LANGIT terang
cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung
pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat.
Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung seenaknya di satu
lamping gunung. Keterikan sinar matahari tiada diperdulikannya. Bahkan
sambil berjalan itu dia bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara
siulannya menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila
seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara siulan yang keras
tiada menentu itu, segera dia akan maklum bahwa orang yang mengeluarkan
siulan itu bukan lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Di satu tempat Wiro hentikan
langkahnya. Dia memandang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam
yang dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara dua buah
gunung menjulang tinggi laksana raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah
sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih
perak karena ditimpa sinar matahari. Wiro menyeka peluh yang mencucur
di keningnya dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. Setelah
puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan perjalanan
kembali dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga
dalam sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan
sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai
Bangkalan telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah
menjanjikan akan menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya. Memasuki
satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya.
Jalan di tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang
batu yang curam terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke
sana jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun dia hidup,
ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia! Dari memperlambat
larinya, tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan itu
dilihatnya duduk mencangkung seorang laki-laki tua berambut putih.
Badannya kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak ubah
seperti tengkorak atau jerangkong hidup! Yang membuat Wiro Sableng
heran ialah apa yang tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu.
Sambil duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah pigura kain
putih yang lebarnya satu meter sedang panjangnya hampir satu setengah
meter. Pigura kain putih itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas
terletak sehelai daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan
kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya. Si orang tua
membetulkan letak pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung
jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan
berwarna di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan cairan
berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di atas kain putih.
Demikian asyiknya sehingga dia tidak mengetahui agaknya bahwa dia tidak
sendirian berada di situ. Wiro terus memperhatikan dengan tak
bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya
dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa terkejutnya
Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian di atas kain putih itu, meski
belum begitu jelas, terlihat gambaran seorang perempuan tengah berbaring
di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang
tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga aneh! Lihai dan aneh
karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan
berwarna yang diletakkan di atas daun pisang dan di tempat sepi begitu
rupa, di bawah teriknya sinar matahari! Agar bisa memperhatikan lebih
jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng
melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua berdiri
dan mundur beberapa langkah untuk meneliti lukisannya. “Ah… bagus sekali… bagus sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti perempuan. Wiro
Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang
perempuan telanjang yang berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam
kamar yang bagus. Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela
ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup
pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati
Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai
daya cipta yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang
dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan senang melihat
lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan telanjang?
Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini?
Sementara itu si orang tua kelihatan menambah beberapa guratan pada
lukisannya. Wiro Sableng memperhatikan terus. Si orang tua tengah
menuliskan serangkaian kalimat pada sudut kanan sebelah bawah
lukisannya. Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin tahu
akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng hendak melompat turun.
Tapi niatnya dibatalkan karena di kejauhan didengarnya suara gemeletak
roda kereta meningkahi derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian
kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda
meluncur ke arah tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada empat
penunggang kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan
rombongan itu bergerak perlahan. Si orang tua masih juga asyik dengan
lukisannya. Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan derap
kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan tersebut berhenti di
tikungan, si orang tua masih saja tidak berpaling. Apakah dia tuli?
Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari kudanya. Dia memandang
sejenak pada lukisan yang tersandar di batu lalu dengan sikap hormat
menegur si orang tua. “Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit
agar kereta bisa lewat.” Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan
kanannya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melanjutkan
menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan lukisan. Prajurit
itu menduga si orang tua tuli. Maka dia melangkah ke samping dan menegur
lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si
orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak!
Dari dalam kereta terdengar suara seseorang. “Pengawal, ada apakah kereta berhenti?” “Kita
mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” jawab prajurit yang turun
dari kuda. Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki
berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan belangkon yang bagus.
Begitu sepasang mata laki-taki ini membentur lukisan di tepi jalan di
tikungan itu, maka tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari
kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya. “Lukisanmu luar biasa bagusnya,
orang tua,” kata lakilaki ini. Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh
jerangkong itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki
berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi pekerjaannya. “Orang
tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. Apakah kau sudi
menjualnya?” Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap orang
demikian jumawa maka si orang tua hentikan pekerjaannya, menyeka ujung
jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi. “Terima kasih atas rasa
kagummu Raden Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk dijual…” Raden
Mas Cokro menatap paras orang tua itu. “Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja harganya…” Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.” “Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata Raden Mas Cokro. “Menyesal sekali…” “Akan kubeli lima puluh ringgit.” “Maaf Raden Mas…” “Seratus ringgit!” “Ah… sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas…” “Kalau
begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” Raden Mas Cokro mengeluarkan
sebuah kantong kain dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling
pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu bagus luar
biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga yang gila! Dan bila
mereka ingat gaji mereka yang tak sampai setengah ringgit satu minggu,
menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si
orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya! “Ini terimalah.”
kata Raden Mas Cokro seraya mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua
ratus uang ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. Tapi
lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala. “Walau dibeli seberapa
mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon maafmu…” Raden
Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan sikap si orang tua. Maka
berkatalah dia, “Apa dengan harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?” “Ah…” Si orang tua menjura dalam-dalam. “Tak tahunya aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya, “Benar-benar
ini satu kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar pula
aku mohon dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan
buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu
membayar mahal… Kau pasti tak akan kecewa Raden Mas…” Tapi Raden Mas
Cokro memang sudah kecewa. Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk
kembali ke dalam kereta. “Lain kali kalau ada kesempatan aku akan
temui kau, orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas Cokro
lewat jendela kereta. Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum
dia menjawab, “Aku seorang pengembara luntang lantung, Raden Mas.
Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. Bila lukisan yang kubuat
untukmu nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri ke Pamekasan…”
Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasaran. Ditutupkannya
tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya anak buahnya melanjutkan
perjalanan! Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan
pekerjaannya. Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan
garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! Harga tawaran
yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh
sekali! Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang berlari cepat.
Belum lagi sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di
samping si orang tua. Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar
suaranya begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini tentunya
memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng memperhatikan dengan
seksama. Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. Demikian gemuknya
hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia tak berleher ini berambut
gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada
terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap dipandang
ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah, hidung
besar, bibir tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar
serta kuning kelihatan menjorok ke luar. “Ha… ha… ha. Ini betul-betul
satu lukisan yang bagus luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang
ini. Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang
tersandar di batu. Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya
tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan katakata pada bagian
bawah kanan lukisan itu. “Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan
padaku!” kata si gemuk dengan suara keras lantang hingga mengumandang di
seantero lamping gunung dan memantul ke dalam jurang batu. Hebat sekali
tenaga dalam manusia ini! Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan
tiada diperdulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah
mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya di situ dianggap
sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh si
orang tua! “Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” bentak
si gemuk. Barulah orang tua itu berpaling. Sepasang alis matanya yang
putih dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka
sekelumit senyum tersungging di bibirnya. “Ah, kalau mataku tak salah lihat… bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis Dari Selatan?”
SI GEMUK
terkesiap karena tiada menyana kalau orang tua kurus kering itu
mengetahui dirinya. Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan
manusia sembarangan. “Bagus sekali kau kenali aku!” kata si gemuk. “Ini
membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan itu padamu!” Si
orang tua tertawa panjang. Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia
persilatan di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti
bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang berbadan kurus
kerempeng bermuka jelek menyeramkan. Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang
kedua berbadan gemuk pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis
Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan dengan si orang tua
itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus keduaduanya lebih dikenal dengan
sebutan Dua Iblis Dari Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ
juga hadir Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang
muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah tokoh-tokoh golongan
hitam yang berhati jahat sehingga pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi
keduanya! Di samping berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan
mengumpulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno,
patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan yang dibuat si
orang tua maka hatinyapun tertariklah dan dia musti mendapatkan lukisan
itu. Tentu saja bukan dengan jalan membeli, tapi menurut caranya
sendiri yaitu kekerasan. Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka menjawablah si orang tua, “Lukisan ini tak bisa kuberikan padamu, atau pada siapapun.” “Setelah tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!” ujar Iblis Gemuk. “Ah
sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. Kuharap kau jangan ganggu
aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua memutar kepalanya kembali dan hendak
meneruskan pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras. “Suka
atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan padaku! Kalau tidak kau
akan menyesal orang tua…!” Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa
mengacuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali pekerjaannya.
Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki kirinya hendak didorongnya
orang tua itu ke samping. Tapi belum lagi tumit itu sampai, si orang tua
sudah berkelit dan berdiri. Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh
tapi gerakannya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah salah satu
jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak mudah untuk dikelit. Ini
membuat Iblis Gemuk tambah marah dan serta merta pukulkan tangan
kirinya ke arah dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu! “Manusia tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai marah, “Lekas kau pergi dari sini…!” “Aku
akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu pukulan padamu dan
mendapatkan lukisan itu!” Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan
lawan dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk menjadi
kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran angin yang keluar dari tangan
si orang tua membuat bukan saja pukulannya membelok ke samping tapi
sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat lahgkah ke
belakang! “Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa pendek. “Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat ini sebelum aku betul-betul marah!” “Manusia
jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di badanmu kubikin
berantakan!” Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke muka
dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo yang singkat maka
terjadilah pertempuran yang hebat di tikungan jalan yang sempit itu. Di
samping mereka, menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja
membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpeleset, tak ampun lagi
pasti akan jatuh ke dalam jurang! Pertempuran telah berjalan delapan
jurus. Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua yang kurus
kering itu memiliki gerakan yang demikian sebat dan entengnya. Beberapa
kali dia melihat bahwa orang tua ini mempunyai peluang untuk
menjatuhkan tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergunakan.
Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian polosnya sehingga
menghadapi lawan yang terangterangan hendak bermaksud buruk kepadanya,
dia masih belum mau lepaskan tangan keras! “Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat kaki dari sini?!” “Kunyuk
kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung Menentang Bukit ini!” teriak
Iblis Gemuk. Tinju kanannya menderu ke arah batok kepala lawan sedang
kaki kanan serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi
pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah menderu dahsyat!
Buukk! Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis Gemuk
terbanting ke belakang, punggungnya menghantam gundukan batu di atas
mana Wiro Sableng duduk, kemudian melosong jatuh duduk di tanah.
Nafasnya megapmegap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke
samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan terlempar masuk
jurang dan tamat riwayatnya. “Masih belum cukup peringatan yang
kuberikan padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua. Iblis Gemuk berkemak
kemik. Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita luka di dalam yang
cukup parah akibat pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya! “Bangsat
tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis Dari Selatan akan
menunjukkan jalan ke akhirat padamu!” Si orang tua tertawa mengekeh. “Kau
mau panggil kambratmu si Iblis Kurus…? Silahkan… silahkan! Masa ada
tamu yang bakal datang aku hendak pergi tinggalkan tempat ini?
Pekerjaankupun belum selesai!” Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada
terjadi apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! Di atas batu yang
tinggi Wiro Sableng memutar otaknya berusaha mengingat-ingat siapa
adanya orang tua yang berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil
mendadak entah dari mana datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng melihat di
bawahnya telah berdiri seorang nenek-nenek berbadan bungkuk berambut
putih yang mukanya buruk sekali. Karena Wiro sama sekali tiada mendengar
kedatangan perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi luar biasa! Setelah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar
di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur bertanya, “Orang
tua, apakah kau melihat dua orang kawanku lewat di sini…?” Tidak seperti
biasanya, sekali ini begitu ditegur maka orang tua itu hentikan
pekerjaannya dan berpaling. Matanya yang sudah dimakan umur itu meneliti
dengan seksama sedang keningnya berkerenyit. “Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab si orang tua. “Iblis Gemuk, apakah dia yang kau maksudkan?” “Bukan!” jawab perempuan tua itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di batu. “Itu kau yang membuatnya?” “Betul.” “Bagus
sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka lukisan itu harus kau bawa
ke Gunung Sumpang dan menyerahkannya padaku! Kau dengar?” “Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak bisa kuberikan pada siapa-siapa!” “Aku tak perduli!” sentak si perempuan bongkok. “Umurmu
memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak ingin buru-buru mampus!
Karenanya jangan banyak mulut! Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung
Sumpang pada tanggal satu bulan di muka!” “Tidak mungkin!” “Kau membantah?!” Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala. “Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!” “Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!” “Sobat,
Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak berikan. Adipati Pamekasan
berniat membelinya dua ratus ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga
menghendakinya. Tetap saja aku tak bisa memberikan!” “Kalau begitu
kau berikanlah nyawamu!” sahut si perempuan tua seraya mundur satu
langkah dan siap-siap untuk kirimkan satu pukulan. “Tahan dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus. “Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu menginginkan lukisan itu?!” “Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis perkara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!” “Lucu! Sungguh lucu!” “Apa yang lucu?!” sentak si perempuan bungkuk bermuka keriput. “Lukisan begini rupa banyak orang yang menginginkannya, apa itu bukan lucu?!” “Orang
tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serahkan lukisan itu kalau tidak
nasibmu akan seperti ini!” Habis berkata begitu perempuan tersebut
pukulkan tangan kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk
sembunyi sejak tadi! Byur! Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar
batu besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon tumbang, rubuh
ke bawah dan menggelinding ke dalam jurang dengan suara menggemuruh.
Wiro sendiri begitu merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan
berpindah ke puncak batu yang lain! Si orang tua tarik nafas
panjang-panjang dan gelenggelengkan kepala. “Pukulan yang bagus luar biasa! Pukulan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya paras perempuan di hadapannya. “Sungguh
mataku yang telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku masih
bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja yang kau lepaskan itu
tadi kini aku yakin bahwa aku betulbetul berhadapan dengan Nenek Rambut
Putih yang terkenal itu!” Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini
tidak mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih. Tapi adalah
membuat dia diam-diam merasa kaget sewakZtu si orang tua mengetahui nama
pukulan yang tadi dilepaskannya! “Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan lukisan itu?!” “Langit
memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah semua itu dapat melebihi
tinggi dan luasnya budi manusia yang berhati luhur?” Terkejut Nenek
Rambut Putih mendengar ucapan itu. “Lekas beri tahu siapa kau!” sentaknya. Si orang tua geleng-gelengkan kepala. “Manusia
tetap manusia sekalipun dia punya seribu nama! Manusia tak perlu
agul-agulkan nama terhadap sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada
bernama…!” “Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan
itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut Putih. Habis berkata
demikian laksana kilat dia melompat menyambar lukisan perempuan
telanjang yang tersandar di batu. Namun mendadak sontak perempuan tua
itu merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang kesemutan! Ternyata si
orang tua telah melepaskan satu sentilan ujung jari ke arahnya! “Jadi
kau punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking Nenek Rambut Putih.
Tanpa sungkan-sungkan lagi dia segera menyerang. Maka untuk kesekian
kalinya di jalan menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini
lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan Iblis Gemuk
sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat cepat. Tubuh kedua orang yang
bertempur boleh dikatakan lenyap berubah menjadi bayang-bayang.
Batu-batu kerikil berhamburan, debu jalanan beterbangan. Wiro Sableng
memperhatikan dengan mata tak berkedip. Nenek Rambut Putih gerakannya
sangat gesit. Setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat
luar biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi lawannya juga
tak kalah hebat, malah sesudah lewat sepuluh jurus Nenek Rambut Putih
berhasil didesaknya ke tepi jurang! “Perempuan tua, jika kau tak mau
tinggalkan tempat ini secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di
dasar jurang sana!” Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia
melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan satu tendangan
ganas. Lawannya berkelit gesit ke samping. Akibatnya tendangan itu
melanda sebuah batu di hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur
berkepingkeping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal ini.
Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya. Maka segera dirubah
permainan silatnya. Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek
Rambut Putih kebingungan sendiri! Bret! Si nenek tersurut mundur.
Pakaiannya di pinggang robek besar dan kulit badannya terasa dingin
sedang di hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa dan
menegur, “Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas tinggalkan tempat
ini!” Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik. Kegemasan
nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua keriputan. Dia menyadari
bahwa manusia itu bukan tandingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa
malunya, Nenek Rambut Putih berkata, “Sayang aku tengah mencari dua
orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun aku akan ladeni
kau.” Si orang tua ganda tertawa. “Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya “Berlalulah…!” “Tanggal
satu di bulan muka lukisan itu harus sudah kau sampaikan ke Gunung
Sumpang! Kalau tidak aku dan kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu,
orang tua!” “Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa
minta-minta ampun segala?!” menyahuti si orang tua. Tapi Nenek Rambut
Putih telah berkelebat dan menghilang dari tempat itu! Baru saja Nenek
Rambut Putih lenyap di balik tikungan sebelah kanan, maka dari tikungan
sebelah kiri terdengar seruan nyaring, “Orang tua keparat! Aku datang untuk menagih jiwamu!”
TERNYATA yang
datang bukan lain daripada Iblis Gemuk yang tadi telah bertempur dengan
si orang tua berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, tapi
bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus luar biasa, lebih
kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan tubuhnya serta tampangnya yang
mengerikan persis seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia
ini pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia bukan lain
daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak seperguruan Iblis Gemuk.
Iblis Kurus memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi
daripada Iblis Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya
itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang tua melanjutkan
pertempuran yang telah terjadi sebelumnya! Si orang tua yang tadi sudah
hendak mencangkung untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara
seruan nyaring itu segera berdiri. “Hem… kau betul-betul datang
menepati janji, Iblis Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada
Iblis Kurus. Iblis Kurus memandang mencemooh. “Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani turunkan tangan lancang terhadapmu?!” “Betul,
memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. Iblis Kurus memperhatikan
lukisan di belakang si orang tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta
merangsang. Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan
menginginkannya. “Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidak
sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku menjadi luntur!” Si
orang tua tertawa dingin. “Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain…” “Kakakku,
kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar dengan bangsat tua ini. Mari
kita musnahkan dia!” ujar Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengekeh. “Nyalimu melembung besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan kakakmu ini, bukan?!” “Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih bisa bicara sombong!” Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata, “Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. Antara kita tak ada permusuhan…” “Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis Kurus. “Itu salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan nada sabar. “Dia
inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia memaksa malah lakukan kekerasan.
Salahkah kalau aku memberi sedikit pelajaran padanya?!” “Tapi tidak
seorangpun yang boleh turun tangan seenaknya terhadap Dua Iblis Dari
Selatan!” tukas Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengejek. “Sifat manusia memang banyak yang aneh,” katanya. “Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!” Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada. “Orang
tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu pada adikku. Niscaya kami
Dua Iblis Dari Selatan tidak akan bikin urusan menjadi panjang!” Orang
tua itu geleng-gelengkan kepala. “Heran,” katanya, “mengapa di dunia ini masih banyak manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya terhadap orang lain…” “Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak Iblis Kurus. “Kalau
begitu lekas terangkan namamu! Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa
tahu nama atau julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!” Si
orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya bernada rawan. “Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu namaku,” katanya. “Padahal semua manusia dilahirkan tidak bernama…” “Jangan
ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis Kurus sambil maju satu
langkah. Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu keluarkan
serangkaian nyanyian: Puluhan tahun mengembara Tiada berumah tiada
bertempat tinggal Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan Bukankah
pekerjaan baik, melukis segala yang indah? Mendengar suara nyanyian itu
terkejutlah Dua Iblis Dari Selatan. Mereka saling pandang sejenak. “Jadi
rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini malang melintang dalam
dunia persilatan?!” ujar Iblis Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui
siapa adanya manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut Si orang tua
yang memang Si Pelukis Aneh adanya mengusap-usap dagunya. “Sungguh
tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan akan berhadapan dengan Si
Pelukis Aneh akan pasrahkan jiwanya di tanganku!” Si pelukis Aneh
tertawa panjangpanjang. “Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut
pantangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain hendaki jiwaku,
mana mungkin aku berpangku tangan…?!” “Bagus! Sekarang terima jurus
pertama ini kunyuk tua!” teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta
menyerang ke muka. Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya
sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu silatnya. Tahu
menghadapi lawan yang tangguh maka Iblis Kurus keluarkan jurus-jurus
terhebat dari ilmu silatnya sehingga dalam waktu yang singkat
serangannya laksana hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si Pelukis Aneh!
Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin terdesak hebat.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Gemuk untuk bergerak mengambil
lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu! Meski dalam keadaan
terdesak, si Pelukis Aneh masih sempat melihat gerakan lawannya yang
satu itu. Maka dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh
dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu tendangan ke
arah Iblis Gemuk. Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengambil
lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin tendangan lawan deras
dan bahayanya bukan olah-olah! Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan
kakinya di tanah, maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua
tendangan, dua pukulan! Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah
permainan silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu sudah
melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Maka sekali tubuhnya
berkelebat, Iblis Kurus merasakan desakan serangan yang hebat sekali
membuat dia selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak
hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan dan tahu-tahu
tangan atau kaki orang tua itu sudah berada dekat kepala atau tubuhnya!
Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah
maka dia masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi sampai
beberapa lama dia sanggup bertahan?! Iblis Kurus menjadi gemas sekali.
Semakin lama seakan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak
bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus pertahanannya
yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat dingin sewaktu dirinya
didesak hebat ke tepi jurang! Setiap dicobanya untuk melompat ke samping
selalu dia berhadapan dengan tendangan-tendangan atau jotosan-jotosan
lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia terpaksa membatalkan
niatnya untuk melompat ke samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi
jurang semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima belas
tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa langkah saja lagi di
belakangnya! “Gemuk! Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus. Mendengar
ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi sudah punya niat untuk mengeroyok
si orang tua yang sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata
dari balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi bergerigi
seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan dilapisi emas murni maka
sinar kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu membabat ke arah
punggung Si Pelukis Aneh! Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar
Iblis Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran angin yang deras
datang menerpanya dari belakang! Didahului dengan satu lambaian tangan
kanan yang mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan cepat
memutar badan menghadapi serangan pedang berbentuk gergaji di tangan
Iblis Gemuk! Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat
ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu dengan cepat mencabut pula
senjatanya yang bentuknya sama dengan yang di tangan Iblis Gemuk.
Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro Sableng menjadi penasaran. Segera
dia hendak melompat dari atas puncak batu untuk membantu si orang tua.
Tapi tindakannya tak jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si
kakek telah berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah pisang
yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia meletakkan cairan-cairan aneka
warna yang dipergunakan untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini
sebagai senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya dengan hebat
luar biasa! Karena daun pisang itu lebar sekali, ditambah dengan
saluran tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat
menderulah angin deras luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang
Iblis Gemuk dan Iblis Kurus! Dua sinar kuning senjata pengeroyok
bergulung-gulung ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai
mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka. “Bagus!
Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku mau lihat!” seru Si Pelukis
Aneh. Daun pisang di tangannya bergerak kian kemari melumpuhkan sama
sekali setiap jurus serangan yang dilancarkan. Yang membuat Pendekar 212
Wiro Sableng jadi leletkan lidah ialah karena tak sekalipun
pedang-pedang di tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun
pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan demikian
cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata namun cairan-cairan aneka
warna yang ada di daun pisang itu tidak satu tetespun yang tumpah atau
meleleh! Benarbenar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! Dalam
mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan setinggi
langit. Ternyata daun pisang di tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada
Iblis Kurus. Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai
beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi jurang! Dengan
salah satu tangannya Iblis Kurus coba memegang sebuah batu runcing yang
menonjol di tepi jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga
dalam yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama sekali
kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang batu runcing itu dan
menahan dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang namun sia-sia saja.
Sesaat kemudian pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya
melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di dasar jurang!
Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis Kurus. Yang sekali ini lebih
mengerikan! Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui kematian
begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia tak sanggup
menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka tanpa pikir
panjang dan tanpa tunggu lebih lama Iblis Gemuk segera ambil langkah
seribu! Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang Iblis Kurus
yang menggeletak di tanah. “Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup
lebih lama, Iblis Gemuk!” teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan pedang
ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! Pedang itu menancap
tepat di pertengahan punggung Iblis Gemuk terus menembus sampai di luar
ujung pada dadanya! Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! Si Pelukis
Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu dia duduk
menjelapok di tanah dan memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan
kepala dari lukisan itu, dia berseru, “Orang yang sembunyi di atas
batu tinggi harap turun!” Kagetlah Wiro Sableng. Pendekar ini
garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi keluar dari
persembunyiannya dan melompat turun.
PENDEKAR 212
Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki di tanah tanpa keluarkan sedikit
pun suara. Begitu dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menjura
dan berkata, “Aku yang muda merasa beruntung sekali dapat bertemu
dengan tokoh silat terkenal di delapan penjuru angin.” Pelukis Aneh
tidak palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah dipandangnya. “Siapa namamu…?” “Wiro.” “Apa
kau punya gelar?” Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab
dengan gelengan kepala. Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, “Kenapa kau sembunyi di atas batu sana?” “Aku tak ingin mengganggumu, orang tua.” “Bagus,
kau tahu peradatan juga rupanya.” Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh
palingkan wajah dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang
lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala. “Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si Pelukis Aneh. “Bagus luar biasa,” jawab Wiro Sableng. Si Pelukis Aneh tertawa pendek. “Kalau
lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau menerimanya…?” Wiro
berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah menawar lukisan itu sampai dua
ratus ringgit, Si orang tua tidak menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis
Kurus menemui kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih
dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya atas lukisan itu. Maka
adalah mustahil kalau kini Si Pelukis Aneh hendak berikan lukisan
perempuan telanjang itu kepadanya! Wiro menjawab, “Ah, hatimu terlalu
baik orang tua. Aku yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu
yang bagus luar biasa ini?!” Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap
dagunya. “Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,” berkata Si Pelukis Aneh. “Apa yang kelihatan bagus itu belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu…?” Wiro anggukkan kepala. “Kau
mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh daripada sesuatu yang
kelihatan bagus namun nyatanya buruk?” Pertanyaan si orang tua yang
tiada terduga membuat Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di
kejauhan dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian menunjuk
ke arah gunung itu. “Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?” “Ya… ya…, aku lihat.” “Dari
sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. Tapi coba kita
mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak lebih daripada pohon-pohon besar
liar, semak-semak belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.”
Pelukis Aneh tertawa. “Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu kau murid
seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang muda?” Wiro Sableng tak
menjawab. Dia tak bisa menjawab. Dia tahu betul kalau gurunya Eyang
Sinto Gendeng akan marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran.
Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyumsenyum, “Pengalaman
adalah guru yang paling baik dan bijaksana bagi setiap manusia…” Si
Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras si pemuda lekat-lekat.
Sesaat kemudian mengumandanglah suara tertawa orang tua ini di seantero
lamping gunung dan jurang batu. “Tong kosong selalu berbunyi
nyaring. Tong penuh tak akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu
tinggi akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit sering jual
tampang, jual pamer dan bermulut besar. Kuharap saja bocah itu kelak
akan mempunyai sifat macammu, Wiro!” Telah dua kali dengan ini si orang
tua menyebut ‘bocah’. Maka bertanyalah Wiro, “Pelukis Aneh, siapakah yang kau maksudkan dengan bocah itu?” “Calon
muridku!” jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian ditelitinya lukisan di
hadapannya. Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan perempuan
telanjang itu betul-betul bagus luar biasa. Betul-betul seperti melihat
manusia hidup di depan mata. Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi
jengah juga. “Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli lukisan
ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak menjualnya?” tanya Wiro.
Si Pelukis Aneh tertawa. “Bacalah tulisan di sudut kanan bawah.”
katanya. Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu memandang
lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh telanjang si perempuan cantik
saja. Kini diperhatikannya bagian yang dikatakan si orang tua. Pada
sudut bawah sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: Lukisan ini
kuwariskan kepada calon muridku: Wira Prakarsa. Wiro manggut-manggut “Calon muridmu itu, di manakah sekarang?” “Tentu saja di rumahnya.” sahut Si Pelukis Aneh. “Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas tahun baru dia kuambil jadi murid.” “Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak kau serahkan padanya?” tanya Wiro tak mengerti, “Ah…
itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda.” Wiro maklum
tentu ada apa-apanya. Namun demikian, pendekar ini berkata pula, “Begitu selesai apakah lukisan ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” Pelukis Aneh gelengkan kepala, “Aku tidak terlalu bodoh.” jawabnya. “Sekarang
saja orang-orang jahat sudah pada memaksa dengan kekerasan untuk
inginkan lukisan ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa
berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan.” “Dua tahun di
muka calon muridmu itu baru berumur duabelas tahun. Bagaimanapun dia
tetap masih disebut anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini
macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya…?!”
Si Pelukis Aneh tertawa. “Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus
itu seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan dunia,
kita manusia ini tahu apa?!” Wiro maklum kalau si orang tua adalah
seorang yang pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat aneh
sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi gelar Si Pelukis Aneh
kepadanya! “Wiro.” berkata Pelukis Aneh. “Kalau aku tak salah raba
agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau pengembaraan. Tengah
menuju ke manakah kau sebetulnya?” Wiro Sableng merasa bimbang untuk
mengatakannya terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah menuju
Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. Maka pendekar ini menjawab, “Manusia
macamku ini berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” Setelah
bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro Sableng minta diri dan
meneruskan perjalanan. Sampai di kaki gunung, matahari bersinar semakin
terik. Tanpa perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 212
Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mempergunakan ilmu lari
cepatnya, dan sambil bersiul-siul. Ketika dia berada di sebuah kaki
bukit, mendadak di puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana
bintang malam bergerak cepat ke arah selatan. Wiro hentikan larinya guna
dapat meneliti lebih jelas. Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro
yakin itu adalah dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro
memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit di sebelah
selatan terus laksana terbang menuju ke daerah berbatu-batu dan terus
lagi ke pegunungan di mana sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik
kuning itu lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang ditemuinya di lamping
pegunungan itu, mendadak hatinya menjadi berdesir, lebih cepat kalau
dikatakan berdebar! Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian
tinggi yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya mungkin pula
orang-orang jahat yang sengaja pergi ke gunung itu untuk melakukan
perbualan yang tidak baik terhadap Si Pelukis Aneh. Wiro merutuki
dirinya sendiri karena sampai berpikir begitu jauh. Diputarnya badannya
hendak melanjutkan perjalanan namun langkah.yang dibuatnya
tertahan-tahan olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 membalikkan
diri lalu berlari cepat kejurusan selatan. Dua kali peminum teh baru
Wiro Sableng sampai ke tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa
terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu! Larinya
dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke bumi!
Matanya menyipit, dada menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang
terkatup rapat-rapat! “Terkutuk!” desis Pendekar 212. Dia berlutut di
hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang menggeletak di tikungan jalan. Tubuh
orang tua ini mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki
ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat dari besi
berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini
pastilah mengandung racun yang luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro
melihat tubuh Si Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. Yang
mengerikan ialah apa yang tercengkeram di tangan kanan Si Pelukis Aneh
yang sudah tidak bernyawa itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam
sebuah kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini
mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya sebelumnya.
Melihat kepada bentuknya pastilah potongan lengan jubah seseorang. Tidak
dapat tidak rupanya telah terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara
Si Pelukis Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di
kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski menemui
kematian di tangan dua pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih sanggup
membetot putus lengan kiri salah seorang lawannya hingga tanggal dan
dalam matinya masih mencengkeran lengan itu! Wiro Sableng tersentak
sewaktu dia ingat pada lukisan perempuan telanjang. Tapi lukisan itu
telah lenyap dari situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok
Si Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri perlahan. Dia
tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh meski dirinya kebal terhadap
segala macam racun. Dia harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang
tua itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat yang baik
mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil tersembul di balik unggukan
batu yang terletak tak berapa jauh dari tepi jurang. Cepat-cepat
Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya seorang anak
kecil berpakaian compangcamping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada
benjut besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan. Setelah
ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini siuman. Begitu siuman
begitu dia menangis. Tampangnya tolol sekali! “Namamu tentu Wira.”
tegur Pendekar 212. Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu
memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis Aneh
maka anak ini kembali menangis lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan
bagaimana dia sampai berada di tempat itu. Dengan terhenti-henti oleh
sesenggukan maka si anak memberi penuturan. Namanya memang Wira
Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermainmain di
depan rumah sewaktu dua orang berpakaian kuning bertampang mengerikan
mendatanginya. Salah seorang dari mereka langsung mendukungnya dan
membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan orang yang
mendukungnya itu tiada henti menanyakan di mana letak pegunungan yang
biasanya didatangi oleh calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli
akhirnya dia memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis Aneh
maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning itu menyerang calon
gurunya. Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu
bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menyerempetnya hingga
membuat dia terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu dia tak ingat
apa-apa lagi! Wiro maklum kini apa yang telah terjadi. “Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?” Wira Prakarsa menggeleng. “Tadi
kau katakan muka kedua orang itu mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan
apa-apa yang mengerikan itu?” Si anak seka lagi sepasang matanya lalu
menjawab dengan masih sesenggukan. “Yang mendukungku matanya cuma
satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, bermata besar merah dan tak
punya kuping…” Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu dengan dua
manusia macam itu, juga tak pernah mendengar tentang ciri-ciri mereka
sebelumnya. “Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini sebelum dia meninggal?” “Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam lukisan itu ada…” Si anak tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara. “Ada apa…?” tanya Wiro ingin tahu. “Tidak,
tak ada apa-apanya.” Menyahuti si anak, lalu kembali dia menangis.
Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di dalam lukisan itu musti
ada apa-apanya. Ada tersembunyi satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis
Aneh dan calon muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu
rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan tersebut? Ataukah cuma
tertarik pada kebagusan lukisan perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi
agaknya dua manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si Pelukis
Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan. Mungkin sekali mereka
telah mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam lukisan itu! Setelah
menggali sebuah lobang besar dan mengubur Si Pelukis Aneh maka Wiro
Sableng mendukung Wira Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang
ke rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani miskin yang
saat itu masih belum kembali dari ladangnya. “Wira,” kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si anak. “Karena
pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka aku akan mencarinya sampai
dapat dan mengembalikannya padamu…” Anak itu manggut-manggut dengan
tampangnya yang tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak
habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak yang begitu
tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat pula bahwa dia sendiri
dulunya adalah seorang anak yang tolol geblek maka segala pikiran yang
bukan-bukan tentang Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap. “Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak,” ujar Wiro dalam hati. “Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih sableng! Masih mending anak itu!”
***
Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebohan. Tokoh-tokoh
silat terkenal dari delapan penjuru angin dan partai-partai persilatan
berusaha keras untuk mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang
mengandung rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan itu
dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti akan sangat
beruntung karena di dalam lukisan itu terkandung semacam ilmu silat dan
ilmu kesaktian yang hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di
delapan penjuru angin! Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang
Elmaut Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh silat.
Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning.
Dan dalam tempo satu bulan itu telah belasan tokoh silat menjadi
korban. Satu partai besar hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan
telanjang yang mengandung rahasia besar itu!
PENDEKAR 212 Wiro
Sableng tengah berlari di antara rapatnya pohon-pohon dan semak belukar
di dalam sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan santar
menggeledek membentaknya. “Berhenti!” Wiro terkesiap dan hentikan
larinya. Belum lagi dia sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah
berdiri di hadapannya. Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai
ke dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi kiri kanan
tergantung dua buah bumbung bambu. “Dewa Tuak!” seru Pendekar 212.
Hatinya gembira tapi juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan
tambah tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demikian
masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa Tuak ini harap baca serial Pendekar 212 yang kedua yaitu: Maut Bernyanyi di Pajajaran).
Wiro Sableng menjura dalamdalam. Orang tua di hadapannya tertawa
gelak-gelak lalu mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk tuak di
dalamnya sampai lepas dahaganya. Setelah menyeka mulutnya yang
berselomotan tuak maka Dewa Tuak berkata, “Beratus hari mencarimu,
saat ini baru bertemu!” Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini
masih hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa
menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya maka Wiro
cepat-cepat bertanya, “Apakah kau masih juga hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak…?” Dewa
Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya beberapa kali. Kemudian
digelengkan kepalanya perlahanlahan. Mukanya kelihatan merah oleh
hangatnya minuman yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini
Pendekar 212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula gerangan yang
membuat si orang tua berkata bahwa telah beratus hari dia mencari-cari
dirinya? “Aku tahu… aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik! Soal jodoh mana bisa dipaksakan?!” Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. “Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, Dewa Tuak?” “Kau
sendiri tengah menuju ke mana Wiro?” Wiro tak mau menceritakan bahwa
dia sedang mencari lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan
dunia persilatan waktu itu. Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya
dan berkata, “Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat dalam mencari lukisan itu, orang muda?” Wiro terkejut. “Kunasihatkan
padamu agar segera mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya
mendatangkan malapetaka, lain tidak! Belasan tokoh silat telah menemui
ajalnya. Satu partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau
juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang itu?!” “Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, Dewa Tuak…” “Eh,
sangkut paut bagaimana?” tanya Dewa Tuak heran. Maka Wiropun menuturkan
pertemuannya dengan Si Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira
Prakarsa yaitu calon murid Si Pelukis Aneh itu. Dewa Tuak menarik nafas
panjang. “Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda. Dunia
persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu kembali pada pemiliknya
yang sah…” Keduanya berdiam diri sebentar. “Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang muridmu?” tanya Wiro. “Sudah…
sudah! Aku gembira melihat dia kini berada dan bertapa di Goa Dewi
Kerudung Biru. Dia beruntung sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil
murid oleh Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku bertemu
katanya dia hendak mempersuci diri, mengundurkan diri dari segala urusan
duniawi.” Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa Tuak itu.
Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat, berdua-duaan dengan
Anggini, murid Dewa Tuak itu. “Sekarang marilah ikut aku,” kata Dewa Tuak. “Ikut ke mana Dewa Tuak?” “Ikut sajalah.” “Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau sendiri sudah maklum.” “Justru
aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang ada sangkut pautnya dengan
lukisan yang tengah kau cari itu!” ujar Dewa Tuak. Mendengar ini maka
Wiro tidak membantah. Keduanya segera meninggalkan tempat itu memasuki
lebih dalam rimba belantara yang jarang didatangi manusia! Menjelang
tengah hari kedua orang ini sampai di bagian rimba belantara yang paling
lebat. Pohon-pohon sangat besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang
sunyi sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya daun-daun
pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti di malam hari layaknya!
Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang tinggi. Wiro sampai di
cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua
puluh tombak di bawah sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang
beratap rumbia. “Pondok siapakah itu?” tanya Wiro. Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu dengan suara perlahan dia berbisik, “Ikut
aku dan jangan keluarkan suara!” Dewa Tuak lantas melompat ke cabang
pohon yang lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat di
atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara sedikitpun. Dalam pada
itu Wiro Sableng sudah berada pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia
itu cukup kuat namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan tubuh
pastilah atap itu akan roboh! Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati
membuat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar Wiro
melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu lubang di atas atap
itu. Keduanya kemudian mengintai ke dalam pondok. Karena di dalam pondok
agak gelap maka mula-mula Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya
yang mengintai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam legam
berdiri terbungkuk-bungkuk di sudut pondok. Kedua matanya meram tapi
mulutnya yang kempot berkomatkamit. Wiro hendak menanyakan kepada Dewa
Tuak siapa adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya terdengar
oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu menyusupkan suara. Namun
belum sempat dia ajukan pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang
lebar dan dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata neneknenek
keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut biru, yang kedua berambut
putih. Di bahu masing-masing memanggul dua sosok tubuh yang agaknya
telah ditotok kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih
kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan lain Nenek Rambut
Putih yang sebelumnya telah dilihatnya di puncak gunung melawan Si
Pelukis Aneh. Dan lainnya itu pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek
Rambut Hitam! “Pemimpin!” ujar Nenek Rambut Biru, “Inilah
bangsatbangsat yang kau inginkan itu!” Nenek Rambut Hitam yang rupanya
menjadi pemimpin kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua
laki-laki yang menggeletak di muka kakinya. “Buka jalan suara
mereka!” perintahnya. Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan
suara kedua orang itu. Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang
dari dua laki-laki itu membentak, “Iblis betina, kau rupanya yang
jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan kawan-kawanku!” Nenek
Rambut Hitam tertawa melengking-lengking. “Ketua Partai Angin Timur,
aku akan bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di mana sarangnya
Sepasang Elmaut Kuning!” Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang
seorang itu adalah ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi sekali!
