permulaan musim semi. Pohon-pohon yang dulu gundul tak berdaun kini
kelihatan mulai menghijau segar kembali. Dibagian barat daratan Madiun
yang leas menjulanglah pegunungan gunung Lawu dengan lebih dari setengah
lusin puncakpuncaknya yang tinggi. Sebegitu jauh hanya satu dua saja
dari puncak pegunungan ini yang pernah diinjak kaki manusia.
SEPASANG ALIS MATA Wiro Sableng naik ke atas. Keningnya mengerenyit.
"Jika kau tak mau bicara denganku, berarti kelak kau bakal penasaran seumur hidup," kata pendekar itu pula.
"Kaulah yang bakal jadi setan penasaran!" teriak Sularwasih.
"Sularwasih,
kita harus memenuhi apa yang telah kita janjikan. Kau harus dengar apa
yang dikatakannya," ujar Resi Tumbal Soka, lalu berpaling pada Wiro.
"Katakan lekas apa yang ingin kau sampaikan padanya!"
"Apakah dia tidak boleh maju lebih dekat ke hadapanku?" tanya Wiro.
"Muridku, kau majulah sampai tiga langkah dari hadapannya," kata Resi Tumbal Soka.
Karena
diperintah gurunya, meskipun hati kecilnya membantah namun dia tak
berani menolak. Sularwasih melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
"Sekarang bicaralah!" seru ketua Partai Lawu Megah tak sabaran karena dilihatnya Wiro masih cengar-cengir.
"Adik,
kau, cantik sekali jika menangis begini. Kedua pipimu jadi merah! "
Katakata itu diucapkan oleh Wiro setengah berbisik hingga cuma nona
Sularwasih saja yang dapat mendengarnya. Dan si nona justru tiba-tiba
menggerakkan tangan kanannya.
"Plak!"
Satu tamparan mendarat pipi
Wiro. Demikian kerasnya hingga bibirnya luka dan mengeluarkan darah.
Selagi semua orang tercengang-cengang melihat kejadian itu, Wiro kembali
membuka mulut, "Nona Sularwasih, aku bersumpah bahwa aku sama sekali
tidak merusak kehormatanmu. Seorang lain yang melakukannya dan aku yang
jadi kambing hitamnya!" Kata-kata ini diucapkan Wiro dengan suara keras
hingga semua orang mendengar.
"Muridku, kembali ke tempatmu semula!" terdengar seruan paderi Resi Tumbal Soka.
Sesaat
Sularwasih masih tegak menatap tajam pada Wiro Sableng. Entah tertegun
dalam kemarahannya, entah terpukau dalam ketidakpercayaannya atas
pengakuan pemuda berambut gondrong itu. Kemudian sadar akan kata-kata
suhunya, gadis ini melangkah , mundur, kembali ke tempat semula.
"Laksanakan hukuman sekarang juga!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka.
Maka
tali penggantung dilingkarkan ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua
orang murid partai dengan paksa dan susah payah menaikkan pemuda itu ke
atas kursi. Mereka kemudian memegangi tawanan itu agar jangan berontak.
Selagi perintah untuk menyingkirkan kursi yang dipijak Wiro ditunggu,
tiba-tiba dalam kesunyian yang amat menegangkan itu terdengarlah suara
nyanyian yang amat santar. Demikian santarnya sehingga semua orang yang
ada di situ termasuk Resi Tumbal Soka dan para pimpinan partai lawu
megah yang berkepandaian tinggi merasa liang telinga masing bergetar!
Semakin tinggi mendaki puncak Gunung Lawu
Semakin indah permai pemandangan
Semakin sembrono tindakan seorang pimpinan
Semakin jauhlah dia tersesat dalam aturan dunia persilatan
Keadilan sejati tidak ada di muka bumi ini
Hukum yang benar jarang ditemui
Semua orang bisa jadi hakim
Tapi tidak semua orang bisa menghakimi tindakan diri sendiri.
Kata-kata dalam nyanyian itu membuat paras Resi Tumbal Soka berobah.
Dia berpaling ke arah timur. Baru saja dia putar kepalanya, tahu-tahu
sesosok tubuh laksana bayangan kilat telah berkelebat di depan tiang
gantungan. Seorang kakek-kakek kini kelihatan berdiri di situ. Mukanya
demikian kurus hingga hampir menyerupai tengkorak hidup! Tubuhnya pun
luar biasa kurusnya hingga kelihatan seperti jerangkong.
Melihat
kakek-kakek ini Wiro berseru keras. "Pendekar Pedang Akhirat! Kakek, aku
yang hendak dihukum mati ini rupanya masih diberi kesempatan untuk
menghaturkan hormat danmengucapkan selamat tinggal padamu. Apakah kau
selama ini baik-baik saja?"
Ternyata kakek yang datang ini adalah
pendekar yang telah menggetarkan dunia persilatan selama puluhah tahun,
yang beberapa waktu lalu pernah diselamatkan Wiro Sableng dari satu
lobang sekapan yang hampir merenggutkan nyawanya. Pendekar Pedang
Akhirat mendongak pada Wiro yang tegak di atas kursi. Lalu tertawa
gelak-gelak. "Selama ini aku ada baik-baik saja, sobatku. Tampaknya kau
sendiri tidak berada dalam keadaan baik-baik heh? Nasibmu sungguh malang
harus mampus di tiang gantungan."
Wiro menyeringai kecut.
