terima kasih Ketua Gedung Putih yang mau turun tangan
terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami ke sini bukan untuk
memintamu untuk berbuat begitu, melainkan untuk turun tangan sendiri." "Baiklah
jika memang demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan
kanannya diangkat ke arah sebuah tirai merah di ujung ruangan. Jarak
antara tirai dan tempatnya berdiri sekira dua puluh langkah tapi
hebatnya dengan kekuatan tenaga dalamnya Prakata Gandara berhasil
menyibakkan tirai tersebut hingga di seberang sana kelihatanlah sebuah
panggung datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang seraya tersenyum
pada Nyoman Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap menunggu. Tapi terus
terang saja sebagai orang-orang Gedung Putih, semua kami di sini tentu
tak akan berlepas tangan saja …" "Kalau begitu naga-naganya,"
menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala, "sebagai kacung yang
buruk tentu aku tidak pula bisa berpangku tangan!" Habis berkata begitu
Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke arena. Dan mengikuti tindakan
pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata mereka. Betapakan
tidak! Setiap langkah yang dibuat Wiro, setiap kakinya menginjak batu
mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman dalam
bentuk telapak-telapak kakinya! Wiro Sableng sampai di atas arena
batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman Dwipa sudah berada pula di
sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi tercekat juga hatinya.
Pemuda gondrong bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi bukan main,
apalagi yang bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di
antara ketiga manusia yang berdiri di arena itu justru Wiro Sablenglah
yang paling berbahaya! "Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui ayahmu lebih cepat!" seru Nyoman Dwipa. Terkejutlah Tjokorda Gde Djantra mendengar ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau perbuat terhadap ayahku?!" teriaknya. "Bapak
moyangmu itu bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa
orang kawannya! Aku telah mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa
bapakmu, mengerti?!" "Anjing kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra dan
melompat ke atas arena. Selarik sinar kuning menderu ke arah Nyoman
Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk tujuh belas di tangan
Tjokorda Gde Djantra. Di saat yang hampir bersamaan, selarik sinar
kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran tongkat bambu
kuning milik Nyoman Dwipa. Tjokorda Gde Djantra terkejut dan tak
menduga bahwa lawannya telah mengalami kemajuan tinggi. Sinar kuning
senjata memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir saja ujung bambu
kuning itu menghantam pergelangan tangannya! Segera Gde Djantra
mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja
selaksa angin. Dengan pukulan itulah dia tempo hari telah melemparkan
Nyoman Dwipa ke dalam jurang! Nyoman Dwipa yang pernah di serang oleh
pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia sewaktu dilihatnya lawan
menarik tangan kiri ke belakang. Pada saat Gde Djantra memukul ke
depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan hantaman tangan kiri.
Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat
selarik sinar putih. Itulah pukulan "selendang dewa melanglang bumi"
yang dipe!ajarinya dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan
sakti ini memusnahkan pukulan "raja selaksa angin" tapi sinar putih
terus meluncur dan melibat ke arah batang leher Tjokorda Gde Djantra!
Yang diserang kaget bukan main dan cepat membuang diri ke samping, justu
saat itu tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa datang menderu ke arah
kepalanya! Dalam saat yang kritis ini satu sambaran angin datang dari
samping hingga tongkat Nyoman Dwipa melenting ke kiri dan selamatlah
kepala Tjokorda Gde Djantra! Berbarengan dengan itu terdengar bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau main kayu mari hadapi aku!" Prakata
Gandara menggeram. Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan
menyelamatkan nyawa Tjokorda Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh
Wiro marahlah dia dan dengan gerakan amat enteng melompat ke atas arena.
Begitu sampai di atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung lengan jubah
putihnya. Ujung lengan jubah ini sengaja dibuat amat lebar dan
merupakan senjata ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu. Sambaran ujung
lengan keras sekali dan mengarah jalan darah di dada Wiro Sableng.
Sambil tertawa mengejek pendekar 212 berkelit ke sarang dan dalam
gerakan yang tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong ke muka! Kalau
saja Prakata Gandara tidak lekas-lekas menarik tangannya pastilah ujung
lengan jubahnya kena direnggut robek olen Wiro! Disamping geram orang
tua itu juga kaget sekali. Serangannya tadi bukan serangan sembarangan.
