Ketika
perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain kafan siap untuk
ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah
puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan apapun yang
terjadi.
Orang-orang perempuan yang ada di
ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut mengucurkan air
mata. Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon coklat berbunga
hitam dan baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di antara
mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya
seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
“Sudah bune. Cukup….. Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang di alam baka…”
Setelah
membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan susah
payah, akhirnya lelaki tadi—Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil
menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini
langsung pingsan hingga terpaksa digotong ke kamar.
Sumo Kabelan
Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung.
Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah.
Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang
ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak.
“Witri…. Witri… Malang nian nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang menjemputmu dalam usia semuda ini…”
“Dimas
Sumo….” Datang suara dari samping. Yang bicara adalah seorang lelaki
pendek gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari
itu menerima musibah, kematian puterinya – anak tunggalnya – yang baru
saja menginjak usia delapan belas tahun. “Gusti Allah mengambil Witri
tentu karena Dia saying. Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya.
Kita dan yang lain-lainnya kelak akan berkumpul lagi di akhirat…”
“Kasihan Witri… Kasihan anakku…” kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu
kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki,
beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam
usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali
kain hijau berumabirumbai benang kuning emas.
Seorang pemuda berkulit
kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air mata beberapa kali
merapikan kain hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda, pemuda yang
seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang
meninggal itu.
Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan.
Selesai
disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk
berkumis tadi – kakak Sumo Kabelan menyampaikan sambutan pendek,
mengharap aga kedua orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan
bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon aga almarhumah dibukakan
pintu maaf sebesar-besarnya, lalu mendoakan agar almarhumah diberi
tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu,
jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak cukup jauh. Di depan
sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk melindungi usungan
dari teriknya sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya tengah hari
rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu gerbang
pemakaman. Seorang pengemis tua tampak duduk menjelepok dekat pintu dan
menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak seorangpun mengacuhkan
pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam kesedihan siapa
pula yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang mintaminta itu.
Ketika rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis tadi ulurkan tangan menarik pakaian seorang pengantar.
“Hai…siapakah
yang meninggal?” pengemis itu bertanya. Suaranya halus hampir tak
terdengar. Mungkin karena keletihan duduk di bawah terik matahari,
mungkin juga dikarenakan usianya yang sudah lanjut.
“Ah pengemis tua, apa perlumu bertanya. Lepaskan bajuku!” kata lelaki yang bajunya ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis.
“Bertanya saja tidak boleh…” sang pengemis tampak jengkel.
Seorang pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh mau juga menjawab.
“Yang meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa Ambarwangi…”
“Ah kasihan…kasihan. Apakah dia sudah kawin…?” pengemis tadi bertanya.
Yang menjawab adalah pengantar lainnya, yang terpisah tiga orang di belakang pengantar yang memberi keterangan tadi.
“Pengemis tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin dikatakan gadis!”
“Ah, aku memang tolol! Kasihan gadis itu….”
Pengemis
itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia
pandangi rombongan pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat
pakaiannya yang kotor penuh debu. Ketika kepala rombongan sampai di
liang lahat yang telah disiapkan untuk jenazah, dengan langkah
terserok-serok pengemis tadi mendatangi.
Sambil melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan
diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup
usungan dibuka. Sambil tiada hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah
kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara
tiga orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan
menyambut jenazah.
Saat itulah, ketika jenazah hendak diterimakan
dari tangan empat orang ke tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak
yang berkerumun mengelilingi liang lahat terkuak, terjerongkang jatuh
bahkan ada yang terpental.
“Hai! Apa-apaan ini!” teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke dalam liang lahat.
“Pengemis itu! Gila dia rupanya!”
“Usir pengemis itu!” Terdengar teriakan-teriakan.
Orang
yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang tadi
duduk dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik
lengannya. Tapi orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang
jadi marah menarik leher pakaiannya. Tapi diapun terjerongkang kena
tendangan. Setelah itu orang banyak yang menjadi marah cepat mengurung
malah muali mengeroyok pengemis tersebut. Namun semuanya terpental dan
berteriak kesakitan. Sebelum sesuatu dapat dilakukan, pengemis itu
melompat ke muka langsung merangkul jenazah Suwitri di bagian pinggang
lalu menaikkan ke bahu kirinya.
“Pengemis keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!” teriak Sumo Kabelan.
Sementara
kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap
menghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya
diberati jenazah kaki kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk
hingga patah dan pacul terlepas mental dari pegangannya. Sumo Kabelan
sendiri langsung jatuh ketika satu pukulan melabrak dadanya. Dengan
gerakan aneh pengemis itu melompat ke atas. Di lain kejap dia sudah ke
luar dari kurungan orang ramai.
“Pneculik jenazah”
“Penculik mayat!”
“Hai! Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!”
Orang
ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu
dengan sikap menanang. Sambil menyeringai dia berkata “Kalian inginkan
mayat ini? Ambillah kalau bisa!”
Jalatunda, pemuda yang tadinya
adalah calon suami Suwitri lari mengejar paling depan. Dia sampai
pertama sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat pemuda ini langsung
melayangkan tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa penemis tua itu
tangkap tinju kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu diputar
kuat-kuat. Jalatunda terpekik. Tulang telapak tangannya remuk,
pergelangan tangannya lepas.
“Anak muda! Aku tidak heran kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat!
Tapi tidak kau atau siapapun boleh merampasnya dariku…!” berkata pengemis tua itu dengan tampang galak.
“Keparat penculik! Tinggalkan jenazah itu!” Si pengemis tertawa.
“Kalau
kau memang sangat menginginkannya datanglah satu hari di muka ke hutan
Roban sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!”
“Jahanam! Lebih baik kubunuh kau saat ini juga!” teriak Jalatunda. Lalu melompati pengemis itu.
Entah
dai mana dapatnya, saat itu tampak pemuda ini telah memegang di tangan
kirinya sebilah parang berkarat. Senjata ini dibacokkannya ke pinggang
pengemis. Tapi dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan amarah
Jalatunda tusukkan ujung parang ke dada pengemis itu. Yang diserang
gerakkan tangan kirinya, memukul badan parang dari samping. Senjata itu
patah dua dan terlepas mental dari tangan Jalatunda. Si Pengemis tertawa
panjang.
Ketika orang banyak sampai di tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap.
Hanya suara tawanya yang masih tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan.
Satu hari dimuka, ratusan penduduk desa Ambarwangi kelihatan
berkelompok di ujung timur hutan Roban. Penduduk desa-desa sekitarnya,
yang mendengar kejadian dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang pengemis
aneh, ikut pula mendatangi tempat itu. Keadaan di situ tidak bedanya
seperti orang yang sedang mengungsi. Banyak yang mendirikan gubuk atau
kemah sementara sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Seperti kata
pennculik sebelum lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazah itu
memang diinginkan kembali, maka satu hari dimuka orang-orang itu disuruh
datang ke ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon suami Suwitri
beserta Sumo Kabelan – ayah si gadis – lebih dulu datang ke tempat itu.
Sejak Suwitri dilarikan dan setelah penculik mengeluarkan ucapan begitu
keduanya langsung menuju tempat yang dikatakan. Menunggu dan bermalam di
situ dengan hati berdebar, menantikan apa yang bakal terjadi.
Bersama
beberapa orang kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke dalam
hutan sebelah timur. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban
sejak lama terkenal keangkerannya. Bukan saja penduduk sekitar itu
menganggap rimba belantar itu sarang segala macam makhluk halus, mulai
dari jin sampai dedemit, mulai dari setan pelayangan sampai hantu iblis,
tetapi deketahui pula bahwa di dalam hutan itu bercokol beberapa
kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang buas termasuk ular berbisa!
Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak berani masuk terlalu jauh
ke dalam hutan.
Matahari telah jauh condong ke barat. Saat yang
dikatakan si penculik yakni satu hari dimuka, sudah hampir mendekat.
Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu.Orang ramai mulai
gelisah, tegang dan tampak banyak pula yang merasa cemas. Jelatunda
melangkah mundar mandir. Sebentar-sebentar tangannya meraba hulu golok
besar yang diikatkannya ke pinggang. Dia sudah bertekad bulat. Jika
pengemis penculik itu muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya
sampai mati. Kalau perlu dia mau mengorbankan diri asal jenazah
kekasihnya bisa didapat kembali.
Di bagian yang lain Sumo Kabelan
tegak dengan wajah gelisah, tiada lepaslepas memandang kea rah hutan
yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena sang surya tidak lagi
memancarkan cahayanya di bagian ujung timur itu.
Di udara sekelompok urung gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak henti-hentinya menguik.
“Burung-burung nazar itu….” kata Sumo Kabelan dengan paras berubah.
“Pertanda yang tidak baik….” Sambungnya kemudian perlahan.
Burung-burung
itu masih terus berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras dari kuik
binatang-binatang itu dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa
melengking, menggetarkan serta membuat setiap mereka yang mendengar jadi
mengkirik ketakutan.
“Orang-orang Ambarwangi!” ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar suara orang berseru.
“Aku tahu kalian sudah lama menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis ini…!”
Sebuah
benda putih melayang di udara, melesat ke luar hutan Roban di mana
ratusan orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian terayun membalik masuk
lagi ke dalam hutan. Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali.
Dan tali ini ditambatkan pada cabang sebatang pohon besar. Ketika
diperhatikan benda yang terayun-ayun itu, ternyata adalah sosok tubuh
yang terbungkus kain kafan!
“Astaga! Pasti itu jenazah Suwitri!” teriak seseorang.
“Darah!” seorang lain ikut bereriak.
Jalatunda telah lebih dahulu lari ke dalam hutan.
Dengan
tangan kiri dia menahan pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya
ayunan pocong membuat pemuda itu hampir jatuh terseret. Namun cepat dia
mencabut golok dan menebas tali pengikat ujung kain kafan. Jenazah yang
jatuh cepat disambutnya dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar
hutan. Orang ramai segera menyongsong. Beramai-ramai jenazah diturunkan
dari bahu Jalatunda, dibaringkan hati-hati di tanah.
“Kenapa kain kafan berdarah! Pasti terjadi sesuatu!” kata Sumo Kabelan. Lalu lelaki ini membungkuk untuk memeriksa.
Jalatunda bergerak lebih dulu. Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian tengah jenazah dibukanya.
Bau
busuk menyebar santar begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri
tampak utuh meski pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi ketika
kain kafan sebelah bawah dibuka lebih lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan
yang lain-lainnya terperangah mundur. Bagian dada serta perut mayat
tampak berlubang besar. Darah membeku di mana-mana.
“Jantung dan hatinya lenyap!” teriak kakak Sumo Kabelan.
“Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah anakku!” seru Sumo Kabelan.
Tubuhnya bergetar keras. Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas ditahan.
“Sudah meninggal kenapa jenazahnya masih dirusak…? Anakku…. Suwitri anakku….!”
Jalatunda
duduk pejamkan mata tak tega menyaksikan pemandangan yang mengerikan
serta menusuk hati itu. Namun disaat yang sama kemarahannya juga
menggelegak. Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan dia berteriak
keras. Melompat tegak. Kedua matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya
membesi. Dia cabut kembali golok yang tadi disarungkannya. Senjata ini
ditabaskannya kian kemari. Dari mulutnya keluar suara menggerung
berkepanjangan disertai ludah membusah di sela bibir.
Orang banyak serta merta mundur menjauh.
“Jalatunda kemasukan setan!” seseorang berteriak.
“Awas! Mungkin dia mau mengamuk!”
“Menjauh!” teriak seorang yang lainnya.
“Jala, tenang…. Kuatkan hatimu!” Sumo Kabelan mendekat sambil membujuk.
“Jala! Sarungkan golokmu kembali!” kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan suara keras.
“Keparat! Bangsat!” teriak Jalatunda tiba-tiba.
“Kemanapun akan kucari! Akan kubunuh!”
Lalu pemuda ini balikkan tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban.
“Jala!
Kembali!” teriak Sumo Kabelan. Yang lain-lain juga berseru memanggil.
Namun pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan golok dan
berteriakteriak.
Sesaat kemudian diapun lenyap dalam kerapatan pepohonan.
Nyi Ageng Jeliteng memandang dengan kesal pada puterinya yang sampai
saat ini masih saja menangis sambil menelungkup di atas tempat tidur.
“Rukmi
tak ada gunanya kau menangis. Sekalipun sampai keluar air mata darah
itu tidak akan merubah pendirian ibu. Apalagi ayahmu!”
Tejarukmi,
gadis enam blas tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik dan
menutupi wajahnya dengan bantal besar. Tangisnya kini malah
menjadi-jadi.
“Sikap tingkahmu hanya akan memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah, kami ayah dan ibumu ingin melihat kau bahagia…”
Tejarukmi
campakkan bantal dari mukanya, setengah duduk dia berkata dengan muka
balut “Kalau ibu ingin melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya harus
kawin dengan lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari saya itu!”
Nyi Ageng Jeliteng geleng-gelengkan kepala. “Kau masih belum mengerti nak…”
“Saya
cukup mengerti iu. Lebih dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan
adalah kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan saya!”
“Lho, yang akan kawin itu kau, bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang kelak akan merasakan kebahagiaan itu…”
“Siapa orang tuanya yang bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka beranak empat pula!”
Tejarukmi bantingkan kedua kakinya ke atas tempat tidur.
“Dengar
Rukmi anakku. Kami tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi tahun
depan. Di bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!”
“Saya tidak akan kawin dengan tua bangka itu!”
“Raden Jarot bukan orang sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana, keponakan Pangeran Dirjo Samekto….”
“Sekalipun dia raja diraja saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!”
“Ibu tahu mengapa kau menolak!” Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini kentara dari nada suaranya.
Dan perempuan itu lebih jengkel lagi ketika puterinya menukas “Kalau ibu sudah tahu saya menolak, mengapa masih memaksa?!”
“Orang
tua mana! Bangsawan mana yang sudi anaknya bercinta dengan seorang anak
petani miskin! Jangan lupa turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas satu.
Orang
tuaku juga turunan bangsawan terhormat. Dan keu hendak mengotori darah
bangsawanmu dengan darah pemuda miskin yang hanya pandai mencangkul
itu….?”
“Hanya kebetulan saja kakak Wiguno seorang anak petani miskin. Tapi apa bedanya dia dengan kita? Sama-sama manusia….?”
Nyi Ageng Jeliteng tertawa mendengar kata-kata puterinya itu.
“Kau
sudah terlalu jatuh larut dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia
cinta itu adalah dunianya orang-orang gila dengan seribu angan-angan
muluk. Aku kawin dengan ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah kawin,
apa yang kami rasakan jauh lebih bahagia dari cinta…..”
“Kalau masa muda inbu tidak mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata begitu!”
Hampir Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut anaknya itu.
“Tak
ada gunanya menasehatimu. Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau tahu.
Kalau ayahmu sempat naik pitam, tangan dan kakinya akan melayang ke
tubuhmu. Itu rupanya yang kau kehendaki!”
“Dipukul sampai matipun saya tidak takut.” Jawab Tejarukmi.
“Anak durhaka!” kata Nyi Ageng Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan kamar itu.
Keesokan
harinya gedung besar kediaman bangsawan Mangun Sarabean heboh ketika
seisi gedung mengetahui bahwa den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa potong
pakaiannya berikut sejumlah perhiasan miliknya yang ada dalam lemari
ikut lenyap.
