Hari mulai gelap. Orang tua penggembala itu melangkah bergegas sambil
melecuti punggung enam ekor sapi agar binatang-binatang itu berjalan
lebih cepat. Saat itulah di kejauhan tiba-tiba telinganya menangkap
suara bergemuruh seolah-olah ada yang menggelegar tertahan dalam perut
bumi.
Dua
belas tahun telah berlalu sejak malapetaka meletusnya gunung Merapi.
Desa Sleman yang dulu musnah sama rata dengan tanah bersama delapan desa
lainnya, kini nampak subur. Rumah-rumah penduduk bertebaran di
mana-mana. Sawah ladang menghampar memberikan hasil besar pada setiap
musim panen. Boleh dikatakan banyak sudah penduduk yang melupakan
peristiwa malang yang terjadi dua belas tahun silam itu. mereka telah
disibukkan dengan mengurusi sawah ladang serta ternak bahkan membangun
rumah atau tempat peribadatan baru. Desa-desa itu kini malah menjadi
pusat-pusat penghasil sayur mayur dan daging bagi Kotaraja dan kota-kota
di sekitarnya.
Di arah timur, gunung Merapi tampak menjulang tinggi
diselimuti awan biru pada puncaknya. Dua belas tahun silam gunung inilah
yang telah memberi malapetaka pada penduduk. Tapi kini dia tampak tegak
penuh perkasa dan memberikan pemandangan yang indah.
Saat itu pagi
hari. Sang surya baru saja muncul menerangi jagat, memberi penerangan
dan kesegaran baru di atas bumi Tuhan. Di bibir gunung sebelah selatan
tampak sebuah bangunan kayu jati. Bangunan ini hampir merupakan sebuah
dangau karena memiliki kolong dan terbuka tanpa kamar atau ruangan. Di
atas bangunan kayu jati itu duduk berhadap-hadapan dua orang lelaki.
Satu tua renta berambut putih menjela punggung bermuka pucat dan bermata
cekung. Satunya lagi seorang pemuda berusia sekitar sembilan belas
tahun yang memiliki dahi tinggi serta rahang menonjol.
Rambutnya hitam sangat lebat, dagunya kukuh. Keseluruhan wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap congkak.
Pemuda
ini bukan lain adalah Pangeran Anom, yang dua belas tahun lalu
tergantung di pohon beringin ketika terjadi bencana meletusnya gunung
Merapi.
Orang tua yang duduk di hadapannya adalah orang tua yang dulu menyelamatkannya dari pohon itu lalu membawanya ke puncak Merapi.
“Muridku Pangeran Anom, hari ini tepat dua belas tahun kau bersamaku.
Berarti
dua belas tahun kau tinggal di puncak Merapi ini menjadi muridku.
Banyak ilmu kepandaian yang hitam dan yang putih telah kau pelajari.
Jangan pernah kau lupakan semua ilmu itu kuberikan adalah sesuai dengan
perjanjian kita dua belas tahun silam. Yakni untuk menghancurkan
orang-orang yang tidak sejalan dengan kita.
Mereka perlu dimusnahkan
bahkan dibunuh. Tak perduli apakah mereka dari golongan putih ataupun
dari golongan itam. Dalam tubuhmu sudah tertanam segala kecerdikan,
segala akal segala ilmu yang harus menjadi bekal dan pegangan jika kau
nanti sudah meninggalkan puncak Merapi ini. Satu hal yang harus kau
ingat baik-baik.
Kau tidak boleh kembali ke Kotaraja, kau tidak boleh
kembali menemui kedua orang tuamu ataupun saudara-saudaramu. Siapa
adanya kau di masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan
selama-lamanya. Namamupun harus kau ganti!”
Setelah berdiam diri mendengarkan kata-kata sang guru, pemuda itu ajukan pertanyaan “Nama apakah yang akan kupakai guru?”
“Nanti
akan kuberitahu yaitu enam jam dari sekarang. Satu kejadian besar akan
berlangsung enam jam lagi. Saat itulah akan kulekatkan nama yang pantas
bagimu. Nama yang pantas untuk seorang pendekar segala cerdik, segala
akal, segala ilmu dan segala licik serta congkak!”
“Peristiwa apakah yang bakal terjadi enam jam mendatang, guru?” bertanya si pemuda.
“Jangan tanya dulu. Kau akan saksikan sendiri. Peristiwa ini sekali dalam tujuh puluh enam tahun!”
Si
pemuda termenung diam. Tapi otaknya coba memecahkan teka teki peristiwa
besar yang disebutkan sang guru. Sulit baginya untuk menerka. Berarti
harus menunggu sampai enam jam di muka!
“Jika nanti kau meninggalkan
puncak Merapi ini harus kau ingat baik-baik beberapa nama tokoh timba
persilatan yang pasti akan menjadi penghalang tindak tandukmu dalam
dunia persilatan. Yang pertama adalah seorang pemuda bernama Wiro
Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seorang pendekar
tanpa tanding, murid seorang nenek sakti dari puncak gunung Gede yang
dikenal dengan nama Sinto Gendeng. Dia bukan saja sakti mandraguna tapi
memiliki beberapa senjata mustika luar biasa. Satu di antaranya adalah
Kapak Maut Naga Geni 212. Di samping itu dikabarkan dia juga mendapat
warisan-warisan ilmu hebat dari beberapa tokoh silat di delapan penjuru
angin. Hati-hati jika kau berhadapan dengannya karena sepertimu dia juga
memiliki segala ilmu, segala akal. Satu hal yang tidak dimilikinya
yakni segala kelicikan. Pada titik kelemahan itulah kau akan dapat
mengalahkannya!”
“Kalau aku boleh bertanya, di manakah aku dapat
menemui pemuda bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu?” bertanya
si pemuda. Jelas ini satu pertanda bahwa dia ingin berhadapan untuk
menjajal sampai sejauh mana kehebatan Wiro Sableng.
Orang tua yang
ditanya tersenyum “Pendekar seperti dia tidak berumah tak bertempat
tinggal. Dia gentayangan seperti setan di delapan penjuru angin dan bisa
muncul secara mendadak di mana-mana…..”
“Menurut guru
sehebat-hebatnya ilmu kepandaian seseorang, akan ada selalu
kelemahannya. Selain titik kelicikan yang guru katakan tadi, apakah
Pendekar 212 Wiro Sableng memiliki kelemahan lainnya?”
“Ha…..ha! Itu
satu pertanyaan bagus! Dan jawabannyapun mudah. Setiap pendekar selalu
mempunyai kelemahan yang sama. Yakni lemah terhadap perempuan! Nah
kelemahan itu bisa kau pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tapi ingat
mungkin saja hal itu tidak selalu berlaku pada setiap saat dan situasi.
Jadi yang penting kau harus berhati-hati jika berhadapan dengan manusia
seperti Pendekar 212 Wiro Sableng itu…..”
“Hal itu akan saya ingat baik-baik guru. Siapa lagi pendekar lain yang menurut guru perlu diawasi?”
“Sorang
pendekar muda, seusia Wiro Sableng. Namanya Mahesa Edan. Dia murid
seorang nenek sakti dari puncak Iyang yang kalau aku tak salah bernama
Kunti Kendil. Nenek ini selain sakti juga sangat ganas dan punya banyak
teman. Pendekar bernama mahesa Edan ini juga memiliki beberapa senjata
sakti. Antara lain sebuah senjata kayu hitam berbentuk papan nisan. Lalu
sebuah senjata titipan berupa sebilah keris bernama Keris Naga Biru.
Orang ketiga yang harus kau perhatikan ialah seorang pendekar yang
bernama hampir sama dengan Mahesa Edan. Namanya Mahesa Kelud.
Dia
berasal dari puncak gunung Kelud di mana gurunya yang bernama Embah
Jagatnata menggodoknya. Dia memiliki berbagai ilmu kesaktian. Memiliki
beberapa orang guru. Namun kepandaiannya yang luar biasa adalah dalam
ilmu pedang.
Kudengar dia memiliki sebuah pedang mustika bernama
Pedang Dewa. Di samping itu konon dia berhasil mendapatkan sebuah pedang
sakti mandraguna bernama Pedang Samber Nyawa. Namun di atas semuanya
itu dia juga dikabarkan telah menguasai ilmu pukulan sakti Api Salju
yang merupakan ilmu sangat langka dalam dunia persilatan. Selain tiga
orang pendekar itu beserta para guru mereka tentunya, masih banyak lagi
tokoh-tokoh yang bakal menghadang dan menghalangi tindak tandukmu.
Jumlah mereka tidak sedikit dan sulit untuk disebutkan satu persatu.
Tapi percayalah, jika kau bisa menghadapi tiga pendekar tadi, maka yang
lain-lainnya akan dapat kau tangani secara mudah. Yang penting jangan
lupa menerapkan segala ilmu, segala akal dan segala kelicikan! Sekarang
sebelum sampai saat yang ditunggu kau turunlah ke dalam kawah gunung
Merapi. Pergi mandi di kawah belerang untuk penghabisan kali, setelah
itu kau boleh istirahat. Aku akan bersemadi dan jangan mengganggu
sebelum ada petunjuk lebih lanjut!”
Pemuda itu berdiri. Seorang murid
biasanya akan menjura sebelum berlalu dari hadapan gurunya. Tapi
berlainan dengan pemuda ini, dia hanya menganggukkan kepala sedikit lalu
turun dari bangunan kayu jati itu. Inilah sikap yang sejak kecil telah
tertanam dalam dirinya yakni sifat congkak sombong, tak perduli
berhadapan dengan siapapun, selalu menganggap rendah orang lain!
Sampai
di pinggiran kawah gunung Merapi pemuda itu tegak memandang ke bawah.
Jauh di sebelah sana tampak kawah yang tertutup air berwarna biru
kekuningan, memancarkan asap dan hawa hangat. Tak ada jalan menuju ke
danau yang menutupi kawah itu selain lamping batu yang merupakan lereng
terjal dan licin.
Si pemuda keluarkan pekik nyaring. Lalu seperti
seekor burung walet tubuhnya tampak melayang ke bawah, melompat dari
satu gundukan batu licin ke batu lainnya. Dalam waktu singkat dia sudah
sampai di dasar kawah dan byur langsung masuk ke dalam air biru kuning
tanpa membuka pakaiannya. Beberapa lama pemuda ini mendekam berenang
dalam air hangat itu. Pada saat kulitnya terasa seperti hendak melepuh
maka baru dia keluar dari dalam air. Seperti tadi kembali dia melompat
dari batu ke batu hingga akhirnya sampai di bibir atas kawah Merapi.
Ketika
dia kembali ke pondok kayu didapatinya sang guru masih duduk bersila,
bersemadi pejamkan mata. Sambil mengeringkan pakaian, pemuda itu
akhirnya duduk di bawah kolong bangunan, menunggu sang guru selesai
bersemadi.
Saat itu mulai menjelang tengah hari. Satu keanehan dirasakan oleh si pemuda.
Pada
saat seperti itu sang surya seharusnya memancarkan sinar panas terik
dan terang benderang. Tapi yang dilihatnya justru sebaliknya. Matahari
tampak meredup, padahal saat itu sama sekali tak nampak awan atau
mendung menutupinya.
Diperhatikannya baik-baik. Pada pinggiran
matahari sebelah kanan tampak seperti ada sebuah lingkaran berbentuk
cincin berwarna ungu terang. Cincin ini makin lama makin besar dan
akhirnya merupakan lingkaran hitam yang sedikit demi sedikit menutupi
matahari. Lambat laun sinar terang matahari menjadi tambah redup.
Beberapa
saat kemudian ketika seluruh warna hitam itu menutupi matahari maka
bumipun menjadi gelap seperti di malam buta. Di kejauhan terdengar suara
binatangbinatang hutan seperti panik. Di beberapa desa di kaki gunung
Merapi terdengar suara penduduk memukul berbagai tabuhan. Mereka
melakukan itu untuk mengusir “Setan” yang katanya hendak memakan
matahari.
“Dunia Kiamat!” seru pemuda di bawah kolong pondok kayu
seraya melompat ketakutan. Dia memandang pada gurunya. Orang tua itu
masih saja duduk besila bersemadi. “Dunia kiamat!” seru pemuda itu
sekali lagi. Kali ini dengan mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya
menggelegar. Dia sengaja berbuat begitu agar sang guru mendengar dan
menyudahi semadinya.
Perlahan-lahan memang orang tua itu membuka
kedua matanya. Dia dapatkan saat itu keadaan gelap gulita seperti malam.
Tapi aneh justru dari mulutnya yang perot tampak tersungging senyum.
Dia bangkit dari duduknya, melompat ke bawah dan tegak di samping
muridnya sambil mendongak ke langit.
“Dunia tidak kiamat! Bumi belum
kiamat!” katanya sambil memegang bahu muridnya. “Justru inilah yang kita
tunggu-tunggu. Saat di mana nama baru akan kuberikan padamu! Nama yang
tepat dengan keadaan saat ini!”
“Guru, kalau bukan kiamat apa namanya ini? Apa yang sebenarnya terjadi.
Mengapa
tiba-tiba matahari lenyap dan dunia menjadi gelap seperti malam. Lalu
mengapa penduduk di bawah sana memukul segala macam tetabuhan? Dan kau
sendiri tampak tenang-tenang saja….?”
Yang ditaya tersenyum dan
menjawab “Aku tenang-tenang saja karena memang tak ada yang perlu
dikawatirkan. Semua ini adalah kekuasaan Tuhan.
Penduduk yang tolol
di sana mengira matahari dimakan satu mahluk aneh hingga mereka memukul
segala macam barang. Mulai dari beduk dan gendang sampai pada tetampah
dan segala macam kaleng. Mereka menyangka dengan melakukan hal itu
mahluk pemakan matahari akan ketakutan lalu meninggalkan. Padahal jika
tiba saatnya matahari akan kembali bersinar. Kau tahu muridku yang
terjadi saat ini adalah apa yang disebut gerhana matahari. Saat ini
bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus. Bulan di sebelah
depan, matahari di punggungnya. Karena itu matahari tertutup oleh bulan.
Akibatnya matahari tidak kelihatan dan sinarnya juga terhalang.
Nah apakah aneh jika bumi tiba-tiba menjadi gelap seperti malam?”
“Kalau
begitu kejadiannya memang tidak aneh. Tuhan Maha Kuasa dan orang-orang
itu tolol semua. Tapi bagaimanakah kalau matahari terus-terusan
terlindung bulan?”
“Ah, ternyata kaupun tolol. Bukankah matahari,
bulan dan bumi itu tidak diam, saling berputar di sumbunya dan saling
mengitari? Ketahuilah apa yang terjadi saat ini ada hubungannya dengan
pemberian namamu. Ini saat yang tepat. Ini hanya terjadi tujuh puluh
enam tahun sekali! Dengan adanya kejadian ini maka mulai saat ini namamu
yang lama yaitu Pangeran Anom kuganti menjadi Pangeran Matahari dari
Puncak Merapi. Kau dengar itu?! Namamu mulai dari sekarang adalah
Pangeran Matahari!”
“Nama luar biasa! Aku suka nama itu!” kata sang murid sambil usap-usap dadanya.
“Itu memang nama yang tepat bagimu. Sesuai dengan sifatmu yang cepat panasan, congkak sombong dan ingin menang sendiri!”
Mendengar kata-kata itu si pemuda tertawa “Nah, sekarang apakah aku boleh minta diri?”
“Tidak.
Kau harus menunggu sampai hari kembali terang dan matahari kembali
memancarkan sinarnya. Ini tak akan lama. Hanya sekitar sepeminuman teh.
Tegak
saja di sini, jangan bergerak, jangan ke mana-mana” Setelah berkata
begitu orang tua ini naik kembali ke atas pondok kayunya, duduk bersila
dan pejamkan mata.
Sesuai perintah sang guru Pangeran Marahari tetap tegak di tempatnya semula.
Kepalanya mendongak ke langit memperhatikan matahari yang sedang gerhana.
Perlahan-lahan
rembulan yang menutupi sang surya itu mulai bergeser dan bumi sedikit
demi sedikit mejadi terang. Ketika matahari tidak terlindung lagi maka
puncak gunung Merapi itu menjadi terang benderang sebagaimana siang
layaknya.
Pangeran Matahari palingkan kepala ke arah pondok kayu. Astaga! Dia jadi kaget.