Si
kakek kemudian celengak-celenguk seputar pedataran yang penuh oleh para
pimpinan dan murid-murid Partai Lawu Megah. Kemudian pandangannya
tertumbuk. Dia tertawa dan menjura lalu berkata:
"Ah sobatku Resi
Tumbal Soka ,Sudah hampir empat puluh tahun sejak aku penghabisan sekali
menginjakkan kaki di puncak Gunung Lawu ini dulu. Ternyata kini banyak
perubahan. Ada apakah sebenarnya saat ini di sini, sobatku?"
Sesaat
Resi Tumbal Megah masih berdiam diri. Terkesiap oleh kedatangan si kakek
yang tidak diduganya, yang ternyata mengenal tahanan yang hendak
digantung. Kemudian dia ingat dan buru-buru balas menjura.
"Selamat datang di Partai Tumbal Soka, sobatku Pendekar Besar Pedang Akhirat."
"Hai,
julukanku hanya Pendekar Pedang Akhirat, tak perlu ditambah dengan kata
Besar!" Dan ini membuat wajah Resi Tumbal Soka menjadi bersemu merah.
Paderipaderi yang lain tak berani membuka mulut, bahkan bergerak dari
tempat masingmasing pun tampaknya mereka takut. Semuanya tahu siapa
adanya kakek bermuka tengkorak ini. Seorang tokoh silat yang sampai hari
itu masih dianggap sebagai datuknya orang persilatan. Yang ilmu
kepandaiannya sukar dijajagi. Bahkan Resi Kumbara yang sudah
mengundurkan diri belum tentu setingkat kepandaiannya dengan kakek
jerangkong ini. Apa lagi jika dibandingkan dengan Resi Tumbal Soka.
"Eh,
aku tidak melihat sobat lamaku paderi Resi Kumbara..!" tiba-tiba
Pendekar Pedang Akhirat berseru lagi dan memandang celangak-celinguk
kian kemari dengan sikap lucu, tapi tak satu orang pun berani tertawa,
kecuali murid Eyang Sinto Gendeng yang terus-terusan saja cengar-cengir.
"Kakakku
itu sudah mengundurkan diri dari segala urusan partai. Akulah kini yang
menjadi ketua Partai Lawu Megah," menyahuti Resi Tumbal Soka.
"Oh, begitu? Astaga! Kalau begitu aku harus sekali lagi memberi penghormatan!"
Dan
kembali si kakek jerangkong itu menjura. Penghormatan yang sekali ini
terasa satu hinaan halus oleh Resi Tumbal Soka. Tapi dia tak mau
memberikan reaksi apa-apa, cuma wajahnya saja yang kembali kelihatan
bertambah merah.
"Betul-betul banyak perubahan di puncak Gunung Lawu
ini," kata Pendekar Pedang Akhirat sambil geleng-gelengkan kepalanya.
"Hai! Sobatku Resi Tumbal Soka, kau belum jawab pertanyaanku tadi. Ada
apakah ramai-ramai di sini?"
"Seperti kau seksikan sendiri. Pemuda
asing itu akan menjalani hukuman mati. Menilik gelagat kakek,gagah
sebelumnya sudah kenal padanya!"
"Betul, aku memang kenal padanya. Tapi kenapakah dia hendak digantung?" ia bertanya.
"Dia
telah merusak kehormatan salah seorang murid gunung Lawu," jawab Resi
Tumbal Soka seraya goyangkan kepalanya ke arah Sularwasih.
"Aha..!
Ini betul-betul urusan kapiran!" Eh Wiro, betulkah kau telah memperkosa
nona itu?!" Sepasang mata si kakek menyorot tajam laksana menembus batok
kepala Pendekar 212.
Wiro gelengkan kepala. "Aku bersumpah tidak
melakukannya, kakek. Tapi mereka tidak percaya. Jika saja anuku ini bisa
bicara pasti dia akan mengatakan tidak!"
Pendekar Pedang Akhirat tertawa gelak-gelak.
"Jika
saja anumu itu bisa bisa bicara! Hik..hik…. hik! Cuma sayang anumu
tidak bisa bicara heh! Tapi betul kau tidak mengganggu gadis itu?
Maksudku memperkosanya?"
"Demi Tuhan tidak."
Si kakek mengangguk.
"Aku percaya pada sumpahmu," kata kakek itu. Lalu berpaling pada ketua
partai. "Dia sudah bersumpah. Bagaimana ini?"
"Siapa sudi percaya sumpahnya. Mana ada maling yang mengaku."
"Tapi dia bukan maling."
"Penjahat keji terkutuk. Itu lebih pantas bukan?"
Si kakek tertawa. "Setahuku pemuda sobatku ini tak pernah mencari perempuan. Justru perempuanlah yang pada mencarinya."
"Kakek
gagah, apa dalam hal ini kau hendak mengatakan bahwa muridkulah yang
sengaja menyerahkan dirinya pada pemuda bajingan itu?!" kata paderi
Tumbal Soka dengan nada keras.
"Ooo, tentu saja tidak," sahut kakek
muka tengkorak. "Tapi aku tak percaya kalau sobatku ini telah memperkosa
muridmu yang cantik itu."
"Itu urusanmu. Di sini kami melaksanakan
urusan kami. Menjatuhkan hukuman lengkap dengan bukti-bukti dan saksi!"
kata Resi Tumbal Soka pula.
"Hemm begitu? Bolehkah aku mengetahui bukti atau mendengar saksi itu?"
