SAAT ITU
menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak
seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara
tawanya bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung
serta binatang-binatang lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan
udara dingin, tetapi juga menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang
dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini berlari
hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh jarak ratusan tombak.
Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat di ufuk timur
merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri.
Tanda malam telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya.
Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel pada dedaunan di
sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan perjalanan
kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun
sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian gembiranya?!"
Orang
yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu
melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di
hadapannya, bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak
enak.
Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal dengan julukan Sepasang Kobra Dewata.
Jubah
mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar
serta tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya
benar-benar hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa
tokoh silat di Jawa Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang
menguasai rimba persilatan di Pulau Dewata ini?
Mereka bukan dari
golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni Singgar Manik
merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih
dan baik!
Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu
Singgar Manik lantas berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang
Kobra Dewata sungguh merupakan hal yang tidak terduga. Satu kehormatan
bagiku kalian mau menegur bertutur cakap. Hendak kemanakah kalian
berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata
rangkapkan tangan di muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata:
"Angin kegembiraanmu lah yang agaknya telah membawa kami ke mari. Coba
kau terangkan apa. yang begitu menggembirakanmu hingga tertawa bergelak
sepanjang jalan? "
“Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab
Singgar Manik. Hatinya semakin tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku
hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan kebahagiaan."
"Betul
sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka
Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini
bukan kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu
pada kami berdua!"
Singgar Manik coba tersenyum.
"Jika kalian
memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu
makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan
cantik untuk hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang
bentuk bagaimana aku Singgar
Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gand ring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya menyeringai.
"
Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak
punya waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di
sini saja sobatku Singgar Manik!?
Singgar Manik coba sembunyikan
rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan apakah yang musti kuberikan
di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka Gandring. Ah,
akupun tidak punya banyak waktu . . . "
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu.
Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata: "Kenapa
musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita belum selesai"
"Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka
Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya: "Apakah tamumu itu pemilik
tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik
pakaianmu . . . . ?!"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi
menyembunyikan perubahan air mukanya. Meskipun demikian dia masih
menjawab: "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau ini membicarakan
soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan
sepasang tangan di depan dada dia lalu berkata: "Seminggu lalu kami
ketahui kau berada di sekitar danau Jembangan. Kau telah mencuri
sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh silat yang bergelar Si
Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan. Merupakan satu
senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang
pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian
itu, terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi
incaranmu. Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Pendengaran
dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu minggu
lalu aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk
kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si
Pemusnah Iblis terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya
aku mana punya kemampuan? Daripada mendapat celaka lebih baik
mengundurkan diri. Lain hari jika angin baik aku akan berusaha lagi
mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-sama, hatiku akan senang
sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini?!"
"Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali: "Juga
puas
sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang
Kora Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk
kundai itu. Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis
berkata begitu Nyoka Gandring
ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandring!
Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betulbetul belum
berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah?! Bagus
juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan! Bersumpahlah pada
setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku kehilangan
kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar
Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan
Sepasang Kobra. Dewasa itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidak
mengikuti berarti melawan yang pasti disusul dengan terjadinya
bentrokan. Menghadapi Sepasang Kobra Dewata yang terkenal hebat itu
bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus.
Matanya yang besar memandang garang pada Singgar Manik. Kedua kakinya
merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi mendekat di dada
perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku…"
"Satu!"
Nyoka Gandring mulai menghitung;
"Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua…….. !"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur.
NyokaGandring
membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar Manik.
Serangkum angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir
seraya berseru:
"Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat ini?! "
“Wus!”
Serangkum
angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua
kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku mari kita beg pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama
Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik. Menghadapi
satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit bagi
Singgar Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia
harus bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah
langkah tak ampun lagi serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan
mungkin membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak Singgar Manik tiada
hentinya berteriak agar Sepasang Kobra Dewata menghentikan serangan.
Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak ambil perduli. Malah mereka
semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga
setelah bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak terdesak! 
DUA KALI
pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu
satu jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya pula. Singgar Manik
tampak terhuyung-huyung. Keningnya mengerenyit menandakan dia tengah
menahan rasa sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring
tadi telah membuat tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia
bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya.
Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai kelengahan
lawan agar dapat menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan
diri.
Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang
Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan sedang untuk
menangkis serangan senjata rahasia, mereka kebutkan lengan jubah hijau
masingmasing hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
Gerakan-gerakan
lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat adanya
kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar
tubuh dan kabur.
Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia
kemarin. Dari gerakan yang dibuat lawan mereka sudah maklum apa yang
sedang direncanakan Singgar Manik. Karenanya begitu lawan ambil
ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring dan Putubayan cepat
berkelebat menghadang.
Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga
gal kabur, dengan penasaran Singgar Manik lepaskan satu pukulan ke
batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus yang diserang menangkis
dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara keras. Singgar
Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah dan ketika
diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di depannya
sebaliknya Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai
mengejek.
"Masih juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka Gandring.
"Manusia keparat! Kalau kau mau k an benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei
berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian
sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana
berada dalam genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai
senjata diapun menyerang Nyoka Putubayan.
Sinar putih yang disertai
angin panas menyembur dari tusuk kundai! Nyatalah benda yang biasanya
menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi
sebentuk senjata mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang
Kobra Dewata menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yang
mereka anggap sebagai pencuri dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang
sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat menyingkir
sambil kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak tinggal
diam. Dia teruskan serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke
arah tangan lawan.
Bret!
Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek
besar direnggut bagian runcing tusuk kundai! Nyoka Putubayan sendiri
merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih untung hanya lengan
jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena atau terluka
oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya celakalah
dirinya!
"Adikku hati-hati!"
Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita takutkan.
Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek.
"Jika
kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas
minggat dari sini? Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar
Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau
terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan
tangan kannya ke depan. Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar
Manik.
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh
angin pukulan lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang
dipegangnya ke depan. Hebat! Angin pukulan orang kedua dari Sepasang
Kobra Dewata itu musnah!
Kejut Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga
kakaknya ketika menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang barusan
dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti Mematuk. Merupakan salah satu
pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah meyakini ilmu pukulan
itu selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah oleh tusuk
kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin
keraslah hasrat Sepasang Kobra Dewata untuk memilikinya. Keduanya
saling kedipkan mata memberi isyarat. Lalu didahului dengan
bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang dari samping
kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.
Singgar Manik hantamkan tusuk
kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang lebih dulu dan lebih dekat
di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana dari Bali ini
tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari
samping menderu angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali
Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh. Segera dia
kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak
menghantam per gel angan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah
dan tusuk kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental! Singgar Manik
menjerit kesakitan.
Dia melompat untuk menyambar tusuk kundai yang
mental di udara dengan tangan kiri. Namun tubuhnya segera terbanting ke
belakang begitu satu jotosan melanda dadanya dengan keras!
Lelaki ini
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan
kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang
kuda-kuda baru. Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya
terasa panas. Sesaat kemudian darah kental mengalir keluar dari sela
bibirnya. Memandang ke depan dia lihat Nyoka Putubayan sudah berhasil
menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!" kata Nyoka
Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan kanannya. "Kami
Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu.
Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta
nyawamu.
Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa lagi? Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka Gandring.
"Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar
minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk kundai di
tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan
panjang. Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga berlubang
dalam dan darah mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya
terputar ke samping dan roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata
melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan
ujung lengan jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu
meludah dan berkata: "Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta
mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat
pada kakaknya. Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat
itu.

DI ATAS
tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua
kakinya buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di
muka dada. Kepalanya menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka.
Rambutnya yang putih melambailambai ditiup angin yang datang dari arah
danau.
"Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata
dengan nada keras. "Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak
bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan
didepan si orang tua menyusut air matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya
bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan tangis yang seperti hendak
meledak.
"Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu !" berkata lagi si orang tua.
Sekali
ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu
semua salah saya….Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda
itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda
perjodohanmu-Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas
dicuri orang. Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua
berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-katanya: "Bagaimana
aku musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng!
Tusuk
kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda
persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro
Sableng, pemuda sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo,
coba kau katakan bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika
saja kedua kakiku ini tidak buntung pasti sudah sejak lama aku
meninggalkan pondok gua mengejar pencuri laknat itu!"
"Eyang, saya
yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu," Lestari
membuka mulut "Saya tak akan kembali sebelum dapat…."
Orang tua itu
usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata:
"Terserah padamu apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi. Kuharap
kau dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu
lagi bagaimana menghadapi Sinto Gendeng nanti.
Gadis bernama Lestari
berdiri. Dia masuk ke da-lam sebuah kamar. Ketika keluar sudah berganti
pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang merah. Rambutnya yang tadi panjang tergerai
kini diikat buntut kuda. Meski wajahnya murung dan kedua matanya merah
habis menangis namun kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang
tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat.
Sambil menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali
jika tusuk kundai itu kau temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya
jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin kau
dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan
mereka jika sewaktu-waktu kau ditimpa mara-bahaya dan kau tak sanggup
menghadapinya seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya perhatikan.".
Setelah menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan pondok itu.
Ratusan
tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh dengan
pepohonan rindang Lestari berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah
sebatang pohon sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan bagaimana
caranya dapat mengetahui siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya
dengan Wiro Sableng.
Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu (baca serial Wiro Sableng Hancurnya Istana Darah)
gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan oleh gurunya
dengan Wiro Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara
kebetulan gurunya memberi tahu , mengenai urusan perjodohan itu. Bagi
Lestari dia tak akan menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena
dia percaya bahwa semua itu untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi
pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro Sableng bersedia mematuhi ikatan
jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya. Pemuda itu telah
menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana Darah.
Hutang nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa
dilakukan dengan bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada
suami. Tapi apakah dia mencintai pemuda itu?
Memandang ke langit
Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah siang.
Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak
jauhnya murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan,
mendadak bau amat busuk menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah
dan memandang berkeliling. Dia dapatkan bau busuk itu datang dari
jurusan tenggara. Segera dia melangkah menuju sumber bau itu untuk
mengetahui lebih jauh. Mula-mula dia melihat burung-burung gagak hitam
pemakan bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian
terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh
langkah lagi Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk itu.
Yakni sesosok tubuh manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk
dan rusak.
Lestari tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia
melihat kedua mata mayat itu hanya tinggal merupakan dua lobang besar
mengerikan. Hidung dan bibirnya, bahkan hampir keseluruhan daging pada
wajahnya telah habis berlubang-lubang digerogoti burung-burung gagak.
Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya yakni dada, perut dan kedua
kaki serta tangan.
Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang
telah jadi mayat ini. Matanya yang tajam dapat melihat dua buah titik
lobang pada kening mayat serta darah yang telah keras membeku.
Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena
tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera hendak
tinggalkan tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat sepotong kain
berwarna hijau. Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin
sekali ini sobekan ujung lengan
pakaian. Lengan pakaian siapa? Dia
memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian orang yang membunuh?
Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu. Tanda-tanda
memang menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari. Robekan kain hijau itu lalu dimasukkannya ke balik pakaian merahnya.
Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di tempat itu sang dara segera berlalu.

SEBENARNYA TAMPANG
pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat pucat dan tubuhnya
tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan putera
seorang-bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember
akan menggelarinya "Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat
Kerempeng" atau lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira
tinggi kerajaan yang dulu dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang
tega memberi gelar ejekan itu pada si pemuda.
Di samping itu pemuda
ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat, yang dipelajarinya dari
ayahnya; Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri
selama dua puluh lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu
pedang yang sangat tinggi hingga semasa jayanya dia mendapat julukan
"Raja Pedang Kotaraja".
Meski sang anak belum mewarisi seluruh
kepandaian ayahnya namun tingkat kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima
orang perwira muda kerajaan yang mengeroyoknya sekaligus belum tentu
dapat mengalahkannya dalam perkelahian dua puluh lima jurus!
Kalaupun
pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk, namun
rata-rata banyak penduduk yang tidak suka padanya. Ini disebabkan
kesombongannya. Dan kesombongan ini berpangkal pada kepandaiannya
memainkan pedang. Menurut dia selain ayahnya maka dialah jago pedang
kelas satu di tanah Jawa. Karenanya semua orang harus hormat dan tunduk
padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo
Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu, berada di
rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama
tiga orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar rumah makan
terdapat sebuah tong sampah yang telah dua hari tidak dibersihkan hingga
isinya meluber dan bau busuk menebar serta lalat datang bergerombolan.
Binatang ini ternyata tidak hanya mencari makanan pada tong sampah itu
saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga di atas makanan yang
terhidang di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya
terganggu dengan adanya puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat
ini jadi jengkel. Sambil mengomel dia berteriak memanggil pelayan.
Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan mata melotot dan mulut
tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga sebagian makanan
dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau membayar makananmu yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu
saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia
mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja
diusir binatang-binatang ini kembali datang, malah lebih banyak.
"Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!" bentak Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah
lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat
yang ada di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti
dengan lampu itu.
"Binatang sialan!" makin salah seorang kawan Ronggo
Bogoseto. Dia pergunakan kedua tangannya menepuki binatang itu. Dua
kawannya melakukan hal yang sama. Banyak lalat yang mati, tapi tangan
mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak banyak berkurang.
Ronggo
Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai rumah
makan. Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak.
"Kawan-kawan,
melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada cerita
tentang seorang yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk!
Hai, apa kalian pernah dengar cerita itu?!" Ketiga pemuda kawannya itu
sama mengatakan pernah.
Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu.
"Sekarang
akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di
rumah makan jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari
tujuh ekor lalat dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat
jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo. "Aku benar-benar ingin
melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan semua orang di
sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi. Sedang pemuda yang ketiga
ikut berkata: "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu
Ronggo!" Ronggo berdiri dari kursinya. Dia memandang dulu berkeliling
lalu sret! Pemuda ini cabut pedang yang selalu dibawanya. "Lihat! Kalian
lihat semual" katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya sangat
cepat Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan
kehebatanku!" Lalu wut!
Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto
mencuit di udara. Sembilan ekor lalat terkaparan di lantai dan di meja.
Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
“Luar biasa!"
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri.
Ronggo
Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi meandang berkeliling. Memang mau tak
mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang
barusan dilakukan si pemuda memuji kagum. Dan melihat semua orang
mengaguminya bertambah sombonglah Ronggo. Dia ingin semua orang
benar-benar meyakini bahwa dialah jago pedang nomor satu sesudah ayahnya
di Jember dan seluruh Jawa. Maka dia kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Inilagi!"
Tiga
kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih
belum puas dia susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia
menghentikan gerakannya, tak seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja
makan itu,
Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah.
Seorang dari mereka berkata: "Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jeuh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping
hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu.
Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata: "Sekarang kalian
saksikan sendiri kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
Keempat
pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu
meneguk minumannya, namun gelas minuman buru-buru diletakkan seraya
berkata: "Astaga ronggo! Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke
rumah makan ini?!"
Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke jurusan itu.
Seorang
dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam
buntut kuda tampak memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali.
Jangankan para pemuda itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan
itupun tak segan memandanginya dengan hati kagum.
"Amboi!" Ronggo
sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki sedang sepasang
mata menyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya. "Tapi sekuntum
bunga mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang dihembuskan
angin untuk menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa.
Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain adalah Lestari mengambil
tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau tak
keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan kawatir, kau tak
usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto.
Dilirik
begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga
temannya: "Lihat, dia melirik padaku. Ah, taksangka hari ini aku bakal
melihat bunga yang begini cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari
tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu. Dia melambaikan tangan
memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo, rupanya gadis itu
malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang pergi duduk ke
mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar.
"Kau
betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia
sendiri. Kalau sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula
seraya berdiri dan melangkah ke meja Lestari lalu duduk di kursi di
hadapan sang dara. Setelah cengar cengir sebentar pemuda ini memanggil
pelayan.
"Hidangkan makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?" Ronggo Bogoseto
bertanya
sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa.
Lestari palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih,
betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang
timur. Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil mancung.
Bibirnya merah seperti delima merekah!" kata Ronggo dalam hati memuji.