Sang
guru tak ada lagi di tempat di mana tadi dia duduk bersemadi. Dicari
kian kemari tetap saja orang tua itu tak berhasil ditemuan. Pangeran
Matahari memeriksa ke kawah gunung. Sepi, tak seorangpun kelihatan di
sana. Maka diapun mulai berteriak “Guru! Guru……! Kau berada di mana……?!”
jawaban yang terdengar hanyalah gaung suaranya.
“Orang tua aneh.
Selama dua belas tahun dia tak pernah memberi tahu namanya. Kini dia
raib begitu saja!” Pemuda itu merenung sejenak. Sesaat kemudian hatinya
yang congkak membatin “Mengapa aku risaukan tua bangka bungkuk itu.
Ilmunya sudah kudapat. Jika dia kemudian raib tanpa memberi tahu, perduli setan!
Sebelum
malam turun lebih baik aku pergi dari sini!” Lalu Pangeran Matahari
melangkah pergi. Namun baru bergerak dua langkah, gerakannya tertahan.
Ketika dia memandang ke pondok kayu jati, dia sama sekali tidak melihat
apa-apa. Namun sewaktu sekali lagi dia berpaling ke arah bangunan itu
tahu-tahu di situ nampak tergantung baju dan celana hitam,
berkibar-kibar ditiup angin gunung.
“Aneh, siapa yang menggantungkan pakaian itu di sana?” pikir Pangeran Matahari seraya melangkah mendekati.
Pada
bagian dada baju hitam, terdapat lukisan puncak gunung Merapi berwarna
biru. Puncak gunung dilatar belakangi gambar matahari berwarna merah
darah, lalu garis-garis sinar berwarna kuning. Sesaat si pemuda tegak
tertegun.
Namun kemudian mulutnya menyunggingkan senyum.
“Pakaian
ini pasti tua bangka aneh itu yang meletakkan di sini. Dan pasti
untukku. Lalu tanpa menunggu lebih lama dia mengambil pakaian hitam
tersebut dan mengenakannya. Ternyata pas benar di badannya.
“Bagus!
Nama dan pakaian cocok satu sama lain!” Pangeran Matahari memandang
berkeliling. “Guru!” serunya. “Aku tahu pakaian ini darimu! Untuk itu
aku mengucapkan terima kasih! Hanya sayang bahannya terbuat dari bahan
jelek!
Tapi tak jadi apa, kurasa cukup kuat!”
Setelah berkata begitu Pangeran Matahari segera tinggalkan puncak Merapi.
TIGA
Di depan perapian itu duduk berkeliling lima orang lelaki bertampang bengis.
Salah
satu di antaranya memiliki badan luar biasa besar, memelihara cambang
bawuk dan kumis lebat. Mukanya yang bengis tampak lebih buruk karena
penuh dengan lobang-lobang bopeng. Di belakang kelima orang ini,
terlindung oleh kegelapan malam yang tak tersentuh nyala api unggun
duduk mendekam lebih dari dua puluh orang. Semuanya membekal berbagai
macam senjata. Mulai dari golok dan pedang pendek sampai pada pentungan
besi dan tombak panjang. Ada pula yang membawa clurit besar dan
mengalungkannya di lehernya.
Lelaki bercambang bawuk berkumis
melintang mengusap mukanya yang bopeng. Dia membenarkan letak ikat
pinggang kain merah yang melilit di keningnya.
Seorang yang duduk di sebelah kirinya melunjurkan kedua kakinya yang pegal seraya berkata “Lama benar datangnya pagi……”
Si
muka bopeng menyahuti tak acuh. “Untuk pekerjaan besar yang bakal kita
lakukan memang harus bersabar. Jika tak dapat bersabar sebaiknya minggat
dari sini!”
Yang ditegur lagsung diam dan meneguk kopi dalam cangkir kaleng.
Seorang
lainnya dari lima yang duduk di muka perapian bertanya “Bagaimana kalau
jumlah pengawal lebih banyak dari orang-orang kita?”
“Kalian ini semua bicara seperti orang pengecut!” membentak si bopeng.
“Bukankah
sebelumnya kita sudah mendapat kabar bahwa rombongan pengawal itu tak
akan lebih dari sepuluh orang? Mungkin ditambah satu atau dua orang
perwira muda. Tapi tak akan lebih dari itu. Lalu apa yang kita takutkan?
Mereka perajuritperajurit yang tak pernah berlatih. Yang hanya mampu
berpakaian gagah dan menyandang senjata. Tapi bila berhadapan dengan
lawan akan ketakutan setengah mati!”
“Menurutmu apakah rombongan istana ini membawa banyak uang dan harta, Warok?” bertanya seorang lagi.
“Aku
tidak perduli apakah mereka membawa harta atau uang! Tujuan utamaku
adalah menculik puteri yang cantik jelita itu. Gila! Sejak aku
melihatnya dua minggu lalu di pasar malam di Kotaraja, aku tak bisa
melupakannya. Saat itu kalau saja pengawalan tidak sangat ketat dan
jumlah kita cukup banyak, mau aku menculiknya waktu itu juga! Eh, siapa
nama lengkapnya gadis putih montok itu?”
“Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati…..” seseorang menjawab.
“Betul!
Nama bagus sebagus orangnya. Panjang sepanjang rambutnya yang hitam.
Ha…..ha…..ha! Sungguh pantas menjadi istri Warok Sumo Gantra!”
Orang
yang menyebut namanya sendiri itu usap-usap dadanya lalu meneguk kopinya
sampai habis. Seorang anak buahnya cepat-cepat mengisi cangkir kaleng
itu sampai penuh.
“Ada satu hal yang harus kalian ingat dan lakukan!”
berkata Warok Sumo Gantra. “Selain Puji Lestari Ambarwati, tak satu
orangpun harus dibiarkan hidup. Ini agar kita bisa menghilangkan
jejak…..”
“Bagaimana kalau ibunda Puji Lestari ikut dalam rombongan. Apakah dia harus dibunuh juga?”
Sang
Warok tak segera menjawab. Setelah berpikir sejenak baru membuka mulut.
“Turut apa yang aku dengar istri ketiga Sri Baginda itu kabarnya juga
berparas jelita dan tubuhnya masih menggairahkan. Jika kenyataannya
memang begitu aku akan mempertimbangkan. Dapat anak dapat ibunya!
Ha…ha….ha! Tapi bila ternyata nanti dia tak lebih dari seorang nenek tak
berguna, kalian tak usah ragu-ragu membunuhnya!”
Baru saja Warok Sumo Gantra berkata begitu tiba-tiba terdengar suara kraak!
Semua
orang mendongak ke atas. Cabang pohon di bawah mana orang-orang itu
duduk mendadak patah dan jatuh ke bawah, hampir menimpa kepala sang
warok.
Dengan tangan kirinya dikibaskannya cabang itu hingga mencelat mental di kegelapan malam.
“Aneh!
Itu bukan cabang kering! Bagaimana bisa patah dan jatuh?!” kata Warok
Sumo Gantra seraya berdiri. Beberapa orang anak buahnya ikut berdiri dan
memandang berkeliling. Salah seorang dari mereka menimpali.
“Memang aneh. Tak ada hujan tak ada angin, bagaimana cabang pohon yang cukup liat itu bisa patah?!”
“Mungkin ada orang yang sok jagoan dan berani main-main dengan kita!”
Lelaki di sebelah kanan menduga dan lengsung menghunus goloknya.
“Sarungkan golokmu! Siapa yang berani main-main dengan kita komplotan rampok hutan Merapi!” berkata kawan di sebelahnya.
Tiba-tiba
terdengar suara seseorang dari arah kegelapan. “Mengapa tak ada yang
berani main-main dengan kawanan rampok buruk seperti kalian?!”
“Keparat!
Ada yang berani main-main dan menghina!” teriak Warok Sumo Gantra.
Serta merta terdengar suara berseresetan karena sekian banyak senjata
dicabut dari sarungnya. Kali ini sang warok tidak lagi menyuruh anak
buahnya menyarungkan senjata mereka, tapi memandang melotot ke arah
kegelapan dari mana datangnya suara tadi. Saat itu tampak sesosok tubuh
melangkah ke arah rombongan namun tertahan oleh anggota rampok yang
tegak berkeliling.
“Beri jalan!” bentak orang yang muncul dari
kegelapan. Ternyata dia seorang pemuda bertampang keras dengan
rahang-rahang menonjol.
Dibentak demikian tentu saja anggota rampok
yang berada paling dekat dengan pemuda itu menjadi marah dan ayunkan
senjata masing-masing.
Braak…..braak! Buk……buk!
Empat orang anggota rampok menjerit kesakitan. Senjata masing-masing mencelat mental dan tubuh mereka tergelimpang berjatuhan.
Tentu saja hal ini mengejutkan semua anggota rampok hutan Merapi, terutama pimpinan mereka yaitu Warok Sumo Gantra.
“Hemmm…..rupanya benar-benar ada yang berani main-main cari penyakit!
Apa tidak tahu berhadapan dengan siapa?!” bentak Warok Sumo Gantra.
“Kau
pimpinan monyet-monyet di sini? Pasti kau tuli? Bukankah tadi sudah
kukatakan bahwa kalian adalah rampok-rampok buruk?! Yang malam ini
tengah merencanakan perampokan terhadap rombongan istana, hendak
menculik seorang puteri kerajaan!”
“Bangsat ini pasti sudah mencuri
dengar pembicaraan kita. Mengintai sejak tadi….” Ucapan anak buah Suma
Gantra ini terputus ketika satu tamparan melabrak mukanya hingga
tubuhnya terlempar dan terguling pingsan di hadapan kaki pemimpinnya.
“Aku Pangeran Matahari! Sebagai seorang Pangeran tak ada satu manusiapun yang boleh memakiku!”
“Hai! Apa?! Siapa namamu….?!” Bentak Warok Sumo Gantra karena heran mendengar nama yang disebutkan si pemuda.
“Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi! Mulai malam ini aku mengambil pimpinan di sini!”
“Keparat sombong kurang ajar…..”
Plaaak!
Satu
tamparan kembali berkelebat. Dan anggota rampok yang tadi bicara keras
langsung jatuh, melejang-lejang sesaat lalu diam tak berkutik lagi.
Nyawanya putus.
Ketika diperhatikan tampak separuh mukanya hancur!
Kini suasana di tempat itu dicengkeram ketegangan. Anak buah rampok
diam-diam menjadi kecut tak berani bergerak, menunggu apa yang hendak
dilakukan pemimpin mereka.
“Pangeran Matahari, siapapun namamu! Sikap dan bicaramu sombong amat!
Kau
berani mencelakaiku dengan patahan cabang pohon. Kau berani menghinaku
bahkan kau melukai dan membunuh anak buahku! Siapa kau sebenarnya dan
apa maksud kemunculanmu di tempat ini? Jika kau sengaja mencari silang
sengketa jangan harap kau bisa meninggalkan tempat ini hidup-hidup!”
Pangeran
Matahari tertawa mengejek. “Jika aku mau nyawamupun bisa kuambil detik
ini juga!” sahutnya seenaknya seraya berkacak pinggang. “Apa kau tidak
mendengar? Mulai saat ini aku yang jadi pimpinan di sini. Kalian
kuperintahkan untuk menculik Puji Lestari Ambarwati besok pagi dan
menyerahkannya padaku! Ada yang berani menantang?!”
Perlakuan dan
ucapan pemuda itu sudah dianggap melampaui batas oleh Warok Sumo Gantra.
Namun karena maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang pemuda
yang memiliki kepandaian maka dia tak mau langsung turun tangan.
Dia memberi isyarat pada empat anak buahnya yang paling tinggi ilmu kepandaiannya.
“Pangeran Matahari! Jika kau memang berniat jadi pimpinan boleh saja! Tapi tundukkan dulu empat pembantuku ini!”
Si
pemuda menyeringai. “Jika kau hendak berlindung di belakang anak
buahmu, hanya sementara saja Warok! Kasihan kecebong-kecebong ini! Ayo
majulah kalian berbarengan!”
“Hantam!”
“Bunuh!”
“Cincang!”
“Mampus!”
Empat
batang golok berkelebat ganas. Dua mengarah batok kepala dan leher,
satu membabat pinggang dan satunya lagi menusuk ke perut!
“Rasakan
olehmu sekarang!” kata Warok Sumo Gantra bergumam seraya rangkapkan
tangan di muka dada dan menyeringai puas. Dia sudah membayangkan kejap
itu juga pemuda sombong di hadapannya akan mati dengan tubuh
terkutungkutung!
Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan dan membuat kedua matanya membeliak.
Dua dari anak buahnya terpental dengan mulut pecah dan mata hancur.
Duanya lagi entah bagaimana luka parah terhantam golok sendiri dan tersungkur mandi darah!
Pucatlah paras sang warok. Semua anak buahnya mengalami hal yang sama.
Tak
ada yang berani bergerak atau keluarka suara. Lutut masing-masing
terasa goyah sedang tengkuk mendadak sontak menjadi dingin!
“Cukup!”
teriak Sumo Gantra. “Sekarang giliranmu untuk mampus!” Kepala rampok
itni maju tiga langkah. Sejarak empat langkah dari hadapan si pemuda dia
hantamkan tangan kanannya. Angin deras menderu. Di saat itu pula selagi
pukulan tangan kosong jarak jauh itu belum melabrak sasarannya, sang
warok susul dengan satu lompatan dan kirimkan tendangan keras ke dada si
pemuda.
Pangeran Matahari tertawa mengejek. Tubuhnya miring ke
samping, tangan kanannya menyambut sakaligus dua serangan lawan. Begitu
tangan digerakkan ke depan perlahan saja maka mencelatlah tubuh besar
kekar Warok Sumo Gantra!
Kepala rampok ini cepat jugnkir balik di udara. Meskipun sempoyongan masih untung dia bisa jatuh dengan kedua kaki lebih dahulu.
“Warok
Sumo! Tampangmu memang seram. Tapi isi perutmu hanya cacing gelang
melulu! Apakah kau masih pantas menyebut diri sebagai Warok, menjadi
pimpinan orang-orang ini?!”
“Jangan keliwat menghina! Aku masih belum
kalah!” menjawab Warok Sumo Gantra lalu tangan kanannya bergerak ke
pinggang. Di lain kejap sebilah golok besar sudah tergenggam di
tangannya. Senjata ini dibolang balingkan demikian rupa hingga
berkilau-kilau terkena cahaya api unggun.
“Jangan cuma tegak main akrobat! Majulah!” mengejek Pangeran Matahari.
Waktu keluarkan ucapan dia sengaja memandang ke jurusan lain seperti bersikap tak acuh.
Dengan
amarah memuncak Warok Sumo Gantra menyerbu masuk. Golok besarnya
berkiblat dalam tiga arah serangan sekaligus yakni leher, perut dan
dada! Di saat yang sama tangan kirinya tidak tinggal diam. Dia
menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Sesaat Pangeran Matahari
terkesiap juga melihat serangan ganas ini. Di samping itu pukulan tangan
sang warok menebarkan angin dingin.
Pangeran Matahari berteriak
nyaring. Tubuhnya lenyap dari pandangan Warok Sumo Gantra. Kepala rampok
ini sesaat terus menyerbu tempat kosong sempai akhirnya di menyadari
lawan tak ada lagi di hadapannya.
“Matamu buta atau bagaimana! Aku
ada di sini Warok!” mengejek Pangeran Matahari yang tahu-tahu sudah ada
di belakang sang warok. Dalam amarah tambah memuncak Warok Sumo Gantra
balikkan tubuh dan babatkan goloknya.
Terdengar pekikan setinggi langit!
“Rasakan!”
teriak Warok Sumo Gantra karena menyangka si pemuda itu berhasil
dihantam goloknya. Tapi ketika sosok tubuh itu terjungkal jatuh di
hadapannya, dia segera mengenali yang roboh mandi darah bukanlah
Pangeran Matahari, melainkan salah seorang anak buahnya sendiri! Sedang
sang pemuda masih tegak dua langkah di depannya sambil bertolak pinggang
dan sunggingkan tawa mengejek.
“Keparat setan alas!” teriak Warok
Sumo Gantra. Golok di tangan kanannya kembali berkesiur, lenyap dan
hanya merupakan sinar putih dalam kegelapan malam dan pantulan api
unggun. Tubuhnya mandi keringat. Tapi selama enam jurus dia tak mampu
menyentuh tubuh Pangeran Matahari. Sewaktu nafasnya sesak kehabisan
tenaga akibat amarah yang tak terkendali, tiba-tiba dia merasakan kaki
kirinya seperti dihantam balok besar. Tak ampun tubuhnya terpelanting
dan terbanting jatuh dekat perapian. Pada saat dia hendak bangkit, satu
injakan terasa di dadanya. Dia kerahkan tenaga namun tak mampu membuat
mental kaki yang menginjak itu.
