surya
belum lama muncul di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk
kini digantikan oleh pagi cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna
hitam pekat kini kelihatan lagi aslinya, biru kehijauan dengan pantulan
sinar matahari pagi merah kekuningan. Setiap pagi seperti itu biasanya
teluk ramal dengan nelayan yang baru pulang melaut.
PAGI
itu para nelayan baru saja merapatkan perahu masing-masing di teluk
Cikandang, siap memunggah hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh malam
tadi. Para pembeli termasuk tengkulak-tengkulak yang sudah lama
menunggu segera mendatangi. Di antara orang banyak yang mendatangi para
nelayan itu, terlihat seorang lelaki yang segera menjadi perhatian.
Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya penuh luka dan babak
belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka yang masih menganga. Dia
berjalan sambil pegangi dadanya, di mana terdapat sebuah luka besar yang
masih mengucurkan darah.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan Tugiman!"
seru seorang nelayan tua seraya melompat dari perahunya. Namanya
Argakumbara. Oleh kelompok nelayan teluk Cikandang dia dianggap sebagai
pimpinan karena usianya dan juga pengglamannya.
Seorang anak lelaki
yang ikut melaut dengan Argakumbara melompat pula dari perahu, berlari
ke arah orang yang luka-luka. Para nelayan lainnya pun segera pula
mendatangi. Tugimen roboh ke pasir saat para nelayan sampai di
hadapannya, langsung mengerubunginya.
"Tugiman! Apa yang terjadi?
Siapa yang menganiayamu?!" tanya Argakumbara sambil berlutut di samping
orang yang terkapar di pasir itu.
"Lari . . . lari. Tinggalkan tempat ini cepat …"
Tugiman bicara dengan susah payah.
"Lari? Kenapa musti lari …?" tanya Argakumbara heran, begitu juga nelayan-nelayan lainnya.
"Jangan
bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa kalian.
Serombongan manusia-manusia durjana telah mengganas di kampung,
Membunuh, merampok dan menculik. Kepala kampung mereka gantung. Mereka
akan segera datang kemari…"
Kagetlah semua nelayan yang ada di situ.
Si kecil Handaka walau juga menunjukkan rasa tarkejut namun tidak ada
bayangan rasa takut.
"Siapa manusia-manusia durjana itu Tugiman?"
tanya Argakumbara. "Kampung kita dan daerah sekitar sini sejak dulu
selalu aman tenteram."
Tugiman tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kedua matanya yang terbuka lebar memandang tak berkesip lagi ke langit.
"Mati! Dia mati!" terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua orang tersentak.
"Handaka,"
kata Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke kampung Cikuray.
Langsung ke rumah bibimu. Tunggu di sana sampai ayah datang. Kami akan
mengurus mayat Tugiman."
Akan tetapi belum sempat bocah sepuluh tahun
itu melakukan perintah ayahnya, enam orang penunggang kuda muncul
memacu kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi pantai ke arah
nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara mereka
memboyong seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-masing, entah
pingsan entah keletihan kehabisan tenaga karena meronta-ronta sepanjang
jalan. Atau mungkin juga ditotok!
"Ayah! Pasti ini manusia-manusia durjana itu …" bisik Handaka seraya pegangi lengan Argakumbara.
Penunggang
kuda terdepan hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia memandangi tubuh
Tugiman. Keenam orang ini rata-rata berbadan tegap besar, bermuka
garang dihias kumis melintang dan cambang bawuk, memiliki mata merah,
berpakaian dan berikat kepala serba hitam.
"Ternyata anjing satu ini lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah putus. Sialan! Susah-susah kita mengejarnya!"
"Hai!" kawan di sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada kalian sebelum dia mampus?!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani menjawab.
"Setan!
Apakah aku berhadapan dengan patung-patung!" bentak orang tadi. Lalu
kaki kaki kanannya enak saja menendang kepala seorang nelayan yang ada
di dekatnya. Tak ampun nelayan ini jatuh tergelimpang dengan bibir pecah
dan gigi rontok!
Serta merta para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut mundur kecuali Argakumbara dan anaknya.
Penunggang
kuda yang barusan menendang memboyong seorang gadis di pangkuannya
memandang berkeliling, tertawa sebentar lalu berkata, "Nelayan-nelayan
busuk! Kalian dengar baik-baik apa yang aku katakana! Aku Singkil Alit,
bergelar Harimau Hitam, pemimpin dalam rombongan ini! Kami baru saja
membakar kampung kalian, membunuh orang-orang yang tak mau mendengar.
Menculik dua gadis ini karena tidak mau ikut secara suka rela padahal
mau diberi kenikmatan dan hidup mewah! Kami bahkan telah menggantung
kepala kampung kalian yang berani menatang! Jika kalian di sini ingin
mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-apa yang kami
katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan manusia itu sebelum
mampus?!"
Karena tak ada seorangpun di antara para nelayan, yang
berani menjawab maka Argakumbara akhirnya membuka mulut, "Orang itu
keburu mati sebelum sempat mengatakan apa-apa. . ."
"Bagus! Ada juga
yang mau bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi ada yang mau
menjawab. Tak perlu kami menurunkan tangan keras, memukul atau
menendang. Dasar nelayannelayan picik! Tolol semua!"
Setelah memuntir kumisnya yang melintang Singkil Alit lanjutkan ucapannya.
"Dengar
baik-baik. Mulai hari ini semua hasil kalian melaut, sawah atau ladang,
termasuk ternak yang kalian punyai di kampung di balik bukit itu berada
di bawah kekuasaan kami berenam. Semua hasil panen harus diserahkan
pada kami. Semua ikan yang kalian dapat harus diberikan kepada kami
hasil penjualannya. Nanti kami yang akan mengatur seperberapa bagian
yang boleh kalian ambill Nah, aku mau tahu ada yang berani
membangkang?!"
Sunyi sesaat. Kemudian terdengar suara Argakumbara.
"Boleh aku bicara?"
Singkil Alit memandang sejurus pada nelayan tua itu lalu berkata, "Monyet tua, apa yang hendak kau katakan ucapkan cepat!"
Walaupun orang tua ini tetap tenang namun wajahnya jelas berubah dipanggil dengan makian monyet tua itu.
"Selama
ini kalau kami membayar pajak, itu kami berikan pada Adipati melalui
kepala kampung. Pajak yang kami bayar tidak ditentukan, sesuai
kemampuan. Kami di sini adalah nelayan-nelayan miskin. Di antara kami
memang ada yang punya sawah atau ladang, tapi dengan petak-petak yang
kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya ayam, itik atau kambing.
Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang hanya cukup untuk
modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami…!"
Singgil Alit alias Harimau Hitam mendelikkan mata, usap-usap janggutnya yang meranggas lalu tertawa gelak-gelak.
"Monyet tua … !" katanya.
"Ayahku bukan monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian
semua dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak perlu
tahu lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati. Yang
harus kalian patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan kawah-kawan akan
membangun sebuah kota di daerah ini. Kalian harus tinggal bersama kami,
bekerja untuk kami! Siapa berani membangkang atau mencoba lari berarti
mati!"
Mendengar kata-kata Singkil Alit, Argakumbara kembali membuka mulut.
"Singkil
Alit; siapapun adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini tidak mengerti
mengapa kau dan kawan-kawanmu tega melakukan pererasan. Merampas bahkan
membunuh kami orangorang tak berdosa. Menculik gadis-gadis kampung
kami. Apakah kalian tidak takut pada petugaspetugas Bupati?"
"Justru petugas-petugas itu yang harus takut pada kami!" sahut Singkil Alit lalu tertawa gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!" kata Argakumbara tandas.
"Begitu?
Majulah lebih dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu
nelayan tua. Orang lain tak boleh mendengarnya …." kata Singkil Alit.
Tak
mengerti kalau orang bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini
melangkah maju. Baru saja dia bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil
Alit tiba-tiba menderu ke dadanya. Argakumbara keluarkan jeritan
menyayat hati. Tubuhnya terlempar dan tergelimpang di pinggir pantai.
Darah tampak mengucur dari sela bibirnya. Dia mengerang beberapa ketika
lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah….!" jerit Mandaka dan
jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya. Anak ini menangis keras. Tiba-tiba
dia hentikan tangisnya. Matanya membentur sebuah pisau besar yang
terselip di pinggang ayahnya. Pisau ini biasa dipergunakan untuk
memotong ikan. Tak berpikir panjang lagi Handaka ambil pisau itu lalu
menerjang ke arah Singkil Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak! Nyalimu besar juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit, menghalangi gerakan Handaka sambil hendak menggebuk.
"Biar saja Rangga!" kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau
besar di tangan Handaka mencucuk, ke perut kepala penjahat itu. Yang
diserang tertawa mengekeh. Sekali tangannya bergerak dia sudah menjambak
rambut anak itu sementara tangannya yang satu lagi memuntir lengan
kanan Handaka.
Anak itu berteriak kesakitan dan terpaksa lemparkan
pisau besarnya. Dengan, tangan kirinya dia berusaha mencakar muka
Singkil Alit. Namun satu, jotosan lebih dulu menghantam dadanya. Handaka
keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan. Seperti melemparkan
sampah, Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka ke pasir.
***
MENDENGAR penuturan Handaka, lama Pengemis Batok Tongkat termenung.
"Aneh
. . ." katanya kemudian dalam hati. "Bagaimana dunia yang katanya
didiami manusiamanusia beradab ini masih saja ada orang-orang durjana
seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya
itu. Singkil Alit, tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Iblis dari mana yang satu ini … ?"
"Handaka, apakah ibumu masih ada?" si kakek tiba-tiba bertanya.
Anak itu menggeleng.
"Kata ayah, ibu meninggal tak lama setelah melahirkanku. Aku seperti merasa berdosa … "
"Eh, merasa berdosa bagaimana?" tanya kakek Pengemis itu.
"Kalau beliau tidak melahirkanku, beliau tak akan meninggal."
Orang tua itu termenung sejurus, lalu tertawa mengekeh.
"Cucu,
jalan pikiranmu terlalu jauh. Nyawa manusia bukan diatur oleh manusia
lainnya. Tapi Tuhan yang menentukan hidup mati seseorang!"
"Kalau
begitu orang-orang seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya itu bisa
dianggap tidak berdosa walau dia membunuh. Bukankah itu sebenarnya
tangan atau kehendak Tuhan yang berlaku..?"
"Ah, sepintas lalu jalan
pikiranmu bisa dianggap benar. Tapi kalau direnungkan lagi kau salah
besar cucuku. Tuhan memang yang menentukan. Tapi hak apa manusia
merampas nyawa orang lain? Hak apa manusia boleh mencuri dan merampok,
boleh menculik? Segala segi kehidupan ini sudah diatur dalam kitab Suci
dan hadis nabi. Dan manusia harus mempergunakan akal sehat bukan ikut
hasutan setan atau iblis!"
Di usia seperti itu agak sulit bagi
Handaka mengerti kata-kata si kakek. Maka diapun berkata: "Mengapa kau
tanyakan tentang ibuku, kek!"
"Kurasa lebih baik bagimu untuk tidak
kembali ke kampung. Manusia-manusia iblis itu pasti tidak berhenti pada
kematian ayahmu saja. Maukah kau tinggal bersamaku di sini?"
"Apa
enaknya tinggal dalam hutan belantara ini? Tak ada teman ada kawan….
Jauh dari laut yang kucintai…. " ujar Handaka. Wajah si kakek jelas
menunjukkan rasa kecewa
"Tapi mengingat kau sudah menolong jiwaku, kek. Maka aku tentu seja mau tinggal bersamamu di sini."
"Ah! Kau pandai mengganggu orang tua ini!" kata Pengemis Batok Tongkat dan tertawa gelak-gelak.
"Apakah aku tak akan menyusahkanmu kek?" bertanya Handaka.
"Kau takut aku akan menyuruhmu jadi pengemis, pergi meminta-minta?’
"Ih, tak ada pikiranku begitu. Mengemis itu apa salahnya. Pekerjaan halal yang jauh lebih baik dari mencuri!" jawab Handaka.
"Bagus… bagus!" kata Pengemis Batok Tongkat dan usap-usap rambut Handaka.
"Cucu, jika kau mau tinggal di sini, aku akan ajarkan ilmu silat padamu!"
Handaka bangkit danduduk di ujung balai-balai. Menatap si kakek.
"Kau sungguhan mau mengajarkari ilmu silat padaku, kek?"
Orang tua itu mengangguk.
"Ah,
jika aku jadi jago silat, aku akan cari Singkil Alit dan komplotan
iblisnya. Aku akan basmi mereka!" kata Handaka bersemangat.
"Cucu baik… cucuku baik. Sekarang kau tidur. Kau belum sehat betul."
Handaka
menurut. Dia baringkan tubuhnya kembali di atas balai-balai dan
pejamkan mata. Namun dua mata anak ini terpentang lebar kambali ketika
di luar sana terdengar bentakan keras.
"Pengemis tua! Lekas kau serahkan surat yang titipkan pangeran Tanuma pada kami!"
"Kek,"
ujar Handaka kaget, berpaling pada kakek pengemis. "Siapa orang di luar
sana yang malam-malam begini berteriak tak tahu sopan?"
Si kakek
letakkan telunjuknya di atas bibir, memberi isyarat agar cucunya itu
tidak bicara dan terus berbaring. Tubuh Handaka ditutupnya dengan kain
sampai sebatas kepala. Handaka turunkan ujung kain agar dapat mengintai.
Dilihatnya si kakek mendongak ke atap pondok. Rupanya orang yang
berteriak ada di atas atap bangunan jati itu.
"Tamu dari mana
malam-malam begini ke sasar ke pondokku?!" Terdengar Pengemis Batok
Tongkat bertanya. Suaranya tanang-tenang saja.

DARI atas atap terdengar bentakan.
"Kurang ajar! Diperintah malah berani bertanya."
"Aku bertanya agar kau tidak salah datang tempat yang dituju!" jawab si pengemis.
"Jangan
coba berdalih Di hutan ini hanya satu pondok. Milikmu. Kami tidak
datang ke tempat yang salah. Lekas kau berikan barang yang dititip
pangeran Taruma itu!" kata orang di atas atap.
"Bagaimana kalau aku tidak mau memberikannya?!" tanya Pengemis Batok Tongkat.
"Kami akan membakar pondokmu ini dan membunuh kau. Juga bocah itu!"
"Kek …!" Handaka julurkan kepalanya. "Orang itu hendak membunuh kita …"
"Sstt…. Cucu, kau tidur saja!" sahut si kakek itu menutupi muka Handaka dengan selimut tapi anak itu menurunkannya kembali.
"Hai Pengemis! Kau tunggu apa lagi …?"
Kakek itu memang sudah melihat ada bayangan nyala api di atas atap. Orang-orang di atas sana mungkin membawa obor.
Tiba-tiba si kakek tertawa. Orang di atas atap membentak.
"Tua bangka edan! Kami minta kau menyerahkan surat itu. Bukan tertawa macam orang gila!"
"Aku
tertawa karena kalian kuanggap manusia-manusia bodohl Ada sangkut paut
apa aku dengan pangeran Taruma? Mana mungkin dia menyerahkan soesuatu
kepadaku. Sepucuk surat katamu? Surat Cinta? Untuk diserahkan pada
siapa? Ha … ha … ha… !"
"Kau berani berdusta dan coba mengelabui
kami!" kata orang di atas atap. "Orang-orang kami tahu betul, satu bulan
lalu kau bertemu dengan pangeran Taruma di istananya di tikungan kali
Citarum. Kau berpura-pura datang sebagai seorang pengemis. Pangeran
memasukkan sesuatu ke dalam batok kelapamu. Sepintas seperti lembaran
uang kertas. Tapi itu adalah sepucuk surat.
Surat dengan gambar peta tempat penyimpanan emas milik sang pangeran. Kau masih mau mungkir?!"
Sebelum menjawab kembali Pengemis Batok Tongkat tertawa gelak-gelak.
"Orang-orangmu
itu matanya tentu tajam sekali! Tapi mungkin juga mereka handak berbuat
lelucon terhadap kalian! Hampir selama tiga purnama aku tak pernah
meninggalkan pondok ini. Kecuali kemarin pagi! Bagaimana mungkin aku
bisa gentayangan sejauh itu sampai di kali Citarum? Atau mungkin setan
atau rohku yang menjelma dan datang di istana pangeran Taruma?!"
Sesaat
tak ada jawaban dari atas atap. Pengemis Batok Tongkat tahu bahwa ada
dua orang di atas sana dan keduanya tengah bicara berbisik-bisik seperti
berunding singkat.
"Sudah selesaikah kalian berunding? Jika sudah lekas pergi dari tempat ini!" kata pengemis.
"Pengemis
licik! Jangan sangka kau bisa menipu kami dengan keterangan dustamu.
Sekali lagi aku beri kesempatan! Jika peta itu tidak kau serahkan,
rumahmu akan kami bakar dan kau beserta bocah itu akan kami bunuh!"
"Oo ladala…! Malangnya nasibku kalau begitu!" ujar si kakek tetap tenang. "Maukah kalian memberi tahu siapa kalian berdua?!"
"Aku Soka Panaran, bergelar Golok Emas!" menyahut orang di atas atap yang sejak tadi menjadi jura bicara.
"Aku Sindang Tambra, berjuluk Raja Lanun Pantai Selatan!"
"Ha… he … he . . .!" tanya si pengemis tua begitu mendengar jawaban dua orang di atas atap.
"Soka
Panasaran, kalau kau sudah mendapat gelar Golok Emas, pasti kau punya
sebilah golok terbuat dari emas. Mengapa masih temahok mau dapatkan emas
milik orang lain. Dan kau Sindang Tambra, aku tidak heran kalau bajak
laut sepertimu haus harta! Tapi kalian salah alamat!
Peta atau surat apapun tak ada padaku!"
Golok
Emas dan Raja Lanun Pantai Selatan merupakan nama-nama yang cukup
menggetarkan dunia persilatan pada masa itu. Keduanya adalah
manusia-manusia berkepandaian tinggi yang masuk dalam kelompok golongan
hitam. Mandengar ucapan si kakek jelas meraka dianggap enteng. Ini
membuat keduanya menjadi marah. Raja Lanun sudah siap untuk menjebol
atap tapi Golok Emas memberi isyarat lalu berteriak.
"Pengemis Batok Tongkat! Kami memberi kesempatan terakhir. Kau mau serahkan peta itu atau tidak?"
Pengamis tua itu dilihat Handaka mengambil batok kelapa dan tongkat kayunya dari atap meja lalu menjawab, "Kalian mengancamku?"
"Kami akan membuktikan ancaman itu!" jawab Soka Panaran.
"Kalian akan menyesal sampai ke liang kubur!" sahut si kakek.
"Keparat!" maki Raja Lanun Sindang Tambra yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Kaki kanannya dihantamkan ke atap bangunan.
Brak!
Atap itu jebol.
Sesaat
kemudian bernama Soka Panaran dan melayang turun memasuki pondok kayu
jati yang sempit. Masing-masing memegang obor di tangan kiri!
"Ah,
jadi inilah tampang-tampang manusia yang inginkan harta orang itu?
Apakah tidak lebih baik kalian pergi saja dari sini. Salah-salah nanti
aku mengemis pada kalian, minta uang minta beras!" kata pengemis Batok
Tongkat.
Dari bawah selimut Handaka menjadi heran lihat sikap si
kakek. Jelas orang datang dengan maksud jahat tapi orang tua itu masih
saja bicara seenaknya seperti mau melucu!
"Soka!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. "Kau bakar pondok, aku akan patahkan batang leher tua bangka ini!"
"Kecuali
untuk terakhir kalinya dia mau serahkan peta itu!" kata Soka Panaran
alias Golok Emas yang masih berusaha mencapai tujuan tanpa kekerasan.
"Kambing-kambing
busuk!" maka Pengemis Batok Tongkat. "Kalian telah merusak atap
pondokku kini mengancam mau membakar dan minta benda yang aku tidak
miliki!"
"Kau betul-betul tua bangka keparat!" Sindan Tambra marah
sekali. Dia melompat ke muka sambil sorongkan api obor untuk menyulut
muka si kakek.
"Dua ekor kambing. Kalian mencari penyakit!" kertak
orang tua itu dan sambut serangan Sinda Tambra dengan melompat ke
samping. Api obor lewat di sebelah kanannya. Serentak dengan itu si
kakek tusukkan tongkat kayunya ke arah iga lawan. Tapi serangannya luput
karena tiba-tiba sekali bajak laut ini sudah berkelebat ke kiri lalu
kembali sorongkan obor ke muka si kakek sedang dari bawah kakinya datang
menyapu mencari sasaran pada tulang kering kaki.
"Hup!" Pengemis
Patok Tongkat melompat. Tangan kanannya yang memegang batok kelapa
dipukulkan ke bawah ke arah api obor. Begitu obor keno tersungkup
tempurung kelapa itu, serta merta apinyapun padam. Raja Lanun Sindang
Tambra tersentak kaget. Penuh geram dia pukulkan tangan kiri namun
tarpaksa tarik pulang serangannya karena ujung tongkat di tangan kiri si
kakek lebih dulu menusuk ke arah lehernya.
"Kakeki Kambing satu itu
hendak membakar pondoki" teriak Handaka ketika dilihatnya Soka Panaran
menyuiut ujung tikar jerami yang menjadi alas balai-balai.
Mau tak
mau Pengemis Batok Tongkat terpaksa tinggalkan Raja Lanun,dan melompat
ke arah Soka Panaran. Mulut si kakek tampak menggembung. Tiba-tiba dia
menghembus ke arah ujung obor. Serangkum angin keras bertiup. Blep! Api
obor padam!
"Keparat!" maki Soka Panaran lalu kemplangkan bambu obor ke kepala si kakek.
"Kek! Awas di belakangmu." teriak Handaka.
Orang
tua itu tampak seperti kerepotan dan bingung. Dari depan dia dikemplang
dengan bambu sedang dari belakang Raja Lanun mamukul ke arah
punggungnya. Karena dua serangan itu dilakukan oleh orang berkepandaian
tinggi, kalau saja mengenai si kakek pasti akan membuat die cidera
berat.
"Ah, bagaimana kakak tua ini bisa menyelamatkan diri dikeroyok begitu rupa." keluh Handaka.
Dia
memandang berkeliling mencari-cari. Dilihatnya sebuah cangkir kaleng
tergantung di atas kepala balai-balai. Cepat diambilnya benda itu dan
dilemparkannya ke arah Raja Lanun yang membokong dari belakang.
Gerakan
kakek pengemia yang seperti repot bingung itu sebenarnya hanyalah hal
yang dibuat-buat saja. Untuk menghadapi dua lawan yang mengeroyok itu
sebenarnya dia tidak perlu bantuan siapapun. Memang baik Soka Panaran
alias Golok Emas maupun Raja Lanun Pantai Selatan bukan manusia-manusia
sembarangan. Keduanya memiliki kepandaian tinggi, tapi si kakek sendiri
adalah tokoh tua yang jauh lebih lihay. Sebenarnya jika kedua orang tadi
menyadari kepandaian si kakek meniup api obor dari jauh hingga mati
begitu rupa, keduanya harus menyadari bahwa lawan memiliki tenaga dalam
yang tinggi dan bukan tandingan mereka. Namun rasa amarah ditambah
keinginan untuk mendapatkan benda yang mereka cari membuat keduanya
melupakan kenyataan itu.
Begitulah, si kakek sambut kemplangan bambu
obor dengan lebih dulu selinapkan tusukan ke ketiak Soka Panaran.
Melihat serangan lawan datang lebih cepat dari kemplangan bambunya, Soka
Panaran tidak teruskan kemplangannya melainkan bababatkan bambu itu ke
arah bahu si kakek.
"Jurus silatmu sudah kuno Soka! Tidak laku untuk
dunia silat masa kini!" ejek si kakek. Lalu tongkat di tangan kirinya
berputar ke samping. Sesaat kemudian terdengar pekik Soka Panaran.
Telinga kanannya mongucurkan darah. Ujung tongkat si kakek yang kecil
runcing telah membuat daun telinga sebelah kanan orang ini luka besar
dan berlubang!
Walaupun kawannya mendapat cidera tapi Sindang Tambra
yang menyerang dari belakang merasa punya peluang besar untuk
mendaratkan pukulan tangan kanannya. Tenaga kasar bajak laut ini sanggup
meremukkan kepala kerbau, apalagi saat itu disertai dengan pengerahan
tenaga dalam. Hingga kalau sampai mengenai tubuh kakek pengemis yang
sudah tua kurus itu, pastilah si kakek akan celaka.
Namun satu
kehebatan diperlihatkan lagi oleh orang tua itu. Tanpa menoleh ke
belakang dia telikungkan tangan kanannya ke punggung dengan batok kelapa
membelintang demikian rupa. Ketika tinju kanan Raja Lanun sampai, batok
kelapa itu menyambutnya dengan tepat. Raja Lanun Sindang Tambra
mengeluh kesakitan sambil pegangi jari tangan kanannya. Jarijarinya
ternyata, tampak merah, dagingnya langsung membengkak. Di saat kesakitan
seperti itu cangkir kaleng yang dilemparkan Handaka melayang deras, dan
mendarat tepat di keningnya hingga kepala bajak ini terluka dan
kucurkan darah.