Resi
Tumbal Soka mengkal sekali. Tapi dia menganggukkan kepala pada seorang
pemuda bertampang keren yang tegak di samping Sularwasih. "Berikan
kesaksianmu padanya!"
"Waktu itu!" si pemuda yang merupakan seorang
murid partai tingkat tertinggi, mulai memberi keterangan tapi buru-buru
dipotong oleh kakek muka tengkorak.
"Tunggu, beritahu dulu namamu!"
"Saya
bernama Tandu Wiryo," jawab si pemuda lalu mulai mengulangi
keterangannya. "Waktu itu saya dan adik seperguruan ini tengah
menjalankan tugas dari ketua. Suatu malam dalam perjalanan pulang kami
menginap di sebuah penginapan. Di situ sebelumnya telah menginap pula
pemuda itu. Selagi kami mendaftar, saya saksikan sendiri dia
mengedip-ngedipkan matanya mengganggu adik. Semula adik hendak
menghajarnya, tapi saya larang karena menganggap pemuda itu berotak
miring. Malam hari itu saya ke luar sendirian, maksudnya untuk
melihat-lihat kota. Ketika kembali pada tengah malam, saya temui adik
menangis di dalam kamarnya. Ternyata peristiwa keji itu telah terjadi.
Saya mengadakan penyelidikan. Di dalam kamar adik saya temukan sebuah
kancing baju. Ketika dicocokkan, persis sama dengan kancing baju pemuda
asing itu!"
"Mana kancing baju itu sekarang?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
Tandu
Wiryo mengeluarkan sebuah kancing baju dari dalam saku pakaiannya. Si
kakek mengamatinya dengan teliti. Ketika dia berpaling memperhatikan
pakaian Wiro, ternyata memang kancing itu sama dengan kancing pakaian si
pemuda. Dan salah satu dari kancing-kancing tersebut tanggal, tak ada
lagi di tempatnya!
PENDEKAR
Peciang Akhirat termenung sesaat. Kemudian dia berpaling pada
Sularwasih dan bertanya, "Sewaktu hal itu terjadi apakah kamarmu terang
benderang?"
Yang menjawab adalah Tandu Wiryo, "Sesuai dengan kebiasaannya, adik seperguruanku selalu tidur dengan lampu dipadamkan."
"Bagaimana kau bisa tahu kebiasaan adik seperguruanmu itu?" tanya Pendekar Pedang Akhirat pula.
Tak
menduga ditanya demikian. Tandu Wiryo jadi terkesiap diam. Saat itu
Resi Tumbal Soka membuka mulut, "Kakek gagah, aku tidak suka akan tanya
jawab ini. Kau seolah-olah sebagai seorang penyelidik. Sebagai seorang
pembela. Jika kau ingin menyaksikan pelaksanaan hukum gantung ini,
silahkan. Jika tidak,"
"Supaya aku angkat kaki dari sini?!"
meneruskan kakek muka tengkorak sambil tersenyum. "Tidak, sebelum
persoalannya jelas begitu, aku tak akan pergi dari sini!" Si kakek lalu
berpaling pada Tandu Wiryo. "Orang muda, katakan padaku kota dan
penginapan di mana peristiwa itu terjadi."
Tandu Wiryo tidak segera
menjawab sedang parasnya menunjukkan rasa tidak enak. Dia menoleh pada
Resi Tumbal Soka dan baru berkata, "Tanpa izin ketua aku tak akan mau
menjawab."
"Beritahukan saja padanya biar dia puas," ujar sang ketua pula.
"Penginapan Candi di Muntilan," Tandu Wiryo memberitahu.
"Kakek gagah, apakah kau puas sekarang?" tanya Resi Tunggal Soka.
"Puas. Tapi jadi tidak puas bila hukuman ini dilangsungkan!"
"Apa maksudmu?" tanya sang ketua partai seraya memandang tajam pada kakek muka tengkorak."
"Puluhan
tahun aku hidup dalam dunia persilatan, tak pernah kejadian orang
digantung karena urusan begini rupa. Apalagi sampai dilakukan oleh satu
partai besar. Mungkin perbuatan itu terkutuk dan keji. Tapi
menggantungnya lebih terkutuk dan lebih keji. Jika betul kau yakin
pemuda asing ini salah, kenapa tidak dilaksanakan saja pelaksanaan
hukuman lewat perkelahian antara dia dengan muridmu ….?!"
"Kau bicara
seenaknya saja, kakek gagah. Kau tahu, untuk menangkap pemuda keparat
itu kami membutuhkan selusin murid-murid tingkat tertinggi, enam orang
paderi utama dan membutuhkan waktu setengah hari!"
"Memang serba berabe," kata Pendekar Pedang Akhirat seraya usap-usap keningnya.
"Tapi
akan lebih berabe lagi jika hukuman gantung itu dilaksanakan. Nama
partai Lawu Megah akan lebih cemar di dunia persilatan."
"Persetan dengan orang luar. Kami membuat sendiri dan menjalankan sendiri aturan partai kami!" tukas Resi Tumbal Soka.
"Sekarang bagusnya begini saja," kata si kakek pula. "Serahkan pemuda ini padaku.
Jika nanti memang terbukti dia yang melakukan perbuatan keji itu, aku sendiri yang bakal menghukumnya!"
Resi Tumbal Soka tertawa sinis.
"Dalam persoalan ini kau adalah orang luar, kakek gagah. Kedatanganmu ke sini pun tidak kami undang."