“Apakah kau masih tak mau menyerahkan
pimpinan padaku, atau kau lebih suka menjadi bangkai?!” bertanya
Pangeran Matahari sambil mendongak, sengaja tak mau menatap Warok Sumo
Gantra.
Karena memang tak berdaya lagi, apa lagi meneruskan
perlawanan, pimpinan rampok itu akhirnya menyahut. “Aku mengaku kalah!
Terserah padamu mau membunuh atau mengampuni selembar nyawaku!”
“Nyawamu kuampuni! Lekas kau hidangkan secangkir kapi hangat untukku!
Ingat, kau sendiri yang harus menyediakannya untukku!”
Pangeran
Matahari angkat injakan kakinya pada dada sang warok. Dengan
terhuyung-huyung Warok Sumo Gantra bangkit berdiri, lalu melakukan apa
yang diperintah sang pangeran. Ini adalah penghinaan yang tak pernah
dialami Sumo Gantra seumur hidupnya. Apalagi di hadapan anak buahnya
sendiri. Dalam hatinya terpancang dendam kesumat. Satu saat dia harus
membunuh pemuda ini!
EMPAT
Matahari belum lagi menyembul dari ufuk timur. Namun keadaan di tempat
itu sudah agak terang hingga cukup jelas terlihat jalan kecil berkelok
di lamping bukit sebelah timur hutan Merapi. Dua puluh anak buah Sumo
Gantra telah berada di tempat-tempat yang diatur sementara Pangeran
Matahari duduk di sebuah batu besar dan sang warok tegak di sampingnya.
Tak selang berapa lama, ketika serombongan burung nampak melayang di udara, lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
“Mereka datang Pangeran…..” berkata Warok Sumo Gantra.
Pangeran Matahari mengangguk kecil dan layangkan pandangannya ke timur.
Dari
balik kelokan jalan yang mendaki tampak kepala lima ekor kuda, disusul
lima ekor lagi di sebelah belakang. Lalu sebuah kereta ditarik dua ekor
kuda coklat.
Setelah itu masih ada lima pengawal berkuda di sebelah belakang.
“Dugaanku
tepat! Jumlah pengawal tidak sampai dua puluh. Tapi…..” Warok Sumo
Gantra hentikan kata-katanya. Suaranya seperti tercekat. Dia memanang
tajam ke arah rombongan di bawah sana.
“Apa yang membuatmu tiba-tiba kecut heh?!” bertanya Pangeran Matahari tak acuh.
“Ni Luh Tua Klungkung ada di antara mereka!” sahut kepala rampok yang kini berada di bawah kekuasaan Pangeran Matahari itu.
“Kau begitu ketakutan. Siapa manusia itu……?” tanya sang pangeran.
“Seorang nenek sinting sakti. Berasal dari Bali tapi diketahui sejak lama menjadi pendamping utama para tokoh silat Keraton…..”
“Sinting
tapi sakti! Sungguh aneh, lucu! Aku ingin berkenalan dengan nenek
itu….” Pangeran Matahari menyeringai dan usap-usap telapak tangannya
satu sama lain, lalu dia mendorong-dorongkan tangan kanan seperti
mengambil ancang-ancang memukul.
“Yang mana nenek tua yang kau maksudkan itu……?” bertanya Pangeran Matahari.
“Orang kedua pada rombongan kedua. Yang di sebelah kanan berpakaian serba biru…..”
“Itu…..? Hanya seorang nenek berambut putih, bertubuh kecil jelek! Itu yang kau takutkan!”
“Jangan memandang rendah Pangeran. Dia benar-benar seorang berkepandaian tinggi!”
“Sudah!
Jangan banyak mulut! Rombongan itu hampir mendekati titik penyerangan!
Kau lekas turun dan pimpin anak buahmu melakukan serangan!”
“Jika Pangeran memang ingin menjajal kehebatan perempuan tua itu, sebaiknya Pangeran ikut turun….”
Plaakk!
Satu
tamparan mendarat di pipi Warok Sumo Gantra membuat orang ini
terhuyung-huyung hampir roboh. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah.
“Jangan
berani memerintah! Aku yang jadi pimpinan di tempat ini! Dan ingat!”
Pangeran Matahari berkata dengan mata mendelik. “Setiap barang berharga
dan uang yang kalian temui adalah milikku. Siapa saja perempuan yang
kalian tangkap harus diserahkan padaku…… Pergi!”
Masih
terhuyung-huyung dan masih menahan sakit Warok Sumo Gantra berlari
menuruni lamping bukit. Dalam waktu singkat dia sudah berada di antara
anak buahnya yang saat itu juga dalam keadaan tegang takut ketika
mengetahui bahwa dalam rombongan yang hendak mereka serbu terdapat Ni
Luh Tua Klungkung. Jelas mereka kini melakukan penghadangan dengan
setengah hati.
Dari batu tempatnya duduk di atas bukit, Pangeran
Matahari mendengar suara suitan nyarin. Dari balik tebing di kiri kanan
jalan tampak melompat keluar anak buah Warok Sumo Gantra menyerbu
rombongan. Suasana kacau balau terjadi. Ringkik kuda terdengar tiada
henti. Pertempuran segera berlangsung. Mula-mula tampak para perampok
berada di atas angin. Lawan yang terkejut karena diserang tiba-tiba
terdesak hebat. Lima pengawal roboh mandi darah. Namun keganasan para
perampok hanya sampai di situ. Ketika penunggang kuda berpakaian biru
berambut putih mulai bergerak hanya dengan mengandalkan tangan kosong,
maka keadaan jadi berubah!
Dua anggota rampok mencelat mental dengan
perut dan dada bobol dimakan tendangan. Seorang lagi terhenyak dengan
leher patah terkena tepisan tangan kiri.
Dan ketika orang berpakaian
biru itu mempergunakan golok rampasan untuk melancarkan serangan
balasan, jerit pekik kematian anggota rampok terdengar susul menyusul.
Enam orang tumpang tindih menemui ajal,, satu lagi megap-megap meregang
nyawa sambil pegangi perut yang robek.
Saat itulah Warok Sumo Gantra
melompat ke dalam kalangan pertempuran sambil mencekal golok besar.
Sekali senjatanya berkelebat, kuda tunggangan nenek berpakaian biru
meringkik keras lalu tersungkur. Lehernya hampir putus dibabat golok
sang warok. Adapun orang tua yang tadi berada di atas punggung binatang
ini, begitu kudanya roboh, tubuhnya tampak mencelat. Melayang ke kiri
dan tahu-tahu sudah duduk di atas punggung seekor kuda lainnya,
memandang ke arah Warok Sumo gantra dengan mata berkilat-kilat.
“Wah…..wah…..wah!
Jadi ini rupanya gembong biang kerok yang berani menghadang rombongan
Istana!” Nenek berpakaian biru buka suara dengan nada mengejek. Lalu dia
susul dengan ucapannya “Warok Sumo Gantra! Nama jahatmu sudah lama
kudengar. Tidak disangka hari ini kau berani muncul dan menghadang kami!
Primbon mengatakan bahwa hari ini adalah hari kematianmu!”
Mekipun
nyalinya kecut menghadapai nenek yang sudah tersohor kehebatannya itu,
namun ucapan merendahkan tadi membakar kemarahan Warok Sumo Gantra.
Untuk sesaat dia lupakan rasa takutnya.
“Ni Luh Tua Klungkung!” bentaknya. “Jika kau sudah tahu siapa aku kenapa tidak lekas minggat tinggalkan tempat ini?!”
Si nenek tertawa tinggi mendongak langit. Golok di tangan kanannya melesat.
Bukan
menyerang ke arah Warok Sumo Gantra, tetapi menghantam pada salah
seorang anak buahnya yang langsung menjerit roboh ketika golok itu
menancap di perutnya!
Tengkuk Warok Sumo gantra menjadi dingin.
Betapa tidak. Si nenek melakukan hal itu tanpa mengalihkan pandangannya
sedikitpun dan sambil terus perdengarkan suara tertawa tinggi.
“Warok
Sumo… Jika kau tidak sanggup melindungi nyawa anak buahmu, bagaimana
mungkin kau dapat menyelamatkan nyawamu sendiri dari kematian…….?” Si
nenek kembali keluarkan ucapan mengejek.
Merah padam wajah Warok Sumo
Gantra. Didahului oleh bentakan nyaring tubuhnya yang tinggi besar itu
laksana terbang melayang ke arah Ni Luh Tua Klungkung. Golok di tangan
kanannya berdesing di udara!
Senjata itu hanya lewat setengah jengkal dari batang leher si nenek baju biru.
Begitu lewat si nenek kibaskan ujung lengan bajunya.
Wutt!
Serangkum angin keras menerpa.
Warok
Sumo Gantra meraskaan tubuhnya tersentak keras. Dia cepat membuang diri
ke samping. Namun tak ayal goloknya telah terlepas mental oleh hantaman
angin lengan baju tadi dan di saat yang sama dia merasakan tangan
kanannya seperti diremas tangan raksasa hingga dia merintih kerenyitkan
tampang.
“Warok Sumo, apakah kau masih belum yakin kalau hari ini hari kematianmu?!” berkata Ni Luh Tua Klungkung.
Warok
Sumo menggembor marah. Kaena tangan kanannya masih terasa sakit maka
dia pergunakan tangan kiri untuk memukul dengan mengerahkan tenaga
dalam.
Tingkat tenaga dalam yang dimiliki kepala rampok hutan Merapi
ini memang cukup ampuh. Ketika pukulan dilepaskan, pakaian si nenek
tampak berkibar-kibar. Namun untuk membuatnya roboh terjungkal dari
punggung kuda ternyata sang warok masih belum mampu. Sebaliknya ketika
si nenek balas menghantam dengan kebutan ujung lengan baju, tak ampun
lagi Warok Sumo Gantra terbanting ke tanah dan rasakan dadanya sesak.
Nafas seperti mau putus! Dia bangkit dengan susah payah tapi hanya untuk
menerima hajaran tendangan kaki ke arah kepalanya, yang tak mungkin
dielakkan!
Saat itulah satu bayangan hitam datang berkelebat dari
samping. Warok Sumo Gantra terpental jauh, terguling-guling di tanah
tapi selamat dari kematian.
Sebaliknya si nenek berbaju biru
terdengar berseru kaget. Tubuhnya seperti mumbul ke atas, jungkir balik
di udara dan lain kejap sudah berpindah duduk ke atas punggung kuda
lainnya. Dari atas punggung binatang ini dia memandang tak berkesip pada
sosok tubuh pemuda yang mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar
gunung dan matahari di dadanya.
“Orang muda! Lagakmu lancang amat! Berani mencampuri urusan orang!
Siapa kau? Apa kambratnya rampok-rampok keparat ini?!” begitu si nenek membentak.
“Nenek butut! Lagakmu keren amat!” balas membentak Pangeran Matahari.
“Aku
Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Aku pimpinan tertinggi gerombolan
rampok. Kawasan hutan Merapi adalah daerah kekuasaanku! Siapa berani
lewat di sini berarti berani ambil tanggung jawab!”
Si nenek
mendengus. “Caramu bicara dan pakaian yang kau kenakan membuatmu lebih
pantas jadi pemain sandiwara. Tapi kulihat tadi kau punya sedikit ilmu!
Aku belum tahu apakah ilmu itu bisa kau andalkan untuk menyelamatkan
jiwamu! Orang-orang jahat sepertimu layak dikubur hidup-hidup tapi tak
layak dikubur kalau sudah mati…..!”
“Baru menjadi jongos istana
lagakmu seperti tuan besar! Pangeran Matahari ingin melihat sampai di
mana kehebatanmu monyet betina tua!”
Meskipun naik darah disebut
monyet betina tua tapi si nenek tetap perdengarkan suara tertawa tinggi.
Masih duduk di atas punggung kuda Ni Luh tua Klungkung rapatkan telapak
dan jari-jari tangannya lalu diangkat ke kening seperti orang
menghormat memberi salam. Ketika kedua tangan itu tiba-tiba dihantamkan
ke bawah disertai bentakan garang, dua larik angin deras seperti
membelah tanah.
Pangeran Matahari merasakan tubuhnya tergoncang. Satu
kekuatan membetot dirinya ke kanan, satu lagi menariknya ke kiri.
Ketika dia coba melompat keluar dari daya tarik dua kekuatan yang
seperti hendak membelah tubuhnya itu si nenek tiba-tiba dorongkan
tumitnya. Si pemuda merasakan ada hantaman dahsyat melabrak dadanya.
Tubuhnya
hampir terjungkal ke belakang. Namun dia cepat jatuhkan diri setengah
berbaring. Tanan kiri bertekan ke tanah sedang tangan kanan menghantam
ke depan.
“Makan pukulanku ini!” teriak Pangeran Matahari.
Ni Luh
Tua Klungkung tersentak kaget ketika ada gelombang angin dahsyat
memusnahkan dua pukulannya tadi dan sekaligus kini menghajarnya. Dia
coba bertahan dengan silangkan lengan kiri di depan dada. Tapi kuda yang
didudukinya tak sanggup berdiri. Binatang ini roboh terjengkang,
memaksa si nenek melompat sambil memukul.
Pangeran Matahari
tersenyum. Dia tahu kini kalau si nenek ternyata memiliki kekuatan
tenaga dalam yang tidak mampu menghadapi tenaga dalam yang dimilikinya.
Maka diapun lepaskan hantaman kedua. Kembali Ni Luh Tua Klungkung
melengak dan terpaksa lagi-lagi selamatkan diri sambil melompat dan
memukul.
Begitu pukulannya lepas dia melompat dan kebutkan lengan
pakaian birunya. Angin aneh mengeluarkan suara seperti puting beliung
menerpa menggidikkan ke arah Pangeran Matahari, membuat tubuhnya
bergoncang keras, padahal dua angin pukulan itu masih sejauh tiga
langkah. Ketika serangan lawan tinggal dua langkah lagi, Pangeran
Matahari angkat kedua tangannya dengan telapak terkembang ke arah si
nenek. Lalu dia dorongkan kedua tangan itu. perlahan saja. Tapi apa yang
tejadi kemudian sungguh luar biasa.
LIMA
Suara mendesis keluar dari dua telapak tangan disertai sambaran angin
hangat yang semakin lama semakin panas. Ketika kedua lengan sudah hampir
membentuk garis lurus, hawa panas yang keluar dari telapak tangan
semakin keras. Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya seperti
terpanggang . Mulutnya komat kamit. Kedua kakinya terbenam ke dalam
tanah. Lututnya menekuk dan perempuan tua ini akhirnya terjengkang.
Dadanya mendenyut sakit. Sekujur tubuhnya seperti dikobari api.
Namun dia tidak mau menyerah begitu saja.
Ilmu
pukulan Telapak Merapi yang tadi dilepaskan lawan masih sanggup
ditahannya. Dengan seluruh sisa tenaga luar dan kekuatan tenaga dalam
yang ada perempuan tua ini pukulkan kedua tangannya ke tanah. Tubuhnya
melesat ke udara.
Selagi melayang inilah dia membuat satu gerakan
aneh. Tangan kiri mendekap dan menekan perut. Tangan kanan diacungkan
lurus-lurus ke arah Pangeran Matahari.
Kedua pipinya yang keriput
menggembung. Ketika kemudian mulutnya meniup, menyemburlah asap tibpis
kuning yang menebar bau kayu cendana, yaitu sejenis pohon kayu harum
yang banyak tumbuh di Bali. Semburan asap ini menyembur dan melesat
sepanjang tangan kanan yang diluruskan dan mengarah pada sasaran.
Pangeran
Matahari mendadak merasakan kepalanya pening. Pemandangan berkunang dan
perut mendadak mual. Sadar semburan asap kuning itu mengandung racun
jahat melumpuhkan, sang pangeran cepat gulingkan diri menjauhi. Namun si
nenek ikuti gerakan tubuh lawan dengan mengarahkan tangan kanannya, ke
mana pemuda itu bergerak, ke situ pula tangannya diarahkan!
Sang
pangeran tak bisa lari lagi! Tubuhnya yang baru saja mencoba bangun
tampak limbung. Sadar bahaya besar tengah dihadapinya cepat-cepat dia
berlutut dan tutup penciuman. Kedua matanya terpejam dan mulut
melafatkan sesuatu. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas, lima
jari membentuk tinju. Lengan disentakkan ke bawah lalu secepat kilat
dihantamkan kembali ke atas. Bersamaan dengan itu lima jari tangan
membuka dan bentakan keras menggelegar dari tenggorokannya!