Dan dari situ dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek Rambut Biru dan
Rambut Putih yang telah berhasil menawan ketua partai itu bersama
seorang kawannya. “Ada apa kau tanyakan sarang kambratku itu?!” balas menanya Ketua Partai Angin Timur. “Bedebah!
Aku tak suruh kau bertanya setan?!” bentak Nenek Rambut Hitam. Plaak!
Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang melanda sang Ketua, membuatnya
tergelimpang dan terguling di lantai pondok. Dua buah giginya mencelat
mental sedang bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur membesi.
Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi karena ditolok maka yang
bisa dilakukannya ialah memaki habishabisan! Nenek Rambut Putih
menjambak rambut Ketua Partai Angin Timur dan menyentakkannya hingga
laki-laki itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya! “Lekas terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut kuning!” hardik Nenek Rambut Hitam. Ketua Partai Angin Timur mendengus! “Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang itu tak akan berhasil, iblis betina!” “Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak?!” Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus. “Aku tidak tahu!” sahutnya. “Sekalipun
tahu aku tak akan bilang padamu!” Nenek Rambut Hitam marah sekali.
Diulurkannya tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan
jari jari tangan kanan sang Ketua! Laki-laki itu menjerit kesakitan dan
memaki habis-habisan! Kawannya keluarkan keringat dingin. “Itu masih belum apa-apa,” ujar Nenek Rambut Hitam. “Kalau kau tetap membangkang tak mau kasih keterangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas katakan!” “Nenek
Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak tahu letak sarangnya
Sepasang Elmaut Kuning,” berkata kambrat Ketua Partai Angin Timur. “Kau tak usah berbacot!” bentak sang nenek. “Kalau dia tak tahu kau tentu tahu ya?!” Pucatlah wajah laki-laki itu. “Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan disiksa sampai setengah mampus!” teriak Nenek Rambut Biru. “Nenek
Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing satu golongan, kenapa
berbuat sejahat ini?” Nenek Rambut Hitam tertawa melengking, “Kalau kau dan kambratmu tidak mau binasa percuma lekas beri keterangan!” “Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa kasih keterangan!” “Aku
mau lihat!” ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia gerakkan tangan
kanannya maka tanggallah lengan kiri Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki
ini melolong laksana srigala lapar, mengerikan sekali! Pendekar 212
Wiro Sableng bergidik. “Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman
terkutuk itu berjalan lebih lama!” kata Wiro. Dia bergerak cepat hendak
menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si orang tua yang memanggul
dua buah bumbung bambu memegang lengannya dan menjawab dengan ilmu
menyusupkan suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata padanya
tadi. “Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak beda
dengan tiga orang nenek serta seorang kawannya itu! Mereka sama-sama
dari golongan hitam tukang bikin kejahatan di dunia persilatan! Biar
saja mereka saling bunuh! Kita menonton saja!” “Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan tak berdaya!” tukas Wiro Sableng. “Perduli
amat! Sudahlah kita lihat saja!” bentak Dewa Tuak pula. Wiro Sableng
menggerutu dalam hati lalu dia mengintai lagi lewat lobang. “Ayo! Apa
kau masih tidak mau kasih keterangan?!” Si Nenek Rambut Hitam
membentak. Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara raungan yang
mengerikan! Nenek Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua Partai Angin
Timur. “Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima nasib macam kambratmu itu, bukan?!” Pucatlah wajah laki-laki yang bernama Jaliwarsa. “Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam…?” “Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat kediaman Sepasang Elmaut Kuning!” “Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut Hitam…” Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia berpaling pada anak buahnya. “Rambut Biru! Cungkil mata kirinya!” perintah Nenek Rambut Hitam. “Tobat! Jangan…!” teriak Jaliwarsa. “Kalau
begitu lekas buka mulut!” sentak Nenek Rambut Hitam. Jaliwarsa menangis
macam anak kecil. Meratap mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu
di mana letak sarang Sepasang Elmaut Kuning. “Tak ada ampun bagimu!
Cungkil matanya!” bentak Nenek Rambut Hitam. Maka Nenek Rambut Biru
melompat ke muka. Dua buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa.
Terdengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu mencelat
bersama semburan darah yang disusul oleh suara melolong Jaliwarsa yang
laksana gila karena kesakitan!
PEREMPUAN iblis!” teriak ketua Partai Angin Timur yang menggeletak di lantai pondok. “Kalian bunuhlah kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang leher kalian!” Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh. “Nyalimu
boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta mampus cepat-cepat, baiklah!
Kalian memang tidak berguna hidup lebih lama!” Nenek Rambut Hitam pegang
kedua kaki Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua
tangannya bergerak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke
atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru, “Tukangtukang intip
keparat, terima ini!” Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak
sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah mengetahui
kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat
melompat ke samping. Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua
tubuh yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh Ketua Partai Angin
Timur menghantam sebuah pohon, pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah
tanpa nyawa! Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, lalu
jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah! Maklum kalau tiga
perempuan tua berbadan bungkuk itu sudah mengetahui kedatangannya
bersama Wiro, maka Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam
pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di sampingnya.
Kelima orang itu saling menyapu dengan pandangan mata masing-masing.
Diam-diam ketiga nenek itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng
meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik ketololan! Sedang
masing-masing mereka sama kerenyitkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak
membawa dua buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan apa
mereka tak bisa menduga. “Siapa kau?!” tanya Nenek Rambut Hitam. “Dan
kau juga?!” katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro Sableng. Dewa
Tuak tak segera menjawab melainkan mengangkat salah satu dari bumbung
bambu dan meneguk isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung
itu tidak ditutup. Meski dibawa berlari bagaimanapun kencangnya atau
dibawa melompat namun satu tetes pun tuak itu tidak tumpah. Ini adalah
berkat kehebatan tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaannya! Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum bahwa si orang tua
berjanggut itu bukan seorang yang bisa dianggap remeh maka dia cuma
memandang saja dengan mata mendelik! “Sobat-sobatku,” kata Dewa Tuak kepada tiga orang nenek, “Sebelum
kita bicara-bicara apakah tidak lebih bagus kalau kalian mencicipi
tuakku ini dulu?” Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhatikannya
orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian, “Kalau aku tak salah
duga, apakah kau manusia yang bergelar Dewa Tuak?!” Dewa Tuak usut-usut
janggutnya yang panjang sampai ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi
tuaknya beberapa kali. “Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa!” “Sejak
puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari dunia persilatan!
Tahu-tahu kini muncul unjukkan tampang! Tentu ada yang menyebabkannya!
Apakah kau yang sudah tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusan
mencari lukisan perempuan telanjang itu?!” Dewa Tuak tertawa
gelak-gelak. “Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang
teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini bukan tempatnya
lagi mengurus segala macam persoalan duniawi!” “Lantas perlu apa kau
datang ke sini dan mengintip tak tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini
apamu?!” Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya disebul
cecunguk hijau lalu tertawa geli! “Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani tertawa di hadapanku!” “Tertawa
saja apa susahnya?!” ujar Wiro lalu tertawa lagi lebih keras hingga
pondok itu terdengar hebat! Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak
buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki tenaga dalam yang
sehebat itu! “Kau tanyakan dia?” ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro dengan ibu jarinya. “Dia
adalah calon mantuku yang tidak jadi!” Lalu orang tua ini tertawa
bekakakan sampai kedua matanya berair. Wiro cuma cengar-cengir mendengar
ucapan Si Dewa Tuak. “Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini?!” Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka suara, “Pemimpin,
bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini tengah mencuri dengar percakapan
kita tadi dengan Ketua Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya
mereka akan dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang Sepasang
Elmaut Kuning!” Nenek Rambut Putih menimpali, “Bukan tak mungkin pula
mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, pemimpin!” Ucapan-ucapan
anak buahnya itu termakan oleh Nenek Rambut Hitam. Maka segera dia
memerintah, “Rambut Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau
Rambut Putih, bekuk cecunguk hijau itu!” Nenek Rambut Biru memang lebih
tinggi kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh meringkus Dewa
Tuak. “Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul tidak tahu
adat!” gerutu Dewa Tuak lalu cepat-cepal menyingkir ke samping kanan,
mengelakkan totokan yang dilancarkan Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak
Dewa Tuak angkat bumbung bambunya hingga ujungnya dengan tiada terduga
menyerang ke arah pinggang lawan! Tapi Nenek Rambut Biru tidak
berkepandaian rendah! Penasaran melihat totokannya lewat, dengan satu
jeritan keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertempuran yang
hebat. Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi Wiro Sableng.
Dengan memandang enteng dia lakukan serangan dan sekali menyerang dia
yakin akan sanggup meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah
terkejutnya ketika sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah bahkan
berkata mengejek, “Ah, jurus seperti ini telah kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh!” “Bocah
hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis Aneh?!” tanya Nenek
Rambut Putih. Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek malah
berkata, “Orang tua semacammu ini sepantasnya banyak bikin ibadat
dan sucikan diri! Bukannya malang melintang bikin kejahatan dan ikut
campur segala macam urusan duniawi!” “Kentut ingusan. Atas nasihatmu
itu aku akan hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda Berkiblat!
Terimalah!” Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal bayangan dan
tahu-tahu tiga jari tangan kanannya menotok ke dada, sedang lima jari
kiri mencakar ke arah muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu
sebenarnya hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya ialah
totokan pada dada! Bila lawan coba hindarkan mukanya dari cakaran maka
kecepatan totokan tangan akan ditambah dua kali lipat! Dan celakanya
Pendekar 212 kini kena tertipu! Begitu melihat lima jari mencakar di
depan hidung dia segera buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu
ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah melesat ke samping,
sedang tiga jari tangannya dengan kecepatan luar biasa menderu ke arah
dada Wiro Sableng! Penasaran sekali karena dia tahu bahwa totokan yang
lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan kanannya dari
atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si nenek berseru keras. Dia
tersurut sampai dua tombak, mukanya pucat bahkan terkejut. Nenek Rambut
Hitam segera maklum bahwa tenaga dalam anak buahnya itu jauh rendahnya
dari si pemuda. Ini adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan
ketika dia memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan neneknenek itu
kelihatan bengkak membiru sedang lengan Wiro Sableng hanya berbekas
merah sedikit! Kemudian dilihatnya pula pertempuran si rambut biru
dengan Dewa Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan
dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam. Segera dia berseru, “Kalian
berdua jangan bikin malu aku! Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika
kalian tak bisa meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!”
Mendengar seruan Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan Rambut Biru jadi
takut sekali. Keduanya segera loloskan setagen yang melilit di pinggang
masing-masing lalu menyerang dengan lebih sebat! Dua setagen yang
merupakan senjata ampuh itu tak ubahnya laksana dua ekor ular besar yang
meliuk-liuk sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak cepat membelit
pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah bahkan kadang-kadang mematuk
ke arah kedua mata! Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat.
Betapapun Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka, namun tetap
saja keduanya dibikin terdesak dan tak sanggup ke luar dari gulungan
setagen lawan! “Setagen sialan,” gerendeng Pendekar 212. Baik dia
maupun Dewa Tuak kini segera merubah sikap. Kalau tadi mereka cuma
main-main dan mengejek lawan mereka, maka setelah terdesak hebat dan
terkurung setagen yang berbahaya itu, mereka mulai lancarkan
serangan-serangan balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat!
Dalam tempo yang singkat lima jurus telah lewat. Nenek Rambut Hitam
penasaran sekali melihat kedua anak buahnya tiada sanggup meringkus
lawan masingmasing, padahal tiga jurus yang ditentukannya telah berlalu! “Kalian
berdua mundurlah!” bentaknya marah. Nenek Rambut Biru segera melompat
mundur. Namun karena agak gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, dia
menjadi sedikit lengah dan akibatnya ujung selendangnya berhasil
ditarik oleh Dewa Tuak sehingga robek! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak! Di
lain pihak Nenek Rambut Putih begitu melompat begitu dirasakannya
sekujur tubuhnya tak sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya ternyata
lawannya telah melibat sekujur badannya dengan setagennya sendiri!
Pucatlah paras nenek tua ini. Dia maklum bahwa pemuda itu berilmu tinggi
sekali dan kalau bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia kena
celaka! Nenek Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang itu. “Bagus!” katanya. “Rupanya
kalian memiliki ilmu yang diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju
berdua atau seorang-seorang?!” Dewa Tuak mendengus. “Bagusnya berdua sekaligus biar lekas kubereskan!” Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk tuaknya beberapa kali. “Dengar Rambut Hitam,” kata Dewa Tuak pula. “Mainmain dengan dua orang anak buahmu itu sudah cukup. Lain kali saja kau kami hadapi…!” “Kentut
tua bangka! Katakan saja kau tidak punya nyali menghadapi Nenek Rambut
Hitam!” Dewa Tuak ganda tertawa. Dia berpaling pada Wiro Sableng dan
berkata, “Mari kita pergi!” Tapi baru saja dia bergerak Nenek Rambut
Hitam sudah melompat ke hadapannya dan kirimkan satu serangan yang luar
biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang tua tidak bersikap waspada
pastilah dadanya akan kena jotosan keras dan mukanya disambar cakaran
dahsyat! Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si nenek. “Dasar tua bangka geblek! Masih saja mengikuti amarah membabi buta!” “Jangan
banyak ribut setan tua! Makan jariku ini!” Dengan lebih ganas lagi
Nenek Rambut Hitam menyerbu ke muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke
perut sedang lima jari tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa Tuak. Angin
serangan ini bukan main derasnya. Dewa Tuak memaklumi bahwa
dibandingkan dengan kedua anak buahnya sekaligus, si nenek yang satu ini
jauh lebih berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang dan putar kedua
bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan Nenek Rambut Hitam!
Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru, “Wiro kau
layanilah perempuan bongkok jelek ini!” Terkejutlah Nenek Rambut Hitam
dan dua nenek lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda. “Manusia-manusia keparat! Kau berani main-main terhadapku?!” sentak Nenek Rambut Hitam. “Siapa yang main-main? Kau tanya aku jawab!” sahut Dewa Tuak. “Apakah kau manusianya yang bernama Wiro Sableng?! Yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” tanya Nenek Rambut Hitam. “Ah,
perlu apa segala macam nama, segala macam gelar! Majulah! Kuharap kau
yang tua mau memberikan sedikit pelajaran padaku si bocah hijau!” sahut
Wiro pula. Meski Wiro tidak mengaku terus terang siapa dia adanya namun
Nenek Rambut Hitam yakin bahwa pemuda itu memang Wiro Sableng si
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Sejak berbulan-bulan belakangan ini
dia telah mendengar tentang munculnya seorang pemuda gagah di dunia
persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212. Banyak tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi mati
konyol di tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari Bukit
Tunggul, kabarnya juga telah menemui kematian di tangan pendekar muda
ini! Mau tak mau si Nenek Rambut Hitam menjadi gentar juga. Untuk
mengelakkan baku bantam dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka
Nenek Rambut Hitam berpaling pada Dewa Tuak dan berkata lantang, “Kalau
kau tak punya nyali untuk menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki
dari sini!” Dewa Tuak yang sudah dapat menduga hati perempuan itu
tertawa dan berkata, “Aku yang tak punya nyali atau kau yang takut hadapi kawanku itu?” Nenek Rambut Hitam tertawa bergetar. “Orang
muda! Tadinya aku hanya berniat untuk meringkusmu hidup-hidup! Tapi
karena kau begitu berani menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari
ini saja!” Sesudah berkata begitu si nenek menerjang ke muka. Wiro
bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan serangan balasan yang anginnya
saja membuat si nenek mengeluh! Tenaga dalam si pemuda jauh lebih tinggi
dari yang dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek Rambut Hitam tak
sanggup lagi lancarkan serangan-serangan bahkan musti mempertahankan
diri dan dalam jurus keempat terdesak hebat ke pojok pondok! Tiba-tiba
si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya lenyap dan jurus permainan
silatnya berubah sama sekali. Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan
kaki dan tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya
berbahaya mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Ilmu
Silat Delapan Kaki Delapan Tangan yang telah dipelajari Nenek Rambut
Hitam dari mendiang gurunya! Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan
memang patut dikagumi. Nyatanya selama lima jurus Wiro Sableng dibikin
bingung dan musti berhati-hati. Meski ilmu meringankan tubuh serta
tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun gerakan lawan yang tiada
terduga-duga itu mematahkan pertahanannya! Dan dua jurus di muka satu
hantaman telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada Pendekar 212!
Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia maklum kalau saja
dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya dari si nenek pastilah dia akan
mendapat luka di dalam yang amat berbahaya! Di lain pihak Nenek Rambut
Hitam tidak kepalang tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar!
Tangan dan kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang lagi! Dan
kembali Wiro Sableng terdesak! Dewa Tuak kerenyitkan kening. Hanya
sebegitukah kehebatan Pendekar 212 sehingga menghadapi ilmu silat si
nenek dia sudah dibikin kewalahan demikian rupa?! Si nenek sendiri juga
tiada menyangka bahwa dia akan berhasil memukul lawannya. Diam-diam dia
merasa berada di atas angin kini! Tiba-tiba Wiro menyurut sejauh satu
tombak. “Ha… ha! Apakah nyalimu sudah lumer orang muda?!” ejek Nenek Rambut Hitam. “Ah,
jangan lekas-lekas berbesar hati sobat tua! Kau rasakan dulu pukulanku
ini!” sahut Wiro. Serentak dengan itu dia sudah alirkan sebagian tenaga
dalamnya ke ujung tangan kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas.
Didahului oleh satu bentakan nyaring, Wiro Sableng pukulkan tangannya
ke arah si nenek. Begitu memukul begitu jari-jari tangan yang mengepal
membuka kembali! Inilah Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak asing
lagi! Nenek Rambut Hitam terkejut sekali sewaktu merasakan gelombang
angin keras laksana batu besar melanda ke arahnya. Sambil pukulkan kedua
tangannya sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik lalu
membuang diri ke samping! Braaak! Dinding pondok di belakang si nenek
pecah dan berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam melihat
kehebatan pukulan itu. Setelah tenangkan hatinya dia maju menghadapi
lawannya kembali. Dan pada saat itu untuk pertama kalinya Wiro Sableng
membuka jurus pertempuran dengan menyerang lebih dahulu! Si nenek
dibikin gelagapan kini. Serangannya selalu mengenai tempat kosong sedang
pertahanannya saat demi saat semakin mengendur. Bila dia tidak kuat
lagi menghadapi pemuda itu maka tanpa malu-malu Nenek Rambut Hitam
lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari rambutnya! Dengan kedua
senjata itu dia menyerang Wiro Sableng. Setelah bertempur dua jurus
maka Wiro segera mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di tangan kanan
si nenek jauh lebih berbahaya daripada setagen di tangan kanannya!
Semakin lama pertempuran semakin seru. Tibatiba si nenek hentikan
gerakannya dan memandang bingung karena lawannya lenyap seperti ditelan
bumi! “Aku di sini, Rambut Hitam!” Terdengar suara Wiro di
belakangnya! Nenek Rambut Hitam kertakkan geraham dan secepat kilat
membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya membalik maka, plaaak…! Telapak
tangan kanan Wiro Sableng menghantam keningnya! Perempuan tua itu
melengking kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding pondok.
Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening sedang keningnya sakit
bukan main! Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum pernah
mereka melihat pemimpin mereka dihajar demikian rupa! Selama ini tak
pernah seorang pun yang sanggup menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa
mendapat celaka! Dan yang membuat mereka lebih terkejut lagi ialah
sewaktu melihat kening pemimpin mereka. “Pemimpin, keningmu!” seru
Nenek Rambut Biru. Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening itu sakit
sekali dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yang menyebabkan
Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain karena akibat pukulan telapak
tangan kanan Wiro tadi kini di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga
deretan angka yaitu 212! Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk…
cegluk… cegluk, dia lalu teguk tuaknya. “Rambut Hitam, sobatku telah
hadiahkan tiga buah angka di keningmu! Apakah kau masih belum mau
mengaku kalah?!” Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum apa
yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang mengguratkan angka telah
menimpa keningnya. Tiga deretan angka itu tak akan bisa dihilangkan
seumur hidupnya! Nenek Rambut Hitam menggerutu macam singa lapar! “Anak
haram jadah mampuslah!” lengking si nenek. Tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya berkomat-kamit. Seluruh pondok itu
dengan tibatiba dilanda hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro sendiri
yang tak mengerti apa yang tengah terjadi sampaisampai bergeletar
tubuhnya dilanda hawa dingin itu. Geraham-gerahamnya bergemeletukan.
Melihat ada kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak berseru, “Wiro cepat
menghindar! Bangsat keriput ini mau lepaskan pukulan Salju Kematian!”
Habis berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat meneguk tuaknya. Dalam
pada itu Nenek Rambut Hitam melengking nyaring dan hantamkan tangan
kanannya ke arah Wiro dan Dewa Tuak! Satu gelombang benda putih yang
bentuknya putih seperti salju, menderu amat dingin ke arah kedua orang
itu. Dewa Tuak runcingkan mulutnya yang menggembung lalu menyembur ke
muka! Terdengar suara laksana air bah sewaktu semburan tuak dan pukulan
salju kematian saling beradu. Bumi seperti mau kiamat. Dewa Tuak cepat
tarik lengan Wiro Sableng lalu melompat ke atas atap menerobos melewati
lobang besar. Dari sebuah cabang pohon kemudian Wiro melihat bagaimana
pondok itu hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh lapisan salju
putih! Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga nenek itu tidak
kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala ke cabang di samping. Dia
terkejut sewaktu melihat Dewa Tuak duduk bersila di atas cabang dengan
pejamkan mata. Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu
pukulan tadi telah membuat si orang tua menderita luka di dalam yang
parah juga. Lama Dewa Tuak bersila seperti itu. Sewaktu dia buka kedua
matanya kembali, cepat-cepat diambilnya sebutir pil dan ditelannya.
Sesaat kemudian wajahnya yang pucat telah normal lagi seperti biasa!
Dewa Tuak tarik nafas panjang, geleng-gelengkan kepala dan leletkan
lidah sewaktu memandang ke pondok yang kini tertimbun salju kematian
itu! “Ternyata benar perempuan busuk itu telah mendapatkan ilmu
Pukulan Salju Kematian!” kata Dewa Tuak seakan-akan pada dirinya
sendiri. “Kelihatannya masih kurang sempurna. Tapi sudah demikian
luar biasa…!” Wiro sendiri diam-diam bergidik juga melihat pukulan yang
bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam Dewa Tuak berada jauh di atas
Nenek Rambut Hitam, tapi pukulan Salju Kematian yang dilepaskan si nenek
membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat! “Meski seseorang
memiliki tenaga dalam yang sepuluh kali lebih tinggi, tapi jangan
coba-coba berani adu kekuatan dengan pukulan salju kematian itu.” Dewa
Tuak gelenggeleng kepala kembali. “Aku tak mengerti, bagaimana
keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. Itu adalah
salah satu dari beberapa ilmu pukulan yang pernah menggetarkan dunia
persilatan dan menjadi rajaraja ilmu pukulan!” “Jika ilmu semacam itu dipergunakan untuk kejahatan bisa berbahaya,” kata Wiro pula. “Itulah
yang aku kuatirkan,” desis Dewa Tuak. Diam-diam Wiro ingin sekali
menghadapi Nenek Rambut Hitam itu kembali. Apakah ilmu pukulan Sinar
Matahari-nya sanggup menghadapi ilmu pukulan Salju Kematian itu? “Dewa Tuak, apa yang kita buat sekarang?” tanya Wiro. “Aku
bermaksud meneruskan perjalanan mencari lukisan telanjang itu…” Tak ada
jawaban. Wiro berpaling. Astaga! Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya.
Dia mencari-cari tapi orang tua itu tiada kelihatan. “Dewa Tuak! Di
mana kau?!” teriak Wiro memanggil. Tetap tak ada jawaban. Wiro hendak
melompat turun. Tapi tiba-tiba pada batang pohon di mana dia berada
dilihatnya sebaris tulisan ‘Pergilah ke Utara!’. Pasti itu adalah
tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa menunggu lebih lama Wiro segera melompat
dari atas pohon.
MATA yang
cuma sebuah itu memandang tanpa berkedip pada lukisan perempuan
telanjang yang terletak di atas meja. Digelengkannya kepalanya lalu
dirobahnya letak lukisan itu dan ditelitinya kembali. Dirobahnya lagi,
ditelitinya lagi, demikian sampai satu jam lebih. Akhirnya dia menjadi
penasaran sekali dan memaki habis-habisan. “Keparat betul! Keparat betul!” “Mata Picak!” satu suara menegur laki-laki yang memaki-maki itu. “Lama-lama kau bisa jadi gila!” Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan mendelikkan matanya yang cuma satu. “Kuping Sumplung! Kau bisanya mengejek saja!” kata si Mata Picak. “Perlu
apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu sudah ada di tangan kita. Dan lambat
laun pasti kita akan berhasil membongkar rahasia yang terkandung di
dalamnya!” “Tolol betul kau Kuping Sumplung!” sentak Mata Picak. “Apa
kau tidak tahu dunia persilatan kalang kabut? Tokohtokoh persilatan
kasak-kusuk mencari-cari lukisan ini? Ingat waktu lukisan ini dirampas
oleh Awan Langit tempo hari? Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu
silat hebat ini akan dirampas orang lain lagi sebelum kita berhasil
memecahkan rahasianya!” “Tapi marah-marah dan memaki begitu mana
mungkin kau bakal bisa menecahkannya!” ujar Elmaut Kuning Kuping
Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua tokoh silat golongan hitam
yang bergelar Sepasang Elmaut Kuning. Merekalah yang telah membunuh Si
Pelukis Aneh dan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu
telah lama berada di tangan mereka namun tak seorang pun dari mereka
yang berhasil memecahkan rahasianya. Lukisan itu telah berpuluh-puluh
jam mereka teliti mereka jungkir balikkan, namun tetap saja tak dapat
mereka membongkar rahasia ilmu silat yang menurut keterangan terkandung
dalam lukisan itu! Jangan-jangan Si Pelukis Aneh hanya menipu saja!
Lukisan ini tak ada apa-apanya! Elmaut Kuning Kuping Sumplung perhatikan
lengan kirinya yang buntung akibat dibetot putus oleh Si Pelukis Aneh
sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu! Dia kemudian tertawa dingin
dan berkata, “Kau sekarang yang jadi orang tolol! Kalau lukisan ini
tak ada apa-apanya masakan orang tua keparat itu sampai-sampai mau
mengadu jiwa!” Elmaut Kuning Mata Picak jambak-jambak rambutnya. “Tapi
sialan sekali! Masakan sampai saat ini kita tak bisa memecahkan
rahasianya?!” Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku batu. Ditatapnya
sebentar lukisan di hadapannya. Dia sendiri sebenarnya heran juga karena
sampai sedemikian lama tak sanggup membongkar rahasia lukisan tersebut. “Apakah kau sudah meneliti kayu pigura lukisan itu?!” bertanya Elmaut Kuning Kuping Sumplung. “Setiap sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga bagian belakangnya!” sahut Mata Picak. “Agaknya kita membutuhkan seseorang yang bisa membuka rahasia lukisan ini…” desis Kuping Sumplung. “Tapi siapa manusianya?!” tanya Mata Picak. “Satusatunya manusia yang tahu rahasia lukisan ini adalah Si Pelukis Aneh sendiri! Dan dia sudah mampus di tangan kita!” “Siapa tahu calon muridnya juga mengetahui…” kata Kuping Sumplung pula. Elmaut Kuning Mata Picak tertegun. “Mungkin juga…” desisnya. “Kalau
begitu kita datangi anak itu kembali dan paksa dia memberi keterangan!”
ujar Kuping Sumplung seraya berdiri dari duduknya. “Tempat anak itu ratusan kilo dari sini…” “Soal jauh bukan halangan!” potong Kuping Sumplung. “Ada hal lain yang aku khawatirkan,” ujar Mata Picak. “Apa?” “Kalau
kita pergi berarti kita harus membawa lukisan ini. Dan kau tahu
sendiri! Puluhan orang-orang persilatan mengincar-incar lukisan ini!
Kita bisa konyol sendiri dikeroyok beramai-ramai!” Elmaut Kuning Kuping
Sumplung tertawa dingin. “Apa nyalimu sudah keropok?!” ejeknya dengan pencongkan hidung. Mata Picak menjadi gusar. “Mulutmu
kelewat tekebur, Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku
tak mau terlibat dengan manusia-manusia yang membikin kita jadi berabe
dan tambah urusan! Di lain hal kita musti mengakui bahwa di atas kita
masih ada tokoh-tokoh persilatan yang benar-benar lihai dan kosen!
Apakah kau mau kehilangan satu lenganmu lagi?!” Merah-lah paras Elmaut
Kuning Kuping Sumplung. Dia balikkan badannya dengan cepat hendak
tinggalkan tempat itu. Tapi mendadak di ambang pintu goa langkahnya
tertahan dan parasnya berubah. “Mata Picak! Lekas ke sini!” seru
Kuping Sumplung. Mata Picak heran mendengar nada seruan kawannya itu.
Dia melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di mana mereka berada
itu terletak di satu dasar lembah yang penuh dengan batu-batu besar. Di
balik batu-batu yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali orang
laki-laki yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing tergenggam
sebatang golok besar berbentuk empat segi seperti golok penjagal babi!
Menurut taksiran Mata Picak, orang-orang yang ada di lembah itu semuanya
berjumlah sekitar duapuluh orang! Melihat kepada golok-golok besar
empat persegi di tangan mereka yang berkilau-kilau ditimpa sinar
matahari, melihat pula kepada pakaian seragam hitam yang mereka kenakan,
Sepasang Elmaut Kuning segera mengenali siapa mereka itu adanya. “Kroco-kroco sialan ini pasti hendak membalaskan sakit hati ketua mereka,” desis Mata Picak. “Kurasa
demikian. Agaknya mereka belum tahu letak tempat kita ini. Apakah perlu
kita segera bertindak…?” tanya Kuping Sumplung. Mata Picak
manggut-manggut. Dengan tersenyum aneh dia melangkah ke luar dari goa.
Kuping Sumplung mengikut di belakang. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak
melesat ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu pula terdengar
suara keluhan pendek. Di lain kejap dari balik batu itu melesatlah
sesosok tubuh berpakaian hitam, laksana terbang ke udara dan kemudian
jatuh di atas sebuah batu besar dalam keadaan tulang belulang hancur
berantakan! Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di lembah
batu itu terkejut dan lari ke batu besar di mana kawan mereka
menggeletak mengerikan tanpa nyawa! Semuanya terkejut dan berubah paras
masing-masing. Dan darah mereka tersirap sewaktu di lembah batu itu
mengumandang dua buah suara tertawa yang menggidikkan! Ketika mereka
palingkan kepala, semuanya melihat dua orang berjubah kuning berewokan
berdiri di atas sebuah batu yang menjulang lima tombak tingginya! “Sepasang
Elmaut Kuning!” seru mereka hampir serentak. Elmaut Kuning Mata Picak
dan Kuping Sumplung tertawa lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak
hentikan tawanya dan bertanya membentak, “Siapa yang menjadi pemimpin
rombongan tikus-tikus busuk ini?!” Seorang laki-laki berbadan tegap,
berkumis melintang, dada berbulu, melompat ke muka dan menuding keren. “Kalian
berdua turunlah untuk menerima kematian!” Sepasang Elmaut Kuning saling
pandang lalu untuk kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak. “Apakah kau mimpi atau mengigau di siang bolong?!” sentak Kuping Sumplung. “Ketuamu sudah mampus di tangan kami!” “Ketua Perguruan Seberang Kidul boleh lenyap. Tapi Perguruan Seberang Kidul tak dapat dimusnahkan dari muka bumi ini…!” “Kalau begitu kami Sepasang Elmaut Kuning akan menggusur Perguruan Seberang Kidul hari ini juga hingga cuma tinggal nama!” “Tak
usah bermulut besar! Lekas turun!” teriak si kumis melintang. Dia dan
kawan-kawannya adalah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua
mereka telah menemui kematian di tangan Sepasang Elmaut Kuning gara-gara
terlibat dalam perebutan lukisan perempuan telanjang! “Tikus-tikus
busuk! Ketahuilah kalian akan melepas jiwa di sini!” teriak Mata Picak
dan serentak dengan itu, diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia
melompat ke bawah. Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan
berpakaian seragam hitam segera mengurung dan dengan serempak menyerbu
Sepasang Elmaut Kuning! Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di
lembah berbatu-batu itu. “Kalian mencari mati!” seru Mata Picak. “Bangkai
kalian akan membusuk di sini! Akan digerogoti burung-burung pemakan
mayat!” bentak Kuping Sumplung! Lalu keduanya dengan berbarengan
hantamkan tangan kanan ke muka. Dua larik sinar kuning menderu. Puluhan
benda berwarna kuning yang berbentuk paku beterbangan gencar ke arah
anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul yang hendak menuntut balas
kematian ketua mereka. “Paku Emas Beracun!” pekik anak-anak murid
Perguruan Seberang Kidul. Yang berkepandaian tinggi putar golok mereka
dengan sebat menangkis. Yang lain-lain berserabutan menghindar. Tapi
serangan senjata rahasia paku emas beracun dari kedua tokoh silat
golongan hitam itu luar biasa sekali, tak sanggup ditangkis, sukar
dikelit! Dua kelompok anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul roboh
bertumpukan. Mereka berkelojotan sebentar lalu diam meregang jiwa! Tubuh
masing-masing penuh ditancapi paku-paku emas beracun! Dua belas orang
yang masih hidup dengan kalap membabi-buta menyerang Sepasang Elmaut
Kuning. Dua belas golok besar menderu bersirebut cepat! Laksana hujan
menerpa ke arah dua manusia yang diserang! Sepasang Elmaut Kuning ganda
tertawa. Keduanya hantamkan tangan kembali ke muka. Dan terdengar lagi
pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata rahasia itu.
Delapan orang menggeletak roboh! Delapan jiwa melayang! “Kawan-kawan
larilah!” seru seorang dari empat anak murid Perguruan Seberang Kidul
yang masih hidup. Maka serentak dengan itu keempatnya keluar dari
kalangan pertempuran dan melarikan diri. “Mau lari ke mana?!” bentak Mata Picak. “Kalian
musti ikut sama-sama kawan kalian ke neraka!” Lalu menyusul selarik
sinar kuning menderu ke punggung keempat orang yang lari menyelamatkan
jiwa itu. Sinar kuning menyambar! Keempatnya mencelat mental dan
menjerit, lalu roboh menyusul kawan-kawan mereka! Seperti yang dikatakan
oleh Elmaut Kuning Kuping Sumplung tadi, maka kini Perguruan Seberang
Kidul betulbetul hanya tinggal nama saja lagi! “Manusia-manusia
tolol!” desis Mata Picak seraya sapukan pandangannya pada mayat-mayat
yang bertebaran di atas dan di antara batu-batu di lembah itu. Kuping
Sumplung sebaliknya bertanya, “Bagaimana? Kurasa makin cepat kita berangkat ke tempat anak itu, makin baik!” “Anak mana maksudmu?” tanya Mata Picak. “Calon muridnya si Pelukis Aneh!” “Ah,
rencanamu itu perlu dipikirkan masak-masak dulu!” sahut Mata Picak
seraya melangkah ke goa. Dengan hati penasaran Kuping Sumplung melangkah
di belakangnya. Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa tiba-tiba
meledaklah suaranya, “Celaka! Lukisan itu lenyap!” Kedua orang itu
melesat masuk ke dalam goa! Lukisan perempuan telanjang yang sebelumnya
terletak di atas meja kini tak ada lagi di tempat itu! “Bangsat
kurang ajar! Siapa yang berani-beranian jadi maling di sarangku?!”
teriak Mata Picak lari ke luar goa dan melompat ke atas sebuah batu yang
tinggi. Sewaktu dia sampai di atas batu dan memandang berkeliling, di
jurusan timur dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat sekali. Dan sosok
tubuh itu memboyong sebuah benda empat persegi yang bukan lain daripada
lukisan perempuan telanjang adanya!
MANUSIA yang
melarikan lukisan perempuan telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia
mengenakan jubah merah yang panjang sekali hingga menjelajela sepanjang
larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil beterbangan dilanda angin
jubah manusia katai ini. Hebatnya manusia ini larinya luar biasa
cepatnya. Dalam sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu.
Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang! Tiba-tiba dia
merasa ada yang mengejar di belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua
manusia berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai
terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. Lewat sepeminum teh
seketika dia menoleh lagi ke belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya
tinggal beberapa puluh langkah saja lagi! Manusia katai ini merutuk. “Celaka!
Kedua bangsat itu betul-betul lihai!” Dan bila kedua pengejar yang
bukan lain daripada Sepasang Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima
belas langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu larinya.
Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur, tapi anehnya bagaimana
pun sepasang Elmaut Kuning mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka
tak berobah dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut
Seribu Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia katai. Ilmu
lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat saja yang memilikinya! “Heran!” kata Elmaut Kuning Kuping Sumplung. “Jarak kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejar bangsat itu?!” “Kurasa
dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu Jarak,” sahut Mata Picak yang
berpengalaman lebih luas dan berpemandangan tajam. “Berhenti!” teriak Kuping Sumplung. Tapi mana si katai mau hentikan larinya! Marahlah Mata Picak. Hilang kesabarannya. “Berhenti!
Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun!” Tergetarlah
hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga tidak mau. Dia lari terus
dan berusaha memperlebar jarak! “Bedebah laknat!” maki Mata Picak.
Tangan kanannya diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. Si katai
menoleh sewaktu dirasakannya sambaran angin dingin menyambar di
belakangnya. Melihat selarik sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke
arahnya dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia membalas
dengan satu pukulan tangan kosong yang mendatangkan angin panas yang
luar biasa dahsyatnya! Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan
buru-buru menghindar. “Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan
angin panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak Mata Picak. Dan
ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu sudah dua puluh tombak
jauhnya. Bersama Kuping Sumplung dia mengejar kembali! Di satu
pendakian, mendadak si katai hentikan larinya dan kaget sekali. Jalan
buntu dan di depannya kini terbentang sebuah jurang yang lebar dan tak
mungkin untuk dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam! “Ha-ha!
Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak Kuping Sumplung. Tapi Si
Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana seekor burung walet dia
melompat ke cabang sebuah pohon. “Turun!” teriak Mata Picak. “Serahkan lukisan itu dan berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!” “Ha-hu… ha-hu… ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara. “Ayo turun lekas!” teriak Kuping Sumplung. “Ha-hu… ha-hu… ha-hu!” “Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata Picak angkat tangan kanannya. “Ha-hu!”
Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu menunjuk ke lukisan perempuan
telanjang kemudian tertawa dan mencibir! Mata Picak yang tak mengerti
apa maksud manusia itu siap untuk memukulkan tangannya ke atas.
Tiba-tiba Si Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan
telanjang! Mata Picak terkesiap kaget dan batalkan serangannya. Kini dia
maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si Katai Bisu tadi. Yaitu
jika dia meneruskan melancarkan pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku
itu akan merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu
mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! Mata Picak memaki
hahis-habisan. Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan memukul.
Braak! Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tumbang. Tapi Si
Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain! “Setan alas!” Mata Picak
melesat ke depan dan lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si
Katai Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil pergunakan
lukisan perempuan telanjang untuk menangkis serangan lawan. Mau tak mau
Elmaut Kuning Mata Picak tak berani lancarkan serangan yang terlalu
ganas terhadap lawannya karena khawatir akan merusak lukisan! “Kuping
Sumplung! Serang bangsat itu dari belakang!” teriak Mata Picak marah
sekali. Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera berkelebat dan menyerang Si
Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka Mata Picak kembali menyerbu!