Namun sesaat kemudian dia merasa terkesima karena pandangan mata sang
dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik
bertanya. "Ah! Namaku Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak
dibusungkan. Dia merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu
pertanda bahwa sang dara juga menaruh perhatian terhadapnya. "Namaku
bagus bukan! Dan tampangku gagah! Ayahku adalah bekas perwira tinggi
kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Tapi ada
orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku memutar balik pedang
lebih tinggi dari ayahku!" "Betul, betul!" salah seorang kawan Ronggo
berkata sambil tegak dari kursinya. "Sayang kau terlambat datang.Kalau
kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan sempat menyaksikan
kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali membabatkan
pedangnya!" "Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang
benar!" ujar Ronggo Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak
mekar. Lalu dia berkata: "Kalau kau suka, di hadapan dara secantikmu ini
aku bersedia memperlihatkan kehebatan permainan pedangku!"
"Oo
begitu . . . ?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam
hati dia menambahkan: "Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak
beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata: "Jadi kau mau melihat kehebatanku dengan mata kepala sendiri?!"
"Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu meneguk minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil usapusap dada.
Lestari
hampir tak melihat kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia
merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang
mengikat rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas
dari ikatannya dan tergerai di bahunya. Di saat yang sama pedang yang
tadi berkelebat kini sudah kembali berada dalam sarungnya. Sungguh satu
gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepatnya.
"Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji.
Meskipun
jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun
sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui
bahwa ilmu pedang si pemuda memang luar biasa.
"Saudari kau belum
memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku tadi!" Ronggo
berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola mata meliar.
"Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak.
"Tapi!"
katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan
ilmu pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!"
Habis
berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke
pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke
bawah dan terdengarlah suara tring . . . tring . . . tring …. tiga kali
berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga
kancing pakaian merahnya telah putus tanggai hingga dadanya yang putih
tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo Bogoseto dan juga semua mata
lelaki yang ada di situ menyaksikan satu pemandangan yang membuat mata
mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat tutupkan
pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo serta kawankawannya
tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
”Benar!
Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu
diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan
datang dari arah pintu rumah makan

BESIUR
angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan.
Kalau Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah tubuhnya akan kena
disambar angin deras tersebut!
Semua orang yang ada di ruangan itu
terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas perwira tinggi kerajaan yang
sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke pintu. Di situ tegak
seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya gagah.
"Bangsat! Siapa kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak membiru.
"Siapa
aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang
ajar yang pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina
perempuan! Angkat kakimu dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahoi! Ada
pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang
pemuda kawan Ronggo. Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina
dina! Kau bicara keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan
siapa?!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet!
Lalu kawanmu yang satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai
jago pedang kelas satu di Jawa itu, di mataku tak lebih dari seekor
kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat perempuan cantik!"
Tanpa
perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda
melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah
melihat pemuda ini tapi tidak ingat entah di mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg . . . Bukankah kau Panji Kenanga? Murid brahmana Lokapala dari gunung Raung?" tanya Lestari.
"Ah, ssyukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah.
Di situ dikisahkan bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro
dan Lestari juga tersama gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga
diceritakan Panji Kenangalah yang telah mengembalikan suling perak milik
Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat jahat bernama Tapak Biru).
Dimaki
dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan
marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki kepandaian
silat maka mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo
Bogoseto. Pemuda ini menghardik.
. "Bangsat baju putih! Urusanmu
dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak bermesraan dengan gadis itu
di depanku!" Dengan tersenyum Panji Kenanga menjawab. "Oh, rupanya kau
masih di situ. Kukira sudah minggat bersama kawan-kawanmu!" "Keparat!
Kau belum tahu siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo Bogoseto bukan? Kau
putera bekas perwira tinggi kerajaan. Ayahmu berjuluk Raja Pedang
Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu pongah! Kau jadi
lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
Oo . . . jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar sampai babak balur!"
"Seharusnya
kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji kawanku
ini. Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa
tentunya kau Pangeran? Hik. . . hik!"
"Setan alas!"
Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
Sret!
Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang
dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah seorang pemuda
berteriak memberi semangat Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung.
Lalu berkata pada Panji Kenanga. "Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas
cabut jika tak ingin mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah
mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka pucat itu. Karenanya tidak
sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya"Gajah Biru", sebuah
senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari gading gajah.
Ketika
melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo
Bogoseto agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan
kepandaiannya maka dia menyimpan rasa takutnya dan berganti dengan sikap
percaya diri yang keterlaluan dan menjadikannya pongah sombongi Dia
melangkah mendekati Panji Kenanga. Tiba-tiba didahului bentakan keras
pedang di tangannya menyambar. Demikian sebatnya hingga benda itu kini
berubah menjadi sinar putih yang bersiur deras dan bertabur ke arah
kepala Panji Kenanga.
Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil
tundukkan kepala, lalu berkelebat ke kanan sapukan pedang Gajah Biru.
Melihat gerakan lawan seperti itu Ronggo Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu tiga jurus kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!"
balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku ini!"
Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji
Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya
merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca? Ilmu pedang pemuda
muka pucat itu benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak
tangan musuh dia sudah mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang
palsu!
Setelah mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka.
Pedangnya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata
Panji Kenanga. Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi
hingga dapat mengelakkan semua serangan. Di sini tampaklah bahwa di satu
pihak Ronggo Bogoseto memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi
tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh. Sebaliknya Panji Kenanga
memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat ilmu meringankan
tubuhnya jauh melampaui lawan.
Panji putar pedangnya dengan sebat
hingga sinar biru tampak bertabur bergulunggulung. Dia coba menerobos
ke depan untuk membuyarkan serangan pedang lawan yang seolah-olah
membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia sudah
mengerahkan seluruh kepandaian. Di jurus ke sembilan Panji Keanga mulai
menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali tidak mengandung
tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga
luar atau tenaga kasar ditambah dengan kecepatan yang memang luar biasa.
Maka di jurus ke sepuluh Panji ambil keputusan!
Ketika pedang Ronggo
Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat di pangkal
leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong serangan.
Trang!
Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
Ronggo
Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang pedang
itu sendiri terlepas mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit
rumah makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur.
Matanya membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada
pedangnya yang ada di langit-langit. Ketiga kawannya juga sama terkesiap
kaget. Semua orang yang ada di situ tidak menyangka jago pedang kelas
wahid putera Raja Pedang Kotaraja dapat dikalahkan oleh seorang lawan
muda yang tidak dikenal!
"Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji.
"Jika kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana dan teruskan perkelahian!"
Mau
rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan
malu. Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat itu justru rasa
malu dan seperti tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat! Jika kau
benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!" ujar Ronggo
Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka
menuju; ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau apa pula?!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang menghadangnya adalah Lestari.
"Mauku
ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak
menampar muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja
tamparan Lestari membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah
kiri pecah.
"Jahanam!" maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari. Namun
pukulannya ini dengan mudah dapat dielakkan Lestari malah kini kembali
tangan gadis itu bergerak ke atas. Kali ini menjambak rambut si pemuda
lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun tubuh ronggo tertarik dan
terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di tanah. Mukanya
berkelukuran, lecet dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari
hidungnya.
Sambil mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh
tiga temannya. Kedua tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh
hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran!
Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu tak
menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu kemudian dekati si gadis.
"Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah Iblis itu ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau Jembangan.
"Panjang kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh
dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua
yang terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus
kujalani" .
"Hemm… tugas urusan apakah itu?"
"Aku sudah katakan,
tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai Pangeran sedang itu datang
kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.

PANJI KENANGA
memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari betul.
Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke
arah rumah makan. Di depan mereka melangkah seorang lelaki berpakaian
bagus dan rapi, berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah
blangkon berwarna memutih. Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia
paling tidak sekitar enam puluh tahun. Dan pasti dia adalah ayah Ronggo,
manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
Kelima orang itu
sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus sesaat
menatap wajah kedua muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah
makan dimana dilihatnya menancap sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo
tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat
keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat
ke arah Panji Kenanga.
Panji Kenanga memutar duduknya sedikit lalu
bertanya: "Apakah kami berhadapan dengan bekas perwira tinggi berjuluk
Raja Pedang Kotaraja?"
‘Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari
sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan
bahwa orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak keterlaluan
seperti puteranya.
Panji Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo
dan berkata: "Kau sudah membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa
ibumu sekalian?!” Merahlah paras Ronggo Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
"Keparat!"
maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian dan
melompat untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan
mendorongnya ke samping.
"Orang muda! Apa yang telah kau lakukan
terhadap pu teraku merupakan penghinaan. Merupakan tindakan kejahatan
dan kekerasan. Dan kini di hadapanku kau masih berani bicara kurang
ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani berlaku begitu!"
"Orang tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan seenak perutmu sendiri?!" Lestari buka mulut.
Raja Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan.
"Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian lihat apakah kalian juga orang baik-baik?!"
Mendidih amarah Raja Pedang.
"Gadis
lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini
layangkan tamparan ke muka si gadis. Namun baru setengah jalan sebuah
benda keras membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji
telah menepis dan menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja
kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki kekuatan seperti itu.
Dengan penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji. Namun
serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah
berpindah tempat.
Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan
kesempatan untuk melompat mengambil pedangnya dari langit-langit rumah
makan. Dengan senjata ini dia kemudian memburu ke arah Lestari.
"Gadis liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu!"
"Rupanya
hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti
menghajarmu? Memang kalau tidak kuhajar kau sampai babak belur belum
puas hatiku!"
Wut! Pedang di tangan Ronggo berkelebat. Lestari angkat
sebuah kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus
dibabat pedang.
"Sebentar lagi tanganmu . . . . "
Ronggo tak
sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang
oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak,
pasti mukanya akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar
senjata itu bergulung-gulung menguning Lestari.
Sebelumnya Lestari
sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia juga
mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang
tinggi, apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari
memanfaatkan kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan
jurus-jurus silat andalan yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah
Iblis. Setelah dua jurus menyerang tanpa hasil, Ronggo putar pedangnya
lebih sebat. Rahangnya menggembung tanda marah. Namun kursi di tangan
lawan merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya. Berkalikali dia
berusaha menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali serangannya
tidak membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat
menghantam lengan kanannya.
Trak! Ronggo menjerit kesakitan. Tulang
lengannya patah. Pedangnya mental jatuh bergrompyangan di lantai. Dengan
sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat menyaksikan apa yang terjadi
atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena saat itu dia sendiri
tengah mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga. Orang
tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan
besar itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana
saja. Namun seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga
dalam. Cuma orang tua satu ini memiliki pengalaman luar biasa hingga
dalam sepuluh jurus dia dapat mengunci Panji Kenanga di salah satu sudut
rumah makan. Panji keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah
Biru di tangannya bukan senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia
dapat dicelakai lawan. Selama sepuluh jurus lagi Panji bertahan
mati-matian.
"Kalau tidak ku barengi dengan pukulan, sulit
membuyarkan serangan yang mengurung ini!" kata Panji dalam hati.
Karenanya memasuki jurus ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan
bentakan garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan
kiri. Jago tua itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar
dan membuatnya tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi
diri. Namun gerakannya ini membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi
terbuka. Justru ke arah bagian tubuh inilah Panji membebatkan pedangnya
disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan sinar biru.
"Celaka!"
seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan
lawan. Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji,
orang tua ini babatkan pedangnya ke bawah. Trang!
Dua pedang beradu keras.
Apa
yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi.
Pedangnya mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya
melotot. Kembali dia menyurut beberapa langkah. Wajahnya gelap. Seumur
hidup baru kali ini dia dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih
muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja
Pedang dalam hati. Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya puteranya
terduduk di lantai dengan muka penuh benjut, dikelilingi oleh ketiga
kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru kembali. Dia menoleh
pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya
melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja memanggil.
"Ada apa?!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-masing . . . . "
"Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk
sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. Kalian berdua
telah membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup
yang bisa membawa bencana bagi diri sendiri!"
"Ah, aku yang tua ini
benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-orang muda.
Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!"
Lalu orang tua itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan
rumah makan pu teranya yang mengalami patah tangan cepat menghadang
seraya berseru.
"Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi hukuman pada mereka?!"
"Kaulah
yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan plak! Tamparannya
melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan.
Tak tahan menanggung malu.dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Tiga kawannya menyusul di belakang.

KUDA PUTIH
polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di atas
punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk
Panji Kenanga. Semula sang dara menolak untuk menunggangi kuda besar itu
bersama-sama. Tapi akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka
berhenti.
"Kita bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab.
"Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan dan tugas yang harus kau jalankan itu. . . "
Setelah
berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji.
Sementara Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk
perapian.
Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji
menatap paras gadis di hadapannya itu. Paras yang tak pernah
dilupakannya sejak perjumpaan pertama dahulu. Sebenarnya sudah sejak
lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di tempat kediaman gurunya di
danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di Jember.
"Lestari…….. "
Dara itu mengangkat kepalanya.
Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan? Duduklah lebih dekat ke perapian
"Cukup hangat di sini. Panji"
"Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti akan kulakukan."
Lestari memandang nyala api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan angin malam.
"Seseorang
telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru
tidak di rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu
sekali hal itu walau dia tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal
lain yang bisa kulakukan selain meninggalkan danau Jembangan dan mencari
senjata mustika itu sampai dapat. Sebelum dapat aku tak akan kembali."
"Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti,"
membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi beberapa
tokoh silat golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat ini
segala sesuatunya masih gelap bagiku "Jelas yang melakukannya seseorang
atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita akan menyelidikinya
bersama-sama."
"Kita?" ulang Lestari.
"Ya ……. Kau tak suka aku bantu?"
"Terima
kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh
silat golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya…."
"Itulah
yang harus kita selidiki Lestari. . . . " Sang dara hanya mengangguk
pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk kundai sakti itu. Namun
sama sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu adalah pertanda
ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang bernama
Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga
mengambil sehelai tikar kulit dan selimut tebal dari kantong perbekalan
di punggung kudanya. Tikar itu lalu dibentangkannya dekat perapian.
"Kau tidurlah di sini. . . . " katanya pada Lestari.
"Aku belum mengantuk."
"Mengantuk
atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu
mungkin kita harus mengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga… ."
Lestari menyadari bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu benar.
Perlahan-lahan direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji
kemudian menyelimutinya.
‘Terima kasih. Kau baik sekali. . . ."kata Lestari polos..
Panji
tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan
diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari
masih belum memejamkan mata.Kesunyian malam kadang-kadang digemeretaki
oleh suatu ranting kayu yang berderak dimakan api.
"Ingat peristiwa di Istana Darah dulu .. ?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro ? "
"Tidak. Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda
itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain
bertukar pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus
dua ilmu baru"
Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan
ketinggian ilmu Wiro Sableng melainkan hubungan jodohnya dengan pemuda
itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka. Apakah Wiro mengetahui hal
itu?
Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus angin.
"Lestari. . . "
"Hemm . . . Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur. . . . "
‘Tubuhku memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan "
"Dalam kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah mencintai dan dicintai seseorang . . . . ? "
Pertanyaan
Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut Dia sadar wajahnya saat itu
pasti menjadi merah. "Ada-ada saja yang kau tanyakan. Kenapa kau
bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu …… " "Soal cinta belum terpikir olehku . . . . "
"Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana
aku tahu? Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu Panji
tertawa. "Bagaimana kalau andai kata kau kemudian mengetahui bahwa ada
seseorang yang mencintaimu dengan sepenuh hati. . . . "
"Aku harus
tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing . .
. . Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau
mencintaiku…..?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal
itu lagi . . . ." Kata Lestari. Namun diamdiam dia ingin tahu juga
siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro Sableng?
"Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau kau tahu katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
‘Tak ada orang lain di sini."
"Ada. Kau tak melihat? Atau lupa?"
"Siapa?"
"Akui" jawab Panji Kenanga.
Lestari
palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak
berkedip pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara
itu.
"Kau tengah membanyol Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya berdebar.
"Kau bodoh Panji!"
"Bodoh? Bodoh bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan mencintaiku. Me mangnya aku ini apa sih!"
"Cinta
itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta.