Tanah di
tempat itu mendadak sontak bergetar. Terdengar suara aneh menggemuruh.
Ketika tangan dihantamkan ke atas dan lima jari membuka menghempas,
suara gemuruh berubah jadi suara ledakan dahsyat seperti gunung meletus.
Belasan kuda meringkik. Beberapa sosok tubuh tampak mencelat lalu jatuh
terguling-guling. Dua kuda penarik kereta tersungkur, berusaha lari
tapi rubuh lagi.
Kedua binatang ini akhirnya melosoh begitu di tanah jalanan. Sementara itu debu pasir dan bebatuan beterbangan ke udara!
Pangeran
Matahari telah mengeluarkan ilmu pukulan sakti bernama Merapi Meletus
yang didapatnya dari kakek sakti di puncak Merapi.
Ni Luh Tua
Klungkung merasakan isi dada dan perutnya seperti berhamburan keluar
ketika terdengar suara gemuruh yang disusul letusan hebat tadi. Jalan
darahnya seperti terhenti. Kepalanya seperti dipukuli palu godam.
Sekujur tubuhnya mendadak sontak kehilangan daya hingga dia terkapar di
tebing jalan dan darah mengalir di sela bibirnya. Keadaannya antara
sadar dan pingsan. Tubuhnya tak berkutik sedikitpun.
Keadaannya yang seperti ini menyelamatkannya karena Pangeran Matahari menyangka perempuan tua itu sudah meregang nyawa.
Perlahan-lahan
Pangeran Matahari turunkan tangan kanannya. Memandang berkeliling
dilihatnya Warok Sumo tengah berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan
pada roda kereta. Beberapa pangawal yang selamat segera jatuhkan diri
bersila tanda menyerah sedang anggota rampok yang masih hidup tegak
menjauh, tak ada yang berani mendekat. Di dalam kereta terdengar suara
isak tangis perempuan.
Pangeran Matahari melangkah mendekati kereta
lalu membuka pintu samping kendaraan itu. di dalam kereta tempat duduk
berpelukan dua orang perempuan. Yang satu berusia sekitar empat puluhan,
berparas rupawan dan mengenakan pakaian bagus lengkap dengan segala
perhiasan. Perempuan satunya lagi adalah gadis remaja berkulit kuning
dan memiliki wajah hampir sama dengan yang lebih tua tetapi tentu saja
jauh lebih cantik. Jelas keduanya adalah ibu dan anak.
“Inikah gadis yang bernama Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati itu….?”
membatin
Pangeran Matahari. Detik pertama dia melihat ibu dan anak itu darahnya
tersirap dan jantungnya berdebar keras. Ingatan dan kenangan kembali
pada masa dua belas tahun yang silam. Meski waktu sekian lama berlalu,
namun dia tak pernah melupakan raut wajah ibunya. Juga paras kakak
perempuannya. Kedua perempuan itu ternyata adalah ibu dan kakaknya
sendiri. Hampir terlompat ucapan “ibu” dari mulutnya kalau saja tidak
tiba-tiba mendenging suara di liang telinganya.
“Pangeran Matahari! Dengar kata-kataku! Ingat pada pesanku! Melanggar pesan berarti musnahnya segala ilmu yang kau miliki!”
“Guru! Apa maksudmu!” ujar Pangeran Matahari bicara sendiri.
“Bukankah sudah kupesan bahwa kau tidak boleh kembali ke masa lalumu?
Kau
tidak boleh kembali pada orang tua dan saudara-saudaramu! Siapa kau
pada masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan selama-lamanya. Siapa
kau sekarang tak seorangpun boleh tahu…..”
Sesaat Pangeran Matahari tertegun. Akhirnya dia berkata, “Pesanmu aku ingat.
Tapi aku harus menolong kedua perempuan ini. Bagaimanapun dia adalah ibu dan kakakku…….!”
“Aku
tidak melarangmu menolong mereka. Tapi ingat, jangan sekali-kali mereka
mengetahui siapa kau adanya. Sekali kau melangar pesan dan pantangan,
kau akan celaka seumur-umur!” suara mengiang lalu lenyap dan kini
berganti suara perempuan separuh baya dalam kereta yang duduk ketakutan
sambil mendekap puterinya.
“Kami orang-orang istana. Jangan berani mengganggu. Jangan sakiti anakku.
Aku istri Sri Baginda yang ketiga….”
“Aku
tahu siapa kalian,” menyahuti Pangeran Matahari. “Aku tiak akan
mengganggu. Kalian boleh pergi dengan aman. Hanya aku ada beberapa……”
Ucapan
Pangeran Matahari itu tiba-tiba dipotong oleh suara Sumo Gantra yang
saat itu berdiri di sampingnya, memandang dengan mata berkilat-kilat
pada dua perempuan di dalam kereta.
“Pangeran, apa kau lupa maksud dan rencana kita semula? Merampas harta benda dan menculik kedua perempuan ini…..?”
Pangeran
Matahari palingkan kepalanya, memandang dengan mata mendelik pada Sumo
Gantra, membuat kepala rampok hutan Merapi ini jadi bergeming tapi masih
berani berkata “Jika kau tidak inginkan mereka, serahkan padaku……”
“Warok Sumo Gantra! Kau telah salah menyusun rencana. Kau tidak tahu siapa kedua orang ini! kesalahan berarti kematian……!”
Warok Sumo Gantra melangkah mundur.
“Apa maksudmu Pangeran? Tak ada rencana yang salah…..”
“Orang
yang sudah mau mati tak usah banyak bicara!” Pangeran Matahari
membentak. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menggebrak menghantam
batok kepala Warok Sumo Gantra. Demikian dekatnya mereka berada dan
demikian cepatnya gerakan sang pangeran ditambah ketidak terdugaan bahwa
sang pangeran benar-benar hendak membunuhnya membuat Warok Sumo Gantra
tak mampu berkelit selamatkan diri. Dia tergelimpang dekat roda kereta
dengan kepal pecah! Ibu dan anak pucat pasi dan menggigil ketakutan
menyaksikan.
Pangeran Matahari kembali berpaling pada kedua perempuan
itu. “Sebelum kalian pergi aku ada eberapa pertanyaan. Apakah
Tumenggung Gali Marto masih bertugas di Keraton?”
“Ya…..ya……
Tumenggung itu memang masih bertugas. Mengapa kau bertanya…..?” Yang
menjawab adalah Siti Hinggil ibu Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang
juga adalah ibu kandung Pangeran Matahari sendiri.
Karena merasa
takperlu menjawab pertanyaan ibunya, Pangeran Matahari ajukan pertanyaan
kedua. “Apakah Sri Baginda memperlakukan kalian dengan baik, termasuk
putera-puteri kalian……?”
“Ya….. kami memang diperlakukan dengan baik.
Dari Sri Baginda saaat ini aku hanya punya saru orang putera. Putera
tertua hilang sewaktu terjadi bencana gunung meletus dua belas tahun
silam. Kalau dia masih hidup….. kira-kira seusiamu dia sekarang…..”
“Ayahanda memang baik, tapi para pangeran saudara-saudara kami dari permaisuri dan istri kedua bersikap sangat bermusuhan……”
“Mereka
semua akan menerima pembalasan!” kata Pangeran Matahari. “Nah sekarang
kalian boleh pergi bersama para pengawal yang masih hidup….”
Anak dan ibu itu tampak lega. Puji Lestari malah memberanikan diri bertanya.
“Siapakah saudara sebenarnya? Bukankah…. Bukankah kau yang jadi pemimpin rombongan rampok penghadang?”
“Namaku Pangeran Matahari. Aku tak ada angkut paut apa-apa dengan monyet-monyet hutan itu…..”
“Kalau begitu kau seorang yang baik. Ambillah ini sebagai tanda terima kasihku…..”
Raden
Ayu Puji Lestari Ambarwati lalu meloloskan cincin emas bergambar kepala
burung Rajawali yang merupakan cap kerajaan dan menyerahkannya ada
Pangeran Matahari.
“Aku tidak butuh cincin itu. Kalian berdua silahkan pergi!”
“Jangan berani menampik pemberian orang istana!” Puji Lestari nampak kecewa.
“Kalau
kau bukan kakak kandungku tadi-tadi sudah kutampar kau!” kata Pangeran
Matahari dalam hati. Dengan tangan kirinya diambilnya cincin itu lalu
dimasukkannya ke jari kelingking tangan kanannya. Sesaat setelah kereta
beserta beberapa pengawal meninggalkan tempat itu Pangeran Mataharipun
berlalu pula dari situ. Tujuannya adalah Kotaraja. Namun dia sengaja
tidak mau mengambil jalan yang sama dengan rombongan ibunya.
ENAM
Ni Luh Tua Klungkung merasakan dadanya masih berdenyut sakit. Disekanya
darah yang mulai mengering di sudut bibir lalu dia bangkit dan duduk di
pinggir jalan.
Memandang berkeliling dilihatnya lebih dari sepuluh
mayat bergelimpangan termasuk mayat Sumo Gantra. Apa yang terjadi dengan
kepala rampok hutan Merapi itu? Siapa yang membunuhnya. Di mana kereta
berisi istri dan puteri Sri Baginda? Di mana pula pemuda bernama
Pangeran Matahari itu? Jangan-jangan dia telah melarikan kereta berikut
dua penumpangnya. Sesaat si nenek agak meragu. Kalau dua perempuan itu
diculik dan dilarikan, mengapa tak satupun perajurit-perajurit pengawal
tertinggal di tempat itu.
“Sesuatu yang aneh telah terjadi…..”
membatin nenek berbaju biru ini. Tapi yang membuatnya merasa tidak
tenang adalah memikirkan kesalamatan istri dan puteri Sri Baginda. Jika
sampai terjadi apa-apa dengan kedua perempuan itu, hukuman berat akan
diterimanya sebagai pertanggung jawab.
“Empat tahun mengabdi raja,
mengapa hari ini nasibku celaka sekali!” si nenek mengomel. Rasa sakit
hatinya bukan kepalang. Segala kepandaian berupa ilmu silat dan pukulan
sakti yang dimilikinya ternyata tidak berdaya menghadapi seorang pemuda
tidak terkenal bernama aneh si Pangeran Matahari itu! Saking kesalnya
perempuan tua ini terisak-isak dan pukul-pukul kepalanya sendiri.
“Dari pada malu dan menerima hukuman berat, lebih baik aku bunuh diri saja!
Mati
lebih pantas dari pada menanggung malu!” Begitu Ni Luh Tua Klungkung
menyesali diri. Lalu tangan kanannya yang terkepal dihantamkan ke batok
kepalanya sendiri. Nenek nekad ini memang sudah rela untuk mati!
Sekejap
lagi batok kepalanya akan hancur tiba-tiba dari belakang ada satu
tangan yang memegang lengannya. Dia kerahkan tenaga dan coba berontak.
Tapi pegangan itu bukannya lepas malah tambah kencang.
“Kurang ajar! Jangan campuri urusan orang!” si nenek berteriak marah lalu sikut kirinya dihantamkan ke belakang.
Terdengar
suara bergedebuk tanda serangannya mengenai sasaran. Tapi orang yang
memegang lengannya dari belakang sama sekali tidak keluarkan suara
keluhan kesakitan ataupun terdorong dan juga cekalannya masih tetap
kencang seperti tadi.
Penuh maraha Ni Luh Tua Klungkung palingkan kepalanya.
Seorang
pemuda berambut gondrong berikat kepala putih tersenyum padanya dan
menegur. “Nenek, di usiamu selanjut ini mengapa masih memikirkan mati
dengan cara bunuh diri. Satu dua tahun di muka tanpa dimintapun malaikat
maut akan datang menjemputmu!”
Si nenek yang semula terkesiap
melihat kegagahan paras pemuda itu, mendengar ucapan itu jadi marah. Dia
kembali menyikut tapi luput.
“Lepaskan tanganku! Manusia kurang ajar!”
Si
pemuda lepaskan pegangannya. Begitu tangannya bebas Ni Luh Tua
Klungkung langsung menyerang. Si pemuda keluarkan siulan nyaring dan
berseru.
“Nenek, ilmu silatmu boleh juga! Tapi kau sedang terluka di
dalam. Jika sampai keluarkan tenaga terlalu besar karena turutkan hawa
amarah, kau bisa celaka sendiri!”
Sadar kalau ucapan orang itu memang
benar, si nenek bersurut. Sesaat dia tegak dan memandang si pemuda
dengan mata marah berkilat-kilat. Tiba-tiba didengarnya pemuda di
hadapannya berkata.
“Nek, kulihat kulit mukamu keriput dimakan usia.
Tapi mengapa sepasang matamu bagus sekali, mati gadis-gadis remajalah
yang seperti itu…..!”
“Kau!” seru Ni Luh Tua Klungkung. Kedua kakinya kembali tersurut.
Tubuhnya
bergetar. Dia siap mendamprat. Tapi sambil tersenyum pemuda di
hadapannya mengulurkan sebuah benda bulat berwarna hijau.
“Kau terluka di dalam, nek. Cukup parah. Telanlah obat ini!”
“Mana aku tahu itu obat atau racun?!” bentak si nenek.
“Ah, kau tidak percaya pertolongan orang!”
“Kenalpun tidak! Tahu-tahu muncul mau menolong! Bukan kustahil kau kawannya Pangeran Matahari!”
“Pangeran Matahari! Nama hebat! Siapakah dia? Kekasihmu?!”
“Pemuda kurang ajar! Musuh kau katakan kekasihku!”
Pemuda
itu tertawa sambil garuk-garuk kepala. Sekali lagi dia ulurkan
tangannya yang memegang benda bulat hijau. “Makanlah agar lukamu
sembuh!”
“Tidak!”
“Jika kau tidak percaya lihatlah aku akan kunyah
benda ini!” Lalu si pemuda buka mulutnya lebar-lebar dan tangannya
didekatkan ke mulutnya. Mulut itu kemudian tampak komat kamit mengunyah
sedang matanya terpejam-pejam. Lalu tenggorakannya tampak seperti
menelan. “Nah, kau lihat sendiri. Aku tidak mati…..!”
Si pemuda
tertawa gelak-gelak. Memang sikapnya memasukkan obat ke mulut, menguyah
dan menelannya hanya pura-pura saja. Ketika dia menuruti membuka tangan
kanannya yang tergenggam, benda bulat hijau itu masih ada di sana!
“Matamu
tajam dan setua ini ternyata kau masih cerdik nek. Dengar, obat ini
hanya tinggal satu-satunya yang kumiliki. Karena hendak menolongmu, mana
mungkin aku benar-benar menelannya…..!”
“Siapa kau sebenarnya! Terus
terang pengalaman mengatakan agar kita berhati-hati terhadap seseorang
tak dikenal yang tahu-tahu muncul menunjukkan sikap baik……!” Sepasang
mata si nenek menyelidik tampang pemuda ini. Ketika dia memperhatikan
pakaian yang tak terkancing, pada dada si pemuda yang terbuka dilihatnya
guratan tiga buah angka berwarna biru kehitaman. Dia rasa-rasa pernah
mendengar tentang tiga angka itu.
“Namaku Wiro Sableng. Tapi otakku tidak sableng!” si pemuda jelaskan siapa dirinya.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget. “Kau Pendekar 212!” serunya.
Wiro menjura. “Syukur kini kau tahu siapa aku. Kita orang-orang segolongan, kenapa bersikap curiga……”
“Aku…..aku hanya……” Si nenek tampak salah tingkah.
“Ini ambillah….” Wiro Sableng ulurkan lagi.
Kali ini si nenek mau mengambil lalu dengan agak malu-malu menelan obat itu.
“Bagus…. Bagaimana perasaanmu sekarang nek?”
“Debaran
jantungku tidak keras lagi. Aliran darah mulai teratur dan sesak pada
dada mulai berkurang. Obatmu ampuh. Aku mengucapkan terima kasih….” Si
nenek kembali menunjukkan sikap salah tingkah. “Aku tidak melupakan budi
pertolonganmu. Sekarang aku harus pergi…..”
“Eh, tunggu dulu!” seru
Wiro. “Kau belum menerangkan mengapa tadi kau hampir menempuh jalan
sesat bunuh diri. Juga kau belum menerangkan siapa itu manusia bernama
Pangeran Matahari. Dan mengapa ada banyak mayat malang melintang di
jalan ini. Di antara mereka kulihat perajurit-perajurit kerajaan.”