Angin kebutan lengan jubah saja sanggup memukul bobol tembok batu, tapi
lavwannya yang bertampang tolol itu bisa mengelak bahkan balas
menyerang. Tak ayal lagi Ketua Gedung Putih ini segera mencabut
senjatanya yang teramat aneh yaitu sebuah lonceng perak! Begitu
lonceng tersebut berada di tangannya maka menggemalah suara
berkelenengan yang memekakkan dan menyakitkan telinga. Lonceng itu
sendiri yang lingkaran luarnya tajam luar biasa, berkeltbat kian kemari
menggempur Wiro Sableng dari delapan jurus! Menghadapi suara lonceng
yang klanang-kleneng itu Wiro merasa bagaimana satu kekuatan yang tak
kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak leluasa. Permainan
silatnya menjadi kacau sedang te!inganya tambah sakit! Di situ;ah
kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera
tutup jalan pendengarannya. Tapi anehnya suara klanang-kleneng lonceng
perak tersebut semakin keras! "Sialan!" maki Wiro. Dari
tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat semua orang yang ada
di situ merasakan dada, masing-masing berdebar. Begitu bentakan berakhir
tubuh Wiro lenyap dan kini terdengarlah suara siulan yang amat tajam
membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan
dan gema lonceng berkecamuk hebat! Namun lambat laun kentara bagaimana
suara klanang-kleneng lonceng perak di tangan Prakata Gandara menjadi
sirna di telan suara siulan Pendekar 212 Wiro Sableng. Di bagian yang
lain pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra
berkecamuk dengan hebatnya. Murid Sorablunohling dan Menak Putuwengi
saling keluarkan kepandaian untuk dapat merobohkan lawan masing-masing.
Saat itu pertempuran telah berlangsung hampir lima puluh jurus.
Sebenarnya nyali Tjokorda Gde Djantra telah menciut sewaktu melihat
bagaimana pukulan "raja selaksa angin" tidak sanggup merobohkan lawannya
padahal di samping permainan silatnya yang tinggi, pukulan itu adalah
kekuatannya yang sangat diandalkan! Nyalinya tambah meleleh sewaktu
jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat tekanan-tekanan serangan
yang hebat dari lawannya. Karena menang pengalamanlah dia masih bisa
bertahan sampai jurus yang kelima puluh! Pada jurus kelima puluh dua,
Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat "raja tongkat
empat penjuru angin" yang paling hebat hingga Tjokorda Gde Djantra
semakin kepepet dan musti bertahan mati-matian! Pertempuran antara
Wiro dan Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua Gedung Putih,
Prataka Gandara merasa telah luntur namanya karena sebegitu jauh
jangankan sanggup untuk merobohkan lawannya, bahkan dirinya sendiri
mulai sibuk menghadapi serangan lawannya yang sampai saat itu masih
bertangan kosong! Tiba-tiba terdenyar seruan Ki Sawer Balangnipa. "Saudara-saudara
sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita berpangku
tangan saja?! Mari berebut pahala melenyapkan pengacau-pengacau ini!" Mendengar
seruan itu, semua orang yang ada di situ segera cabut senjata dan
laksana air bah menyerbu ke atas arena! Sebenarnya jika bukan dalam
keadaan terdesak tentu saja Prataka Gandara tidak sudi main keroyok
begitu rupa. Tapi karena maklum dalam sepuluh jurus di muka belum tentu
dia bisa bertahan maka serbuan orang-orang itu malah menggembirakannya! "Bangsat rendah, berani main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti. Pedangnya menderu ke arah Ki Sawer Balangnipa. "Bergundal
perempuan! Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah
lapang luas!" bentak Ki Sawer Balangnipa. Di tangan kirinya kini
tergenggam sebuah ular kering yang rupanya baru saja dibuatnya.
Betapapun hebatnya dan besarnya keberanian gadis itu namun tentu saja Ki
Sawer Balangnipa bukan lawannya. Apalagi beberapa orang anggota Gedung
Putih yang berkepandaian tinggi ikut pula membantu manusia bermuka Ular
itu! Wiro Sableng tidak mengira kalau lawan betul-betul mau main
keroyok! Ketika didengarnya komando Ki Sawer Balangnipa dan dilihatnya
semua orang yang ada di situ menyerbu ke atas arena, menggelegaklah
amarah Pendekar 212 Wiro Sableng! Tangan kanannya bergerak kepinggang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara menggaung macam ribuan tawon
mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan melompat mundur. Yang
satu tangannya terbabat buntung, seorang lagi memegangi dadarya yang
mandi darah! Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak Maut Naga
Geni 212 di tangan Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian
keduanya roboh di lantai arena tanpa nyawa lagi! Kejut Prataka
Gandara dan semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang yang
menemui kematian itu adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya!