“Anak itu pasti meinggat!” kata Raden Mas Mangun
Sarabean sambil menggebrak meja. Dia lalu berteriak memanggil
pembantunya. Kepada para pembantu itu diminta agar menghubungi Raden
Jarot, meminta bantuan sejmulah pasukan untuk mencari anaknya yang
lenyap.
“Periksa ke rumah pemuda petani itu!” kata Mangun Sarabean.
“Aku yakin Tejarukmi kabur bersama pemuda keparat itu. Anakku harus
kembali. Dan Wiguna kalau perlu dibikin mampus saja! Dia yang jadi
pangkal bahala semua ini!”
Mangun Sarabean lalu masuk ke dalam menemui istrinya yang menangis menggerung-gerung.
Para
pembantu yang disuruh segera berangkat ke tempat kediaman Raden Jarot,
lelaki yang sudah dicalonkan untuk menjadi suami Tejarukmi. Sesuai
dengan permintaan Mangun Sarabean maka Raden Jarot menghubungi pamannya
yaitu pangeran Dirjo Samekto guna mendapatkan sejmulah pasukan untuk
mencari Tejarukmi.
Pasukan yang dikerahkan pangeran Dirjo Samketo
ternyata adalah dari kelompok yang berpengalaman dan merupakan andalan
kerajaan. Karenanya tidak mengherankan Tejarukmi dan Wiguna di sebuah
pondok tua di dalam lembah Gilimanuk yang terletak sekitar setengah hari
perjalanan dari desa Ambarwangi.
Ketika ditemukan sepasang merpati yang saling mencinta ini berusaha melarikan diri dari kepungan.
Namun
sia-sia. Wiguno, pemuda petani miskin itu berusaha mempertahankan
Tejarukmi, tetapi apa dayanya menghadapi puluhan prjaurit tangkas
bersenjata lengkap sedangkan dia hanya mengandalkan tangan kosong. Dalam
keadaan luka parah, atas perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya
tewas terbunuh! Mati di hadapan mata kepala Tejarukmi yang membuat gadis
itu langsung menjerit dan jatuh pingsan.
Selama beberapa hari
Tejarukmi mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan, minumpun hanya
sekedar membasahi bibir. Lambat lau tubuhnya jadi kurus lemas, parasnya
semakin pucat.
Suatu pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama seorang
pembantu membuka pintu kamar gadis itu dengan paksa sambil membawa
makanan, mereka dapati Tejarukmi terbujur di lantai. Dekat kepalanya
terletak sebuah mangkuk berisi warangan yang masih tersisa. Mulutnya
mengeluarkan busa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Gadis ini mati
bunuh diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam suasana heboh
kematian Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh didatangi penduduk
sedesa serta kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat dimandikan di
tangga depan gedung tampak seorang pengemis tua yang anehnya muncul
dengan menunggang seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti pandangan
mata sekian banyak orang yang terheran-heran, pengemis itu turun dari
kudanya lalu berkata “Kedatanganku sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi
ada kejadian apakah di rumah besar ini hingga orang begini banyak dan
kudengar ada suara orang meratap di dalam sana….”
“Pengemis berkuda,”
seseorang menjawab. “Bukan saatnya kau datang meminta-minta. Orang
sedang ditimpa musibah. Pergilah dari sini….”
“Musibah….ah….ah….ah.
sungguh kasihan. Rumah besar mentereng seperti ini seharusnya siisi
dengan suasana meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah apakah yang datang
menimpa penghuni gedung ini….?’
Meskipun kesal melihat pengemis yang
banyak tanya ini namun orang itu kembali menjawab “Den Ayu Tejarukmi,
puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal dunia.”
“Aih sungguh kasihan. Masih mudakah dia? Saktikah dia hingga sempai ajal secepat itu….”
Seorang
tinggi besar yaitu pembantu merangkap penjaga gedung kediaman Mangun
Sarabean memegang bahu pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang.
“Pengemis buruk! Bawa kudamu! Pergi dari sini!”
Pembantu
itu terkejut ketika sentakannya tidak berhasil membuat pengemis tadi
tertarik ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan
dan kaku tak bisa digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu
kawan-kawannya ketika pengems itu melangkah menaiki tangga depan gedung.
Maka empat orang segera menghadang si pengemis.
“Kalian mengapa berlaku kasar padaku!” kata si pengemis. “Aku datang bukan untuk membuat keributan ataupun mengganggu!”
“Pengemis buruk! Tempatmu bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk.
Jika
kau inginkan sedekah kami akan memberi. Tapi jika kau memaksa, kami
terpaksa menggebukmu!” salah seorang dari empat lelaki yang menghadang
berkata.
“Aku hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi. Kudengar dia
bunuh diri. Tapi apakah dia benar-benar sudah mati? Tak bernafas lagi?
Jika aku diperbolehkan melihat, siapa tahu aku bisa mwnolong!”
“Menolong menghidupkannya?!” ejek lelaki tadi.
“Kau
tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia dan
mematikannya jika memang dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa
tahu gadis itu hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin aku bisa
menolongnya”
“Pengemis ngaco! Lekas pergi. Jangan membuat ulah yang
bukan-bukan di tempat berkabung ini!” Satu suara membentak. Keras dan
garang.
Si pengemis memalingkan kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri
seorang bertubuh tinggi ramping, mengenakan pakaian bagus dan mahal,
lengkap dengan topi tinggi berwarna hitam.
Si pengemis
manggut-manggut, lalu menjawab “Aku mengerti, aku mengerti….”katanya.
“Kau pantas marah. Bukankah kau Raden Jarot, duda anak empat calon suami
Den Ayu Tejarukmi yang gagal…?”
Orang tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia kenalnya tahu siapa dirinya adanya?
“Kalau kau sudah tahu siapa aku, maka lekas pergi dari sini!” kata Raden Jarot pula.
“Tapi aku ingin menolong calon istrimu itu!”
“Aku dan siapapun di sini tidak butuh pertolonganmu!” bentak Raden Jarot.
“Kalau
begitu kau tidak cinta pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup
kembali. Padahal sebelumnya kau secara halus memaksa kedua orang tuanya
agar gadis itu bisa kau jadikan istrimu….!
Merah paras Raden Jarot
mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu saja dia ingin melihat
Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau gadis yang sudah
mati itu bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki yang
mengurung si pengemis agar menyeret orang tua itu. Selesai memberi
isyarat maka diapun masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan
ketika di belakangnya terdengar suara bak-buk-bak-buk disusul keluh
kesakitan. Ketika dia menoleh kembali, empat lelaki tadi dilihatnya
terkapar di tanggga gedung. Ada yang memegang perut, dada dan ada pula
yang menutupi wajah dengan kedua tangan.
Semuanya masih meringis dan mengeluh kesakitan.
“Kurang ajar! Kau berani memukul orang-orangku!” teriak Raden Jarot marah.
Sekali tubuhnya berkelebat, tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu.
Sebagai
orang yang dekat dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki
kepandaian silat yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip di
pinggangnya diketahui adalah pemberian seorang petinggi Istana yang
dekat dengan Sri Baginda.
Melihat pukulan yan dihantamkan Raen Jarot,
semua orang yang hadir di tempat itu sama menduga si pengemis tua akan
terpental dengan kepala remuk, paling tidak bengkak berdarah mukanya.
Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan acuh tak acuh pengemis itu
angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan.
Buk!
Tinju Raden Jarot menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi muka dari pukulan.
Lelaki
ini merasakan tangannya seperti menghantam tembok. Jika tidak malu
pastilah dia akan menjerit kesakitan. Tangannya tampak merah dan
lecet-lecet.
Melihat kenyataan ini Raden Jarot segera maklum,
siapapun adanya pengemis tua itu, dia adalah seorang yang memliki
kepandaian tinggi. Dan dengan memperlakukannya seperti itu jelas dia
membawa maksud yang tidak baik. Sambil menghunus kerisnya Raden Jarot
berteriak.
“Semua lelaki yang ada di sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini!
Dia datang dengan maksud jahat!”
Lebih
dari selusin lelaki segera melompat mengurung. Dua di antaranya adalah
anggota pasukan yang sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika
Tejarukmi minggat bersama Wiguno.
Melihat dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan tertawa aneh.
“Usir kudanya! Jangan sampai pengemis tua bangka keparat ini lolos!” teriak Raden Jarot.
Seseorang
kemudian dengan cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi
ditunggangi di pengemis. Binatang ini meringkik lalu lari kencang dan
menghilang di kejauhan.
“Aku hanya memberi nasehat pada kalian!” katanya kemudian pada orangorang yang mengurungnya.
“Menyingkirlah jika ingin selamat!”
“Serbu! Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh jika perlu!” teriak Raden Jarot.
Pada
saat itu tuan rumah yang sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar
ruangan dalam. Melihat seorang ttua berpakaian kotor penuh tambalan
dikurung demikian rupa maka diapun menegur.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Raden
Jarot menerangkan dengan cepat. Mangun Sarabean sesaat memperhatikan
tangan kanan calon mantunya yang lecet akibat tangkisan pengemis aneh
itu. Lalu dengan suara perlahan tapi tegas dia berkata “Berikan pakaian
bekas, dua kaleng beras dan sejumlah uang padanya. Lalu biarkan dia
pergi….!”
Habis berkata begitu Mangun Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali.
Tapi
kata-kata si pengemis membuatnya hentikan gerakan dan berpaling “Tuan
rumah, sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh
tambalan. Tubuhku kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari bukan untuk
minta belas kasihan…. Apalagi minta pakaian, uang dan beras…..!”
“Lalu
apa maumu….?” Tanya Mangun Sarabean. Ucapan si pengemis yang
memanggilnya dengan sebutan sampeyan serta nadanya yang kasar membuat
Mangun Sarabean tersinggung. Hatinya kesal. Apalagi dia ditimpa musibah
besar kematian puterinya.
“Aku datang untuk melihat jenazah Den Ayu Tejarukmi,” menjawab si pengemis.
“He,
dia bukan sanak bukan kerabatmu. Mengapa ingi melihat?” tanya Mangun
Sarabean. Sebelum dia membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah
mendahului.
“Pengemis edan! Jangan kau bicara segala macam aturan. Di
sini berlaku aturan yang dibuat tuan rumah! Tubuhmu yan gbabak belur
akan kami lempatkan ke jalan sana!”
“Kalau memang begitu, biar kau yang kugebuk lebih dulu!”
Tubuh pengemis kurus itu berkelebat.
Raden Jarot melihat gerakan pengemis itu begitu cepat hingga sulit
mengetahui dengan apa dan baian mana dari tubuhnya yan gmenjadi sasaran
serangan.
Untuk melindungi diri dia babat keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke kanan.
Demikian
derasnya hingga badan keris mengeluarkan suara menderu. Tidak dapat
tidak salah satu bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat
kemudian terdengar pekik Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke
atas dan menancap di langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya
tampak terjerongkang ke belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan
melabrak dadanya di sebelah tengah!
Mangun Sarabean kaget bukan main.
Dia tahu betul calon menantunya itu memiliki kepandaian silat tinggi.
Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu dapat menghantamnya dalam
satu kali gebrakan.
Sambil menahan sakit dan megap-megap karena
nafasnya sesak Raden Jarot mencoba berdiri lalu berteriak pada
orang-orang di sekelilingnya.
“Tunggu apa lagi?! Bunuh bangsat pengacau itu!”
Kini
lebih dari selusin orang menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang tidak
dapat lagi menahan amarahnya. ORang ini tanggalkan ikat peinggang besat
yang terbuat dari kulit. Mangun Sarabean diketahui bukanlah seorang yang
memiliki ilmu silat atau kesaktian. Namun ada yang mempercayai bahwa
dalam salah satu kantong ikat pinggang kulit itu tersimpan sebuah jimat
yang konon didapat Mangun Sarabean dari seorang empu di puncak gunung
Merapi. Ada jimat ataupun tidak si pengemis sama sekali tidak memandang
sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan nyatanya demikian. Dalam
beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak ke kiri dank e
kanan. Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok tergelimpang di
lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu ada
yang terhempas ke dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri
tampak tagak terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah
putus jadi dua. Yang lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap.
Tak tahu mau berbuat apa. Bukan saja karena merasa ragu-ragu untuk
menyerang kembali tapi lebih banyak jadi merasa takut.
Pengemis itu
tegak berkacak pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya lenyap,
berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam
terdengar pekik orang-orang perempuan.
“Tolong! Penculik!”
“Jenazah den ayu diculik!”
“Jenazah anakku dilarikan! Tolong!”
Apakah yang terjadi?
Pengemis aneh itu tadi ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah.
Mayat
Tejarukmi uang terbujur di atas kasur berseperai hijau berbunga emas,
yang masih belum dimandikan atau dikafani, dan hanya ditutup dengan
sehelai kain batik dan sutera, disambar oleh pengemis tadi dan
dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat dia memandang berkeliling sambil
menyeringai memperhatikan orang-orang perempuan yang menjerit-jerit.
Nyi Ageng Jeliteng berteriak sambil melompat.
“Penculik
busuk! Kembalikan anakku!” perempuan ini lalu mendorong si pengemis
dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berusaha memegang pinggang
jenazah puterinya. Tapi sekali balas mendorong pengemis itu membuat Nyi
Ageng Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum pengemis itu
berkelebat pergi bersama mayat Tejarukmi, seorang perempuan tua yang
akan bertindak sebagai pemandi dan pengurus jenazh berusaha menghalangi
mencakar kedua tangannya ke tubuh penculik.
Bret!
Pakaian kotor
bertambal-tambal di bagian punggung pengemis itu robek. Hal ini membuat
di pengemis marah sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya perempuan
tua itu hingga terjengkang pingsan!
“Jangan coba-coba menghalangiku!”
si pengemis berteriak memberi peringatan. “Jika kalian masih butuhkan
jenazah ini, silahkan ambil besok sore di hutan Roban sebelah tenggara!”
Habis
berkata begitu si pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya
melesat ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya
pengemis itu.
Rumah besar keidaman Mangun Sarabean menjadi gempar.
Beberapa orang coba mengejar. Ada yang manunggang kuda dan membawa
senjata. Namun mau dikejar ke mana? Pengemis itu lenyap laksana ditelan
bumi!
“Tak mungkin kita meneruskan pengejaran!” kata Mangun Sarabean
di atas punggung kuda hitam. Tangan kirinya terkepal tanda hatinya geram
sekali.
Raden Jarot yang juga berkuda dan berada di sebelahnya mengangguk perlahan tanda maklum.
“Pengemis itu!” katanya. “Siapa dia sebenarnya!”
“Dan
mengapa dia menculik mayat Tejarukmi? Kalau Wiguno masih hidup mungkin
kita bisa menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah
mati….” Sesaat Mangun Sarabean termangu duduk di atas punggung kuda
sementara rombongan pengejar yang berjumlah hampir dua puluh orang itu
berada di belakang menunggu perintah selanjutnya. “Mungkin ini dosa kita
karena pemuda itu sampai terbunuh….?” Ujar Mangun Sarabean kemudian.
Kata-kata itu membuat paras Raden Jarot berubah.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Mangun Sarabean kemudian.
“Saya
memutuskan pergi ke hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat itu
menyebut tempat tersebut sebelum kabur!” kata Raden Jarot.
“Jangan,
terlalu berkhayal!” kata Mangun Sarabean. “Kau pasti tahu hutan itu
bukan saja angker tapi penuh binatang buas dan segala macam rampok!”