"Bagus Handaka! Lemparanmu tepat sekali!" ujar
Pengemis Batok Tongkat. "Nah, nah! Dua ekor kambing. Apakah kalian masih
belum sadar sudah diberi pelajaran oleh tua bangka ini dan cucuku itu?
Ayo kenapa tidak lekas pergi?!"
"Kami baru pergi kalau kalian berdua
sudah kugorok dengan ini!" sahut Soka Panaran dengan mata berapi-api.
Dari pinggangnya dia cabut golok besar berwarna kuning. Senjata inilah
yang membuat dia mendapat julukan Golok Emas. Walaupun tidak terbuat
dari emas sungguhan, namun warnanya memang kuning seperti emas. Sudah
banyak korban menemui kematiannya oleh senjata ini.
"Ah, golok emas!
Hai, bolehkah kulihat apakah golokmu itu terbuat dari emas sungguhan?
Atau hanya emas palsu?" ejek Pengemis Batok Tongkat sambil merobah
kedudukan kudakudanya hingga sekaligus dia dapat mengawasi dua lawan
yang dihadapinya.
Melihat kawannya keluarkan senjata andalannya,
Sindang Tambra jadi tidak sungkansungkan untuk keluarkan pula sanjatanya
yakni sebuah clurit besar yang badan dan hulunya berwarna hitam gelap.
Cemaslah
Handaka melihat si kakek bukan seja hanya dikeroyok tapi juga dikurung
lawan dengan senjata terhunus. Apakah si kakek tidak akan keluarkan
senjata, pikir anak ini. Nyatanya memang demikian. Pengemis tua itu
hanya tegak tenang-tenang saja, malah sambil menyeringai. Dalam hidupnya
sebagai tokoh silat aneh dia tak pernah memiliki senjata. Apapun yang
terjadi dia selalu menghadapi lawan dengan tongkat kayu kecil dan batok
kelapa itu!
"Kalian tunggu apa lagi? Majulah biar lekas aku memberi pelajaran pada kalian!" kata si kakek.
Ini
tambah membakar kemarahan Soka Panaran dan Raja Lanun. Masing-masing
keluarkan suara menggembor lalu menyerbu. Soka dari samping kiri sedang
Raja Lanun melabrak dari sebelah kanan. Golok Soka menderu keluarkan
sinar kuning terang sedang clurit di tangan Sindang Tambra berdesing
dengan memancarkan sinar hitam pekat!
"Ah, celakahlah kakekku!
Bagaimana aku harus membantu!" keluh Handaka yang tak mau berpangku
tangan tapi tidak tahu harus menolong bagaimana. Tapi dasar anak cerdik
dapat saja satu akal olehnya. Maka perlahan-lahan dia bangkit dari
balai-balai itu sambil menggulung selimut.
Sementara itu pengemi tua
yang mendapat dua serangan sekaligus berkelebat gesit. Tongkat di tangan
kirinya memukul ke perut Soka Panaran, batok kelapa di tangan kanan
menyelinap mencari sasaran disambungan siku kanan Sindang Tambra.
Melihat tangan kiri si kakek menyorong ke depan, Soka Panaran mengambil
keputusan untuk membabat tangan itu, lebih dulu dengan golok kuningnya.
Namun orang ini salah perhitungan. Dia tidak menyadari kalau gerakan
lawan jauh lebih cepat. Hingga sebelm golak besarnya berhasil membacok
lengan Pengemis Batok Tongkat, tongkat kayu si kakek yang menderu
menggeletar, menghantam bagian lengan kanannya di bawah ketiak.
Krak!
Terdengar
suara patahan tulang. Disusul pekik si Golok Emas Soka Panaran. Dia
melompat mundur, menggerang kesakitan sementara goloknya yang jatuh
ditempel demikian rupa oleh si kakek dengan tongkat kayunya. Golok ini
melorot turun mengikuti batangan tongkat lalu dengan mudah ditangkap
oleh si kakek.
Pada saat itu pula Raja Lanun Sindang Tambra yang
tengah menyerbu si kakek dengan clurit hitam angkernya menjadi terkejut
ketika tiba-tiba selembar kain berkelebat menebar dan menutupi kepala
serta tubuhnya. Kain ini bukan lain adalah selimut yang dilemparkan
Handaka. Dalam keadaan ditelikung seperti itu tentu saja Raja Lanun
Pantai Selatan ini tidak dapat lagi melihat di mana lawannya berada.
Serangan cluritnya menjadi mentah. Dan dia memaki panjang pendek. Suara
makiannya berubah menjadi jeritan kesakitan ketika pengemis tua pukulkan
batok kelapanya berulang kali, lalu mengetok dengan tongkat kayu.
Terdengar suara krak berulang kali tanda ada tiliang-tuiang bajak itu
yang patah.
Ketika Raja Lanun Pantai Selatan berhasil keluar dari
kungkungan selimut, tulang belikatnya sebelah kiri patah hingga tubuhnya
miring. Lalu beberapa tulang iganya juga remuk. Dan yang paling parah
adalah tulang kering kaki kanannya, juga patah hingga terpincang-pincang
dia bersurut ke pintu pondok.
Kakek pengemis tegak sambil mengekeh. "Bagaimana?!" ujarnya. "Sudah kapok atau masih minta digebuk lagi!"
"Tua bangka keparat! Terima ini!"
Golok
Emas berteriak marah. Dia pukulkan tangan kirinya. Serangkum angin
menyambar ke arah pengemis tua. Dengan tertawa kakek ini lentingkan
tongkat kayunya dari bawah ke atas.
Angin serangan yang
dilepaskanSoka Panaran musnah. Sebaliknya ujung tongkat yang runcing
kembali melenting dan kali ini memukul ke arah mata kanan Soka Panaran.
Orang ini meraung ketika matanya pecah dan darah mengucur.
"Soka!
Sebaiknya kita pergi saja! Lain kali kita buat perhitungan dengan tua
bangka keparat ini!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. Lalu tanpa menunggu
dia melompat ke pintu pondok.
Soka Panaran sambil pegangi matanya yang kini jadi buta sebelah, terhuyung-huyung lari pula ke arah pintu.
"Hai! Golok emasmu apa tidak dibawa?!" seru Pengemis Batok Tongkat.
Tapi
Soka Panaran terus saja lari dan menghilang dalam kegelapan. Mana dia
punya nyali lagi untuk mengambil goloknya itu. Si kakek pungut senjata
itu lalu enak saja kedua tangannya mematahkan golok. Ketika diteliti
bagian dalamnya, ternyata golok itu hanya bagian luarnya saja yang
disepuh emas. Sebelah dalam hanya besi hitam campur baja.
"Emas
butut!" kata si kakek lalu tertawa dan berpaling pada Handaka. "Cucuku!
Kau bukan saja berani, tapi juga cerdik. Tidak percuma aku mengambilmu
jadi murid!"
***

DI PANTAI
selatan yang dibatasi oleh teluk Cikandang dan kaki gunung Halimun di
sebelah utara, kali Cirampang di sebelah barat dan bukit Gondal di
sebelah timur kelihatan satu pemandangan baru. Selama enam bulan ratusan
manusia menancapkan batangan-batangan kayu jati setinggi lebih dari
tiga tombak dengan ujung-ujung dipotong runcing. Deretan kayu jati ini
berubah menjadi satu pager kukuh yang membatasi deerah sangat luas,
terdiri dari beberapa desa danbelasan kampurrg. Ada dua pintu gerbang
yang selalu dijaga ketat yakni di sebelah selatan menghadap ke pantai
dan di sebelah utara menghadap gunung Halimun.
Daerah terkungkung ini
merupakan satu kota besar tak bernama. Namun orang telah menyebutnya
sebagai Kota Hantu. Di sinilah Singkil Alit alias Harimau Hitam dan lima
kawannya menjadi penguasa durjana. Secara paksa mereka mengumpulkan
hampir tiga ratus penduduk di daerah itu untuk membangun pager kayu
jati. Lalu membangun rumah-rumah besar untuk mereka. Orang banyak itu
dijadikan budak, dipaksa tinggal dalam kungkungan pagar jati dan dipaksa
melakukan dan jadi nelayan. Semua hasil harus diserahkan pada Singkil
Alit. Siapa berani membangkang atau coba melarikan diri maka tak ada
ampun. Mereka akan dipancung. Mayatnya dipertontonkan agar semua orang
takut dan tak mau meniru perbuatan kawannya itu. Singkil Alit dan
kawan-kawannya juga melatih para pemuda untuk dijadikan pengawalpengawal
mereka. Pemuda-pemuda ini berjumlah sekitar enam puluh orang. Mereka
mengawal enam rumah pimpinan kota hantu itu, yang merupakan rumah-rumah
besar mewah, dilengkapi dengan beberapa orang perempuan atau gadis
cantik hasil culikan dari desa atau perkampungan penduduk.
Di antara
keenam manusia durjana itu adalah orang yang bernama Tembesi memiliki
lebih dan lima perempuan peliharaan di rumahnya. Dari luar Kota Hantu
ini tampak tenang. Tapi di dalam, kehidupan penduduk yang berjumlah
lebih dari tiga ratus orang itu merupakan dunia penderitaan yang tiada
taranya. Mereka dipaksa untuk bekerja dan dicambuk bila dianggap malas
atau tidak mengbasilkan apa-apa. Lelaki atau perempuan yang kelihatan
seperti sakit-sakitan lenyap secara aneh. Entah dibunuh entah dibuang,
mayatnya tak pernah ditemukan. Setiap hari selain saja ada orang-orang
dari luar yang diculik dan dipaksa tinggal di Kota Hantu untuk jadi
budak kerja paksa.
Hanya dalam waktu dua belas bulan saja nama Kota
Hantu ini telah dikenal di kawasan Jawa Barat sebelah selatan. Siapa
saja yang mendengar nama kota ini akan merinding bulu kuduknya karena
ngeri membayangkan kehidupan penuh siksa di sana. Apakah sebenarnya
tujuan Singkil Alit dan kawan-kawannya mendirikan kota tertutup itu?
Sebagai
seorang tokoh silat golongan hitam yang punya nama angker Singkil Alit
sejak lama bercita-cita ingin menguasai rimba persilatan di Jawa Barat.
Paling tidak di daerah selatan yang penduduknya rata-rata mempunyai
tingkat penghidupan tinggi karena tanahnya subur dan lautnya kaya dengan
ikan. Setelah dia merasa cukup modal harta kekayaan maka satu demi satu
tokoh-tokoh akan diundangnya datang, lalu dibunuh secara keji.
Singkil
Alit tidak mau bekerja sendiri. Untuk itu maka dikumpulkannya beberapa
orang kawannya sealiran. Mereka adalah Rangga, Pinto Manik, Rah Tongga,
Wiracula dan tembesi.
Begitulah, sejak enam bulan terakhir ini dunia
persilatan di daerah itu ditandai oleh beberapa kejadian aneh, yakni
lenyapnya tiga tokoh silat berkepandaian tinggi. Dua dari golongan
putih, satu lagi dari golongan hitam. Tak satu orang luarpun yang tahu
kalau ketiga tokoh tersebut telah menemui ajal dibunuh oleh Singkil Alit
dan kawan-kawannya di dalam Kota Hantu.
"Suatu hari ketika keenam
iblis-iblis Kota Hantu itu berkumpul sambil meneguk tuak keras dan
bergelut-gelut dengan perempuan-perempuan culikan mereka, berkatalah Rah
Tongga.
"Singkil, kalau kita hanya menyingkirkan satu persatu
tokoh-tokoh silat itu, kurasa dalam waktu dua tahun di muka pekerjaan
dan tujuan kita belum selesai. Mungkin pula rahasia kita bocor.
Tokoh-tokoh silat putih dan hitam bergabung lalu menyerbu kota kita
ini…"
Singkil Alit turunkan cangkir bambunya. Sekl bibir dan kumis
serta janggutnya yang basah oleh tuak lalu bertanya, "Kau ada rencana
spa, Rah Tongga! Coba katakan. Mataku mulai mengantuk. Aku ingin
bersenang-senang dengan kekasih-kekasihku di dalam…"
Empat kawannya yang lain ikut mendangarkan dengan seksama.
"Bagaimana
kalau kita adakan perjamuan besar. Kita undang orang-orang dunia
persilatan di daerah ini. Kita beri racun makanan atau minuman mereka!
Nah, sekali bertindak semuanya beres!"
Singkil Alit tegak dari
kursinya. Sesaat dia berkacak pinggang memandang Rah Tongga, lalu maju
dan tepuk-tepuk bahu kawannya itu.
"Karena hal itu tidak aku pikirkan
sebelumnya!" kata manusia berjuluk Harimau Hitam ini, "Rah Tongga!
Usulmu aku puji dan aku terima. Kau dan kawan-kawan aturlah perjamuan,
kirim undangan! Dan ingat itu harus kita lakukan secepatnya!"
"Jangan kawatir Singkil. Serahkan semua pada aku dan kawan-kawan!" kata Rah Tongga pula penuh senang karena usulnya diterima.
Begitulah,
pada bulan pumama sebulan kemudian di Kota Hantu tampak dilangsungkan
satu pasta betar. Obor dipasang di sepanjang pager dan di bagian-bagian
tertentu hingga kota yang Was itu terang benderang. Di sebuah lapangan,
di mana pesta dipusatkan, didirikan sebuah panggung besar. Di sekeliling
panggung tampak deretan meja dan kursi khusus disediakan untuk tuan
rumah dan para undangan. Hiasan dan gaba-gaba tersebar di mana-mana
menambah semaraknya pesta.
Makanan dan minuman berlimpah ruah.
Para
tamu tamu berjumlah sekitar dua puluh orang. Rata-rata mereka adalah
tokoh-tokoh silat yang punya nama, terdiri dari golongan hitam dan
golongan putih.
"Para tamu yang kami hormati!" kata Singkil Alit
”Walau kita ada yang berbeda golongan, tapi dalam pesta ini lupakan
semua itu. Kita satu dalam kegembiraan!"
Menjelang tengah malam, di
atas panggung yang sejak tadi diperdengarkan alunan karawitan beserta
pesinden-pesinden yang cantik genit dan bersuara merdu menggairahkan,
kini tiba-tiba saja acara berobah dengan satu pertunjukan tari-tarian
yang melanggar susila. Enam perempuan muda berpakaian sangat tipis
melenggang-lenggok mengikuti alunan terompet bambu dan tabuhan gendang.
Semakin cepat tabuhan gendang, semakin binal gerakan mereka. Tiba-tiba
ke enam pesinden itu tanggalkan seluruh pakaian yang mereka kenakan.
Para tamu dari golongan hitam berteriak-teriak bersuit-suit. Mereka yang
dari golongan putih tersentak kaget. Ini adalah satu hal yang tidak
mereka duga. Rasa jengah membuat mereka seharusnya serta merta hendak
tinggalkan pesta perjamuan itu. Namun rata-rata mereka semua sudah
terlalu banyak meneguk tuak keras, hingga hal itu tidak mereka lakukan.
Bahkan mereka menyaksikan tarian telanjang itu dengan mata tak berkesip
dan tenggorokan turun naik.
"Sahabat-sahabat para tamu!" tiba-tiba
Tembesi berdiri dan berseru. "Jika ada di antara para sahabat yang ingin
turut menari silahkan naik ke panggung! Lalu jika para sahabat berkenan
boleh cari pasangan. Di rumah besar sebelah kiri telah tersedia kamar
dimana para sahabat boleh bersenang-senang sampa pagi …!"
Mendengar
ucapan Tembesi itu delapan orang lelaki melompat ke atas panggung. Dari
tampang dal pakaian mereka jelas mereka bukan tokoh silat baik-baik.
Keenamnya menari seradak-seruduk dalam mabuk, lalu turun dari panggung
menarik pasangan lelaki yang dua, yang tidak kebagian pasangan terus
saja menari.
"Jangan kawatir!" seru Tembesi kembali. "Persediaan
penari cukup banyak!" Dia bertepuk tangan. Enam perempuan muda muncul
pula dalam pakaian sangat tipis. Dua lelaki tadi tampak bingung mau
mencari pasangan yang mana karana rata-rata penari itu berwajah cantik.
Sementara itu empat lelaki lainnya melompat pula ke atas panggung.
Seperti
dikatakan Tembesi, di rumah besar di sebelah kiri panggung terdapat
sekitar lima belas kamar. Dua belas tokoh silat golongan hitam itu masuk
ke dalam kamar dengan hasrat berkobar-kobar tanpa mengetahui bahwa
bukan kesenangan yang bakal mereka dapatkan, tetapi maut!
Begitu
masuk ke dalam kamar, para penari segera mengunci pintu dan
mempersilahkan setiap tokoh duduk di tepi tempat tidur sambil
memijit-mijit bahunya. Semua ini sesuai dengan yang diatur dan
diperintahkan oleh Singkil Alit. Setelah itu setiap penari menyuguhkan
secangkir tuak pada tamunya. Hanya beberapa saat setelah meneguk habis
minuman itu dua belas tokoh silat yang ada dalam kamar tersungkur muntah
darah dan mengerang nyawa. Mereka mati oleh racun jahat yang
dicampurkan dalam minuman!
Kita kembali ke tempat pesta di sekitar
panggung. Empat tokoh silat golongan hitam dan hampir selusin dari
golongan putih duduk sambil mengobrol. Sesekali mata mereka melirik ke
panggung, mengharap ada lagi penari telanjang yang bakal muncul. Saat
itu Singkil Alit memberi isyarat pada Tembesi. Tembesi bertepuk tangan.
Tepuk tangannya yang sekali ini bukan tepuk tangan biasa, melainkan
merupakan satu isyarat pada dua puluh orang pelayan perempuan yang
menyuguhkan tuak. Kedua puluh pelayan itu segera mendatangi setiap tamu
sambil membawa kendi besar berisi tuak yang sudah dicampur dengan racun.
Tuak itu dituangkan ke dalam tempat minum para tamu.
Empat tokoh
golongan hitam segera meneguknya sampai habis. Sepuluh tamu dari
golongan putih melakukan hal yang sama. Hanya seorang yang dalam keadaan
mabuk tidak menyentuh minumannya, tapi berdiri. Sambil meracau tak
karuan dia melangkah menari-nari dan naik ke atas panggung.
"Mana
penari untukku … Mana penari untukku!" katanya berulang kali. Lelaki ini
berusia sekitar setengah abad, merupakan ketua sebuah perguruan silat
di Karangbolong.
Semua tamu yang meneguk tuak beracun itu serta merta
menemui ajal dengan cara yang sama, muntah darah, rubuh dan mati!
Sementara lelaki dari Karangbolong masih terus menari, tidak sadar apa
yang telah terjadi karena mabuknya.
Singkil Alit mendekati panggung
dan berkata pada Tembesi. "Lekas suruh Pinta Manik membereskan yang satu
ini. Aku sudah sebal melihatnya. Hari hampir pagi. Kita semua harus
melenyapkan belasan mayat itu lalu butuh istirahat!"
Anggota
komplotan iblis yang bernama Tembesi segera memberi isyarat pada Pinta
Manik. Begitu Pinta Manik mendatangi dia lalu memberi tahu apa yang
diperintahkan Singkil Alit. Maka Pinta Manik naik ke atas panggung
sambil menghunus sebilah pedang. Dengan pedang ini ditembusnya perut
tokoh silat yang mabuk dan menari-nari di atas panggung! Dua puluh satu
tokoh silat menemui ajalnya di Kota Hantu pada malam bulan pumama itu.
Kelak lenyapnya orang-orang itu baru diketahui selang beberapa bulan
kemudian.
***

TIDAK
seperti biasanya, sajak dua minggu terakhir laut di pantai barat selalu
diselimuti deru angin kencang serta gulungan ombak besar dan tinggi.
Para nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut terpaksa tinggal
di rumah masing-masing, tak berani turun ke laut. Di sebuah teluk sempit
agak ke selatan Karangbolong terdapat sebuah perkampungan kecil. Di
sini hanya ada sebuah rumah bambu besar dikelilingi lima rumah yang
lebih kecil. Ini bukanlah sebuah perkampungan nelayan. Melainkan daerah
kediaman dan tempat latihan orangorang dari perguruan silat Elang Putih.
Pagi
itu seperti biasanya, sebelum latihan dimulai tiga puluh orang anak
murid parguruan duduk bersila di tepi pantai, bartelanjang dada,
menghadap ke laut. Tangan masing-masing diletakkan di atas pangkuan,
mata dipejamkan. Mereka mengheningkan cita rasa indera sambil berlatih
mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Anak murid paling tua,
yang manjadi wakil dari ketua parguruan, bernama Indrajit melangkah
mundar-mandir mengawasi latihan yang dilakukan tiga puluh saudara
sepeguruannya itu. Jika ada yang kurang sempurna atau melakukan
kekeliruan dalam hening cita rasa indera itu, dia memberitahu dan
menyuruh mamperbaikinya.
Ketika matahari pagi mulai naik dan udara
terasa memanas, Indrajit siap memerintahkan anak murid seperguruan untuk
rnenghentikan latihan itu, dan seperti biasa akan dilanjutkan dengan
latihan gerakan-gerakan silat.
Baru saja Indrajit memberi aba-aba dan
para murid perguruan Elang Putih melompat sambil mengeluarkan suara
keras, di kejauhan terlihat seorang penunggang kuda bergerak cepat ke
arah perkampungan.
"Ketua pulang . . . !" seru salah seorang murid.
lndrajit terus memperhatikan penunggang kuda itu. Kemudian berkata, "Itu bukan ketua kita."
Memang
yang datang bukanlah Ki Mantrayasa sang katua perguruan silat Elang
Putih. Penunggang kuda coklat itu sampai di hadapan Indrajit. Tubuh,
muka dan pakaiannya kotor oleh debu tenda dia telah menempuh perjalanan
jauh. Bibirnyapun tampak kering. Jelas penunggang kuda berusia hampir
setengah abad ini kelihatan letih.
"Pamen Gitasula, kedatanganmu
setelah hampir setahun tak pernah muncul sangat menggembirakan kami. Kau
tentunya haus. Biar kusuguhkan minuman segar untukmu!"
Selesai
berkata begitu Indrajit cabut sebilah golok pendek dari pinggangnya.
Senjata ini dilemparkannya ke atas pohon kelapa. Sebutir kelapa yang
tertebas oleh golok ini bukan saja terbabat putus dan jatuh ke bawah,
tapi sekaligus ujungnya ikut terpotong hingga membuat lubang di
tengahnya. Dengan tangan kiri Indrajit menengkap goloknya, sedang tangan
kanan menjangkau kelapa yang jatuh lalu menyodorkannya pada orang
bernama Gitasula.
"Silahkan minum paman!"
Gitasula yang memang
sangat haus dan letih segera meneguk air kelapa muda yang segar dan
manis itu sampai habis, lalu membuang buah kelapanya ke pasir. Ombak
menyapu pantai, butiran kelapa itu terseret laut, terapung-apung
dipermainkan ombak.
"Paman Gita, sayang kau datang pada saat ketua
kami tidak di sini. Gerangan apakah yang membawa paman tiba-tiba ingat
kami dan datang ke sini …?"
Gitasula memandang wajah Indrajit sesaat,
ia menatap ke arah puluhan murid-murid perguruan. Melihat sikap orang
ini Indrajit merasa tidak enak. Terlabih ketika Gitasula berkata:
"Indrajit, mari kita bicara di dalam sana."’ Lelaki ini lalu turun dari kudanya. Seorang anak murid
perguruan
segera menggiring kuda tunggangannya menambatkannya ke batang pohon
kelapa. Setelah memberitahukan pada saudara seperguruannya agar mereka
melanjutkan latihan, Indrajit dan Gitasula melangkah menuju rumah besar,
langsung masuk ke ruang dalam dan duduk berhadap-hadapan.
"Nah, paman. Katakanlah apa maksud kedatanganmu kemari," kata Indrajit pula.
"Aku datang membawa kabar buruk Indrajit…"
"Kabar buruk apa paman?" tanya Indrajit. Wajahnya menunjukkan rasa terkejut tapi sikapnya tetap tenang.
"’Kabar buruk bagi perguruan Elang Putih."
"Ada
yang tidak suka dengan perguruan kami lalu handak menjajal kekuatan
kami. Atau langsung ingin menyerbu kemari? Seperti yang kejadian dua
tahun lalu dengan orang-orang dari pantai utara itu?"
Gitasula gelengkapan kepalanya.
"Bukan
itu Indrajit. Sejak kalian menyapu orangorang dari utara tempo hari,
sejak itu pula nama perguruan kaiian menjadi terkenal, dihormati dan
disegani. Kabar buruk yang kumaksudkan adalah mengenai guru atau ketua
kalian."
"Kami memang sedang menunggu-nunggu ketua. Janji beliau
paling lambat akan meninggalkan perguruan satu kali bulan pumama. Tapi
ini sudah lewat dua kali pumama …"
"Kau tahu ke mana ketuamu Ki Mantrayasa pergi!"