Lalu bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia
yang punya "
"Aih, pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan "
Sunyi.
Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu
akhirnya picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak
dirasakannya ada hawa panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya
dibuka dilihatnya sebuah wajah dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
"Lestari. . . ."bisik Panji.
"Dengarlah … " Sambil bicara dibelainya rambut gadis itu.
"Aku
benar-benar mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang lebih
dekat. Satu ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur
tubuhnya bergetar. Itulah pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya
dicium lelaki.
"Panji . . . jangan . . . . " bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh di pipinya.
"Jangan
. . ." bisik Lestari lagi. Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya.
Ketika bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya
seperti terbang. Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya
dibalasnya dengan hangat.
MENJELANG dinihari
baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji Kenanga masih
duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya dengan perasaan penuh
kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan langit mulai terang barulah
pemuda ini berdiri dan melangkah ke telaga. Semalam suntuk dia tidak
memicingkan mata barang sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali tidak
terasa letih. Kebahagiaan kasih sayang yang dirasakannya laksana suatu
kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang dara menyukainya, mungkin
juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan dalam bentuk
kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun.
Dia duduk di samping perapian yang telah padam. Kepalanya terasa agak
berat. Di telaga dilihatnya Panji berkecimpung di air telaga. Begitu
melihat pemuda ini berdebarlah dada sang dara.
Serta merta dia ingat
apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas memeluk pemuda
itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa
terjadi?
Teringat Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya.
Yaitu menemukan kembali tusuk kundai perak yang telah dicuri orang.
Benda yang merupakan tanda perjodohannya dengan Wiro Sableng. Guru Wiro
dan gurunya telah mengadakan pengikatan jodoh bagi mereka. Tapi semalam
dia telah bercumbu berkasih mesra dengan Panji Kenanga. Apakah ini
berarti suatu dosa? Apakah ini merupakan satu pengkhianatan terhadap
calon suaminya yakni Wiro? Ada rasa dosa dan malu dalam hati gadis ini.
Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji Kenanga?
Bagaimana kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah
mungkin lebih jauh dari itu.
Lestari merapikan rambut dan pakaiannya.
Tekadnya sudah bulat Dia harus meninggalkan Panji Kenanga dan menempuh
jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih lama dia segera lari meninggalkan
tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka
Lestari telah berada jauh dari telaga. Dia sengaja memasuki rimba
belantara karena dia tak mengharapkan agar Panji Kenanga dapat
menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas
tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu
teriakan keras.
"Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"

LESTARI
terkejut dan cepat Wpaling ke belakang. Kira-kira lima tombak di
belakangnya dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi
langsing tak dikenalnya. Sedang orang kedua bukan lain Ronggo Bogoseto,
pemuda bermuka pucat sombong yang kemarin dihajarnya di rumah makan
Jember.
Sadar kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang
tidak baik maka Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan
Ronggo Bogoseto jauh di belakang. Namun si tinggi langsing ternyata
memiliki kepandaian lari. Karena dalam waktu dekat dia segera dapat
mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang
dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa
Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Siapakah
adanya orang ini?
Mari kita ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah makan itu.
Meskipun
ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga serta
Lestari namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati
dendam kesumatnya terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka
lagi di seluruh Jember. Semua orang seperti memandangnya dengan
mengejek.
Sebenarnya di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka
pucat sangat tertarik pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat
gadis cantik, namun tak ada yang secantik dan begitu menggiurkan seperti
yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang babak belur, dan
tangannya yang patah, dengan menunggangi seekor kuda pemuda ini
meninggalkan kota menuju ke arah timur. Tujuannya adalah sebuah candi
tua yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu
tinggi. Tokoh
silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia mempergunakan
kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau
memberikan hadiah padanya maka apapun akan dilakukannya. Karena itu
orang mencapnya sebagai tokoh silat golongan hitam.
Hari telah malam
ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir kalau orang
yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di
candi tersebut. Namun begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah
hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu
turun langsung masuk ke dalam candi. Sebagian besar bangunan itu sudah
sangat rusak dan kotor. Di salah satu sudut terletak sebuah lampu
minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga membentuk
bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin.
Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu . . . ." panggil si pemuda. "Randu Wongso . . . . Apakah kau ada di sini. . . . ? "
Tak ada jawaban.
Tetapi telinga Ronggo tjba-tiba mendengar suara seseorang.
Suara perempuan merintih!
Dia
memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah tumpukan
balokbalok tua yang seperti membatas bagian depan candi dengan bagian
belakang. Ronggo sampai di susunan balok setinggi dada dan menjenguk ke
balik susunan balok itu. Kedua matanya terpentang lebar ketika apa yang
terpampang di depannya, di antara kesuraman sinar lampu minyak.
Di
sana, di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya
Randu Wongso dalam keadaan tanpa pakaian tengah menggagahi seorang
perempuan!
Perempuan ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit
agak hitam. Tetapi dia memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta
serba besar.
"Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto.
"Randu!" serunya kemudian.
"Lekaslah! Aku ada urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing kurap!"
Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki.
"Anak setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau kurengkahkan batok kepalamu?!"
"He . . . he . . . . Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar
nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia
tidak mau meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi
dia menjelang akan sampai ke puncak kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau suka bisa kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal
uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu
itu!" Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang dikawatirkannya adalah
Panji dan Lestari jadi terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan
mana yang digagahinya itu!" Ronggo melangkah mundar-mandir di bangunan
candi yang kecil sempit itu. Telinganya terus menerus menangkap suara
rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas Randu Wongso yang
memburu.
Tiba-tiba terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Rando Wongso keluar dari balik tumpukan balok.
Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan
bejatmu masih belum berobah Randu! Perempuan mana puja kali ini yang
kau rusak kehormatannya? Sudah berapa lama kau peram di tempat ini.
Sudah berapa kali kau tiduri?!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya.
"Yang satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . . ha . . . ha . . . Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa
bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan
dua hari. Tak lebih. Tapi dia . . . . sudah lima hari berada di sini. .
. "
Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda
itu masih terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus
memang Ronggo harus mengakui ucapan Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan apa urusan pentingmu itu!"
Dengan
singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami dia dan
ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang luka akibat
tamparan Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu apa hubungan kejadian* jtu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu Wongso.
"Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu urusanku…."
Ronggo tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik sekali hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik
luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu.
Ketika pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya
tersingkap . . . . Mau mati rasanya aku ketika melihat dadanya. Putih
dan kencang!"
"Ha . . . ha . . . hal Sifat kita tak jauh berbeda
sobat! Aku suka hal itu!" ujar Randu Wongso pula. "Kau tak usah kawatir.
Kita cari mereka sama-sama. Tapi…" Habis berkata begitu Randu
kembangkan telapak tangan kirinya dan mengangsurkannya kepada Ronggo.
Tanpa banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan berikan pada Randu Wongso.
"Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
"Aku berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar tidak berhasrat terhadap perempuan itu?"
"Urusanku lebih penting. Kita harus cepat…."
‘
‘Cepat . . . . cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama
Randu Wongso kau pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau?
Urusan beginian kan tidak lama Ronggo…."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia
melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi tubuh perempuan yang
gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo Bogoseto.
Memang bukan satu. hal baru dia melakukan hal seperti itu bersama-sama
Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok.
"Pergilah,
aku akan menunggumu sampai selesai . . . ." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan
pakaiannya.
LESTARI berusaha mempercepat
larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali gerakannya. Menyadari bahwa dia
tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari akhirnya berbalik dan
menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui juga
kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu sementara Randu Wongso tegak
tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis berbaju merah di
hadapannya.
"Apa maumu?!" sentak Lestari. ‘ ‘Wah Ronggo! Gadismu ini
galak sekali!" kata Randu Wongso. "Brengsek! Enak saja kau mengatakan
aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata melotot. "Aih,melotot
marahpun kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin menggoda.
Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak
kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh
Lestari. "Berani kau menyentuh tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari
seraya tangan kanannya bergerak ke pinggang d i mana tersisip pedangnya.
"Ah, mati di tanganmu pun aku senang! Ha . . . ha. . . ha “ ujar Randu
Wongso lalu tertawa gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat kawanmu itu?!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar lagi dia datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah.
"Gadis
cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan
seorang diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega
berlepas tangan. Kami bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu
sampai ke manapun kau pergi"
"Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu
Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan
matanya membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini
putar tubuh.
"Hai! Kau mau kemana gadisku cantik?!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak sabaran.
"Meringkus
burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap
pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah
berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu
cepatnya gerakan orang ini tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih
pinggang Lestari sedang tangan kanan menjamah dadanya!
"Bangsat kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
Wut!

SINAR
putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit.
Kaget lelaki ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang datang sangat
berbahaya. Mau tak mau segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si
gadis dan melompat mundur. Di hadapannya kini Randu melihat Lestari
berdiri memegang sebuah seruling terbuat dari perak. Benda ini
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi. Randu berpaling pada Ronggo
lalu bertanya. "Sobatku, sebenarnya siapakah si cantik berbaju merah
ini? "Kulihat gerakan ilmu pedangnya boleh juga!" "Siapa dia nanti saja
kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran! ‘Kembali Randu Wongo bergerak.
"Majulah kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang mendekat.
Sambil tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis.
Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya ke arah dada lawan.
Namun kali ini dia tertipu.
Serangan
Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah
berpindah kedudukan dan berkelebat ke jurusan lain. Lestari tak kalah
cepat. Dia putar gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke
muka lawan! Ketika Randu Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya.
Lestari lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri,
"Eh!"
Untuk
kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini
kalau dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu tak bisa
dipandang enteng. Di balik wajahnya yang jelita, di belakang gerakan
tubuhnya yang halus gemulai itu, tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
"Kalau
tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!’ ‘kata Randu Wongso
dalam hati. Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia
menyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti
acuh tak acuh dan sangat mudah untuk balas dihantam. Namun Lestari
walau tidak banyak pengalaman telah digembleng oleh gurunya Si Pemusnah
Iblis secara meyakinkan. Dia tegak menunggu dengan waspada. Ketika lawan
sampai di hadapannya baru dia bersurut dua langkah: Betul saja apa yang
diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan. Baru serangan Randu
bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong mendahului dengan
satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini hanya mengenai
tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya
Dengan
penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan
tenaga dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu
sampai di mana ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya
dengan pukulan tangan kosong pula.
Dua larik angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari
rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan
tenaga dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi.
Sekali
mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar
ke belakang. Selagi dia coba mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
"Celaka!
"seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas
suling peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha
menotok pundak sang dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah
sekujur tubuh Lestari. Masih untung gadis ini cepat mengelak hingga
terhindar dari bahaya.
Ronggo Bogoseto yang sejak tadi menyaksikan
perkelahian kedua orang itu dengan berdebar kini mulai was-was apakah
Randu Wongso akan mampu menangkap sang dara. Sikapnya yang tertawa-tawa
cengengesan membuat pemuda ini jadi jengkel.
‘ Randu! Lakukan
pekerjaanmu dengan cepat! Kau berhasil merampas senjatanya. Masakan
menangkapnya saja kau membutuhkan waktu begitu lama! "
"Aku tahu apa
yang aku kerjakan Ronggo!" Randu Wongso kini ber balik nampak kesal.
Lalu dia menghadapi Lestari kembali. "Gadisku cantik," katanya. "Jika
kau mau serahkan diri secara baik-baik, aku berjanji tidak akan
mencideraimu. Bagaimana . . . ? Kau tahu pemuda sobatku ini putera orang
terpandang, memiliki kekayaan. Jika kau ikut dengan dia pasti kau
bahagia. . . "
"Baiklah, aku akan menyerah saja . . . " kata Lestari. "Tapi makan dulu ini! "
Hampir
tak terlihat kapan Lestari menggerakkan tangannya tahu-tahu lusinan
senjata rahasia berbentuk jarum merah menderu ke arah Randu Wongso!
"Wah hebat juga senjatamu ini!" memuji Randu Wongso. "Terpaksa aku memakai suling perakmu untuk menghadapinya!’ ‘
Randu Wongso sehatkan suling perak milik Lestari yang barusan dirampasnya.
"Tring… tring… tring…
Semua senjata rahasia berbentuk jarum ini mental dan luruh ke tanah. Berdebarlah Lestari ketika melihat kejadian itu.
“Manusia
keparat ini tinggi sekali ilmunya! "Ada rasa takut di hati sang dara
kini. Dia menghantam dengan kedua tangannya lalu susul dengan tendangan.
Tapi orang yang diserang lenyap dari hadapannya.
"Gadis cantik! Aku
di sini! Mengapa menyerang tempat kosong?!" ejek Randu. Suaranya datang
dari sebelah kanan. Cepat Lestari memukul ke arah ini.
"Hai!
Lagi-lagi kau menyerang tempat kosong. Aku ada di sebelah kirimu! "
Kembali suara Randu Wongso terdengar dan sekali ini memang datang dari
kiri.
"Setan!" rutuk Lestari. Penasaran gadis ini menghantam ke kiri.
Justru di saat itu satu totokan tiba-tiba bersarang di punggungnya.
Lestari mengeluh pendek. Tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Kaku tegang
ditempatnya berdiri. Jalan suaranyapun tertutup!
Randu Wongso
melangkah ke hadapan Lestari sambil tertawa gelak-gelak. Ronggo Bogoseto
pun tak kurang gembiranya. Dia berputar-putar mengelilingi Lestari.
Ketika berhenti di depan si gadis enak saja dia mencuil dagu Lestari
dengan tangan kirinya.
"Gadis cantik! Akhirnya kau kami ringkus saja!
Kalau tadi-tadi kau mau menurut secara baik-baik tentu tak begini
jadinya. Nah sekarang kau harus ikut aku ke Jember! Aku akan sediakan
rumah bagus dan tempat tidur mewah untukmu!" Ronggo berpaling pada
Randu. ‘Tolong naikkan dia ke bahu kiriku. "
"Ronggo, tangan kananmu yang patah itu membuatmu sulit memanggul nya meski di bahu kiri. Biar aku yang mendukungnya!"
"Tidak bisa!" sentak Ronggo Bogoseto. Tentu saja pemuda ini tak percaya pada lelaki itu.
"Kau
tak usah cemburu padaku sobat Aku tahu kau ingin bersenang-senang
dengan gadis ini. Tapi kalau kau jadi tambah celaka sebelum sempat
melakukannya apa enak? Candi kediamanku lebih dekat dari sini. Bagaimana
kalau kita bawa ke sana saja? Nanti baru kau pindah ke Jember. "
"Buset!
Gadis secantik ini hendak dibawa ketempatmu yang kotor buruk itu Jangan
ngaco Randu!" Gadis ini bukan perempuan sembarangan! Jika dia mau
menuruti kemauanku aku akan ambil dia jadi istri!’ ‘
‘ WaIah! Jadi aku tidak akan kebagian?! "
‘
Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Dia milikku sendiri! Kau boleh
kembali ke Candi dan meneruskan memuaskan nafsumu dengan gadis berkulit
hitam manis itu!"
‘ Tapi aturan macam begitu tak ada kita janjikan sebelumnya sobatku! " ujar Randu Wongso pula.
"Sudahlah!
Kau jangan bicara melantur terus. Nanti akan kutambahkan uang untukmu!
"kata Ronggo. Lalu tanpa bantuan Randu Wongso pemuda ini panggul tubuh
Lestari di bahu kirinya.
Baru saja tubuh Lestari melintang di bahunya tiba-tiba terdengar satu bentakan.
"Pemuda keparat! Turunkan gadis itu! "

RONGGO
terkejut. Rantu tak kalah kagetnya. Seorang pemuda berpakaian
putih-putih dari balik semak-semak. Di belakangnya mengikuti seeko kuda
putih polos tinggi dan kekar.
"Hemm . . . Ronggo siapa manusia ini?" bertanya Randu Wongso tanpa melepaskan pandangannya dari pemuda berkuda putih itu.
"Dia
kunyuk yang mengaku sahabat gadisku ini. Hebat benar lagaknya. Seperti
gadis ini miliknya. Ayo Randu. Menolongku jangan kepalang tanggung.
Hajar dia sampai mampus!"