“Saya tahu betul hal itu. Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari paaman Dirjo Samekto….”
“Kalau begitu aku kembali ke Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat kediaman pamanmu itu…”
Raden
Jarot memberi hormat lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia
meninggalkan tempat itu sedang Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di
Ambarwangi.
LEpas lohor hari itu tampak serombongan pasukan berjumlah
hampir tiga puluh orang, bergerak menuju hutan Roban sebelah tenggara.
Di sebelah muka menunggang kuda Raden Jarot didampingi seorang perwira
muda bernama Rangga Pangestu. Di dalam jajaran pengawal Pangeran Dirjo
Samekto perwira itu memegang tampuk pimpinan dan memiliki kepandaian
yang sudah dikenal kehebatannya di mana-mana. Di samping itu
pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya seluruh anggota pasukan
termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai.
Dia tahu
betul, memasuki hutan Roban berarti menantang maut. Serangan kaum
perampok bisa terjadi secara mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah
atau lemparan tombak. Karenanya perisai sangat diperlukan.
Rembang petang rombongan sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara.
Mereka
masuk ke dalam hutan sejauh beberapa ratus tomabak, lalu membuat
perkemahan. Di sini Rangga Pangestu mengatur rencana gerakan
selanjutnya.
Pertama sekali harus diingat, mereka memasuki rimba
belantara itu untuk mencari jenazah Tejarukmi, menangkap hidup-hidup
atau membunuh pengemis yang telah menculiknya. Berarti sepanjang yang
mereka bisa lakukan ialah menghindarai bentrokan dengan para perampok.
Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan lain mereka harus
menumpas penjahat itu.
Sore itu mereka akan menyelidik bagian hutan
di sebelah tenggara. Sebelum hari gelap mereka harus sudak kembali ke
kemah. Lalu keesokan paginya baru penyelidikan diteruskan. Rombongan
dibagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah sekitar sepuluh
orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka tak menemukan apa-apa.
Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak berhasil mereka
dapatkan. Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara hutan
Roban atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga
kelompok penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika
sampai di perkemahan mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang
berpakaian dan berikat kepala serba hitam menduduki dan mengurung
perkemahan. Bahkan sampai di atasatas pohon sekitar kemah tampak
sosok-sosok tubuh yang sama.
“Geromblan rampok….” Bisik Raden Jarot.
Rangga
Pangestu mengangguk. Dia meneliti keadaa kemah dengan cepat. Tak ada
tanda-tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun
dari kudanya perwira itu berseru.
“Tamu dari mana yang datang menyambangi perkemahan kami?!”
Seorang
lelaki berpakaian hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih
muda, tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan berkumis tebal.
“Kami anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat sekelompok pasukan kerajaan di hutan Roban ini!”
“Aku
perwira muda wilayah timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku ini
adalah Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan
kalian?. Aku ingin bicara dengannya!”
Rangga Pangestu sengaja
menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot untuk membuat para
perompok tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan perampok
hutan Roban. Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota
perampok yang tadi bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu
mendengar ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya seketika karena
kemudian dengan suara lantang dia berkata “Katakan apa maksud kalian
berada di sini!”
“Aku hanya bicara kalau pimpinanmu ada di sini!” balas Rangga Pangestu.
Dia sudah dapat membaca situai kalau para permpok itu tidak akan bertindak gegabah.
“Aku ada di sini perwira muda!” Satu keras tapi serak datang dari arah pohon besar di samping kanan.
Rangga
Pangestu dan semua rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah cabang
besar duduk seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hitam sambil
menyedot sebuah pipa berbentuk aneh. Rambutnya panjang sebatas bahu.
Mukanya tertutup kumis dan cambang bawuk lebat. Tampangnya menggetarkan,
ditambah dengan barisan gigi-giginya yan gbesar nyaris membentuk taring
pada kedua sudut depan, maka tampangnya hampir menyerupai seorang
raksasa.
“Sekarang apakah kau ma menerangkan tujuan kalian berada
dalam hutan kekuasaanku?” Warok Kunto Rekso buka suara lalu hembuskan
asap pipanya ke udara.
Rangga Pangestu tahu betul di dalam hutan
Roban yang membentang dri barat sampai ke timur itu terdapat beberapa
kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok berada di bawah pimpinan Kunto
Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu ini memiliki jumlah
anggota paling besar, tetapi juga karena mempunyai kepandaian tinggi
setingkat perwira madya.
Sebenarnya baik Rangga Pangestu maupun Raden
Jarot merasa tersinggung dengan sikap kepala rampok yang bicara duduk
di atas pohon sambil menghisap pipa seenaknya. Tapi mereka juga
menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana mengenal segala macam
peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi keterangan.
“Kami tengah mengejar seorang penculik!”
Kunto
Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu berkata
“Mengejar seorang penculik? Adalah aneh! Orang lua mana yang berani
masuk ke hutan Roban?!”
“Kami tidak tahu jelas siapa penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti pengemis!” Yang bicara Raden Jarot.
“Apalagi seorang pengemis!” ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. “Sulit bagiku mempercayai keteranganmu, perwira muda!”
“Kami
tidak berdusta. Seorang pengemis tua menculik jenazah puteri bangsawan
Mangun Sarabean dari Ambarwangi….” Lalu Rangga Pangestu memberikan
keterangan singkat aas apa yang telah terjadi.
Sesaat kepala rampok di atas pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya.
Dia
ingat kejadian hampir satu bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama
Jalatunda memasuki hutan Roban dalam keadaan seperti gila sambil
mengacung-acungkan golok. Pemuda itu kini berada di markasnya menjadi
pembantu juru masak.Ketika hampir dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang
telah terjadi. Jenazah kekasihnya diculik seorang pengemis tua. Jenazah
ini kemudian ditemukan di hutan Roban sebelah timur tanpa jantung dan
hati. Apakah penculik jenazah puteri Mangun Sarabean itu pengemis yang
sama?
Melihat orang terdiam, Rangga Pangestu berkata “Agaknya kau mengetahui sesuatu Warok….!”
“Jika
daerah kekuasaanku dikotori seseorang, aku harus mencari dan membunuh
orang itu. Tapi jika kalian mempunyai maksud terselubung, kalian tak
akan keluar hidup-hidup dari hutan ini!”
“Maksud terselubung apa?” tanya Rangga Pangestu.
“Sebelumnya
aku mengetahui telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan mustahil
kajadian itu kalian pergunakan sebagai topeng untuk melakukan penyerbuan
terhadap kami orang-orang Roban!”
“Jangan berprasangka terlalu jauh.
Jika maksud kami hendak membasmi kalian, sudad tadi-tadi hal itu kami
lakukan!” ujar perwira muda itu.
Warok Kunto Rekso tertawa sember.
“Malah kalau kau suka, kami ingin minta bantuan kerja samamu!” Raden Jarot berkata.
“Bantuan maccam mana….?” Tanya si kepala rampok acuh tak acuh.
“Ikut mencari pengemis penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri Mangun Sarabean.
Kembali Warok Kunto Rekso tertawa.
“Selama
ini tak pernah kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan
Roban dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak
membasmi kami. Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu
ketika hampir lima puluh perajurit kerajaan menemui ajal dan tiga puluh
anggota kami tewas.
Aku tetap menaruh syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan sesuatu terhadap kami!”
“Jika kau berpikir seperti itu adalah salah!” ujar Rangga Pangestu.
“Warok!”
kata Raden Jarot. “Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau boleh
ambil cincinku ini!” lalu Raden Jarot loloskan cincin emas bermata
jambrut besar dari jari manis tangan kanannya.
Benda itu dilemparkannya ke atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala rampok.
“Cincin
bagus….!” Kata Warok Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin itu dalam
kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut dimasukkannya ke jari
manis tangan kirinya sambil menyeringai tiada henti. “Kua baik hati
Raden Jarot. Terima kasih atas pemberianmu…”
Dari mulutnya kemudian
terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu puluhan anggota rampok
yang berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan lenyap masuk ke
dlaam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang turun.
“Kejar kepala rampok itu!” teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh kesalahannya sendiri.
Tapi Rangga Pangestu cepat berseru. “Semua tetap di tempat!”
“Cincinku!” ujar Raden Jarot.
Rangga
Pangetu hanya mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan kepala
rampok itu dan berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan
orangorangnya melakukan pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula,
mereka memasuki hutan Roban yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat
bentrokan dengan para perampok. Tapi untuk mencari jenazah Tejarukmi
yang diculik pengemis misterius!
Keesokan harinya ketika dia bangun pagi-pagi sekali, perwira muda
Rangga Pangestu terkejut sewaktu seorang prajurit datang melapor bahwa
Raden Jarot telah pergi.
“Pergi? Pergi ke mana?!” tanya Rangga Pangestu.
“Masuk
ke dalam hutan sebelah sana. Dia membawa serta selusin anggota pasukan.
Katanya hendak mencari Warok Kunto Rekso yang telah melarikan cincin
jambrutnya!”
“Celaka! Manusia tolol!” ujar Rangga Pangestu.
“Dia lebih sayangkan cincin itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas semula! Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!”
Sisa
pasukan yang ada disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah
dibongkar lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang
dihadapi bertambah satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka bergerak
dengan hati-hati tanpa memecah rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi
sedikit itu sebenarnya ke adaan mereka jadi sangat berbahaya. Sekali
diserang gerombolan rampok sulit untuk bertahan. Jika saja bukan Raden
Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga Pangestu memilihlebih baik
keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah dapat tambahan
pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan membebankan
tanggung jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang
tengah hari belum kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden Jarot.
Rombongan terpaksa berhenti karena tak dapat menahan lapar. Selesai
makan mereka istirahat sebentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua
orang anggota pasukan membuang hajat ke sebuah kali dangkal tak jauh
dari tempa itu. Namun niat mereka untuk buang hajat menjadi batal.
Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk pasukan, langsung menemui Rangga
Pangestu.
“Ada apa…. Kalian seperti dikejar setan?!” tanya Rangga
Pangestu. Diamdiam dia sudah maklum kalau sesuatu yang hebat telah
dialami kedua anggota pasukan itu.
“Raden Jarot,” kata salah seorang
dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam dulu baru menyambung “Mayatnya
kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana.
Bersama anggota pasukan yang dibawanya!”
Rangga Pangestu melompat dari batang kayu yang didudukinya, langsung lari mendahului dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul.
Di
tepi kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu merasakan kedua
kakinya seperti dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah
menelungkup. Ada luka besar di pelipis kirinya lalu di pangkal leher.
Tangan kanannya hampir putus.
Dan pada jari manis tangan kanan itu
tampak cincin emas berbatu jambrut besar yang malam tadi diberikannya
pada Warok Kunto Rekso . Rupanya kelompok pasukan yang dipimpin Raden
Jarot berhasil menemui gerombolan rampok itu dan terjadi pertempuran.
Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi sekaligus
juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya!
Dua belas orang prajurit juga tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali.
Sebelas
diantaranya sudah menemui ajal. Satu yang masih hidup berada dalam
keadaan luka berat dan sekarat. Dua anggota rampok tampak terkapar tanpa
nyawa di dekat situ.
Rangga Pangestu memerintahkan orang-orangnya
mengurus mayat Raden Jarot. Mayat yang lain dikuburkan di tepi kali itu.
Selesai penguburan jenazah Raden Jarot segera diusung menuju
Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat membayangkan apa yang akan
dilakukan Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui keponakannya menemui
ajal di tangan rampok hutan Roban.
Menjelang sore rombongan yang
kembali dengan membawa mayat Raden Jarot itu sampai di bagian tenggara
hutan, di mana sebelumnya mereka berkemah.
Rangga Pangestu yang menunggang kuda di sebelah depan mangangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
“Aku mencium bau tidak enak….” Katanya sambil memandang berkeliling.
Dia
turun dari kudanya, melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah
mengapa dadanya berdebar. Bukankah daerah itu begian tenggara hutan
Raoban, tempat yang dikatakan oleh pengemis penculik sebagai tempat
jenazah Tejarukmi dapat diambil kembali? Dan bukankah saat itu sudah
sore yakni saat yang dijanjikan oleh si penculik?
Semakin dekat ke
semak-semak semakin sentar bau tidak enak itu. Rangga Pangestu
menyibakkan ranting-ranting berdaun liar dengan tangan kanannya. Begitu
semak belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat. Di sebelah sana
dilihatnya sosok tubuh Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak tertutup.
Bagian dada kiri dan perutnya nampak robek besar. Darah membeku di
bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah yang menebar bau busuk!
“Gusti
Allah!” sseru Rangga Pangestu. “Manusia biadab macam mana yang tega
melakukan hal ini!” Perwira muda ini tahu sekali kalau luka besar pada
bagian dada dan perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat dikoyak binatang
buas. Tapi diobol oleh tangan manusia, mungkin memakai pisau besar yang
tajam dan hatinya lenyap!
“Cari kain!” kata Rangga Pangestu dengan suara bergetar. “Tutup jenazah itu!”
Seorang
kemudian menutupi tubuh Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena memang
hanya itulah yang ada. Lalu sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat.
Dengan demikian kini ada dua jenazah yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah Raden Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang.
Seperti
yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian Raden Jarot
menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto.
“Tak
ada jalan lain! Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi,
dimusnahkan. Kalau perlu hutan Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun
mahal tantangannya!” Begitu kata-kata sang pangeran di hadapan para
pembantunya.
Namun sebelum keputusan itu dijalankan dia berangakt
dulu ke kotapraja guna mendapat persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan
yang hendak ditempuhnya itu disetujui raja. Maka lebih dari tiga ratus
perajurit yang kemudian dibagi dalam tiga kelompok besar di bawah
pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira tingi, beberapa hari
kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat perkampungan
rampok dihancur leburkan. Seratue anggota rampok yang mengadakan
perlawanan menemui kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya melarikan
diri. Namun ketika mereka menyerbu ke perkampungan yan jadi makas
kelompok Warok Kunto Rekso, perkampungan itu ditemui dalam keadaan
kosong.
Rupanya sang Warok tidak bodoh dan sudah dapat mencium apa
yang bakal terjadi setelah kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum
balatentara datang menyerbu mereka sudah meninggalakan perkampungan,
mengungsi ke satu tempat yang tidak diketahui.
Sejak lima bulan terakhir kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah
timur maupun di barat, di sebelah selatan ataupun bagian pantai utara
dicekam oleh kegegeran yang menakutkan. Terutama bagi keluarga yang
memiliki anak gadis dan berada dalam keadaan sakit. Jika gadis sakit itu
akhirnya meninggal dunia bukan mustahil dia akan menjadi korban
penculikan manusia jahat yang sering muncul sebagai pengemis.
Kegelisahan
rakyat itu terasa juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah peristiwa
penumpasan besar-besaran para perampok hutan Roban maka pihak Istana
telah menurunkan perintah, meneliti setiap pengemis yang ada dipelbagai
pelosok dan menahan mereka yang dicurigai. Namun usaha itu ternyata
belum menampakkan hasil.
Malah dua minggu yan gsilam ketika seorang
perawan di dukuh Jembar meninggal dunia mati tenggelam di kali yan
gsedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat dibawa ke kubur. Dua
hari kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah barat dalam
keadaan persisi sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan
tanpa hati! Ini adalah korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi
yang menunggu?!