Indrajit mengangguk. "Beliau menerima undangan dari seseorang di pantai selatan …"
"Kau kenal siapa pengundang itu?"
Indrajit
menggeleng. "Jika beliau tidak kenal, tak akan mungkin pergi memenuhi
undangan. Beliau tak banyak memberi keterangan mengenai undangan, hanya
katanya ada pertemuan tokohtokoh silat Jawa Barat di selatan. Memangnya
apa yang telah terjadi paman?"
Gitasula tak segera menjawab. Sejurus kemudian baru dia membuka mulut berkata:
"Kuharap kau menerima kenyataan ini dengan tabah, Indrajit …"
"Paman! Katakan apa yang terjadi!" Indrajit tak sabaran lagi.
"Ketua perguruan Elang Putih, yang juga merupakan gurumu telah menemui kematian. Dibunuh orang!"
Indrajit
bangkit dari duduknya. Sekujur tubuh pemuda berusia tiga puluh lima
tahun ini bergetar. Kadua matanya memandang mendelik pada Gitasula penuh
rasa tak percaya.
"Paman, kabar buruk apakah ini?! Ketua mati dibunuh orang?!"
"Benar
Indrajit. Undangan yang disampaikan orang itu pada Ki Matrayasa adalah
undangan maut. Mereka sudah merencanakan maksud jahat dan keji. Yaitu
melakukan pembunuhan. Dan bukan hanya ketua saja yang mereka bunuh tapi
lebih dari lima belas tokoh-silat di Jawa Barat ini!"
"Paman, jika kau datang membawa kabar musibah besar ini, berarti kau juga mengetahui siapa pembunuh ketua kami!"
"Mereka adalah manusia-manusia iblis dari Kota Hantu!" sahut Gitasula.
"Kota Hantu? Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Dan siapa iblis-iblis yang kau maksudkan itu paman?!"
"Beberapa
bulan lalu, satu komplotan yang ter’diri dari enam manusia durjana di
bawah pimpinan Singkil Alit membangun sebuah kota raksasa, terdiri dari
beberapa desa dan puluhan kampung. Seluruh kota dikelilingi pagar
tinggi. Dua pintu gerbang masuk dan keluar dikawal oleh penjaga-penjaga
secara ketat …..
Selanjutnya Gitasula menuturkan apa yang
diketahuinya tentang kehidupan mengerikan di dalam kota itu. "Penduduk
tak lebih dari pekerja-pekerja paksa. Mereka disuruh melakukan apa saja.
Mulai dari bercocok tanam, memelihara ternak sampai menangkap ikan ke
laut. Para pengawal kota kabarnya juga melakukan perampokan di
mana-mana. Mereka menculik perempuan-perempuan cantik untuk diserahkan
pada enam manusia iblis itu! "Siapa saja yang berani membangkang
perintah atau coba melarikan diri pasti dibunuh!"
Lalu Gitasula menceritakan malapetaka keji yang terjadi di malam bulan purnama dua bulan lalu.
"Kabarnya hampir semua tamu menemui ajal karena diracun. Tapi ketua kalian, sahabatku Ki Matrayasa mati ditusuk dengan pedang!"
"Singkil
Alit …" desis Indrajit dengan dua tangan terkepal dan mata berapi-api.
"Kau harus bayar nyawa ketua dengan nyawamu dan nyawa lima anggota
komplotanmu!" Lalu pemuda ini berpaling pada Gitasula. "Paman katakan
siapa sebenarnya manusia bernama Singkil Alit itu. Di mane letak Kota
Hantu dan apa sesungguhnya maksudnya hingga berbuat sekeji itu?!"
"Siapa
sebenarnya Singkil Alit masih gelap bagiku. Dia bersama teman-temannya
muncul begitu seperti setan di siang bolong! Yang jelas mereka terutama
Singkil Alit memiliki kepandaian tinggi. Disamping itu mereka juga licik
dan keji. Ganas melebihi iblis! Kota Hantu yang mereka bangun dan
kuasai terletak di tenggara, enam hari perjalanan berkuda dari sini, di
kaki gunung Halimun. Lalu apa maksud mereka melakukan semua keganasan
itu menurut para tokoh, ada beberapa alasan: Pertama mereka ingin
memiliki harta kekayaan. Kedua mungkin ada rencana untuk menyerbu
Kerajaan. Namun menurut pandanganku Singkil Alit ingin memulai kehidupan
hitamnya dengan pertama sekali menguasai dunia persilatan di Jawa Barat
ini. Itu sebabnya dia membunuh semua tokoh silat yang datang ke
perjamuannya!"
"Jika memang demikian Singkil Alit dan lima iblis
lainnya itu harus dimusnahkan!" kata Indrajit pula. "Dan aku sebagai
murid ketua Ki Matraysa bersumpah untuk menebas batang leher Singkil
Alit!"
"Aku dan sisa-sisa tokoh silat di Jawa Barat ini juga punya
pendapat demikian Indra," kata Gitasula pula. "Namun apapun langkah yang
kita susun, kita harus merencanakan dengan hatihati. Enam Iblis Kota
Hantu itu bukan manusia-manusia sembarangan. Belum lagi puluhan pengawal
mengelilingi mereka, mulai dari pintu gerbang sampai ke pintu tempat
tidur mereka!"
"Aku mengerti paman," sahut Indrajit. "Jika kita
bergabung masakan tidak mampu menghancurkan mereka. Aku rela mati untuk
membalaskan sakit hati guru!"
"Kalau begitu kau datanglah ke tempatku
di Lemburawi di kaki gunung Malabar. Pada hari dua belas bulan di muka.
Aku telah mengatur pertemuan para tokoh di sana. Jika rencana matang,
menyerbu Kuta Hantu dari situ akan lebih cepat karena lebih dekat."
Jika
menurutkan hati amarahnya Indrajit ingin cepat-cepat menyerbu ke Kota
Hantu. Namun menyadari kekuatannya sendiri dan menghormati rencana yang
rupanya sudah disusun oleh paman Gitasula maka pemuda ini menyetujui
rencana Gitasula itu.
***

DUA ORANG
penjaga pintu gerbang selatan Kota Hantu segera menghunus senjata
masingmasing ketika seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan.
Sementara udara malam dingin menusuk tulang, apalagi angin juga bertiup
kencang.
"Siapa dan mau ke mana?!" bentak salah seorang pengawal ketika mengetahui pandatang bukan penduduk Kota Hantu.
"Namaku
Sirat Gambir, datang dari pantai barat ingin memasuki kota guna menemui
pemimpin kalian!" jawab penunggang kuda dengan sikap keren.
"Kami
tidak pernah mangenal namamu sebelumnya! Datang di malam buta begini
untuk menemui pimpinan kami! Kau boleh pergi dan datang besok pagi!"
"Kenal
aku atau tidak itu bukan urusan. Aku tidak mau pergi dan harus menemui
pimpinan kalian malam ini juga. Aku membawa urusan penting!"
"Katakan apa urusanmu!" pengawai kedua buka suara.
"Ini
satu urusan rahasia dan teramat penting. Hanya bisa kukatakan pada
Singkil Alit atau salah seorang anggota pimpinan Kota Hantu lainnya,"
kata penunggang kuda bernama Sirat Gambir.
"Apapun urusanmu pimpinan kami tidak menerima tamu malam hari!"
"Begitut!"
ujar Sirat Gambit sambil menatap tajam pada si pengawal. "Baik, aku
akan pergi. Tapi jika kelak terjadi apa-apa di kota kalian, dan pemimpin
kalian mengetahui bahwa aku datang membawa kabar tapi kalian tidak
memberi izin, maka leher kalian akan ditebas!" Sirat Gambir putar
kudanya. Dua pengawal tampak saling pandang. Salah seorang di antara
mereka cepat-cepat berkata, "Baiklah, kamu kami izinkan masuk kota. Tapi
untuk bertemu dengan pimpinan harus menunggu sampai pagi!"
"Aku akan
masuk kota. Dan kalian harus memberi tahu kedatanganku pada pimpinan
kalian. Jika menunggu sampai besok segala sesuatunya akan terlambat!
Urusanku bukan urusan main-main. Tapi urusan keselamatan pimpinan dan
seluruh isi Kota Hentu ini!"
"Kami harus menggeledahmu lebih dulu!"
"Sialan!
Kalau aku bermaksud jahat, kenapa susah-susah minta izin segala?
Mempreteli kalian bardua bukan soal sulit bagiku. Lihat!"
Tubuh Sirat
Gambir tiba-tiba melesat dari atas punggung kuda. Kakinya kiri kanan
tahutahu sudah memijak kepala kedua pengawal itu, lalu bersalto di
utara, di lain saat sudah tegak di depan pintu gerbang.
Dua pengawal
pintu gerbang terkejut, mereka segera menyadari kalau mau orang bernama
Sirat Gambir itu tadi-tadi dapat menendang hancur kepala mereka!
"Nah, apakah kalian masih belum mau membuka pintu untukku?!" tanya Sirat Gambir.
Cepat-cepat
salah seorang pengawal segera mengetuk pintu gerbang. Dua kali
berturut-turut, lalu tiga kali. Sebuah lobang empat persegi terbuka pada
salah satu bagian pintu gerbang. Satu kepala muncul dan bertanya, "Ada
apa?"
"Buka pintu. Ada tamu penting untuk pimpinan!" jawab pengawal yang di luar.
"Tamu? Malam-malam begini?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Dia membawa urusan penting!"
"Siapa namanya, datang dari mana dan apa urusannya?"
"Aku bertanggung jawab penuh di sini! Kau tak usah banyak tanya. Lekas buka pintu!"
Pengawal
yang di dalam, yang rupanya berpangkat lebih rendah tak berani lagi
menjawab lalu cepat-cepat membuka palang besi pintu gerbang besar itu.
Dengan di antar oleh dua orang pengawal berkuda Sirat Gambir kemudian dibawa ke tempat kediaman pimpinan Kota Hantu.
Walaupun
saat itu sudah lewat tengah malam namun seperti biasa di rumah besar
kediaman Singkil Alit suasana selalu kelihatan ramai. Enam pimpinan Kota
Hantu itu hampir setiap malam berkumpul di situ, menikmati minuman dan
makanan lezat, menghibur diri dengan perempuanperempuan cantik mereka
ambil secara paksa atau culik dari desa-desa sekitar kota.
Pinta
Manik tengah menggeluti tubuh seorang gadis desa yang diculik tiga hari
lalu ketika pengawal dari pintu gerbang selatan ditemani pengawal rumah
besar. Melihat kehadiran kedua pengawal ini Pinta Manik membentak marah.
"Pengawal-pengawal keparat! Kau minta mati berani kurang ajar datang kemari tanpa dipanggil?!"
Rangga,
Rah Tongga, Wiracula danTembesi yang sedang di ruangan itu sama-sama
berpaling ketika mendengar bentakan kawan mereka tadi. Singkil Alit saat
itu berada di ruangan dalam. Pengawal rumah besar menjura ketakutan dan
buru-buru berkata.
"Mohon maafmu pimpinan. Pengawal pintu gerbang selatan datang membawa kabar penting."
"Kabar penting! Kabar penting apa?!" Pinta Manik memandang pada pengawal pintu gerbang.
Pengawal pintu gerbang segera membuka mulut.
"Seorang
bernama Sirat Gambir mengaku datang dari pantai barat ingin menemui
pimpinan di sini. Menurut dia ada urusan sangat penting yang akan
dibicarakannya. Katanya menyangkut keselamatan para pimpinan bahkan
seluruh kota!"
"Hebat sekali!" kata Pinta Manik lalu memandang pada empat kawannya. Kelima manusia iblis itu kembali tertawa gelak-gelak.
Pinta
Manik memandang ke luar. Di pekarangan depan rumah besar memang
dilihatnya ada seora penunggang kuda berpakaian warna gelap, berambut
gondrong dan memakai ikat kepala, didampingi seorang pengawal yang juga
menunggang kuda dan senjata terhunus.
"Orang yang memakai ikat kepala itu yang bernama Sirat Gambir?" tanya Pinta Manik.
Due pengawal mengiyakan.
"Hemm
… suruh dia datang kemari! Jika dia ternyata kucing dapur yang
membuang-buang waktuku saja, akan kupatahkan batang lehernya!"
Maka
Sirat Gambirpun dibawa menghadap Pinta Manik sementara empat pimpinan
Kota Hantu lainnya tinggalkan tempat masing-masing dan melangkah
mengelilingi Sirat Gambir.
"Katakan apa keperluanmu!" ujar Pinta Manik.
Sirat Gambir menghitung. Hanya ada lima orang di hadapannya. Setahunya pimpinan Kota Hantu berjumlah enam orang.
"Ada
kabar panting yang akan kusampaikan. Tapi hanya akan kukatakan atas
dasar dua syarat. Pertama, kalian harus lengkap enam orang. Aku harus
tahu yang mane pimpinan tertinggi di antara kalian. Lalu, untuk berita
yang kubawa ini aku minta imbalan paling tidak sepuluh tail uang emas!"
Sepasang
alis Pinta Manik naik ke atas, keningnya menggerenyit. Tiba-tiba dia
tertawa membahak. Empat kawannya ikut tertawa. Saat itu dari ruang
dalam—mendengar suara ramai— keluarlah Singkil Alit.
"Pesta kalian ramai sekali. Ada perempuan baru atau ada yang lucu?!" tanya Singkil Alit sambil betulkan celana hitamnya.
"Singkil! Kita kedatangan seekor monyet yang bicara besar. Kau lihat sendirilah kemari!" kata Pinta Manik,
Singkil
Alit melangkah ke hadapan Sirat Gambir sementara Pinta Manik
menerangkan nama dan maksud kedatangan orang yang dikatakannya seekor
monyet itu.
"Hemmm … Sirat Gambir, coba kau terangkan urusan yang katamu sangat panting itu.
Menyangkut
keselamatan kami dan seluruh kota! Jika berita itu cukup berharga
mungkin kami bisa memberi imbaian. Tapi apapun imbalannya kami yang
menentukan, bukan kau!"
"Sepuluh uang emas! Kalau kalian tidak bisa
menerima, lebih baik tak kukatakan dan aku akan pergi seat ini juga!"
kata Sirat Gambir.
Singkil Alit tampak berubah wajahnya.
Sekian
lama menjadi pimpinan di Kota Hantu itu tak ada seorang pun yang berani
bicara seperti itu padanya, apalagi orang luar. Maka pimpinan Kota Hantu
itupun bertanya, "Sirat Gambir, apakah kau sadar berada di mans saat
ini? Dan berhadapan dengan siapa?!"
Sirat Gambir memang bukan seorang
pengecut. Dia tahu jika terjadi ape-apa tak akan mampu baginya,
menghadapi enam manusia iblis itu. Namun mengingat berita yang dibawanya
luar biasa pentingnya bagi enam orang itu, maka dia merasa berada di
atas angin. "Aku cukup maklum berada di mana dan berhadapan dengan
siapa. Aku menghormati kalian dan menganggap sebagai sahabat. Namuh
mengingat berita yang kubawa sangat penting, dan aku tidak main-main
maka adalah wajar jika aku mendapatkan imbalan!"
"Bagus! Aku senang
pada manusia-manusia yang berani bicara terus terang. Tapi aku tidak
suka pada orang yang bicara bertele-tele! Katakan apa berita panting
yang ingin kau sampaikan itu! Soal imbalan kita bicara belakangan!
Sepuluh tail emas tidak ada artinya bagi kami! Tapi jika beritamu
ternyata kentuk busuk belaka maka kau harus pergi dari sini dengan
meninggalkan lidahmu!"
"Nah … nah … nah!" ujar Wiracula. "Pemimpi
kami malam ini sangat berbaik hati hanya minta kau meninggalkan lidahmu,
dan bukan jantungmu!"
Singkil Alit tersenyum.
"Aku tahu. Soal
nyawa manusia bagi kalian lebih sepele dari kotoran kerbau. Setiap saat
kalian bias membunuhku. Namun itu berarti tabir rahasia berita yang akan
kusampaikan tak akan pernah kalian ketahui. Kalaupun kalian akhirnya
mengetahui maka sudah terlambat. Kota ini mungkin sudah jadi lautan api.
Kalian sendiri mungkin sudah menemui ajal atau cacat seumur hidup!"
"Hebat! Ceritamu hebat! Tapi gila!" tukas Singkil Alit.
"Betul!"
menyahuti Tembesi. "Aku kepingin tahu siapa yang mau membuat kota ini
menjadi lautan pi dan mampu membunuh kami Enam Iblis Kota Hantu?!"
"Jika
kalian tidak tertarik dengan urusan ini, lebih baik aku pergi!" kata
Sirat Gambir jadi jengkel. Tapi diam-diam dia sudah mencium bahwa
bagaimanapun enam manusia Iblis itu ingin mengetehui apa sebenarnya
berita yang hendak disampalkan Sirat Gambir.
"Baik! Kami tertarik. Nah katakanlah!" ujar Singkit Alit.
"Bayarannya dulu!" sahut Sirat Gambir.
"Keparat
sialan!" maki Singkil Alit dengan mata mendelik. Tapi Sirat Gambir
hanya ganda tertawa. "Berikan uang yang diminta bangsat ini!" teriak
Singkil Alit kemudian.
Rangga keruk pinggang pakaiannya. Lalu
lemparan sebuah kentong kain ke hadapan kaki Sirat Gambir. Orang ini
membungkuk untuk mengambil kantong itu. Namun sebelum ujungujung jarinya
menyentuh kantong, dari samping Rah Tongga melompat kirimkan satu
tendangan ke kepala Sirat Gambir. Terjadilah hal yang mengejutkan keenam
manusia iblis Kota Hantu itu.
Sirat Gambir sejak semula sudah
mengetahui manusia-manusia bagaimana adanya enam orang yang dihadapinya
itu. Selain bengis ganas mereka juga rata-rata licik. Karenanya sewaktu
membungkuk mengambil kantong kain yang waktu jatuh mengeluarkan suara
bergemerincing, ekor matanya melirik ke kiri dan kanan. Begitu
dilihatnya Rah Tongga membuat gerakan, secepat kilat Sirat Gambir
melompat ke kiri, menyelamatkan kepala sambil ujung jari kaki kirinya
menjepit kantong uang. Kantong itu melesat ke atas, dan ketika dia
berdiri di sudut ruangan, kantong sudah ada dalam genggamannya.
Sambil menyeringai Sirat Gambir berkata.
"Aku
datang dengan maksud baik. Antaaa kita tak ada silang sengketa. Tapi
jika kalian bertindak licik dan ganas, kalian akan rasakan sendiri
akibatnya!"
Baik Singkil Alit maupun lima manusia iblis lainnya kaget
bukan kepalang. Tendangan yang tadi dilepaskan Rah Tongga bukan
tendangan sembarangan. Merupakan tendangan maut yang sulit untuk
dikelit! Jika orang bernama Sirat Gambir itu sanggup selamatkan diri
nyatalah dia memiliki kepandaian tinggi. Menimbang di situ Singkil Alit
buru-buru berkata.
"Sirat Gambir, jangan kau salah sangka! Kawanku
yang satu ini memang suka usilan. Dia hanya tak sabar untuk membuktikan
bahwa kau bukan orang sembarangan. Yang berarti apapun berita yang bakal
kau sampaikan, pasti akan kami percayai!"
"Hemm begitu? Baik! Tapi
untuk tendangan tadi kalian haus mengeluarkan bayaran tambahan sepuluh
mata uang emas lagi!" kata Sirat Gambir.
"Kurang ajar! Jadi kau hendak mempermainkan kami?!" sentak Tembesi.
"Bukan
aku! Tapi kalian yang mau mempermainkan aku!" sahut Sirat Gambir pula.
"Nah, kalian berikan apa yang kuminta. Atau aku akan tinggalkan tempat
ini!"
"Singkil!" berkata Wiracula dengan tampang menunjukkan
keberingasan. "Anjing jalanan seperti dia kenapa tidak kita gorok saja
batang lehernya?!"
"Tenang Wira; " bisik Singkil Alit. "Monyet satu
ini di samping punya sedikit ilmu juga licik. Biar aku yang
melayaninya." Lalu pada Sirat Gambir pimpinan Kota Hantu itu berkata,
"Sobatku, jika maksudmu datang adalah baik, mengapa buru-buru pergi.
Jangan khawatir.
Tambahan uang yang aku minta akan kuberikan. Bukan cuma sepuluh tapi lima bola mata uang emas!"
Singkil
Alit memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Orang ini masuk
ke dalam, ketika keluar dia membawa sebuah kantong kain. Kantong isi
uang ini diserahkan Singkil Alit pada Sirat Gambir.
"Nah, kau sudah menerima apa yang kau minta. Sekarang katakan berita penting apa yang hendak kau sampaikan pada kami?!"
Setelah
menghitung terlebih dulu uang dari kantong kain dan memasukkannya ke
balik pakaianya, Sirat Gambir melangkah mundur ke dekat pintu. Dia
sengaja mencari tempat yang baik agar jika terjadi apa-apa dapat
tinggalkan tempat itu dengan cepat. Namun Singkil Alit yang bergelar
Harimau Hitam juga tidak bodoh. Selagi Sirat Gambir sibuk menghitung
uang emas dalam kantong, dia memberi isyarat lima anak buahnya. Kelima
orang ini segera menyusul kedudukan sementara di luar rumah besar, cepat
sekali dua puluh pengawal bersenjata mengurung jalan keluar.
"Singkil
Alit, kau dan kawan-kawanmu ingat peristiwa tiga bulan lalu? Ketika
kalian mangadakan jamuan makan minum. Mengundang puluhan tokoh silat di
kawasan barat ini!" berkata Sirat Gambir.
"Oh, itu…. ? Apa hubungannya dengan berita yang hendak kau sampaikan?!"
"Kalian
mungkin menyangka bahwa pembunuhan keji yang kalian lakukan terhadap
semua undangan itu tidak bocor keluar. Banyak tokoh silat di luar kini
sudah mengetahuinya…."
"Lalu?"
"Mereka kini menyusun rencana untuk menyerbu Kota Hantu. Menyama-ratakan dengan tanah danmembunuh kalian berenam!"
Mendengar keterangan Sirat Gambir itu Singkil Alit memandang pada kawan-kawannya. Keenamnya lalu tertawa gelak-gelak.
"Masih saja ada manusia-manusia bodoh ingin melakukan ketololan!" kata Singkil Alit.
"Kota ini bernama Kota Hantu. Siapa yang berani masuk akan berhadapan dengan hantu-hantu!
Akan mampus!"
"Aku hanya memberitahukan. Orang-orang ini bukan kelompok sembarangan," kata Sirat Gambir pula.
”Hem…. Katakan kalau kau tahu siapa mereka!" Pinta Manik berkata sambil tolak pinggang.
"Yang
menjadi pengatur rencana adalah seorang tokoh bemama Gitasula. Dia
saudara sepupu Ki Matrayasa, ketua perguruan silat Elang Putih yang ikut
jadi korban pembunuhan tiga bulan lalu. Pucuk pimpinan perguruan itu
sekarang dipegang oleh murid terpandai bernama Indrajit. Tiga puluh anak
buah perguruan siap menyerbu ke sini…."
"Jangankan tiga puluh, tiga ratuspun mereka boleh datang kemari jika memang mau mati konyol!" Yang bicara adalah Rah Tongga.
"Nama
Gitasula ataupun Indrajit dengan perguruan silat Elang Putihnya mungkin
bukan apa-apa bagi kalian. Namun dengan mereka juga bergabung beberapa
tokoh silat tingkat tinggi. Yang pertama Ingar Gandra, tokoh silat dari
Ujung Kulon yang bergelar Sultan Maut…."
Singkil Alit dan
kawan-kawannya saling pandang, menekan rasa kaget. Meskipun mereka
berenam tidak takut namun mereka tahu betul Ingar Gandra memang bukan
tokoh silat sembarangan.
"Siapa lagi lainnya?!" tanya Singkil Alit.
"Datuk Hijau!" jawab Sirat Gambir.
"Jadi
tua bangka keropos itu juga ikut berkomplot melawan kami!" ujar Singkil
Alit sambil puntir kumis tebalnya. "Ada lagi yang lain?"
"Ada. Tapi
mereka tidak kukenal. Di antaranya seorang bertopeng…." Lalu Sirat
Gambir menyambung. "Nah keteranganku tentang orang-orang itu sudah
lengkap. Aku sudah menerima imbalan dari kalian, saatnya aku pergi.
Namun…"
"Namun apa lagi?!" Rah Tongga tampak tak sabaran.
"Jika
kalian mau memberikan lagi dua puluh lima uang emas, aku akan berikan
keterangan di mana dan dari mana kelompok orang-orang itu akan mengatur
serangan."
"Manusia temahak haram jadah!" maki Tembesi sambil
melangkah menghampiri Sirat Gambir, siap untuk menghajarnya. Namun
Singkil Alit cepat memegang bahu kawannya ini. Pada Sirat Gambir manusia
bergelar Harimau Hitam ini berkata, "Uang bagi kami bukan apaapa.