"Kalau begitu biar aku pergi tanpa undangan pula dan harus bersama pemuda sobatku ini!"
Resi
Tumbal Soka hilang sabarnya. Dengan nada keras dia berkata, "Kakek
gagah, nama besarmu kami hormati. Harap kau juga menghormati kami. Kalau
tidak terpaksa kami berlaku tidak pada tempatnya terhadapmu!"
"Nah….
nah! Sekarang kau rupanya menantangku di sarang sendiri dan
mengandalkan jumlah banyak! Bagus …. bagus! Itu lebih baik. Mari kita
main-main barang sepuluh dua puluh jurus. Jika aku kalah kau boleh
gantung aku bersama sama pemuda itu. Tapi sebaliknya jika kau kalah,
pemuda itu harus kau serahkan padaku.
Nah itu adil sekali bukan?!"
Resi
Tumbal Soka sampai bergemeletukkan gerahamnya saking marah mendengar
ucapan Pendekar Pedang Akhirat itu. Jika lain orang yang berkata
demikian tanpa banyak tanya lagi pasti dilabraknya. Namun dia menyadari
kalau Pendekar Pedang Akhirat yang bertampang angker itu bukan
tandingannya. Jangankan dia, kakaknya sendiri belum tentu mampu
menghadapi tokoh-tokoh persilatan nomor satu ini. Untuk tidak
memperlihatkan rasa jerihnya, dengan seringai mengejek dia berkata,
"Sayang Partai Lawu Megah sedang melaksanakan urusan besar. Di lain
kesempatan jangankan baru sepuluh dua puluh jurus. Sampai seribu jurus
pun aku tak keberatan melayanimu!"
Pendekar Pedang Akhirat tertawa
jumawa dan menjawab, "Kalau kau merasa ragu untuk maju sendirian, boleh
saja mengajak beberapa paderi pembantumu."
"Kalau bicara jangan
keterlaluan memandang rendah diriku!" kata Resi Tumbal Soka marah
sekali. Mukanya merah padam. "Kami harap kau segera meninggalkan tempat
ini!"
Kemudian tanpa mengacuhkan lagi kakek muka angker itu Resi
Tumbal Soka berpaling ke arah tiang gantungan dan berteriak, "Laksanakan
penggantungan!"
Seorang paderi segera gerakkan kakinya untuk
menendang kursi dimana Wiro tegak. Namun sebelum kakinya menyentuh kursi
tahu-tahu tubuhnya sudah tegang kaku hingga dia tegak dalam keadaan
seperti orang sedang menari. Jika semua orang merasa kaget maka Pendekar
Pedang Akbirat tertawa gelak-gelak. Resi Tumbal Soka memaki dalam hati
setengah mati. Dia yang berkepandaian demikian tinggi tidak melihat
kapan si kakek menggerakkan tangan mengirimkan totokan jarak jauh yang
amat lihay hingga tubuh paderi pembantunya serta-merta menjadi kaku!
"Itu
cuma sekedar peringatan saja bagi kalian semua yang ada di sini. Sekali
lagi ada yang berani turun tangan terhadap sahabatku pemuda asing itu
aku tak segan-segan menurunkan tangan jahat!" memperingatkan Pendekar
Pedang Akhirat.
"Kakek, kau betul-betul berani mencampuri urusan
partai kamil Apa kau kira kami takut terhadap jerangkong busuk macammu?"
teriak Resi Tumbal Soka yang sudah sampai pada puncak amarah dan
kesabarannya. Sambil melangkah maju dia kibaskan lengan jubahnya.
Serta-merta buyarlah totokan pada tubuh paderi yang tadi hendak
menendang kursi. Tetapi di saat yang sama Pendekar Pedang Akhirat sudah
berkelebat. Demikian cepat gerakannya hingga di lain kejap semua orang
menyaksikan Wiro Sableng tak ada lagi di atas kursi dan kini tegak di
samping si kakek. Keduanya tertawa cengar-cengir.
"Kalian semua
dengar!" teriak Pendekar Pedang Akhirat dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya hingga puncak gunung Lawu itu laksana disambar geledek.
"Aku
akan tinggalkan tempat ini bersama sobatku si gondrong ini. Aku tak
ingin membuat kerusuhan dengan kalian orang-orang Partai Lawu Megah,
apalagi sampai timbul bentrokan kekerasan. Karenanya biarkan kami pergi
dengan aman!"
"Mana bisa demikian, manusia muka setan! Kau telah
mengacau di sini. Telah melontarkan hina-hinaan. Dan menculik tawanan
yang hendak dihukum gantung!
Tinggalkan pemuda itu atau kaupun akan kami gantung di puncak Lawu ini!"
"Kalau
begitu sama-sama kita lihat apa yang akan terjadi," sahut Pendekar
Pedang Akhirat pula. Dia bergerak memanggul tubuh Pendekar 212 karena
memaklumi pemuda itu tak bakal bisa lari cepat dengan tangan terikat ke
belakang. Saat itu Resi Tumbal Soka memberi isyarat. Dua belas
paderi-paderi utama dan puluhan murid partai klas wahid segera mengurung
kakek itu. Melihat ini Wiro Sableng berbisik ke telinga Pendekar Pedang
Akherat, "Lekas kau putuskan benang yang mengikat lenganku. Kau tak
bakal bisa menghadapi mereka sebanyak ini meskipun ilmumu selangit."