Kita kembali dulu ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara kerajaan menyerbu.
Pagi
itu Warok Kunto Rekso memanggil pembantu-pembantu kepercayaannya. Dia
memerintahkan agar pagi itu juga merea segera meninggalkan perkampungan.
Dia tidak mengatakan pengungsian itu. Sebelum berangkat terjadi cekcok
yang membuat kepala rampok naik darah. Jalatunda, pemuda yang danggap
kurang waras karena peristiwa penculikan Sueitri menolak untuk
meninggalkan perkampungan.
Jalatunda coba membuka mulut untuk
mengatakan sesuatu. Tapi dia tak mampu mengeluarkan sepotong suarapun.
Maka dia hanya balas melambaikan tangan.
“Jala…” kembali terdengar
suara gadis itu. “Jika kau ingin bertemu denganku teruskan perjalananmu
menuju ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar sampai akhirnya
kau mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah
berbatubatu.
Pada sebelah bawah akan kau temui sebuah telaga berair
hijau biru. Kau akan malihatku di situ Jala….” Suwitri melambaikan
tangannya. Tersenyum untuk terakhir kali lalu lenyap.
Jalatunda terbangun dari tidurnya.
“Witri….”desis
pemuda ini. Dia duduk termenung dan mengingat-ingat apa yang barusan
dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang letih
dan lapar itu seolah-olah ada sau kekuatan baru. Sesuai dengan petunjuk
mimpi, di malam gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu dia berjalan
menuju ke barat.
Dalam perjalanan memang dia menemukan tiga buah
pohon beringin besar seperti yang dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu
tepat di ujung pohon beringin yang terakhir, sekitar seratur tombak di
depan sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam kegelapan. Batu-batu
besar yang membentuk bukit itu tertutup lumut tebal. Licinnya luar
biasa. Jalatunda berulang kali tergelincir sebelum akhirnya sampai di
puncak bukit. Dia tak berani berdiri di atas batu yang licin itu.
Merangkak dengan kedua lutut dan telapak tangan menjejak batu. Memandang
ke bawah si pemuda melihat sebuah telaga berair hijau kebiruan. Telaga
itu tak seberapa besar. Di bagian tengah terdapat sebuah batu rata
hampir menyerupai meja besar dan di atas batu ini duduklah sesosok tubuh
tanpa pakaian. Tampaknya seprti tengah berlangir, tengah mandi.
“Gila, Siapa malam buta begini mandi di tempat seperti ini!” pikir Jalatunda.
Meskipun
orang itu berambut panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda dia
seorang perempuan atau seorang lelaki. Pada masa itu banyak kaum lelaki
yang memelihara rambut cukup panjang menyerupai perempuan. Orang yang
duduk di atas batu rata menggosok badannya dengan segumpal benda. Bagian
tubuh dan muka yang digosok dengan gumpalan itu kelihatan menjadi
merah. Sekilas ketika orang tersebut memalingkan mukanya ke kiri jelas
kelihatan bagian mulutnya sangat merah. Selesai menggosoki badannya,
benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia mengambil lagi sebuah
gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung batu.
“Orang yang mandi itu jelas bukan Suwitri….” Kata Jalatunda dalam hati.
“Tapi
dia mengatakan aku akan menemuinya di telaga ini…” Si pemuda meragu
apakah dia akan berseru memanggil atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba
orang yang sedang mandi melihat sosok tubuh Jalatunda di ats batu yang
ketinggian.
“Bangsat keparat! Berani mengintai orang mandi!” kutuknya marah sekali.
Dia
terjun ke dalam telaga. Metika muncul di tangan kanannya tergenggam
sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kea rah Jalatunda,
tepat mengenai kepala si pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh
Jalatunda roboh terguling, jatuh menggelinding ke kaki bukit. Hantaman
batu itu sebenarnya tidak akan membuat mati Jalatunda. Tapi waktu
terguling tadi lehenya patah dihantam batu.
Dia megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lai! Mati!
Sebuah perahu kayu besar merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun
hanya merupakan sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang hingga
banyak perahu dari pelbagai jurusan lebih suka merapat di sini. Di
samping itu sarana
perhubungan berupa jalan dan jembatan terpelihara baik hingga lalu lintas ke barat, timur dan selatan berjalan lancar.
Kemunculan
perahu besar ini menarik perhatian banyak orang di sekitar pelabuhan.
Boleh dikatakan jarang sekali perahu besar berlabuh di Tanjung
Karangwelang. Tersiar kabar yang bersumber dari para awak kapal bahwa
perahu besar itu adalah milik seorang saudagar berlian di Martapura yang
datang ke situ membawa salah seorang puterinya yang sedang sakit keras.
Setelah
perahu merapat maka sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat
langsung dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.
Saudagar
berlian itu, seorang Cina she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik kereta.
Beberapa
orang lelaki tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta
tersebut. Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di
Kaliwungu.
Karena jalan yang baik maka sebelum tengah hari rombongan
itu telah sampai ke rumah sang tabib yang juga keturunan Cina she Chou
bernama Ap Yang.
Tabib Chou memang sudah terkenal sampai jauh ke luar
tanah Jawa akan keahliannya mengobati berbagai macam penyakit serta
kemujaraban obatnya. Setelah hampir enam bulan mengobati penyakit
puterinya keluarga Wong memutuskan untuk membawa puteri mereka Wong Cui
Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung oleh tabib Chou tadi.
Mengetahui
tamu datang dari jauh maka tabib Chou memberikan sambutan yang
sebaik-baiknya. Sementara para pembantunya menyiapkan minuman dan
hidangan kecil maka dia meminta agar si sakit langsung dibawa masuk ke
dalam kamar periksa, dibaringkan di atas sebuah ranjang tinggi.
Wong
Cui Lan tampak pucat sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie,
ayah si sakit segera menuturkan sakit anaknya yang diderita sejak enam
bulan lalu.
Berbagai obat telah diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan bantuannya.
Namun
sakitnya Cui Lan tidak berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga
keluarga Wong itu semakin parah. Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou
maka mereka memutuskan untuk membawa Cui Lan pada tabib itu.
Setelah
menatap sesaat wajah si sakit, tabib Chou bertanya “Saudara Wong, para
ahli pengobatan terdahulu apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap
sakit apa…?”
Wong Tam Pie gelengkan kepala. “Tak ada seorangpun yang
tahu. Mereka hanya menduga-duga. Malah ada yang bilang anakku ini
penyakitnya aneh….”
“Ada yang menduga dia diguna-guna orang,” nyonya Wong ikut bicara.
Tabib
Chou memperhatikan bibir si sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu
berkata “Anak kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia menderita
kelainan jantung.
Hanya saja….”
“Hanya saja bagaimana?” tanya Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib tidak meneruskan ucapannya.
“Hanya saja kalian datang terlambat…. Mohon dimaafkan saudara Wong”
“Apa maksudmu saudara tabib…?”
“Puterimu sudah meninggal. Mungkin sekitar satu jam yang lalu.”
Nyonya Wong langsung menjerit dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya berusaha berlaku tenang.
“Kau… Kau belum lagi memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah meninggal?”
“Bibirnya
kering dan biru. Itu tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas
biarlah kuperiksa.” Maka tabib Chou lalu memegang pergelangan tangan Cui
Lan.
Dia mengambil beberapa peralatan dan melakukan beberapa kali pemeriksaan.
Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu dan anak itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Wong Tam Pie terduduk meneteskan air mata. Begitu juga puteranya.
Sementara Nyonya Wong terus menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi wajah anak gadisnya.
“Apa yang kami lakukan sekarang?” tanya anak lelaki Wong.
“Kalian
beristirahat saja dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar jenazah
tetap utuh sampai di Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat,
makin cepat kalian membawa jenazah ke perahu dan berlayar akan makin
baik.”
“Eh, kenapa begitu?” tanya Wong Tam Pie.
Tabib Chou menarik
nafas panjang. “Kalian mungkin tak percaya….. Tapi inilah ceritanya”
Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas jenazah
enam orang gadis yang menggemparkan dan mengerikan itu.
Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main mendengar penuturan itu.
Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama.
“Kami
mohon petunjukmu saudara tabib. Kurasa kedatangan kami dengan perahu
layar besar telah menarik perhatian orang. Tak mungkin membendung
rahasia.
Kalau sang penculik sampai mengetahui kejadian ini celaka kita….”
Tabib
Chou merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. “Ada baiknya kita
menyimpan dua buah peti mati. Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan.
Peti mati yang besar dibawa dengan kereta terbuka hingga semua orang
dapat melihat.
Tapi jenazah puterimu tidak dimasukkan dalam peti itu.
Melainkan dalam peti mati yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak
barang, ditutupi dengan sayuran. Nah, kalau penculik muncul, pasti dia
akan melarikan kereta yang membawa peti mati besar…”
Wong Pie segera
dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa yang
dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan.
Udara di
pelabuhan terasa sangat panas. Angin mengandung garam bertiup gersang.
Kecuali para pekerja, kebanyakan orang lebih suka berada dalam bangunan.
Sederetan kedai nasi dan minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu.
Kebanyakan
dari mereka duduk menikmati makanan atau secangkir kopi sambil ngobrol
ngalor ngidul. Namun siang itu pembicaraan semua orang hampir tidak
banyak berbeda di setiap kedai. Mereka membicarakan perahu besar milik
saudagar berlian dari Martapura. Agaknya hampir semua orang mengetahui
kalau perahu milik saudagar Wong itu membawa anak gadis yang sedang saki
untuk diobati oleh tabib Chou.
Dalam salah satu kedai, Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng nampak menyantap nasi rawonnya
dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik pada seorang perempuan yang
juga berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau saja perempuan ini
tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik terus
menerus. Yang dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan
orang, namun dia seperti tak perduli. Dari pakaian biru ringkas yang
dikenakan perempuan itu Wiro maklum kalau si jelita berkulit kuning
langsat ini adalah seorang dari kalangan persilatan. Maka timbullah
niatnya untuk ingin berkenalan. Apalagi wajah perempuan muda ini
mengingatkannya pada wajah Anggini, murid Dewa Tuak yang pernah
dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Baca serial Wiro Sableng “Maut Bernyanyi di Pajajaran”) Namun sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai terdengar ada kehebohan. Banyak orang berbondong-bondong menuju dermaga.
“Apa yang terjadi…?” tanya pemilik kedai pada seseorang yang kebetulan lewat.
Orang itu menjawab “Puteri saudagar Cina yang datang dari seberang itu meninggal. Tabib Chou tak keburu menolongnya!”
“Ah
kasihan….!” Terdengar desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti
tamu lainnya dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk melihat
rombongan pembawa jenazah. Wiropun segera tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah
kereta terbuka tampak ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju
dermaga di mana perahu besar berada. Di belakangnya ada sebuah kereta
lain ditumpangi keluarga Wong. Wong Tam Pie duduk dengan kepala
tertunfuk, mengucurkan air mata, menangis tanpa suara. Di sebelahnya
duduk istrinya yang sepanjang jalan menangis keras tiada henti. Lalu
putera mereka duduk di sebelah kusir kereta dengan kepala tegak tapi
mata merah.
Di kiri kanan kereta mengawal enam orang. Di sebelah
belakang sekali, jauh tertinggal dari rombongan induk menyusul sebuah
gerobak sarat berisi sayur. Orang banyak ikut mengiringi rombongan itu
menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping perempuan cantik berbaju
biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang baik untuk menegur
perempuan ini. Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya, tersenyum.
Ah
pucuk dicinta ulam tiba, pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum.
Perempuan itu mengulurkan tangannya menyerahkan sejumlah uang kecil.
“Sahabat, kau tentu mau menolongku.”
“Tentu saja. Eh, apa ini?”
Si
baju biru memasukkan uang receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya
berkata “Aku ada keperluan penting. Tolong berikan uang ini pada pemilik
kedai pembayar makanan yang tadi kusantap!”
Senyum lebar penuh
harapan yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta lenyap ketika dia
mengetahui apa maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat berbuat
atau mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang
banyak.
Dengan jengkel Wiro timang-timang uang itu dan akhirnya
melangkah menuju kedai tempat dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum
jauh ketika mendadak dari arah dermaga terdengar suara keributan.
Saat itu Wiro melihat kusir kereta yang membawa peti mati mencelat
mental dan terhempas di jalanan dihantam tendangan seorang lelaki yang
pakaiannya tampak seperti pengemis. Orang ini kemudian menyambar tali
kekang dua ekor kuda lalu menggebarak kedua binatang itu. Sebelum kereta
mayat menghambur, dua orang tampak berusaha menghalangi. Keduanya
adalah Wong Tam Pie dan puteranya.
Masing-masign membawa sebatang
tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat. Tapi pengemis di atas
keeta mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk menghantam
oran-orang itu. Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat di
tangan puteranya patah daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan
cambukan hingga luka-luka melintir kesakitan.
Peristiwa itu
berlangsung cepat sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di tempat
itu si pengemis yang melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan
jalan.
“Kejar!” teriak salah seorang pengawal. Mukanya tampak luka bekas hantaman cambuk.
“Tidak usah!” Wong Tam Pie mencegah yang membuat pengawal itu serta kawan-kawannya keheranan.
“Orang itu melarikan peti mati jenazah puterimu seudagar Wong!” kata si pengawal.
“Biarkan dia mencuri peti dan jenazh anakku. Semua segera naik ke atas perahu! Dahulukan gerobak sayur itu…!”
Wogn
Tam Pie, isterinya dan anak laki-lakinya segera naik keatas perahu
besar. Para awak perahu dibantu oleh enam pengawal tadi menaikkan
gerobak sayur ke dalam perahu. Tak lama kemudian perahu besar itu pun
mulai merenggang meninggalkan dermaga.
Di atas anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega.
“Untung tabib Chou menyusun siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan sudah kena diculik penjahat!”
“Heran…” kata puteranya sang saudagar. “Siapa sebenarnya pencuri tadi.
Tampaknya seperti peminta-minta. Apa perlunya mencuri mayat orang?”
“Akupun
tidak mengerti. Dunia ini semakin tua. Segala kejahatan dan keanehan
bisa saja terjadi” kata saudagar Wong lalu dia masuk beranjak
meninggalkan anjungan.
Kita kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang
dirasa aneh oleh murid Sinto Gendeng. PErtama orang berpakaian pengemis
itu melarikan peti mati berisi jenazah puteri saudagar Cina itu. Kedua
mengapa sang saudagar sendiri mencegah para pengawalnya mengejar si
pencuri dan memerintahkan cepat-cepat naik keatas perahu besar. Karena
tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya memutuskan untuk
mengejar sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu. Dia menyambar
seekor kuda yang tertambat tak jauh dari situ lalu membedal binatang ini
ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira beberapa ratus tombak dari
tikungan jalan Wiro menemukan kereta itu berhenti di tepi jalan. Penutup
peti mati berada dalam keadaan terbuka. Ketika dia meneliti ke dalam
peti ternyata peti itu kosong!
“Jenazh puteri saudagar itu
dilarikan….” Membatin Wiro. Dia coba meneliti keadaan sekitarnya. Tak
ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk kemana jenazah itu dibawa
kabur. Berarti rasa ingintahunya menemui jalan buntu hanya sampai di
situ.
Sementara itu selagi Wiro berusaha meneylidiki kejadian itu, di
pelabuhan telah terjadi lagi kegemparan. Saat itu orang benyak masih
berkumpul di sepanjang dermaga. Mereka membicarakan apa yang barusan
terjadi sambil memandangi perahu besar semakin menjauh ke tengah laut.