Katakan di mana mereka mengatur serangan."
"Uangnya dulu!" kata Sirat Gambir seraya ulurkan tangan dan menyeringai.
"Ambil uang!" seru Singkil Alit.
Sesaat
kemudian sebuah kantong berisi dua puluh lima keping uang emas sudah
berpindah ke tangan Sirat Gambir. Dengan demikian dia sudah mendapatkan
lima puluh keping uang emas. Satu jumlah yang luar biasa. Seorang
Adipati sekalipun di masa itu belum tentu memiliki uang sebanyak itu.
"Dengar, mereka mengatur serangan dari sebuah pondok di lembah Cilendak. Setengah hari perjalanan dari sini ke arah barat laut!"
Singkil Alit manggut-manggut.
"Sirat
Gambir, keteranganmu memang cukup pantas dihargai lima puluh uang emas
itu. Kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih. Jika saja kau suka,
kau boleh tinggal disini bersama kami. Kita menyambut komplotan
orang-orang tolol itu. Kau akan mendapat sebuah rumah dalam kota ini,
semua keperluanmu terjamin. Termasuk perempuan cantik!"
Sirat Gambir
tersenyum mendengar kata-kata pemimpin Kota Hantu itu dan menjawab,
"Terima kasih. Tidak disangka manusia-manusia iblis Kota Hantu berhati
polos seperti itu.
Hanya sayang aku tidak begitu suka tinggal di sini
dan berkumpul dengan kalian. Urusan sudah selesai, aku tak butuh berada
lebih lama di sini!"
Sirat Gambir putar tubuhnya namun dia jadi
terkejut ketika mendapatkan pintu keluar telah dihadang rapat oleh
puluhan pengawal bersenjata. Lelaki ini sudah mengetahui bahwa para
pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian silat cukup tinggi, walaupun
cuma ilmu silat kasar. Mereka dilatih langsung oleh enam iblis Kota
Hantu.
Sirat Gambir berpaling pada Singkil Alit dan berkata,
"Singkirkan cacing-cacing busuk ini! Atau mereka akan kubikin amblas ke
dalam tanah!"
Singkil Alit tertawa gelak-gelak.
"Kau singkirkanlah
sendiri!" katanya lalu dia memberi isyarat pada lima kawannya. Keenam
orang itu kemudian membentuk setengah lingkaran dan melangkah mendekati
Sirat Gambir. Melihat keadaan ini Sirat Gambir segera menghantam ke
kiri. Dua pengawal roboh. Dari pengawal yang ketiga dia merampas sebilah
golok lalu menghantam dengan sebat. Dua pengawal lagi roboh. Namun yang
datang malah tambah banyak. Dari belakang Singkil Alit dan kawan
kawannya mulai menyerang.
Sirat Gambir ternyata memang bukan orang
sembarangan. Setelah membunuh delapan pengawal, melukai empat lainnya
bahkan berhasil menendang Rah Tongga dia berusaha melarikan diri dengan
melompat ke atas atap bangunan. Maksudnya hendak membobol atap itu lalu
kabur di kegelapan malam. Namun sebuah senjata rahasia yang dilemparkan
Wiracula dan tapat mengenai punggung kirinya membuat lelaki ini
kehilangan keseimbangan. Sebelum dia sempat bergayut pada kayu kaso
atap, dua dari enam iblis Kota Hantu sudah melompat. pula ke atas
mengejarnya. Satu jotosan menghantam pelipis kiri Sirat Gambir. Satu
sodokan sikut mematahkan dua tulang iganya.
Tubuh Sirat Gambir
melayang jatuh ke bawah. Hebatnya selagi jatuh ini dia masih sempat
kirimkan satu tendangan ke dada salah seorang penyerangnya.
Buk!
Tendangan
itu tepat, mengenai dada Pinta Manik. Darah menyembur dari mulutnya.
Manusia iblis satu ini terhampar jatuh duduk di lantai, cepat ditolong
oleh kawan-kawannya. Sementara itu lebih dari selusin macam senjata para
pengawal dihunjamkan ke tubuh Sirat Gambir yang jatuh dan terkapar tak
berdaya.
"Manusia setan alas!" maki Singkil Alit. "Bawa mayatnya keluar, lemparkan keluar pagar kota!"
Setelah mayat Sirat Gambir diseret keluar para pimpinan Kota Hantu ittu kecuali Pinta Manik segera mengadakan perundingan.
"Siapapun komplotan yang hendak menyerbu itu aku tidak takut," kata Singkil Alit.
"Namun
yang bergelar Sultan Maut meskipun kita tak akan kalah menghadapinya,
perlu diperhitungkan. Dia dekat dengan Istana Banten…"
"Kalau kita bisa menyusun rencana kenapa musti khawatir. Aku ada usul." kata Tembesi pula.
***

HARI MASIH
terang-terang tanah ketika lima sosok tubuh berpakaian serba hitam
berkelebat laksana hantu malam, bergerak mengelilingi pondok kayu.
Tiba-tiba di dalam pondok terdengar seruan. "Semua bangun! Ada orang datang."
Serentak
pintu depan terpentang, jandela samping terbuka. Tiga orang tegak di
halaman samping, menghadapi lima lainnya yang berpakaian serba hitam
yang bukan lain dalah Singkil Alit, Rah Tongga, Tembesi, Wiracula dan
Rangga.
Tiga orang yang barusan menghambur dari dalam pondok adalah
pemuda Indrajit anak murid Ki Mlatrayasa dari perguruan siiat Elang
Putih, lalu kakek bermuka hijau yang dikenal dongan sabutan Datuk Hijau.
Sedang yang ketiga adalah Gitasula, saudara sepupu mendiang Ki
Matrayasa.
"Hamm,.. kulihat cuma tiga ekor monyet! Mustinya lebih
banyak dari ini. Mana monyetmonyet lainnya?!" Singkil Alit alias Harimau
Hitam buka suara.
Kakek bermuka hijau perdengarkan suara tartawa. Sambil kucak-kucak mata dia berkata.
"Jauh-jauh
menyusun rencana, tahu-tahu yang dicari datang sendiri unjukkan
tampang! Manusiamanusia iblis Kota Hantu. Mana kambratmu yang satu lagi?
Mengapa cuma muncul berlima?!"
Mendengar sebutan iblis Kota Hantu
itu kagetlah Indrajit. Sebelumnya dia memang tak pernah melihat atau
mengenal manusia-manusia ini. Begitu mengetahui kalau lima orang
berpakaian serba hitam bertampang ganas itu adaiah manusia-manuaia
durjana yang telah membunuh gurunya serta merta Indrajit melompat dan
membentak.
"Kelian telah membunuh ketuaku! Sebelum matahari terbit kalian berlima harus mampus di tanganku!"
"Anak muda!" ujar Rah Tongga. "Ucapanmu karen amat! Apa ingin buru-buru menyusul ketuamu?!"
Panaslah hati Indrajit. Mendidih amarahnya. Dia menghantam ke arah Rah Tongga.
"Cacing
ingusan! Berani bermulut besar berani menerima bagian!" kata Rah Tongga
dan sambut pukulan Indrajit dengen tangkisan lengan kiri. Semula
manusia iblis ini tidak memandang sebelah mata pada anak murid perguruan
silat Elang Putih itu. Tapi begitu lengan mereka saling beradu, tampak
jelas Rah Tongga mengerenyit menahan sakit. Sebaliknya Indrajit tersurut
satu langkah. Meski tangannya tidak sakit namun pemuda ini menyadari
kalau lawan memiliki tenaga lebih besar. Karenanya dengan mengerahkan
tenaga dalam dia kembali menyerang. Singkil Alit danWiracuia tak tinggal
diam. Keduanya menyerbu kakek bermuka hijau.
Sementara Tambesi dan Rangga menerjang Gitasula.
Datuk
hijau adalah tokoh tua yang sudah lama tidak muncul dalam dunia
persilatan. Sebetulnya kakek ini tidak berminat lagi mencampuri segala
macam urusan dunia persilatan. Dia
lebih banyak menyepi diri. Namun
kemunculan enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit alias
Harimau Hitam dan berdirinya Kota Hantu mau tidak mau membangkitkan
semangat muda sang datuk yang ingin melihat tegaknya kebinaran dan
hancurnya kejahatan. Namun niat sang datuk untuk berbuat kebajikan
sekali ini rupanya tak bakal kesampaian karena ternyata dua lawan yang
dihadapinya memiliki kepandaian tinggi.
Korban pertama yang jatuh
dalam pertempuran itu adalah Gitasula. Pengeroyokan atas dirinya
berlangsung sembilan jurus ketika Rangga dan Tembesi keluarkan senjata
yakni berupa best hitam yang ujungnya diganduli bola besi penuh duri
tajam. Setiap pimpinan Kota Hantu memiliki senjata seperti itu danselalu
mereka keluarkan bilamana lawan yang dihadapi dianggap cukup kuat tak
mungkin dikalahkan dengan ilmu silat tangan kosong.
Gitasula yang
mempertahankan diri dengan sebilah pedang keluarkan seluruh
kepandaiannya. Pedang saatnya menyabet kian kemari membentuk
bayang-bayang masuk. Puncak kehebatan Gitasula hanya sampai pada
kesanggupan merobek perut pakaian Rangga. Di lain saat bola besi berduri
di ujung rantai Tembesi melabrak bahu kanannya hingga lelaki ini
terbanting sempoyongan ke kiri. Daging dantulang bahunya hancur. Darah
membasahi sisi kanan tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu Rangga datang
menyerbu. Rantai hitam di tangan kanannya berdesing berputar-putar. Bola
berAri tiba-tiba melesat ke muka Gitasula. Gitasula yang tidak mampu
membuat gerakan mengelak terpaksa angkat tangan kiri untuk menangkis.
Dia memilih memukul rantai besi dari pada memukul bola berduri.
Krak!
Terdengar
suara patahnya tulang lengan Gitasula ketika tangannya beradu dengan
rantai besi. ban nyatanya dia tidak pula berhasil menyelamatkan mukanya
karena akibat pukulan pada rantai besi, bola besi justru melentur
melejit menghantam mukanya lebih cepat dan lebih keras!
Gitasula
terlontar beberapa langkah. Terkapar di tanah dengan muka hancur
mengerikan. Melihat kematian Gitasula, Indrajit berteriak marah. Seperti
orang kemasukan setan dia menyerang Rah Tongga dengan jurus-jurus
terhebat dari ilmu silat Elang Putih. Tubuhnya berkelebat kian kemari.
Sepasang tangannya laksana dua sayap burung elong, mengembang
mengirimkan serangan yang tiada henti.
Sedang kakinya kiri kanan pada
waktu-waktu tertentu lancarkan tendangan yang tidak terduga Rah Tongga
jadi kaget ketika dapatkan dirinya terkurung rapat dan tak mampu
membalas. Dia mundur terus sampai akhirnya satu pukulan mengenai rusuk
kanannya. Dadanya terasa sesak, tak dapat dipastikan apakah ada
tulangnya yang patah. Yang jelas amarahnya menggelegak. Terlebih ketika
didengarnya ejekan Tembesi.
"Tongga! Ternyata kau tak sanggup menghadap pemuda yang kau anggap cacing ingusan itu! Sarahkan dia pada kami!"
"Tutup
mulutmu Tembesi! Sebentar lagi kutekuk batang lehernya!" sahut Rah
Tongga dengan muka marah. Habis berkata begitu manusia iblis ini
loloskan rantai hitam yang ujungnya bola-bola berduri lalu mengamuk
menggempur Indrajit. Mendapat serangan ganas begini rupa, yang tak
mungkin dihadapi dengan tangan kosong, murid mendiang Ki Matrayasa itu
segera keluarkan pula senjatanya, sebilah pedang yang memiliki ketajaman
pada kedua sisinya. Di bagian lain walaupun sudah mengurung rapat namun
Singkil Alit dan Wiracula masih belum sanggup merubuhkan si kakek muka
hijau yang gerakannya ternyata ringan sekali dan pukulan-pukulannya
terarah ke bagian-bagian tubuh berbahaya kedua lawannya. Namun kematian
Gitasula mempengaruhi diri kakek ini, hingga gerakan-gerakannya menjadi
sedikit lamban.
Walaupun begitu tetap sulit bagi dua lawannya untuk menerobos, susupkan pukulan atau tendangan.
"Setelah
menunggu lagi tiga jurus dan tetap tak mampu berbuat lebih banyak,
Singkil Alit berikan isyarat pada Wiracula. "Dari mulut Singkil Alit
keluar suara mengaum separti auman harimau. Tubuhnya miring ke depan,
kedua kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke depan,
kedua tangan menggapai mencengkeram, persis seperti harimau yang hendak
melahap mangsanya.
Wiracula keluarkan suara tak kalah seramnya. Dia
menggereng macam harimau terluka. Kalau Singkil Alit menerjang dari
depan maka dia melesat dari samping kiri. Datuk Hijau maklum kalau dua
lawan telah keluarkan jurus-jurus silat mereka yang terhebat. Karananya
diapun tak mau berbuat lalai. Kedua tangannya bergerak ke pinggang.
Sesaat kemudian tangannya kiri kanan telah memegang sehelai sapu tangan
putih. Sapu tangan itu disapukannya ke mukanya yang hijau. Aneh, begitu
disapukan saputangan yang tadi berwarna putih itu kini berubah jadi
hijau. Dan begitu lawan mendekat, Datuk Hijau kebutkan dua helai sapu
tangan itu menyongsong serangan. Angin keras menderu disertai
membersitnya sinar hijau yang jelas kelihatan karena saat itu hari telah
mulai pagi dan terang. Kehebatan ilmu si kakek mau tak mau membuat
kaget dua manusia iblis itu.
"Keparat tua ini ternyata masih punya
kuku. Kalau tak lekas dihabisi bisa berabe!" pikir Singki Alit. Maka
sebelum dua tangannya yang menggapai mencengkeram ke depan bergerak
lebih jauh, tiba-tiba pemimpin Kota Hantu ini berputar berjumpalitan ke
kanan. Di saat itu pula terdengar suara berdesing dan sambaran benda
hitam! Ternyata Singkil Alit telah loloskan rantai hitam yang ujungnya
diganduli bola berduri.
Bret!
Sapu tangan di tangan kiri Datuk
Hijau robek Singkil Alit melompat mundur dengan wajah berubah meski dia
berhasil menghancurkan senjata lawan, namun tonjolan runcing pada bola
besi hitamnya tampak rontok! Benar-benar tak masuk akal baginya. Kain
yang begitu lunak sanggup menghancurkan duri besi. Dapat dibayangkan
kalau yang kena dihantam adalah daging atau tulang manusia!
Kehebatan
sapu tangan hijau sang datuk rupanya, dirasakan juga oleh Wiracula.
Angin yang keluar dari sapu tangan di tangan kanan Datuk Hijau
seolah-olah badai besar yang datang menggulungnya hingga gerakannya
tertahan. Ketika dicobanya mendobrak ke depan dengan melipatgandakan
tenaga dalam dan lawannya kebutkan sapu tangan hijau, Wiracula
terpental. Hampir saja dia kena terserempet serangan susulan Datuk Hijau
kalau sang datuk tidak cepatcepat tarik serangannya karena dari lain
jurusan kembali menderu bola besi yang dihantamkan Singkil Alit!
Kegesitan
dan kecepatan gerakan mambuat Indrajit berkali-kali hampir mencelakai
lawannya. Sebaliknya Rah Tongga, iblis yang berbadan paling gendut itu
makin lama makin lamban gerakannya. Tenaganya terkuras karena serangan
rantai dan bola besinya selalu mengenai tempat kosong. Karena tidak
berhasil menghantam tubuh atau kapala lawan dengan senjatanya maka, Rah
Tongga kini arahkan serangannya untuk memukul tangan atau pedang
Indrajit. Si pemuda yang nengetahui maksud lawan pergunakan kecerdikan
untuk menghindari bentrokan senjata. Akibatnya serangan-serangan Rah
Tongga semakin kacau balau. Memang patut diketahui sabagai murid tertua
dari perguruan silat Elang Putih, dalam ilmu padang Indrajit telah
mewarisi seluruh kapandaian gurunya. Apalagi dia berkelahi dengan
semangat tinggi demi untuk membalas kematian sang guru. Setelah
bertempur lebih dari dua puluh lima jurus, mulai terdengar suara bret…
bret! Robeknya pakaian hitam yang dikenakan Rah Tongga, dicabik ujung
padang si pemuda. Menusia iblis ini keluarkan keringat dingin dan putar
rantai besinyamya lebih sebat!
Melihat dua kawannya yaitu Tembesi dan
Rangga hanya tegak cengar cengir sementara dia dan yang lain-lainnya
masih terus bertempur menghadapi lawan tangguh, Singkil Alit jadi berang
dan berteriak.
"Tembesi! Bantu Rah Tongga! Dan kau Rangga, bantu aku
menghadapi tua bangka muka hijau ini!" Mendengar perintah itu Tembesi
segera melompat ke samping Rah Tongga, langsung menyerang Indrajit
dengan rantai hitam bola besi. Rangga juga sudah menerjang Datuk Hijau
dengan senjata yang sama dari arah belakang.
Dengan ketambahan satu
lawan masing-masing, Indrajit dan Datuk Hijau kini berada dalam keadaan
terancam. Bagaimanapun mereka kerahkan kepandaian namun dikeroyok begitu
rupanya jurus demi jurus keduanya semakin terdesak. Datuk Hijau yang
dikeroyok tiga mengalami nasib buruk lebih dahulu. Rantai hitam Wiracula
berhasil melibat lengan kanan kakek muka hijau itu. Meskipun dengan
cepat dia mampu meloloskan libatan rantai namun dua pengaroyoknya yang
lain pergunakan kesempatan untuk menyerang. Singkil Alit datang dari
sebelah kanan, sehingga dari sebelah belakang. Keduanya dengan hantaman
bola-bola besi. Datuk Hijau jatuhkan diri ke tanahnya terus bergulingan
dan memukul ke arah lawan terdekat yaitu Wiracula. Namun gerakannya
hanya ke sia-siaan belaka. Karena begitu tubuhnya miring ke depan, cepat
sekali bola besi di tangan Singkil Alit membalik menggebuk punggungnya.
Datuk
Hijau mengeluh tinggi. Tubuhnya terhambus ke tanah. Di saat itu pula
bola berduri di tangan Rangga membabat ke bawah, menghantam tengkuk si
kakek. Nyawanya putus detik itu juga!
"Tua bangka edan!" rutuk
Singkil Alit. Dia berpaling pada Tembesi dan Rah Tongga yang masih
menempur Indrajit. Dan berteriak. "Hanya seorang pemuda yang kalian
anggap cacing busuk. Kalian tak sanggup menghajannya. Tolol!"
Saat
itu sebenamya Indrajit berada dalam keadaan ginting. Melayani Rah Tongga
dia masih sanggup bahkan dalam beberapa jurus di muka pemuda ini segera
akan dapat menghabisi lawannya. Namun setelah Rah Tongga dibantu oleh
Tembesi, keadaan jadi berbalik. Kini Indrajit yang terdesak hebat. Di
satu jurus di mana dua bola besi melesat ganas mencari sasaran di tubuh
dan kepala si pemuda, Indrajit putar pedangnya sambil melompat. Sambaran
bola besi yang mengarah ke dada dapat dielakkan, namun dia terpaksa
pergunakan pedang untuk menangkis sambaran bola besi yang menghantam ke
kepalanya.
Treng!
Pedang di tangan lndrajit patah dua. Sementara
bola besi terus menyambar ke kepalanya. Dalam keadaan tak mungkin untuk
mengelak lagi, pemuda ini lemparkan patahan pedangnya ke arah Tembesi.
"Pemuda
gila!" maki Tembesi. Dia harus membuat gerakan mengelak jika tak ingin
terluka oleh patahan pedang. Tapi gerakan mengelak tak mungkin
dilakukannya jika dia masih terus memegang rantai hitamnya. Kerena ingin
melihat kematian si pemuda maka ia memilih melepas pegangannya pada
rantai hitam. Toh bola besi hanya tinggal setengah jengkai saja dari
kepala lawannya dan Indrajit tak mungkin selamatkan kepalanya.
"Ah, matilah aku!" ujar Indrajit dalam hati.
Trak!
Sepotong
kayu kecil tiba-tiba entah dari mana datangnya menyusup menahan
hantaman bola berduri. Ujung kayu itu patah tapi kepala Indrajit
selamat. Selagi pemuda ini tidak mengetahui jelas apa yang telah terjadi
tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipanggul orang dan dilarikan laksana
terbang. Di belakangnya terdengar bentakan-bentakan marah.
"Bangsat rendah! Siapa yang berani ikut campur urusan kami iblis-iblis Kota Hantu!"
"Tembesi! Kejar orang itu!" perintah Singkil Alit.
Namun
Indrajit tidak melihat ada yang mengejar. Orang yang melarikannya
memiliki ilmu lari luar biasa. Tak mungkin dikejar. Pemuda ini berusaha
untuk melihat wajah orang yang memanggulnya itu. Tapi tidak bisa karena
rambut panjang putih orang itu, yang tertiup angin, menutupi wajahnya.
***

"DUA PULUH
pemuda menunggang kuda menuruni lembah dengan cepat mengiringi dua
orang di sebelah depan. Orang ini adalah seorang lelaki berjubah putih
dan mengenakan topi berbentuk sorban tinggi juga berwarna putih. Yang
kedua seorang pemuda bertubuh ramping yang secara aneh menutupi wajahnya
dengan sehelai kain biru hingga sepasang alis dan matanya saja yang
kelihatan.
Rombongan itu bergerak cepat menuju pondok kayu di lembah Cilendak. Dari jauh pondok tampak sepi. Pintu dan jendela tertutup.
"Mudah-mudahan
kita tidak terlambat!" kata orang tua bersorban putih. Dia adalah
Sultan Maut. Pemuda di sebelahnya, yang bercadar kain biru hanya dikenal
dengan nama Pandu. Dua puluh anak muda penunggang kuda merupakan
murid-murid perguruan silat Elang Putih. Sesuai dengan perjanjian, pagi
itu mereka berkumpul dan bergabung di lembah Cilendak. Menjelang malam,
setelah lebih dulu beristirahat dan mematangkan siasat baru mereka
bergerak menuju Kota Hantu. Di tengah jalan diharapkan beberapa orang
pandai lainnya akan ikut bergabung.
"Sahabat-sahabat! Kami datang!"
seru Sultan Maut. Mulutnya hanya bergerak sedikit tetapi suaranya keras
menggetarkan seantero lembah. Dari dalam pondok tak ada jawaban.
"Aneh," kata Pandu. "Apakah sesiang ini mereka masih ketiduran! Kalau musuh datang membokong bisa habis mereka semua!"
"Indrajit! Datuk Hijau! Gitasula!" kembali Sultan Maut memanggil. "Kalian ada di dalam?!"
Tiba-tiba
jendela di samping kanan pondok terpentang. Sesosok tubuh melesat
keluar dan tarkapar di tanah, di hadapan rombongan yang baru datang.
Serta merta semua orang itu menjadi terkejut. Sepasang mata Sultan Maut
sampai mendelik. Dia melompat dari kudanya, diikuti Pandu serta belasan
pemuda lainnya.
"Astaga! Ini Gitasula!" seru Sultan Maut. Meskipun wajah orang itu hancur namun dia masih bisa mengenali sahabatnya ini.
"Dia
korban pembunuhan!" desis Pandu dan memandang berkeliling. Lalu memberi
perintah pada puluhan pemuda. "Kurung pondok!" Maka dua puluh murid
perguruan Elang Putih segera mengurung pondok kayu di tengah lembah itu.
Masing-masing siap dengan senjata. Sultan Maut tak dapat memastikan
dengan botol apa Gitasula dihantam hingga mukanya hancur begitu rupa.
Perlahan-lahan orang tua ini berdiri dan memandang tajam itu arah
pondok.
"Siapa di dalam pondok? Lekas keluar!" orang tua ini
membentak. Baru saja bentakan sirap mendadak pintu pondok terbuka, lebar
dan sesosok tubuh dilemparkan keluar. Sultan Maut dan Pandu melengak
kaget dan sama-sama berseru kaget tegang. Tubuh yang menggeletak di
hadapan mereka adalah tubuh Datuk Hijau. Kakek ini juga mati serba
mengenaskan. Tubuhnya hancur di beberapa bagian.
"Pandu, siapapun
yang membunuh para sahabat kita ini, pembunuhnya pasti ada di dalam
pondok itu. Bersiap untuk menghancurkan bangunan itu!" kata Sultan Maut.
Pendu memberi isyarat pada dua puluh anak murid perguruan. Namun dia
ingat sesuatu lalu berbisik pada Sultan Maut. "Saya belum melihat
Indrajit. Apakah dia juga telah jadi korban dan akan dilemparkan ke
hadapan kita kali berikutnya?!"
Tiba-tiba dari dalam pondok terdengar
tertawa bergelak. Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, bertampang
ganas dan masing-masing mencekal rantai hitam yang ujungnya diganduli
bola besi barduri, berkelebat, tegak menyebar. Mereka bukan lain adalah
lima dari enam iblis Kota Hantu.