Randu Wongso seorang yang banyak
pengalaman. Walau jelas pemuda dihadapannya itu tampak sederhana namun
dari gerak-geriknya jelas dia membekal ilmu yang tidak rendah. Apalagi
suara bentakannya tadi begitu keras menggetarkan liang telinga.
Sebelumnya diapun telah mendengar cerita Ronggo bahwa pemuda ini
memiliki ilmu pedang yang jauh lebih tinggi dari yang dikuasai ayahnya.
Padahal sang ayah bergelar Raja Pedang Kotaraja!
"Orang muda!" tegur
Randu Wongso. "Kulihat tampangmu cukup keren. Apa tak sayang kalau
wajahmu yang cakap itu menjadi cacat seumur hidup? Lebih baik lekas
angkat kaki dari hadapan kami!"
Pemuda berkuda putih alias Panji Kenanga menyeringati.
"Bagusnya
kalian berdua berlutut minta ampun. Jika itu kalian lakukan aku
bersedia membatalkan niatku untuk menghajar kalian berdua!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba
dia hentikan tawanya dan berkata. "Baiklah! Baiklah orang muda. Jika
itu maupun aku menurut saja. Aku akan berlutut di depanmu. Lihat! "
Kedua
lutut Randu Wongso menekuk. Tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah
seperti orang yang memang siap berlutut. Namun sesaat sebelum kedua
tempurung lututnya menyentuh tanah, di dahului oleh bentakan yang
menggetarkan Seantero belantara, tubuhnya mencelat ke depan. Kaki
kanannya kirimkan tendangan keras ke dada Panji Kenanga!
Murid
mendiang brahmana Lokapala itu untungnya telah bersiap sedia. Dengan
sigap dia berkelit ke samping. Tendangan lawan lewat. Randu susul dengan
pukulan, juga tidak berhasil. Sebagai balasan Panji lepaskan dua
jotosan. Satu menghantam ke salah satu tempurung lutut, lainnya ke
sambungan siku tangan kanan Randu Wongso.
Serangan balasan itu
membuat Randu kaget tapi tak dapat membuatnya jadi kecut. Kaki kirinya
yang masih menginjak tanah digerakkan sedikit. Gerakan kaki kirinya yang
masih menginjak tanah digerakkan sedikit Gerakan kaki ini membuat
tubuhnya miring ke belakang dan meluncur ke bawah. Sekaligus dia
berhasil mengelakkan kedua serangan balasan Panji Kenanga.
Si pemuda
tahu betul bahwa mengelak dengan cara seperti yang dilakukan Randu
Wongso adalah sangat berbahaya dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang benar-benar berilmu tinggi. Kenyataan ini memberi bukti kepada
Panji Kenanga bahwa Randu Wongso siapapuri adanya, adalah seorang yang
berkepandaian tinggi serta berbahaya!
Karenanya begitu Randu Wongso kembali menerjang ke arahnya pemuda ini segera menyambut dengan pukulan mega putih.
Sinar putih keabu-abuan melesat deras, bersiur menghantam ke pertengahan tubuh Randu Wongso.
Yang
diserang kaget bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka kalau lawan
yang masih muda itu memiliki pukulan sakti begitu rupa. Betapapun gesit
dan cepatnya dia mengelak membuang diri ke samping kanan namun tak urung
bahu kirinya kena juga disambar oleh sinar pukulan lawan. Masih untung
kenanya tidak begitu tepat. Inipun sudah cukup membuat Randu Wongso
kesakitan setengah mati. Bahu kirinya terasa seperti remuk sampai ke
dalam.
Tampang Randu Wongso kelam membesi menahan sakit dan juga oleh
amarah yang menggelegak. Sebagai jago kelas satu tak pernah dia
mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dihantam lawan hanya dalam
beberapa jurus!
‘Pemuda bangsat! Apa yang kau lakukan terhadapku
harus kau bayar dengan nyawa anjingmu! " menyumpah Randu Wongso. Tangan
kanannya dipentang di depan dada. Bibirnya bergetar. Mulutnya
berkomat-kamit dan sepasang matanya memandang kedepan tak berkedip.
Panji Kenanga kemudian melihat bagaimana tangan kanan lelaki itu mulai
dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi hitam, makin hitam dan
gelap legam.
"Pukulan mengandung racun jahat! "kata Panji dalam hati
dan bersiap waspada. Tiga perempat tenaga dalamnya segera dialirkan ke
tangan kanan. Dia menunggu tak berkedip.
Randu Wongso berteriak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke arah Panji.
Murid Brahmana Lokapala itu sertamerta angkat pula tangan kanannya dan menghantam sambuti pukulan lawan!
Dari
tangan kanan Randu Wongso menyembur menggulung sinar hitam yang
menyebarkan bau amat busuk. Dari tangan Panji Kenanga membersit sinar
putih kelabu yang segera menghantam dan menyapu sinar hitam pukulan
lawan. Randu Wongso yang sadar kalau lawan memiliki tenaga dalam ampuh
yang dapat menghancurkan sinar hitamnya.segera gerakkan tangan kanan
membentuk setengah lingkaran. Sinar hitamnya yang hampir musnah dihantam
sinar mega putih .Panji Kenanga menyusup ke bawah dan lolos dari
hantaman pukulan lawan. Begitu lolos Randu Wongso secepatnya kembali
menghantam dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga ikut dipukulkan,
mendorong pukulan tangan kanan hingga kekuatannya jadi berlipat ganda.
Serangan ini sama sekali tidak terduga oleh Panji Kenanga!
Sinar
hitam lawan menghantam dada dan menerjang mukanya. Aneh, tak terasa
apa-apa seolah-olah sinar pukulan itu hanya merupakan sapuan angin
belaka. Namun begitu rongga hidung Panji Kenanga mencium bau busuk, yang
terkandung dalam sinar, mendadak sontak sekujur tubuhnya seperti kaku,
tak dapat lagi digerakkan. Bukan itu saja, nafasnyapun menyesak.
Akhirnya tubuhnya roboh terguling di tanah!
‘Celaka! Tamatlah
riwayatku!" keluh Panji Kenanga. Di dalam pemandangannya yang menjadi
kabur dilihatnya Ronggo Bogoseto sambil memanggul tubuh Lestari
melangkah kehadapannya.
Pemuda ini tertawa mengejek.
"Bangsat!
Hanya sampai disitu kehebatanmu! Masih untung aku tak mau membunuhmu
saat ini! Tapi belum puas hatiku sebelum melakukan sesuatu terhadapmu!"
Ronggo
gerakkan kaki kanannya. Tendangannya menghantam muka Panji. Murid
brahmana Lokapala ini merasakan kepalanya seperti meledak. Tubuhnya
mencelat mental dan dia tak ingat apa-apa lagi.
"Rasakan olehmu!" kata Ronggo Bogoseto seraya meludahi muka Panji Kenanga.
Ketika dia hendak melangkah pergi Randu Wongso coba membujuknya kembali.
‘ Bawa saja gadis itu ke candiku."
"Tadi aku sudah bilang, gadis ini milikku. Kau tak bisa mengaturku Randu!"
Ronggo
melangkah pergi. Saat itulah dilihatnya kuda putih milik Panji Kenanga.
Dari pada capai-capai jalan kaki atau berlari ke Jember sambil
memanggul tubuh Lestari, bukanlah lebih baik memanfaatkan binatang itu.
Segera Ronggo mendekati kuda ini dan siap naik ke punggungnya. Namun
baru saja dia mendekat, kuda putih itu tiba-tiba menghentakkan kaki
belakangnya dan tepat mengenai pinggul Ronggo hingga pemuda ini terpekik
kesakitan. Tubuhnya melintir dan jatuh bersama Lestari yang
dipanggulnya. Kuda putih itu sendiri meringkik keras lalu lari.
"Binatang keparat!" maki Ronggo sementara Randu Wongso tertawa membabak dan melangkah ke arah Lestari untuk menolong gadis itu.
"Randu!
Awas! Jangan sentuh gadis itu. Bukan dia tapi aku yang harus kau tolong
dulu!" teriak Ronggo Bogoseto ketika dilihatnya Randu Wongso hendak
memegang lengan Lestari.
Mendengar ucapan Ronggo itu terpaksa Randu membatalkan niatnya menolong Lestari. Kini dia membantu Ronggo berdiri.
"Nasibmu amat sial hari ini, Ronggo. Kudapun berani menyerangmu!"
"Tutup
mulutmu!" tukas Ronggo kesal. Tangan kanannya yang patah terasa sakit.
Untung saja balutan kain dan kayu penopang lengan itu cukup kuat, kalau
tidak patahan tulang yang berusaha disambungkan itu akan terbuka
kembali. Dengan susah payah dia mengangkat tubuh Lestari, lalu berlutut
dan menaikkan kembali gadis itu ke bahu kirinya.
"Aku akan ikut kau ke Jember!" Randu Wongo mengambil keputusan.
"Aku
tak butuh kau lagi Randu. Kau boleh kembali ke candimu dan meneruskan
pekerjaanmu menggeluti tubuh perempuan hitam manis itu!" kata Ronggo
yang tak senang akan maksud Randu mengikutinya.
"Sobatku! Apa kau
lupa janji yang kau ucapkan? Kau akan memberi tambahan uang karena aku
telah bantu meringkus gadis itu . . . "Mendengar kata-kata Randu itu
Ronggo jadi jengkel.
"Tahumu hanya uang dan perempuan . . . "
"Eh,
apakah ada hal lain yang diperlukan manusia di dunia ini selain uang
dan perempuan . . . ?" ujar Randu pula. Ronggo tak menjawab. Dia juga
tak melarang ketika dilihatnya Randu berlari mengikutinya.

DI LERENG
bukit itu terdengar suara siulan membawa lagu tak menentu. Suara siulan
ini akan aneh terasa jika ada orang lain mendengarkan. Bukan saja
karena lagu serta irama yang disiulkannya tidak menentu, tetapi suara
siulan itu sendiri demikian kencangnya hingga mengalahkan deru angin
yang bertiup dari barat ke timur.
Yang bersiul adalah seorang pemuda
berpakaian putih dan agak lusuh. Dia mengenakan ikat kepala putih dan
saat itu sambil bersiul dia berlari cepat menuju puncak bukit. Sampai di
puncak bukit dia hentikan lari, berdiri sambil memandang berkeliling.
Rambutnya yang gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
"Sialan.’ Tak satu bangunanpun kulihat!’ ‘pemuda ini memaki pada dirinya
sendiri. "Di mana sebenarnya letak candi laknat itu . . . ?"
Pemuda
ini menyelidik ke ujung puncak bukit sebelah timur. Dengan penasaran
sambil garuk-garuk kepala dia kemudian lari ke bagian barat. Tetap saja
tak satu bangunanpun yang tampak dari tempat itu. Dia lantas
berpikir-pikir. Apakah sebaiknya dia menuruni bukit itu dan langsung
menuju Jember. Mungkin di situ dia bisa mendapatkan keterangan tentang
letak candi tua tempat kediaman Randu Wongso, seorang tokoh silat jahat
dan mesum yang sudah lama dicarinya.
"Tapi kalau sampai di Jember,
jauh-jauh aku tak bisa mendapatkan secuil keterangan pun, berarti aku
harus kembali ke sini!" Pemuda ini kembali garuk-garuk kepalanya.
"Padahal keterangan yang kudapat candi itu terletak di bukit sialan ini!
Bagusnya aku menyelidik dulu
Keputusan yang diambilnya ternyata
tidak sia-sia. Setelah menyelidik hampir sepenanakan nasi, candi yang
dicarinya itu akhirnya ditemuinya di lereng bukit sebelah timur,
terletak di balik lindungan pohon-pohon besar.
Pemuda ini tidak
segera memasuki candi. Dia memutari bangunan tua itu beberapa kali
sambil memasang mata dan telinga. Tak ada terdengar suara apa-apa, juga
takkelihatan tanda-tanda ada orang di dalam sana.
"Jangan-jangan
bangsat itu tak ada di sini," menduga si pemuda dalam hati. Setelah
mengelilingi candi itu sekali lagi, dia melangkah ke bagian depan candi
dan langsung masuk ke dalam bangunan tua ini.
Sepi. Tapi di sudut candi sebelah sana dilihatnya sebuah lampu minyak menyala, hampir padam karena minyaknya tinggal sedikit.
Lampu
itu . . . " desis si pemuda. Baginya ini berarti si penghuni candi tua
tersebut tak ada di situ. Pergi tanpa mematikan lampu. Dan perginya
pasti sudah lama. Paling tidak sejak malam tadi.
"Sialan! Aku tunggu saja di luar. Kalau sampai sore dia tak muncul baru aku ke Jember. . . "
Ketika
hendak melangkah meninggalkan bangunan itu tiba-tiba telinganya
menangkap suara seperti tarikan nafas. Suara ini datang dari balik
tumpukan balok-balok kayu. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas
tumpukan balok itu. Memandang ke bawah berubahlah paras pemuda ini.
Di
sana, di atas lantai candi yang beralaskan tikar jerami butut terbaring
sosok tubuh perempuan muda tanpa pakaian. Kedua matanya terpejam,
tubuhnya tak bergerak, dadanya turun naik sedang wajahnya membayangkan
seperti menahan rasa sakit yang amat sangat. Sebagai seorang lelaki
pemandangan itu mau tak mau membuat darahnya jadi panas juga. Apalagi
perempuan itu memiliki tubuh yang sekal dengan sepasang payu dara yang
besar kencang. Pada kedua payudara itu tampak tanda-tanda merah seperti
bekas gigitan. Walaupun terangsang namun rasa kasihan lebih mempengaruhi
hati si pemuda. Dia turun dari atas balon kayu, melangkah ke sudut
ruangan. Di sini dilihatnya gulungan pakaian perempuan. Diambilnya
pakaian itu lalu ditutupkannya ke tubuh yang terbaring itu.
Merasakan
ada sesuatu diletakkan di atas auratnya, perempuan itu buka kedua
matanya. Mata itu kuyu sekali. Tiba-tiba membesar sesaat, seperti
ketakutan, lalu kuyu kembali.
"Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Aku ingin menolong . . . " berkata si pemuda.
“Ha .. . haus . . . Aku . . . minum . . . " lapat lapat terdengar suara keluar dari sela bibir perempuan muda itu.
‘
Air, di mana akan kudapat air di tempat ini. . . ?" Pemuda itu
memandang berkeliling. Dilihatnya sebuah kendi. Diambilnya dan
diguncangnya. Terdengar suara air di dalam kendi itu. Segera pemuda ini
berlutut dan menempelkan bibir kendi ke bibir perempuan itu. Setelah
minum beberapa teguk dengan susah payah wajahnya tampak agak segaran.
Pemuda itu menunggu beberapa ketika lalu berkata.
"Kalau kau bisa bicara, katakan apa yang terjadi…"
"Kau… kau… siapa?"
‘Namaku Wiro Sableng. Kau tak usah takut. . . "
‘ Kalau bukannya orang jahat? Atau kawan lelaki yang memperkosaku tadi malam? ”
"Siapa yang memperkosamu . . . ?"
"Ada dua orang. . . "
"Ya, dua orang. Siapa mereka?"
"Aku tidak kenal. Aku tidak ingat. . . "
"Kau harus ingat. Kalau tidak bagaimana aku bisa menolongmu. . . "
"Kepalaku sakit. Sekujur badanku sakit . . . "
Perempuan
itu meraba wajahnya, lalu meraba dada dan badannya. Kemudian dia mulai
terisak menangis. Si pemuda yakni murid Eyang Sinto Gendong menggigit
bibir den garuk-garuk kepala. "Kau mau minum lagi?" tanyanya kemudian.
Yang ditanya mengangguk. Wiro memberinya beberapa teguk lagi air kendi
yang sejuk itu. .
"Siapa namamu . . . "
"Warsih. . . "
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan sebutir obat. Obat ini diminumkannya
pada perempuan itu. Lalu katanya: "Warsih, kau harus bisa mengingat
siapa mereka itu. Paling tidak keduanya satu sama lain tentu saling
memanggil nama . . . "
"Sulit sekali mengingatnya. Mereka…. Tunggu . .
. Kudengar yang datang belakangan itu menyebut satu nama. Randu . . .
ya Randu . . . "
"Bagus, kau ingat kini Warsih. Lalu siapa nama yang satu lagi?"
Perempuan itu pejamkan mata mengingat-ingat.