"Huss,
kau diam sajalah. Siapa pun takut menghadapi mereka. Benang sialan yang
mengikat tanganmu itu tak mungkin kulepaskan. Tak ada satu orang luar
pun yang sanggup melepaskannya kecuali Resi Tumbal Soka dan kakeknya!"
"Lalu apakah sampai kiamat aku akan terikat begini rupa?" tanya Wiro setengah mengeluh.
"Kubilang kau diam sajalah! Serahkan persoalan padaku. Lihat, orang-orang partai Lawu mulai menyerang kita!"
Saat
itu atas perintah yang diberikan Resi Tumbal Soka melalui isyarat,
beberapa paderi utama terutama dari kelompok yang mendukung sang ketua
telah bergerak menyerang Pendekar Pedang Akherat dari segala penjuru.
"Hai, kalian ini betul-betul hendak menyerangku?" teriak si kakek memberi peringatan yang terakhir.
"Bunuh keduanya!" yang berteriak adalah Resi Tumbal Soka ketua partai Lawu Megah.
Maka
datanglah sembilan serangan paderi laksana topan prahara. Menghadapi
serangan ini Pendekar Pedang Akherat tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia
lenyap dari kalangan pertempuran. Pihak yang menyerang jadi kaget.
Memandang ke atas ternyata kakek itu sudah mumbul bersama Wiro ke atas.
Sembilan angin pukulan dasyat mengebubu. Kembali si kakek tertawa dan
balas memukul ke bawah. Terdengar seperti gunung meledak sewaktu
sembilan pukulan patai Lawu Megah dan satu pukulan si kakek beradu di
udara pada ketinggian dua tombak. Wiro merasakan tubuhnya dan si kakek
terpental, sampai setengah tombak. Sebaliknya di bawah sana dilihatnya
sembilan paderi Lawu berkaparan di tanah jatuh duduk. Empat diantaranya
muntahkan darah segar.
"Kalian mencari penyakit," teriak Pendekar
Pedang Akherat. Diam-diam Wiro memuji kekuatan tenaga dalam kakek
penolongnya ini. Padahal dua tahun yang silam sepertiga dari tenaga
dalamnya pernah dipindahkannya ke tubuhnya yakni sewaktu Wiro selamatkan
kakek ini dari liang batu.
"Kakek sombong! Kau kira kau dan pemuda terkutuk itu bakal bisa lolos dari sini?"
terdengar
Resi Tumbal Soka berteriak. Dia tutup teriaknya ini dengan
menghantamkan lengan jubahnya ke atas. Memang lengan jubah ini bukan
saja merupakan senjata lihai bagi sang ketua, tetapi juga dipakai untuk
melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh yang disertai aliran tenaga
dalam tinggi sekali. Di atas udara, sambil putar tubuhnya, si kakek
balas menghantam. Kembali terdengar ledakan di pancak gunung Lawu itu.
Tubuh si kakek terdorong ke samping sedang di bawah Resi Tumbal Soka
kelihatan pucat wajahnya setelah tubuhnya lebih dulu bergoncang keras
akibat bentrokan tenaga dalam tadi. Memandang ke atas, lawan dan Wiro
Sableng sudah tidak kelihatan lagi. Segera ketua partai Lawu Megah ini
berteriak, "Tutup semua jalan ke luar!"
Para paderi danmurid-murid partai segera bergerak laksanakan perintah ini.
DENGAN
gerakan cepat laksana kilat dan hampir tak terlihat oleh tokoh-tokoh
silat di puncak gunung Lawu itu Pendekar Pedang Akherat berkelebat
mendukung Wiro Sableng. Keduanya mendekam di balik atap bangunan besar
di ujung lapangan.
"Tutup semua jalan dan geledah seluruh tempat!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka.
"Kakek,
kita tak bisa sembunyi lama-lama di sini," bisik Wiro Sableng pada si
kakek bermuka tengkorak. "Orang-orang itu pasti akan menyelidiki ke
mari. Sekali mereka melihat kita."
"Tamatlah riwayat kita," menyambung si kakek sambil menyeringai yang membuat wajahnya tambah buruk dan angker.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Wiro.
"Kau tenang sajalah, Wiro. Jangan terlalu kawatir. Rasa takut membuat akal manusia jadi pendek."
Setelah
meneliti keadaan di bawah sana, Pendekar Pedang Akherat bergerak ke
samping kiri atap, terus hingga dia sampai di halaman belakang yang
merupakan sebuah taman kecil. Di sini dilihatnya dua orang berjaga-jaga.
Seorang murid tingkat tinggi dan seorang lagi paderi utama. Sekali lagi
kakek bermuka angker itu meneliti sekelilingnya. Lalu melompat ke
bawah, tepat di atas bahu paderi utama yang tegak berjaga-jaga di bawah
cucuran air.
Buk!
Paderi itu serta-merta roboh begitu kedua
bahunya diinjak sepasang kaki Pendekar Pedang Akherat. Salah satu tulang
belikatnya patah. Dia hendak menjerit, tapi kaki kanan Wiro yang sedang
di panggul itu, telah lebih dulu menutup mulutnya hingga dia roboh
bergedebukan tanpa sempat menjerit.
Suara jatuhnya paderi ini membuat
murid Lawu yang berdiri kira-kira dua tombak dari sana memutar tubuh
dan berseru kaget. Namun seruannya pun tak keluar dari mulutnya karena
sekali Pendekar Pedang Akherat jentikkan jari-jari tangan kirinya maka
tubuhnya menjadi kaku tegang. Keadaannya lucu sekali. Berdiri dengan
satu tangan diangkat ke atas sedang mulut menganga!