Singkil Alit angkat tangan kirinya serta merta kawan-kawannya hentikan tertawa.
"Sultan Maut! Selamat datang di pondok maut ini!" kata Singkil Alit.
"Iblis terkutuk! Jadi kalian yang punya pekerjaan ini?!" ujar Sultan Maut geram.
Singkil Alit menyeringai.
"Kami
sengaja datang kemari agar kau dan kawan-kawanmu tidak usah capaikan
diri jauhjauh ke Kota Hantu. Kami kawatir kalau-kalau tidak dapat
menyuguhkan sambutan yang layak di Kota Hantu. Karenanya kami menunggu
di sini. Ketika kami datang ternyata sahabat-sahabat kalian yang sudah
lebih dulu berada di sini, begitu ingin cepat-cepat mampus. Maka kami
membukakan pintu maut baginya." Habis berkata begitu Singkil Alit dan
keempat anak buahnya kembali tertawa gelak-gelak.
"Setahuku kalian berjumlah enam manusia. Manusia-manusia iblis puntung neraka. Mana koncomu yang satu lagi!" membentak Pandu.
"Anak muda, sikapmu boleh juga. Kau akan jadi korbanku pertama!" sahut Singkil Alit
"Dimana ka wanku yang satu berada kau tak usah tahu…."
"Lalu di mana Indrajit?"
"Itupun kau tak perlu tahu!"
"Kalau
begitu makan tanganku!" Pandu jadi marah. Tubuhnya berkelebat ke depan.
Tangannya menghantarn. Ganda tertawa Singkil Alit angkat tangan
kirirtya. Maksudnya sekali bergerak aja dia hendak menangkap tangan
pemuda bertubuh ramping itu. Apalagi gerakgeriknya yang kelihatan lembut
maka si Harimau Hitam menganggap enteng serangan lawan. Tetapi alangkah
kagetnya Singkil Alit ketika tiba-tiba serangan tangan itu ditarik
pulang, dengan memiringkan tubuhnya Pandu kini ganti menghantam dengan
satu tendangan.
Buk!
Singkil Alit terpekik.
Tulang lengannya seperti patah dan persendian tangan kirinya laksana tanggal.
"Edan!"
teriaknya marah. Dia memeriksa dengan cepat dan hatinya jadi lega
ketika mengetahui bahwa hanya bagian luar lengannya saja yang cidera.
"Pemuda keparat! Buka cadarmu! Aku tidak suka membunuh orang tanpa
melihat tampangnya lebih dulu!"
Pandu tartawa sinis. "Kalau kau sudah
mampus dan berkumpul dengan hantu-hantu liang kubur, baru nanti kau
bisa melihat tampangku!" kata pemuda ini.
"Kau betul-betul minta mampus!" Singkil Alit marah sekali lalu putar rantai hitamnya.
Empat
kawannya tidak tinggal diam. Dua melompat menghadang gerakan Sultan
Maut sedang dua lagi menyerbu menghadapi dua puluh murid perguruan Elang
Putih yang telah pula mulai bergerak menyerbu.
Pertempuran sangat
hebat berlangsung di lembah Cilendak itu. Tembesi dan Rah Tongga
mengeroyok Sultan Maut, Singkil Alit menghadapi Pandu sedang Wiracula
dan Rangga membendung gempuran dua puluh pemuda bersenjata. Meskipun
lawan yang dihadapi dua iblis terakhir ini jauh lebih banyak namun
pemuda-pemuda tersebut belum memiliki tingkat kepandaian yang bisa
diandalkan. Akibatnya terjadilah hal yang mengerikan. Di mana-mana
terdengar jerit kematian. Kedua puluh pemuda murid perguruan Elang Putih
menemui ajal atau luka parah dihantam dan digebuk rantai hitam atau
gandulan besi. Sosok tubuh mereka berkaparan di mana-mana. Erangan
mereka yang luka-luka dan yang meregang nyawa mendirikan bulu roma!
Sultan
Maut merasakan darahnya mendidih. Namun dia tak mau berlaku nekad. Dua
lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Jika dia terpengaruh
hawa amarah, akan mudah bagi lawan untuk mencelakainya. Di samping itu
dia mencemaskan pula keadaan Pandu yang bertempur mati-matian dengan
Singkil Alit. Pemuda itu, walau memiliki kegesitan serta kecepatanatan
dan tingkat tenaga dalam yang tidak rendah, namun sulit baginya untuk
mengalahkan manusia bergelar Harimau Hitam itu. Apalagi Pandu sampai
saat itu hanya mengandalkan tangan kosong sedang lawan menggempur tiada
henti dengan rantai hitam bola besi berduri. Di satu kesempatan Sultan
Maut ambil sebilah keris dari balik jubahnya dan melemparkan senjata ini
ke arah Pandu. Dengan sigap si pemuda menangkap keris itu. Langsung
mengeluarkannya dari sarungnya. Sarung di tangan kiri, keris di tangan
kanan, Pandu menghadapi lawannya dengan penuh percaya diri. Apalagi dia
tahu betul keris berluk sembilan milik Sultan Maut merupakan senjata
sakti. Ketika dua kali dia sempat bentrokan senjata dengan lawan, bunga
api memercik. Tangannya yang memegyang keris bergetar hebat tetapi
dilihatnya Singkil Alit juga seperti kesemutan. Dengan mengandalkan
kegesitannya, Pandu menyelusup di antara taburan serangan rantai hitam
lawan. Namun untuk menumbangkan Singkil Alit tentu saja bukan satu hal
yang mudah bagi pemuda ini. Dan dadanya bergetar ketika dilihatnya
Wiracula dan Rangga yang baru saja membantai dua puluh murid perguruan
silat Elang Putih, kini tampak siap bergabung dengan pimpinn mereka.
Kesulitan
yang bakal dihadapi Pandu diketahui pula oleh Sultan Maut. Maka orang
tua ini membuat gebrakan-gebrakan aneh. Setiap menyerang dari mulutnya
selalu terdengar suara tertawa nyaring yang hampir menyerupai suara kuda
meringkik. Suara tawa ini bukan saja menyakitkan telinga kedua
pengaroyotcnya tapi juga mempengaruhi gerakan-gerakan mereka.
Singkil
Alit yang punya lebih banyak pengalaman dari pada empat kawannya segera
maklum kalau Sultan Maut tengah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka,
cepat dia berteriak memberi ingat pada Tembesi dan Rah Tongga agar
keduanya menutup jalan suara. Namun terlambat. Saat itu Sultan Maut
berhasil menyusupkan tendangannya ke bawah perut Rah Torrgga. Lelaki ini
menjerit setinggi langit. Tubuhnya terpental dan jatuh tarkapar di
tanah tak berkutik, pingsan. Seumur hidup kalau dia hidup kelak dia akan
menjadi cacat, tidak lagi memiliki kemampuan kelelakiannya!
Singkil
Alit menggereng marah. Dia putar-putar rantai hitamnya. Bola besi
berduri di ujung rantai menderu sebat. Sesaat ketika dia siap menyerbu
ke arah Sultan Maut, tiba-tiba didengarnya seruan Wiracula.
"Singkil! Lihat! Pemuda ini ternyata seorang gadis jelita…"
Semua orang terkejut. Terutama Singkil Alit sedang Sultan Maut diam-diam mengeluh dalam hati. Apakah yang telah terjadi!
Ketika
berlangsung perkelahian seru antara Pandu dan dua pengeroyoknya, di
saat Singkil hendak menerjang ke arah Sultan Maut, Wiracula berhasil,
menjambret cadar biru yang menutupi wajah Pandu. Begitu kain penutup
muka si pemuda tersingkap, kelihatanlah satu wajah yang tidak terduga.
Ternyata pemuda itu adalah seorang gadis berparas cantik. Singkil Alit
sendiri sampai terbelalak. Tak pernah dia melihat dara secantik itu.
Sedang Tembesi yang memang paling buas dengan perempuan tampak
menyeringai. Tenggorokannya turun naik.
"Tangkap dia hidup-hidup! Dia milikku!" teriak Tembesi.
Selintas
akal licik muncul di benak Singkil Alit. Berempat mereka pasti bakal
dapat mengalahkan Sultan Maut. Namun jika mereka bisa melumpuhkan orang
tua berkepandaian tinggi itu mengapa tidak dilakukan? Maka pimpinan
manusia-manusia iblis ini segera berteriak beri perintah.
"Kelian bertiga tangkap gadis itu hidup-hidup!"
Tembesi melompat lebih dulu. Wiracula dan Rangga menyusul.
Sultan
Maut yang maklum bahaya yang bakal dihadapi Piranti alias Pandu cepat
melompat guna bergabung dengan si gadis. Namun gerakannya dihadang oleh
Singkil Alit.
"Iblis laknat! Mampuslah!" kertak Sultan Maut. Dari
mulutnya keluar suara tertawa meringkik Singkil Alit cepat tutup
pendengarannya dan sebatkan rantainya ke arah kepala lawan. Sultan Maut
merunduk seraya balas menghantam dengan pukulen tangan kosong yang
didahului siuran angin tanda orang tua ini memukul dengan pengerahan
tenaga dalam. Untuk elakkan serangan lawan Singkil Alit bergerak cepat
satu langkah ke kiri. Dari kedudukannya yang baru dia ayunkan rantai
hitam di tangan kanannya. Rantai ini seperti sebilah pedang yang
menyinarkan warna hitam membabat tangan Sultan Maut sedang bagian
ujungnya yang berbentuk bola berduri menghujam ke arah bahu orang tua
itu. Terpaksa Sultan Maut tarik pulang serangannya dan ganti dengan
tendangan ke arah bawah perut lawan. Tendangan seperti inilah yang tadi
menghantam dan membuat pingsan Rah Tongga.
Namun sekali ini bukan
saja tendangan maut tersebut dapat dielakkan lawan, malah orang tua itu
dibikin kaget oleh seruan salah seorang manusia iblis Kota Hantu yang
mengeroyok Piranti.
"Singkil! Kami telah meringkus gadis ini!"
Sultan
Maut melompat mundur. Berpaling ke kiri dilihatnya Piranti tegak tak
bergerak. Jelas gadis ini telah ditotok hingga tak bisa bergerak ataupun
bersuara.
"Tembesi!" seru Singkil Alit. "Aku masih belum percaya dia seorang perempuan. Coba buktikan padaku!"
"Manusia iblis! Jika kalian berani menjamah tubuhnya kuhancurkan kepala kalian!" mengancam Sultan Maut.
Tapi
Singkil Alit, Wiracula dan Rangga sudah mengurungnya, membuat orang tua
ini tak bisa bergerak. Sementara itu dengan menyeringai penuh nafsu
Tembesi gerakkan tangan kanannya ke dada Piranti.
Bret!
Dada pakaian gadis itu robek besar. Dadanya yang putih tersingkap. Sepasang payudaranya jelas terlihat membusung kencang.
"Ha…
ha… ha.!" tawa Singkil Alit. "Sekarang aku percaya. Lalu dia berpaling
pada Sultan Maut dan berkata, "Orang tua, memandang mukamu dan menimbang
hubunganmu dengan Istana Banten, aku masih suka membuat perjanjian
denganmu…."
"Perjanjian apa?!" tanya Sultan Maut dengan mata melotot.
"Gadis itu tidak akan kami apa-apakan. Tapi kau ikut dengan kami ke Kota Hantu. Tinggal di sana dan bekerja untuk kami!"
"’Kau lebih baik bunuh aku detik ini juga dari pada menjadi budak tawanan!" sahut Sultan Maut tegas.
"Begitu
….?" Singkil Alit lambaikan tangannya pada Tembesi. "Bawa gadis itu ke
dalam pondok. Kau boleh memperkosanya sampai puas!"
Kegirangan, tanpa tunggu lebih lama Tembesi segera panggul tubuh Piranti.
"Tunggu!" seru Sultan Maut.
"Eh,
kau merubah pikiranmu?!" tanya Singkil Alit. "Kenapa mau jadi orang
tolol. Kau tak bakal menang menghadapi kami. Kau bakal mati percuma dan
gadis itu tetap saja tidak tertolong!"
Sultan Maut merasakan darahnya
seperti mendidih dan dadanya seolah-olah mau meledak oleh amarah. Namun
memang dia tak bisa berbuat banyak. Kalaupun dia melanjutkan
pertempuran dengan nekad, satu atau dua lawannya mungkin sanggup
dibunuhnya, namun dia sendiri tak akan lolos dari kematian. Dan Piranti
akan menjadi korban kebuasan manusiamanusia iblis itu.
"Baiklah "
kata Sultan Maut dengan suara tersendat. "Aku ikut bersama kalian. Tapi
pegang janji kalian. Jangan ganggu cucuku itu…."
"Ah, jadi dia
cucumu. Apalagi cucumu. Masakan kami akan mengganggunya!" ujar Singkil
Alit. "Tembesi, tutup pakaian gadis itu kembali. Biarkan dia tertotok.
Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
"Ah, rejekiku belum
kesampaian. Sayang… sayang…." kata Tembesi agak kesal. Tapi dia tahu,
sesampainya di Kota Hantu perjanjian yang dibuat dengan Sultan Maut saat
itu pasti akan berubah.
***

UNTUK
mempercepat perjalanan Singkil Alit dan rombongan mengambil jalan
pintas lalu menyusuri kali Cikajang. Di satu tempat di mana air kali
mendangkal mereka menyeberang. Sebelum senja diharapkan mereka sudah
sampai di Kota Hantu. Di sebelah barat langit tampak menguning tanda
matahari segera akan tenggelam. Selagi rombongan menyusuri hutan kecil
di sebelah barat kaki gunung Halimun mendadak terdengar suara bebunyian.
"Ada yang meniup seruling!" kata Wiracula sambil mencari-cari kian kemari dari mana datangnya tiupan seruling itu.
Singkil Alit mengangkat tangan kiri, memberi tanda. Seluruh rombongan berhenti.
"Itu
bukan tiupan suling biasa!" kata pimpinan Kota Hantu ini. "Jelas
menusuk telinga, menggetarkan gendang-gendang. Lagunya aneh, naik turun,
tinggi rendah tak menentu. Tak pernah kudengar nyanyian seperti itu.
Kita lanjutkan perjalanan tapi bersiaplah. Bukan tidak mungkin ada orang
pandai yang bermaksud menghadang kita. Perhatikan kedua tawanan …"
Yang
dimaksudkan dua tawanan bukan lain adalah Piranti dan Ingar Candra
alias Sultan Maut. Si gadis berada dalam keadaan tertotok menggeletak di
pangkuan Tembesi. Sultan Maut menunggang kuda dbngan tangan terikat dan
diapit oleh Wiracula serta Rangga. Rah Tongga yang dalam keadaan sakit
menunggangi kuda setengah tiduran. Keadaan manusia iblis satu inilah
yang membuat rombongan tak bisa bergerak lebih cepat. Suara tiupan
suling semakin santar tanda makin dekat.
"Lihat di atas sana!"
tiba-tiba Rangga berseru sambil menunjuk ke sebuah pohon nangka hutan
yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang besar-besar.
Semua mata
segera dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Di sebuah cabang pohon tampak
duduk seorang pemuda berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan kain
putih. Pakaian putihnya tampak kumal. Dia duduk di cabang pohon yang
tinggi itu sambil uncang-uncang kaki.
Ditangannya ada sebuah benda
aneh. Berbentuk kapak bermata dua, memiliki gagang berbentuk tubuh ular
naga dan ada lobang-lobangnya. Ujung gagang yang merupakan kepala seskor
naga menempel ke bibir si pemuda. Gagang senjata itulah yang ditiupnya
seperti sebuah suling. Sepasang mata kapak tampak berkilauan terkena
sinar matahari yang hendak tenggelam.
"Orang gila dari mana itu?!" ujar Wiracula.
"Dia
bukan orang gila! Tak ada orang gila yang pandai memanjat pohon
setinggi itu!" tukas Singkil Alit. "Tiupan sulingnya tak mungkin bisa
menyakitkan telinga kalau dia tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan
suling yang dipegangnya jelas bukan sembarang suling."
"Lalu apa yang
akan kita lakukan?!" ujar Tembesi sambil usap-usap tubuh Piranti. Dia
ingin cepat-cepat sampai di Kota Hantu dan langsung membawa gadis itu ke
rumahnya walau sudah ada perjanjian antara Singkil Alit dan Sultan
Maut.
"Kita tetap lewat di bawah pohon. Jangan perdulikan orang di
atas sana. Dan jangan coba mengusik! Kalau dia yang lebih dulu mencari
lantaran baru kita habisi!" jawab Singkil Alit. Lalu dia memberi tanda
agar rombongan segera bergerak. Tapi gerakan rombongan tertahan ketika
di atas pohon pemuda peniup suling mendadak membuat gerakan aneh.
Tubuh
pemuda itu tiba-tiba jatuh ke bawah, berputar memuntir pada cabang
pohon yang tadi didudukinya lalu hup! Tubuhnya jatuh dan berpindah ke
cabang di bawahnya. Di cabang ini si pemuda kembali duduk uncang-uncang
kaki tiup sulingnya. Sesaat kemudian malah dia menyanyi membawakan
senandung aneh,
Sang surya siap tenggelam
Serombongan setan berjalan pulang.
Pesta perkawinan telah lama dimulai.
Lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai
Lima iblis bermuka bengis
Lima durjana ditunggu liang neraka
Lekas pergi lekas pulang
Terlambat datang sang pengantin keburu busuk
Habis bernyanyi pemuda itu kembali tiup sulingnya.
Paras
Singkil Alit dan kawan-kawannya tampak berubah. Jelas lima iblis lima
durjana dalam nyanyian itu yang dimaksudkan adalah dia dan
kawan-kawannya. Tapi apa arti kalimat “pesta perkawinan telah dimulai”,
“lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai”, “terlambat datang sang
pengantin keburu busuk”.
"Hanya orang gila berkepandaian sejengkal
tak perlu dihiraukan Singkil!" kata Wiracula kembali. Dia tetap
menganggap pemuda di atas pohon nangka itu orang gila.
"Hatiku tidak
enak …." desis Singkil Alit. Sementara itu Sultan Maut sejak tadi
memandang tak berkesip pada pemuda di atas pohon. Yang lalu pusat
perhatiannya adalah kapak bergagang tubuh dan kepala ular naga itu. Dia
coba mengingai-ingat. Tapi menyesali diri sendiri karena di usia setua
itu ingatannya tidak terang lagi. Walau bagaimanapun dia tetap yakin
paling tidak pernah mendengar tentang senjata yang dijadikan suling oleh
pemuda tak dikenalnya itu. "Kita lanjutkan perjalanan!" kata Singkil
Alit akhirnya.
Rombongan kembali bergerak. Tapi-lagi-lagi tertahan
ketika dari atas pohon terdengar si pemuda berkata, "Memang kalian harus
lekas-lekas berangkat. Aku titip bungkusan ini. Sekedar hadiah pada
pesta perkawinan…"
Dari balik punggungnya pemuda di atas pohon
keluarkan sebuah benda sebesar kepala yang dibungkus dengan sehelai
kertas warna warni. Ujung kertas itu dikuncir dan diikat dengan seutas
benang. Ujung benang yang lain dipegang oleh si pemuda. Perlahan-lahan
bungkusan itu diturunkannya ke bawah, bau anyir busuk menghampar.
Bungkusan bulat terus turun agaknya sengaja diarahkan kepangkuan Singkil
Alit sementara bau busuk tambah menjadi-jadi. Saking marahnya karena
dipermainkan begitu rupa Singkil Alit tak dapat menahan diri lagi. Dia
hantamkan tandangannya ke arah bungkusan. Tapi si pemuda di atas pohon
cepat menariknya tinggi-tinggi sehingga pukulan Singkil Alit hanya
mengenai angin. Tiba-tiba pemuda itu lepaskan ujung benang. Bungkusan
bulat langsung jatuh ke pangkuan Singkil Alit.
Ketika Singkil Alit
hendak melemparkan bungkusan busuk itu si pemuda berkata, "Kalau kau tak
mau ketitipan bungkusen hadiah pesta perkawinan itu, mengapa tak ingin
melihat isinya?!"
"Gila! Siapa sudi melihat isi bungkusan busuk itu!"
bentak Singkil Alit. Lalu lemparkan bungkusan ke tanah. Bersamaan
dengan itu dia memberi isyarat pada Rangga. Dari atas punggung kudanya
Rangga melompat. Ditangannya telah tergenggam rantai hitam berujung bola
besi berduri. Senjata ini berdesing menghantam ke arah pemuda yang
duduk di cabang pohon!
Braak!
Cabang pohon hancur berantakan. Tapi
pemuda yang diserang telah lenyap. Hanya terdengar seruannya, "Sampai
jumpa di pesta perkawinan! Jangan lupa bawakan bungkusan itu!"
"Keparat!"
maki Singkit Alit. Dia tarik tali kekang kuda, siap untuk tinggalkan
tempat itu sementara hari mulai gelap. Namun hati kecilnya ingin juga
melihat apa sebenarnya isi bungkusan itu. Maka disuruhnya Rangga
mengambil bungkusan yang terjatuh di tanah.
"Buka!" perintah Singgil Alit.
Ketika dibuka kagetlah lima ibis Kota Hantu itu.
"Puranda!" seru mereka hampir berbarengan.
Begitu
bungkusan terbuka yang kelihatan adalah kepala manusia. Kepala manusia
ini adalah kepala Puranda, orang yang dipercayakan menjadi kepala
pengawal Kota Hantu karena terkenal kekejamannya dan pandai menjilat
pada enam pimpinan iblis Kota Hantu.
"Ada sebentuk tulisan di keningnya! Apa itu …?" tanya Singkil ketika melihat sederetan tulisan.
"Bukan tulisan Singkil…" menyahuti Rangga. "Tapi angka-angka…"
"Angka-angka apa?"
"Dua-Satu-Dua!" jawab Rangga.
212.
Mendengar
tiga angka itu barulah Sultan Maut ingat. Pemuda di atas pohon tadi
adalah Wiro Sableng. Senjata yang dijadikannya suling adalah Kapak Naga
Geni 212.
"Murid Sinto Gendeng … Dia ada di sini …" desis Sultan Maut. Ada kelegaan di hatinya.
Tapi
mengapa pemuda itu melenyapkan diri begitu saja? Tidak berusaha
menyelamatkan Piranti atau dirinya, tidak pula berusaha menyerang lima
iblis Kota Hantu itu?
Rangga yang melihat wajah pimpinan mereka menjadi pucat segera bertanya. "Singkil, kau tahu arti tiga angka ini!"
"Singkil
Alit tak menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. Dia
hanya melambaikan tangan memberi tanda agar rombongan segera melanjutkan
perjalanan.
"Aku hanya sering mendengar nama dan julukan pemuda itu.
Apakah dia benar-benar ada? Apakah tadi itu memang Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng? Kenapa seperti pemuda gila tak karuan . . ."
begitu Singkil Alit membatin sepanjang jalan. Hatinya semakin terasa
tidak enak.
***

DI
jalan yang menurun menuju pintu gerbang utara Kota Hantu ketika
kegelapan malam telah lama turun, Singkil Alit danrombongan hentikan
kuda masing-masing. Meskipun mereka berada di pedrr taran yang cukup
tinggi namun pandangan mereka terhalang oleh pagar batangan pohon jati
yang mengelilingi dan membentengi kota. Sesekali kelihatan kilapannyala
lampu.
"Aneh," kata Sinakil Alit seraya memandang pada keempat kawannya. "Aku mendengar suare alunan gamelan dari pusat kota … !"
Tiba-tiba
Singkil Alit ingat pada ucapan pemuda aneh di atas pohon. Pemuda itu
berulang kali menyebut pesta perkawinan. Apakah saat itu benar-benar ada
pesta di dalam kota? Seperti melupakan yang lain-lainnya Singkil Alit
memacu kudanya menuju pintu gerbang utara. Anak buahnya segera mengikuti
sambil menggiring Sultan Maut dan membawa piranti.
Sesampainya di
pintu gerbang semakin heranlah Singkil Alit dan kawan-kawannya. Biasanya
di situ selalu ada dua orang pengawal di sebelah luar dan pintu gerbang
seharusnya berada dalam keadaan terkunci dari dalam. Tapi saat itu sama
sekali tak ada pengawal dan daun pintu gerbang yang besar dan berat itu
tampak merenggang. Singkil Alit pergunakan kaki kirinya untuk mendorong
pintu lalu masuk diikuti yang lain-lainnya. Begitu sampai di dalampun
mereka tidak melihat ada penjaga. Seharusnya terdapat empat pengawal di
sebelah belakang pintu gerbang. Memandang ke tengah kota mereka melihat
lampu-lampu terang benderang di salah satu rumah besar. Juga tampak
kerumunan orang banyak di sana. Dan suara pesinden yang tidak merdu itu,
diringi kerawitan yang juga terdengar agak kacau datang dari rumah
besar itu.
"Itu rumah Pinta Manik! Apa yang terjeadi di sana … ?!" kata Singkil Alit.