Namun Si Katai Bisu tidak menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia
putar lukisan perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itu
kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan saja putaran
lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, tapi juga merupakan serangan
balasan yang sekaligus memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam
waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! Sepasang Elmaut
Kuning menyumpah-nyumpah tak ada hentinya. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata
Picak mendapat akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia
memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini membuat Si Katai Bisu
melompat ke udara. Melihat ini dengan cepat Mata Picak menyusul dengan
satu serangan ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa
ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke belakang menyambar
lengan kiri Kuping Sumplung yang hendak menotok punggung Si Katai Bisu!
Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut Kuning Mata Picak
pada kambratnya. “Keluarkan jurus Elmaut Menggila!” Kedua manusia
berjubah kuning itu mundur setombak lalu dibarengi dengan jerit pekik
dahsyat yang laksana merobek gendang-gendang telinga keduanya menyerbu
kembali dalam satu jurus aneh! Lambat laun suara pekik dan jerit yang
datangnya dari pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup
dan panik gerakan-gerakan silatnya! Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning
Mata Picak memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu dengan
sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya hanya tipuan belaka.
Karena begitu lukisan menderu secepat kilat Mata Picak tarik pulang
serangannya dan ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat
yang sama dari belakang Elmaut Kuning Kuping Sumplung lancarkan pula
satu serangan ganas ke arah kepala. Si Katai Bisu menggerung lalu
membuang diri ke samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke bawah
sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian bawah jubahnya.
Serangkum angin merah menyambar ke arah Kuping Sumplung membuat manusia
ini batalkan serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain
pihak Elmaut Kuning Mata Picak yang tidak berani adu kekuatan dengan
lukisan yang menyambar kakinya, terpaksa tarik pulang tendangannya.
Namun Mata Picak menjadi gugup sewaktu melihat bagaimana ujung pigura
lukisan menyambar ganas ke arah matanya tak sanggup dikelit!
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan matanya hanyalah dengan
pergunakan lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan
lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis tentu akan
terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut Kuning Mata Picak lebih
baik melihat lukisan itu rusak, toh nanti bisa diperbaiki lagi. Juga
merasa lebih baik lengannya mendapat luka daripada harus kehilangan
matanya yang cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan
kirinya dengan cepat. Braak! Kayu pigura lukisan perempuan telanjang
patah dan sudutnya menganga. Lengan kiri Elmaut Kuning Mata Picak juga
patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan kalap menyerbu ke muka
kirimkan pukulan Paku Emas Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak
perduli lagi apakah pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan
lukisan di tangan lawan! Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari
lawan, Si Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas kebutkan jubah
merahnya. Segelombang sinar merah laksana topan prahara memapasi
serangan Elmaut Kuning Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang
melesat ke arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di antaranya
ada yang membalik menyerang Mata Picak sendiri, membuat manusia ini
dengan cepat menghindar ke samping selamatkan diri! Si Katai Bisu
membalikkan badan dengan cepat sewaktu di belakangnya terasa sambaran
angin dingin. Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan Kuping
Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak mungkin ditangkis tak bisa
dikelit! Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk berjibaku
dan tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping Sumplung sedang tangan
kanan mendorong ke muka! Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari
Si Katai Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. Tiga di
antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun lagi begitu jatuh di
tanah, nafasnya lepas sedang sekujur badannya kelihatan menggembung
biru! Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepalanya dari
tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut Kuning Kuping Sumplung tak
sempat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si
Katai Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja tubuh itu
tidak membentur patahan pohon yang tadi dipukulnya, pasti Elmaut Kuning
Kuping Sumplung akan melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung
muntahkan darah segar lalu roboh pingsan! Mata Picak segera menyambar
lukisan yang rusak piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan
meninggalkan tempat itu dengan cepat.
DI SEBELAH
utara kelihatan Gunung Merapi menjulang tinggi penuh kemegahan. Hari
itu adalah hari ke duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng
dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia tengah menuju ke
sebuah kota kecil yang terletak di selatan kaki Gunung Merapi. Di satu
jalan yang sepi Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti
biasa. Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpakaian
compang-camping berjalan melenggang-lenggok dengan seenaknya. Di
tangannya ada sebuah kaleng berisi batu yang setiap saat
diguncang-guncangnya hingga mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak
kirinya terkempit sebuah tas daun pandan. Yang membuat Wiro diam-diam
jadi tertegun ialah karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang
tua berpakaian compang-camping itu sudah berada di hadapannya. Wiro
sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus saja melangkah
seenaknya dan hendak memapasi Wiro. Maka Pendekar 212 pun menegur
bertanya, “Orang tua, apakah ini jalan yang menuju ke kota
Paritsala?” Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh pada si
pemuda dia membuka mulut, “Siapa tanya siapa?” Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu berbunyi berkerontangan. Wiro tersenyum lagi. “Namaku
Wiro. Aku dalam perjalanan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan
yang betul?” Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan memandang
Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki. “Ah… melihat kepada air mukamu
rupanya kau tengah mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang…”
Dan habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan lagi
kaleng di tangan kanannya. Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar
ucapan si orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini. “Coba
ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tibatiba memerintah. Wiro
Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan orang tua itu dan
disuruh ulurkan telapak tangan kirinya. Mau apakah? Namun akhirnya
karena ingin tahu Wiropun ulurkan telapak tangan kirinya. Si orang tua
memperhatikan telapak tangan itu lalu dengan telunjuk tangan kirinya
diikutinya guratan-guratan garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro
Sableng terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak tangannya,
telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah batu besar yang ratusan
kati beratnya! Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka Wiro
segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan kiri itu. Si orang tua
terus juga mengikuti garis-garis pada telapak tangannya dan Wiro merasa
tangannya tergetar hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat
dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga dalamnya ditindih
hebat oleh tenaga dalam si orang tua. Bagaimanapun dia mempertahankan
pastilah telapak tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu
untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil batuk-batuk dia
berkata, “Orang muda, masa depanmu penuh rintangan dan
kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis di telapak tanganmu itu penuh
dengan garis-garis bahaya yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi
kau tak perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun besar
bahaya kau kelak akan berhasil melewati semuanya.” Orang tua aneh
kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu meneruskan, “Garis
percintaanmu tidak begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit
sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik…” Kaleng
berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar 212 kelihatan merah
menjengah! Dan si orang tua bertanya, “Kau tengah menuju ke Paritsala?” “Betul orang tua,” jawab Wiro. “Kunasihatkan agar dibatalkan saja…” “Memangnya ada apakah?” “Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan dan bahaya di mana-mana…” “Tapi
seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke utara…,” kata Wiro yang
ingat akan petunjuk yang diberikan Dewa Tuak. Orang tua itu tertawa
tawar sambil kerontangkerontangkan kalengnya lalu hendak menindak
meninggalkan tempat itu. “Orang tua, kuucapkan terima kasih atas
petunjukmu. Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu…” Orang tua
itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan dengan melangkah acuh tak acuh
dia meninggalkan Wiro Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku
Si Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku tidak tahu…
Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua aneh itu terus
diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap di kejauhan. Wiro Sableng
berdiri terlongong-longong. Orang persilatan mana yang tak tahu dan tak
pernah mendengar tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu?
Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengembara ke
mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia berpapasan dengan
seseorang pastilah dia akan mengatakan sesuatu. Dan apa yang
dikatakannya itu selalu betul. Itulah sebabnya dia diberi nama Segala
Tahu oleh orangorang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan orang tua itu. Dia segera melanjutkan perjalanan.
Di satu persimpangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai
dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke Paritsala. Belum
lagi dia sempat membelok ke kanan, di belakangnya terdengar derap
kaki-kaki kuda dan gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang
penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing dengan cepat, mengawal
sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul
sepanjang jalan. Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang kuda
berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka terpampang gambar kepala
burung garuda. Pada bagian samping kereta putih juga terdapat gambar
semacam itu. Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas
dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik sekali. Kereta
lewat dengan cepat tapi Wiro masih terkesiap melihat paras jelita itu.
Mata perempuan itu laksana sinar bintang timur di malam cerah! Wiro
memandang ke jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan
ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah menempuh jalan
vang ditempuh rombongan itu. Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng
memasuki Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang
dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun tertambat di
halaman. Karena bangunan itu adalah rumah penginapan maka Wiro Sableng
pun segera menuju ke sana. Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga
bawah pintu penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah agak
lanjut. “Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?” “Betul” sahutWiro. “Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang…” “Seluruh kamar?” ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di halaman. “Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah menempatinya?” “Ya.” “Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?” “Enam belas… Mengapa?” “Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas orang,” kata Wiro. “Pasti ada kamar yang masih kosong untukku…” “Sudah
kubilang semua kamar diambil oleh rombongan itu. Majikanku
memerintahkan agar menolak siapa saja yang hendak menginap di sini…”
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, “Kalau begitu aku musti cari penginapan lain,” katanya setengah menggerutu. “Di sini tak ada lagi penginapan lain.” “Hem…” Wiro menggumam. “Terpaksa kau menolong menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak jadi apa.” “Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!” Wiro Sableng jadi penasaran. “Apa
kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk sebuah gudang tua? Atau
kau minta sogok agaknya heh?!” Paras orang tua pelayan penginapan itu
berubah kesal. “Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara lantang. Salah-salah kau bisa berabe!” Wiro keluarkan suara bersiul. “Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini “Ah!
Tak usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar tubuh hendak masuk
kembali tapi Wiro mencekal bahunya hingga dia tak bisa bergerak. “Katakan
dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis Wiro ke telinga pelayan itu. Dan
si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu merasakan bagaimana telapak
tangan Wiro yang berada di bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas
ke lantai! “Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh
Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya tengah menuju ke
puncak Gunung Merapi. Di sana akan dilangsungkan perkawinan anak
gadisnya dengan seorang pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi…” Wiro
angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada sekilas bayangan raut wajah
gadis jelita yang dilihatnya tewat jendela kereta. “Sekarang kau
lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, Ketua Perguruan Garuda Sakti galak
luar biasa! Sekali dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti
akan kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali tampar saja
pasti kepalamu menggelinding!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Kurang
ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tibatiba satu suara garang
membentak dan sesaat kemudian seorang laki-laki berbadan tinggi tegap
sudah berdiri di ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada
bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia berdiri bertolak
pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro. Pelayan penginapan berdiri
dengan muka pucat! “Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!” “Hak
apakah kau mengusirku?!” tanya Wiro dengan senyum mengejek. Marahlah si
tinggi besar. Tangan kanannya dengan cepat diulurkan menjambak rambut
Wiro Sableng. Begitu terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut
si tinggi besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya
yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang sebuah area batu yang
ratusan kati beratnya dan keras luar biasa, tak sanggup tangannya
memuntir! “Mampus!” teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan
tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditanggalkannya kepala Wiro
dari badannya, sekurang-kurangnya rambut pemuda itu akan berserabutan
dari batok kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak
diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyentakkan
tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan darah di dadanya! Si
tinggi besar mengeluh tertahan. Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang
dalam keadaan kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya ke
sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi besar menyangsrang
di antara cabang pohon, tak bisa bergerak, tak dapat turun! Orang itu
memaki-maki. Wiro sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat
itu! Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik jendela sebuah
kamar penginapan dan mengikuti kepergian Pendekar 212.
KETIKA dia
menempuh jalan yang menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap
kaki kuda datang mendekatinya dari arah belakang. Menyangka bahwa yang
datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar tadi segera Wiro
berlindung di balik sebatang pohon. Nyatanya si penunggang kuda adalah
pelayan penginapan tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan
dan memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada di jalan
itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana. “Hai! Kau mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon. “Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan. “Ikut ke mana?” tanya Wiro heran. “Jangan
bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak
murid Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke sini! Lekas naik di
belakangku!” “Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali! “Lekaslah!”
kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro
melompat juga ke atas punggung kuda di belakang si pelayan. “Bapak,” bisik Wiro waktu mereka berlalu dengan cepat, “Kalau
kau menipuku, aku akan gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!”
Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat
sepeminum teh pelayan penginapan hentikan kudanya di satu tempat. Hari
telah senja dan berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling.
Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini
Wiro menjadi curiga dan segera cekal tangan si pelayan. “Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke sini?!” desis Wiro Sableng. “Kalau
aku betul-betul menipumu kau boleh betot batang leherku!” jawab si
pelayan. Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang
penginapan terbuka dan dua orang berpakaian hitam-hitam dengan gambar
kepala burung garuda pada dadanya melangkah cepat ke kandang kuda.
Dengan menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan bagian belakang
penginapan dan lenyap ditelan kegelapan malam. Suara kaki-kaki kuda
mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin malam di kejauhan! “Ikut aku!” kata pelayan itu. “Tunggu!” jawab Wiro. “Terangkan dulu apa arti semua ini!” “Orang
muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan.
Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud jahat
padamu!” “Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah itu?!” tanya Wiro Sableng lagi, “Kita
tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” Wiro Sableng di belakang si
pelayan. Sepasang bola matanya berputar liar waspada kian kemari sambil
melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. Suasans sunyi senyap.
Satu-satunya makhluk hidup yang kelihatan ialah seekor kucing yang
tengah menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati
membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di bagian
belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah gudang tempat
menyimpan segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa
Wiro Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di
sebuang gang. Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah
mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya
terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling
pada Wiro. “Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan masuk
ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu adalah orang yang
memerintah aku!” Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam hati.
Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati pintu kamar di ujung
kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke
dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam
kamar, terkesiaplah Pendekar212! Di hadapannya berdiri seorang dara
berkulit kuning langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar
laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbungabunga merah yang
bagus sekali potongannya. Pada rambutnya yang digulung ke atas itu
tersisip tusuk konde dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda.
Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu kamar. Berada
sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis hidungnya mencium bau harum yang
keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian
melangkah kembali ke tengah kamar. “Saudari apakah artinya ini?”
tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan
si jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui
seorang laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia berhadapan
seorang gadis jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis
dalam kereta putih yang dilihatnya di tengah jalan tadi sore! “Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyusupkan suara?” si gadis bertanya perlahan. Wiro Sableng terkejut “Apaan
pula ini?” tanyanya dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga.
Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis berkata, “Aku telah
saksikan apa yang kau lakukan ternadap anak murid ayahku di depan
penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan
penolongku…” “Hem…,” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Pertolongan
apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau
adalah anak gadisnya Ketua Perguruan Garuda Sakti.” Si gadis anggukkan
kepala. “Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi…” “Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi.” “Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si jelita. Lalu sambungnya, “Perkawinanku
dengan anak lakilaki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku
yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak
ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! Di lain hal aku sama sekali
tidak mencintai anak Ketua Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini
dibatalkan tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk menghindarkan
agar jangan sampai ada pertumpahan darah antara perguruan ayahku dengan
Perguruan Merapi.” “Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua
Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, kenapa tidak
larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula. “Kau lihat sendiri.
Selama satu bulan terakhir ini akananak murid ayah menjagaku dengan
keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat
meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan
Merapi menuduh ayahkulah yang telah sengaja menyembunyikanku.
Sebenarnya ayah sendiri mendapat tekanan dari mereka.” Wiro merenung
sejenak. “Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang kau cinta?!”
tanya Wiro seenaknya, Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan
merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian anggukkan kepala.
Parasnya kemudian berubah sedih. Dia berkata, “Kekasihku telah
ditangkap. Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu…” Dan di mata yang
bersinar seperti bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir
air mata laksana berlian mengambang di kelopak mata si gadis. “Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” tanya Wiro. “Menolong agar perkawinanku bisa batal!” “Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Sekarang
bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak
akan kulupakan seumur hayat.” Wiro berpikir, lalu, “Kau ingin kularikan sekarang?!” tanya Wiro mengambil keputusan pendek. “Jangan.
Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan
mustahil mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama
besar ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak buah banyak
tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi menjelang hari-hari perkawinan
itu…” “Berabe juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya. “Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di puncak Merapi?” “Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi. “Baiklah,” kata Pendekar 212 kemudian. “Aku
sudah dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku
akan muncul tepat pada saat upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita
berhasil. Sebelum pergi apakah aku boleh tahu namamu…?” Sang dara belum
sempat menjawab tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dengan keras dan di
luar terdengar suara lantang. “Permani! Buka pintu cepat.” Kedua
orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng
memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di kamar
itu. Tapi begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. Tanpa
suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah tenyap di
luar sana setelah terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali! “Permani!”
Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedorangedoran. Sang dara
cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang laki-laki bermuka klimis
bermata merah dan berbadan tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh
kuku-kuku jari tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua
Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia memandang
sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh teliti. Permani berdiri
di hadapan laki-laki dengan hati berdebar. “Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” tanya Manik Tunggul. Permani tertawa. “Kecurigaan ayah terhadap anak sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu. “Siapa
dan untuk apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?!”
Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa setiap sudut kamar
bahkan memeriksa kolong tempat tidur! “Sepuluh orang anak murid ayah
mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang
masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. Manik Tunggul masih
belum percaya akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan
membukanya. Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya
tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah berjaga-jaga.
Laki-laki ini menutupkan jendela kembali. “Permani, menjelang hari
perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan
beri malu ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan
antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!” “Ayah, meski aku tidak
suka pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak bisa
berbuat lain daripada patuh atas segala kemauanmu…” kata Permani dengan
tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu anaknya. “Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan kamar.
***
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro Sableng duduk
termenung! Usahanya mencari lukisan perempuan telanjang masih belum
selesai. Mengapa dia kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang
lain? Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis anak Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini berarti dia mencari sengketa,
menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya
sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu
telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghiraukannya. Dan kini
dia terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya yang sengaja di
cari-carinya sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak gadis
Ketua Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga
bersedia turun tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada
ucapan Si Segala Tahu, “kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh
lihat perempuan cantik…” Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala,
direbahkannya badannya di lantai dangau.
DI PUNCAK
Gunung Merapi. Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir serta
hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah panggung besar yang lebih
rendah dan berbentuk lingkaran, mengelilingi panggung kayu jati tadi.
Pada bagian sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat sebuah
podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah pelaminan. Seorang pemuda
berpakaian bagus duduk di pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi
tingginya yang bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu
tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan cekung. Dialah
Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, calon suami Permani! Tamu-tamu
yang banyak hadir di situ rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan
dan beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang disegani!
Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa naik ke atas podium dan
upacara perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara menunggu
munculnya sang pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon
besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila upacara
pernikahan selesai, para tamu akan dijamu makan minum dan sambil
menyaksikan pertandingan-pertandingan silat yang sengaja diadakan
sebagai kebiasaan di atas panggung besar kayu jati! Tiba-tiba terdengar
suara tiupan seratus buah seruling. Dari sebuah bangunan keluarlah
pengantin perempuan, diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang
memandang kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji
kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memang ada juga di antara
para tamu yang merasa kurang cocoknya kedua pengantin itu. Tapi
memandang kepada nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan
itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta? Siapa yang tak
kenal dengan Sokananta yang berilmu tinggi?! Begitu pengantin perempuan
menginjakkan kaki di atas panggung di depan podium maka pengantin
laki-laki pun berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin
pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan dilangsungkan,
dipimpin oleh seorang tua bernama Wararayan. Di kalangan dunia
persilatan di masa itu Wararayan sangat terkenal dan telah puluhan kali
memimpin upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di bawah
pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup bahagia! Satu menit telah
berlalu. Wararayan belum juga muncul. Para hadirin terutama Bogananta
dan Manik Tunggul serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang
berdiri dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi apa yang
digelisahkannya tidak sama dengan apa yang digelisahkan orang-orang di
situ. Dia gelisah karena sampai saat itu orang yang hendak menolongnya
belum juga kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlambat
atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! Telah lewat sepeminum teh.
Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat sangat membuat
kulit muka Manik Tunggul merah laksana saga. Apalagi karena dialah yang
bertanggung jawab mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain
pihak Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan karena malu
melainkan merasa terhina! Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba
dari balik sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul
seorang berjubah biru. Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah
pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah manusia ini
Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik batu karang itu? Dan waktu
diperhatikan langkah si jubah biru ini, terkejutlah Manik Tunggul serta
para hadirin. Langkah si jubah biru demikian enteng, laksana kapas
diterbangkan angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, maka
tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang. Si jubah biru ternyata
bukan Wararayan! Tapi anehnya jubah yang dipakainya itu dikenali sekali
oleh Manik Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah terjadi
dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada dan siapa pula manusia
yang datang ini?! Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan
tanah liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan
robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di tangan kirinya ada
sebuah pecahan kaca rias bersudut runcing sedang di tangan kanannya
menggenggam sebatang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat
di sekitar kawah gunung. Si jubah biru langsung menuju ke podium.
Anak-anak murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti segera
hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing memberi isyarat. Semuanya
mundur kembali namun dalam posisi mengurung si jubah biru. Akan tetapi
Permani begitu dia melihat si jubah biru ini, meskipun parasnya kotor
bercelemongan tanah liat dan rambut awut-awutan tak karuan, namun dia
masih bisa mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang dua
hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar penginapan, bukan lain
orang yang diharapkannya sebagai tuan penolongnya! Hati dara ini lega
sedikit. Tapi apaapaan dia berbuat macam orang gila begini rupa?
Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 212 keluarkan
suara macam orang tua dan menggigil, “Uh… uh… dinginnya! Dingin
sekali!” Dan kedua tangannya didekapkan di dada sedang
geraham-gerahamnya bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di
samping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam yang hebat,
maka suaranya itu menggetarkan liang telinga para hadirin, menggetarkan
lantai panggung yang mereka injak! Semua orang heran campur terkejut!
Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana manusia satu ini
menggigil begitu rupa dan bilang dingin?! “Jubah biru!” bentak Manik Tunggul. “Manusia atau setankah kau?!” “Hai…
aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak merasa? Apakah kalian
semua di sini tidak kedinginan? Uh.. uh…!” Semua orang saling pandang. “Jubah
biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana kau dapatkan jubah milik
Wararayan itu?!” Kembali Manik Tunggul buka suara keras. Wiro Sableng
dengan menahan geli di dalam hati purapura meneliti parasnya di dalam
kaca di tangan kiri. Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam
di tangan kanan dia berkata, “Anak-anakku… kalian semua dengarlah!” “Persetan manusia edan!” hardik Bogananta beringas. “Kau
kira kami ini apamu sampai memanggil kami anakanakmu?!” Si jubah biru
tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan tepat-tepat tongkat hitamnya ke
hidung Ketua Perguruan Merapi itu. “Kalian dengar dulu… jangan
ganggu bicaraku. Siapa yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup.
Akan dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa di
khayangan!” Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil kedinginan lagi! “Dingin… uh… dingin sekali! Di dasar kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! Uh…!” “Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik Tunggul. “Aku bukan manusia… bukan manusia!” kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar tergetar dadanya! “Aku
adalah titisan dewa di khayangan! Aku penghuni Gunung Merapi ini.
Segala sesuatu yang ada dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku!
Kalian tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang kalian
rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa di khayangan telah
membuat dewa-dewa marah semua! Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu
dengan angin topan dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang
aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian…” “Keparat pendusta!” bentak Manik Tunggul. “Kau
kira kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!” Wiro Sableng
menyeringai dan keluarkan suara mengekeh. Dalam hatinya dia memaki! “Aku
pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu…?! Kau akan lihat… akan
lihat!” kata Wiro pula dengan suara keras. Dia melangkah seringan kapas
ke tepi kawah yang terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang
duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali gerakan kaki saja
hingga semua orang menjadi tertegun! Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan
mulut. Dalam hati dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di
tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan pecahan kaca rias di
putar-putarnya kian kemari! Kemudian terdengarlah kumandang suaranya
yang menggelegar ke dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas. “Wahai
dewa-dewa di khayangan! Kalian telah menyaksi–kan sendiri bagaimana
hari ini di hadapanku ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu
yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri bagaimana
manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai pendusta, sebagai tukang
kelabuh, sebagai orang gila! Demi memandang mukaku, demi menjaga
kesucian tempat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihatkanlah
kekuatanmu! Hukumlah mereka…!” Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke
udara. “Hukumlah mereka wahai dewa!” seru Wiro lagi dan seluruh
tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan. Diam-diam Pendekar ini
lepaskan pukulan Angin Puyuh. Maka mengaunglah suara angin makin keras.
Para tamu yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh
berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka yang mengerti silat
segera kerahkan tenaga dalam agar tidak ikut terpelanting. Tapi makin
lama deru angin semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba
di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak ketinggalan kain
penutup pelaminan. Topi tinggi yang dikenakan pengantin laki-laki tak
urung mental dan kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang! “Tahan!”
teriak Manik Tunggul seraya melompat ke muka dan lepaskan satu pukulan
tangan kosong ke arah si jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan
melabrak dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat kemudian
dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya berkibar-kibar, tubuhnya
tergetar dilanda angin puyuh yang keluar dari tangan sang Pendekar 212! “Jubah
biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara padamu!” Berada sedemikian
dekat Manik Tunggul melihat bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi
kedua kaki si jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat!
Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga. Walau
bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia biasa seperti dia, bukan
dewa atau titisan dewa! “Tahan!” teriak Manik Tunggul sekali lagi. “Aku mau bicara!” Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit. “Dewa-dewa,
aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.” Maka sesaat kemudian deru angin
yang dahsyat itu mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan
Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah kembali ke atas
panggung di depan podium sambil tertawa mengekeh-ngekeh! “Masih
untung, masih untung dewa mau mengampuni kalian manusia-manusia
sombong!” kata Wiro. Dia melirik ke samping. Manik Tunggul berada di
dekatnya. Dan Wiro buka mulut kembali, “Itu baru sepersepuluh dari
kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti kalian semua sudah
tak ada di sini! Sudah terbang laksana daun kering dan mampus!” Wiro
komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke muka. “Sekarang kalian dengar semua!” serunya menggeledek. “Dewa
telah mengampuni kalian orangorang sombong! Tapi dewa juga minta
imbalan pengampunan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung
Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan dengan darah
suci seorang dara! Telah lima ratus tahun lebih khayangan tidak menerima
korban suci! Maka hari ini dewa memerintahkan aku, dan aku
memerintahkan kamu semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan
kepadaku!” Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya terkejut.
Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta mendelik memandang kepadanya.
Cuma seorang yang kelihatan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan
lain Permani. Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang
menyamar itu. “Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserahkan
padaku…!” Wiro melangkah mendekati Permani. Tapi baru satu langkah,
Manik Tunggul sudah memapasinya. “Jubah biru! Aku tidak percaya kau
titisannya dewa! Kau tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat!
Kalau kau maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku ini!”
Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti melompat ke muka.
Kedua tangannya berkelebat cepat!
WIRO Sableng
terkejut melihat datangnya serangan dua tangan yang mencengkeram dengan
dahsyat itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan kiblatkan tombak
batu hitam di tangan kanannya memapasi serangan lawan! Kini Manik
Tunggul-lah yang terkejut! Serangan yang dilancarkannya tadi adalah
jurus Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu jurus serangan
yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah biru mengelakkannya dengan
cepat bahkan kalau dia tidak cepat menarik pulang kedua tangannya
pastilah akan dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! Wiro
tertawa mengekeh. “Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan dewa?I” ejeknya. “Kau
akan tahu rasa!” Malu bercampur amarah yang meluap Manik Tunggul siap
menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh melompat ke depan dan
satu seruan terdengar, “Ketua Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon
mantumu tunjukkan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut
dewa itu!” Sreet! Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin
laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya lalu tanpa tedeng
aling-aling menyerbu kirimkan satu tusukan satu babatan! Pendekar 212
tertawa gelak-gelak dan elakkan serangan pedang dengan satu putaran
tombak batu. Dengan penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua
tebasan sekaligus! Wiro putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran
Terbang Ke Langit. Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah
serangannya bukan main dongkolnya Sokananta. Dia ambil keputusan untuk
adu senjata dan adu tenaga dalam sekaligus! Trang! Trak! Tombak batu
hitam di tangan kanan Wiro Sableng patah dua. Sebaliknya pedang di
tangan Sokananta terlepas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas
membuat dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak
melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua Perguruan Merapi
ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental ternyata sudah berada di tangan
lawannya! Gelaplah muka Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman yang
menyala! Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara semua
orang! Sokananta adalah anak kandung gemblengannya sendiri. Meski tenaga
dalamnya masih belum mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa
dianggap ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah dikuasai
oleh Sokananta! Bagaimana kini dia bisa dipecundangi dalam satu
gebrakan itu aja? Untuk tidak membuat anaknya kehilangan muka maka
Bogananta berseru memerintahkan anak-anak buahnya nenyerang si jubah
biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula memerintahkan anak-anak
buahnya. Enam belas orang bertomba ke depan podium bukan saja mengurung
Wiro tapi dengan serentak menyerangnya! Pendekar 212 tertawa dan
keluarkan suara bersiul. Begitu gelombang serangan datang menggempurnya,
pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik turun, kembali
terdengar jerit empat orang pengeroyok. Keempatnya menggelinding ke
tanah dalam keadaan pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya
berdiri mematung karena di totok oleh Wiro dengan bagian belakang yang
tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! Melihat ini baik Bogananta
maupun Manik Tunggul segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah
tandingan anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya belum
tentu berada di bawah mereka! “Bangsat!” bentak Bogananta marah. “Rupanya
kau sengaja datang mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku akan urus
jalan ke akhirat bagimu!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Terhadap titisan
dewa kau berani main perintah seenaknya! Makan pukulanku ini!” bentak
Wiro pura-pura marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya
satu kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan dengan semua orang di
situ, karenanya dia tak punya niat untuk turun tangan jahat! Maklum
bahwa tenaga dalam lawan hebat luar biasa, Bogananta cepat-cepat
menghindar sewaktu angin pukulan menyambar ke arahnya dan dengan jurus
Naga Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara, Ketua Perguruan Merapi ini
kembali menyerbu! Wiro tak melihat gerakan lawan tahu-tahu tubuhnya
sudah berada dekat sekali dan tinju kiri kanan sudah berada di depan
hidung! Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat jurus serangan yang
tak terduga dari lawan. Sekejap kemudian tangan kirinya sudah bergerak
dan pecahan kaca rias bersudut-sudut runcing melesat ke arah tenggorokan
Bogananta! “Keparat!” maki Bogananta. Dia pergunakan tangan kanan
memukul kaca itu hingga hancur lebur, sebaliknya tinju kiri
diteruskannya ke arah muka lawan! Namun serangan ini telah berkurang
kecepatannya karena gerakan yang dibuatnya waktu memukul hancur kaca
tadi! Dan dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi makanan yang
empuk bagi Pendekar 212. Namun karena dia tak punya niat turun tangan
jahat maka Wiro cuma tarik lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan
cepat! Begitu tubuh Bogananta terputar, Wiro segera menotok punggungnya.
Keluh kesakitan yang hendak keluar dari mulutnya Bogananta sirna di
tenggorokannya karena tubuhnya keburu kaku dilanda totokan Pendekar212!
Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat dan kepandaian calon besannya
itu dua tingkat lebih tinggi dari dia! Berarti adalah mencari konyol
kalau dia coba pula turun tangan! Tapi agar tidak dicap pengecut, Ketua
Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke depan Wiro. Begitu menyerang
dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang paling hebat yaitu Seribu Garuda
Mengamuk! Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke samping laksana
sayap burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul pasti hancur remuk! Dari
mulutnya keluar suara berkuikkuik macam suara garuda sedang di samping
memukul, kedua tangannya secepat kilat bisa berobah mencengkeram setiap
bagian tubuh lawan! Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut
panggung dekat para tamu duduk. Tapi memasuki jurus kedua sekali
berkelebat terdengarlah keluhan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka. Sepasang kakinya laksana tiada
bertulang. Tubuhnya tergelimpang di panggung. Wiro telah menotok kedua
urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana lumpuh tak sanggup
berdiri! Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai. Tamu-tamu
dilihatnya dicekam oleh rasa kejut dan takut. Inilah saatnya untuk
melarikan Permani, pikir Wiro. Segera dia hendak melompat ke tempat sang
dara. Namun dari panggung sebelah timur melesat sesosok tubuh berjubah
hitam. Lesatannya sangat ringan luar biasa dan tanpa suara tahu-tahu dia
sudah di atas panggung kayu jati! Manusia berjubah hitam ini ternyata
seorang perempuan separuh baya yang berparas cantik sekali. Namun sekali
melihat sinar matanya, Wiro segera maklum bahwa manusia ini di samping
tinggi ilmu silatnya juga mempunyai hati jahat! Tiba-tiba jubah hitam
menunjuk cepat-cepat ke arah Wiro Sableng! “Manusia yang mengaku
titisan dewa, harap datang ke hadapanku!” Suara perempuan ini besar
parau dan menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan tenaga
dalam perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan tahu bahwa dia
berhadapan dengan seorang yang tak boleh dibuat main-main, Pendekar 212
segera melompat ke panggung kayu jati! Semua mata kini ditujukan ke
panggung, pada kedua orang itu! “Aku tak suka bikin urusan dengan
manusia yang sembunyikan tampangnya di balik penyamaran! Lekas
perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru itu!” Wiro kaget
namun dia tertawa. “Kupuji ketajaman matamu! Tapi harap kau suka
terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual lagak di atas panggung ini!”
Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan kemarahannya dan
berkata datar, “Ketahuilah, aku datang untuk menagih hutang jiwa!” “Ohh… kukira kau berdiri di sini hendak membela kedua ketua perguruan itu.” “Aku
tak ada sangkut paut dengan mereka! Aku adalah kakak seperguruan Dewi
Kala Hijau yang kau bunuh beberapa tahun yang lalu!” (Tentang siapa adanya Dewi Kala Hijau harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul Neraka Lembah Tengkorak).
Kaget Wiro Sableng bukan alang kepalang! Dewi Kala Hijau yang pernah
dibunuhnya tempo hari ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak
seperguruannya datang menuntut balas! Tentu ilmunya lebih hebat lagi!
Tapi meskipun demikian mana pemuda ini merasa jerih. Malah dia tertawa
dan berkata, “Kau datang kurang cocok waktunya, perempuan gagah.
Sekarang bukan saatnya menagih segala macam hutang, apalagi hutang
jiwa!” Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak mendekati Permani, tapi dari
samping Sokananta telah memapasi. Di tangannya kiri-kanan kini
tergenggam dua bilah pedang mustika yang berkilauan ditimpa sinar
matahari! Begitu memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini
kiblatkan kedua senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua batang pedang itu
bukan pedang biasa tak mau bertindak ceroboh. Anginnya saja sudah
memerihkan kulitnya. Dia melompat mundur mengelak dan pada saat dia
berada dekat Bogananta secepat kilat Wiro mencabut pedang yang
tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi itu! Kini sibuklah
Sokananta. Dia terdesak hebat ketika salah satu pedangnya dibikin
mental. Muka pemuda berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang
ayahnya yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan merobek besar
pakaian di bagian dadanya! Dalam dia terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro
lepaskan pukulan tangan kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Sokananta
telah merasakan tubuhnya kaku tegang tak bisa bergerak lagi! “Sudah cukup aku melihat pertunjukanmu!” kata satu suara di samping Wiro. “Sekarang
kau hadapi Si Jubah Hitam.” Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun
gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan hati itu kini berubah menjadi
muka tengkorak yang membuat bulu kuduk menggerinding! Didahului oleh
satu lengkingan dahsyat, Si Jubah Hitam pukulkan tangan kanannya ke
depan. Gelombang angin keras melanda Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring
dan berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si Jubah Hitam susul
dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212 terkurung di antara dua angin
pukulan sekaligus! “Sialan!” maki Wiro. Dengan serta merta pendekar
ini angkat kedua tangannya dan dorongkan ke muka dalam jurus pukulan
yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera! Dua pukulan dahsyat yang
mengandung tenaga dalam hebat luar biasa saling bergulat tindih
menindih! Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini
menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali pertempuran yang begini hebat
mereka saksikan! Si Jubah Hitam kernyitkan kening tengkoraknya. Di
kening Wiro sebaliknya kelihatan butiran-butiran keringat. Braak! Lantai
kayu jati yang diinjak oleh Pendekar 212 hancur roboh! “Celaka!”
keluh Pendekar 212. Ternyata tenaga dalam lawan tidak berada di
bawahnya, malah satu dua tingkat berada di atasnya! Dengan bersuit
nyaring Wiro melompat mundur sejauh dua tombak lalu jungkir balik sampai
tiga kali berturut-turut dan jatuhkan diri di lantai dan seterusnya
berguling cepat! Dengan demikian baru dia berhasil menolak dan melebur
serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat dahsyat itu! “Gila
betul!” maki Wiro dalam hati. Kalau dihadapi terus manusia bermuka
tengkorak ini meski belum tentu dia bisa dikalahkan dengan mudah tapi
bisa berabe! Maka dengan cepat Wiro melompat menyambar tubuh Permani!
Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di atas bahu kirinya, enam
orang telah mengurungnya. Mereka adalah tokoh-tokoh silat yang menjadi
tamu dan bersahabat baik dengan kedua Ketua Perguruan yang kini berada
dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan demikian manusia yang
mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah dengan Si Jubah Hitam! Si Jubah
Hitam tertawa panjang. “Enam manusia tak tahu diri! Kalian mundur semua! Nyawa pemuda itu hak milikku!” “Perempuan muka tengkorak!” jawab seorang di antara yang enam sambil melintangkan senjatanya yaitu sebuah ruyung perak. “Urusanmu, urusanmu! Kami juga punya kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak menculik anak gadis sahabat kami!” “Di
hadapan Iblis Tengkorak kalian berani jual tampang petantang petenteng!
Pergilah semua!” Si Jubah Hitam yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak
dorongkan kedua tangannya ke muka! Gelombang angin yang dahsyat
menyambar. Laksana daun-daun kering keenam tokoh silat itu terpelanting
ke luar panggung! Dua orang muntah darah. Empat lainnya melingkar
pingsan di tanah! Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut dan sewaktu
Iblis Tengkorak menggempur keenam tokoh silat, maka kesempatan ini
dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu dengan cepat. Tapi lebih cepat
lagi, tahu-tahu Si Jubah Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di depannya!
Dan sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro berkelit gesit dan
selundupkan satu tendangan ke perut lawan! Tapi dengan sigap Iblis
Tengkorak hantamkan tangan kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan
lebih tinggi, Wiro terpaksa tarik pulang tendangannya dan sebagai
gantinya kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah. “Apakah tak ada ilmu
pukulanmu yang lebih berguna?!” ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia
kebutkan lengan jubah hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang
berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya itu! “Hebat sekali iblis
betina ini!” rutuk Wiro. Tubuh Permani diturunkannya, kemudian diiringi
oleh satu bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya
merupakan bayang-bayang! Dua gelombang angin pukulan melanda Iblis
Tengkorak, masing-masing pukulan Orang Gila Mengebut Lalat dan pukulan
Angin Es. Angin besar menderu-deru, mengibarkan jubah hitam Iblis
Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak menjadi dingin luar biasa. Semua
orang menggigil bergemeletukan geraham mereka! Tapi Iblis Tengkorak
ganda tertawa. Dua tangan memukul ke muka. Dua larik sinar hitam
menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat tombak, pakaiannya
robek hampir di setiap bagian sedang dari hidung dan sela bibirnya
kelihatan darah ke luar! Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir pil.