"Ronggo . . . " katanya kemudian sambil membuka mata.”
"Di mana kedua orang itu sekarang …T’
"Pergi…"
"Kau tahu pergi ke mana . . ?" tanya Wiro lagi. "Dan kapan mereka pergi. . . "
"Tadi malam. Ke mana mereka pergi aku tidak tahu…"
"Orang yang bernama Randu itu yang membawamu ke tempat ini?"
"Ya . . . Aku diculiknya dari desa . . . " "Di mana desamu?"
"Paritwangi."
"Aku akan tolong kau kembali ke desa itu."
"Tidak,
aku tak mau kembali. Memalukan kembali ke rumah. Semua orang desa akan
tahu apa yang terjadi. Aku ingin mati saja. Lebih baik mati!"
"Jangan berpikiran pendek begitu. Yang mati kalau bisa ingin hidup . . . "
"Tapi
hidup dengan menanggung malu besar begini siapa sudi. Apalagi kalau
sempat aku hamil . . . " Perempuan itu kembali menangis.
"Dengar
Warsih. Kau harus hidup. Paling tidak untuk melihat atau mengetahui
bahwa manusia bernama Randu serta kawannya yang bernama Ronggo itu telah
menerima pembalasan atas dosa-dosanya . . . " kata Wiro pula.
"Pembalasan
. . . Siapa yang akan membalaskan kejahatan terkutuk mereka? Sejak dulu
pejabat-pejabat kadipaten tak ada yang turun tangan. Manusia bernama
Randu itu pasti telah sering melakukan perbuatan keji ini!" ‘
"Aku sudah bilang, aku akan menolongmu. Aku memang sudah lama mencari manusia bernama Randu itu…"
"Kalau begitu kau temannya . . . " .
"Bukan.
Justru aku mau menghajarnya. Kini menyaksikan penderitaanmu aku
bersumpah untuk menghajar manusia itu sampai mati . . . Sekarang, kalau
kau sudah cukup kuat berdirilah. Kenakan pakaian mu kembali. Kita
sama-sama ke Paritwangi."
Wiro lalu tinggalkantempat itu untuk memberi kesempatan padaWarsih berpakaian.
Tetapibaru
sajadia beradadibaliktumpukanbalok,mendadak didengarnyasatusuara
benturan,disusulolehsuarajatuhnyasesosoktubuhkelantai. Pendekar212
melompat kebaliktumpukanbalok.Namun terlambat.Dilantai di lihatnya tubuh
Warsih masih belum berpakaian terkapar dengan kepala rengkah
bedarah.Perempuan malang ini memutuskan lebih baik mati dari pada hidup
menanggung aib.Dia telah membenturkan kepalanyasendirikedinding candi!
Wiro
tertegun beberapa saat. Mayat Warsih ditutupnya dengan tikar jerami.Tak
ada kesempatan baginya untuk mengurusi jenazah itu.Cepat-cepat pendekar
ini tinggalkan candi.

PENDEKAR 212
Wiro Sableng tak dapat memastikan berapa jauh dia telah meninggalkan
candi kediaman Randu Wongso ketika tiba-tiba dia mendengar suara
ringkikan kuda. Wiro segera lari ke jurusan datangnya suara binatang
ini.
Di tepi sebuah telaga berair jernih tampak seekor kuda putih
polos tegak tak bisa diam dan meringkik terus menerus. Di bagian lain
dari telaga kelihatan bekas perapian.
Murid eyang Sinto Gendeng ini
berpikir-pikir. Sebetulnya dia merasa pasti pernah melihat kuda putih
itu. Tapi di mana dan kuda milik siapa? Tiba-tiba pendekar ini tepuk
keningnya. Dia ingat. Binatang itu adalah milik Panji Kenanga, murid
brahmana Lokapala dari gunung Raung. Bersama pemuda itu dulu dia
menghancurkan Istana Darah. Kalau dia tidak salah ingat, kuda ini
bernama Angin Salju.
Jika Angin Salju ada di situ pasti Panji Kenanga
juga ada di tempat itu. Sambil memandang berkeliling Wiro melangkah
mendekati Angin Salju. Binatang ini masih terus meringkik. Ketika
didekati dia merundukkan kepala dan men g gesergeserkan lehernya yang
berbulu tebal ke bahu Pendekar 212.
"Tenang sobat. Kau tampak gelisah. Mana tuanmu?" kata Wiro sambil mengeluselus leher Angin Salju.
Binatang
itu memutar-mutarkan ekornya. Kedua kakinya diangkat tinggi-tinggi dan
kembali dia meringkik. Wiro menyelidik lagi berkeliling. Tak ada
tanda-tanda adanya Panji Kenangan di situ. Ini satu hal yang
mengherankan.
Tingkah laku Angin Salju membawa firasat yang tidak
enak bagi pendekar itu. Dia memandang ke tengah telaga. Apakah Panji
tenggelam? . "Sesuatu telah terjadi dengan majikan binatang ini," pikir
Wiro.
Tiba-tiba Angin Salju meringkik keras. Lalu berputar dan lari
meninggalkan telaga. Wiro Sableng segera mengikuti binatang ini. Kuda
putih itu lari masuk ke dalam hutan. Makin dalam dan makin jauh. Di satu
tempat dia jatuhkan diri, melosoh ke tanah. Tepat dekat sesosok tubuh
yang menggeletak tak bergerak.
Sekali lompat saja Wiro sudah berada dekat sosok tubuh itu. Ketika ditelitinya terkejutlah pemuda ini.
"Panji Kenanga!" desisnya. Didukungnya pemuda itu dan dipindahkannya ke tempat yang lebih baik.
Muka
Panji Kenanga penuh oleh darah yang hampir mengering. Darah itu
tampaknya mengucur keluar dari hidung. Salah satu pipinya bengkak
membiru. Mungkin bekas pukulan keras. Dari sela bibir membuih cairan
hitam, Wiro mendekatkan hidungnya ke cairan itu. Ada bau aneh. Dirabanya
tubuh Panji Kenanga. Terasa tegang. Tapi bukan tegang karena totokan.
"Dia
keracunan . . . " ujar Wiro memastikan. Apa yang terjadi? Wiro meneliti
keadaan sekitar tempat itu. Jelas terlihat tanda-tanda perkelahian.
Setahunya Panji Kenanga memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Jika
dia dapat dikalahkan dan berada dalam keadaan seperti ini pasti lawannya
jauh lebih hebat. Bukan mustahil dia dikeroyok.
Wiro pegang per gel
angan tangan kiri Panji Kenanga. Masih ada denyutan walaupun sangat
perlahan. Dengan pengetahuan ilmu pengobatan yang dimilikinya murid
Sinto Gendeng itu segera menotok tubuh Panji Kenanga di beberapa bagian.
Adapun racun yang menyerap dalam tubuh pemuda itu harus cepat-cepat
dikeluarkan. Jika sampai terlambat nyawanya tak akan tertolong lagi.
Dengan
sehelai daun keladi hutan Wiro menampung air telaga. Air ini
dicampurnya dengan sejenis bubuk obat yang selalu dibawanya di balik
pakaian. Setelah diaduk, cairan obat itu sedikit demi sedikit
dituangkannya ke mulut Panji Kenanga. Sesudah menunggu beberapa saat
Wiro lantas keluarkan Kapak Naga Gen i 212. Mata kapak ditempelkannya
pada kedua ujung telapak kaki Panji Kenanga.
Sambil mengalirkan
tenaga dalamnya Wiro mengusapi tubuh Panji dengan mata kapak. Mulai dari
kaki, betis, paha, keperut, ke dada, lalu tenggorokan. Ketika mata
kapak menyentuh mulut, dari mulut Panji Kenanga mengalir cairan hitam
banyak sekali. Wiro menekan perut dan dada pemuda ini. Cairan hitam
makin banyak keluar. Wiro baru berhenti menekan setelah tak ada lagi
cairan hitam yang keluar.
Tak lama kemudian kelihatan kepala Panji
Kenanga bergerak. Kedua matanya terbuka, tampak kuyu. Lama dia memandang
ke langit, ke arah cabang-cabang pohon dan dedaunan yang rapat.
Kemudian matanya beralih memandang Wiro.
"Di . . . dimana aku . . . Sakitnya kepala ini . . .Kau … . kau siapa?" kata-kata itu meluncur dari mulut Panji Kenanga.
"Aku sobat lamamu. Panji. Aku Wiro Sableng," menyahuti murid Sinto Gendeng.
Panji Kenanga menatap Pendekar 212 lama sekali.
Sesaat
setelah pandangannya mulai jelas dan jalan pikirannya menjadi jernih,
perlahanlahan pemuda itu anggukkan kepala dan kedipkan matanya.
"Ya .
. . aku ingat kau. Apa yang terjadi dengan diriku . . . ?" Panji meraba
mukanya lalu memperhatikan tangannya. "Darah . . . " desisnya kemudian.
Dia mencoba bangkit. Tetapi terbaring kembali. Tubuhnya terasa lemas
seolah-olah tidak bertulang.
"Tenang dan berbaring sajalah . . . " kata Wiro Sableng. "Kau telah melewati saatsaatgawat. . . "
"Bagaimana
kau bisa muncul dr sini. Apakah . . apakah aku akan menemui ajal
seandainya kau tidak datang? Kau pasti menolongku . . . "
"Soal nyawa
adalah urusan Tuhan. Hanya manusia tidak boleh terima nasib begitu
saja. Harus berusaha. Aku tengah mencari sarang mesum manusia dajal
bernama Randu Wongso. Candinya kudapati dalam keadaan kosong. . . "
"Ah!
Kita berurusan dengan manusia yang sama. . . " ujar Panji Kenanga. Kini
dikumpulkannya seluruh tenaganya. Dengan susah payah dia mencoba
bangun. Wiro membantu dan menyandarkannya kebatang pohon kelapa pendek.
"Wiro . . kau tahu.
Manusia dajal bernama Randu Wongso itu ikut membantu Ronggo Bogoseto menculik Lestari. . . "
Terkejutlah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dadanya bergetar. Lestari! Dara yang suka
berbaju merah itu, yang dulu pernah diselamatkannya dan kini ternyata
diculik orang! Hampir dua tahun dia tidak pernah bertemu dengan dara
jelita itu.
Dalam kehidupannya Wiro telah menemui banyak sekali
gadis-gadis cantik. Namun entah mengapa dara yang satu ini begitu
menarik perhatiannya, tak pernah bisa pupus dari ingatannya.
Berkali-kali timbul hasrat dalam hatinya untuk menyambangi Lestari di
tempat kediaman gurunya, tetapi hal itu tak pernah dilakukannya karena
merasa malu. Gila! Biasanya dia selalu bersikap berani terhadap setiap
gadis atau perempuan yang ditemuinya. Hanya pada yang satu ini dia
seperti merasa takut. Bukan, bukan takut tetapi mati kutu! Rasanya dia
melakukan apa saja yang dikatakan gadis itu! Tak dapat dipungkirinya
bahwa dia telah terpikat pada Lestari. Diam-diam ada rasa kawatir dalam
dirinya akan kehilangan gadis itu.
Dan kini didengarnya dari Panji
Kenanga gadis itu diculik oleh seseorang, dibantu oleh Randu Wongso,
tokoh silat yang terkenal sebagai tokoh cabul bejat. Lestari berada
dalam keadaan bahaya. Jika dia sampai diapa-apakan hancurlah masa
depannya..
"Siapa Ronggo Bogoseto itu?" tanya Wiro.
"Seorang
pemuda brengsek, putera bekas perwira tinggi kerajaan yang tinggal di
Jember . . . "Dia memiliki jlmu pedang yang tinggi tetapi tidak punya
dasar ilmu silat yang dapat diandalkan . . . "
"Kau tahu ke mana kira-kira Lestari dilarikan?"
"Tak
dapat kupastikan. Mungkin ke Jember atau candi tua di sebuah lereng
bukit. . . " "Aku sudah menyelidik ke candi itu. Kosong . . . " Wiro
tidak menceritakan pertemuannya dengan Warsih yang malang.
"Kalau
begitu pasti Lestari dibawa ke Jember. Tidak sulit mencari rumah bekas
perwira tinggi itu. Semua orang di Jember pasti tahu letak rumahnya."
"Kalau begitu aku harus ke sana saat ini juga. Hanya, bagaimana dengan kau . . . ?"
"Tak usah pikirkan diriku!" ujar Panji Kenanga.
"Yang
penting selamatkan gadis itu dari bencana. Demi Tuhan aku harus
berterus terang padamu Wiro. Aku mencintai Lestari. Aku tak ingin
terjadi apa-apa dengan dirinya.
Tolong selamatkan dia. Jasamu tak akan ku lupakan dunia akhirat!"
"Aku mencintai Lestari!"
"Tiga rangkai kata itu mengiang lama di kedua telinga Wiro Sableng. Dadanya terasa
menyesak. Jika Panji Kenanga mencintai Lestari, apakah Lestari juga mencintai pemuda ini?
"Katamu kau mencintai Lestari, Panji?" Wiro bertanya ingin menegaskan.
"Ya…"
"Apakah Lestari juga mencintaimu?" tanya Wiro lagi.
"Aku
tidak tahu. Tak pernah hal itu dikatakannya. Tapi aku yakin dia juga
menyayangiku. Aku bisa melihat dari gerak-geriknya . . . "
Wiro
merasa dadanya makin sesak. Dia terduduk disamping Panji. Untuk sesaat
tak bisa berkata apa-apa. "Pemuda ini tidak tahu kalau akupun mencintai
gadis itu."
"Wiro, tolong. Selamatkan Lestari," terdengar suara Panji
Kenanga. "Jika terjadi apaapa dengan diri-nya, rasanya tak ada gunanya
lagi aku hidup di dunia ini…"
"Sahabatku Panji Kenanga . . . " sahut
Wiro. Suaranya kali ini agak bergetar karena menahan gejolak dalam
dadanya. "Kau benar-benar mencintai gadis itu. Maksudku dengan cinta
murni, dengan setulus jiwa ragamu . . . ?"
"Demi dia aku rela menyerahkan jiwa ragaku, Wiro. Aku bersumpah jika memang itu baru dapat membuatmu percaya. . . "
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Lututnya terasa goyah. Tak terpikir lagi olehnya saat itu
bagaimana Panji Kenanga dan Lestari bertemu di tempat itu. Tak
tertanyakan lagi bagaimana Panji dan Lestari sampai bentrokan dengan
Randu Wongso dan pemuda bernama Ronggo Bogoseto itu.
"Pergilah Wiro.
Kau harus bertindak cepat!" kata Panji Kenanga yang tak dapat membaca
apa sebenarnya terjadi dalam diri pemuda yang tegak seperti linglung di
hadapannya itu.
"Baik! Tentu Panji! Aku segera pergi. Semoga aku tidak terlambat. Kau terpaksa kutinggalkan di sini. Hati-hatilah . . . "
Semua kata-kata itu diucapkan Wiro dengan peraaan bergalau.
Dia
ingin menyelamatkan Lestari. Bukan karena permintaan yang disampaikan
Panji Kenanga. Tetapi karena diapun ingin melihat gadis itu selamat.
Karena diapun mencintai Lestari. Tetapi Panji Kenangapun mencintai gadis
itu. Bagaimana kalau kemudian diapun mengetahui bahwa Lestari mencintai
Panji? Akan sanggupkah dia menghadapi kenyataan itu?!
Jika dia
mengikuti bisikan setan yang mulai merasuk hatinya, maulah dia saat itu
mencelakakan Panji Kenanga. Mungkin juga membunuhnya. Namun sebagai
seorang pendekar berjiwa besar pantaskah hal itu dilakukannya? Kalaupun
dia berhasil mendapatkan Lestari lalu kemudian mengetahui bahwa gadis
itu tidak mencintainya, apakah jadinya kelak kehidupan mereka?
"Wiro! Kau melamun!" seru Panji Kenanga yang sudah tidak sabaran.
"Ti…
tidak! Aku segera pergi Panji!" sahut Wiro. Lalu segera ditinggalkannya
tempat itu, lari secepat yang bisa dilakukannya menuju Jember.

SEPERTI
yang dikatakan Panji Kenanga memang tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk
mencari gedung kedi akan Ronggo Bogoseto. Sekali bertanya saja dengan
mudah dia menemukan gedung itu, terletak tak berapa jauh dari pusat
keramaian kota. Bagian depan rumah besar yang berhalaman luas ini
dibatasi dengan pagar besi berwarna hitam.