"Tampaknya seperti ads pesta," menyahuti Tembesi.
"Pesta?!
Pesta apa?! Gila!" maki Singkil Alit. Dengan pelipis dan rahang
menggembung, dia memacu kudanya ke pusat kota. Di tengah jalan dia
berpapasan dengan seorang pemuda yang diketahuinya adalah salah seorang
pengawal khusus yang biasa bertugas di rumah besar. Sekali tangannya
bergerak Singkil Alit sudah mencekal leher pakaian pemuda ini.
"Lekas katakan! Ada apa di rumah Pinta Manik?"
Pemuda
pengawal, yang biasanya takut melihat Singkil Alit, apalagi sampai
dicekal begitu rupa, anehnya kini hanya mengerenyit kesakitan dan
menjawab, "Ada pesta perkawinan! Pinta Manik jadi pengantin!"
"Keparat!
Jangan kau berani bergurau kurang ajar padaku!" hardik Singkil Alit.
Tangan kirinya bergerak hendak menampar. Tapi tiba-tiba sebuah pisau
meluncur ke arah perutnya. Ditusukkan oleh pemuda itu.
"Singkil awas!" teriak Wiracula memberi peringatan.
Tanda
diperingatkanpun pimpinan Kota Hantu telah malihat apa yang dilakukan
si pemuda. Maka gerakan tangannya yang tadi menampar kini berubah
menjadi hantaman tepi telapak tangan yang keras.
Praak!
Kepala si pemuda pecah. Tak ampun lagi nyawanya melayang detik itu juga.
"Keparat!" maki Singkil Alit seraya meludah dan hempaskan tubuh tak bernyawa itu ke tanah.
"Ada yang tak beres di sini Singkil!" ujar Rangga.
Tiba-tiba terdengar tawa Sultan Maut.
"Jika
salah seorang anak buahmu nekad hendak membunuhmu, memang ada yang
tidak beres di sini Singkil!" katanya. "Kuharap saja tidak terjadi
pomberontakan di Kota Hantu ini!"
"Kalau mereka berani berontak akan kucincang satu demi satu!" kata Singkil Alit.
Kembali Sultan Maut keluarkan suara tertawa seperti tadi.
"Tutup mulutmu! Kalau tidak kau pertama sekali yang akan kucincang!" bentak Singkil Alit.
lalu
bersama kawan-kawannya dia memacu kuda menuju rumah besar milik Pinta
Manik. Orang banyak yang berkerumun di tempat itu, yang merupakan
penduduk Kota Hantu, anak buah atau kaki tangan enam iblis itu,
menyeruak memberi jalan.
"Mereka datang!" seseorang berseru.
Gerak-gerik dan sikap penduduk Kota Hantu jelas-jelas aneh di mata Singkil Alit dan kawankawannya.
"Mana pengawal?!" teriak pimpinan Kota Hantu itu. Tak ada satu orangpun yang muncul.
Orang
banyak yang ada di situ memandang mereka dengan dingin. "Kurang ajar!
Laknat semua!" teriak Singkil Alit marah. Sambil bergerak maju kakinya
menendang kian ke mari. Tangannya memukul tiada henti. Hal yang sama
dilakukan oleh empat iblis lainnya. Akibatnya belasan orang terkapar
roboh. Mati dan pingsan!
Di beranda depan rumah besar kediaman Pinta
Manik, Singkil Alit don kawan-kawannya berhenti dan seperti dipantek di
atas kuda masing-masing. Sultan Maut sendiri ternganga dan hampir tidak
dapat memastikan apa sebenarnya yang terjadi.
Di sebelah kiri
beranda, duduk menjelepok serombongan pemain karawitan yang aneh. Memang
ada gong dan klenengan serta kentongan, tetapi mereka juga memakai
tetabuhan seperti alu dan lesung, piring-piring kaleng,
potongan-potongan kayu api. Memang ada suling dan terompet bambu, tapi
lebih banyak yang meniup batang-batang padi. Keseluruhan musik itu
mengeluarkan suara centang perenang. Lalu sang pesinden yang suaranya
tinggi rendah tidak menentu ternyata adalah seorang perempunn yang
mukanya juga dicoreng moreng. Rambutnya diikat dengan kertas aneka
warna.
"Pesta gila haram jadah!" maki Singkil Alit.
"Kurasa wabah penyakit gila sudah melanda Kota kita Singkil!" kata Wiracula.
Singkil
Alit tak menjawab. Sepasang matanya demikian juga semua mata anak
buahnya serta Sultan Maut tertuju ke bagian tengah beranda luas. Di situ
terdapat dua buah kursi besar penuh hiasan, diapit oleh dua janur
besar. Dinding sebelah belakang kursi ditutup dengan tirai dan kain
warna warni, ditaburi gaba-gaba yang kelihatannya dipasang asal jadi.
Di
kursi besar sebelah kanan duduk Pinta Manik. Mengenakan pakaian
pengantin lengkap dengan topi yang kekecilan. Mukanya dirias seperti
muka orang gila berbedak tebal, bergincu yang berlepotan kian kemari.
Pipinya juga diberi merah-merah entah dengan apa, sepasang alis dan
matanya diberi warna hitam mencorong. Pinta Manik duduk tersandar antara
sadar dan tidak. Sesekali dia tersenyum atau tertawa gelak-gelak.
Kadang-kadang dia bertariak, "Tuak …tuak!"
Maka seorang anak lelaki
kecil yang selalu tegak di sampingnya segera mendekatkan bumbung bambu
berisi tuak keras ke mulut Pinta Manik. Setelah menyemburkan tegukan
pertama baru dia meneguk lahap tuak dalam bumbung itu. Minuman itu lebih
banyak yang tumpah membasahi dada dan pakaiannya. Setelah puas minum,
dia duduk bersandar kembali dan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas
pimpinan Kota Iblis ini berada dalam keadaan tidak sadar diri karena
mabuk berat!
Di kursi sebelah kiri inilah satu pemandangan yang aneh
tapi juga lucu duduk seekor orang hutan betina. Tinggi besar berbulu
hitam. Kedua kakinya diikat ke kaki kursi. Sepasang tangannya diikat ke
lengan kursi. Binatang ini diberi sepotong pakaian yang hanya menutupi
dada serta perutnya. Dilehernya tergantung sebuah kalung besar.
Rambutnya diikat dengan kertas dan kain-kain kecil aneka warna.
Kepalanya malah diberi beberapa potong sunting! Binatang ini tiada
hentinya mengeluarkan suara menguik, menyeringai memperlihatkan
gigi-giginya yang besar. Tapi tak kuasa melepaskan diri dari ikatannya
pada kursi besar. Inilah "sang pengantin
perempuan". Dan seorang anak
perempuan kecil yang bertindak seperti dayang-dayang tegak di samping
kursi "pengantin" perempuan sambil tiada hentinya mengipasi "pengantin"
itu!
Tidak tahan melihat apa yang berlangsung di depannya, Singkil
Alit serta Wiracula dan Rangga turun dari kuda masing-masing langsung
melompat ke hadapan Pinta Manik dan orang hutan yang duduk di atas
kursi.
Tembesi tetap di kuda karena lebih senang mendekapi tubuh
Piranti sedang Rah Tongga yang luka parah bagian bawah perutnya tak
mampu turun kalau tak ada yang menolong. Saat itu untuk kesekian kalinya
Sultan Maut coba melepaskan ikatan tali pada kedua tangannya. Tapi
aneh, tali kecil itu laksana gulungan baja yang tak bisa diputusnya.
"Siapa yang punya pekerjaan ini?!" tiba-tiba Singkil Alit berteriak. Suaranya menggelegar.
Tubuhnya
bergetar dan rahangnya tampak menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak.
Sepasang matanya berkilat-kilat. Hembusan nafasnya seperti gerengan
harimau lapar. Kedua tangannya terpentang, siap untuk menghantam. Tidak
ada yang menjawab.
Hanya irama karawitan yang acak-acakan itu,
mendadak berubah dan pesinden bermuka hitam celemongan membuka mulutnya
lebar-lebar membawakan sebuah tembang.
Tamu-tamu besar sudah datang
Pelayan lekas keluarkan hidangan
Pesta ini pesta luar biasa
Hidangan juga harus lezat cita dan rasa
Pasta ini bukan pesta biasa
Pesta perkawinan iblis berkepala manusia
Para tamu bukan tamu biasa
Tapi sekelompok iblis gila
Kota Hantu kotanya iblis
Ada pesta sedang berlangsung
Sampai di situ Singkil Alit tidak dapat menguasai amarahnya lagi.
Jelas-jelas nyanyian itu ditujukan pada dirinya dan orang-orangnya.
Brak!
Singkil
Alit hantamkan kaki kananya ke lantai bangunan yang terbuat dan kayu
jati keras setebal setengah jengkal. Lantai kayu itu jebol berantakan.
Tidak sampai di situ saja, pimpinan Kota Hantu ini lantas melompat
kirimkan tendangan pada si pesinden. Perempuan yang malang ini pasti
akan remuk tubuhnya atau hancur kepalanya dilabrak tendangan itu kalau
saja tidak terjadi satu hal yang mengejutkan Singkil Alit dan membuatnya
menarik pulang tendangannya kembali.
Sebuah gong kecil yang terbuat
dari besi kuning melayang ke arah kaki kanannya. Dalam marahnya Singkil
Alit sekaligus hendak menendang hancur benda itu. Namun dia jadi kaget
karena ternyata gong tersebut melesat demikian rupa, seperti punya mata,
kini membeset ke arah pinggulnya. Mau tak mau Singkil Alit tarik kaki
dan melompat selamatkan diri.
Gong kecil itu terus melayang ke luar
beranda. Sesaat kemudian terdengar suara kuda meringkik dan jatuhnya
sesosok tubuh ke tanah. Apa yang terjadi? Gong yang tidak mengenai
Singkil Alit tadi menderu menghantam kuda tunggangan Rah Tongga.
Binatang ini meringkik kesakitan ketika gong memukul keras bagian
lehernya, lalu lari setelah membantingkan tubuh Rah Tongga ke tanah.
Dalam keadaan luka parah akibat tendangan Sultan Maut, Rah Tongga hanya
mampu merangkak menaiki tangga beranda rumah besar. Tak ada seorangpun
yang menolongnya, termasuk Tembesi atau Wiracula, maupun Rangga.
Dari
balik tirai merah yang tergantung di belakang kursi besar tiba-tiba
keluar beberapa sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang anak lelaki
berusia hampir sebelas tahun.
"Singkil!" bisik Rangga. "Bocah itu adalah anak yang ayahnya kau bunuh di desa nelayan…"
"Ya … aku ingat!" sahut Singkil Alit.
Anak lelaki tadi ternyata adalah Handaka. Putera nelayan tua Argakumbara yang dibunuh oleh Singkil Alit beberapa bulan silam.
Di
belakang Handaka melangkah terbungkuk-bungkuk seorang kakek berambut
putih panjang awut-awutan, berpakaian compang-camping. Di tangan
kanannya ada sebuah batok kelapa sedang di tangan kiri memegang tongkat
kayu. Orang tua ini bukan lain adalah Pengemis sakti Batok Tongkat yang
dulu telah menyelamatkan Handaka di teluk Cikandang sewaktu Singkil Alit
dan komplotannya mengganas di desa ayahnya, merampok, menculik dan
membunuh.
Di sebelah belakang si kakek menyuruh seorang pemuda
berpakaian putih bertampang cakap. Dia adalah Indrajit, murid pewaris
perguruan silat Elang putih. Bagaimana pemuda ini kini berada di tempat
itu .
Seperti dituturkan sebelumnya ketika Datuk Hijau, Gitasula,
Sultan Maut, Piranti dan Indrajit menyusun rencana untuk menyerbu Kota
Hantu dan berkumpul di sebuah pondok di lembah Cilandak, karena rahasia
penggompuran dibocorkan oleh Sirat Gambir maka orang-orang itu diserbu
lebih dulu oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Dalam perkelahian
melawan Tembesi, Indrajit kalah dan hampir menemui kematian dihantam
bola besi berduri kalau saja tidak muncul seorang penolong aneh.
Penolong yang tak dikenal ini kemudian melarikan pemuda itu tanpa dapat
dikejar oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Tuan penolong si pemuda
ternyata bukan lain adalah si kakek pengemis yang sebelumnya juga telah
menyelamatkan Handaka. Orang terakhir yang melangkah ke luar dari balik
tirai masih itu adalah juga seorang pemuda yang berpakaian serba putih,
berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih. Lagaknya
cengar cengir enak-enak saja malah sambil bersiul-siul kecil
cengengesan.
Wiracula, Rangga, terlebih lagi Singkil Alit tampak melengak ketika melihat tampang pemuda ini.
Wiracula
cepat membisiki, "Singkil, pemuda paling belakang itu, bukankah dia
yang sebelumnya menghadang kita di luar kota. Yang melemparkan bungkusan
berisi kepala Puranda si kepala pengawal?"
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" desah Singkil Alit dengan bibir bergetar. Kedua tangannya terkepal.
Sebenarnya
bagaimnanakah sampai orang-orang itu muncul di sana dan bagaiman
terjadinya pesta aneh, pesta perkawinan Pinta Manik dengan orang hutan
betina itu?
***
Berdirinya Kota Hantu dan
munculnya enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit yang menebar
keganasan berupa maut, perampokan, penculikan dan perbudakan itu telah
sampai ka telinga para tokoh silat di daerah timur. Mereka siap menyusun
rencana penumpasan. Tapi tentunya dengan menghubungi para tokoh silat
di barat. Sebelum orang-orang di timur melangkah lebih jauh mereka
mendengar bahwa sudah ada kelompok di barat yang akan mengadakan
penyerbuan ke Kota Hantu, yakni kelompok tokoh silat golongan putih di
bawah pimpinan Datuk Hijau dan Sultan Maut.
Karena hal itu sudah
ditangani, maka orang-orang di timur memutuskan untuk tidak bertindak
lebih jauh dan melihat bagaimana perkembangan setelah para tokoh di Jawa
Barat turun tangan. Untuk menyirap dan mengamati suasana orang-orang di
timur sepakat menugaskan Pendekar 212 Wiro Sableng untuk pergi ke Jawa
Barat. Seperti apa yang tarjadi ternyata tokoh-tokoh di Jawa Barat
mengalami kegagalan jauh sebelum penyerbuan ke Kota Hantu dilakukan.
Malah Datuk Hijau menemui kematian. Sultan Maut dan Piranti tertawan.
Gitasula juga menemui ajal.
Menghadapi keadaan yang demikian gawat,
Wiro tidak kembali ke timur guna memberikan laporan, tetapi mengambil
keputusan untuk menyambangi seorang tokah silat golongan putih. Orang
ini bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Di sana dia menemui pula
Handaka yang belum lama diselamatkan oleh si kakek, dan juga Indrajit.
Orang-orang itu mengadakan perundingan.
"Turut mauku," kata Pengemis
Batok Tongkat. "Aku ingin menunggu, sampai beberapa tahun lagi sampai
muridku Handaka ini memiliki kepandaian yang yang bias diandalkan untuk
ikut menghancurkan Iblis-ibiis Kota hantu. Tapi memang … kejahatan tak
boleh dibiarkan lama menunggu. Kita harus menghancurkan manusis-manusia
iblis itu secepatnya…"
"Apakah kita bertiga sanggup melakukannya?"
tanya Indrajit. Lalu buru-buru menyusuli ucapannya tadi dengan kalimat,
"Maaf, saya tidak bermaksud memandang rendah kepandaianmu kek dan juga
sahabat muda Wiro Sableng. Nama besar kalian cukup menjadi jaminan. Yang
aku tak mau kalau terjadi apa-apa dengan kalian. Ingat kematian Datuk
Hijau, paman Gitasula dan ketuaku sendiri . . ."
Mendengar ucapan itu Pengemis Botak Tongkat tersenyum dan mendehem beberapa kali.
"Terima
kasih kau yang muda memperhatikan keselamatan kita semua," katanya.
"Jika apa yang kudengar benar, menurut hematku Wiro Sableng sendiri akan
mampu menghajar orang-orang itu. Hanya memang kali ini kita bukan saja
menghadapi iblis-iblis ganas, tapi juga sekaligus licik. Di amping itu
aku yang tua ini tak ingin melihat semua orang di Kota Hantu itu menemui
kematian. Sebagian besar dari mereka jelas budak-budak yang tak
berdaya. Dengan kata lain kita harus menyusun siasat…"
"Betul," kata Indrajit. "Mengintai kelengahan mereka!"
"Bagaimana pendapatmu Wiro?" tanya si kakek.
Murid
Sinto gendeng garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menurut apa mau kalian
berdua. Hanya saja, kalau kalian setuju aku ada rencana. Kudengar
iblis-iblis Kota Hantu itu masih berada di lembah Cilendak. Dalam waktu
singkat akan segera kembali ke Kota Hantu. Nah sebelum mereka kembali
kita harus sudah siap menyambut…"
Lalu Wiro Sableng menerangkan
rencananya. Setelah mendengar rencana Wiro itu, Indrajit dan si kakek
apalagi Handaka tak dapat menahan tawa. Mereka tertawa
terpingkal-pingkal.
"Wiro, kudengar gurumu si Sinto Gendeng itu edan otaknya. Ternyata kau lebih edan!
Rencanamu
benar-benar sableng. Tapi masuk akal dan pantas untuk dilakukan. Kita
berangkat sekarang juga!" Si kakek lalu ambil batok kelapa dan tongkat
kayunya.
Sebelum meninggalkan tempat kediamannya, pengemis tua itu
lebih dulu menangkap seekor orang utan betina, baru mereka menuju Kota
Hantu dengan menunggang kuda. Menerobos masuk ke kota Hantu bagi
orang-orang seperti Wiro atau Pengemis Batok Tongkat bukan hal yang
sukar. Namun sesuai dengan rencana mereka harus memberitahu maksud
kedatangan mereka pada seluruh penghuni Kota Hantu yang ada. Dan karena
waktu hanya sedikit maka hal itu harus dilakukan cepat. Maka Kepala
Pengawal Kota Hantu yang bernama Puranda segera dipanggil datang ke
pintu gerbang utama.
Puranda seorang lelaki muda berbadan tegap,
punya tenaga luar laksana badak dan tenaga delam yang cukup dapat
diandalkan. Dia mendapat latihan langsung dari Singkil Alit selama
beberapa bulan sebelum diangkat jadi Kepala Pengawal kepercayaan. Karena
mendapat kepercayaan demikian rupa serta jasa yang cukup besar Puranda
menjadi pongah. Beberapa kali tindakan keganasannya melebihi pimpinannya
sendiri.
Begitu berhadapan dengan para pendatang itu kepala pengawal ini segera saja menunjukkan sikap sombong ganasnya.
"Kalian
minta mati berani datang ke Kota Hantu. Membuat aku membuang waktu
untuk menemui kalian!" bentak Puranda. Sesaat dia melirik pada orang
hutan yang ada di atas kuda tunggangan Indrajit.
"Sobat," sahut Wiro.
"Kejahatan yang dilakukan pimpinan kalian sudah selangit tembus. Kami
tahu kau dan yang lain-lain ikut melakukan itu hanya karena terpaksa di
bawah ancaman. Saat ini sudah waktunya kezaliman pemimpin kalian
diakhiri. Kami akan meringkus mereka, membunuh bila mereka melawan. Kami
tidak minta bantuan banyak pada kalian yang ada di sini, hanya lakukan
saja apa yang kami minta!"
"Kau pasti gila!" sntak Puranda. Dia
berpaling pada dua pengawal pintu gerbang. Seraya bertindak masuk
kembali dia berkata, "Bunuh pemuda gila itu. Semuanya!"
Maka dua
pengawal bersenjata golok besar segera melompat ke hadapan Wiro. Puranda
yang tidak memandang sebelah mata pada Wiro dan kawan-kawannya menjadi
terkejut dan membalik sewaktu didengarnya dua jeritan keras dan pengawal
yang tadi disuruhnya membunuh Wiro, terpelanting, terkapar di tana
dengan dada remuk. Darah mengalir dari mulut masing-masingmasing.
"Bagaimana . . . . ?" tanya Wiro. "Kalian ikut kami menumpas manusia-manusia iblis itu atau mint ditumpas?!"
"Bangsat
rendah! Kau mengandalkan kepandaian apa berani bicara seperti itu!"
teriak Puranda marah. Dari atas punggung kudanya tubuhnya laksana
tarbang. Tumitnya meluncur ke kening Wiro Sableng. Serangannya
mengeleparkan angin keras.
"Manusia tolol! Diberi madu minta racun…"
Pengemis Batok Tongkat merutuk. Dia memberi isyarat pada Wiro. Murid
Sinto Gendeng ini segera rundukkan kepala dan ulurkan tangan. Begitu
cepatnya gerakan Wiro hingga kepala pengawal Kota Hantu itu tidak
percaya kalau pergelangan kaki kanannya sudah berada dalam cekalan kedua
tangan lawan. Perunda coba sentakkan kakinya untuk melepas cekalan.
Bersamaan dengan itu kepalan tangan kanannya dihantamkan ke depan untuk
menggebuk kuda tunggangan Wiro. Namun semua yang dilakukan kepala
pengawal itu gagal karena dengan sangat cepat Wiro memuntir pergelangan
kakinya. Di lain saat Puranda merasakan tubuhnya diayunkan ke bawah. Dia
berusaha jungkir balik menghindari kejatuhan. Malah akibatnya jadi
parah. Bukan saja tubuhnya terbanting keras ke tanah, tangan kirinya pun
remuk di bagian siku.
Kepala pengawal ini cepat berdiri walau di
wajahnya jelas kelihatan dia menanggung rasa sakit yang amat sangat.
Saat itu Wiro sudah melompat turun dari kuda. Puranda langsung
menyerbunya. Entah kapan kepala pengawal ini menggerakkan tangan
tahu-tahu dia sudah menggenggam sebilah golok yang ujung berbentuk
segitiga.
Enam pengawal pintu gerbang yang ada di tempat itu segera pula menghunus senjata masing-masing.
"Indrajit, kau uruslah mereka. Aku masih letih …." kata Pengemis Batok Tongkat. Indrajit turun dari kudanya.
"Aku
tahu kalian berenam adalah pemuda baik-baik. Menjadi pengawal Kota
Iblis karena dipaksa. Jika kalian mau bertobat dan bergabung dengan kami
pasti akan mendapat pengampunan!"
Enam pengawal Kota Hantu sana
menyeringai. Mereka sama sekali tidak tahu berhadapan siapa. Salah
seorang diantara mereka maju menuding: "Kau boleh pidato panjang pendek.
Yang kami tahu siapa berani datang ke Kota Hantu apalagi berani membuat
kacau berarti harus menyerahkan jantungnya!"
"Indrajit! Mereka sama saja dengan pimpinan. Lekas gebuk mereka!" kata Pengemis Batok Tongkat tak sabaran.
Keenam pengawal itu tiba-tiba memencar. Tiga menyerang Indrajit. Tiga lagi menyerbu ke arah kakek.
"Ee … benar-benar tak tahu diri. Makan tongkatku ini!"
Tanpa
turun dari kudanya pengemis itu sambut serangan tiga lawan dengan
tongkat kayu. Dua pengawal yang kena gebuk langsung melintir kesakitan.
Yang satu menjerit sambil tekap daun telinga sebelah kirinya yang robek
ditusuk ujung tongkat. Satunya lagi menggeliat-geliat di tanah pegangi
perut yang bolong. Pengawal ketiga terkapar di tanah. Keningnya nampak
remuk oleh hantaman batok kelapa si kakek!
Tiga pengawal yang
menyerbu Indrajit mengalami hal yang sama. Dengan tangan kosong pemuda
ini menghantam mereka satu persatu hingga terkapar di tanah. Ada yang
tulang iganya remuk, ada yang hancur mulutnya dihantam jotosan dan yang
ketiga tersandar di dinding pintu gerbang dengan lidah mencelet. Jotosan
tangan kiri Indrajit meremukkan tulang lehernya. Sementara itu
perkelahian antara Puranda dan Wiro Sableng berjalan berat sebelah.
Apapun kepandaian yang dimiliki kepala pengawal itu dia bukanlah
tandingan murid Sinto Gendeng. Setelah menghajar sampai babak belur,
Wiro hentikan serangannya dan berkata.
"Nah, kau yang minta racun kau sendiri yang merasakan pahitnya. Sekarang apa kau masih tak mau bergabung dengan kami?!"
Kepala
pengawal itu meludah. Ludahnya bercampur darah. Dengan golok yang masih
tergenggam di tangan kanannya dia kembali menyerang Wiro.
"Ah, kau sengaja mencari nasib jelek kawan," kata Pendekar 212. Lengan kanannya memukul ke atas.
Krak!
Puranda terpekik.
Tulang
tangan kanannya patah. Goloknya mental. Senjata ini cepat disambut oleh
Wiro. Begitu hulu go lok tercekal, Wiro babatkan ke leher Puranda.
Darah mancur!