Wiro Sableng hendak tertawa gelak-gelak melihat kejadian ini. Tapi untung lekas Pendekar Pedang Akherat menotok jalan suaranya.
"Pemuda geblek! Kau kira kita dalam keadaan senang-senangkah maka kau hendak tertawa bekakakan?!" desis kakek muka angker itu.
Dari
sebuah gang di antara dua hangunan pada samping kiri taman terdengar
suara banyak orang mendatangi. Secepat kilat Pendekar Pedang Akhirat
berkelebat dari tempat itu, memasuki sebuah gang lain yang mendaki. Gang
ini panjang sekali dan menuju ke sebuah bangunan berbentuk bundar.
Bangunan ini terpisah jauh dari bangunan-bangunan lainnya. Tanpa
ragu-ragu si kakek membawa Wiro masuk ke dalam bangunan itu.
Di
bagian dalam bangunan ini merupakan satu ruangan bulat yang keseluruhan
lantai, dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu pualam. Ruangan
ini diterangi oleh sebuah lampu kecil. Pada sudut yang agak kelam
kelihatan duduk seorang kakek berpakaian serba putih. Kedua matanya
terpejam. Tubuhnya kurus sekali. Wajahnya kelimis dan kelihatan masih
segar untuk usia yang telah mencapai 100 tahun. Mendapatkan orang tengah
bersamadi, Pendekar Pedang Akherat agak kecewa. Namun sebagai manusia
yang tahu peradatan, setelah menjura dia lantas duduk menunggu di sudut
lain yang gelap. Di luar didengarnya suara orang berlari kian kemari
diseling oleh suara teriakan aba-aba.
Hampir dua jam menunggu, kakek
kurus yang bersamadi masih saja duduk tak bergerak. Tiba-tiba terdengar
langkah-langkah kaki mendatangi tertangkap oleh telinga tajam Pendekar
Pedang Akhirat. Kakek ini berangsur ke sudut ruangan yang lebih gelap.
Kemudian di ambang pintu kelihatan muncul Resi Tumbal Soka. Karena habis
dari tempat terang sedang sudut-sudut ruangan itu gelap, maka dia hanya
dapat melihat kakek yang duduk bersamadi di belakang lampu. Resi Tumbal
Soka sesaat tampak ragu-ragu dan hendak berbalik. Namun dengan
memberanikan diri akhirnya dia membuka mulut.
"Kakang Resi Kumbara, mohon maafmu. Apakah kau mendengar seseorang menyelusup ke ruangan pengasinganmu ini?"
Setelah
ditegur berulang kali, barulah paderi yang tadi bersamadi buka sepasang
matanya. Ternyata dia adalah Resi Kumbara bekas ketua partai Lawu
Megah, kakak Resi Tumbal Soka yang kini berada dalam ruangan
pengasingan. Hari demi hari dilewatinya dengan bersamadi terus-menerus.
Diganggu seperti itu tentu saja dia merasa gusar.
"Tumbal Soka,
apakah kau tidak tahu aturan hingga mengganggu orang yang sedang
bersamadi di ruangan yang tak satu orang lain pun boleh mendekati
apalagi sampai masuk!" Kakek kurus itu menegur. Pandangan matanya tajam
sekali laksana sambaran ujung pedang yang runcing.
"Mohon maafmu
kakang. Adik dan saudara-saudara satu partai tengah menghadapi
kesukaran. Seorang pemuda yang telah merusak kehormatan anak murid
partai telah diculik dan dilarikan oleh tokoh silat Pendekar Pedang
Akhirat. Adik telah menyuruh tutup semua jalan ke luar danmenggeledah
seluruh tempat. Tapi kedua orang itu tidak kutemui. Satu-satunya tempat
yang belum diperiksa adalah di sini."
"Jadi kau mengira aku menyembunyikan orang-orang itu? Sungguh lancang mulutmu, adik!"
"Bukan,
adik tidak berprasangka demikian. Cuma siapa tahu selagi kakak
bersamadi dia menyusup dan bersembunyi di sini," kata Resi Tumbal Soka
pula.
"Sudahlah, jangan ganggu aku lebih lama. Aku akan meneruskan samadi. Jika kau niasih kurang puas silahkan periksa ruangan ini!"
Tanpa
mengacuhkan adiknya Resi Kumbara lantas pejamkan matanya kembali dan
lagi bersamadi. Meskipun telah disuruh melakukan pemeriksaan namun Resi
Tumbal Soka tak berani melaksanakannya. Dia berpikir-pikir talk mungkin
kakaknya tidak mengetahui kalau ada orang yang masuk, sekalipun tengah
tenggelam dalam alam samadi. Setelah merenung sejenak dia lantas
tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Resi Tumbal Soka pergi, dari
tempat gelap Pendekar Pedang Akhirat buka suara, "Terima kasih sobat,
kau telah melindungi kami berdua. Budimu tak akan kulupakan. Apakah kau
ikhlas menanam sedikit budi lagi pada kami?"
Terdengar helaan napas
panjang. Kakek yang tadi hendak bersamadi kembali buka kedua matanya.
Sebetulnya dia sudah tahu kalau ada dua orang masuk ke dalam ruangan
tersebut.
"Agaknya terlalu banyak manusia yang tidak tahu peradaban
di dunia ini. Masuk ke rumah orang tanpa izin sudah menyalahi aturan.