Seluruh halaman ditumbuhi
rumput dan aneka ragam bunga. Di sebelah tengah terlihat sebuah kolam
dengan hiasan patung perempuan setengah telanjang memegang dua ekor
burung merpati.
Di samping bangunan besar megah itu terdapat sebuah
gedung kecil beratap merah. Tepat di depan gedung besar behenti dua buah
kereta. Suasana di tempat itu tampak sunyi-sunyi saja. Lewat pintu
halaman yang tidak dikunci Wiro Sableng masuk ke dalam. Ketika dia
sampai di dekat dua buah kereta, muncullah seorang lelaki tua.
"Bapak, siapakah raden Ronggo ada di rumah?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau siapakah . . .’?" tanya orangtua itu. Nada suaranya tidak menunjukkan kecurigaan.
"Saya sahabat raden Ronggo," sahut Wiro berdusta.
"Ah, kalau begitu kau pergilah ke gedung kecil sebelah sana. Itu tempat kediaman raden Ronggo."
Wiro
tersenyum lalu malangkah tanpa terburu-buru agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Seperti di rumah besar, gedung kecil inipun tampak sunyi.
Dia tegak meneliti sesaat. Terkadang kesunyian bisa menipu seseorang.
Matanya yang tajam melihat pintu depan gedung kecil itu tidak dikunci,
hanya ditutupkan dan itupun tidak rapat. Lewat celah pintu, ketika Wiro
mendekat dia melihat seorang lelaki bertubuh tinggi kurus melangkah
mundar mandir di ruangan depan. Sikapnya jelas menunjukkan ketidak
sabaran. Dan ternyata orang ini memiliki pendengaran tajam.
Begitu Wiro sampai di langkan gedung, dia memburu ke pintu dan keluar seraya membentak.
"Siapa kau?!"
Melihat
pada pakaian yang terbuat dari jenis murahan, air muka yang kusam serta
sikap yang kasar Wiro segera menduga orang ini bukan penghuni gedung
itu, jadi bukan Ronggo Bogoseto. Tampaknya diapun bukan penjaga atau
pengawal gedung. Tetapi mengapa sikapnya begini galak. Atau apakah ini
ayah Ronggo yang berjuluk Raja Pedang Kotaraja itu? Tak bisa jadi. Wiro
segera mengatur siasat.
Murid Sinto Gendeng itu cepat menjura lalu ber-kata: "Aku ingin bertemu dengan Ronggo Bogoseto
"Hmm, Katakan dulu siapa kau!’ ‘
"Aku sahabat lamanya. . . "
"Dia tak ada di rumah. Sedang keluar!’ ‘
Wiro
garuk kepalanya. "Lelaki tua di luar sana bilang Ronggo ada di sini.
Aku datang dari jauh. Ada urusan penting. Tolong beritakan padanya."
‘Tidak mungkin . . . " kata lelaki tinggi kurus yang bukan lain adalah Randu Wongso.
"Kalau
kedatanganku tidak diberitahu, aku kawatir dia nanti akan marah, ini
menyangkut urusan yang benar-benar penting," ujar Wiro.
‘ Justru Ronggo saat ini sedang ada urusan. Tak bisa diganggu oleh siapapun!"
"Kalau
begitu biarlah aku menunggu sampai urusannya selesai," kata Wiro pula.
Lalu seperti tak acuh enak saja dia hendak menyelinap masuk ke dalam
gedung.
"Eit! Orang muda! Jangan bertindak lancang seenakmu!" bentak Randu Wongso.
"Lancang’bagaimana?" tanya Wiro lagi-lagi sambil garuk kepala.
"Meski kau mengaku kawan Ronggo Bogoseto, tapi kalau mau menunggu bukan di sini tempatnya. Di sana, di luar pagar halaman! "
"Ah, di luar sana panas sekali. Bagaimana kalau aku menunggu di langkan sini saja?!"
"Kurang ajar! Kau berani membantah perintahku .Mau kupuntir kepalamu . ?!"ancam Randu
"Jangan! Jangan sobat. Jangan galak begitu . . . " Wiro pura-pura ketakutan. Randu Wongso menyeringai.
"Kalau tak ingin kupuntir kepalamu lekas pergi!"
"Baik, tapi dengan siapakah sebenarnya aku yang bodoh ini berhadapan?"
Yang ditanya tertawa lebar dan menjawab sambil berkacak pinggang.
"Apa kau tak pernah mendengar nama Randu Wongso? Tokoh silat kelas satu yang ditakuti di delapan penjuru Jawa Timur?!"
"Ah!
Inilah dia keparat yang kucari-cari!" kata Wiro dalam hati. Tubuhnya
bergetar. Jika diturutkannya hawa amarah yang merangsak dirinya saat itu
maulah dia menghajar Randu Wongso detik itu juga. Namun tujuan utamanya
datang ke situ adalah untuk menyelamatkan Lestari. Dan kini dia yakin
gadis itu pasti berada di gedung kecil itu, berada dalam sekapan Ronggo
Bogoseto di bawah pengawalan si keparat ini!
"Aduh! Tak kusangka hari
ini aku dapat berhadapan dengan tokoh yang sangat terkenal ini. Harap
maafkan kalau aku tadi berlaku kurang hormat," kata Wiro lalu menjura
sampai beberapa kali. Padahal dalam hati dia menyumpah setengah mati!
"Nah, kalau sudah tahu siapa aku, lekas minggat. Tunggu di luar pagar sana!"
"Baik
. . . baik . . . ," kata Wiro. Sekali lagi dia menjura. Tetapi
gerakannya kali ini bukan gerakan menghormat sembarangan. Sambil
merunduk tangan kanannya menyusup ke depan dengan dua jari terpentang
lurus.
Randu Wongso tak sempat keluarkan seruan. Urat besar dipangkal
lehernya sebelah kanan telah ditotok pemuda yang mengaku sahabat Ronggo
Bogoseto itu. Kontan detik itu juga Randu Wongso tak dapat bergerak
lagi, juga tak bisa bersuara. Kedua matanya membeliak. Seumur hidupnya
baru hari itu dia bisa dibokong orang secara berhadap-hadapan. Seribu
caci maki kutuk serapah menggeru-geru dalam dada lelaki ini.
Sambil tersenyum dan tepuk-tepuk pipi Randu Wongso, Pendekar 212 Wiro Sableng berkata.
"Monyet
jangkung, sebetulnya ingin sekali aku mematahkan lehermu saat ini.
Kejahatanmu sudah lewat takaran. Kebejatanmu sudah selangit tembus. Tapi
biar kuberikan kesempatan beberapa saat lagi bagimu untuk bernafas. . .
"
Dengan ujung jari tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam tinggi
serta hawa amat panas, Wiro menggurat tiga buah angka di kening Randu
Wongso: 212. Lelaki ini merasa seperti ditoreh dengan besi panas. Kalau
saja dia tidak ditotok saat itu pastilah dia akan mengeluarkan jerit
kesakitan luar biasa. Dalam hatinya dia bersumpah: ‘Pemuda haram jadah!
Kelak kau bakal kucincang. Lalu kubakar!"
"Randu! Sekarang kaulah yang harus menunggu di luar pagar sana!"
Habis berkata begitu enak saja Wiro jambak rambut Randu Wongso dan seret lelaki itu ke luar pagar.
‘Tubuhmu
bau! Pakaianmu kumal! Kau lebih layak berada di sini! "ujar Wiro lalu
hempaskan Randu Wongso ke tepi jalan yang panas dan berdebu. Kemudian
dia segera masuk ke dalam gedung kecil kembali. Setelah melewati ruangan
depan dan ruangan tengah yang penuh dengan berbagai macam perabotan dan
lemari pajangan, Wiro sampai di sebuah ruangan di mana berderet
beberapa kamar dengan pintu dalam keadaan tertutup. Di dalam kamar yang
mana Lestari disekap? Dia melangkah perlahan-iahan, memasang telinga
serta mata. Di hadapan pintu ke empat deretan sebelah kiri pendekar ini
hentikan langkah. Dari balik pintu jelas terdengar suara berisik. Wiro
tempelkan telinganya ke daun pintu. Setelah merasa pasti maka sekali
tendang pintu yang terbuat dari kayu jati itu hancur berantakan. Secepat
kilat Wiro melompat masuk ke dalam kamar.
Apa yang diperkirakannya
tidak meleset. Di atas sebuah tempat tidur besar bekelambu biru muda
berseperai putih serta penuh keharuman tampak seorang pemuda bermuka
pucat yang tangan kanannya dibalut, dan hanya mengenakan celana dalam
tengah menggeluti sesosok tubuh perempuan yang saat itu berada dalam
keadaan tak berdaya dan tidak mengenakan pakaian atau penutup apapun.
"Manusia
keparat haram jadah!" teriak Wiro Sableng menggelegar. Dia menerjang ke
atas tempat tidur. "Wiro!" jerit Lestari. Namun jeritan itu tependam di
tenggorokannya karena sampai saat itu tubuhnya masih tertotok, membuat
dia tak bisa bergerak ataupun bersuara. Sejak hancurnya pintu kamar
kaget Ronggo bukan kepalang. Apalagi ketika melihat seseorang melompat
ke atas tempat tidur. Tapi karena merasa berada di rumah sendiri
ditambah di luar sana ada Randu Wongso maka dengan marah pemuda ini
membentak.
"Bangsat! Maling atau pencuri kau?!"
"Aku memang maling yang hendak mencuri nyawamu!" teriak Wiro.
Kaki
kanannya menyambar ke depan, tepat pada saat Ronggo mencoba berdiri.
Pahanya tepat dihantam tendangan. Terdengar suara krak! Dibarengi jerit
kesakitan dan mentalnya tubuh pemuda bermuka pucat itu!
Seperti
diketahui Ronggo Bogoseto meski memiliki ilmu pedang yang tangguh namun
tidak mempunyai dasar ilmu silat yang bisa diandalkan. Apalagi saat itu
dia diselimuti rasa terkejut hingga sama sekali tak mampu membuat
gerakan mengelak. Dia terbanting ke lantai. Ketakutan setengah mati dia
menggulingkan diri ke pintu kamar sambil berteriak.
"Randu! Randu! Tolong . . . !" Tak ada jawaban,
Ronggo
Bogoseto berdiri dengan susah payah. Baru saja dia setengah membungkuk,
satu cengkeraman mencengkam lehernya dari belakang. Cekikan itu makin
keras, makin keras. Ronggo Bogoseto tak dapat bernafas. Matanya
mendelik, lidahnya menjulur dan ludah membuih keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga Wiro hantamkan muka pemuda itu ke dinding kamar.
Prak!
Darah muncrat.
Muka Ronggo Bogoseto remuk. Batok kepalanya rengkah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium lantai.
Wiro
tutup tubuh Lestari dengan seperai lalu lepaskan totokan di tubuh gadis
itu. Dia kemudian menghindar ke pintu seraya membelakangi dan berkata:
"Lekas cari dan kenakanan pakaianmu. Kita harus segera pergi dari sini!"
Lestari menemukan pakaian merahnya di ujung kaki tempat tidur dan segera mengenakannya.
"Bagaimana
kau tahu aku ada di sini Wiro?" tanya Lestari. Ingin sekali dia
menjatuhkan tubuhnya ke dada pemuda itu, memeluk bahkan menciumnya
sebagai pernyataan terima kasih karena telah menyelamatkan diri dan
kehormatannya. Namun sekejap bayangan wajah Panji Kenanga muncul. Maksud si gadis tertahan.
"Nanti saja kuterangkan. Kita harus pergi. Mari!" sahut Wiro lalu mendahului menuju keluar.
Di luar pagar di tepi jalan tampak beberapa orang mengerumuni Randu Wongso yang terkapar di tanah.
‘Orang ini gagu dan lumpuh!" seseorang berkata.
Lelaki disampingnya menyahuti: "Kurasa dia bukan lumpuh. Tapi ditotok. Kalau tak salah dia kawannya Ronggo . . . "
"Kalau begitu beri tahu pada pemuda itu apa yang terjadi!" kata yang lain.
Baru
saja mereka ramai-ramai bicara begitu sesosok bayangan putih dan merah
berkelebat. Empat orang terpelanting. Ada yang berseru kaget. Ketika
memandang ke depan mereka lihat sosok tubuh Randu Wongso telah dibawa
lari oleh seorang lelaki berpakaian putih. Di belakangnya mengikuti
seorang perempuan berpakaian merah.

WIRO SABLENG
membawa Randu Wongso ke candi tua tempat kediamannya di mana sosok
tubuh Warsih masih terkapar tak bernyawa akibat bunuh diri karena tak
sanggup hidup menanggung malu setelah diperkosa oleh manusia bejat itu.
"Wiro,
aku ingin membunuh keparat ini sekarang juga! Ketika melarikanku ke
Jember, sepanjang perjalanan dia berlaku kurang ajar! "berkata Lestari
begitu Wiro melemparkan tubuh Randu Wongso ke lantai candi.
"Sabar
Lestari. Jangan berikan kematian terlalu enak padanya. Kita harus
mengatur kematian paling bagus hingga dia benar-benar merasakan
pembalasan atas segala dosa-dosanya. Kau tunggu dulu di sini."
"Kau mau ke mana?"
Wiro menerangkan pertemuannya dengan Panji Kenanga.
"Aku akan bawa pemuda itu kemari. Kau bisa merawat luka-lukanya . . . "
Sesaat
Wiro melihat wajah Lestari tiba-tiba menjadi merah. Namun dia pura-pura
tidak tahu malah berkata: "Dia mencintaimu Lestari. Kurasa kau juga
sudah tahu. Kau harus merawatnya baik-baik hingga cepat sembuh. . . "
"Wiro, ada sesuatu yang perlu kujelaskan. Yaitu mengapa aku mengadakah perjalanan ini… "
"Itu
bisa kau terangkan jika Panji sudah ada di sini nanti. Dia sudah
terlalu lama kutinggalkan. Aku kawatir keadaannya akan lebih parah kalau
tidak lekas ditolong."
Lestari hendak bertanya lagi. Tapi Wiro sudah
berkelebat pergi.-"Heran, bagaimana dia tahu kalau Panji mencintaiku . .
. ?" membatin Lestari. "Apakah dia sudah tahu kalau antara aku dan dia
ada ikatan jodoh . . . ? Ah bagaimana jadinya ini . . . " Gadis itu
geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian pandangannya membentur sosok tubuh
Randu Wongso. Rahang Lestari menggembung. Dia melangkah besar-besar dan
duk! Tendangannya menghantam muka Randu Wongso hingga terpental ke
dinding. Hidungnya remuk mengucurkan darah. Tiga buah giginya tanggal
dan bibirnya
pecah.
Jika diikutinya dendam kesumat sakit hatinya
mau Lestari menggorok leher Randu Wongso saat itu. Namun sebelum dia
sempat menjadi kesetanan Wiro Sableng telah muncul kembali mendukung
tubuh Panji Kenanga. Meski menanggung sakit dan masih berceiomotan darah
di bagian mukanya namun melihat Lestari tak kurang suatu apa pemuda itu
tampak lega. Sambil duduk bersandar ke dinding dia coba tersenyum dan
berkata: "Syukur kau selamat Lestari. Kau . . . maksudku kita, harus
berterima kasih padaWiro. .. "
Lestari tak menjawab. Jika saja saat
itu tak ada Wiro di situ mungkin dia telah melompat untuk merangkul
tubuh Panji Kenanga dan merawat lukanya.
"Kau ingin menyelesaikan urusan dengan Randu Rongso?" Wiro bertanya.
"Dia
harus mampus di tanganku!" jawab Lestari. Wiro melangkah. Dia
menggeledah pakaian Randu Wongso. Di situ dia menemui beberapa buah
kantong kain berisi uang dan juga sebatang suling perak. Wiro
menimang-nimang benda itu lalu menyerahkannya pada Lestari. Ini adalah
kali kedua pemuda itu mengembalikan senjata itu kepada si gadis. Pertama
sewaktu peristiwa penghancuran Istana Darah.
Setelah menyerahkan suling perak itu Wiro kemudian lepaskan totokan di tubuh Randu Wongso.