"Sahabat Wiro! Aku tak suka dengan caramu itu. Kita
sama saja buasnya dengan iblis-iblis Kota Hantu ini!" kata Indrajit
ketika dia melihat Wiro menjambak rambut Puranda dan menenteng potongan
kepala orang itu.
Wiro melompat ke atas kuda. "Aku juga tak suka hal
ini Indrajit," sahutnya. "Tapi sesekali kita harus melakukan hal seperti
ini untuk membuka mata mereka. Kita tak punya waktu banyak. Kita tidak
mau urusan jadi bertele-tele dan menghadapi ratusan orang dalam kota
ini. Jika mereka melihat aku membawa kepala pimpinan pengawal, mereka
akan berpikir dua kali sebelum menyerang kita …. !"
Pengemis Batok
Tongkat tepuk-tepuk bahu Indrajit seraya berkata, "Anak muda, ini satu
pengalaman baru bagimu. Terkadang hidup di dunia ini tak bisa dihadapi
dengan kejujuran dan welas asih melulu. Pada saatnya kau akan mengerti
apa yang dikatakan sahabatmu itu. Kita tak punya waktu lama. Mari masuk
ke dalam kota!"
Kota Hantu gempar ketika orang-orang itu menerobos
masuk. Terlebih menyaksikan kepala Puranda yang ditenteng Wiro Sableng.
Puluhan pengawal segera mengurung, tapi tak ada yang berani bergerak.
Wiro
angkat tangen kirinya tinggi-tinggi. Kerahkan tenaga dalam dan berkata,
"Siapapun kalian semua di sini tak lebih dari budak yang ditindas oleh
enam iblis Kota Hantu. Kami datang untuk menghancurkan manusia-manusia
iblis itu. Bukan untuk memusuhi kalian. Kami ingin kalian bergabung
dengan kami dan bukan seperti kepala pengawal ini yang minta mati secara
tolol! Hari ini adalah hari kehancuran Kota Hantu dan merupakan hari
kebebasan kalian!" Wiro diam sesaat menunggu reaksi. Tak ada yang
bergerak, tak ada yang buka suara. Maka dia meneruskan. "Aku dan
kawan-kawan tahu, lima dari pimpinan kalian tidak ada di kota. Jika
kita. mau sama-sama menghancurkan orang-orang durjana itu lekas
tunjukkan di mana pimpinan mereka yang seorang lagi! Tapi ingat, jika
kalian menipu kami ini jadinya!" Wiro acungkan kepala Puranda.
"Ikuti
kami …!" tiba-tiba ada yang berkata. Wiro memandang pada orang itu dan
anggukkan kepala. Mereka menuju ke rumah Pinta Manik yang saat itu sudah
diberitatahu oleh beberapa pengawalnya apa yang telah terjadi.
Karenanya ketika Wiro kawan-kawan datang, dia sudah menyambut dengan
rantai hitam berganduian bola besi berduri di tangan kanan. Lima belas
pengawal yang setia padanya tegak mengelilinginya.
Pinta Manik pelintir kumis besarnya, memandang garang pada orang-orang itu lalu pusatkan perhatian pada Wiro Sableng.
"Jadi
ini manusia-manusianya yang berani masuk Kota Hantu. Membunuh
pengawalpengawal, memancung kepala pengawal! Bagus! Pengawal! Tangkap
kakek butut dan pemuda serta bocah itu. Pembunuh Puranda ini aku sendiri
yang akan melumatnya!"
Pinta Manik tutup ucapannya dengan
menghantamkan rantai hitamnya. Wiro kaget sekali ketika rasakan sambaran
angin serta cahaya hitam yang keluar darisenjata itu. Jelas pemimpin
Kota Hantu ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang tinggi. Dan
jika mereka berjumlah enam orang tak heran kalau mereka bisa menguasai
dunia persilatan di Jawa Bara melakukan keganasan seenak perut merekal
Lima
belas pengawal kelas satu menyerbu ke arah Pengemis Batok Tongkat dan
Indrajit. Perkelahian seru terjadi. Tapi hanya enam jurus. Memasuki
jurus ke tujuh, tak satu pun di antara para pengawal pilihan ini yang
masih tegak berdiri. Semua orang yang memang ingin melepaskan diri dari
kebiadaban di Kota Hantu itu semakin terbuka mata mereka. Mereka tahu
kini orangorang yang datang itu adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian
tinggi. Hari itu rupanya memang menjadi hari kebebasan mereka. Maka
mereka mulai bersorak-sorak. Ketika ada yang berteriak agar rumah-rumah
besar milik enam iblis Kota Hantu itu dibakar, Pengemis Batok Tongkat
cepat berseru, "Jangan melakukan tindakan apa pun! Ikuti petunjuk kami!"
Mendengar
itu tak ada satu orang pun yang bertindak lebih jauh. Perhatian semua
orang kini terpusat pada Wiro Sqbleng yang berkelahi menghadapi Pinta
Manik masih dengan menenteng kepala Puranda!
Pinta Manik sendiri
diam-diam merasa terkejut ketika melihat lima belas pengawalnya babak
belur di hantam dua lawan. Rasa was-was semakin mencengkam dirinya
ketika mengetahui pula bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata memiliki
kepandaian luar biasa. Serbuan rantai hitam dan bola besi berdurinya
yang laksana air hujan tak satupun dapat menyentuh tubuh pemuda itu.
Sebaliknya lawan jelas mempermainkannya, menyerang dengan menyorongkan
kepala Puranda ke mukanya hingga pakaian dan wajahnya jadi kotor
bercelemong darah!
"Wiro," tiba-tiba Pengemis Batok Tongkat menegur. "Kita tak punya banyak waktu. Lekas kau selesaikan iblis yang satu ini!"
Saat
itu perkelahian antara Wiro dan Pinta Manik telah berlangsung delapan
belas jurus. Bola besi berduri mencuit-cuit pulang balik ke arah kepala
Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini memperlambat gerakan silatnya.
Menyangka lawan mulai kehabisan nafas dan tenaga, Pinta Manik lipat
gandakan daya serangannya. Wiro yang tadi beberapa kali sempat
menyemongi wajah dan pakaian lawan dengan darah di kepala Puranda tidak
menyangka kalau cukup sulit untuk menotok Pinta Manik. Sesual rencana
dia tidak boleh membunuh manusia iblis yang satu ini. Maka terpaksa dia
mempercepat gerakannya kembali.
"Aku harus merampas rantai hitam itu.
Dengan mengandalkan satu tangan sulit melakukannya," membatin Wiro. Dia
menimbang apakah akan mencampakkan dulu kepala Puranda atau tetap
menghadapi senjata hebat lawan dengan satu tangan tapi mengeluarkan
senjata mustikanya yakni Kapak Naga Geni 212. Wiro memutuskan untuk
mengeluarkan senjata itu.
Sinar putih berkilauan ketika Kapak Maut
Naga Geni 212 keluar. Sesaat membuat Pinta Manik terkesiap. Seumur hidup
belum pernah dia melihat Senjata anah dan memancarkan sinar angker
seperti itu. Maka dia putar rantai hitamnya lebih hebat. Wiro angkat
tangannya yang memegang kapak, Sinar putih perak berkiblat.
Trang!
Bunga api memercik.
Rantai
hitam di tangan Pinta Manik putus. Bola besi berduri yang menggandul di
ujung rantai terpental liar, menghantam tiga orang di samping kiri.
Ketiganya mati dengan tubuh dan kepala hancur.
Melihat senjata
andalannya musnah pucatlah Pinta Manik. Dia melompat mundur menjauhi
Wiro. Tapi salah lompat. Dari belakang, ujung tongkat Pengemis Batok
Tongkat menusuk kuduknya. Kontan tubuhnya tak berkutik lagi. Si kakek
tertawa mengekeh. Die memandang berkeliling. "Kita akan mengadakan pesta
malam ini!" katanya. "Pesta perkawinan manusia iblis ini…. !"
Tentu
saja semua orang heran mendengar kata-katanya itu. Dan jadi tambah heran
ketika si kakek menyambung, "Dia akan kita kawinkan dengan orang hutan
itu! Kalian lihat saja nanti. Seret iblis ini. Cekok dia dengan tuak
sampai mabuk. Kalau sudah mabuk beri tahu aku agar kulepaskan
totokannya!"
Beberapa orang segera menyeret Pinta Manik ke dalam
rumah. Pengemis Batok Tongkat mendekati Wiro. "Kau boleh pergi sekarang.
Bungkus potongan kepala itu dengan kertas warna warni. Kedatangan lima
iblis lainnya perlu kita sambut dengan meriah…!"
"Bagaimana kalau mereka muncul dari pintu gerbang selatan hingga aku tak menemui mereka di tengah jalan?" tanya Wiro.
"Aku
yakin mereka memasuki kota dari arah utara. Itu jalan yang terpendek
dari lembah Cilendak. Aku juga yakin kelimanya tak akan muncul secara
utuh."
Wiro anggukkan kepala. Dengan membawa kepala Puranda dia tingalkan tempat itu.
***

SEPULUH TAMU-TAMU penting sudah datang kenapa tidak segera dihidangkan sesajian?!"
Pendekar 212 Wiro Sableng berseru. Lalu dia menjura mempersilahkan Singkil Alit, Rangga dan Wiracula duduk di tikar permadani.
Saat itu Singkil Alit sudah tak dapat lagi menahan amarahnya dan siap menerjang Wiro. Begitu juga kedua kawannya.
"Eeh!
Itu ada tamu yang terkapar di beranda kenapa tidak ditolong supaya
masuk kemari? Belum minum tuak kenapa sudah mabuk?" ujar Wiro sambil
menunjuk pada Rah Tongga yang terbujur di beranda rumah. Seperti
diketahui dia mengalami luka parah bagian bawah tubuhnya akibat
tendangan Sultan Maut.
"Hai itu ada satu lagi tamu penting berpakaian
serba hitam. Kenapa masih duduk di atas kuda? Dapat rejeki besar
seorang gadis hingga tak mau turun melihat pengantin bersanding …. !"
Wiro
menunjuk ke arah Tembesi yang masih berada di atas punggung kuda sambil
pegangi tubuh Piranti. Setiap kata-kata yang diucapkan Wiro Sableng
diikuti Pengemis Batok Tongkat dengan gelak tawa mengekeh.
Dari dalam
tiga orang gadis diiringi tiga pemuda keluar membawakan piring-piring
dan gelas besar. Piring-piring itu bukannya berisi makanan melainkan
diisi dengan batu, pecahan kaca, tanah dan pasir. Sedang gelas bukan
diisi dengan tuak melainkan dipenuhi dengan air got!
"Mari silahkan
duduk, silahkan minum dan mencicipi makanan!" kata Wiro. "Atau mungkin
para tamu terhormat hendak bersalaman dengan kedua mempelai lebih dulu
…. ?!"
Batas kesabaran Singkil Alit dan kawan-kawannya habis sudah.
Dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis itu keluar suara seperti
harimau menggembor. Tubuhnya melesat melewati Pinta Manik dan orang
utan yang duduk bersanding, langsung menerkam ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Wiracula dan Rangga tidak tinggal diam. Mereka nenyerbu ke
arah Pengemis Botak Tongkat dan Indrajit. Sebelum menyembul serangan
lawan si kakek sempat berbisik pada Handaka.
"Kau lihat orang berkuda
yang memakai topi seperti sorban?" Maksud si kakek adalah Sultan Maut.
Handaka mengangguk. "Kedua tangannya terikat tali. Tali itu tak bisa
dibuka oleh siapapun kecuali oleh Singkil Alit sendiri. Tapi ada satu
cara untuk membukanya. Ludahi tali itu tiga kali. Orang bersorban itu
akan mudah melepaskan ikatannya. Nah, pergi cepat!"
"Tapi aku harus membalaskan dendam ayah. Membunuh Singkil Alit!" kata Handaka.
"Jangan kawatir. Setengah nyawanya akan kuberikan padamu!" jawab Pengemis Batok Tongkat.
Mendengar
ini Handaka yang baru beberapa bulan mendapatkan pelajaran dasar ilmu
silat dari si kakek segera menyelinap mendekati Sultan Maut. Sementara
itu Tembesi yang masih berada di punggung kudanya bersama Piranti sesaat
tampak bimbang. Apakah dia akan turun membantu pimpinan dan
kawan-kawannya. Atau lebih baik bersenang-senang dengan gadis yang kini
berada dalam keadaan tertotok itu?
Sampai di hadapan Sultan Maut,
Handaka tangkap tangan orang yang terikat tali lalu meludahinya tiga
kali. Kalau saja Sultan Maut tadi tidak melihat gerak-gerik Handaka yang
berada bersama Pengemis Batok Tongkat pastilah dia akan memarahi anak
yang berani meludahi tangannya itu. Dia menggerakkan kedua tengannya
sedikit. Aneh, tali yang tadi begitu kokoh dan sulit dibuka kini
terlepas mudah sekali.
"Anak baik! Terima kasih atas pertolonganmu. Siapa namamu?!" tanya Sultan Maut sambil mengusap kepala si bocah.
"Aku Haerdaka. Murid Pengemis Batok Tongka dari kaki Halimun…." jawab Handaka bangga.
"Bagus . . . bagus! Kau memang pantas jadi murid pengemis sakti itu!"
Saat
itu Tembesi memutuskan bukan saja lebih baik bersenang-senang dengan
Piranti, tetapi sekaligus selamatkan diri dari kelompok orang-orang yang
diyakininya adaiah jago-jago rimba persilatan berkepandaian luar biasa.
Keadaan yang seperti itu membuat dia tidak tenang. Lebih baik cari
selamat. Tapi dia harus kembali ke rumahnya dulu. Dia harus membawa
beberapa gundik yang disenanginya, juga harta kekayaanncya, baru
diam-diam menyelinap meninggalkan kota. Namun baru saja dia hendak
bergerak, di hadapannya telah menghadang Sultan Maut.
"Turunkan gadis itu…!" perintah Sultan Maut
Tembesi
menyeringai. "Kalau kedua tanganmu sudah lepas apa kau kira mampu
bertahan hidup?! Kau harus melepas nyawa di Kota Hantu, Sultan!"
Habis
berkata begitu Tembesi segera keluarkan rantai hitamnya, langsung
menyerang Sultan Maut. Sang Sultan yang sudah tahu kehebatan senjata
lawan cepat melompat dari kuda, menyembar sebatang tombak yang dipegang
seorang pengawal di tepi beranda. Dengan tombak ini dia menghadapi
gempuran dahsyat rantai hitam berbandul bola berduri lawan. Sultan
keluarkan seluruh kepandaiannya, bergerak cepat dan selalu berusaha
menghindarkan bentrokan senjata. Dia tahu pasti tombak besi yang
dipegangnya tak akan mampu bertahan kalau sampai tersambar senjata
lawan. Di samping itu setiap balas menyerang dia harus berhati-hati
karena kawatir tusukan atau sambaran tombaknya akan mengenai tubuh
Piranti yang lintang di punggung kuda.
"Aku harus paksa bangsat ini
turun dari kuda!" kata Sultan Maut dalam hati. Maka tombaknya dipakai
untuk menyerang bagian pinggang ke bawah sedang tangannya yang lain
lancarkan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi ke
arah dada dan kepala Tembesi. Lambat laun merasakan gerakannya terbatas
jika terus berada di atas kuda, Tembesi akhirnya melompat turun. Tapi
dia berlaku cerdik. Sambil turun dia menarik tubuh Piranti dan
memanggulnya bahu kiri. Adanya tubuh si gadis di atas bahu lawan membuat
Sultan Maut tidak leluasa melancarkan serangan-serangan mautnya.
Sebaliknya Tembesi mampu melancarkan serangan dari berbagai arah dan
cara. Jika Sultan Maut menyongsong serangannya dengan balas menyerang
maka dia sorongkan tubuh Piranti ke depan hingga mau tak mau lawan tarik
kembali serangannya. Lambat laun Sultan Maut jadi terdesak, terlebih
ketika tombak di tangan kanannya patah tiga dihantam gandulan besi
berduri!
Sultan Maut merutuk panjang pendek dalam hati. Dia seperti
kehabisan akal bagaimana harus menghadapi lawan yang licik serta
memiliki kepandaian tinggi dan memegang senjata amat berbahaya itu.
Kita
tinggalkan Sultan Maut yang berada dalam keadaan serba salah menghadapi
Tembesi. Kita ikuti perkelahian antara Pengemis Batok Tongkat melawan
Wiracula. Senjata rantai hitam dengan gandulan besi berduri di ujungnya
jelas kelihatan lebih menggebu-gebu dari pada tongkat kayu di tangan
kakek pengemis. Orang tua ini sendiri tahu akan hal itu. Sebelumnya
ketika menyelamatkan Indrajit, ujung tongkatnya pecah remuk sewaktu
beradu dengan bola besi berduri itu. Karenanya dia selalu menghindari
bentrokan tongkat kayunya dengan senjata lawan.
Sekalipun senjata
Wiracula kelihatan hebat, mengeluarkan suara menderu-deru dan
memancarkan bayangan sinar hitam yang angker namun dia tidak dapat
menandingi kegesitan tubuh kurus si kakek. Berkali-kali manusia iblis
ini terperanjat karena tangan atau bagian tubuhnya yang lain hampir
dimakan ujung tongkat atau digebuk badan tongkdt. Belum lagi batok di
tangan kanan si kakek yang mengemplang ganas ke arah batok kepala atau
menggebuk deras ke bagian badan. Terkadang batok itu seperti diikat
dengan tali atau benang yang tak kelihatan, menyerang laksana terbang,
diulur dan ditarik!
Wiracula keluarkan keringat dingin ketika di
jurus ke sembilan ujung tongkat di tangan kiri lawan mendadak berubah
seperti puluhan banyaknya, melenting melebar seperti kipas dan
mengeluarkan suara bersuit, merobek pakaian hitamnya di bagian dada.
Wiracula melompat mundur dengan muka pucat. Si kakek sebaliknya tertawa
mengekeh. Tongkatnya kembali melenting melebar, menyambar bagian kepala
lawan.
"Manusia iblis!" kata si kakek. "Jangan kawatir baju iblismu
yang robek akan kuganti dengan baru. Kau boleh ambil sendiri nanti di
neraka! He… he… he…!"
Mendidih amarah Wiracula mendengar ucapan itu.
Dia lipat gandakan tenaga dalamnya dan putar senjatanya lebih sebat.
Besi hitam dan gandulan bola duri itu berkiblat lebih sebat, lebih
ganas, suaranya berdesing tambah angker. Seluruh tubuh Pengemis Batok
Tongkat terbungkus serangan lawan. Baju rombeng kakek kelihatan
berkibar-kibar tertiup sambaran senjata lawan, begitu juga rambutnya
yang putih panjang.
Traaak!
Tongkat kayu dan gandulan besi beradu keras.
"Tongkatku!"
seru si kakek ketika melihat tongkat kayunya terlepas dari tangan dan
patah dua mental di udara. Dia melompat seperti hendak berusaha
menangkap patahan tongkatnya itu. Inilah kesempatan baik bagi Wiracula.
Rantai hitam dan gandulan besi berdurinya bersiut ke bawah, melabrak ke
pinggang lawan.
"Putus pinggangmu tua bangka keparat!" seru Wiracula.
Manusia
iblis ini tidak tahu kalau dia sudah termakan tipuan lawan. Pengemis
Batok Tongkat Tongkat membiarkan tongkat kayunya digebuk patah dan
pura-pura kalang kabut hendak menangkap benda itu di udara. Selagi
senjata lawan menghantam ke arah pinggang tubuh kurus si kakek tampak
melenting dan jungkir balik di udara. Sesaat kemudian terjadilah
pemandangan yang membuat Handaka ternganga dan orang banyak yang
menyaksikan ikut berdecak kagum. Sepasang betis Pengemis Batok Tongkat
tahu-tahu sudah menjepit batang leher Wiracula. Manusia iblis ini coba
menggebuk dengan senjatanya. Namun dia mengalami kesulitan bernafas dan
kraak! Ketika si kakek memutar kedua betisnya terdengar suara patahnya
tulang leher Wiracula. Orang ini mengeluarkan suara melenguh tercekik.
Matanya mendelik lidahnya mencelet! Dari mulutnya keluar darah, juga
dari hidungnya. Senjata rantai hitam lepas dari tangannya, jatuh ke
lantai. Tubuh si kakek kembali melenting. Begitu dia berdiri di atas
kedua kakinya kembali, tubuh Wiracula roboh terkapar di lantai.
"Mampus! Iblis keparat itu mampus!" teriak beberapa orang.
"Rasakan! Mengapa kita tidak membunuh yang satu itu? Yang terkapar di kaki beranda!"
seorang
lainnya berseru. Yang dimaksudnya adalah Rah Tongga, salah satu dari
manusia iblis itu, yang cidera berat di bagian perutnya dan berada dalam
keadaan antara sadar dan pingsan. Tibatiba saja banyak orang mencabut
senjata yang mereka bawa lalu naik ke beranda rumah besar. Pengemis
Batok Tongkat hendak mencegah.
"Ah, peduli amat!" dengusnya kemudian.
"Itu lebih baik baginya!" Maka puluhan macam senjata menderu
menghantami tubuh Rah Tongga. Orang-orang Kota Hantu yang selama ini
dijadikan budak di bawah ancaman kematian, kini melepaskan dendam
kesumat mereka. Dalam waktu singkat tubuh Rah Tongga tidak berbentuk
tubuh manusia lagi, tapi terpotong-potong dan darah menggenang di lantai
beranda!
Pengemis Batok Tongkat berdiri sambil usap-usap batok
kelapa di tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Di sebelah kirinya
dilihatnya Indrajit bertempur melawan Rangga. Pemuda ini memegang
sebilah golok yang didapatnya dari seorang pengawal. Golok besar itu
bukanlah tandingan rantai hitam bergandulan bola berduri di tangan
Rangga. Hanya kegesitan pemuda itulah yang banyak menolongnya menghadapi
lawan yang tengguh itu. Namun di mata si kakek dalam waktu beberapa
jurus di muka Indrajit akan menjadi repot, terdesak dan terancam
keselamatannya.
Ketika dia memandang ke jurusan lain, Pengemis Batok
Tongket dapatkan Sultan Maut yang bertempur melawan Tembesi berada dalam
keadaan terdesak hebat. Bukan saja karena dia tidak memegang senjata
apa pun, tapi jelas Sultan Maut tidak mampu melancarkan serangan balasan
karena kawatir akan mengenai tubuh cucunya yakni Piranti yang ada di
atas bahu kiri Tembesi.
"Iblis licik!" gertak Pengemis Batok Tongkot
lalu melompat turun ke halaman. Namun saat itu setelah menggebrak dengan
satu serangan dahsyat hingga Sultan Maut terpaksa melompat mundur,
Tembesi cepat melompat ke punggung kudanya dan membedal binatang itu,
melarikan diri menuju bagian timur Kota Hantu.
"Sultan! Mari kita
kejar iblis penculik itu!" kata Pengemis Batok Tongkat seraya menarik
bahu Sultan Maut. Keduanya sama-sama melompat ke atas dua ekor kuda yang
ada di dekat situ dan mengejar.
Jika saja Tembesi langsung lari
meninggalkan Kota Hantu metewati jalan-jalan gelap dan berbelok-belok,
basar kemungkinan dia tak akan terkejar oleh Sultan Maut Pengemis Batok
Tongkat. Namun saat dia lari menuju rumah besarnya di sebelah selatan
kota. Rencananya adalah untuk lebih dulu mengambil harta bendanya,
memboyong beberapa perempuan peliharaannya yang masih muda-muda dan
cantik-caantik, baru melarikan diri sambil membawa Piranti. Malah dalam
benaknya saat itu sudah ada niat untuk meniduri gadis itu dulu di rumah
besarnya. Ketamakan dan kebejatannya inilah yang ternyata mendatangkan
malapetaka baginya. Sepanjang jalan Sultan Maut dan Pengemis Batok
Tongkat mendapat petunjuk dari penduduk ke arah mana larinya Tembesi.
Mereka menemukan kuda tunggangan manusia iblis itu di hadapan sebuah
rumah besar yang bagian depannya gelap gulita dan tampak sunyi.
"Keparat
itu pasti ada di dalam. Lekas kita dobrak pintu depan!" kata Sultan
Maut yang sudah tak sabaran karena mengawatirkan keselamatan dan
kehormatan cucunya.
"Jangan jadi orang tolol!" ujar Pengemis Batok Tongkat sambil pegang bahu Sultan Maut.
"Di rumah sebesar itu kita bisa terjebak konyol jika mencoba masuk lewat pintu!"
"Apa usulmu?"
"Naik
ke atas atap dan mengintai lalu menerobos masuk!" jawab si pengemis
sakti. Lalu tanpa bicara lebih banyak dia segera melompat ke atas atap
bangunan. Sultan Maut menyusul. Keduanya yang telah memiliki ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi, mengendap-endap di atas atap,
mengintai setiap sudut bagian dalam rumah besar dengan mudah. Mereka
sengaja mengintai bagian rumah yang kelihatan terang setelah nyala lampu
karena di situ pasti ada orangnya. Beberapa kali setelah melakukan
pengintaian tiba-tiba terdengar kutuk serapah Sultan Maut.