Setelah
meragu sejenak akhirnya Ni Luh Tua Klungkung menceritakan apa yang
terjadi. Dalam keadaan pikiran kacau dan takut menerima hukuman berat
dari raja sampai nekad hendak bunuh diri.
“Tentang siapa Pangeran
Matahari akupun tak tahu banyak. Dia mengaku pimpinan rampok hutan
Merapi. Tapi terus terang aku menyangsikan hal itu. Satu hal tak aku
lupakan, dia memiliki ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Nah, aku
sudah jawab semua pertanyaanmu. Aku tak ada waktu lama. Harus
cepat-cepat menuju kotaraja guna menyelidik apakah istri Sri Baginda dan
puterinya berada di sana atau bagaimana. Sekali lagi terima kasih atas
obatmu yang mujarab itu…..”
“Satu pertanyaan lagi!” Wiro Sableng cepat buka mulut ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat pergi.
“Apa lagi ini?!” Perempuan tua itu nampak jengkel.
“Dunia
ini penuh dengan seribu satu macam keanehan. Terkadang keanehan itu tak
pernah terjawab. Salah satu keanehan saat ini terjadi di hadapanku…..”
“Apa maksudmu?!” Suara Ni Luh Tua Klungkung bergetar.
Murid
Eyang Sinto Gendeng tersenyum. “Apakah tidak aneh kalau seorang
perempuan tua berwajah keriput yang berusia mungkin lebih dari tujuh
puluh tahun memiliki sepasang mata yang bagus bercahaya dan sepasang
tangan yang berkulit halus…..”
Ni Luh Tua Klungkung melompat mundur.
Kedua matanya memandang tak berkesip pada si pemuda dan untuk beberapa
saat lamanya tak bisa keluarkan suara apa-apa.
Tahu kalau orang sudah
tertangkap tangan dalam penyamarannya Wiro tambaikan tangan dan cepat
berkata “Sudahlah, jangan pikirkan pertanyaan atau ucapanku tadi. Kalau
kau melakukan penyamaran kau tentu punya alasan sendiri. Aku tak layak
menanyakan alasanmu itu. Jika kau memang bermaksud ke kotaraja, apakah
kita bisa jalan bersama….?”
Sebenarnya kalau saja penyamaran dirinya tidak diketahui Wiro, “sang nenek”
tidak
akan merasa keberatan untuk sama-sama berangkat ke Surokerto. Dia
buru-buru berkata. “Kalau begitu kita berpisah di sini. Siapa tahu ada
umur panjang dan bertemu lagi…..” Wiro lalu menjura dan tinggalkan
tempat itu.
Tinggal kini si “nenek” tertegak di tengah jalan seorang diri.
“Empat
tahun menyamar tak seorangpun mengetahui siapa aku! Tapi pendekar itu
sungguh tajam dan cerdik. Sekali bertemu langsung membongkar kedokku!
Tolol!
Tololnya aku…..!” Dia tampar-tampar sendiri keningnya. “Kalau
sudah begini, tak ada jalan lain! Aku harus membuat samaran baru!” Lalu
Ni Luh Tua Klungkung tanggalkan pakaian birunya. Di balik pakaian biru
itu ternyata dia mengenakan sehelai pakaian ringkas berwarna kelabu.
Tangannya digerakkan ke wajahnya. Sehelai kulit tipis yang bersambungan
dengan rambutnya yng putih tersingkap. Kini kelihatanlah raut wajah dan
rambutnya yang asli. Ternyata si “nenek” ini aslinya adalah seorang dara
berparas jelita dan berambut hitam. Dari balik balik pakaian kelabunya
sang dara keluarkan sebuah topeng kulit tipis, lengkap dengan rambut
pendek. Begitu di kenakan ke wajahnya maka berubahlah dia jadi seorang
pemuda tampan yang mencerminkan watak keras. Dia pandangi kedua
tangannya. Lalu geleng-gelengkan kepala. “Aku harus melakukan sesuatu
dengan tangan ini. kalau tidak penyamaranku pasti akan diketahui orang
pula. Apalagi kalau bertemu lagi dengan si Sableng itu!”
TUJUH
Siang itu Tumenggung Gali Marto merasa tidak enak. Yakni sehabisnya
seorang utusan istana datang menemuinya. Utusan ini membawa sepucuk
surat dari R.A.Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga. Surat itu
menjelaskan tentang pertemuan R.A.
Siti Hinggil dengan seorang pemuda
berkepandaian tinggi, mengaku bernama Pangeran Matahari. Isi surat
memberi peringatan pada sang tumenggung bahwa ada tanda-tanda dari sikap
dan air mukanya bertanyakan Tumenggung Gali Marto si pemuda mempunyai
satu maksud yang tidak baik. Dalam surat R.A. Siti Hinggil juga
menjelaskan peristiwa penghadangan di luar kotaraja.
“Pangeran
Matahari…..” ujar Tumenggung Gali Marto lalu meletakkan surat di
pangkuannya. “Tak pernah kukenal orang dengan nama aneh begitu. Jika dia
menunjukkan sikap menolong terhadap R.A. Siti Hinggil dan puterinya
bahkan menolong kedua perempuan itu dari Warok Sumo Gantra, mengapa pula
dia mengandung maksud yang tidak baik terhadapku? Sulit diterka mengapa
dia menanyakan diriku…..” Setelah berpikir lama dan tak kunjung
mendapatkan jawaban akhirnya Tumenggung Gali Marto menarik kesimpulan,
mungkin sekali pemuda itu menanyakan untuk mencari pekerjaan. Sebagai
kepala pengawal atau sebagai perwira muda. “Tapi…..” kata batin sang
tumenggung membantah sendiri. “Jika dia memang seorang pangeran, mengapa
mempersusah diri dengan mencari pekerjaan….?”
Selesai makan siang
itu, Tumenggung Gali Marto pergi duduk di kursi batu di dalam taman di
bagian belakang gedung kediamannya. Sambil duduk dan menggelitik
telinganya dengan bulu ayam lelaki berusia hampir setengah abad itu
mendengarkan permainan rebab yang digesek oleh seorang tua bermata buta,
yang duduk di rumput tak berapa jauh darinya.
Suatu saat Tumenggung Gali Marto hentikan mengorek kuping dan berpaling pada orang tua penggesek rebab.
“Akik Tua…. Mengapa suara rebabmu tiba-tiba menjadi sumbang?” bertanya Tumenggung Gali Marto.
Yang
ditanya tidak menjawab, melainkan beringsut di atas rumput mendekati
tumenggung. Setelah dekat diapun berbisik. “Tumenggung, saya mendengar
suara orang melangkah mundar-mandir di balik tembok halaman belakang
ini…..”
Tentu saja Tumenggung Gali Marto terkejut mendengar kata-kata
orang tua itu. tapi dia percaya apa yang dikatakan. Sebagai orang cacat
buta kedua matanya, Tuhan mengaruniai satu keluar biasaan pada Akik
yakni pendengaran yang sangat tajam. Bahkan seorang pesilat tingkat
tinggi yang memiliki kesaktianpun kalah hebat pendengarannya dengan si
buta ahli penggesek rebab ini. Tumenggung Gali ingat pada surat R.A.Siti
Hinggil.
“Apakah orang itu hanya sendiri? Dan apakah dia masih mundar-mandir sepanjang tembok…..?” bertanya Tumenggung Gali Marto.
Akik
Tua mendongak, memasang telinga sesaat menjawab. “Dia memang sendirian,
Tumenggung. Dan masih mundar-madir di sekitar tembok. Seperti menunggu
sesuatu…..”
Tumenggung Gali Marto campakkan bulu ayam di tangan kanannya lalu berdiri dari kursi batu.
“Hendak ke mana Tumenggung…..?”
“Kau tetap di sini Akik. Aku akan menyuruh para pengawal menyelidik. Siapa orang mencurigakan di luar tembok sana…..”
Baru
saja Tumenggung Gali Marto berkata begitu sesosok tubuh tampak melayang
melompati tembok belakang gedung kediaman yang tingginya sekitar tiga
tombak. Orang yang barusan melompat ini sebelum menjejakkan kedua kaki
di rumput taman membuka mulut menimpali ucapan sang tumenggung tadi.
“Tak perlu susah-susah mencari pengawal. Orang yang kau curigai saat ini telah berada di hadapanmu!”
Tumenggung
Gali Marto kaget bukan main. Dia cepat membalik. Empat langkah di
hadapannya, tegak di atas undak-undak batu, tampak seorang pemuda
berpakaian serba hitam. Pada bagian dada baju yang dikenakannya ada
gambar puncak gunung berwarna biru dengan latar belakang matahari merah
darah serta sinarnya berupa garis-garis warna kuning. Pemuda tak dikenal
bertampang keras angkuh ini tegak bertolak pinggang. Keningnya yang
tinggi lebar diikat dengan sehelai kain berwarna merah.
“Kau manusianya yang bernama Gali Marto, berpangkat Tumenggung…..?” si pemuda kembali membuka mulut.
Seumur hidupnya tidak pernah Tumenggung Gali Maarto ditegur sekasar itu.
behkan
Raja sekalipun kalau bicara bersikap sopan dan mempergunakan bahasa
yang halus. Kini seorang pemuda tak dikenal bicara begitu kurang ajar
terhadapnya.
Dengan sendirinya darah naik ke kepala sang tumenggung. Kedua rahangnya menonjol saking geram.
Akik
Tua si penggesek rebab yang sudah mencium bakal terjadi hal yang tidak
enak bangkit berdiri, terbungkuk-bungkuk berkata pada Tumenggung Gali
Marto “Sebaiknya saya pergi memanggil pengawal…..”
“Orang buta!” membentak pemuda berpakaian hitam. “Satu langkah lagi kau berani bergerak, putus nyawamu!”
Baru diancam begitu Akik Tua benar-benar seperti merasa sudah putus nyawanya.
“Aku tidak berdosa, tidak berbuat kesalahan apa-apa, mengapa ada orang yang ingin membunuhku…..?”
“Buta! Ternyata kau terlalu banyak mulut! Aku tidak suka pada manusia banyak omong! Kau berangkat duluan…..!”
Pemuda
berpakaian hitam pukulkan tangan kirinya. Perlahan saja. Kejap itu
terdengar pekik penggesek rebab buta itu. tubuhnya mencelat, terbanting
di pilar beranda gedung, jatuh ke tangga dan tak berkutik lagi. Darah
tampak mengucur dari mulutnya.
“Durjana tak berperi kemanusiaan!”
teriak Tumenggung Gali Marto marah besar. Dia menyerbu ke depan. Tapi
ketika si pemuda itu mengangkat tangan kanannya, serta merta Tumenggung
ini merasakan seperti menabrak tembok. Dia tak dapat bergerak mendekati
si pemuda.
“Apakah kau berperi kemanusiaan ketika kau meninggalkan
anak lelaki di sekitar Sleman ketika Merapi meletus dua belas tahun
lalu?!” Paras Tumenggung Gali Marto berubah pucat.
“Apakah…… Jadi, jadi….. kau Pangeran Anom yang hilang!” seru sang Tumenggung.
Si pemuda menyeringai “Namaku Pangeran Matahari! Bukan Pangeran Anom…..”
“Ah,
tidak! Wajahmu jelas mirip Pangeran Anom, putera Sri Baginda yang
hilang dalam peristiwa meletusnya gunung Merapi….. Betul! Aku ingat
sekarang!”
Tumenggung Gali Marto tiba-tiba jatuhkan dirinya, berlutut di hadapan Pangeran Matahari.
“Pangeran
Anom bukannya hilang! Pada saat suasana kacau itu kau bukan melindungi
atau menyelamatinya. Malah meninggalkannya, mencari selamat sendiri!
Tentunya
pada Sri Baginda kau mengarang cerita bahwa anak itu lenyap waktu
berburu, waktu terjadi letusan Merapi. Benar begitu……?”
“Saya…..saya tidak ingat lagi. Tapi saya yakin kau adalah Pangeran Anom…..
Saya minta diampuni kalau Pangeran Anom menganggap peristiwa itu sebagai satu kesalahan atau kesengajaan. Saya…..”
“Jangan panggil aku Pangeran Anom!” bentak si pemuda. “Namaku Pangeran Matahari!”
“Siapapun
kau adanya, saya mohon diampuni…..” kata Tumenggung Gali Marto yang
tetap yakin pemuda di depannya itu adalah Pangeran Anom yang dua belas
tahun lalu terpisah dari rombongan ketika berburu di kaki Merapi.
“Tumenggung
Gali Marto! Tahukah kau bahwa dosa kesalahanmu dua belas tahun silam
tak bisa diampuni? Dan hanya bisa kau tebus dengan nyawa pengecutmu?!”
“Demi Tuhan saya…..”
Kaki
kanan Pangeran Matahari bergerak. Tumenggung Gali Marto membuang diri
ke samping. Dia selamat dari tendangan maut itu. Namun ketika ada suara
mendesis dan Pangeran Matahari dorongkan tangan kirinya perlahan sekali,
segulung angin panas menghantam sang tumenggung. Tak ampun lagi orang
ini tergulingguling di rumput taman. Tubuhnya tampak hangus. Rumput
taman juga kelihatan mengering seperti terpanggang!
Dengan tenang
Pangeran Matahari melangkah mendekati mayat Tumenggung Gali Marto. Dari
pakaian hitamnya dia mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini
dijatuhkannya dan tepat menutupi wajah hitam hangus Tumenggung Gali
Marto.
DELAPAN
Seorang punggawa
masuk dengan napas terengah-engah dan hampir roboh ketika hendak menjura
di hadapan Patih Haryo Unggul. Dia membuka mulut akan mengatakan
sesuatu namun nafasnya dan dadanya yang sesak membuat tak ada suara yang
keluar dari mulutnya. Akibatnya dia hanya bisa mengulurkan tangan
menyerahkan selembar kertas yang nyaris lusuh serta basah oleh
keringatnya.
Penuh heran Patih Haryo Unggul mengambil kertas itu. Di situ ternyata terdapat sederetan tulisan berbunyi :
Bagi semua manusia tak berbudi
Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri
Pangeran Matahari datang membawa mati!
Sebagai seorang Patih Kerajaan, Haryo Unggul memiliki sifat tegas dan
teliti tanpa melupakan perasaan sabar dan sikap lembut terhadap siapa
saja. Walau dia tidak segera mengerti apa makna tulisan yang tertera di
atas kertas itu namun dia menunggu dengan sabar sampai punggawa yang
barusan datang menghadap menjadi tenang dari keletihan dan sesak
nafasnya. Dia maklum punggawa ini datang bukan menunggang kuda, tetapi
dengan berlari. Lalu dari ciri-ciri pakaiannya sang Patih mengetahui
kalau punggawa ini bertugas di tempat kediaman salah seorang Tumenggung
Kerajaan.
Setelah merasa cukup memberi waktu maka Patih Haryo Unggulpun menyapa.
“Sekarang terangkan apa yang terjadi. Mengapa kau datang berlari ke mari. Lalu dari mana kau mendapatkan kertas bertulis ini…..”
Sang
punggawa bersimpuh hormat sekali lagi lalu menajwab “Saya bertugas di
gedung kediaman Tumenggung Gali Marto…..” selanjutnya punggawa ini lalu
menuturkan apa yang terjadi. “Kertas itu ditemukan di atas jenazah
Tumenggung.
Sengaja ditinggalkan oleh pembunuh……”
“Kau tahu siapa pembunuhnya?” tanya Patih Haryo Unggul kaget.
Si punggawa gelengkan kepala.
“Peristiwa berdarah luar biasa!” ujar Patih Haryo Unggul. Hatinya terguncang tapi sikapnya tetap tenang.
“Istri Tumenggung Gali Marto minta agar Patih menyampaikan berita dukacita ini ke Istana…..”
“Aku
tidak akan memberitahu Raja sebelum menyelidik dan tahu pasti apa
sebenarnya yang terjadi. Kematian adalah kematian. Tapi jelas ada
sesuatu di balik kematian Tumenggung Gali Marto……” Patih Haryo Unggul
membaca kembali tulisan di atas kertas lusuh itu. “Pangeran Matahari.
Diakah pembunuhnya?
Ancamannya bukan gertakan kosong belaka. Dia telah membuktikan. Tumenggung Gali Marto mati di tangannya.”
Patih Haryo Unggul berpaling pada punggawa dan berkata “Kau boleh pergi.
Aku dan pembantu-pembantuku segera berangkat ke tempat kediaman almarhum Tumenggung Gali Marto.”
Baru
saja punggawa itu meninggalkan halaman gedung Kepatihan, tiba-tiba
masuk seorang perajurit menunggang kuda, langsung menghadap Patih Haryo
Unggul.