Begitu
totokannya lepas, tubuh Randu Wongso tiba-tiba laksana seekor harimau
mencelat dan mengirimkan serangan berupa tendangan maut ke selangkangan
Wiro Sableng!
Pendekar kita memang sudah menduga hal itu. Karenanya
dia bersikap penuh waspada dan ketika Randu Wongso membuat gerakan yang
mengawali serangan Wiro sudah lebih dulu menyingkir. Tendangan lelaki
itu mengenai tempat kosong.
Marah dan penasaran serangan mautnya gagal, Randu Wongso kini berpaling pada Lestari.
‘Satu
di antara kalian layak mampus lebih dahulu" geram Randu Wongso.
Mulutnya komat-kamit. Tangan kanannya mendadak berubah menjadi hitam.
Melihat hal ini Wiro cepat melompat ke hadapan Randu Wongso, sekaligus
membelakangi Lestari.
"Wiro, awas!" memperingatkan gadis itu. "Dia hendak melepaskan pukulan berbahaya! "
"Tak usah kawatir," jawab Wiro. "Manusia dajal! ini akan menemui kematian di sarang mesumnya ini!"
"Kau yang mampus lebih dulu! "teriak Randu Wongso lalu pukulkan tangan kanannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sinar hitam menyambar dahsyat.
Wiro
cepat tutup jalan pernafasannya. Serentak dengan itu tangan kannya
menghantam ke depan. Ruangan candi menjadi terang benderang oleh sinar
putih menyilaukan yang keluar dari telapak tangan murid eyang Sinto
Gelung itu.
"Pukulan sinar matahari!" seru Randu Wongso kaget sekali.
Cepat-cepat dia susupkan pukulan sinar hitamnya ke bawah hingga sinar
itu kini berbuntal-buntal seperti gurita yang hendak merobek-robek tubuh
Wiro.
Sebelumnya Wiro sudah mendengar kehebatan ilmu Randu Wongso
ini. Karenanya dia harus menghadapi tidak kepalang tanggung. Dengan
tangan kiri Wiro lepaskan pukulan pemagar diri sekaligus merupakan
serangan ganas yakni pukulan dewa topan menggusur gunung!
Kembali
Randu Wongso keluarkan seruan tegang. Cepat dia kerahkan tenaga dalam.
Namun tak urung tubuhnya mental ke luar candi terseret hawa pukulan yang
dilepaskan Wiro.
Dengan dada berdenyut keras Randu Wongso sesaat tegak untuk mengatur jalan darahnya.
"Jadi
kau adalah muridnya nenek busuk Sinto Gendeng itu hah!" ujar Randu
Wongso. Sret! Dia cabut sebilah golok yang terbuat dari kuningan dan
mengandung racun jahat sekali.
Mendengar nama gurunya disebut secara
kurang ajar marahlah Wiro. Entah kapan dia bergerak tahu-tahu Randu
Wongso telah menerima dua pukulan. Satu mendarat di dadanya, satu lagi
di ulu hatinya. Lelaki mesum ini keluarkan suara seperti mau muntah.
Yang menyembur dari mulutnya adalah darah kental. Tidak perduIikan
keadaan dirinya yang terluka parah di sebelah dalam Randu Wongso
membabat ganas ke arah Wiro. Golok besarnya bersiuran. Namun dia hanya
mampu membuat dua kali gerakan pulang balik. Di kali yang ketiga
terdengar suara krak! Tulang lengan kanannya patah disambar tepi telapak
tangan kiri Wiro. Golok kuningannya mental, langsung disambar Wiro.
Senjata ini dilemparkannya ke arah Lestari seraya berkata: "Lestari,
selesaikan urusanmu dengan manusia terkutuk itu! "
Lestari yang tahu
apa maksud ucapan Wiro segera menangkap hulu golok, lalu secepat kilat
melompat ke arah Randu Wongso. Golok di tangan kanannya menyambar ke
arah leher lelaki itu.
Cras!
Lestari terpekik sendiri ketika
menyaksikan hasil tabasannya. Kepala Randu Wongso menggelinding dilantai
candi. Darah muncrat dari lehernya yang kutung. Tubuhnya terjungkal
jatuh. Bergerak-gerak beberapa ama lalu diam tak berkutik lagi.
MALAM
itu udara dingin sekali. Untuk menolak hawa yang membuat tubuh
menggigil ini Wiro menyalakan api unggun. Saat itu mereka berada di
sebuah mata air kecil, di kaki sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon
jati.
Sebenarnya ingin sekali Lestari menuturkan persoalan yang
tengah dihadapinya kepada Wiro. Namun dia terpaksa menunggu sampai Panji
Kenanga tertidur. Lewat tengah malam setelah pemuda itu kelihatan
memejamkan mata. Lestari lalu duduk mendekati Wiro dan menceritakan
tentang hilangnya tusuk kundai perak. "Tusuk kundai itu, bukan hiasan
rambut biasa. Tapi sebuah senjata mustika. Diberikan oleh gurumu pada
guruku beberapa tahun yang silam . . . "
Wiro kaget mendengar
keterangan ini. Setelah merenung sejenak diapun menanggapi: "Kalau tak
salah, gurumu dulu pernah bilang bahwa dia adalah saudara angkat guruku.
Eyang tidak akan memberikan tusuk kundai itu pada sembarang orang.
Pasti ada tujuan tertentu . . . "
Lestari terdiam sejenak. "Harus kukatakan sekarang," dia membatin mengambil keputusan. "Mungkin kau masih belum tahu Wiro."
"Belum tahu apa?" bertanya Wiro.
"Tusuk
kundai itu diberikan gurumu pada guruku sebagai tanda ikatan jodoh kita
…" Wiro Sableng sampai terbangkit dari duduknya mendengar ucapan
Lestari yang tidak disangka-sangka ini.
"Kau tidak bergurau Lestari?"
Sang
dara menggeleng. "Karena itulah guru sangat marah terhadapku. Dan aku
sudah bertekad tak akan kembali ke tempat guru sebelum menemukan kembali
tusuk kundaiitu… "
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di depan api
unggun. Lama dia termenung. "Ikatan jodoh itu memang tak pernah
kuketahui. Mereka menghubungkan kita secara diam-diam. . . "
Wiro
memandangi wajah Lestari. Yang dipandang menunduk lalu berpaling ke
jurusan lain. Justru pandangannya membentur Panji Kenanga yang tengah
tertidur. Pada dasarnya Lestari lebih tertarik pada Panji Kenanga yang
wajahnya memang lebih tampan dari pada Wiro. Namun mengingat dia telah
dijodohkan dengan Wiro, apalagi mengingat Wiro baru saja
menyelamatkannya dari perbuatan terkutuk Ronggo Bogoseto maka terpaksa
dengan berat hati dipupuskannya segenap rasa terhadap Panji Kenanga.
Kini dicobanya untuk menggantikan tempat Panji dengan Wiro.
Sebaliknya
setelah mengetahui Panji Kenanga mencintai Lesdari dan dari gerakgerik
si gadis, Wiro meyakini bahwa Lestari lebih menyukai Panji Kenanga dari
dirinya, maka betapapun dia menyayangi gadis ini dia harus melupakan
perasaan itu. Dan ini merupakan satu hal yang berat. Seolah-olah dia
tengah menghancurkan dirinya sendiri!
"Kalau Lestari bisa lebih
berbahagia dengan Panji, kenapa aku harus berkeras kepala . . . ," pikir
Wiro coba menghibur diri. "Itu mungkin lebih baik bagi mereka. Tapi
urusan jodoh yang diikatkan oleh para guru? Ah, inilah akibat kalau
pihak-pihak berkepentingan tidak diberi tahu lebih dulu!"
Setelah
berpikir dalam-dalam dan setenang mungkin akhirnya Wiro berkata.
"Lestari, soal ikatan jodoh kita sebaiknya kita tunda dulu untuk
dibicarakan. Yang penting sekarang adalah mencari tusuk kundai itu. Kita
bertiga harus mencari seorang kenalan lamaku. Aku tak tahu namanya, dia
berjuluk si Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi keterangan siapa
pencuri benda pusaka itu dan di mana bisa ditemukan . . . "
"Orang saktikah dia atau tukang ramal atau dukun . . . ?" tanya Lestari.
"Tak
dapat kupastikan. Tapi dia punya semacam kepandaian aneh yang dapat
melihat kejadian di masa silam serta apa yang bakal terjadi di masa
mendatang. Nah, malam sudah larut. Kau tidurlah . . . "
Baik Wiro
maupun Lestari tak satupun dari mereka yang mengetahui kalau sementara
mereka bicara tadi sesungguhnya Panji Kenanga hanya pura-pura tidur.
Segala apa yang dibicarakan kedua orang itu didengar jelas oleh Panji
Kenanga. Betapa remuk hati pemuda ini sewaktu mengetahui bahwa gadis
yang dikasihinya itu ternyata telah dijodohkan dengan Wiro Sableng. Dia
mengeluh, meratap dalam hati. Ingin sekali dia mati saat itu juga!
"Sebaiknya kalian segera saja berangkat tanpa menunggu kesembuhanku . . . " kata Panji Kenanga keesokan harinya.
‘ Kau akan segera sembuh Panji. Kita berangkat sama-sama," jawab Wiro.
"Aku
hanya kawatir kalau-kalau tusuk kundai itu semakin jauh dilarikan
pencuri," ujar Panji Kenanga. Empat hari kemudian kesehatan Panji
Kenanga telah pulih kembali. Apalagi Wiro membantunya dengan beberapa
jenis obat dan aliran tenaga dalam. Sebenarnya sejak dia tahu hubungan
jodoh antara Lestari dan Wiro, pemuda ini tak ada lagi semangat untuk
meneruskan perjalanan bersama-sama. Namun untuk pergi begitu saja
dirasakannya kurang enak. Pada hari ke lima mereka memulai perjalanan.
Panji menolak keras ketika disuruh menunggangi Angin Salju. Dia lebih
suka Lestarilah yang menaiki kuda itu. Karena Lestari juga menolak
akhirnya terpaksa Panji naik ke punggung kudanya.
Sesuai rencana
mereka bergerak ke sekitar kaki gunung Lamongan. Menurut perkiraan di
situ kemungkinan bisa menemui Si Segala Tahu. Karena sering-sering
berhenti, hampir seminggu kemudian baru mereka sampai di tujuan.

DI SEBELAH
timur gunung Lamongan terdapat sebuah bukit kapur yang dari jauh
kelihatan memutih. Wiro, Lestari dan Panji Kenanga segera menuju ke
bukit kapur ini. Hawa sekitar bukit terasa panas. Tiba-tiba Wiro memberi
isyarat agar berhenti. Dia menunjuk ke puncak bukit kapur. Di atas sana
seseorang berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kirinya ada sebuah
tongkat. Dia mengenakan topi lebar dan melenggang seenaknya menuju ujung
bukit sebelah timur. Sesekali terdengar suara berkerontangan.
"Itu
dia! Pasti dia!" seru Wiro girang. Ketiga orang ini serta merta menuju
puncak bukit sebelah timur. Meskipun orang di atas bukit melangkah
bungkuk seenaknya, namun cukup memakan waktu lama baru mereka berhasil
mengejarnya.
"Bapak segaia Tahu! Tunggu! Berhenti dulu!" teriak Wiro.
Dia sengaja mengerahkan tenaga dalam agar suaranya dapat didengar.
Namun orang yang berjalan terus saja melangkah sambil kerontangan kaleng
buruk berisi batu kerikil di tangan kirinya. Terpaksa Wiro dan Lestari
mempercepat lari sementara Panji Kenanga membedal Angin Salju.
Sebelumnya
Wiro telah pernah bertemu dengan Si Segala Tahu dan tak heran melihat
perangai orang tua ini. Orang berjuluk Si Segala Tahu ini berpakaian
compang camping dan memakai topi lebar. Di kempitnya sebelah kanan ada
sebuah buntalan. Tampak dia memindahkan tongkat dari tangan kanan ke
tangan kiri. Kaleng butut kini berada di tangan kanannya dan terus
menerus d ikerontang-kerontangkannya. Kedua matanya buta. Tapi di
manapun dia berada, tongkatnya menjadi sepasang mata hingga dia tak
pernah nyasar ataupun terperosok.
"Bapak Segala Tahu! Tunggu! "seru Wiro kembali.
"Panas-panas
begini siapa yang memanggil aku? Beraninya mengganggu aku yang tengah
menikmati pemandangan indah di puncak bukit!" Hebat juga orang tua ini
menggerutu. Menikmati pemandangan katanya padahal kedua matanya buta!
Wiro sampai di hadapan si orang tua. Lestari dan Panji Kenanga berada di sampingnya.
"Bapak
Segala Tahu, harap manfaatkan kalau aku dan kawan-kawan mengganggu
tamasyamu. Kami betul-betul membutuhkan pertolongan. Ada satu persoalan
penting yang harus kami tanyakan. Kuharap kau bisa menolong."
"Aih,
panas-panas begini kau membicarakan soal penting. Soal apakah . . . ?
Hai tunggu dulu! Kalau tak salah ingat, delapan belas bulan lalu kita
pernah bertemu. Kupingku hafal suaramu!" berkata Si Segala Tahu.
"Betul sekali! Kau belum lupa!" jawab Wiro.
"Waktu
itu aku ramalkan kau bakal dapat banyak susah. Terutama karena sifatmu
yang mata keranjang, tidak boleh melihat jidat licin, tak boleh melihat
perempuan cantik . . . Betul?!"
Wiro Sableng tertawa. Tapi mukanya merah.
Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya.
"Nah, saat ini apakah kau mau mendengar ramalan baru tentang dirimu?"
"Tentu saja!" sahut Wiro Sableng.
"Ulurkan tangan kirimu!"
Wiro lantas ulurkan telapak tangan kirinya. Si Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu meraba-raba telapak tangan pemuda itu.
"Ah, nyatanya nasibmu kali ini pun masih malang, orang muda!"
"Malang bagaimana?" Wiro kepingin tahu.
"Kau tengah menghadapi persoalan pribadi yang pelik! "Si Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya.
‘Tersoalan pribadi apa maksudmu pak?" tanya Wiro berdebar.
"Aih, kau jangan berpura-pura anak muda. Kukatakan saja blak-blakan! Persoalan pribadi menyangkut ihwal asmara!"
Berubahlah paras Pendekar 212. Dia tak berani memandang ke arah Lestari ataupun Panji Kenanga. Si Segala Tahu melanjutkan.
"Kau
mencintai seorang gadis. Tapi gadis rtu menyukai orang lain. Lalu kau
bertekad memperlihatkan pribadi dan jiwa besarmu yang luhur.
Mengundurkan diri demi kebahagiaan orang yang kau kasihi itu. Betul…?!"
Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan orang tua itu betul. Tapi mana berani dia membenarkan.
"Entahlah pak tua. Aku tak begitu mengarti persoalan yang kau katakan itu!"
Si Segala Tahu tertawa.
"Kau
pandai menyembunyikan rahasia hatimu orang muda. Aku menghormati
manusia-manusia berjiwa besar sepertimu! Rela berkorban untuk
kebahagiaan orang lain. Nah, sekerang katakan kau hendak tanyakan apa
padaku!"
Wiro lalu menuturkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai perak
sebagaimana yang didengarnya dari Lestari sementara Panji Kenanga sudah
turun dari punggung Angin Salju.
"Karena gadis murid si Pemusnah
Iblis itu ada di sini sebaiknya biar dia saja yang menceritakan sekali
lagi, biar jelas," kata Si Segala Tahu sambil kerontang-kerontangkan
kaleng bututnya. "Tapi sebelumnya apakah kau mau kuramalkan nasib
perjalanan hidupmu? Kau boleh percaya boleh tidak pada apa yang nanti
akan kukatakan."
"Terima kasih bapak segala tahu," jawab Lestari
menolak secara halus. Dia kawatir ramalan orang tua itu akan membuka
rahasia pribadinya di hadapan dua pemuda itu. "Lebih penting kalau aku
dapat menerangkan peristiwa lenyapnya tusuk kundai."
"Baik, baik . . .
Sekarang terangkan kisah lenyapnya benda itu termasuk perjalananmu
sampai kemari. Jangan satu hal pun kau lupakan."
Lestari lalu memberi
keterangan. Baru setengah bagian mengenai perjalanannya dituturkan Si
Segala Tahu memotong dengan kerontangkan kalengnya.