Namun dalam satu kali gebrakan saja senjata lawan telah membuat mereka
meregang nyawa! "Kurung yang rapat!" teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng peraknya. "Trang!" Ketua
Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya
berlumuran darah! Gemparlah semua orang! Celaka pikir mereka. Kalau
Ketua mereka bisa mendapat cidera begitu rupa adalah gila untuk
meneruskan pertempuran. Tapi untuk mengundurkan diri tentu saja mereka
tidak berani. Prataka Gandara keluar dari kalangan pertempuran dan
berdiri di sudut arena sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Dia telah
menelan dua butir pil namun hawa panas, yang mengalir dari luka di
tangan kanannya tak kuasa dibendungnya. Akhirnya sebelum hawa maut itu
mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan tangan kirinya untuk
membetot seluruh lengan kanannya. "Krak"! Tanggallah lengan kanan Ketua Gedung Putih itu. Di
atas arena Wiro Sableng mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus
bergerak cepat untuk dapat melindungi kedua kawannya terutama Luh Bayan
Sarti dari keroyokan orang-orang itu. Dalam tempo singkat tokoh-tokoh
Gedung Putih roboh satu demi satu menemui kematiannya dalam keadaan yang
mengerikan. Melihat korban pihaknya yang semakin lama semakin banyak
jatuh sedang dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, Prataka Gandara
memberi isyarat. Mereka yang melihat isyarat ini segera mengikutinya
lari meninggalkan ruangan itu! "Siapa yang mau lari silahkan!" seru
Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra dan Ki
Sawer Balangnipa!". Habis berseru begitu pendekar ini melompat ke ambang
pintu dan menghadang hingga tak seorangpun yang berani mendekati pintu
itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda Gde Diantra sudah
terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki Sawer Balangnipa
sudah melompat dan kalangan tempuran dan berdiri di belakang Ketua
Gedung tih yang luka parah dengan muka pucat pasi. Tiba-tiba
terdengar jeritan Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata ditujukan
ke atas sana. Kelihatan bagaimana Tjokorda Gde Djantra memegangi
kepalanya dengan tubuh terhuyung-huyung. Darah mengucur dari keningnya
yang pecah dihantam ujung tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu
macam orang kemasukan setan lari sana lari sini hingga akhirnya kedua
kakinya menekuk dan tubuhnya roboh ke lantai, masih berkutik-kutik
beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi tanda nyawanya lepas sudah! Suasana
di ruangan itu sesunyi dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga
Wiro, Luh Bayan Sarti dan Nyoman sendiri diam-diam merasa ngeri melihat
detik-detik kematian Tjokorda Gde Djantra tadi! Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro Sableng seraya menangis tersedusedu. "Pendekar gagah! Aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki bertampang ular itu. "Soal
ampun jangan minta padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya
tertawa lalu dia berpaling pada Prataka Gandara dan delapan orang tokoh
Gedung Putih lainnya yang masih hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan
kuharap berlalu dari sinil". Meski marah dan penasarannya bukan
main, namun Ketua Gedung Putih saat itu benar-benar mati kutu. Tanpa
banyak bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan ruangan itu. Sesudah semua orang pergi Ki Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis di hadapan Wiro. "Manusia banci! Bangun! Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng. Ki
Sawer Balangnipa bangun perlahan-lahan tapi masih menangis dan
berkali-kali mohon ampun pada Wiro dan Luh Bayan Sarti, juga pada
Nyoman. Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju dan berkata, "Manusia macammu
tak layak hidup lebih lama. Tak ada gunanya kau meratap minta ampun!" Ki
Sawer Balangnipa menggerung lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh
Bayan Sarti, hingga lemah juga hati gadis ini pada akhirnya. "Kuampuni
jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa
kau benarbenar tidak akan berbuat kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh
Bayan Sarti bergerak kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki Sawer
Balangnipa hingga manusia itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki
Sawer Balangnipa menjerit kesakitan dan terhampar di lantai. "Sekarang kau pergilah sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti. Ki
Sawer Balangnipa berdiri -dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan
itu dengan langkah huyung serta mulut tiada henti mengelurkan rintihan
kesakitan!
***
Di puncak pedataran tinggi itu Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman Dwipa dan Luh Bayan Sarti. "Sahabat-sahabatku, aku tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja." Tentu saja ini tidak di sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke manakah, Wiro?" tanya Nyoman Dwipa. "Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . " "Tapi sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti. Wiro tertawa dan berkata pada Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang itu, Nyoman." "Eh, apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh Bayan Sarti memandang ke jurusan lain. Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti
kekasihmu yang hilang dulu, Nyoman. Apakah kau masih belum mengerti atau
pura-pura tidak mengerti?! Nah, selamat tinggal sahabat-sahabatku . . .
" Nyoman Dwipa hendak mengatakan sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada dua puluh tombak di
lereng pedataran. Nyoman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sahabat
baik seperti dia sukar dicari. Bahkan mengucapkan terima kasihpun aku
sampai lupa!" Luh Bayan Sarti menarik nafas dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah apa jadi diriku sekarang ini . . . " Dari
puncak pedataran itu keduanya memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang
lari cepat ke arah utara, makin lama makin kecil hingga akhirnya lenyap
di kejauhan. Nyoman memutar kepalanya pada saat mana Luh Bayan Sarti
berpaling pula kepadanya. Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan
seulas senyum sama-sama muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa menyadari
kini betulnya ucapan Wiro Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti
kekasihnya yang hilang itu.