“Berita buruk untukmu Patih. Berita buruk untuk kita semua.
Pangeran Jati Mulyo ditemukan tewas terbunuh siang ini dalam taman
istana sebelah timur. Patih diminta datang menghadap Sri Baginda.”
Ketika
perajurit itu hendak minta diri, Patih Haryo Unggul segera berkata
“Tunggu, Jangan pergi dulu. Apakah sudah diketahui siapa pembunuh
Pangeran Jati Mulyo?’
“Tidak seorangpun tahu. Hanya saja ada keanehan…..”
“Keanehan bagaimana?” tanya Patih pula.
“Sepucuk surat ditemukan di atas tubuh Pangeran Jati Mulyo,” menerangkan perajurit itu.
“Hemmmm….. Apakah surat itu, seperti ini isinya…..?”
Ketika
melihat kertas yang diangsurkan Patih Haryo Unggul, si perajurit
terbelalak. “Betul Patih….. ukuran keratas dan bunyi tulisannya sama
dengan ini…..”
“Pergilah. Aku akan segera menghadap Raja. Harap
sampaikan juga pada Raja bahwa siang ini Tumenggung Gali Martopun
ditemui tewas terbunuh……”
Debu jalanan menggebubu ke udara. Bukan
saja menutup pemandangan tapi menyumbat jalan pernafasan. Dua orang
perajurit tampak terguling di tengah jalan sambil merintih kesakitan.
Satu memegangi kepalanya yang benjol, lainnya mengurut-urut tulang
kering kaki kirinya yang remuk.
Di tengah debu dan erang kesakitan
itu, dua orang perwira muda tampak bertempur melawan seorang pemuda
ramping berpakaian kelabu yang memiliki sepasang tangan aneh karena
berwarna coklat seperti dilumuri parem. Jelas dua orang perwira kerajaan
itu memiliki kepandaian tinggi. Serangan yang mereka lancarkan
bertubi-tubi dan sangat berbahaya. Namun si pemuda tampak menghadapi dua
lawan itu dengan tenang. Dia tak banyak membuat gerakan tapi perubahan
tangan dan pergeseran kaki menyebabkan dua lawan kehilangan sasaran dan
sekaligus mendapat serangan balasan tak terduga.
“Orang muda! Jika
kau tidak mau menyerahkan diri dan siap digeledah, jangan salahkan kalau
kami terpaksa pergunakan senjata!” salah seorang perwira muda
berteriak. Sejak tadi dia sudah menduga kalau pemuda itu bukan orang
sembarangan. Dari pada menempur terus-terusan tanpa hasil, maka kalau
senjata yang bicara mungkin lawan dapat ditakluakan.
“Perwira sombong! Bertindak seenaknya! Aku tidak membuat kesalahan apapun! Mengapa harus menyerahkan diri dan harus digeledah?!”
“Kami
menjalankan perintah!” menjawab perwira satunya. “Kerajaan dalam
bahaya! Pangeran Jati Mulyo dan Tumenggung Gali Marto terbunuh….”
“Lalu apa sangkut pautku dengan kematian mereka?!” tukas si pemuda.
“Setiap orang asing harus diperiksa!”
“Aku bukan orang asing! Aku tinggal di selatan Kotaraja!”
“Dusta! Gerak-gerikmu mencurigakan! Jika tidak bersalah kenapa takut diperiksa dan digeledah?!”
“Jangan samakan aku dengan pencuri atau maling!”
“Kalau
begitu mungkin kami harus melukaimu baru menurut!” perwira di sebelah
kiri memberi isyarat. Serentak dia dan temannya lalu mencabut golok
berkeluk di pinggang masing-masing. Dengan senjata ini keduanya siap
menyerbu kembali. Namun sebelum sempat bergerak, pemuda berbaju abu-abu
seudah lebih dahulu melompat di antara keduanya. Tangan kiri kanan
bergerak. Dari mulutnya terdengar suara bentakan “Lepas!”
Dua buah
golok berkeluk mental ke udara. Dua orang perwira kerajaan itu menjerit
kesakitan. Keduanya serentak mundur ketika didapati telapak tangan
masingmasing telah bengkak lebam merah kebiruan!
Serombongan orang berkuda muncul di tempat itu. Lalu terdengar suara menegur.
“Apa yang terjadi di sini?”
Dua orang perwira muda yang tegak kesakitan itu berpaling. Keduanya cepatcepat menjura ketika mengetahui siapa yang datang.
“Patih
Haryo Unggul, kami tengah menjalankan tugas. Pemuda asing ini menolak
diperiksa dan digeledah. Malah nyata-nyata berani melawan dan mencelakai
kami!” menerangkan satu dari dua perwira itu.
Patih Haryo Unggul
menatap sejurus pada pemuda berpakaian kelabu.”Tidak dapat tidak kau
adalah seorang dari dunia persilatan, anak muda. Berarti ada jiwa satria
dalam tubuhmu. Tetapi mengapa menolak untuk diperiksa?’
“Karena saya tidak merasa bersalah apa-apa Patih,” jawab pemuda itu.
“Tapi sikapnya mencurigakan!” tukas perwira muda di samping kiri.
“Siapa namamu anak muda?” tanya patih Haryo Unggul.
Yang ditanya tak menjawab, malah balikkan diri hendak melangkah pergi.
Namun
kepala seekor kuda yang menyorong ke arahnya membuatnya terkejut. Dia
melangkah mundur dan dapatkan diri berhadap-hadapan dengan seorang
bertubuh tinggi kekar, berpakaian bagus gemerlap, duduk di atas seekor
kuda hitam berkilat.
Orang yang barusan datang ini bersama beberapa pengiringnya membuka mulut.
“Jika
kau tidak mau memberitahukan nama, kau bukan saja hanya dicurigai, tapi
layak ditangkap!” lalu orang berpakaian gemerlapan ini menggerakkan
kudanya mendekati Patih Haryo Unggul.
“Paman Patih, salam untukmu. Apakah kau mendengar tentang seorang bernama Pangeran Matahari……?”
“Panglima
Kotaraja, salam berbalas untukmu. Memang aku ada mendengar tentang nama
itu. Tapi hanya sedikit sekali. Aku dalam perjalanan ke Istana menemui
Raja…..”
“Kita bisa sama-sama menghadap. Namun pemuda satu ini perlu
diurus lebih dulu. Bukan mustahil dialah Pangeran Matahari. Hanya
seorang berkepandaian sangat tinggi bisa merobohkan Tumenggung Gali
Marto dan melewati penjagaan ketat untuk membunuh Pangeran Jati
Mulyo…….”
Patih Haryo Unggul usap-usap dagunya. Lalu menganggukkan
kepala seraya berkata. “Baiklah Panglima. Selesaikan urusan kalian
dengan pemuda itu. Tapi ingat. Waktu kita sempit sekali…..”
“Tak usah
kawatir Paman Patih. Aku hanya perlu sekejapan mata saja untuk
meringkus pemuda bermuka pucat ini!” kata penunggang kuda hitam yang
ternyata adalah Raden Kertopati, Panglima Kotaraja. Sang panglima yang
percaya akan kemampuannya, tanpa turun dari kudanya ulurkan tangan kanan
menotok ke arah punggung pemuda berpakaian kelabu. Gerakannya sungguh
cepat. Begitu bahu bergerak, dua ujung jari telah sampai di depan
punggung. Tapi dia kecele kalau menduga dapat melumpuhkan pemuda itu
dalam sekali totok atau sekejapan mata.
Orang yang hendak ditotok
justru melangkah maju setindak hingga totokan hanya mengenai tempat
kosong. Tanpa membalikkan diri pemuda itu ulurkan kedua tangannya dan
dia berhasil menangkap pergelangan tangan Raden Kertopati. Sebelum
sempat berbuat sesuatu sang panglima rasakan tangan dan juga tubuhnya
tersentak keras hingga terangkat dari punggung kuda hitam dan mental ke
udara!
Belasan mulut keluarkan seruan tertahan karena kaget. Patih
Haryo Unggul sendiri beliakkan mata. Bagaimankah tidak! Sebagai Panglima
yang bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, Raden Kertopati
diketahui semua orang memiliki kepandaian silat yang tinggi di samping
tenaga dalam dan kesaktian. Kini tokoh yang disegani itu seperti barang
mainan, dilemparkan begitu saja oleh seorang pemuda ramping tidak
dikenal. Bukan saja si pemuda memiliki nyali besar namun semua orang
yang ada di tengah jalan itu, termasuk Patih Haryo Unggul memastikan
bahwa si pemuda berpakaian kelabu bukan pula orang sembarangan.
Raden
Kertopati sendiri hampir tak percaya ketika dapatkan dirinya terbetot
keras dan melayang di udara. Dengan membuat gerakan junkir balik
Panglima Kotaraja ini berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki
menginjak tanah lebih dahulu dan hampir tanpa suara! Sepasang bola mata
sang panglima tampak mendelik membara. Wajahnya mengelam membesi dan
pelipisnya bergerak-gerak. Inilah satu pertanda bahwa Raden Kertopati
dilanda gelegak amarah ditambah malu besar!
“Aku yakin kau memang
sebenarnya Pangeran Matahari yang menimbulkan kekacauan dengan membunuh
Tumenggung Gali Marto serta Pangeran Jati Mulyo!” suara Raden Kertopati
keras dan bergetar.
“Keyakinanmu tidak beralasan Panglima…..”
“Jika
kau dapat membuktikan bahwa kau memang bukan Pangeran Matahari, kami
akan melepaskanmu. Kau boleh pergi dengan aman…..” yang bicara adalah
Patih Haryo Unggul. “Mulailah dengan menerangkan siapa namamu. Lalu dari
mana kau datang. Dan apa keperluanmu berada di Kotaraja….”
“Saya tidak dapat memenuhi permintaanmu Patih Kerajaan. Sekarang biarkan saya pergi….” Menjawab si pemuda.
“Kalau
kau tidak dapat menerangkan diri dan asal-usul serta keperluanmu berada
di Kotaraja, lalu tak dapat pula membuktikan bahwa kau memang tidak ada
sangkut pautnya dengan kematian Tumenggung Gali Marto maka kau akan
kami tangkap!”
Mendengar ucapan Patih Haryo Unggul itu si pemuda tampak menjadi gusar.
Maka
diapun menjawab. “Jika kalian orang-orang Kerajaan hendak menjatuhkan
tangan sewenang-wenang, ketahuilah kalian tak akan mendapat apa-apa.
Kecuali benjat-benjut atau patah tulang!”
“Pemuda sombong bermulut
besar! Berani menantang berani menghina! Patih Haryo Unggul, biarkan aku
memisahkan tubuh dan kepalanya dengan kedua tanganku!” berkata Raden
Kertopati penuh beringas. Amarah dan rasa malunya tadi masih belum
lenyap, kini si pemuda malah berani menganggap enteng dan menghina.
Patih
Haryo Unggul hendak mengatakan sesuatu namun belum sempat Raden
Kertopati sudah melompat dengan dua tangan terpentang ke arah leher
pemuda berpakaian kelabu.
“Patah lehermu!” teriak Raden Kertopati.
Justru pada saat itulah terdengar seseorang berseru.
“Aku dapat membuktikan pamuda itu bukan Pangeran Matahari! Bukan pembunuh Tumenggung Gali Marto ataupun Pangeran Jati Mulyo!”
Bersamaan
dengan seruan itu, satu hantaman angin menderu keras. Panglima Kotaraja
merasakan tubuhnya seperti disapu topan. Sesaat dia coba bertahan.
Tubuhnya
seperti tergantung di udara namun di lain kejap dia terlempar ke
belakang sampai empat langkah. Dadanya bergetar sakit dan wajahnya yang
garang tampak pucat!
SEMBILAN
Hemm ada lagi satu pemuda sinting bernyali besar yang muncul di tempat ini!”
menggeram Raden Kertopati seraya pelotokan mata ke arah seorang pemuda berpakaian putih dengan rambut gondrong menjela bahu.
Kalau
para perwira muda dan belasan pengiring sang panglima serta pengiring
sang patih kini menjadi semakin tertarik menyaksikan apa-apa yang
terjadi di tempat itu, sebaliknya diam-diam Patih Haryo Unggul mengeluh
dalam hati. Dia ingin lekaslekas menuju ke Istana, kini mengapa
persoalam di tengah jalan ini semakin berpanjang-panjang. Siapa pula si
gondrong bertampang cengengesan ini, pikirnya.
“Aku bukan orang
sinting. Tapi memang punya nyali untuk melawan tindaktanduk orang-orang
yang kurasa tidak pada tempatnya. Pemuda itu adalah sahabatku!
Sejak
malam sampai siang tadi aku selalu bersama-samanya. Kami hanya berpisah
sebentar saja. Nah bagaimana kalian menuduh dia sebagai pembunuh
Tumenggung Gali Marto dan Pangeran Jati Mulyo?”
“Orang muda, kau
pandai bicara! Bukan mustahil apa yang kau katakan itu adalah karanganmu
belaka!” yang bicara adalah patih haryo Unggul. “Terangkan siapa kau
adanya. Juga katakan siapa orang yang kau katakan temanmu ini!”
“Jika yang punya diri tidak mau mengatakan siapa dia, mana mungkin aku berlancang mulut beri keterangan!”
Panglima
Kotaraja maju selangkah. “Patih! Dari pada kita bicara tarik urat
dengan dua orang gila ini, lebih baik keduanya kita ringkus saja!”
“Tunggu dulu!” seru pemuda gondrong berpakaian putih seraya mendekati pemuda berpakaian kelabu.
“Selagi
kalian merepotkan diri dengan kami orang-orang tak bersalah, orang yang
kalin cari bebas gentayangan di Kotaraja! Katakan kalian berhasil
meringkus kami orang-orang buruk tanpa dosa ini. Tapi bagaimana kalau
kesempatan itu digunakan oleh si penyebar maut untuk menimbulkan bencana
baru? Membunuh pejabat atau salah seorang putera raja lainnya?”
Mendengar kata-kata itu Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati jadi saling pandang.
“Ah! Pemuda pandai bicara ini sengaja hendak menyesatkan kita dengan katakatanya!” ujar Raden Kertopati.
Patih
Haryo Unggul tampak mulai kesal. Dia diam saja seolah-olah menyetujui
ketika Raden Kertopati memberi isyarat pada belasan pengiringnya, lalu
mendahului menyerbu dua pemuda.
Pemuda berpakaian putih menepuk bahu
pemuda berpakaian kelabu seraya berkata “Sahabat, lebih baik kita pergi
saja dari sini. Tak ada guna melayani orangorang panjang kekuasaan tapi
pendek akal!”
Baru saja si gondrong bicara begitu tiba-tiba bukk!
Satu jotosan menghantam dadanya. Seorang perajurit terpekik dan
terjengkang. Dialah tadi yang memukul.
Melihat hal ini Raden Kertopati segera berteriak. “Semua ikut menyerbu! Tangkap dua pemuda itu hidup atau mati!”
Sementara
itu Patih Haryo Unggul duduk mengusap dagu penuh masgul di atas
punggung kudanya. Dan sang patih bertambah kusut hati dan pikirannya
ketika melihat Panglima Kotaraja yang terkenal garang dan tinggi
kepandaiannya itu, bahkan dibantu oleh belasan perajurit dan tiga
perwira muda ternyata tidak mampu menghadapi gebrakan-gebrakan dua
pemuda yang berkelahi saling bertempelan punggung. Ketika belasan
senjata mulai dari golok sampai pedang ikut bertabur di udara Patih
haryo Unggul tak dapat menahan diri lagi.
“Aku harus melakukan
sesuatu. Salah atau benar tindakanku ini biarlah nanti diurus.” Lalu
sang patih angkat kedua tangannya ke depan, telapak tangan terkembang.
“Panglima dan yang lain-lain, kalian menyingkirlah sebentar!”
bersamaan
dengan itu Patih Haryo Unggul dorongkan kedua tangannya, perlahan
sekali. Tak ada suara angin berkesiuran, tak ada debu atau pasir jalan
beterbangan.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Raden
Kertopati dan belasan orang yang mengeroyok dua pemuda tampak
tergontai-gontai lalu oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan mereka
terseret ke samping hingga kini dua pemuda itu berada di tengah kalangan
pertempuran, terpisah jauh dari para penyerangnya.
Keluar biasaan
itu tidak hanya sampai di situ. Ketika secara perlahan-lahan pula Patih
Haryo Unggul menarik kedua tangannya ke belakang, pemuda baju putih dan
baju kelabu tersentak kaget ketika dapatkan tubuh masing-masing laksana
tersedot. Sadar kalau sang patih berusaha melumpuhkan mereka dengan
kesaktiannya, dua pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam.