"Cukup. Sekarang
coba keluarkan carikan kain hijau yang kau temukan dekat mayat busuk
pada petang hari pertama kau meninggalkan danau Jembangan."
Lestari keluarkan secaraik kain hijau dari balik pakaiannya dan menyerahkannya pada Si Segala Tahu.
Sambil
meremas-remas robekan kain hijau itu dengan tangan kirinya orang tua
ini mendongak ke langit dan goyangkan kalengnya tiada henti. Lama
sekali, setelah mukanya keringatan baru dia hentikan kerontangan
kalengnya dan berpaling pada Lestari.
"Kalian bertiga dengarlah
baik-baik. Tusuk kundai itu pada mulanya memang dicuri oleh seorang yang
punya kelihayan mencuri. Katakanlah raja paling tingkat tinggi, Mayat
yang ditemukan oleh gadis ini itulah mayat si raja maling. Jika aku
tidak salah hanya ada
satu raja maling di rimba persilatan masa ini
yakni manusia bernama Singgar Manik. Mengapa dia jadi mayat? Bukan mati
karena sakit. Dia dibunuh orang. Singgar Manik bukan seorang
berkepandaian rendah. Aku merasa pasti dia dihadang oleh lebih dari satu
orang yang juga menginginkan tusuk kundai itu. Terjadi perkelahian.
Singgar Manik jadi korban. Tusuk kundai dirampas oleh pencuri-pencuri
baru . . . "
‘Apakah kau tahu siapa orang-orang itu . . . ?" tanya Lestari penuh harapan.
"Siapa
mereka itu? Hemm . . . Karena kejadian ini di wilayah timur, ditambah
bukti cabikan kain hijau, berat dugaanku tusuk kundai itu kini berada di
tangan dua bersaudara Nyoka Gandring dan Nyoka Putubayan!"
"Siapa
mereka ini?" tanya Wiro. ‘Dua saudara kembar. Keduanya brahmana sesat.
Mereka berseragam pakaian hijau, Bermuka seperti ular. Karena itu mereka
diberi julukan Sepasang Kobra Dewata! Selain berilmu tinggi juga
diketahui gemar mengumpulkan senjata atau benda-benda mustika!" "Terima
kasih. K eter angan mu sangat, berguna. Tanpa petunjukmu tak mungkin
kami bisa menemukan kembali kedua senjata itu," ujar Wiro. Lestari pun
mengucapkan terima kasih berulang kali. "Bapak Segala Tahu, berapa kami
harus membayarmu?1 tiba-tiba Lestari bertanya. Si orang tua tertawa
mengekeh. "Pertanyaanmu lucu sekali anak gadis. Selucu tindakanmu
menghadapi kenyataan yang menyangkut dirimu akhir-akhir ini. Kau tak
perlu menanyakan soal bayaran. Jika Sepasang Kobra Dewata dapat kaliat
tamatkan riwayatnya maka itu adalah lebih dari bayaran. Manusia-manusia
seperti mereka harus dilenyapkan agar dunia yang indah permai ini
menjadi tenang tenteram . . . " "Budi baik dan pertolonganmu tak akan
kulupakan," kata Lestari lalu menjura dalamdalam. Si Segala Tahu angkat
bahu, kerontangkan kalengnya lalu tinggalkan tempat itu. Kelihatannya
dia cuma melangkah biasa. Namun sesaat kemudian dia sudah berada jauh di
ujung bukit. Astaga! Kita tidak menanyakan di mana harus mencari
Sepasang Kobra Dewata!" seru Panji Kenanga. "Tak usah kawatir. Aku tahu
di mana sarang mereka. Kita harus segera berangkat ke Banyuwangi! jawab
Wiro Sableng.

DUA BELAS
hari mengadakan perjalanan baru ketiga orang muda itu sampai ke
Banyuwangi, kota paling ujung di timur pulau Jawa. Saat itu Banyuwangi
tengah menyambut dengan upacara besar-besaran kedatangan Adipati
Surabaya yang berkunjung untuk meresmikan pengangkatan Adipati pembantu
di Banyuwangi. Adipati Surabaya datang dengan sebuah kapal layar.
Karenanya suasana di pelabuhan Banyuwangi ramai bukan main.
Di antara
keramaian itu menyelinaplah Wiro, Lestari dan Panji Kenanga. Menurut
keterangan yang mereka peroleh dari beberapa orang di tengah jalan,
Sepasang Kobra Dewata berada di sebuah rumah makan di tengah pantai.
Rupanya kedua orang ini bermaksud menyambut kedatangan Adipati Surabaya.
Mungkin bukan sekedar menyambut, tapi sambil mencari mangsa kalau-kalau
ada benda berharga yang bisa disikat.
Meskipun rumah makan itu ramai
sekali namun tiga muda mudi yang masuk segera dapat mengenali dua orang
yang mereka cari. Dua lelaki berkepala botak, bermuka angker dan
mengenakan pakaian hijau duduk di sebuah meja yang agak terpisah di
tengah ruangan besar. Agaknya para pengunjung yang lain merasa segan
atau mungkin takut duduk dekat-dekat meja mereka.
* Nyoka Gandring
dan Nyoka Putubayan serta merta melayangkan pandangannya pada dara
berbaju merah yang barusan masuk bersama dua pemuda.
Nyoka Putubayan
menyentuh lutut kakaknya seraya berkata perlahan. "Heh, lihat, gadis
cantik berbaju merah itu seperti sengaja menuju ke arah kita. Kau kenal
dia?"
‘Eh, betul. Siapa bidadari ini adanya? Aku bisa setengah mati tergila-gila padanya!" sahut Nyonya Gandring.
Begitu sampai di hadapan kedua orang itu Wiro segera menegur. "Apakah kami berhadapan dengan Sepasang Kobra Dewata?"
Baik
Nyonya Gandring maupun Putubayan saat itu hanya memandang ke pada
Lestari. Tanpa mengalihkan pandangannya Putubayan bertanya: "Kalian
siapa?"
Seenaknya Nyoka Gandring menimpali. "Apa kalian datang untuk mengantar gadis jelita ini?"
Wiro tertawa lebar. "Betul, dara jelita ini memang untuk kalian. Tapi ada syaratnya …"
"Ah, katakan cepat syaratnya!" ujar Nyoka Gandring pula.
"Mudah
saja!" yang menyahut Panji Kenanga. "Serahkan dulu tusuk kundai perak
yang kau curi dari tempat Si Pemusnah Iblis di danau Jembangan . . . !"
"Ah!"
Sepasang Kobra Dewata sama-sama terkejut. Nyonya Gandring berkata: "Aku
tidak begitu suka membicarakan persoalan itu. Aku lebih suka kalian
pergi dari sini tapi tinggalkan si cantik ini!"
"Kawan-kawan … . "
kata Wiro sambil memandang pada Lestari dan Panji Kenanga dan kedipkan
matanya. "Agaknya terpaksa kita harus meninggalkan gadis ini pada dua
manusia botak ini. Tapi bagaimana kalau kita minta tebusan nyawa
mereka?!"
"Setuju!" jawab Lestari dan Panji Kenanga. Sang dara segera
keluarkan suling perak yang menjadi senjatanya. Melihat benda ini Nyoka
Putubayan menyeringai. "Hari ini rejeki kita besar sekali. Dapat gadis
cantik dan tambahan senjata baru . . . !"
"Manusia ular jelek . . . Kalian hanya ada satu pilihan!" membentak Wiro. "Tusuk kundai itu atau nyawa kalian!"
"Bangsat
kurang ajar!" teriak Nyoka Putubayan jadi marah. Tanpa berdiri dari
kursinya dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Seguluhg angin menerpa
dahsyat. Tiga muda-mudi itu cepat menyingkir. Namun seorang tamu yang
duduk jauh di belakang mereka menjadi korban. Tubuhnya mencelat dengan
kepala kelihatan membiru!
"Kalian memang minta racun!" teriak murid
Sinto Gendeng lalu sekali bergerak dia balikkan meja besar di hadapan
kedua brahmana sesat itu. Serta merta kacaulah rumah makan besar itu.
Perkelahian tiga lawan dua terjadi. Lestari tak mau mundur walau Wiro
dan Panji memperingati. Wiro menghadapi Nyoka Gandring sedang Panji dan
Lestari melayani Nyoka Putubayan.
Orang ramai yang ada di pelabuhan
begitu mengetahui perkelahian di rumah makan itu serta merta datang
berlarian untuk menyaksikan dan melupakan penyambutan terhadap Adipati
Surabaya. Mereka hanya berani menonton dari jauh karena takut akan
terkena pukulan-pukulan maut yang saling dilepaskan.
Semula Sepasang
Kobra Dewata menganggap remeh tiga muda mudi itu. Dua jurus paling
banyak mereka pasti akan merobohkan Wiro serta Panji dan melumpuhkan
Lestari. Namun dua saudara kembar ini jadi terkejut ketika setelah tujuh
jurus tak satu serangan merekapun yang berhasil. Malah tekanan lawan
mulai dirasakan dan ini membuat keduanya jadi penasaran.
Nyoka
Putubayan keluarkan jurus-jurus simpanannya lebih dulu. Didahului
bentakan keras dia menyerbu dengan jurus kobra sakti mengamuk. Sejak
jurus ke delapan itu hamburan serangannya membuat gerakan Lestari dan
Panji Kenanga seperti terbendung.
Di lain pihak Nyoka Gandring yang
berkelahi menghadapi Wiro Sableng yang mulai terdesak hebat juga sejak
tadi-tadi sudah keluarkan jurus-jurus silat andalannya. Beberapa kali
dia melepaskan pukulan saktinya yang menebar sinar beracun. Namun Wiro
yang sudah mendapat peringatan dari Panji Kenanga berlaku waspada hingga
tak satu serangan lawanpun mampu mencelakainya. Melirik ke kiri Nyoka
Gandring melihat adiknya mengucurkan darah dari pelipis kiri. Tusukan
suling Lestari telah berhasil menyerempet kepalanya. Hatinya jadi
was-was. Sadar dia kini kalau tiga lawan yang mereka hadapi bukan
pemuda-pemuda biasa. Mereka pasti murid-murid tokoh silat
tingkat tinggi.
Berada dalam was-was begitu membuat Nyonya Gandring menjadi lengah. Akibatnya satu jotosan Wiro tak sempat dikelitnya.
Buk!
Nyoka
Gandring terpental dan terguling di atas meja di belakangnya. Sambil
menahan sakit dia kirimkan tendangan untuk mencegah lawan mendekat.
Tenggorokannya terasa panas tanda-tanda darah yang hendak mengalir
keluar.
Baik Nyoka Gandring maupun Nyoka Putubayan adalah dua tokoh
silat yang hanya mengandalkan kehebatan ilmu silat tangan kosong
termasuk tenaga dalam dan pukulanpukulan sakti. Namun setelah
habis-habisan menghantam tak satu pun serangan mereka mengenai sasaran
malah kini mereka mulai terdesak hebat bahkan kena digebuk, maka
keduanya benar-benar jadi marah. Selama ini memang tak satu lawanpun
dapat bertahan lama menghadapi salah satu dari mereka, apalagi jika
turun berdua sekaligus. Hari ini mereka ternyata bertemu tembok baja!
"Monyet
gondrong!" maki Nyoka Gandring. "Jika kau inginkan benda ini ambillah! "
terdengar seruan Nyoka Gandring. Satu sinar perak menyilaukan disertai
semburan angin panas berkelebat ke arah Wiro Sableng. Tusuk kundai perak
mencari maut! Wiro sudah tahu kehebatan benda rnilik gurunya itu cepat
menyingkir. Dia tak mau menunggu lebih lama. Senjata itu hanya bisa
dihadapi oleh senjata
gurunya yang lain yakni Kapak Naga Geni 212. Maka Wiro segera keluarkan senjata ini.
Ketika
Kapak Maut Naga Geni 212 dikiblatkan ke depan terdengar suara seperti
seribu tawon mengamuk. Orang banyak yang menonton tambah ketakutan dan
tutup kuping mereka. Sinar putih menggelombang menyongsong hantaman
sinar perak. Rumah makan besar itu seperti diguncang gempa. Dentuman
dahsyat meruntuhkan sebagian atap. Jeritan maut yang keluar dari mulut
Nyoka Gandring lenyap begitu tubuhnya tertimbun runtuhan atap. Tangan
kanannya yang terbabat putus oleh Kapak Maut Naga Geni 212 mental dan
jatuh di atas sebuah meja. Tusuk kundai masih tergenggam dalam kutungan
tangan itu. Wiro segera ambil senjata mustika itu. Setelah memperhatikan
sejenak dengan perasaan getir benda lambang perjodohannya itu Wiro lalu
masukkan ke balik pinggang pakaiannya.
Nyoka Putubayan seperti gila
ketika menyaksikan kematian kakaknya. Dia tinggalkan Lestari dan Panji
Kenanga, langsung menyerbu Wiro Sableng. Namun mengalihkan serangan
kepada Pendekar 212 justru hanya mempercepat kematiannya. Setelah
membuat gerakan mengelak dua kali berturut-turut, Wiro yang masih
memegang Kapak Naga Geni 212 segera hantamkan senjata itu ke kepala
Nyoka Putubayan. Tak ada rasa belas kasihan lagi di hati pemuda ini.
Baginya Nyoka Putubayan dan Nyoka Gandring disamping Singgar Manik
adalah manusia-manusia penimbul bencana hingga tali perjodohannya dengan
Lestari berantakan begitu saja. Kalau tusuk kundai itu tidak mereka
curi, tak akan Lestari meninggalkan tempat kediaman gurunya, yang
akhirnya membawa pertemuan kembali sang dara dengan Panji Kenanga!
Nyoka Putubayan ajal dengan kepala hampir terbelah!
Rumah
makan itu menjadi gempar. Bahkan seluruh pelabuhan jadi geger. Diantara
keramaian itu Panji berbisik. "Lestari, aku tak melihat Wiro lagi.
Kemana lenyapnya?"
Gadis itu terkejut dan memandang berkeliling. "Mungkin dia sudah keluar lebih dulu. Kita cari ke tempat penambatan kuda . . . !"
Lestari
dan Panji Kenanga segera meninggalkan rumah makan. Orang banyak
menyingkir memberi jalan. Di tempat Panji menambatkan Angin Salju juga
tak kelihatan orang yang mereka cari. Ada firasat tak enak dalam hati
Panji dan dikatakannya terus terang pada Lestari. "Jangan-jangan Wiro
sudah pergi. Sengaja meninggalkan kita. . . " "Panji, ada kertas di
leher kudamu . . . " Lestari berkata sambil menunjuk pada
secarik
kertas yang digantungkan dengan sehelai benang ke leher Angin Salju.
Panji Kenanga segera mengambil kertas itu, membuka lipatannya. Ternyata
sepucuk surat yang kelihatannya sudah disiapkan Wiro selama sebelumnya.
Sahabatku Panji dan Lestari,
Bagaimanapun
ikatan jodoh tidak ada arti dan tuahnya dibanding dengan kasih sayang
murni yang kalian tanamkan dalam hati masing-masing. Kudoakan kalian
berbahagia dalam menghadapi masa depan.
Cinta murni lebih agung dan
suci dari ikatan jodoh yang diatur, Karenanya tusuk kundai perak
terpaksa kubawa untuk kuserahkan kembali pada guruku. Selamat tinggal.
Tuhan akan memberkahi kalian.
Sahabat kalian,
Wiro Sableng
Panji menoleh dan menyerahkan surat itu pada Lestari. Sang dara tak
berani menerima surat itu. Kedua matanya berkaca-kaca. Untuk beberapa
lamanya tak satu pun diantara mereka bisa bicara. Di pelabuhan kapal
layar Adipati Surabaya telah merapat. Tapi orang banyak masih saja
berkerumun di dalam dan di luar rumah makan.
Akhirnya Panji memegang
lengan Lestari dan berkata. "Kukira Wiro satu-satunya manusia berjiwa
paling besar di dunia. ini. Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus
ke danau Jembangan menemui gurumu. Kita harus menceritakan apa yang
telah terjadi . . . " . Lestari hanya mengangguk perlahan lalu naik
kepunggung Angin Salju, Panji duduk di belakangnya. Sesaat kemudian
keduanya lenyap di tikungan jalan, meninggalkan kepulan debu yang
diterjang kaki kuda.
T A M AT