Matanya beringas galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang mendekat
dengan tertawa, Pendekar 212 segera sambut dengan pukulan Sinar
Matahari. “Aha! Pukulan Sinar Matahari!” seru Iblis Tengkorak. “Inilah
yang kutunggu!” Tangan kanannya bergerak membuat lingkaran, kemudian
laksana kilat dihantamkan ke muka! Terdengar suara laksana guntur! Satu
gelombang angin hitam bergerak berputar bergulung-gulung lalu menghantam
ke muka laksana topan prahara! Sinar putih perak pukulan Sinar Matahari
yang dilepaskan Pendekar 212 tiada berdaya dan terbuntal dalam
gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan untuk kemudian melesat
kembali menyerang dirinya sendiri, sekaligus bersama serangan angin
pukulan lawan! Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah dilepaskan
oleh Iblis Tengkorak! “Tobat.” keluh Pendekar 212! Tangan kanannya
bergerak sebat! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata berkiblat dan,
… Buum! Satu letusan yang luar biasa kerasnya terdengar! Puncak Gunung
Merapi bergetar! Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh dasar kawah
tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ merasakan dunia laksana
mau kiamat! Iblis Tengkorak terkejut besar. Jantungnya mendenyut sakit
sedang kedua lututnya agak tertekuk! Ketika dia memandang ke depan
dilihatnya pemuda itu berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat pasi dan
sepasang mata merah sedang di tangan kanannya tergenggam sebuah kapak
bermata dua, yang gagangnya terbuat dari gading dan berbentuk kepala
naganagaan! Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat kehebatan senjata
lawan! Kapak Maut Naga Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong belaka!
Pukulan Raja Angin Mengamuk yang dilepaskan tadi adalah pukulan paling
hebat dan ganas yang dimilikinya! Selama sepuluh tahun memiliki ilmu
pukulan itu tak satu lawan gagahpun yang sanggup menghadapinya! Tapi
kini seorang lawan berusia muda sekali dengan Kapak Naga Geni 212
berhasil memusnahkan pukulannya itu! Kedua mata Pendekar 212 terbuka
perlahan. Satu seringai maut tersungging di bibirnya. Parasnya yang
selama ini macam paras anak-anak dan tolol kini berubah total
menggidikkan! Sinar matanya laksana menembus tembok baja! “Iblis Tengkorak!” desis Wiro Sableng. “Kalau
hari ini aku tak sanggup memisahkan kepala dan badanmu, biarlah aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan selama-lamanya!” Sebenarnya
pemuda ini sudah terluka di dalam. Tapi begitu Kapak Naga Geni 212
berada di tangannya satu aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan
memberi kekuatan baru padanya meskipun luka di dalam yang dideritanya
tidak bisa dikatakan sembuh! Perempuan muka tengkorak tertawa dingin. “Keluarkan
semua ilmu simpananmu. Kalau kau punya sepuluh senjata cabut sekaligus
agar tidak mati penasaran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa
seseorang pasti tak bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala
enam tangan!” “Manusia sombong! Kalaupun aku mampus di tanganmu tapi kejahatan tak akan sanggup menumbangkan kebenaran!” “Jangan
mengigau di siang bolong! Hari ini gelar Pendekar Kapak Maut Geni 212
akan kuhapus dari dunia persilatan!” Iblis Tengkorak menggembor macam
kerbau marah. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua belas serangan telah
menyerbu Wiro Sableng! Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak Naga
Geni 212 berkiblat maka suara menderu laksana suara ribuan tawon
merangsang telinga! Sedang dari mulut sang pendekar melengking suara
siutan nyaring yang tak menentu dan menusuk gendang-gendang telinga!
Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. Putaran angin kapak tak
sanggup diterobos oleh pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Sebaliknya
angin kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah pula oleh
suara mengaung serta siulan yang tiada hentihentinya menusuk liang
telinganya, membuat gerakangerakannya kacau balau! Dengan penasaran dan
kalap, dalam jarak sedekat itu Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja
Angin Mengamuk. Tapi cepat-cepat dia tarik pulang tangan kanannya karena
jurus putaran kapak yang bernama Pecut Sakti Menabas Tugu yang
dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir saja membuat tangan kanannya
terbabat putus! Semua orang yang menyaksikan tak dapat lagi melihat
wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyaksikan lama-lama mata
mereka menjadi sakit dan kepala masing-masing menjadi pusing! Telah dua
kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya namun tetap saja dia kena
didesak! Tubuhnya telah mandi keringat dingin. Tiba-tiba dengan licik
manusia muka tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 212
dan dari belakang ini lancarkan satu serangan maut yang ganas! Tapi Wiro
sudah lebih dahulu rasakan datangnya angin serangan yang dingin di
punggungnya. Dengan lancarkan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar
Wiro balikkan badan! Iblis Tengkorak tak mengira lawannya akan
mengetahui posisinya dan bisa menyerang secepat itu. Dengan gugup dia
mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela Memanah Rembulan yang
tak asing lagi. Tangan kirinya membabat ke pinggang lawan. Jubah hitam
masih bisa berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat
dihindarkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah melesat
menyambar ke arah batang lehernya! Craas! Darah memancur. Tubuh Iblis
Tengkorak roboh ke lantai panggung. Kepalanya menggelinding mengerikan!
Semua orang menjadi gempar! Dan ketika mereka memandang lagi ke atas
panggung, Wiro Sableng sudah tak ada. Bahkan kemudian mereka menyadari
bahwa Permani pun tak ada lagi di hadapan podium! Untuk kedua kalinya
semua orang menjadi gempar!
INIKAH Goanya?”
tanya Wiro seraya melompat turun dari punggung kuda. Dalam perjalanan
melarikan diri bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua ekor kuda
hitam milik anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti. Permani anggukkan
kepala lalu turun pula dari kudanya. Sebuah batu yang sangat besar
menyumpal mulut goa. Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja
keras beberapa lamanya baru batu besar itu bisa disingkirkan. Didahului
oleh Permani keduanya masuk ke dalam.Ternyata goa itu cuma delapan
tombak dalamnya. “Kanda Panuluh!” Tiba-tiba mengumandang pekik
Permani. Dara ini laksana diburu sctan lari ke depan dan meraung keras.
Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi! Wiro Sableng berdiri
termangu. Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menyedihkan tersandar
ke dinding goa. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang
dipakukan ke dinding kuat sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat.
Sekujur tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam bekas
cambukan. Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi lecet, sedang kedua
mata bengkak menggembung. Pada bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda
darah yang telah membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh pemuda
itu. Wiro menggigit bibir. Dia maklum kalau pemuda itu sudah tiada
bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak, “Jangan!” Dan secepat kilat melompat ke muka menangkap tubuh Permani. “Bunuh
diri tak ada gunanya!” seru Wiro. Menyadari bahwa pemuda kekasihnya
telah mati maka tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa.
Untung Wiro masih sempat menghalanginya. “Tenanglah Permani,” bisik Wiro coba menghibur. “Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!” teriak sang dara keras dan meronta-ronta laksana orang gila! “Jangan mengambil jalan sesat!” “Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi telah tiada!” Lengking Permani. “Lepaskan!
Biar aku bunuh diri Wiro! Lepaskan!” Karena Permani adalah seorang
gadis yang mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah
payah baru Wiro berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan
disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati. Wiro melepaskan
dengan paksa rantai-rantai yang mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu
membaringkan pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua matanya,
tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu. “Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman ini?” tanya Wiro. “Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang melakukan!” “Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku kelak!” desis Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa. “Masih
ada waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum senja datang.
Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak, aku tak bisa melepaskan
totokanmu…” Permani tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi seluruh goa.
Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan membawanya ke luar goa. Satu
jam kemudian ketika dia masuk, Permani masih juga menangis meskipun
kedua matanya yang seperti bintang timur itu kini telah menjadi bengkak.
Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak berkata apa-apa. Kalau sudah
letih tentu dia akan hentikan sendiri tangisnya, pikir Wiro. Senja telah
turun dan malampun tiba. Di luar angin malam yang dingin merambas masuk
ke dalam goa. Wiro merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah
perih oleh hembusan angin dingin itu. Bila tangis Permani sudah mereda
maka Wiro berkata, “Aku akan cari makanan buat kita. Kau tunggulah di
sini! Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa!” Kemudian Wiro berdiri
dan melangkah. Belum lagi dia mencapai mulut goa mendadak di luar sana,
dalam kegelapan malam didengarnya suara semak belukar bergesekan dan
suara langkah-langkah kaki yang banyak sekali. Sesaat kemudian
kelihatanlah beberapa sosok manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang
maklum akan datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika
terjadi pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia bisa kepepet!
Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang pertama dikenali Wiro
adalah bukan lain dari Sokananta, kemudian Bogananta, menyusul Manik
Tunggul. Yang lainlainnya adalah anak-anak murid Perguruan Merapi dan
Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang! Ketika Wiro Sableng
memandang ke ujung kanan, samarsamar di kegelapan malam dilihatnya orang
yang keenam belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya
waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar biasa seperli bola
api, lucunya celana panjang dan bajunya sangat kecil sekali,
hampir-hampir tak dapat menutupi tubuhnya yang macam kerbau buntak itu.
Manusia berkepala botak ini memegang seuntai tasbih di tangan kirinya
dan mulutnya senantiasa komat-kamit tak bisa diam! Tiba-tiba Manik
Tunggul melangkah besar-besar ke hadapan Wiro dan membentak nyaring, “Mana anakku?!” Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada kuburan baru yang tanahnya masih merah. “Tanyakanlah pada makam baru itu!” Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya. “Bangsat
rendah! Anakku kau bunuh?!” Manik Tunggul menggeram dan sepuluh
kuku-kuku tangannya menyambar ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh
Wiro. “Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini!” teriak Bogananta
seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu tusukan ke leher Wiro.
Sokananta dan dua belas orang lainnya segera menyerbu! Empat belas
batang pedang berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang mencakar
dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut menyerang ialah si gemuk
pendek yang memegang tasbih. Dia memperhatikan saja sambil mulutnya
terus berkomatkamit! “Tahan!” teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu goa. Tapi yang menyerangnya terus memburu! “Sialan!
Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini jangan menyesal!” Bogananta
dan yang lain-lainnya tak ambil perduli. Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni
212 dari pinggangnya. Wuut! Sinar putih menyilaukan menderu, suara
laksana ribuan tawon menggerung dan empat anak buah Perguruan Merapi
menjerit roboh mandi darah. Yang lain-lainnya tersurut mundur sampai
lima langkah! Mereka menjadi kecut dan bimbang untuk menyerbu kembali! “Manik Tunggul!” kata Wiro dengan suara keras sehingga semua orang mendengar. “Anakmu
masih hidup. Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya
lebih buruk daripada seseorang yang telah mendahuluinya!” “Kalau masih hidup di mana dia sekarang?” tanya Sokananta lantang. “Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak bicara pada kau!” tukas Wiro. Kelamlah paras Sokananta ditelan kemarahan! “Lalu ini kuburan siapa?!” tanya Manik Tunggul. “Jangan
pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau lupa pada seorang pemuda
bernama Panuluh, yang ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana
cacingan itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya menemui kematian
dalam cara yang mengerikan?!” Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada
Sokananta. Tapi saat itu Sokananta sudah membentak Wiro kembali, “Lekas katakan di mana calon istriku!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Kekasihnya
kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah kau masih punya muka untuk
mengawini gadis itu?!” Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat.
Manik Tunggul masih memandang pada Sokananta, lalu bertanya, “Calon menantuku, apakah yang diucapkan bedebah ini betul?!” Sokananta tertawa. “Namanya
saja manusia bedebah. Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia
melarikan Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini masih bisa
dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi kita dan mengadu domba kita satu sama
lain!” Wiro menggerendeng. “Keparat, dosamu sudah lewat takaran!
Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau
bakal menjadi manusia pertama yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat
krocomu itu!” “Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos
dari liang kubur yang telah kau gali sendiri!” Sokananta palingkan
kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang tasbih. “Tasbih Kumala,
kau tunggu apalagi?!” Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai.
Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga berkomat-kamit! Sekali
dia bergerak, tubuhnya sudah berada di samping Sokananta. “Inikah
tampang manusianya yang kau minta aku untuk membereskannya, Soka?” tanya
Tasbih Kumala dengan mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokananta
mengangguk. Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara
tertawanya, laksana merobek langit di malam hari itu! Tasbih Kumala
melirik pada senjata yang di tangan Wiro lalu membentak, “Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” “Sobat,” sahut Wiro, “melihat
kepada gelarmu pastilah kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku
hormati kau. Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau tak
kuundang untuk datang ke sini, sebaiknya segera angkat kaki!” “Bapak moyangmu!” bentak Tasbih Kumala, dia melangkah ke muka. “Tunggu dulu!” seru Manik Tunggul. “Sebelum kita mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu beberapa hal!” “Ah, kau hanya menambah panjang umurnya beberapa detik saja, Manik Tunggul!” kata Bogananta. “Sokananta,
betul kau yang menangkap dan menyiksa Panuluh, lalu menyekapnya sampai
mati di dalam goa ini?!” Sokananta jadi beringasan! “Kenapa antara kita musti berprasangka yang bukan-bukan?!” Wiro menengahi, “Manik
Tunggul, kau juga ikut bertanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau
yang memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam cacingan ini! Kau
gila nama besar! Kau pengecut kelas satu yang mau menjual anak sendiri
karena ditekan oleh Ketua Perguruan Merapi…” “Tutup mulutmu!” teriak
Manik Tunggul marah. Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka
Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguruan Merapi segera
menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri dengan bimbang. Dua orang anak
buahnya karena melihat Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke
dalam pertempuran! Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perempuan, “Wiro!
Wiro! Kaukah yang bertempur itu? Wiro…!” Mengenali bahwa itu adalah
suara anaknya yang ternyata masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan
pikiran jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba dia melompat
ke muka dan berteriak, “Sokananta bajingan! Kaulah yang jadi biang
racun! Kau harus mampus di tanganku!” Sepuluh kuku-kuku jari dengan
ganas menyambar Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu
dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka Sokananta yang
mengeroyok Wiro Sableng tak punya kesempatan untuk mengelak!
SEKEJAP lagi
sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan mengeremus hancur muka Sokananta,
tiba-tiba, Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah kedua lengan
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu! “Manik Tunggul manusia ular kepala
dua! Akulah lawanmu!” Ketika berpaling ke kanan ternyata yang
menyampokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah di kepala
Manik Tunggul! “Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu!” Maka
kedua orang itupun bertempurlah satu lawan satu dengan hebatnya. Tapi
di samping tenaga dalamnya lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang
pula maka lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak! Di lain
pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan Tasbih Kumala serta tujuh
orang lainnya berkelebat cepat, bertahan dengan hebat dan sekali-sekali
lancarkan serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan dua
orang anak murid Perguruan Merapi, namun keadaannya tak bisa dikatakan
di atas angin. Sokananta dan yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih
Kumala-lah yang tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat,
satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya menerpa Pendekar 212!
Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda
oleh tasbih sakti itu! Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik
Tunggul yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda pedang. Pada
jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan satu, Manik Tunggul
telah didesak hebat oleh Bogananta. Kedua anak buahnya turun membantu
dalam jurus kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini dalam
jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak hebat! Pada saat Wiro
Sableng berhasil merobohkan lagi dua orang pengeroyoknya, maka pada saat
itu pula terdengar jeritan Manik Tunggul! Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang dengan kedua tangan memegangi dada yang robek besar dibabat
ujung pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar di tanah,
detik itu pula nyawanya lepas! “Jahanam!” teriak Pendekar 212. Dari
mulutnya terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya melesat enam
tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar putih
dan menebar suara bergaung. “Ayah, awas!” teriak Sokananta.
Bogananta memang sudah melihat datangnya sambaran senjata lawan. Dengan
cepat dia angsurkan pedang mustikanya ke depan untuk menangkis! Trang!
Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan Bogananta patah dan
mental. Di kejap itu pula terdengar lolongannya macam kerbau disembelih!
Batang lehernya hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke
tanah! Wuut! Satu sambaran angin mendera ke arah punggung Pendekar 212.
Wiro melompat ke muka dan balikkan badan, sekaligus kiblatkan kapak.
Yang menyerangnya ternyata Tasbih Kumala! “Manusia-manusia keparat!” kertak Wiro. “Satu
nyawa Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!” Dari
mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah kumandang suara siulan yang
menggidikkan bulu roma! Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah
total. Tiga pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi! Lima
korban terhampar di tanah! Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih
Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup! Dan itupun tak
lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek Tasbih Kumala keluarkan seruan
kesakitan. Lengan kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung.
Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak Naga Geni 212 berbalik
dan, cras! Terpisahlah kepala dan badan Tasbih Kumala! Lumerlah nyali
Sokananta! Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh dan ambil
langkah seribu! “Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?! Tempatmu
toh di neraka!” Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan
pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai gantinya dia
lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! Tak ampun lagi tubuh
Sokananta yang lari kencang itu mendadak sontak menjadi kaku tegang!
Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah melepaskan totokan
gadis itu. Kegelapan malam, angin dingin yang mencucuki tulang-tulang
sungsum, tebaran mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupakan
hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng. Setelah menunggu beberapa
lamanya Wiro kemudian berkata, “Tak ada gunanya tangis itu, Permani.
Tak ada gunanya membuang-buang air mata lebih banyak! Kejadian begini
sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang Kuasa. Masuklah ke dalam
goa…” Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka kedua
matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut goa, pandangannya
membentur Sokananta yang tegak kaku akibat totokan Wiro. Maka
menggemuruhlah amarah Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris
yang tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokananta seraya
berteriak, “Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun segala-galanya!” “Permani!” seru Sokananta dengan keras tapi gemetar. “Ampunilah selembar nyawaku ini.” “Ini
ampun untukmu!” teriak Permani garang dan keris bereluk tujuh di tangan
kanannya dihunjamkannya keraskeras ke dada pemuda itu. Sekejap lagi
ujung keris akan menembus dada Sokananta, sebuah tangan yang kuat
mencekal lengan Permani! “Lepaskan tanganku!” teriak si gadis kalap.
Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat serta memiliki tenaga
dalam yang cukup ampuh agak sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu. “Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris seperti ini terlalu enak baginya!” kata Wiro. “Bangsat
ini musti diberi ganjaran yang setimpal…!” Gelora amarah Permani
menyurut. Dua bola matanya memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia
kemudian maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilemparkannya
keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut Sokananta dan diseretnya
ke dalam goa. Dengan rantairantai besi yang dulu pernah mengikat
Panuluh, Permani membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta. “Permani,
kau mau bikin apa…?!” tanya Sokananta. Keringat dingin membasahi
sekujur badannya. Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu
masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung sepanjang satu setengah
tombak. Permani putar-putarkan akar gantung itu di atas kepalanya. “Permani…”
Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar gantung yang mendera
dadanya. Pakaiannya yang bagus robek, kulit dadanya tergurat lecet dan
berdarah! Puluhan kali di dalam goa itu terdengar suara
cambukan-cambukan yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya
hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah. Pakaiannya
robek-robek, sekujur kulit badannya pecahpecah bermandi keringat dan
darah! Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di depan mulut
goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. Kuburan Manik Tunggul yang
berdampingan dengan kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu
diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan dua ujung
jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama kedua orang itu. “Kau
akan kembali ke kota?” tanya Wiro Sableng yang berdiri di samping
Permani dan tengah memandangi dua kuburan bertanah merah itu. Si gadis
gelengkan kepalanya. “Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik terus langsung pulang ke kota kediamanmu…” “Tidak, aku tak akan kembali pulang.” Wiro kernyitkan kening. “Lalu…?” “Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa…” Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, “Ibumu akan susah bila kau tak kembali…” “Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di dunia ini…” “Jadi ibumu juga sudah meninggal?” Permani mengangguk. “Kau tak punya kerabat atau saudara?” “Tidak…” “Tapi
hendak bertapa dalam umur semudamu ini betulbetul belum masanya,
Permani. Kau menyia-nyiakan masa mudamu dan juga masa depanmu!” “Masa
muda dan masa depanku tak ada lagi sejak orang yang kucintai masuk di
bawah tumpukan tanah merah itu…” sahut Permani dan butir-butir air mata
berjatuhan melewati kelopak kedua matanya. Wiro Sableng menghela nafas.