Apalagi masuk ke dalam ruangan seperti ini danmengganggu orang yang
bersamadi!"
"Harap dimaafkan sobatku Resi Kumbara. Semua terjadi karena terpaksa," sahut Pendekar Pedang Akhirat.
"Siapa berani berbuat harus berani tanggung jawab. Pendekar Pedang Akhirat Batar
yang terkenal kawakan menyembunyikan diri di ruangan pengasingan Partai Lawu
Megah setelah terlebih dulu melakukan pengacauan …. Sungguh lucu!"
"Maaf,
aku sama sekali tidak mengacau. Semula aku datang kemari untuk
menyambangimu. Tahu-tahu di sini terjadi satu hal yang luar biasa.
Seorang kawanku hendak digantung dengan cara biadab. Apa pun
kesalahannya mana mungkin aku lepas tangan."
"Kau tak berhak mencampuri urusan partai kami."
"Agaknya sobatku Resi Kumbara tidak tahu jelas persoalannya!"
"Aku sudah dengar semua apa yang terjadi di luar sana," kata Resi Kumbara pula.
Sungguh
luar biasa pendengaran dedengkot Partai Lawu Megah ini. Meskipun berada
di ruangan pengasingan yang bertembok tebal dan jauh dari lapangan
tempat penggantungan namun dalam samadinya dia sanggup mendengar segala
sesuatu yang berlangsung di luar sana!
"Syukurlah kalau kau telah mengetahui persoalannya dengan jelas."
"Apakah kau yakin kalau pemuda kawanmu itu betul-betul tidak berdosa?" Resi Kumbara bertanya.
"Aku tahu pribadinya. Namun memang sulit untuk menyatakan padamu kalau dia betul tidak bersalah."
"Kalau begitu kau telah turun tangan secara sembrono!"
"Mungkin.
Namun dengan menggantung secara biadab, orang-orang Partai Lawu berarti
melakukan kesembronoan yang lebih besar. Sekarang aku minta padamu agar
menunjukkan jalan keluar bagi kami berdua!"
Resi Kumbara tertawa perlahan dan elus janggutnya yang menjulai sampai ke dada.
"Pendekar
Pedang Akhirat. Kau telah berani mencampuri dan mengacau urusan orang.
Sekarang kau menemui jalan buntu dan minta tolong padaku. Apa kah tidak
malu…. ?"
Kata-kata Resi Kumbara itu cukup memukul kakek muka
tengkorak. Namun sambil tertawa ayem dia menjawab. "Dalam dunia biasa
satu sama lain saling bertolongan. Hari ini kau menolongku. Lain ketika
aku akan ganti menolongmu."
Resi Kumbara geleng-gelengkan kepalanya.
"Tak mungkin kau menolongku. Usiaku sudah lanjut. Mungkin aku sudah
lebih dulu menutup mata sebelum pertolonganmu datang."
"Turut pada
bicaramu, kiranya kau tidak lebih baik dari adikmu yang tampaknya telah
banyak sesat dalam memimpin partai. Jika kawan satu golongan minta
tolong, dan si penolong mengharapkan balas jasa, sungguh aku tidak
mengerti…."
Kini Resi Kumbaralah yang merasa terpukul.
"Sebetulnya
aku sudah sejak lama tidak mau mencampuri urusan di luaran. Tapi
memandang persahabatan dan nama besarmu coba kau katakan pertolongan apa
yang kau kehendaki. Mungkin aku bias mempertimbangkan."
"Setahuku di
puncak Lawu ini ada jalan rahasia menembus terowongan. Tunjukkan padaku
jalan itu dan aku tak bakal melupakan budi besarmu ini…."
Resi
Kumbara tertawa mendengar kata-kata Pendekar Pedang Akhirat itu.
"Rupanya nyalimu meleleh menghadapi orang-orang Partai? Jika kau takut
kenapa berani berlaku sembrono…. ?"
"Dalam kamus hidupku tak ada kata
takut, sobatku Resi Kumbara. Demi persahabatan dan memandang namamu
serta pimpinan partai lainnya, aku tak mau bentrokan dalam kekerasan.
Harap kau suka mempertimbangkan!"
Bekas ketua partai Lawu Megah itu merenung sejenak,
"Baiklah, akan kutunjukkan jalan rahasia itu padamu." kata Resi Kumbara pada akhirnya.
Pendekar Pedang Akhirat menjura. "Terima kasihi sobat. Sekarang satu lagi kuminta budi besarmu!"
"Eh, kau seperti lintah darat minta tanah. Diberi sejengkal minta sedepa…."
Si Pedang Akhirat menyengir. "Pertolongan kalau tanggung-tanggung sama saja tidak tidak menolong bagiku," katanya.
RESI Kumbara balas tersenyum, "Katakan apa maumu!"
Si kakek menunjuk pada sepasang lengan Wiro Sableng yang terikat dengan sehelai benang putih halus.
"Partai
Lawu terkenal dengan ilmu yang aneh-aneh. Aku mengaku tolol tak mampu
membuka atau memutus benang yang mengikat lengan sahabatku itu. Kau
tolonglah!"
Resi Kumbara lagi-lagi tersenyum. Memang benang sutera
halus Partai Lawu itu merupakan salah satu benda aneh dalam dunia
persilatan pada masa itu. Tak satu orang luar pun sanggup memutusnya.
Acuh
tak acuh paderi tua itu cabut selembar janggutnya yang panjang putih
lalu memberi isyarat agar si kakek membawa Wiro Sableng ke dekatnya.