Saat itulah seseorang terdengar berteriak.
“Hai! Orang yang melarikan kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia menendang pemilik perahu pukat!”
Semua
orang memalingkan kepala ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka
menyaksikan seorang pemilik perahu kecil yang biasa dipakai untuk
manangkap ikan terjatuh ke dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian
pengemis yang tadi diketahui melarikan kereta pembawa peti mati. Oang
itu kemudian mendayung perahu menuju ke tangah laut, kea rah perahu
besar milik saudagar Wong. Yang luar biasanya ialah dia menggunakan
kedua tangannya sebagai pendayung.
Perahu pukat itu seperti melesat
membelah air laut, meluncur cepat di atas air menuju perahu besar.
Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan mata meeka
sendiri!
“Tak ada manusia yang mampumendayung perahu dengan tangan seperti itu!” kata seseorang.
“Kalau bukan malaikat pasti dia seorang sakti luar biasa!” kata seorang lainnya.
Lalu
ada seorarng lainnya lagi yang seprti bertanya “Eh, bukankah tadi dia
melarikan peti mati berisi jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti
hendak mengejar perahu besar! Apa yang hendak dilakukannya?!”
Orang
banyak semakin berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama kemudian
pukat itu berhasil menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama
setelah itu tampak asap hitam mengepul di atas perahu besar.
“Perahu besar itu terbakar!” teriak orang banyak berbarengan.
Pada
saat itulah Wiro sampai kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan
perahu besar dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk beberapa
lamanya tidak kelihatan lagi. Namun seseorang kemudian melihat dan
berseru ketika pukat itu tampak seperti menyeruak di antara kepulan asap
hitam, meluncur ke arah timur dan akhirya lenyap di titik batas
pemadangan.
“Apakah kalian semua di sini hanya bisa menonton tanpa
melakukan sesuatu untuk menolong?!” Satu suara terdengar di antara
kerumunan orang banyak. Yang bicara ternyata adalah seorang kakek
mengenakan kain dan selempang putih.
Mulutnya komat kamit. Kedua matanya yang kelabu menatap jau ke tengah lautan, kea rah perahu besar yang diamuk api.
“Ah,
empu Tembikar tupanya….” Kata seseorang. Orang ini seperti sadar segera
berteriak. “Yang memiliki perahu besar itu!” Lalu dia mendahului lebih
dari selusin perahu kecil didayung cepat menuju perahu kayu yang
terbakar. Namun nyala api besar sekali. Sebelum orang0orang itu berhasil
mendekat, perahu telah hampir musnah. Di antara isinya, hanya dua orang
awak kapal yang sempat menyelamatkan diri, terjun ke laut lalu berenang
sambil berpegangan pada potongan papan. Keduanya segera ditolong dan
dibawa ke darat. Sampai di darat mereka segera dihujani pertanyaan apa
yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang dari awak
perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api. Ketika
kebakaran itu diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini
terjadi pada tiga bagian perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu
anjungan. Persediaan air di perahu itu ternyata tidak mencukupi karena
sewaktu berlabuh di Tanjung Karangwelang belum sempat mengisi air.
Di
dalam suasana kacau beberapa orang awak kapal sempat melihat kemunculan
tiba-tiba pengemis yang sebelumnya diketahui telah melarikan kereta
pembawa peti jenazah Cui Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa bagian
perahu tanpa seorangpun awak kapal atau keluarga saudagar Wong dan para
pengawalnya dapat mencegah. Karena saat itu masing-masing berusaha
memadamkan api bahkan lebih banyak ingin menyelamatkan diri dalam
kebingungan. Pengemis tadi kemudian menemukan sebuha peti kayu yang
tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur dalam gerobak. Dia langsung
membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri Saudagar Wong. Begitu
dia mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera meninggalkan perahu
besar, melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya menjauhi perahu
besar dan lenyap!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala
mendengar keterangan awak perahu itu. Sejak beberapa bulan lalu dia
memang pernah mendengar peristiwaperistiwa menggemparkan tentang dicuri
atau diculiknya jenazah anak gadis atau perempuan muda yang belum kawin.
Apakah artinya semua ini. Apa perlunya seseorang menculik mayat? Dan
kabarnya penculik itu adalah seorang pengemis, seperti manusia yang tadi
disaksikannya melairkan kereta mayat!
Di tengah laut perahu besar
itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yang kelihatan. Baian lainnya
sudah musnah dimakan api dan enggelam cerai berai ke dalam air laut.
Asap hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut memandang kea
rah kapal yang hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok tubuh
yang tahu-tahu sudah tegak tepat di depannya.
Ternyata yang berdiri
di hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih yang tadi
didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar.
Orang tua ini memandang tak berkedip tepat ke wajah Wiro dengan sepasang matanya yang kelabu.
“Kau orang pandai. Tapi hanya berpangku tangan!” Orang tua ini berkata. Suaranya tandas seperti menghukum.
Wiro
berkedip. Hendak menjawab. Tapi Empu Tembikar sudah meninggalkannya.
Penasaran maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu. Jauh sekali dia
berjalan mengikuti hingga akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin. Di
sini Empu Tembikar membalikkan tubuhnya dan bertanya “Mengapa kau
mengikutiku?!”
“Ingin tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang tua?” balik bertanya murid Sinto Gendeng.
“Oh,
jadi kau masih tidak tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka
bicara dengan orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak tahu
kebodohannya sendiri!”
“Kebodohan apa yang telah kuperbuat?!” tanya Wiro dengan menahan jengkel.
“Aku tahu kau mampu menolong orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu.
Tapi mengapa kau tidak melakukan sesuatu….?”
Wiro
garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab “Mampu belum tentu bisa. Perahu
besar itu terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di dermaga sudah
hampir musnah.
Kulihat banyak yang mencoba turun ke laut untuk
emnolong. Nyatanya mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Aku sama saja
dengan manusia-manusia itu. Bukan orang pandai atau dewa yang mempu
malakukan pertolongan ajaib….!”
Si kakek bermata kelabu tiba-tiba tertawa.
“Kau pandai bicara mencari alas an. Ketika kereta pembawa peti mati dilarikan orang, kaupun bertindak lalai….”
“Aku mengejar. Tapi kutemui peti mati itu telah kosong,” menerangkan Wiro.
“Itu
karena kau bertindak terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan
bahwa soal waktu itu bisa sama harganya dengan selembar nyawa
manusia….?”
“Kau menyebut-nyebut guruku. Apakah kau kenal dia?”
Si kakek angkat bahu lalu melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya.
“Orang
tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh,
pandir, lalai dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja yang telah kau
lakukan selama kejadian-kejadian yang menggemparkan di pelabuhan itu.
Hanya bicara….?”
Paras orang tua itu sekilas berubah. Kemudian dia tampak tersenyum.
“Orang tua adalah tempat bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya orang muda seperti kau adalah para pelaksana….”
“Kalau begitu alangkah enaknya jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu menyalahkan orang muda….!”
“Terserah kalau kau berpendapat seperti itu…”
Wiro
tak mengacuhkan kata-kata si mata kelabu itu. Dia berkata “Kalau katamu
orang tua tempat bertanya, orang tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa
yang dapat kau berikan saat ini?!”
“Bagus kau bertanya begitu. Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa buruk yang dialami jenazah para gadis di kawasan ini?”
“Tidak,” jawab Wiro sengaja berdusta. “Apa petunjukmu selanjutnya?”
“Kejahatan itu harus dihentikan!” jawab Empu Tembikar.
“Kenapa kau tidak menghentikan?”
“Karena ada seorang lain yang harus menghentikannya?”
“Siapa?” tanya Wiro.
“Kau….!”
Wiro melengak kaget.
“Mengapa musti aku?”
“Aku tidak tahu!”
“Kau tahu siapa pelaku kejahatan itu? Pendulik itu?”
“Aku tidak tahu” jawab Empu Tembikar.
“Kau mungkin tahu dimana kediamannya?” tanya Wiro lagi.
“Aku tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya di arah timur, tenggara atau timur lautan utan Roban.”
“Kalau dia menculik kemudian membuang jenazah begitu saja, apa perlunya dia melakukan itu?”
“Untuk mengambil jantung dan hati gadis yang mati itu!”
Wiro merasa tengkuknya jadi dingin.
“Apa guna jantung dan hati itu? Untuk disantap? Ih!”
Empu Tembikar mengeluarkan segulung kertas dari balik selempang kain putihnya.
“Seseorang
memberikan kertas surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan bacalah
isinya. Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih lanjut….”
Habis berkata begitu Empu Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Wiro Sableng mencari pohon rindang dan duduk di bawahnya, pada pematang
tambak ikan asin. Meskipun matahari sore bersinar terik tapi tiupan
angin yang sepoi-sepoi membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini membuka
gulungan keras yang tadi diberikan Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu
cukup panjang, ditulis dengan huruf-huruf yang membentuk tulisan bagus
sekali. Wiro mulai membaca.
INTI SARI KEHIDUPAN INDAH KAUM PEREMPUAN
Sejak
dunia terkembang, sejak perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari
tulang rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang selalu menghantui kaum
perempuan.
Mereka takut dimakan usia. Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan menjadi……
Belum sampai Wiro menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba
dia merasa ada angin yang menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini
cepat menghantam dengan tangan kirinya namun dia hanya memukul tempat
kosong.
Bersamaan dengan itu hidungnya mencium bau harum. Sudut
matanya menangkap gerakan sosok tubuh di samping kanan. Secepat kilat
murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu
gelombang angin deras membuntal. Tapi lagi-lagi pendekar ini kecele.
Ternyata kembali dia menghantam tempat kosong. Malah saat itu satu
dorongan yang luar biasa hebatnya membuat terhuyung-huyung ke kiri.
“Setan alas keparat!” maki Wiro.
Selagi
dia berusaha mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan
kirinya tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang
sangat cepat dan berusaha menelikung dengan tangan kanann sambil memukul
denagn tangan kiri.
Pess…!!!
Terdengar suara mendesis. Wiro
Sableng masih belum sempat melihat siapa adanya orang yang menyerang dan
merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya membuntal asap hitam berbau
harum aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup pemandangannya namun
juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung dia cepat sadar.
Sambil tutup jalan pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu Kapak
Naga Geni 212. Hawa panas segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang
kebal racun kini samakin terlindungi oleh hawa panas mujizat yang
keluar dari senjata mustika itu. Perlahan-lahan kekuatannya pulih.
Asap
hitam juga mulai lenyap. Pemandangannya terang kembali. Tapi orang yang
tadi belum sempat dilihatnya dengan jelas, jangankan mukanya, sosok
tubuhnya hampir tak terlihat, telah lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng
memaki panjang pendek. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana
mungkin dia tidak bisa atau tidak punya kesempatan melihat siapa adanya
orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu merampas kertas yang sedang
dibacanya. Wiro diam-diam menyadari.
Dan ini membuat tengkuknya
dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau mencelakainya atau
membunuhnya, pasti halitu dapat dilakukannya.
Wiro memandang jauh ke
depan, kea rah tambak ikan asin yang luas sementara matahari sore
semakin redup. Pendekar ini geleng-geleng kepala.
“Guru sendiri tidak
sehebat itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia yang dapat
bergerak demikina cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia….?
Bukan setan maghrib yang kesasar? Dan bau harum aneh itu….?”
Pendekar
212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu dengan
perasaan tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat itu.
Warok
Kunto Rekso yang berjalan paling depan memimpin hampir lima puluh orang
anak buahnya hentikan langkah, mendongak kea rah bukit di ujung pohon
beringin. Hari itu adalah hari ketiga pengungsian yang mereka lakukan
sejak pasukan kerajaan menyerbu hutan Roban, menghancurkan kelompok
gerombolan rampok yang ada di situ. Jika saja dia tidak bertindak cepat
pasti kelompok yang dipimpinnya juga akan mengalami bencana yang sama.
Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban, berputar-putar di pedalaman
yang sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya siang itu mereka sampai
di tempat itu.
Kunto Rekso menyuruh anak buahnya beristirahat
sementara dia sendiri mulai memanjat bukit batu untuk menyelisiki kadaan
di atas sana. Namun tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk. Kepala
rampok yang sudah berpengalaman ini segera mengetahui bau busuk itu
adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling, lalu bergerak ke
jurusan kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar. Kunto Rekso
tak perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya.
Terkapar melintang di bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya
kepala rampok ini ketika mengeahui mayat busuk itu ternyata adalah mayat
Jalatunda, pemuda pembantu juru masak yang dianggapnya gila dan
membangkang untuk ikut bersamanya.
“Buang mayat ini jauh-jauh dari sini,” kata Kunto Rekso pada anak buahnya.
“Aku
akan menyelidiki ke atas bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik,
aku memilih kita mendirikan perkampungan baru di sini.” Lalu kepala
rampok ini meneruskan maksudnya semula menyelidiki ke puncak bukit batu.
Penciumannya merasakan di atas sana ada air. Dan betul memang. Ketika
dia sampai di puncak bukit batu, di sebelah bawah seberang depannya
dilihatnya sebuah telaga berair hijau membiru. Di tengah telaga tampak
sebuah batu licin rat hampir berbentuk sebuah meja.
Kunto Rekso menarik nafas dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk dan segar sekali.
“Ini
tempat yang baik! Sangat cocok untuk markas baruku!” Lalu kepala rampok
ini mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi isyarat pada anak
buahnya untuk segera naik ke atas.
Siang itu juga Kunto Rekso
memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan pembangunan perkampungan.
Beberapa pohon besar ditebang untuk diambil kayunya. Menjelang malam
tiba baru mereka berhenti bekerja. Besok pagi pekerjaan itu akan
diteruskan.
Akan tetapi pada pagi harinya justru terjadi kegemparan
di antara rombongan perampok pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan
masih mengorok ketika seorang anak buahnya membangunkan.
“Keparat jaah! Mau kupecahkan kepalamu berani membangunkanku?!”
“Warok,
ada kejadian hebat. Lima orang anggota kita kedapatan mati!” kata
anggota rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat melompat mundur karena
takut dihantam jotosan pemimpinnya.
“Apa katamu?!” Waro Kunto Rekso melompat dari tidurnya. “Sipa yang mati…?!”
“Mereka
dibunuh!” kata seorang anggota lainnya.Lalu membawa Kunto Rekso ke kaki
bukit batu di ujung kanan. Di situ tergelimpang lima anak buahnya yang
telah jadi mayat. Ketika diperiksa apa yang dilaporkan tadi memang
betul. Lima anggota rampok itu mati dibunuh. Leher masing-masing tampak
ketakutan tampak terkulai tanda patah!
“Keparta! Edan! Siapa yang
melakukan….?!” Sentak Kunto Rekso. Kunto Rekso berpaling di batang pohon
itu tampak tertempel sehelai kertas yang dibubuhi tulisan. Sambil
menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu
membacanya dengan pelipis bergerak-gerak.
Lima mayat itu adalah peringatan pertama dan terakhir.
Daerah ini adalah daerah kekuasaanku.
Tak seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini.
Apalagi hendak membangun perkampungan.
Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera tinggalkan tempat!
“Setan alas!” kutuk Kunto Rekso. “Siapa yang membuat surat ini pengecut!
Tak berani memberitahu nama!” Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat.