Pemuda
baju kelabu tampak seperti sanggup bertahan dari sedotan yang kuat luar
biasa itu. Namun hanya sesaat. Di lain kejap tubuhnya mulai bergetar.
Kedua lututnya bergoyang. Sementara itu pemuda gondrong berpakaian putih
tampak cucurkan keringat pada wajah dan keningnya ketika pergunakan
kemampuan untuk menghadapi kekuatan lawan. Melihat pemuda baju kelabu
mulai punah pertahanannya diapun membisiki.
“Kita sama-sama maju ke
depan dua langkah. Ikuti arah sedotan. Pada langkah ketiga kita
sama-sama menghantam ke arah kuda orang itu. Kerahkan seluruh tenaga
dalam. Kau mengerti sahabat?”
Pemuda baju kelabu menjawab dengan
anggukan. Begitu si baju putih mulai melangkah, diapun mengikuti. Satu
langkah, dua langkah. Pada langkah ketiga kedua pemuda tu sama-sama
hantamkan tangan kanan ke arah kuda tunggangan Patih Haryo Unggul.
Buumm!
Tanah
di tempat itu laksana digoncang gempa bumi. Langit di sebelah atas
seperti hendak runtuh. Tanah dan pasir berhamburan. Daun-daun pepohonan
berguguran. Seruan kaget ditingkah ringkik kuda menambah tegangnya
suasana.
Ketika tanah dan pasir serta debu yang beterbangan jatuh
mereda dan keadaan terang kembali, di tanah jalanan tampak dua buah
lobang besar. Dan bukan itu saja. Di sebelah kiri pemuda baju kelabu
kelihatan terduduk di tanah sambil pegangi dada. Di sampingnya pemuda
berpakaian serba putih kelihatan berlutut lalu berdiri dengan tubuh agak
sempoyongan. Di bagian lain, seekor kuda tergelimpang dengan tubuh
hancur dan darah bergenang di sekitarnya. Inilah kuda tunggangan patih
Kerajaan.
Dan sang patih sendiri tampak terguling di tengah jalan.
Pakaian kebesarannya kotor, lengan kanannya tampak lecet terluka sedang
wajahnya pucat seperti kain kafan.
“Mereka lenyap!” terdengar seruan Raden Kertopati.
Semua
orang kaget, termasuk Patih Haryo Unggul yang mencoba bangkit sambil
tertatih-tatih. Dua pemuda yang sebelumnya berada di tempat itu ternyata
memang tak ada lagi di situ!
Patih Haryo Unggul tepuk-tepuk
pakaiannya yang kotor oleh debu dan tanah jalanan. Dia geleng-gelengkan
kepala, memandang pada Panglima Kotaraja dan berkata “Aku yakin tidak
satupun di antara dua pemuda itu adalah Pangeran Matahari! Jika keduanya
inginkan jiwaku, mereka dapat membunuhku tadi! Sayang mereka tak mau
memperkenalkan nama. Tapi pukulan yang dilepaskan pemuda berpakaian
kelabu itu rasa-rasa pernah kulihat sebelumnya.” Sang patih usap-usap
dagunya. “Apa mungkin itu punya hubungan dengan Ni Luh Tua Klungkung…..?
Hanya
dia yang punya ilmu pukulan seperti itu. Tapi si nenek itu sampai
sekarang masih belum ditemukan jenazahnya…… Panglima sebaiknya kita
segera berangkat ke istana…..”
Patih Haryo Unggul mengangguk. Sesaat
dia memandang pada dua lobang besar yang ada di tanah, gelengkan kepala
lalu naik ke atas kuda yang dibawakan seorang perajurit. Rombongan itu
bergerak cepar menuju istana. Di sebuah tikungan yang menurun, kelihatan
seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menyongsong arah
rombongan. Ternyata seorang perajurit kepala yang bertugas di istana.
Wajahnya pucat, nafasnya mengengah.
“Celaka Patih, celaka Panglima…..”
“Apa yang celaka?!” tanya Raden Kertopati tak sabaran.
“Seorang
pemuda tak dikenal mengamuk di istana. Dua orang putera Sri Baginda
Raja tewas di tangannya. Dia berusaha menerobos ruangan Kancana Wungu
yang memisahkan kamar tidur Sri Baginda. Penyerbu tunggal ini semula
henda menerobos untuk membunuh Sri Baginda. Puluhan perajurit dikerahkan
untuk melindungi Raja. Mereka dipimpin oleh perwira-perwira tinggi.
Namun si penyerbu tunggal kelihatannya tak mungkin dibendung. Sementara
Raja berhasil diselamatkan lewat pintu rahasia, belasan perajurit
menemui ajal…..”
“Celaka Patih…..” ujar Panglima Kotaraja.
“Ketika
saya meninggalkan istana mendadak muncul dua pemuda. Saya tidak tahu
siapa mereka. Tapi tampaknya keduanya mengambil kedudukan di belakang
pasukan kita, menanti serangan penyerbu tunggal…..”
Sesaat Patih
Haryo Unggul dan Raden Kertopati saling pandang. Ketika keduanya
menggebrak kuda masing-masing maka rombongan itupun segera menghambur
menuju istana.
SEPULUH
Ketika
Patih Haryo Unggul serta Panglima Kotaraja bersama rombongan sampai di
istana ternyata ratusan perajurit telah mengurung istana di sebelah
luar. Di sebelah dalam puluhan lainnya bertempu melawan seorang pemuda
berpakaian serba hitam dengan gambar gunung serta matahari di bagian
dada. Pangeran Matahari! Di lantai berkaparan belasan mayat. Rata-rata
mati dalam keadaan mengerikan di salah satu pojok tampak terbujur mayat
salah seorang putera Sri Baginda yang dilaporkan terbunuh itu. Lalu pada
dinding sebelah dalam yang tadinya bersih kini tampak sederetan tulisan
yang kelihatannya ditulis dengan darah!
Bagi semua manusia tak berbudi
Termasuk para Pangeran dan Sri Baginda di dalam puri
Pangeran Matahari datang membawa mati!
“Patih, lihat gambar matahari di pakaian pemuda berikat kepala merah itu?”
berbisik Raden Kertopati. “Aku yakin inilah bangsatnya yang mengaku bernama Pangeran Matahari!”
“Akupun
sudah menduga begitu,” jawab Patih Haryo Unggul. “Ada satu yang
mengherankanku,” berkata Patih ini lebih lanjut. “Wajah manusia satu ini
kenapa mirip-mirip wajah putera-putera Sri Baginda lainnya?”
“Astaga!” Panglima Kotaraja terkejut. “Kau benar Patih……”
“Aku tengah mencari-cari dua pemuda tak dikenal yang dikatakan juga muncul di tempat ini. Apakah kau sudah melihatnya Panglima?”
Pertanyaan
Patih Haryo Unggul itu membuat Panglima Kotaraja memandang berkeliling
mencari-cari. Sang panglima akhirnya melihat dua pemuda yang sebelumnya
bentrokan dengan mereka di tengah jalan. Pemuda baju kelabu dan pemuda
berpakaian putih itu berada di barisan belakang puluhan perajurit yang
bertahan di pintu masuk kamar tidur Sri Baginda, tegak enak-enakan
seolah-olah asyik menonton pembantaian yang dilakukan oleh pemuda
berpakaian hitam!
“Patih, jangan-jangan manusia yang mengamuk ini adalah Pangeran……”
Belum
selesai ucapan Raden Kertopati itu tiba-tiba dari arah depan ruangan
besar masuk seorang bertubuh tinggi kekar tapi melangkah dengan dipapah
dua orang perwira muda.
“Siapa yang begini kurang ajar membuat
keonaran dan pembunuhan dalam istana Surokerto?!” orang yang barusan
datang membentak. Suaranya menggelegar.
Tapi untuk bicara itu tampaknya dia harus mengeluarkan tenaga besar. Karena sehabis bicaa nafasnya kelihatan sesak.
“Panglima Besar Kerajaan!” berseru Raden Kertopati. “Kau sedang sakit berat. Mengapa berada di tempat ini!”
Orang
tinggi besar itu ternyata adalah Panglima Balatentara Kerajaan Raden
Mas Jayengrono menjawab tanpa alihkan pandangan matanya dari otang
berpakaian hitam yang masih terus mengamuk di tengah ruangan. “Mengetahu
ada pengacau yang membuat keonaran dan melakukan pembunuhan keji di
Kotaraja dan istana Sri Baginda, mana aku bisa enak-enakan berada di
atas tempat tidur!”
“Urusan ini biar kami yang menyelesaikan Panglima
Besar. Kau harap suka kembali ke tempat kediamanmu!” yang berkata
adalah Patih Haryo Unggul.
Tapi Jayengrono mana mau mendengar. Masih
dalam keadaan dipapah oleh dua orang perajurit di kiri kanan, dia
melangkah ke tengah ajang pertempuran lalu membentak garang “Semua
perajurit Kerajaan mundur!”
Serentak semua penyerbu melompat mundur
hingga kini pemuda berikat kepala kain merah berbaju hitam dengan gambar
matahari dan gunung di dadanya tinggal sendirian.
“Kau dajalnya yang bernama Pangeran Matahari?!”
Bentakan
Panglima Balatentara Kerajaan itu tidak membuat pemuda di tengah
ruangan menjadi kecut. Malah dengan congkak dia keluarkan suara tawa
bergelak.
“Aku bukan dajal!” sahutnya. “Tapi Malaikat Maut yang akan
mengambil nyawa manusia-manusia tak berbudi di luar dan di dalam
istana…..! Aku adalah Pangeran Matahari!”
“Hemm….. Ukuran apakah yang
kau jadikan dasar menentukan seseorang tidak berbudi dan pantas dibunuh
seenak perutmu?!” bertanya Jayengrono.
Sementara itu Patih Haryo Unggul dan Kertopati melangkah ke depan dan tegak mendampingi Panglima Balatentara Kerajaan itu.
“Mudah
saja, kalau kau memang ingin tahu! Manusia tak berbudi adalah mereka
yang menyia-nyiakan kehidupan manusia lainnya bahkan darah daging mereka
sendiri. Termasuk manusia-manusia yang hidup penuh rasa iri, berhati
bengkok dan ingin mencelakai orang lain, senang jika orang lain
mengalami bencana.
Termasuk juga manusia-manusia pengkhianat!”
“Kalau
memang begitu ukuranmu, jelas kau sendiri termasuk manusia yang harus
disingkirkan dari muka bumi. Bukankah kau mencelakai orang lain?
Menimbulkan bencana pembunuhan? Dan senang melakukan semua keganasan keji itu?!”
Paras Pangeran Matahari tampak membesi dan merah. Namun dengan segala kecongkakan dia kembali umbar suara tawa bergelak.
“Sebelum mati puaskan dulu tawamu manusia biadab!” berkata Jaengrono.
Tiba-tiba
Pangeran Matahari keluarkan suara membentak dahsyat. Kedua tangannya
kiri kanan diangkat dan jari telunjuk menusuk lurus ke depan. Terdengar
jeritan. Dua perajurit yang memapah Panglima Balatentara Kerajaan
mencelat dan roboh di depan kaki para perajurit yang tegak berjejer
sepanjang dinding ruangan besar itu. Dada masing-masing kelihatan
hangus. Bau sangit daging yang terbakar menebar dalam ruangan itu mebuat
suasana yang kini mendadak sesunyi di pekuburan bertambah sangat
menegangkan!
Karena kini tak ada lagi yang memapah maka kalau tidak
segera ditolong oleh Kertopati dan Patih Haryo Unggul, niscaya Panglima
Balatentara Kerajaan itu jatuh terbanting ke lantai.
“Biarkan aku
duduk di lantai istana! Manusia durjana ini harus mati di tanganku
sekalipun nyawaku ikut melayang!” kata Jayengrono. Gerahamnya
bergemeletakan tanda amarahnya sudah mencapai puncak.
“Panglima,” bisik Patih Haryo Unggul. “Biarkan kami yang menyelesaikan urusan ini…..!”
“Kalian
menjauhlah!” bentak Jayengrono beringas. Meskipun sangat mengawatirkan
keselamatan Panglima Balatentara itu namun tak ada yang bisa dilakukan
sang patih maupun Kertopati. Keduanya dengan terpaksa melangkah menjauh.
“Panglima
Kerajaan!” terdengar Pangeran Matahari membuka mulut. “Jadi kau memilih
mati dengan cara duduk begitu rupa?! Diberi kesempatan mati terhormat
di atas tempat tidur, malah memilih mati seperti gembel!”
Wajah Raden Jayengrono yang pucat sesaat tampak menjadi merah oleh ucapan yang sangat menghina dari Pangeran Matahari.
“Mulutmu
besar! Sikapmu congkak! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu!
Sebelum meregang nyawa apakah kau tak ingin memberitahu siapa kau
sebenarnya?!” begitu Panglima Balatentara Kerajaan menjawab ucapan
orang.
Pangeran Matahari menyeringai penuh sinis. “Namaku kalian
sudah tahu tapi masih ingin bertanya. Sungguh manusia tolol! Tapi aku
tak keberatan memberitahu sekali lagi. Namaku Pangeran Matahari. Aku
datang dari puncak Merapi! Turun dari puncak gunung untuk membasmi
manusia-manusia tolol dan tak berbudi macam semua yang ada di sini….!”
“Cukup!”
sentak Jayengrono yang duduk bersila di lantai sambil tangkapkan kedua
lengan di depan dada. “Sekarang silahkan perlihatkan kehebatanmu. Aku
akan melayanimu dengan duduk di lantai. Manusia bejat sepertimu hanya
cukup dilayani cara begini!”
Pangeran Matahari menyeringai. Sepasang matanya membersitkan maut.
Didahului
bentakan menggeledek dia melompat ke depan. Pada jarak tiga langkah
dari hadapan Jayengrono dia menghantam dengan tangan kanan. Tapi
seolah-olah dilabrak oleh satu kekuatan yang tidak kelihatan, sebelum
hantamannya sampai, tubuh Pangeran Matahari tampak terpental, hampir
tersungkur di lantai kalau dia tidak cepat imbangi diri.
Diam-dian
Pangeran Matahari merasa kaget bukan main. Ternyata nama Raden Mas
Jayengrono bukan satu nama kosong belaka. Penuh rasa penasaran dan hawa
amarah yang mulai menggelegak Pangeran Matahari angkat tangan kanannya
tinggi-tinggi ke atas. Jari membentuk tinju. Lengan ditarik perlahan
untuk kemudian dihantamkan ke depan dengan deras sementara jari-jari
yang membentuk tinju serentak dilepaskan. Inilah ilmu pukulan sakti yang
disebut Merapi Meletus. Ledakan dahsyat disertai guncangan keras dan
hanaman angin panas melanda tubuh Jayengrono yang duduk bersila di
lantai. Jelas tampak tubuh Panglima Balatentara itu bergoyang-goyang,
tapi hanya sesaat. Di sekitarnya belasan orang berpelantingan.
Tubuh-tubuh
bergelimpangan dan erang kesakitan terdengar di mana-mana sementara
salah satu bagian atap ruangan besar itu tampak ambrol hangus!
Setelah
menguasai keadaan dirinya yang terguncang pukulan lawan tadi tibatiba
Jayengrono memukul dengan tangan kiri. Terdengar seperti suara ratusan
seruling ditiup berbarengan. Lalu angin topan prahara menggempur ke arah
Pangeran Matahari.
Semula pemuda ini menganggap remeh serangan
lawan. Tapi ketika tubuhnya mulai dijalari hawa panas dan terseret, maka
diapun berteriak keras dan melompat ke udara.
Dari atas dia hantamkan tangan kanan ke bawah ke arah Jayengrono.
Semua
orang yang ada di situ tersentak tegang dan berusaha menyingkir ketika
tiga sinar mengerikan berkiblat disertai hawa seperti memanggang seluruh
isi ruangan. Inilah pukulan sakti bernama Gerhana Matahari yang
mengeluarkan sinar kuning, hitam dan merah!
Maklum lawan menyerangnya
dengan pukulan dahsyat yang bisa membawa maut maka Jayengrono angkat
kedua tangannya ke depan dan mendorong sambil kerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya. Terjadilah hal yang sangat hebat.