Sungguh sayang dara secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi
bagaimana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya paras Permani
dari samping dan ketika gadis itu memutar kepala ke arahnya, pandangan
mereka saling beradu untuk beberapa lamanya. “Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini, Wiro,” bisik Permani. “Aku
akan tinggal di sini sampai akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku
pun akan berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya…” Wiro Sableng
merasa terharu sekali. Betapa agungnya nilai-nilai cinta sejati, pikir
pemuda ini. “Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat yang pernah diwariskan ayah…” “Itu
sudah semestinya…” kata Wiro perlahan. Hatinya tetap menyayangkan
keputusan gadis itu untuk tinggal di goa itu dan bertapa sekalipun
sambil memperdalam ilmu silatnya. “Dunia ini penuh dengan orang-orang
jahat. Setiap kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang
tinggitinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui nasib
buruk…” Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu tundukkan
kepalanya dan untuk beberapa lamanya suasana diliputi kesunyian. “Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari sini. Sebentar aku kembali…” kata Wiro.
KETIKA berjalan
kembali ke goa sehabis membersihkan tangan dan beberapa bagian tubuhnya
Wiro tersentak kaget. Telinganya yang tajam mendengar suara ribut-ribut
seperti suara orang berkelahi yang diselingi suara tertawa gelak-gelak!
Tanpa membuang waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di depan goa,
terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini! Dilihatnya Permani tengah
bertempur melawan seorang laki-laki berjubah kuning yang tangannya cuma
satu. Sebenarnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih tepat kalau
dikatakan bahwa Si Jubah Kuning bertangan buntung itu tengah
mempermain-mainkan Permani serta kurang ajar dan sambil tertawa-tawa.
Setiap kali dia bergerak tangan kanannya meraba ke bagian-bagian tubuh
Permani yang terlarang hingga gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi
semua serangannya luput! Tak jauh dari tempat terjadinya perkelahian
tegak berdiri orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma punya satu mata
alias picak! Dia menyaksikan perkelahian itu dengan gelak tawa gembira. “Ayo
Sumplung! Robek saja pakaiannyal Biar mataku yang cuma satu ini bisa
lihat kebagusan tubuhnya! Ah…! Sudah lama mataku tak melihat tubuh
telanjang! Ha… ha… ha!” Di samping si mata picak ini, tersandar ke
sebatang pohon, kelihatan sebuah lukisan perempuan telanjang. Lukisan
itu sudah agak kotor dan kayu pigura bagian bawahnya ada bekas
sambungan! Seperti kawannya, diapun memelihara berewok. Kalau tadi Wiro
sudah demikian terkejutnya melihat pertempuran antara Permani dan si
tangan buntung maka melihat lukisan telanjang itu puluhan kali dia lebih
terkejut! Tak bisa tidak kedua manusia berjubah kuning ini adalah
Sepasang Elmaut Kuning yang telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri
lukisan perempuan telanjang itu! Ditambah dengan menyaksikan apa yang
diperbuat si tangan buntung terhadap Permani maka menggemuruhlah amarah
Wiro Sableng. “Iblis-iblis kesasar! Dicari-cari tidak ketemu!
Sekarang tahu-tahu kalian muncul di depan hidungku!” Serentak dengan itu
Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si tangan buntung! Kedua
manusia berjubah kuning itu memang bukan lain dari Sepasang Elmaut
Kuning adanya. Bagaimana mereka bisa sampai ke tempat itu? Seperti telah
diceritakan sebelumnya, mereka diam di sebuah goa yang terletak di
lembah berbatu-batu. Karena sebegitu jauh mereka belum juga bisa
membongkar rahasia yang tersembunyi di dalam lukisan perempuan telanjang
maka keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kampung tempat
kediaman calon murid Si Pelukis Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka menduga
anak itu pasti mengetahui rahasia tersebut dan kemudian memaksanya
untuk memberi keterangan! Di samping itu, diam lamalama di lembah batu
sudah terasa tidak aman bagi Sepasang Elmaut Kuning. Anak-anak murid
Perguruan Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah mengetahui tempat
persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu telah berhasil
mereka kirim ke akhirat namun bukan tak mustahil banyak lagi tokoh-tokoh
silat akan mendatangi mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri
lukisan yang ada di tangan mereka. Maka keduanyapun berangkatlah
meninggalkan lembah batu. Dalam perjalanan mereka melewati tempat di
mana Permani berada dan yang saat itu tengah berdiri di depan makam
Panuluh dan ayahnya. Melihat gadis cantik di tengah daerah liar begitu
rupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning jadi tertarik. Nafsu bejat
merangsang keduanya dan Elmaut Kuning Kuping Sumplung ‘turun tangan’
lebih dulu hingga akhirnya terjadilah pertempuran! Sepasang Elmaut
Kuning bukan kepalang terkejut mereka sewaktu mendengar bentak memaki
Wiro Sableng. Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah menjamahi
tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia dengan cepat menyurut mundur
sewaktu merasa satu angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja
dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan dibuat
mencelat mental! “Pemuda gondrong hina dina!” bentak Kuping Sumplung. “Siapa kau?!” “Kau dan kambratmu yang bermata satu itu pastilah Sepasang Elmaut Kuning!” “Hem…
matamu cukup tajam untuk mengenali kami. Lekas terangkan siapa kau dan
apakah mau mencari mampus sengaja membuat kericuhan di sini?!” Wiro
tertawa mengejek. “Mataku bukan cuma cukup tajam mengenali
tampang-tampang kalian, tapi juga mengetahui bahwa kalianlah
bangsat-bangsatnya yang telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu melarikan
lukisan perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping sumplung
bertangan buntung berani bikin kurang ajar terhadap kawanku!” “Ho…
ho, jadi kau adalah kawannya si cantik ini?! Kalau begitu biar kau
kubikin mampus lebih dulu agar kami berdua tak banyak rintangan untuk
menikmati tubuhnya nanti!” Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup ucapannya
dengan serangan tangan kanan yang hebat dan berkekuatan sepertiga
tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia berharap akan dapat membuat pemuda
itu menemui ajalnya, sekurang-kurangnya luka parah dan cacat seumur
hidup! Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika melihat bagaimana
pemuda itu bukan saja berhasil mengelakkannya tapi juga ganti membalas
dengan satu serangan yang ganas! Elmaut Kuning Kuping Sumplung melompat
ke samping. Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras sedang kaki
kanan serentak dengan itu menendang ke pinggang. Inilah jurus yang
dinamakan Dua Palu Sakti Melanda Mega. Angin serangannya saja hebatnya
bukan olah-olah! Pendekar 212 Wiro Sableng melompat satu setengah tombak
ke udara. Tendangan maut lawan lewat, sebaliknya dengan tangan kirinya
Wiro sengaja memapasi lengan lawan. Elmaut Kuning Kuping Sumplung
kertakkan rahang! Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan!
Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan penjuru angin,
Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga dalamnya jauh lebih tinggi dari
lawan. Dia sengaja mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan
lengan dan memastikan lengan lawannya akan patah! Di lain pihak memang
bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro Sableng! Sekejap kemudian lengan
kedua orang yang bertempur itupun beradu! Wiro Sableng mengerenyit.
Lengannya tergetar sakit. Kulitnya keriputan dengan serta merta.
Sebaliknya dari mulut Elmaut Kuning Kuping Sumplung terdengar suara
pekik setinggi langit. Dia melompat dua tombak ke belakang. Lengannya
yang beradu kelihatan terkulai bergoyang-goyang! Ternyata tulang
lengannya telah patah! Untung daging lengan itu hanya sebagian saja yang
hancur, kalau tidak pasti di saat itu juga lengan kanan Kuping Sumplung
akan putus dua! Namun demikian keadaan Kuping Sumplung adalah parah
sekali! Tak mungkin baginya untuk meneruskan pertempuran! Bahkan mungkin
lengannya itu tak bisa dipergunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan
menggigit bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapa urat
di pangkal bahunya. Rasa sakitpun hilang. Melihat kambratnya dibikin
demikian rupa marahlah Elmaut Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas
kaku karena luapan amarah itu! Di samping marah dia juga terkejut karena
tidak menyangka bahwa pemuda bertampang tolol itu berkepandaian
sedemikian tingginya! Dengan langkah-langkah besar Mata Picak maju ke
hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng! “Budak anjing hina dina!” bentaknya, “Aku
tak begitu senang membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa adanya!
Lekas terangkan namamu!” Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang. “Bicaramu
keren sekali, Mata Picak,” sahut Wiro. Dia melirik pada Elmaut Kuning
Kuping Sumplung yang duduk menjelepok di tanah sambil berusaha mengobati
lengannya yang patah. “Namaku kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau
kenal dengan tiga buah angka ini?!” Habis berkata begitu Wiro pukulkan
telapak tangan kanannya ke arah dada Mata Picak. Selarik angin menyambar
panas! “Kurang ajar!” maki Mata Picak seraya menyingkir ke samping.
Dia terkejut ketika mendengar suara jeritan di belakangnya. Sewaktu
berpaling dilihatnya Kuping Sumplung yang menjelepok di tanah
terjerongkang ke belakang, menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! Dan
di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan tiga buah
angka putih 212! Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak hampir
satu tahun belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang
pendekar yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh
silat golongan hitam menemui ajal di tangannya! Bahkan banyak pula
partai-partai silat yang hancur diobrak-abrik Pendekar 212! Pendekar itu
sudah merupakan momok paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat golongan
hitam. Dan kini tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan dengan
Pendekar 212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa Pendekar 212 itu
adalah seorang pemuda belia bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa
kawannya, di depan mata kepalanya sendiri! Mata Picak yang berotak
cerdik dan tahu bahwa pemuda itu bukan lawan enteng serta
mengkhawatirkan pula akan lukisan perempuan telanjang, sambil tertawa
dan berbatuk-batuk berkata, “Ah… ah… dengan seorang gagah! Nama
besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212!” Lalu dengan rangkapkan
tangan di muka dada dia meneruskan, “Sebenarnya antara kita tak ada
permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini baru bertemu
muka. Gerangan apakah yang membuatmu sampai demikian tega merampas nyawa
sahabatku?!” Wiro tertawa gelak-gelak. “Kalau tak ada hujan masakan ada geledek!” kata Wiro. “Kambratmu itu telah berani berlaku kurang ajar terhadap sahabatku…” “Hem…,” Mata Picak menggumam dan tarik nafas panjang. “Sahabatku
itu memang ceriwis dan tak boleh lihat perempuan cantik! Tapi kurasa
dia sudah menebus kekurangajarannya itu dengan nyawanya sendiri?
Sekarang antara kita tak ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain
hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi!” “Mana bisa kau pergi seenaknya!” Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro. “Kau
telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan yang tersandar di
pohon itu! Untuk itu kau patut menerima hukuman!” Paras Mata Picak
berubah membesi. “Agaknya kau punya sangkut paut dan hubungan tertentu dengan Si Pelukis Aneh…” “Ada
hubungan atau tidak, kau tak usah ambil perduli. Yang penting kau musti
serahkan lukisan itu kepadaku! Sedang sebagai hukuman karena telah
membunuh Si Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu yang tinggal
satu itu!” Elmaut Kuning Mata Picak tertawa terbahak-bahak. “Aku
sudah relakan kematian sobatku. Sekarang kau minta barang yang bukan
milikmu. Menyuruh aku mencungkil mataku sendiri! Sungguh keterlaluan!
Nama besarmu terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini juga!” Begitu
selesai bicara Mata Picak menggembor dan menerjang ke muka. Dalam
sekejap saja kedua orang ini sudah terlibat dalam satu pertempuran
dahsyat. Gerakan Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap. Hanya
bayangan sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan menelikung mengurung
tubuh Pendekar 212! Di lain pihak begitu diserang lawan Wiro segera
maklum bahwa Mata Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi dari
Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-hati Wiro melayani lawannya
ini. Dalam tempo yang singkat sepuluh jurus sudah berlalu! Elmaut Kuning
Mata Picak membentak nyaring dan tukar permainan silatnya dengan
jurus-jurus yang disebut Elmaut Menggila. Untuk lima jurus lamanya Wiro
Sableng bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian Pendekar 212 mulai
terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul Wiro percepat gerakannya tapi
dia terkejut ketika di sekelilingnya terdengar suara, wutt… wutt… wutt…
wutt! Selarik sinar hijau melingkarinya dan mengeluarkan angin dingin
yang menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! Wiro tak tahu senjata apa
yang di tangan lawan, karena gerakan yang dibuat Mata Picak sangat cepat
luar biasa! Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya semakin
mengendur sedang setiap serangannya senantiasa terbendung oleh lingkaran
sinar hijau! Breet! Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat
mundur. Parasnya berubah. Pakaian putih di bagian dadanya robek besar.
Belum sempat dia berbuat sesuatu apa, tiba-tiba Mata Picak sudah
menyerangnya lagi. Meski sekilas tapi Wiro berhasil melihat
senjata-senjata di tangan lawannya. Senjata itu ternyata adalah sebuah
kebutan yang terbuat dari bulu-bulu halus berwarna hijau! Wuuut! Kebutan
itu menderu lagi dengan hebatnya. Dua tiga kali Wiro lepaskan pukulan
yang mengandung tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di tangan lawan
benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-pukulan tangguhnya itu.
Wiro mulai memaki-maki dalam hati. Suara siulan mengumandang aneh dari
sela bibirnya! Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tiba-tiba
jarijari tangan itu telah berubah menjadi putih dan kukukukunya laksana
kilauan perak mendidih! “Mata Picak ayo tangkis pukulan Sinar Matahari-ku ini!” teriak Wiro Sableng. Mendengar
nama pukulan itu, Elmaut Kuning Mata Picak lipat gandakan tenaga
dalamnya dan mendahului menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah
turunkan tangan kanannya! Wuss! Mata Picak terpekik! Kebutan di
tangannya mental dan hancur bertaburan sedang tangan kanannya hangus
hitam laksana terbakar! Buru-buru manusia ini alirkan tenaga dalamnya ke
tangan yang terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah! Untuk
menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat besar di bahunya!
Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia ini. Seseorang yang
tersambar pukulan Sinar Matahari biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan
menggeletak mati! “Anjing hina dina! Bersiaplah untuk mampus!”
teriak Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit, kedua tangan diangkat ke
atas dan memancarkan sinar kekuningkuningan. Melihat ini Wiro segera
cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Lalu Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan
kedua tangannya ke muka. Terdengar suara menderu laksana topan prahara.
Dua gelombang sinar kuning melesat. Puluhan Paku Emas Beracun bertaburan
menyambar ke arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kapak Naga Geni 212
berkiblat membuat gerakan setengah lingkaran! Sinar putih menyilaukan
menggebu ke muka memapasi dua gelombang sinar kuning yang melesatkan
puluhan paku-paku emas beracun. Laksana daun kering dihembus angin
puting beliung demikianlah bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut
Kuning Mata Picak itu! Mata Picak tersirat kaget. Mukanya pucat laksana
mayat! Selama sepuluh tahun ini tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup
menumbangkan pukulan Paku Emas Beracunnya itu demikian hebatnya! Apalagi
serangan itu tadi dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! Melihat
ini dan memaklumi bahwa naga-naganya dia akan mencari penyakit jika
meneruskan pertempuran maka tak ayal lagi Mata Picak segera melompat
mundur, menyambar lukisan perempuan telanjang dan larikan diri dengan
cepat! “Hai! Jalan ke neraka bukan ke situ Mata Picak!” seru Wiro
Sableng. Dia mengejar dengan sebat. Enam langkah di belakang lawan Wiro
buat gerakan Burung Walet Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara dan
ketika turun tahu-tahu sudah menghadang larinya Mata Picak! “Keparat!
Mampuslah!” hardik Mata Picak dan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun
dengan tangan kirinya! Tapi sekali ini dia terlambat! Belum lagi
paku-paku itu berlesatan, Kapak Naga Geni 212 sudah membabat dan, cras!
Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini meraung kesakitan. Tubuhnya
terasa panas. Dari buntungan tangannya mengalir hawa aneh yang
menggidikkan bulu kuduknya. Pasti racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai
menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata Picak hantamkan lukisan
perempuan telanjang ke kepala Wiro Sableng. Wiro menangkis. Braak! Kayu
lukisan itu hancur berantakan. Bagian bawah dari lukisan robek sepanjang
setengah jengkal! Mata Picak makin penasaran dan kirimkan satu
tendangan kilat ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni menderu turun.
Untuk kedua kalinya terdengar suara cras! Untuk kedua kalinya pula
terdengar raungan Mata Picak. Betisnya telah terbabat putus. Tak ampun
lagi tubuhnya tergelimpang ke tanah. Beberapa saat lamanya dia
menggelepar-gelepar macam ikan meregang nyawa. Kemudian tubuhnya tak
bergerak lagi tanda rohnya melayang sudah! Wiro Sableng usap-usap
lengannya yang dihantam pigura lukisan. Lengan itu lecet dan bengkak,
tapi tidak mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di tanah
dan kembali ke depan goa. Permani tak kelihatan di situ. Tentu di
dalam goa, pikir Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi sang dara juga tak
kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di dinding.
Sekujur tubuhnya bergelimang darah. Mukanya hancur. Ketika didekati dan
diperhatikan oleh Wiro, ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi!
Pembalasan yang setimpal telah didapatnya! Wiro keluar dari goa dan
berseru memanggil Permani. Tak ada jawaban. Dia memandang kian kemari.
Pada saat itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut
dan membacanya: “Permani berjodoh untuk jadi muridku, pengganti Anggini. Sampai jumpa, Dewa Tuak.”
Membaca
tulisan di atas tanah itu, legalah hati Wiro Sableng. Dia bersyukur
Dewa Tuak melakukan hal itu. Bukan saja Permani kelak bakal mendapat
pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian yang tinggi, tapi yang lebih
penting bagi Wiro ialah bahwa gadis itu tak jadi meneruskan niatnya
untuk hidup sebagai pertapa! Wiro mendongak ke langit. Matahari telah
tinggi, hampir mencapai titik kulminasinya. Wiro kemudian memperhatikan
lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah hancur bagian bawah.
Wiro berpikir, apakah perlu dia memperbaiki kayu pigura yang hancur itu
dan menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian baru membawanya ke
tempat kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh itu? Dia
menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua bulan belakangan ini telah
diperebutkan oleh belasan tokoh silat dan beberapa buah partai serta
perguruan. Membawanya secara terang-terangan pastilah akan mencari
kesulitan karena lukisan diincar oleh hampir semua tokoh-tokoh silat,
terutama mereka dari golongan hitam! Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Akhirnya
Wiro Sableng mendapat akal. Dibukanya keempat sisi kayu pigura lukisan
itu satu demi satu. Dengan menggulung lukisan itu dan menyimpannya di
balik pakaian pasti akan aman dalam perjalanan. Ketika kayu pigura sudah
dilepaskan, ketika Wiro hendak menggulung lukisan itu, jari-jari
tangannya merasakan kain lukisan itu bergeser-geser. Diperhatikannya
dengan teliti. Ternyata di bawah kain lukisan perempuan telanjang itu,
terdapat lagi sebuah kain lain yang putih bersih. Tentunya ini sebagai
alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba kain putih di bagian
bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap. Terkesiaplah Wiro Sableng
sewaktu melihat bagian pada kain yang disangkanya cuma sebagai alas itu
ternyata terdapat tulisan-tulisan banyak sekali dan juga gambargambar
orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata semua tulisan dan
gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu silat aneh yang mengandung
jurus-jurus luar biasa hebatnya! Wiro geleng-gelengkan kepala.
Rupanya inilah rahasia besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam
lukisan perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh tak mau
menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan meskipun sudah ditawar
duaratus ringgit. Sungguh cerdik sekali orang tua itu menyembunyikan
ilmu silat yang hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti
lagi pelajaran silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis Aneh
menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus Aneh. Sesuai dengan
namanya, maka seluruh pelajaran berjumlah dua belas jurus tapi bisa
dipecah-pecah sampai puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui kehebatan
ilmu silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak, siapa
yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang tokoh besar yang
dikagumi dalam dunia persilatan! Sebagai seorang pendekar berhati polos
jujur, Wiro tak mau mencuri mempelajari ilmu silat itu. Perlahan-lahan
digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian diapun sudah
berlalu dari situ.