Berkali-kali dia membuat gerakan seperti hendak mencabut golok besar di pinggangnya. Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan.
“Pemimpin, apa yang harus kita lakukan….?” Seorang anak buahnya bertanya.
“Apa yang harus kita lakukan? Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan perkampungan! Di sini! Di tempat ini!”
“Tapi surat itu.”
“Keparat!
Apa kau harus takut pada selembar kertas?!” Kunto Rekso bantingkan
kertas yang tadi diremasnya ke tanah. “Semua teruskan pekerjaan! Aku
akan mengawasi. Ku mau lihat siapa manusianya yang berani membunuhi anak
buahku! Jika dia muncul kucincang tubuhnya dari kepala sampai kaki!”
Begitulah
sementara beberapa orang mengurus maya lima anggota rampok yang
terbunuh secara aneh itu, yang lain-lainnya meneruskan pekerjaan
membangun perumahan. Warok Kunto Rekso mengawasi dari atas pohon.
Sesekali dia turun ke bawah dan berkeliling meneliti keadaan. Sampai
sore hari, bahkan ketika siang berganti malam tak terjadi apa-apa. Tak
ada yang muncul mengganggu atau menghalangi. Meskipun hanya lega sedikit
namun Kunto Rekso tetap merasa was-was.
Mengingat kematian lima anak
buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang ditemuinya
sebelumnya. Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang sama.
Tapi orang itu sendiri siapa?
Begitu malam tiba Kunto Rekso
berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin anak buahnya berganti-ganti
melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya malam hari itupun akan
berlalu dengan tenang. Namun ternyata tidak!
Belum lagi sinar
matahari pagi sempat menembus kelebatan dedaunan pepohonan di kaki bukit
batu itu, kehebohan terjadi. Lima dari selusin anggota rampok yang
melakukan pengawalan ditemui telah menjadi mayat. Mati dengan cara yang
sama seperti lima kawannya terdahulu. Yakni dengan leher patah!
“Keparat
anjing kurap!” teriak Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok
besarnya. Senjata ini diputarnya berdesing-desing di atas kepala. Anak
buahnya menjauh ketakutan.
“Ini sudah keterlaluan! Keparat! Manusia pengecut! Keluar dari persembunyianmu! Jangan hanya berani membunuh secara membokong!”
Sesaat
setelah bentakan kepala rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara
tertawa mwlwngking. Tak dapat diduga apakah itu suara manusia, lelaki
atau perempuan, ataukah suara jin pelayangan!
“Lihat!” seorang anggota rampok berseru seraya menunjuk ke atas.
Semua
orang termasuk Warok Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari mana
datangnya saat itu tampak melayang sehelai kertas. Sekali lompat saja
kertas itu sudah di tangkap Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ
terdapat beberapa baris tulisan.
Peringatan telah diabaikan.
Hukuman harus dijatuhkan.
Sebelah mata sudah berkecukupan.
Jika masih membangkang jantung jadi imbalan!
Bergetar sekujur tubuh kepala rampok itu. Bukan karena dia takut
membaca surat tersebut, tetapi karena menahan amarah yang tidak tahu
hendak dilampiaskan pada siapa. Sambil meremas kertas dengan tangan kiri
dan sepasang mata memandang berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan
geraham bergemeletukan, Warok Kunto Rekso tiba-tiba lemparkan golok
besarnya kea rah mana tadi datangnya suara tertawa aneh itu. Golok besar
dan berat itu melesat laksana anak panah, menembus kerapatan daun
pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga.
“Bangsat! Keparat!” maki Kunto Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya tidak mengenai sasaran apa-apa.
Di
saat itu justru kembali terdengar suara tawa mwlwngking. Lalu tiba-tiba
saja meluncur sebuah benda putih berkilat sepanjang ukuran jari
kelingking. Begitu cepatnya benda ini melesat hingga sukar dilihat
bentuknya. Yang jelas itu adalah sebuah senjata rahasia.
Ketika
melihat benda ini Warok Kunto Rekso meskipun menggebrak marah tapi
mengenggap enteng. Kalau cuma satu senjata rahasia yang terlihat jelas
seperti itu siapa takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan Roban yang
ditakuti ini secepat kilat menyambar golok seorang anak buahnya. Dengan
senjata ini dia memapas ke depan untuk menghantam senjata rahasia yang
melesat ke arah kepalanya.
Tring!
Golok dan senjata rahasia
bentrokan di udara keluarkan suara nyaring.Warok Kunto merasakan
tangannya bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi dirinya
selamat dari serangan senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang
tajam kembali dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di atas pohon
sebelah kiri. Secepat kilat patahan golok yang masih digenggamnya
dilemparkan ke arah gerakan itu. Namun baru saja golok melesar lepas
mendadak dari samping kembali melesat sebuah benda putih berkilat.
Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali ini taak mungkin
baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak buahnya yang
berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia itu
menderu dan menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang
telinga!
Sang Warok meraung setinggi langit. Darah muncrat membasahi mukanya.
Dia
lari kian kemari, berteriak tiada henti dan memukul apa saja yang
berada di dekatnya. Seorang anak buahnya yang berkepandaian cukup tinggi
segera menotok pelipis dan urat leher pimpinannya ini. Meskipun darah
terus mengucur namun rasa sakit berkurang sedikit.
“Setan! Tempat ini
dikuasai setan! Ada setannya!” kata Kunto Rekso. Dia merobek bajunya
dan menggunakan potongan kain ini untuk menutupi matanya yang bocor.
“Tinggalkan tempat ini! Semua tinggalkan tempat ini!” perintahnya.
“Kami siap Warok. Tapi kita menuju kemana?” bertanya seorang anggota rampok.
“Jalan saja dulu!” sahut Kunto Rekso. “Mungkin kita menuju ke utara. Aku tak pasti. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!”
Maka
rombongan rampok yang telah kehilangan sepuluh anggotanya itu segera
tinggalkan tempat tersebut. Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di
daerah pantai mereka membangun sebuah perkampungan. Kelak di kemudian
hari Warok Kunto Rekso merobah jalan hidupnya yang sesat, dari rampok
hutan daratan, menjadi perampok lautan. Dia kemudian dikenal dengan
julukan Bajak Laut Mata Satu.
Sementara mereka berlalu, di kejauhan
terdengar tawa melengking, panjang dan membuat bulu kuduk para penjahat
itu menjadi dingin. Masing-masing mempercepat langkah. Bukan meustahil
bencana yang lebih celaka akan menimpa mereka.
Desa Wonotunggal terletak di daerah berbukit-bukit yang sangat subur.
Hasil
sayur mayurnya yang segar-segar dan beraneka macam menyebabkan desa ini
terkenal di sepanjang pantai utara Jawa Tengah bahkan sampai jauh ke
pedalaman.
Dari hasil lading maupun sawah dan peternakan, rata-rata
penduduk Wonotunggal hidup berkecukpan. Di samping itu ada hal lain yang
membuat desa ini terkenal jauh sampai kemana-mana. Hal ini ialah
tentang para gadisnya yang rata-rata berkulit putih, senang memelihara
rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut tubuh yang elok
mempesona.
Hal yang satu ini menyebabkan banyak pemuda-pemuda dari
desa-desa lain sering datang ke situ atau orang tua sengaja pergi ke
sana untuk meninjau menjajagi kemungkinan bagi mereka atau putera mereka
untuk mendapatka jodoh yang diidamkan. Umumnya para pemuda dan orang
tua tidak mengalami kekecewaan.
Mereka dating dan selalu kembali
dengan berita bagus, mendapatkan calon yang dapat dipersunting beberapa
bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan hajat baik itu,
kalau tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain. Karenanya desa
Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu diramaikan dengan
adanya pesta perkawinan di sertai hiburan seperti wayang eong, wayang
kulit atau ketoprak.
Dari sekian banyak bunga harum jelita desa
Wonotunggal, ada satu sekuntum yang memiliki kelebihan dari pada
dara-dara lainnya hingga dia menjadi primadona, bunga tercantik dari
segala bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun tebu, berusia
menjelang delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu banyak
para gadis telah berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas.
Bahkan terkadang di usia lima atau empat belas. Karenanya usia dara yang
satu ini, yang menjelang delapan belas dianggap sudah melewati batas
keharusan untuk kawin.
Namun demikian sang dara sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian.
Malah
semakin bertambah usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin
jelita parasnya dan semakin matang sikap lakunya. Semua ini membuat
semakin banyak pemuda yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang
ingin agar putera mereka dapat mempersunting sang dara. Namun Wilani,
demikian nama sang dara kabarnya masih belum mendapatkan pemuda yang
berkenan di hatinya. Kabarnya pula sang orang tua belum mendapatkan
calon menantu yang cocok. Akibatnya lambat laun penduduk desa menganggap
Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari suami yang gagah
serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap
pergunjingan yang dilakukan orang banyak membuat nama gadis itu semakin
tambah terkenal.
Memang Wilani memiliki banyak kelebihan dari
gadis-gadis Wonotunggal lainnya. Parasnya bulat telur, kulitnya licin
putih dan mulus. Rambutnya hitam panjang sepinggang, selalu kelihatan
berkilat dan menabur bau minyak yang harum.
Sepasang matanya bening
seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh sepasang alis tebal
bak bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik. Hidungnya kecil
mancung. Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah
memakai gincu tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari
dalam tubuhnya. Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia
tersenyum, cantiknya bukan main. Siapa yang melihat pasti akan merasakan
nafasnya sesak sesaat. Raut tubuhnya ramping di pinggang besar di dada
dan pinggul. Kalau berjalan lenggoknya membuat para pemuda menelan air
ludah. Banyak yang berusaha untuk mencuri pandang pada sepasang betisnya
yang terkadang tersingkap dari balik kain panjang yang dikenakannya.
Segala
kesemarakan kecantikan dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja
menjadi redup. desa Wonotunggal kini diselimuti kesedihan. Sejak
seminggu berselang dikabarkanWilani telah jatuh sakit. Telah berbagai
macam obat diberikan namun sakitnya tidak berkurang, malah makin
bertambah. Makanan maupun minuman sulit melewati mulutnya. Akibatnya
dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus itu kini menjadi kurus. Wajahnya
yang dulu cantik jelita itu kini menjadi cekung.
Beberapa orang
pandai termasuk para dukun ahli pengobatan kabarnya telah pula
dipanggil. Tapi sampai hari kedua puluh satu sakit sang dara masih belum
dapat dipulihkan. Banyak para pemuda yang ingin datang menjenguk
melihat si sakit.
Namun menurut orang tua Wilani, anak mereka itu mengidap sejens penyakit menular.
Hingga
semua orang yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam
kamar di mana gadis itu terbaring. Kalau Wilani sampai akhirnya
meninggal dunia sebelum sempat menginjak jenjang perkawinan, alangkah
malangnya nasib gadis itu.
Demikian orang sedesa berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya.
Suatu
malam, Ronocula, lelaki yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang
menemui kedua orang tua Wilani. Selama ini telah beberapa kali dia
mengunjungi mereka namun sebegitu jauh tidaak mendapat kesempatan untuk
melihat sendiri si sakit. Diapun tidak memaksa karena kalau memang
Wilani menderita penyakit menular, siapa mau kebagian penyakit berbahaya
itu.
“Mas Prayit….” Kata Ronocula pada ayah Wilani. “Aku dan orang
sedesa selalu mendoakan agar puterimu yang sedang loro itu ditolong oleh
Gusti Allah dan dapat cepat disembuhkan dari penyakitnya….”
“Terima kasih dimas Ronocula,” jawab Prayit.
Ucapan seperti itu sudah berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala desa.
“Kami
tidak mengharapkan musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja, kalau
puterimu diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang harus kita
perhatikan.
Kau kita semua harus berjaga-jaga….”
“Berjaga-jaga bagaimana maksudmu dimas Ronocula?”
Lalu
kepala desa itu menerangkan tentang kisah tujuh gadis yang
menggegerkan. Ketujuh jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh yang
selalu muncul seperti pengemis. Selang satu dua hari kemudian mayatnya
ditemukan kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati dan jantungnya
telah lenyap dan jenazahnya rusak mengerikan.
“Aku memang ada juga
mendengar hal itu,” kata Prayit. “Tapi kukira semua itu hanya cerita
kosong belaka…. Apa perlunya orang menculik mayat…”
“Jangan bicara seperti itu mas Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh.
Berbagai
kejadian yang tak masuk akal bisa terjadi. Kejahatan di luar batas
kemanusiaan berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia hampir tak ada
harganya.
Kau ingat penuturan kepala desa terdahulu, tentang
orang-orang yang tengah mencoba kehebatan ilmunya? Membunuh orang lain
secara semena-mena demi untuk kepentingan ilmunya….?”
Prayit terdiam
sesaat. Lalu dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata “Kalau
cerita penculikan itu memang benar, kuharap puteriku tidak akan
mengalami nasib seperti itu…”
“Itu yang kita harapkan mas. Namun
berharap tanpa melakukan sesuatu, jika nanti sudah kejadian maka jangan
sampai ada penyesalan seumur hidup…”
“Lalu bagaimana menurutmu? Apa yang baik yang harus kita lakukan…?’
“Kita
harus membentukbarisan pengamanan. Aku sendiri yang akan mengepalainya.
Barisan ini terdiri dari lima orang anak buahku, ditambah dengan guru
silat Bagus Menakdari dukuh Jatiwangi….”
“Terima kasih kalau kau mau
melakukan itu dimas,” kata Prayit gembira. Dia tahu sebagai kepala desa
Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan, memiliki jimat
yang kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi kalau
guru silat Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. “Aku
akan merasa aman….” Katanya menambahkan. “Hanya saja, yang paling baik
adalah kalau puteriku dapat disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak
perlu bersusah payah….”
“Itulah yang selalu kami doa dan harapkan,” sahut Ronocula.
Tapi
doa dan harapan orang sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari
setelah kedatangan kepala desa tersebut, pada suatu pagi, belum lagi
sang surya muncul, seisi desa telah mendengar kabar duka datang dari
rumah keluarga pemilik perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka telah
meninggal dunia. Hampir seluruh penduduk desa datang melayat dengan
harapan dapat melihat paras gadis yang malang itu untuk terakhir kali.
Namun mereka kecewa karena ternyata jenazah telah dimandikan dan
dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan dengan cepat
mengingat kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit akan
menebar.
Di luar rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan kepala
desa Ronocula duduk berdampingan dengan seorang lelaki bertopi merah,
berpakaian serba putih.
Sehelai kain sarung tersilang di bahunya.
Orang yang bersikap pendiam tak banyak bicara ini adalah guru silat
Bagus Menak yang telah datang bersama sembilan muridnya. Kesembilan
murid silat ini bersama-saa lima pembantu kepala desa senantiasa
berkeliling menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena
pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah
disembahyangkan dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas
sebuah gerobak terbuka, ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh
seorang lelaki tua berwajah kotor dan berpakaian tebal. Agaknya kusir
gerobak ini memakai lebih dari sehelai pakaian. Namun karena semua
perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang ditimpa musibah itu
maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian kusir gerobak
itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersebut
bukanlah penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak
seorangpun ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama
gerobaknya tahu-tahu sudah ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak
itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi rombongan
pengantar jenazah bergerak menuju pekuburan, mengikuti gerobak sapi yang
berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah tampak
mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan
secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak
sapi, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Pada
saat jenazah dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan
pakaiannya. Di balik pakaian itu kelihatan pakaian lain yang penuh
tambalan, kotor dan bau!