Tubuh
Panglima Balatentara Kerajaan itu seperti dibungkus dan dipanggang oleh
tiga sinar panas. Meskipun beberapa lamanya tiga sinar itu seperti tidak
sanggup menghantam langsung sosok tubuh Jayengrono, namun daya
pertahanan orang ini sedikit demi sedikit manjadi goyah. Tubuhnya mulai
mengeluarkan asap. Bibirnya bergetar lalu dari sela bibir tampak ada
busah ludah, disusul cairan darah merah!
“Panglima!” seru Patih Haryo Unggul dan Raden Kertopati hampir bersamaan.
Kalau
sang patih memburu ke arah Jayengrono maka Raden Kertopati melompat ke
arah Pangeran Matahari dan menghantam batok kepala pemuda itu dengan
jotosan tangan kanan.
Patih Haryo Unggul meraskan tubuhnya
menggeletar panas ketika memegang tubuh Jayengrono yang saat itu mulai
seperti tidak sadarkan diri. Patih ini kerahkan tenaga dalamnya, tapi
tenaga dalam itu teeasa seperti tersedot dan akibatnya tubuhnyapun jadi
limbung.
Akan Raden Kertopati nasibnya lebih buruk lagi. Serangan
yang dilancarkan penuh amarah yakni berupa hantaman tangan kanan ke
batok kepala Pangeran Matahari, membuat dia melupakan pertahanan
sendiri. Dadanya yang terbuka menjadi sasaran empuk lawan. Meskipun
Pangeran Matahari hanya mendorongkan tangan kirinya sedikit saja, namun
karena disertai mantera yang memberikan tenaga dahsyat luar biasa maka
tak ampun lagi Panglima Kotaraja itu terpental jauh, begitu terhampar di
lantai langsung semburkan darah segar. Masih untung lelaki itu memiliki
daya tahan yang cukup tergembleng hingga tidak menemui ajalnya ataupun
pingsan.
Dalam keadaan megap-megap dia berusaha duduk bersila untuk
mengatur jalan darah dan nafas sertak kerahkan tenaga dalam ke bagian
yang terluka di sebelah dalam.
Melihat tiga lawan kuat berada dalam
keadaan tak berdaya maka Pangeran Matahari kembali lepaskan pukulan
Gerahana Matahari. Kini tak ampun lagi tiga tokoh Kerajaan itu pastilah
akan menemui ajalnya!
Namun jika Tuhan belum menghendaki, tak
seorangpun akan menemui kematian! Di saat ang sangat kritis itu dari
sudut ruangan tiba-tiba berkiblat sinar putih menylaikan seperti seduhan
perak. Dari sudut lain menggebubu angin laksana punting beliung.
Bum…..bum!
Suara
dua kali ledakan disusul dengan robohnya sebagian atap ruangan membuat
semua orang menjadi geger. Sosok tubuh Jayengrono tampak bergetar hebat
namun selubungan pukulan Gerhana Matahari yang tadi seperti membungkus
tubuh Panglima Balatentara Kerajaan itu kini tak kelihatan lagi. Patih
haryo Unggul yang tadi berada di bawah pengaruh hawa panas pukulan sakti
Pangeran Matahari terbanting ke lantai, dan dia selamat dari luka dalam
yang parah. Sementara itu Panglima Kotaraja dalam keadaan cidera
merangkak menjauhi kalangan pertempuran. Seorang bawahannya cepat
membantu dan memapahnya ke satu sudut yang aman.
Di tengah kalangan pertempuran Pangeran Matahari nampak duduk bersila.
Dadanya
turun naik cepat sekali. Dia kerahkan tenaga dalam untuk mengatur jalan
nafas dan darah. Meskipun tidak mendapat cidera apa-apa namun adanya
dua pukulan sakti yang tadi menyusup dan menghantam pukulan Gerahana
Matahari yang dilepaskannya telah membuat tubuhnya terguncang keras,
jalan darahnya menjadi kacau, pemandangannya berkunang, kepala pening
dan dadanya sesak. Memandang ke depan dilihatnya dua prang pemuda tak
dikenal tegak di tengah ruangan. Yang satu bersikap waspada memasang
kuda-kuda, berpakaian kelabu dan bertubuh ramping.
Satunya lagi tegak
dengan wajah menyeringai sambil menggaruk kepalanya beberapa kali.
Sebelum Pangeran Matahari sempat membentak, pemuda berambut gondrong
talah membuka mulut, ditujukan pada Patih haryo Unggul.
“Patih
Kerajaan, agar salah sangka dan curiga di antara kita dapat dijernihkan,
aku mohon izinmu untuk menyingkirkan pembunuh biadab bertopeng iblis
yang hebat budi itu!”
“Ah, dua pemuda itu…..” desis Patih Haryo Unggul.
Panglima Balatentara Kerajaan buka matanya lebar-lebar dan berbisik pada Haryo Unggul.
“Kau kenal dua pemuda asing itu Patih? Siapa mereka?”
“Waktu
kita sangat sempit. Nanti saja aku ceritakan. Sebelumnya aku sempat
menjajagi ketinggian ilmu keduanya. Dalam keadaan kita semua cidera
begini rupa, jika kau setuju aku akan mengabulkan permintaan mereka.
Bagaimana pendapatmu?”
“Aku tak kenal mereka. Tapi aku percaya padamu!”
Mandapat
persetujuan itu maka Patih Haryo Unggul mengangkat tangannya, memberi
isyarat tanda persetujuan sementara Raden Kertopati terduduk di sudut
ruangan dengan harap-harap cemas.
Mengetahui Patih Kerajaan dan yang
lain-lain mengabulkan permintaannya maka dua pemuda di tengah ruangan
berpaling menghadapi Pangeran Matahari.
Sesaat tiga pemuda itu saling pandang tanpa berkesip. Pangeran Matahari membentak lebih dahulu.
SEBELAS
Dua ekor monyet kesasar. Katakan siapa kalian sebelum kukirim ke neraka menghadap raja monyet!”
“Walah!,”
menyahuti pemuda gondrong sambil tertawa lebar, membuat semua yang
menyaksikan menjadi heran, apakah si gondrong ini masih belum mengerti
dengan siapa sebenarnya di berhadapan?! “Raja monyet di neraka justru
mengutus kami untuk menjemputmu! Jika kau membunuh kami berdua, siapa
yang menjadi penunjuk jalanmu menuju neraka?!”
Dalam keadaan lain
ucapan pemuda itu mungkin dianggap lucu dan menimbulkan gelak tawa. Tapi
dalam suasana tegang seperti itu, tak satupun yang tertawa atau
tersenyum. Semua semakin tegang. Pangeran Matahari sendiri tampaknya
merasa seperti ditempelak hingga tampangnya yang congkak kelihatan
mengelam dan rahangnya menggembung. Tapi sesuai dengan segala akal,
segala kecerdikan dan segala kelicikan yang ditanamkan gurunya dalam
dirinya, dia sudah mencium bahwa menghadapi dua pemuda tak dikenal ini
sekaligus sangat berbahaya baginya. Ini telah dibuktikan bagaimana dua
pukulan yang tadi mereka lepaskan sanggup meredam bahkan memusnahkan
pukulan Gerahana Mataharinya. Dalam hati dia mulai menduga-duga siapa
adanya dua pemuda ini.
“Rupanya aku salah sangka. Kukira kalian dua
ekor monyet kesasar, ternyata dua ekor babi peliharaan Kerajaan yang
hendak mencoba jadi pahlawan!”
“Sahabatku,” berkata pemuda berpakai putih kepada kawannya si baju kelabu.
“Menurutku
manusia satu ini keberatan nama. Seharusnya dia tidak usah memakai
sebutan Pangeran kalau isi perutnya hanya sampah busuk belaka. Tapi
kalau kudengar kata-katanya sejak tadi, dia pantas menjadi seorang
pemain sendiwara picisan atau penyair butut. Bagaimana pendapatmu?!”
Si
baju kelabu tertawa gelak-gelak, membuat Pangeran Matahari seperti
panas terbakar. “Pangeran keranjang sampah!” begitu si kelabu membentak.
“Kau telah memulai segala kekjian dan kebiadaban! Hari ini kami akan
mengubur semua itu bersama bangkaimu!”
“Tentu saja kalau bangkainya masih utuh, sahabatku!” menimpali si gondrong.
“Kalau nanti ternyata telah seperti daging cincangan pergedel, jangan salahkan aku yag tak bisa menguburnya!”
“Bangsat
bermulut besar!” bentak Pangeran Matahari marah sekali. “Kau gondrong
majulah lebih dulu!” Selagi membentak itu Pangean Matahari sudah
melompat lebih dahulu seperti tidak memberi kesempatan pada lawan.
Tubuhnya tahu-tahu sudah berada dua langkah dari hadapan lawan dan
tangan kanan menjotos laksana kilat ke pelipis si baju putih.
“Pecah kepalamu!” teriak Pangeran Matahari.
“Hancur
tanganmu!” balas si baju putih. Lalu tangan kanannya menabas ke atas,
menyongsong lengan lawan. Bentrokan dua lengan tidak terhidarkan lagi.
Bukk!
Si
gondrong berpakaian putih terhenyak di lantai. Lengan kanannya tampak
bengkak membiru. Dadanya mendenyut sakit dan telinganya berdenging
panas. Baju putihnya yang tidak terkacing tersibak lebar. Dada dan
perutnya tersingkap. Pada dada kelihatan guratan tiga buah angka : 212.
Sedang di pinggangnya tampak tersisip sebilah senjata aneh berbentuk
kapak bermata dua!
Pangeran Matahari yang saat itu tegak tersandar ke
dinding sambil mengatur aliran darahnya yang seperti tak menentu akibat
bentrokan tadi terkejut beliakkan mata ketika melihat tiga buah angka
dan senjata yang tersisip di pinggang pemuda lawannya. “Tak bisa tidak
pemuda ini adalah yang diceritakan guru padaku. Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212! Kalau tidak kusingkirkan keparat ini sekarang-sekarang, pasti
bisa merepotkan!” menyadari hal ini Pangeran Matahari lalu alirkan
seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tapi betapa terkejutnya pemuda
ini ketika dapatkan ada sesuatu yang tak beres dengan tangan kanannya.
Ternyata akibat bentrokan lengan dengan Pandekar 212 Wiro Sableng tadi
pembuluh darahnya ada yang terjepit hingga jalan darah ke lengan dan
tangan menjadi tidak lancar.
“Keparat celaka!” memaki Pangeran
Matahari dalam hati. “Sehebat inikah pemuda gondrong ini? Tak salah
kalau guru menasihatkan agar aku berhati-hati terhadapnya. Tak ada jalan
lain, kelicikan harus kupergunakan!” Maka Pangean Matahari alihkan
aliran tenaga dalamnya ke tangan kiri. Diam-diam dia menyiapkan pukulan
Gerahan Matahari. Kalau tadi dikeroyok dua dia memang tidak mampu,
sekarang saatu lawan satu masakan pemuda itu tak dapat dirobohkan.
“Saudara!”
Pangeran Matahari menegur dengan sikap lembut disertai gerakan menjura
dan maju dua langkah. “Melihat tiga buah angka di dadamu dan Kapak Maut
Naga Geni 212 tersisip di pinggangmu, ternyata kita adalah sahabat
segolongan.
Gurumu Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede masih saudara dekat guruku.
Maafkan kalau hari ini aku telah bertindak yang tidak menyenangkanmu!”
Tentu
saja Pandekar 212 Wiro Sableng kaget bukan main mendengar katakata
Pangeran Matahari itu. Kalau memang guru pemuda itu tidak punya hubungan
dengan dengan gurunya sendiri, bagaimana mungkin dia tahu tentang
dirinya dan Eyang Sinto Gendeng. Sesaat Wiro Sableng hanya tegak
tertegun.
Pangeran Matahari datang lebih dekat. Sekali lagi dia menjura seraya berkata.
“Harap
maafkan keteledoranku. Segala dosa akan kutanggung di hadapan guru. Aku
harus pergi sekarang. Lain kesempatan aku ingin sekali menemuimu…..”
Habis berkata begitu sekali lagi Pangeran Matahari menjura. Kali ini
lebih dalam. Tetapi tiba-tiba dengan sangat cepat tangan kirinya
menghantam. Sinar merah, kuning dan hitam untuk kesekian kalinya
berkiblat dalam ruangan besar itu disertai suara menggelegar. Orang
banyak menyingkir sambil berteiak kaget dan ketakutan.
“Pembokong
pengecut!” teriak pemuda berbaju kelabu. Dari samping dia lepaskan
pukulan sakti beracun yang mengeluarkan asap kuning berbau harum.
Pukulan
ini lebih hebat dan ganas daripada kalau dilancarkan dengan jalan
meniupkan mulut. Namun segala kehebatan yang dimiliki pukulan skati itu
tiada gunanya karena pukulan yang dilepaskan Pangeran Matahari yakni
pukulan Gerhana Matahari telah lewat lebih dahulu, menghantam ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng di seberang sana!
“Edan!” teriak Wiro
Sableng. Dia telah menyaksikan kehebatan dan keganasan pukulan sakti
itu. Mendapat serangan begitu tak terduga Pendekar dari Gunung Gede ini
tak bisa berbuat lain daripada jatuhkan diri hampir sama rata ke lantai,
lalu balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari yang dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dalam dan sekaligus dua tangan!
Seperti diketahui pukulan sakti Gerhana Matahari bersumber pada hawa panas.
Begitu
juga pukulan Sinar Matahari. Akibat panas bertemu panas maka terjadilah
satu dentuman yang menggelegar disertai cipratan lidah-lidah api yang
menyambar ke pelbagai penjuru!
Kobaran api yang disertai asap tebal
menutup pemandangan memenuhi tempat itu. orang banyak berpekikan dan
selamatkan diri masing-masing, termasuk Raden Kertopati, Raden Mas
jayengrono dan Patih haryo Unggul,
Pemuda berpakaian kelabu merasakan
ada orang menarik tangannya dalam kegelapan asap tebal yang menutup
pemandangan. “Sahabat, mari kita pergi dari sini!” Mengenali itu adalah
suara Pendekar 212 Wiro Sableng, maka pemuda itu mengikut saja. Keduanya
berlari ke arah timur. Di sebuah bukit di pinggiran Kotaraja mereka
berhenti. Dari tempat itu dapat disaksikan bagaimana api masih terus
berkobar dan melalap istana.
“Aku tidak mengerti, mengapa kau mengajak aku meninggalkan istana!
Urusan kita dengan Pangeran Matahari masih belum selesai….” Berkata pemuda baju kelabu.
“Memang
belum selesai,” sahut Wiro. “Tapi kalau manusia itu sudah kabur, buat
apa berlama-lama berada di istana yang tengah dimakan api itu?”
“Siapa manusia jahat itu sebenarnya?”
“Sukar
diduga kalau tidak diselidiki. Tapi satu hal sudah pasti. Dunia
persilatan kini dilanda malapetaka baru. Dan Pangeran Matahari jadi
biang racunnya!”
Pemuda ramping berpakaian kelabu termangu sesaat.
Lalu dia bertanya “Bagaimana kau tahu kalau aku adalah juga nenek
keriput yang tempo hari kau temui menangis hendak bunuh diri?”
Wiro Sableng tertawa lebar. “Penyamaranmu kali ini cukup bagus, sahabat.
Hanya
saja kau masih melupakan sesuatu. Aku curiga ketika melihat sepasang
tanganmu yang sengaja dilumuri lumpur sampai mengering. Jelas kau
menyembunyikan sesuatu. Kalau dulu sewaktu jadi nenek perot itu kau
memakai nama Ni Luh Tua Klungkung, siapa nama palsumu sebagai seorang
pemuda bertampang banci saat ini?!”
Pemuda berpakaian kelabu yang
sebenarnya adalah seorang gadis itu dan menyembunyikan wajah aslinya di
balik sehelai topeng tipis hanya bisa tertawa kecut.
“Apakah kau tidak akan kembali mengabdi pada Sri baginda?” bertanya Wiro.
Yang ditanya menggeleng. “Aku telah membuat kelalaian dan kesalahan besar.
Bagaimana mungkin kembali mengabdi. Aku memutuskan untuk mengembara ke timur. Kau sendiri mau ke mana sekarang?”
Wiro
Sableng garuk-garuk kepalanya. “Biarlah aku seiring seperjalanan menuju
timur. Sampai satu hari kau merasa bosan dan menyuruhku minggat!”
Kedua
pemuda itu menuruni bukit, lari ke arah timur. Di atas mereka matahari
bersinar terik. Mau tak mau mengingatkan kedua orang ini kembali pada
Pangeran Matahari. Bencana apa lagi yang hendak ditebarnya kelak?
TAMAT