"Iblis dajal terkutuk!"
Pangemis
Batok Tongkat cepat mengintai pula. Di bawah sana, dalam sebuah kamar
yang besar dan bagus, diterangi oleh dua lampu minyak besar, kelihatan
tubuh Piranti tergolek di atas sebuah ranjang. Di sampingnya setengah
berjongkok tampak Tembesi tengah membukai pakaian gadis yang masih
berada dalam keadaan tertotok itu.
Brakk!
Sultan Maut hantamkan
tumit kirinya ke atas atap. Atap yang terbuat dari kayu itu hancur
berantakan. Sebuah lobang menganga. Sultan Maut cepat melompat turun,
langsung masuk ke dalam kamar. Pengemis tua menyusul.
"Keparat! Jadi
kau berani menyusul kemari! Benar-benar minta mampus!" Tembesi yang
hanya mengenakan celana dalam sekilas melirik pada Pengemis Batok
Tongkat. Dia tadi melihat bahwa kakek inilah yang telah membunuh Rah
Tongga. "Kalian berdua mau apa?" bentaknya kemudian.
Sultan Maut mendengus. Pengemis Batok Tongkat mengekeh.
"Orang
yang mau mampus memang suka bertanya aneh-aneh!" kata kakek pengemis
sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya dengan tangan kiri.
"Kami datang minta nyawamu!" kata Sultan Maut.
Tembesi
segera sambar rantai hitam yang tergeletak di bagian kepala tempat
tidur. Dia sudah menjajal kehebatan Sultan Maut dan merasa tidak takut
terhadap orang ini. Tapi pengemis lihay yang ada bersama Sultan Maut
benar-benar membuat nyalinya berdetak. Berkelahi dua lawan satu mungkin
dia masih sanggup membunuh Sultan Maut. Mungkin. Tapi dirinya sendiripun
tak bakal lolos dari maut. Maka otak licinnyapun mulai bekerja. Dia
berkata, "Dengar, jika kau mau cucunya, ambillah. Dirinya belum
kusentuh! Sudah itu cepat pergi dari sini sebelum senjataku ini
menghancurkan kalian!"
Pengemis Batok Tongkat kembali tertawa mengekeh. "Gadis itu memang harus kami selamatkan tapi nyawamupun harus kau serahkan!"
"Bangsat
tua ini tidak main-main…" membatin Tembesi. Maka dia cepat berkata.
"Cucumu tak kuapa-apakan. Jika kalian segera pergi, ada satu peti
perhiasan dan uang yang boleh kalian bawa serta dan bagi dua!"
"Nyawa
anjingmu yang akan kami bagi dua manusia iblis!" teriak Sultan Maut.
Lalu dia menubruk ke depan. Tangannya kiri kanan menghantam. Dua
pukulannya itu mengeluarkan angin deras karena dia mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Tembesi menangkis dengan mengiblatkan rantai hitamnya.
Sinar hitam berkelebat. Gandulan berduri membabat ganas, Namun Tembesi
harus cepat menghindar dan tarik pulang serangannya karena dari samping
saat itu Pengemis Batok Tongkat merangsek dengan kemplangkan batok
kelapanya ke arah kepala!
Hanya dua jurus Tembesi mampu merangsek
kedua lawannya dengan serangan-serangan kilat dan ganas. Setelah itu
Sultan Maut dan kakek pengemis cepat mendesaknya.
"Sultan! Kau
selamatkan dulu cucumu. Lepaskan totokannya. Biar aku yang menghadapi
manusia iblis ini!" berkata Pengemis Batok Tongkat. Sultan Maut segera
lakukan apa yang dikatakan si kakek. Piranti ditariknya ke sudut kamar.
Di sini dia melepaskan totokan di tubuh gadis ini, merapikan pakaiannya.
Begitu sadar Piranti dengan cepat segera mengetahui apa yang terjadi
dalam kamar besar itu. Maka dengan tangan koosng diapun menyerbu
Tembesi.
Menghadapi tiga lawan seperti itu tak ada lagi harapan bagi
Tembesi. Menyadari hal ini dia masih coba membujuk dengan berseru. "Di
bawah tempat tidur ini ada lima peti berisi perhiasan dan uang perak,
juga uang emas. Kalian boleh ambil asalkan aku bisa bebas pergi dari
sini!"
"Siapa butuh benda itu!" teriak Sultan Maut. "Roh busukmu boleh membawanya sendiri nanti!"
"Keparat!"
maki Tembesi dalam hati. "Hai!" serunya kemudian. "Aku juga punya
beberapa orang gundik. Semua masih muda dan cantik-cantik. Kalian boleh
ambil!"
Sultan Maut mendengus marah. Pengemis tua tertawa mengekeh
sedang Piranti tampak gemas sekali. Ketiga orang itu kurung Tembesi
lebih rapat. Serangan mereka juga tambah deras. Membuat iblis Kota Hantu
itu semakin ciut nyalinya. Ilmu silatnya, pertahanan serta serangannya
menjadi kacau. Dia mengumbar tenaga luar dan tenaga dalam secara
berlebihan sehingga dalam waktu satu jurus di muka gebukan pertama mulai
menghantam tubuh Tembesi.
Orang ini tersorong ke depan begitu
jotosan Piranti menghantam tulang punggungnya. Karena terlalu
memperhatikan serangan-seranqan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat
Tembesi melengahkan rakan-gerakan Piranti, akibatnya tulang punggung
remuk. Di saat yang sama pengemis lihay itu berhasil menangkap gandulan
bola berduri senjata Tombak dengan batok kelapanya. Manusia iblis ini
merasa tangannya bergetar ketika dia berusaha melepaskan senjatanya.
Tenaga dalam lawan lebih tinggi dari yang dimilikinya!
"Gila!" maki
Tembesi. Nekad dia kerahkan ruh tenaga dalamnya dan membetot dengan
kakek Pengemis Batok Tongtcat tertawa mengekeh. Aliran tenaga dalamnya
tiba-tiba diputuskan. Bola besi berduri, lepas dari cengkeraman batok
dan tanpa dapat diperhitungkan atau dihindari lagi oleh Tembesi, besi
duri itu menghantam mukanya sendiri! Manusia iblis ini menjerit setinggi
langit dan roboh di samping tempat tidur. Selagi meregang nyawa dengan
tangan dan kaki melejang-lejang, Sultan Maut dan Piranti melompat, kaki
keduanya menghantam menginjak perut dan dada Tembesi. Tak ampun lagi
nyawa Tembesi putus detik itu juga. Mati dengan muka hancur, perut jebol
dan dada hancur.
"Kita kembali ke tempat pesta perkawinan gila itu!"
kata Pengemis Batok Tongkat. Ketiga orang itu segera tinggalkan tempat
tersebut.
***

KETIKA
Pengemis Batok Tongkat, Piranti, dan Sultan Maut sampai di rumah besar
milik Pinta Manik yang sedang jadi "pengantin" pertempuran di sana
berlangsung hebat. Baik Singkil Alit maupun Rangga terdesak hebat.
Kematian
Wiracula dan Rah Tongga sangat mempengaruhi semangat dua manusia iblis
yang sedang bertempur. Yaitu Singkil Alit melawan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Rangga menghadapi Indrajit. Singkil Alit sudah memaklumi tak
ada kemungkinan baginya untuk mengalahkan Wiro Sableng, apalagi saat
itu pemuda lawannya itu sudah mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang
terkenal angker dan ditakuti dalam rimba persilatan! Sebaliknya Rangga
walaupun yakin dia tidak bakal dapat dikalahkan dengan mudah oleh
Indrajit, namun semangatnya sudah patah lebih dulu. Berulang kali dia
memberi isyarat pada Singkil Alit untuk segera melarikan diri saja.
Singkil Alit alias Harimau Hitam bukannya tidak melihat isyarat kawannya
itu, namun dia belum melihat kesempatan untuk melakukan sesuatu guna
dapat menyelamatkan diri. Pinta Manik yang berada dalam keadaan mabuk
dan duduk di kursi "pengantin" di samping orang hutan betina yang tak
henti-hentinya menguik, jelas tak dapat diharapkan pertolongannya.
Traang!
Rantai
hitam di tangan Singkil Alit terbabat putus begitu dihantam Kapak Naga
Geni 212! Pucatlah para pimpinan manusia iblis itu. Tiba-tiba dia
berseru, "Tunggu!!"
"Eh, kau mau baca doa minta ampun sebelum mampus?!" tanya Wiro mengejek.
"Dengar,
aku Singkil Alit alias Harimau Hitam mengaku kalah. Tapi tak ada
persoalan yang tak bidsa diselesaikan. Mari kita berunding!"
"Wiro! Bangsat itu licik! Lekas tebas saja batang lehernya!" Pengemis Batok Tongkat memberi ingat.
"Tahan!"
seru Singkil Alit. "Bagi kalian mudah saja membunuhku saat ini. Tapi
jika mau berunding itu akan lebih menguntungkan bagi kalian!"
"Apa
yang hendak kau rundingkan! Cara matimu? Kau mau mati cara bagaimana
manusia iblis!" ujar Wiro sambil melintangkan Kapak Napa Geni 212 di
depan dada.
"Dengar. Biarkan aku dan Rangga meninggalkan tempat ini.
Semua harta kekayaanku kuberikan padakalian. Ini kunci kamar rahasiaku.
Semus harta itu tersimpan di sana! Ambillah!"
Habis berkata begitu
Singkil Alit lemparkan sebuah anak kunci ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng! Di saat itulah anak kunci yang dilemparkan mengeluarkan suara
seperti meletus dan asap hitam menggebu menutupi pemandangan!
"Celaka! Aku sudah memperingatkan!" ujar Pengemis Batok Tongkat.
Wiro
juga jadi jengkel melihat kebodohannya sendiri. Dia kiblatkan kapak
saktinya beberapa kali. Sinar perak menyilaukan berkelebat. Asap hitam
lenyap. Tapi Singkil Alit dan Rangga tak ada lagi di tempat itu. Karena
tak ada seorangpun yang melihat ke mana kedua manusia iblis itu
melarikan diri maka Wiro berseru, "Dua keparat itu tak mungkin bisa
kabur dan lenyap secepat itu. Di tempat ini pasti ada jalan rahasia!
Siapa yang tahu?!"
Seorang pengawal maju ke hadapan Wiro dan berkata,
"Saya tahu memang ada jalan rahasia. Tapi tidak tahu di mana pintu
masuknya, hanya tahu jalan keluarnya."
"Bagus! Tunjukkan padaku!" kata Wiro pula.
"Di luar pagar tinggi sebelah timur. Kita bisa lewat dari pintu utara . . . ." menerangkan si pengawal.
"Bagus!
Antarkan aku ke sana!" Wiro segera mengikuti pengawal itu. Ketika si
pengawal hendak menaiki kuda Wiro memegang bahunya. "Tak ada waktu kalau
kits harus berkuda lewat pintu gerbang utara. Dua iblis durjana itu
keburu kabur. Kita harus menuju langsung ke pagar sebelah timur . . ."
"Tapi di situ tak ada pintu. Tak mungkin memanjat pagar yang begitu tinggi!" kata pengawal.
"Naik saja ke kudamu, antarkan aku ke jurusan pagar timur yang kau sebutkan itu!"
Ketika
kedua orang itu sudah berada di atas punggung kuda, Pengemis Batok
Tongkat memegang lengan Handaka dan melompat pula ke atas seekor kuda.
Sebelum menyusul Wiro dan pengawal dia berpaling pada Sultan Maut dan
berkata, "Sultan, kau dan cucumu serta Indrajit tetap berjaga-jaga di
sini. Bukan mustahil jika dicegat di jalan keluar dua iblis itu akan
kembali ke mari!"
Dari kerumunan orang banyak terdengar seruan. "Bagaimana dengan iblis yang satu itu? Yang kalian kawinkan dengan orang utan?!"
"Yang satu itu kalian punya hak untuk menghukumnya. Kami tidak ikut campur!" sahut pengemis tua.
"Iblis itulah yang telah membunuh guru dan ketua kami!" tiba-tiba Indrajit berkata keras.
"Dia
pantas mati di tanganku!" Lalu pemuda murid perguruan silat Elang Putih
ini mengambil sebilah golok yang tergeletak di lantai.
"Indrajiti"
seru Sultan Maut. "Walau dosanya setinggi langit tapi kau tak bisa
membunuh orang yang berada dalam keadaan mabuk dan tak berdaya!"
Indrajit
menyeringai. "Dia dan kawan-kawannya meracun puluhan tokoh silat tak
berdosa ketika mereka juga berada dalam keadaan tak berdaya. Turut
penjelasan yang aku terima Pinta Maniklah iblisnya yang membunuh guruku
selagi mabok! Dia pantas mati dengan cara yang sama!" sahut pemuda itu.
Dia melangkah ke hadapan Pinta Manik yang duduk di kursi pengantin dalam
keadaan meracau mabok. Tanpa ragu-ragu Indrajit hujamkan goloknya ke
perut Pinta Manik. Satu lagi dari enam iblis Kota Hantu menemui ajalnya.
***
Pengawal itu berhenti di suatu tempat
di hadapan pagar batangan kayu jati yang terletak di timur kota. Dia
berpaling pada Wiro Sableng seraya menduga-duga apa yang hendak
dilakukan pendekar itu lalu berkata, "Lobang jalan keluar rahasia itu
terletak di jurusan pagar ini. Kira-kira dua puluh tombak di dalam
rimba. Cukup sulit mencarinya di malam gelap begini!"
"Di sebelah
sana banyak obor bergantungan. Ambil barang dua buah dan bawa kemari!"
kata Wiro. Lalu sebelum pengawal itu bergerak Pendekar 212 Wiro Sableng
hantamkan tangan kanannya ke arah pagar pohon jati. Sinar putih
menyilaukan yang menimbulkan hawa panas berkiblat. Pagar kayu jati di
seberang sana hancur berkeping-keping dan roboh!
Si pengawal
ternganga menyaksikan hal itu. Handaka menyuruk kaget di samping
gurunya. Sedang Pengemis Batok Tongkat sendiri mendecakkan lidah seraya
membatin, "Pukulan sinar matahari! Sudah lama mendengar baru kali ini
menyaksikan sendiri. Pemuda sableng ini benarbenar memiliki kepandaian
luar biasa . . . .!"
Begitu pengawal datang membawa dua buah obor,
orang-orang itu segera meninggalkan kota, menerobos melewati pagar yang
bobol. Kira-kira sepeminuman memasuki rimba belantara di timur kota, si
pengawal menunjuk ke arah sebatang pohon timbul.
"Lihat bagian kanan
pohon itu. Di balik belukar dan rerumpunan alang-alang itu ada sebuah
lubang batu. Itulah jalan ke luar rahasia …!"
Wiro maju mendekati
pohon timbul, menyorotkan obor di sebelah depan. Memang ada sebuah batu
besar di situ dan pada batu itu terdapat sebuah lobang yang cukup
tinggi, sepembungkukan manusia. Dia menyelidik dengan hati-hati. Tak ada
tanda-tanda alang-alang ataupun semak belukar di sekitar lobang itu
telah disibak atau dipijak orang sebelumnya.
"Mereka belum keluar
dari sini. Mungkin sebentar lagi," katanya memberi tahu pada yang lain.
"Padamkan obor!" Wiro meniup padam obor yang dibawanya. Hal yang sama
dilakukan juga oleh pengawal pengantar. Keadaan dalam rimba itu jadi
gelap bukan kepalang. Namun sesaat kemudian mata mereka mulai biasa.
Mereka berlindung di balik semak belukar di seberang pohon timbul.
Tak lama kemudian Wiro berbisik. "Mereka sudah mendekati mulut lobang…"
Pengemis
Batok Tongkat mengangguk. Telinganya yang tajam juga memang telah
mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Kemudian kelihatanlah dua
buah tangan menyambak belukar dan alang-alang. Dua sosok tubuh
berpakaian serba hitam keluar dari dalam lobang. Yang satu berkata,
"Keparat! Selamat juga kita sampai di sini akhirnya…" Yang berkata
adalah Singkil Alit.
"Kita selamat tapi bagaimana dengan semua harta kekayaan kita?" terdengar suara Rangga.
"Saat
ini kurasa masih hidup sudah untung. Lain kali kita buat rencana baru.
Kalau penyerbu-penyerbu keparat itu sudah pergi kurasa kita bisa kembali
ke Kota Hantu untuk mengambil harta itu…" Singkil Alit putuskan
kata-katanya. Matanya melihat ada sesosok bayangan bergerak dalam gelap.
"Siapa itu?" bentaknya seraya siap melepaskan pukulan tangan kosong
sementara Rangga bersiap dengan rantai hitam gandulan bola besi
berdurinya. Sosok tubuh itu kelihatan lebih jelas.
"Hai!" seru Rangga. "Bukankah itu bocah yang ikut para penyerbu di Kota Hantu?!"
"Astaga,
memang dia!" sahut Singkil Alit begitu mengenali Handaka. Kontan
suaranya bergetar dan lututnya goyah. Dalam gelap Rangga sendiri berubah
ketakutan wajahnya.
"Bagaimana bocah keparat ini bisa berada di sini?!" ujar Singkil Alit.
"Kami
yang membawanya ke mari!" satu suara menjawab. Berpaling ke kanan
Singkil Alit dan Rangga lihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak beberapa
langkah di seberang sana. Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan
mencekal Kapak Naga Geni 212. Di sebelah kanannya tegak kakek berambut
putih berpakaian rombeng yang bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat.
Lalu agak jauh,dari situ kelihatan berdiri seorang bekas pengawal Kota
Hantu. Kedua Iblis ini segera maklum apa yang terjadi Sang pengawal
telah membocorkan rahasia, memberi tahu lobang keluar di dalam rimba
itu!
"Se tan alas! Kau yang berkhianat!" teriak Singkil Alit marah
lalu menerkam pengawal penunjuk jalan. Tapi tubuhnya serta merta
terdorong ke samping begitu kakek pengemis menghantam dengan pukulan
tangan kosong. Cepat kepala komplotan manusia-manusia iblis ini sambar
rantai hitam dari tangan Rangga dan menyerbu si kakek dengan senjata
itu.
"Sobat tua, biar aku yang menghadapi biang iblis ini. Kau layani
yang satu itu. Aku tidak lupa pesanmu agar menyisakan sebagian nyawa
keparat ini untuk muridmu!"
Mendengar ucapan Wiro itu Pengemis Batok
Tongkat segera melompat ke arah Rangga sedang Wiro dengan Kapak Maut
Naga Geni 212 menyongsong serangan rantai hitam Singkil Alit!
Gandulan
bola besi berduri lewat di atas kepala Wiro Sableng. Sebaliknya
sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 juga luput setengah jengkal dari perut
Singkil Alit. Sebelum lawan siap dengan kuda-kuda penyerangan baru
Singkil Alit cepat mendahului menyerang dengan senjatanya. Namun sekali
ini kapak sakti di tangan Wiro datang menyapu dari bawah, menggunting
serangan lawan di tengah jalan. Dan Singkil Alit tidak kuasa untuk
manyelamatkan senjatanya dari tebasan kapak. Rantai hitam itu terkutung
dua. Gandulan besinya menancap di pohon timbul, sisanya masih tergenggam
di tangan Singkil Alit.
"Celaka! Aku harus lari!" keluh Singkil Alit
yang merasa tidak punya harapan lagi. Dia lemparkan potongan besi di
tangannya ke arah Wiro lalu memutar tubuh ke jurusan kiri siap untuk
kabur. Tapi gerakannya tertahan. Seperti ada yang menangkap pergelangan
kakinya lalu ada satu gigitan sakit sekali di pahanya. Memandang ke
bawah Singkil Alit dapatkan anak bernama Handaka itulah yang telah
melakukannya.
"Budak keparat!" maki Singkil Alit. Tinju kirinya
dihantamkan ke kepala Handaka. Namun pukulan maut itu tak pernah
kesampaian karena di saat yang sama dia merasakan sambaran angin.
Terdengar suara crass! Bahu kanannya terasa dingin, lalu ada yang
memanasi sekujur sisi kanannya. Ketika dia memandang ke kanan ternyata
tangannya sebelah kanan sebatas bahu telah putus disambar kapak Wiro.
Saat itulah dia baru merasakan sakitnya dan menjerit kesakitan!
Craas!
Kini
giliran lengan kiri manusia iblis itu yang ditebas kapak Naga Geni 212.
Tubuh Singkil Alit menggigil panas oleh hawa dan racun kapak yang mulai
bekerja. Dia tersandar terhuyunghuyung ke sebatang pohon, lalu melosoh
jatuh ke tanah. Wiro dekati Handaka lalu angsurkan Kapak Naga Geni 212
pada si anak seraya berkata, "Selesaikan urusanmu dengan manusia yang
telah membunuh ayahmu!"
Handaka tampak ragu-ragu. Bukan saja dia
merasa angker melihat senjata yang diangsurkan kepadanya itu, tetapi
juga merasa senjata itu terlalu besar baginya dan tentu berat sekali.
Tetapi ketika Wiro menarik tangannya dan memegangkan kapak ke tangannya,
Handaka terkejut. Senjata mustika yang begitu besar ternyata enteng
sekali. Seolah-olah dia hanya memegang sebilah pisau besar biasa.
Mendapatkan kenyataan ini maka tetaplah hati Handaka. Sekilas terbayang
olehnya saat-saat ketika ayahnya mati di tangan Singkil Alit. Tanpa
ragu-ragu Handaka ayunkan Kapak Naga Geni 212.
Singkil Alit mendelik dan berteriak, "Jangan…!"
Mata
kapak menancap tepat di kening manusia iblis itu. Handaka merasakan
tangannya gemetar. Dia seperti tak kuasa mencabut kapak dari kepala
Singkil Alit. Terhuyung-huyung anak ini melangkah menjauhi pembunuh
ayahnya itu yang kini sudah jadi mayat. Wiro usap kepala Handaka lalu
ambil Kapak Naga Geni 212.
"Ayahmu akan tenteram dalam kuburnya
Handaka. Dia pasti tahu bahwa kau telah membalaskan sakit hatinya!" kata
Wiro. Kedua mata Handaka tampak berkaca-kaca. Sementara itu Rangga
talah menerima beberapa kali pukulan dari Pengemis Batok Tongkat. Tulang
iganya sebelah kiri patah. Pelipisnya sebelah kiri benjut besar dan
matanya bengkak serta mengeluarkan darah. Sadar dia tidak mungkin
mempertahankan diri lebih lanjut apalagi mengetahui Singkil Alit telah
mati maka iblis satu ini tiba-tiba jatuhkan diri seraya meratap.
"Aku
mohon kalian mengampuni selembar nyawaku yang tidak berharga ini! Aku
akan bertobat. Aku berjanji akan menempuh hidup baik!"
"Siapa yang
mau mendengar ratapan iblis!" kata pengemis tua. "Nyawamu memang tidak
berharga karena itu kau layak mampus!" Lalu Pengemis Batok Tongkat
hantamkan tendangan kaki kanannya ke kepala Rangga. Orang ini mencelat
dan terkapar di antara semak belukar. Separoh dari mukanya yang dihantam
tendangan hancur mengerikan. Sesaat kesunyian menggantung di tempat
itu.
"Kits kembali ke Kota Hantu . . ." kata Wiro.
"Ya, tapi kau sajalah. Aku dan muridku harus kembali ke tempat kediaman kami. Urusan kami sudah selesai …" jawab kakek pengemis.
"Kalau begitu akupun tak perlu kembali ke sana …"
"Kau
harus," sahut si kakek. "Paling tidak untuk memberi tahu Sultan Maut
dan yang lainlainnya serta semua orang di Kota Hantu bahwa enam manusia
iblis telah menemui kematiannya. Kau harus ikut mengawasi keadaan di
situ. Bukan mustahil penduduk saling berbunuhan memperebutkan harta
kekayaan enam iblis yang tertinggal. Bukan mustahil para pemuda
memperebutkan perempuan-perempuan cantik bekas peliharaan
manusia-manusis keparat itu. Dan juga apakah kau tidak ingin menemui
kembali gadis bemama Piranti yang cantik jeiita itu. Kulihat kau
terus-terusan memperhatikannya: Ha… ha… ha…"
Wiro Sableng merasakan mukanya merah dan garuk-garuk kepala.
"Hai, jika kau tahu aku memang memperhatikannya, berarti kau juga mengawasi gadis itu!"
sahut
Wiro. "Aku yang muda tidak malu mengatakan kagum pada kecantikannya.
Tapi kau yang tua begini masih tertarik pada jidat licin muka jelita. Ha
. . he. . ha …."
Murid Sinto Gendang itu hentikan tawanya ketika dia
menyadari bahwa si kakek bersama muridnya sudah meninggalkan tempat
itu. Dia tinggal sendirian ditemani mayat Singkil Alit dan Rangga.
Setelah menimang-nimang sesaat akhirnya pendekar ini mengikuti juga
ucapan si kakek tadi, kembali ke Kota Hantu.
TAMAT