“Pengemis penculik!” teriak Ronocula yang
entah kenapa sejak memasuki tanah pemakaman tiba-tiba saja dia menjadi
curiga terhadap kusir gerobak itu.
Semua orang terkejut. Guru silat
Bagus Menak memberi isyarat ada sembilan anak buahnya. Maka enam belas
orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir gerobak itu.
Sang
kusir berdiri di atas gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya
lenyap ketika tiba-tiba Ronocula berteriak “Ringkus manusia itu!”
Para
pengurung serta merta menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan
senjata. Mereka berpikir, untuk menangkap seorang pengemis tua seperti
itu, apa perlunya pakai senjata. Tapi ketika empat orang terpental dan
terjengkang roboh kena tendangan kaki serta hantaman pengemis itu
barulah mereka sadar. Ronocula segera cabut kerisnya, Bagus Menak
tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di bagian dalam diisi dengan
potongan besi lentur.
Pengemis tadi kembali tertawa. Kini dia
mendahului menyerang. Bagus Menak sambut dengan hantaman kain sarung,
Ronocula datang dari samping dengan tusukan keris. Enam orang lainnya
menggebuk dengan berbagai senjata, mulai dari pisau, kelewang atau
golok. Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Prayit
memperhatikan semua apa yang terjadi dengan wajah pucat sementara
kebanyakan para pengantar berusaha menjauhkan diri dan memperhatikan apa
yang selanjutnya terjadi dengan penuh cemas.
Hantaman kain sarung
Bagus Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris Ronocula membuat
angin berdesing. Belum lagi senjata-senjata yang lain yang datang
membabat. Tak dapat tidak kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang
tubuhnya.Tapi apa yang kemudian terjadi justru kebalikannya.
Bagus
Menak, guru silat lihay berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan
dan dia tak dapat mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi
yang terlindung di balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian
melentur keras dan melesat kea rah perut kusir gerobak. Tapi sebelum
mencapai sasarannya pengemis di atas gerobak lepaskan betotan pada kain
sarung. Akibatnya Bagus Menak terhuyung ke belakang oleh daya tarik
kekuatannya sendiri sedang potongan besi melenceng ke samping menghantam
dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik kesakitan.
Kepala dan wajah keduanya tampak benjut.
Ronocula yakin sekali tusukan kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis.
Hanya
saja keyakinan ini berubah jadi keterkejutan ketika orang yang
diserangnya tiba-tiba melompat dan dengan sekali menggerakkan tangan
kanan senjata itu berhasil dirampasnya. Ronocula keluarkan keringat
dingin. Dia melihat empat senjata orangorang yang ada di pihaknya masih
terus memburu lawan. Karenanya dia merasa ada kesempatan untuk menyerbu
sekalipun dengan tangan kosong.
Pengemis di atas gerobak kembali melompat. Dua penyerang kembali mental sambil menjerit kesakitan.
“Makan
kerismu ini!” pengemis itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris
kepala desa kepada pemiliknya sendiri. Dan sekian puluh pasang mata
menyaksikan bahwa Ronocula sebenarnya tidak kebal senjata. Keris
miliknya sendiri menancap di dada, tepat di bawah tenggorokannya.
Sebelum roboh kepala desa ini masih sempat berteriak “Lindungi jenazah! Lindungi jenazah!”
Tapi
percuma saja. Sebelum ada yang sempat bergerak untuk melindungi jenazah
Wilani, manusia berpakain pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat
merampas jenazah lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Bagus Menak cepat
menyerbu. Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi kali ini nasibnya
jauh lebih buruk dari tadi. Tendangan si penculik jenazah mendarat
sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah
darah lalu tak bergerak lagi, entah pingsan entah mati.
“He….he….!”
Pengemis penculik tertawa. “Jika perlu di antara kalian yang masih
merasa memerlukan mayat gadis ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah
timur besok malam!”
Habis berkata begitu penculik ini cepat
berkelebat. Tetapi empat orang anak murid Bagus Menak yang menjadi kalap
melihat kematian guru mereka, meskipun sadar bahwa penculik itu
bukanlah tandingan mereka, tetap saja menghadang dan menyerbu dengan
senjata di tangan.
“Manusia-manusia tolol!” maki pengemis penculik.
“Mencari mati dengan percuma!” Tangan kanannya menghantam. Kakinya
sebelah kiri menyusul menendang. Dua anak murid Bagus Menak di sebelah
kanan terpelanting muntah
darah.
“Ada lagi yang minta mampus?!” Si pengemis menantang sambil menyeringai.
Tak
ada yang berani membuka suara. Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah
Wilani terduduk setengah pingsan di tanah dan digotong orang ke bawah
pohon. Si penculik keluarkan tawa melengkingnya lalu berkelebat dan
cepat sekali tubuhnya bersama jenazah Wilani lenyap di ujung pekuburan.
Begitu keluar dari daerah pekuburan pengemis penculik itu melarikan
diri ke jurusan selatan, memasuki hutan Roban yang angker. Dia berlari
terus tanpa berhenti, tanpa merasa kebaratan oleh sosok jenazah yang
berada di bahu kirinya. Semakin ke dalam hutan itu semakin rapat. Sinar
matahari semakin sulit menembus kelebatan daun-daun pepohonan, udara
bertambah lembab dan gelap. Tapi si pengemis dapat berlari sangat cepat.
Jelas dia tahu sekali seluk beluk belantara ini.
Di satu bagian
hutan yang tidak pernah didatangi manusia si penculik membelok tajam ke
kanan hingga akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di sini
barulah dia menghentikan larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh
tersungging di mulutnya. Dari tenggorokannya terdengar suara suitan
keras. Lalu mulutnya berteriak.
“Pengusaha hari tua! Aku datang membawa obat penawar usia!”
Habis
berkata begitu dia melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang mudah
mendaki bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si
pengemis. Ditambah pula dengan beban berat jenazah manusia pada bahu
kirinya.
Tapi nyatanya semua itu dilakukan dengan mudah oleh si
penculik. Sampai di puncak bukit dia memandang ke bawah. Ke arah telaga
berair hijau kebiruan. Inilah bukit batu dan telaga yang beberapa waktu
lalu hendak dijadikan markas oleh Warok Kunto Rekso.
Sepasang mata si
pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali terdengar suara
siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga akhirnya
sampai di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil mencapai
pertengahan telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk
meja.
Jenazah Wilani diturunkannya lalu dibaringkan di atas batu
besar itu. Sekilas tampak dia menyeringai sambil pandangi sosok jenazah
yang masih tertutup rapi oleh kain kafan. Beberapa kali jenazah itu
dibelai dan ditepuk-tepuknya.
“Bersabarlah…..bersabarlah…..” katanya.
“Aku akan ganti pakaian dulu. Aku akan berdandan dan berhias….” Lalu
pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke tepi telaga sebelah timur di
mana tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih kecilkecil.
Di sebelah belakang terdapat lamping bebatuan menghitam datar.
Dengan
tangan kirinya pengemis itu mendorong lampingan batu datar. Aneh, batu
itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di bekas dudukan batu itu kini
tampak sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini muncul sebuah ruangan
batu yang berwarna kelabu. Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada
sebuah pembaringan yang terbuat dari batu beralaskan kain lembut tebal
hampir menyerupai permadani.
Lalu ada dua buah kursi mengapit sebuah
meja kecil yang juga terbua dari batu. Di sudut lain terdapat ruangan
cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu.
Dalam lemari ini kelihatan tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru.
Ternyata
ruangan batu itu tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur! Ada asap
tipis keluar di sudut kanan yang menebar bau harum semerbak. Pengemis
tadi melangkah masuk. Dari dalam lemari batu diturunkannya sehelai jubah
panjang berwarna biru. Dengan jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai kaki. Pada bagian kepala jubah terdapat dua
buah lobang. Rupanya lobanglobang ini dibuat demikian rupa agar si
pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah mengenakan jubah biru, pengemis tadi melangkah ke luar kamar.
Tanpa
menutup kembali pintu batu dia menuju ke telaga di hadapan pintu yang
terbuka. Dari sebuah celah dia mengeluarkan beberapa potong kayu warna
warni lalu dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia mengambil pula
sebuah cawan batu berisi minyak yang sangat harum. Tanpa menganggalkan
jubah ataupun pakaian pengemisnya orang ini masuk ke dalam telaga.
Tampaknya dia hendak mandi.
Berlangir mungkin. Sampai matahari di
luar hutan menjadi redup dan ambang sore siap memasuki malam si pengemis
masih belum keluar dari air telaga. Tak lama kemudian terdenganr suara
nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan halus sehingga sulit
ditangkap kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara itu adalah
suara perempuan.
Tempat itu semakin gelap. Tiba-tiba si pengemis
keluar dari dalam air. Tubuhnya masih tertutup jubah rapat. Kini tubuh
itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Sekeluarnya dari dalam telaga,
pengemis tadi tidak segera menuju ke ruangan batu, tapi dari sebuah
tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua lusin potongan
bambu yang ternyata adalah obor. Ketika obor itu dinyalakannya dan
dipasang sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi
deperti
dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat
pengemis berjubah menatap ke arah batu di atas telaga di mana masih
terbaring jenazah Wilani.
Kemudian agak tergegas dia melangkah menuju
pintu batu. Membukanya, masuk ke dalam ruangan batu dan menutupnya.
Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara nyanyian itu terdengar tak
putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada pertengahan suara
nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu batu tampak
bergeser ke samping. Di ambang pintu batu itu kini tampak berdiri
sesosok tubuh.
Orang ini tidak berpakaian pengemis ataupun berjubah.
Tetapi mengenakan pakaian biru yang terbuat dari bahan sangat tipis. Dan
ternyata dia adalah seorang dara berparas sangat cantik, berkulit putih
mulus. Demikian tipisnya pakaian biru yang dikenakannya hingga nyala
obor di sekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi tembus pandang dan
auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas!
Dengan
langkah ringan dan wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi
telaga. Ada sebuah benda di tangan kanannya yang berkilauan tertimpa api
obor.
Benda ini ternyata adalah sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan runcing ujungnya.
Waktu
sampai di tepi telaga sang dara hentikan langakh. Dia mendongak ke atas
dan pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti
tengah melafatkan sesuatu. Mantera? Sesaat kemudaian kepala itu
diturunkan perlahan-lahan.
Sepasang mata dibuka kembali dan kini
memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah jenazah di atas batu hitam.
Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas rimba belantara
gelap itu. Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu melesat
ke tengah telaga, mendarat tepat di atas batu besar.
“Penguasa hari
tua!” sang dara baju biru tiba-tiba berteriak. “Dipertengahan malam
dingin ini aku kembali datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba
saatnya untuk melakukan hajat!”
Dara jelita angkat tinggi-tinggi
pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa kalai senjata ini
dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat, membacok ataupun
menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran disertai
kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga.
Sesaat kemudian
gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahanlahan pisau
besar diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara sesaat
pejamkan mata,kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari
tangannya bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai
mambuka tali kain putih pengikat jenazah di bagian perut. Nafasnya
memburu dan panas. Dadanya turun naik tanda dia tengah diselubungi satu
gejolak yang dahsyat. Selesai membuka tali pengikat di bagian perut,
kini jari-jari tangannya pindah ke atas siap untuk membuka tali pengikat
di atas kepala!
Ketika kain kafan di bagian kepala jenazah
tersingkap lebar, deua manusia sama-sama tersentak kaget! Sang dara
sampai tersurut beberapa langkah. Hampir jatuh ke dalam telaga!
“Keparat! Siapa kau?!”
“Setan alas! Kau sendiri siapa?!”
Dua bentakan menggeledek di malam buta!
Sosok jenazah di atas batu besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak.
Bret….!
Bret….! Bret….! Kain kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai
dari ujung kaki sampai kepala. Mengerikam! Apakah jasad Wilani yang
sudah jadi mayat itu kini hidup kembali?! Tetapi sosok tubuh yang
kemudian tampak tegak di atas batu besar itu bukanlah sosok tubuh
Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong. Dia
mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap hingga dadanya yang
telanjang kelihatan tegap penuh otot. Di dada kanan ada guratan biru
kehitaman susunan tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya tersisip
sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa
cahaya obor!
Pemuda di atas batu – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 – menyeringai tapi penuh waspada.
“Jadi
kau rupanya!” desisnya. “Tidak disangka gadis secantikmu ternyata
penculik hutan Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis yang kutemui di
kedai di Tanjung Karangwelang?!”
Gadis berbaju biru tipis tak
menjawab. Sepasang matanya tampak seperti dikobari api, memandang tak
berkedip pada Wiro Sableng. Wajahnya yang memebersitkan hawa ganas itu
justru membuatnya tambah cantik di mata pendekar kita! Diam-diam dia
ingat bau harum yang pernah tercium olehnya beberapa waktu yang lalu.
Bau yang sama kini berada di sekelilingnya, bersumber pada tubuh yang
bagus mulus itu.
“Kau juga orangnya yang merampas surat yang kuterima
dari Empu Tembikar! Pasti…!” kata Wiro Sableng. Lalu dia
geleng-gelengkan kepala. “Kalau tidak turun tangan dan melihat dengan
mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau yang begini cantik ternyata
seorang manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap jadi korban!
Aku hampir jadi korban yang kedelapan! Tapi….ha….ha….ha….!” Wiro tertawa
bergelak. “Kau tentu tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek
sepertiku ini!
ha…ha…ha….! Hari ini kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!”
Entah
mengapa sang dara masih tak membuka mulut. Mungkin masih terkesiap oleh
rasa tak percaya atas apa yang terjadi dan disaksikannya saat itu.
“Pemuda keparat! Penipu!” tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara.
“Menipu jauh lebih baik dari pada pembongkar jenazah!” tukas Wiro Sableng.
“Lagi pula kalau tidak menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa menjbakmu seperti ini…!”
“Selanjutnya kau tak perlu menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!”
desis gadis berbaju biru. “Sebelum mampus katakan siapa namamu!” Wiro tersenyum.
“Namaku
jelek. Tak pantas diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja
orang-orang tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212!”
“Aku sudah menyangka! Jadi kau adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng dari gunung Gede itu!”
“Hemm…
Kau tahu juga asal usul guruku!” ujar Wiro meski diam-diam merasa
heran.”Tahukah kau bahwa hari ini kau harus menebus semua kejahatanmu
dengan selembar jiwamu?!” Namun dalam hatinya Wiro bertanya-tanya akan
tegakah dia membunuh seorang dara paling cantik yang pernah ditemuinya
ini? Di samping itu dia merasa perlu untuk mengorek keterangan
sebanyak-banyaknya dari perempuan ini. “Dengar, aku ada satu pertanyaan.
Mengapa kau melakukan semua kejahatan itu….?”
“Kau tidak layak bertanya! Kau hanya layak mampus detik ini juga!”
Begitu
bentakannya lenyap dara baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya
lenyap dan tahu-tahu satu hantaman angin yang luar biasa kerasnya
menerpa Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika terjadi perampasan surat
Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah tahu jelas bahwa si perampas
memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya sulit dilihat dengan
jelas. Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay tersebut.
Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat
kepandaiannya. Kalau sang dara juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di
atasnya, celakanya aku pikir Wiro.
Begitu angin datang menerpa Wiro
Sableng melompat ke atas, jungkir balik lalu balas menghantam dengan
tangan kanan. Lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Gumpalan angin
dahsyat bergulung laksana batu besar menggelundung.
Byarr!
Pukulan
murid Sinto Gendeng hanya mengenai air telaga hingga muncrat belasan
tombak ke atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan biru berkelebat
dan satu sodokan siku menghantam perutnya. Meskipun dia bisa mengelak
namaun tak urung siku lawan masih menyerempet. Perutnya terasa seperti
mau pecah. Selagi dia menahan sakit satu jotosan menyusul melabrak dada
kirinya. Tubuhnya terhempas jauh dari atas batu besar, masuk ke dalam
telaga. Ternyata telaga itu hanya sedalam pinggang Wiro. Murid Sinto
Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur hidup baru sekali itu dia
menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam gebrakan pertama saja
dia sudah menerima dua hantaman!
Sadar kalau lawan tak mungkin
diimbangi kecepatan gerakannya maka dari dalam telaga Wiro lepaskan
pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan dengan pukulan Topan
Melanda Samudra. Suara seperti angin punting beliung menderu mengeirkan.
Api obor sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga seperti
mendidih dan muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran.
Gadis
baju biru yang berada di ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti
hendak digulung ombak besar. Dia melengking keras lalu menghantam dengan
kedua tangan. Dua larik sinar biru menggebubu, memporak porandakan
serangan Wiro, membuat pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata sang
dara memiliki pukulan sakti yang sanggup memusnahkan serangannya tadi!
“Celaka!
Gadis gila ini memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku harus
mampus di tangannya? Gila!” rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Kalau
tadi dia mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka
kini dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua
tangannya.
Sepanjang ingatan Wiro baru sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam utnuk menghadapi lawan.
Sesaat
sebelum dua larik sinar biru menghantam dada dan kepalanya Wiro Sableng
pukulkan kedua tangannya. Terdengar suara menderu-deru susul menyusul.
Gadis
baju biru tersentak kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan
saja. Karena sedetik kemudian deru angin yang tidak berhenti itu
menggulung balik dua larik sinar pukulannya, menyertnya ke belakang lalu
menghempaskannya ke arah diri sendiri.
Sang dara berteriak keras.
Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak terlihat, tapi
suaranya jelas terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan berada.
Maka pukulan sakti bernama Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih yang
tadi telah dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke ats ke arah lawan.
Dengan
cerdik si baju biru layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan hendak
larikan diri Wiro berseru “Pengecut! Jangan kabur!”
“Keparat! Aku
tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas meninggalkan
tubuh!” teriak sang dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana seekor
burung pemakan mayat, tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk
ke arah mata, tangan kiri mencari sasaran di tenggorokan Wiro.
Murid
Sinto Gendeng yang menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat keluar
dari air. Sambut serangan lawan dengan memukulkan kedua lengannya.
Dua pasang tangan beradu!
Wiro kembali terhempas ke dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air.
Sekujur
tubuhnya terasa panas. Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru
terpental satu tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi cepat
jatuhkan diri di atas batu besar.
Dari gerakannya menjatuhkan diri
Wiro dapat memastikan gadis ini menderita cidera yang tidak enteng. Maka
dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi baru saja
bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke
arahnya!
“Senjata rahasia! Pengecut!” teriak Wiro.
Sang dara
keluarkan tawa mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya mengeluarkan
tiga buah senjaa rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan tangguh.
Dan
tak pernah satu pun lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata
rahasia berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan
dapat manghantam lawan barang satupun?
Namun hari itu sang dara
menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya tidak berdaya ketika Wiro
tanpa tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan
kanannya. Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar
menyilaukan. Air telaga menggejolak tinggi. Batu besar hitam ditengah
sana hancur lebur. Sang dara berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke
kiri. Kecepatan gerakannya menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun
tak urung bahu pakaian birunya yang terserempet sinar pukulan terbakar
hangus. Daging bahunya ikut terluka.
Sakitnya bukan kepalang, laksana tertempel besi panas!
Selagi
lawan kesakitan, Wiro pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki
kanannya mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar suara pesss….!
Asap hitam mendadak sontak membuntal menutupi seantero telaga.
Ketika
terjadi perampasan surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal yang
sama. Dia tak mau tertpu untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri
dengan menutupi tabir pemandangan denga asap hitam berbau harum aneh
itu. Maka murid Sinto Gendeng cepat melesat ke udara, melompat naik ke
atas cabang sebatang pohon.
Dari sini dia dapat melihat jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi sana.
Dan
saat itu dilihatnya gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur.
Serta merta Wiro melayang turun, memapasi dan menghadang sang dara!
Kagetnya si gadis bukan kepalang.
Marah, penasaran tapi diam-diam
juga kagm melihat kehebatan pemuda itu, dia lepaskan lagi senjata
rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus!
“Curang!” maki
Wiro. Tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip Kapak Maut
Naga Geni 212. Sekali senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar putih
menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga
dalam keadaan luluh lantak!
Kini luluh pula nyali sang dara. Namun
untuk menyerah tak ada dalam kamus hidupnya. Dia lebih suka mengadu jiwa
dengan pemuda itu, maka segera dia menyerbu lagi. Tetapi sesuatu
tiba-tiba dirasakannya menempel di lehernya. Dingin menggidikkan.
Memandang ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda tegak
sambil menyeringai. Kapak Naga Geni 212 tergenggam di tangan kanannya.
Salah
satu mata kapak menempel ke batang tenggorokan gadis itu, mulai
mengiris bagian kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit kesakitan.
“Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!” kata gadis itu.
Wiro
Sableng masih tegak menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis
seperti gadis ini tak banyak cerita lagi harus segera dibunuh
dimusnahkan. Tetapi entah mengapa tangan yang memegang kapak itu tidak
juga mau bergerak. Kemudian Wiro melihat sepasang mata si gadis mulai
berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha menahan tangis. Bagaimanapun
jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air mata menetes membasahi
kedua pipinya.
“Bunuhlah….. Lekas bunuh!” terdengar kata-kata itu
meluncur berulang kali dari mulutnya. Namun kini tidak sekeras tadi,
semakin perlahan semakin memilukan.
Wiro kertakkan rahang. Tangan
kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi menjauhi leher. Di lain
kejap, bagian gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke depan, menotok
tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh gadis ini
melosoh jatuh, tak bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka
tidak putus.
Sepasang matanya yang basah menatap ke arah Wiro.
“Kenapa tidak kau bunuh? Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat membunuhku….?” Berkata sang dara.
Saat itu Wiro sudah sisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke pinggangnya.
“Dosamu memang sudah lewat takaran. Kematian memang yang paling pantas bagimu. Namun aku perlu beberapa keterangan….”
“Jangan mengoceh! Saat ini bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut kapakmu tetakkan ke kepalaku!” Wiro gelengkan kepala.
“Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu semua? Menculik mayat para gadis.
Mengorek jantung dan hatinya….!”
“Itu bukan urusanmu!”
“Kau betul, itu bukan urusanku,” ujar Wiro.
“Lalu kenapa tidak kau bunuh aku saat ini?!”
“Kau juga merampas surat yang kudapat daari Empu Tembikar…. Mengapa….. Itu bukan suratmu atau surat kekasihmu…..!”
“Jangan coba melucu! Demi penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali aku lepas aku akan membunuhmu….!” Wiro tertawa.
“Katakan, siapa yang kau sebut penguasa usia itu….!”
Paras sang dara berubah. Dia baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi dia bungkam seribu bahasa.
“Ketika
sore tadi kau sampai ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama
itu. Apakah dia sebangsa makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan
iblis itu?!”
“Dia tidak menjerumuskanku! Semua yang terjadi adalah kemauan dan sumpahku sendiri!”
“Aku tak ingin bicara lebih banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati!
Bunuh aku!”
“Dalam usia semuda ini, dengan paras begini cantik, apakah kau tidak takut mati…..?”
“Aku bukan manusia kecoak pengecut yang takut mati sepertimu!”
“Jangan
bicara takabur orang cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak takut
pada kematian. Termasuk kau! Jika kau mati, bukankah apa yang kau
lakukan selama ini hanya berarti kesia-siaan belaka?!”
“Aku telah menemukan apa yang kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!”
“Kalau begitu katakan apa yang telah kau temukan itu!”
“Bangsat
ini pandai bicara mengorek keterangan!” maki si gadis dalam hati.
”Lebih baik aku mengunci mulut!” Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi.
Wiro pegang bahu sang dara sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot.
“Jangan kau berani menyentuh tubuhku!” sentaknya.
“Dengar,
aku tak mungkin membunuh lawan yang tidak berdaya seperti keadaanmu
ini. Kalau kau mau memberi keterangan, mungkin aku akan mempertimbangkan
utnuk melepaskanmu…..” Si gadis tertawa.
“Aku tahu jenis pemuda macammu ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu.
Begitu dapat ……Cis!”
Wiro tetawa panjang, lalu berkata “Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan pergi dari sini….”
“Tidak! Kau tak boleh pergi sebelum membunuhku!”
“Aku
memang akan kembali,” jawab Wiro. “Tapi kembali membawa binatang buas
dan berbisa! Biar harimau dan serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu!
Biar ular dan laba-laba seta kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang
putih…” Lalu tanpa mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng melangkah
meninggalkan sang dara.
Kedua mata sang gadis kembali tampak melotot.
Kemudian terdengar suaranya meratap memilukan hati. Wiro berjalan terus
sampai akhirnya tiba-tiba dia mendengar gadis itu berseru “Jangan
pergi! Kembalilah….. Aku akan terangkan apa yang kau minta….”
Sekali lompat saja Wiro sudah berada di hadapan gadis itu kembali.
“Nah, sekarang katakanlah riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal sampai kau melakukan kejahatab ganas luar biasa!”
Sesaat sang dara masih tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian mulai memberi keterangan.
“Semua
berasal dari keinginan gila…. Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajarwajar
saja. Setiap perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan usia…..”
“Hemm…. Aku ingat bunyi surat yang kau rampas itu. Sama dengan keteranganmu. Perempuan takut dimakan usia….”
“Aku
sengaja merampas surat itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan
untuk menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak tandukmu sejak di
Tanjung Karangwelang…. Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah yang
kukira jenazah Wilani itu kuculik, seharusnya aku sadar mengapa jenazah
itu begitu berat. Padahal tubuhnya pasti kurus karena dia menderita
sakit sekian lama….” Kini aku tahu, kau yang mengatur semua itu bukan?”
Wiro mengangguk. “Apa hubungan antara kejahatan yang kau lakukan dengan rasa takutmu dimakan usia….?’
“Seseorang
mengatakan, jika seorang perempuan berusia di bawah dua puluh tiga
tahun inginkan tetap awet muda sampai akhir hayatnya maka dia harus
melakukan sesuatu. Sesuatu itu adalah….”
“Menculik anak perawan yang mati, mengambil jantung dan hatinya lalu memakannya!” potong Wiro.
“Aku memang menculik dan mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku tidak memakannya!” sahut sang dara.
“Lalu?”
“Hati
dan jantung harus kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan
pada muka dan sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup
membuat seseorang perempuan menjadi tetap muda seumur hidupnya….”
“Kau percaya pada kekuatan gila itu?!” Si gadis tak menjawab.
“Siapa yang menanamkan kepercayaan itu padamu?” tanya Wiro.
“Empu Tembikar!”
“Edan!
Tapi mengapa dia memberikan padaku surat yang bisa membuka rahasia
dirimu itu! Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran
di atas perahu Cina itu…?”
“Mungkin….mungkin dia menyesal telah memberitahukan hal itu padaku.
Atau mungkin dia menyadari berlangir dengan hati dan jantung anak perawan tidak mungkin dapat menahan ketuaan….”
“Lalu siapa penguasa usia yang beberapa kali kau pekikkan itu?”
“Aku tidak tahu. Empu mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap aku mendapat jenazah baru…”
Wiro
menarik nafas dalam. “Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu
terselubung tangan iblis utnuk menimbulkan bencana.” Sesaat Wiro menatap
paras si gadis. “Katamu kau mendapatkan ilmu awer muda itu dari Empu
Tembikar. Apakah dia juga yang mengajarkan ilmu silat hebat itu
padamu…?”
“Kau bunuhpun aku tak bakal memberi tahu siapa guruku dalam
ilmu silat dan kesaktian. Beliau tidak ada sangkut pautnya dengan
kejahatan yang kuperbuat!”
“Kau murid yang baik,” kata Wiro.
Si gadis tundukkan pandangannya. “Sekarang kau sudah tahu semua riwayatku….”
“Belum semua.”
“Maksudmu?”
“Aku belum tahu siapa namamu…?”
“Lebih baik kau tak perlu tahu namaku…”
“Begitu?
Umur dunia masih panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu kita
bertemu lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu namamu…”
“Ucapanmu seperti kau memang bena-benar tak ingin membunuhku. Malah ingin bertemu lagi…”
Wiro
angkat tangan kirinya. Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan
gerakan perlahan dia melepaskan totokan di dada si gadis. Meskipun
totokannya kini terlepas namun si gadis itu tidak segera berdiri atau
melompat menjauh. Sepasang matanya kembali tampak berkaca-kaca.
“Kau
bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana kau suka. Asal saja kau berjanji
tidak akan mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi pengemis lalu
menculik anak perawan orang…. Ha…ha…ha. Tahu-tahu yang terculik anak
jejaka!”
Sang dara tutup wajahnya dengan kedua tangan. Wiro membantunya berdiri.
“Aku
tak akan melupakan kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini,” kata sang
dara sambil tundukkan kepala. “Kuharap di kemudian hari aku bakal
membalasnya.”
Wiro tersenyum mendengar basa-basi kuno itu. Dia
melangkah menuju tepian telaga dimana terletak pintu yang menuju ruangan
batu. Sebelum masuk ke dalam diambilnya dua buah obor dan diletakkannya
di sudut ruangan, lalu pergi duduk di salah satu kursi batu. Sesaat
kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang pintu.
“Biar hatimu puas akan kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini.
Malam ini juga aku akan berangkat ke Tanjung Karangwelang….”
“Ah, namamu bagus. Tak pernah kudengar nama sebagus itu.” Sang dara kelihatan merah parasnya.
“Untuk apa kau ke Tanjung Karangwelang?” tanya Wiro kemudian.
“Mencari Empu Tembikar. Kalau tidak karena dia, aku tak akan melakukan kejahatan itu….”
“Tak
ada gunanya. Dia hanya memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal kita
si pendengar harus mencerna dalam jalan pikiran yang sehat….”
“Tapi walau bagaimanpun dia yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung jawab!”
“Terserah
padamu. Tapi malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh istirahat
dari kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada
orang-orang dari desa Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok
malam….?”
Untuk pertama kalinya gadis bernama Mantini itu tersenyum.
“Aku ingin pergi ke puncak sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di
sana! Mudah-mudahan Tuahn masi mau mengampuniku…” kata Mantini sesaat
kemudian.
“Bagus kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku lebih suka tidur di tepi telaga…”
“Jika kau suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini…” Wiro menggeleng.
“Kau takut aku membokongmu secara pengecut?” tanya Mantini.
“Justru kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
Keesokan
harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar di
Tanjung Karangwelang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak
bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak
dapat dipastikan apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang.
TAMAT