Acuh tak acuh pula, seperti main-main Resi Kumbara selusupkan janggutnya
pada celah sempit antara lengan dan benang yang mengikat. Ketika
janggut itu kemudian ditarik maka putuslah benang aneh yang mengikat
kedua tangan Wiro. Mau tak mau si kakek jadi melongo menyaksikan hal
ini. Sebaliknya begitu ikatannya lepas. Wiro gerakkan tangannya untuk
garuk-garuk kepala.
"Hai, kau ucapkanlah terima kasih pada sahabatku ini!" kata si kakek sambil tepuk punggung Wiro.
Wiro yang tahu peradatan buru menjura dan berulang kali mengucapkan terima kasih pada Resi Kumbara.
"Sekarang dimanakah pintu terowongan rahasia itu, sobatku?"
"Tunggu
dulu," sahut Resi Kumbara. "Sebelum kalian pergi aku harus punya
jaminan. Tanpa jaminan kalian tak bisa kubiarkan pergi."
"Heh, jaminan bagaimana maksudmu Resi Kumbara?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Bagaimana kalau nanti sahabatmu yang gondrong itu ternyata benar-benar telah merusak kehormatan murid Partai Lawu?"
"Kalau
itu yang kau tanyakan, jika terbukti dia bersalah, aku sendiri yang
akan menghukumnya. Aku sendiri yang akan membawa kepalanya kemari dan
kuserahkan berikut kepalaku sendiri sebagai penebus keteledoranku."
Resi Kumbara menyeringai.
"Bagaimana mungkin kau menyerahkan kepalamu padaku karena itu berarti kau sudah konyol!" tukasnya.
"Jangan berpura-pura tolol sobatku! Aku akan bunuh diri di hadapanmu. Kau puas?"
Resi Kumbara menggeleng.
"Perjanjian
jaminan ini hanya kita bertiga yang membuat dan mengetahui, tak ada
saksi. Aku kawatir setelah aku mati duluan dalam usia tua, kalian tidak
akan menepati janji."
"Kami bukan manusia-manusia yang ingkar janji," Wiro bicara dengan nada kesal.
"Aku percaya, tapi tetap aku tak dapat menerimanya. Kalian harus meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang kalian anggap berharga."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan saling pandang dengan Pendekar Pedang Akhirat.
"Apakah aku harus meninggalkan kepalaku saat ini?" tiba-tiba kakek muka tengkorak itu bertanya.
"Tidak," sahut Reni Kumbara. "Saat ini kepalamu itu tidak ada harganya bagi aku dan partai…."
"Lantas apa maumu?" tanya Wiro penasaran.
"Sesuatu yang berharga dan pantas dijadikan jaminan," sahut sang paderi Partai Lawu.
Wiro
kembali garuk2 kepalanya yang gondrong. Tiba-tiba diambilnya Kapak Naga
Geni 212. Begitu senjata ini keluar dari balik pakaiannya maka sinarnya
yang menyilaukan menerangi ruangan yang redup gelap itu. Diam-diam Resi
Kumbara terkesiap juga. Belum pernah dia melihat senjata mustika yang
hebat begini rupa dan aneh pula bentuknya. Sebuah kapak bermata dua
bertuliskan angka 212.
"Ini kau ambillah kakek sebagai jaminan kami
berdua. Tapi ingat aku tak ingin senjata warisan guruku ini rusak atau
cacat, apalagi sampai hilang. Kalau itu sampai terjadi seluruh puncak
Lawu ini akan kuterabas sama rata dengan tanah!" Resi Kumbara tertawa
dingin.
"Sejak ratusan tahun lalu Partai Lawu Megah berdiri sampai
hari ini tak ada yang sanggup melakukan hall itu. Apalagi manusia
semacammu yang bukannya terima kasih setelah menerima budi orang justru
malah pergi dengan meninggalkan ancaman."
Tampang Pendekar 212 jadi mengelam merah tapi dari mulutnya yang menyeringai keluar suara siulan.
"Senjata
itu sama nilainya dengan nyawaku, Resi Kumbara. Kalau sampai hari ini
belum ada orang yang sanggup menggusur Partai Lawu Megah, jangan kira di
kemudian hari tak ada yang berani dan bisa melakukannya. Apalagi
terhadap sebuah partai yang kini nyata telah jauh sesat dalam
tindak-tanduknya. Dan kau sebagai dedengkotnya cuma bisa mengoceh,
bersamadi yang sama sekali tak ada gunanya bagi partai dan ketenteraman
dunia persilatan. Kau berlepas tangan dengan berkedok mengasingkan diri,
bersamadi dan sudah tak mau ikut campur urusan dunia luar! Jika tidak
ada pendekar tua kawanku ini pasti telah berlangsung penggantungan
biadab terhadap diriku. Dan kau mengetahuinya tapi diam saja. Aku bukan
bangsa manusia yang takut mati jika memang punya salah dan dosa. Aku
mungkin orang tolol, tapi aku bersama kawanku ini mempunyai firasat
bahwa dibalik kekalutan pimpinan di Lawu ini ada tangan-tangan kotor
yang hendak menjadikan aku kambing hitam yang pantas digorok lehernia!
Dengan cuma bersamadi sampai kiamat kau tak bakal dapat melempangkan
kembali orang-orangmu yang telah tersesat. Dan jangan kau takabur Resi
Kumbara, dalam keadaan seperti begini satu tangan jahil yang tak punya
kekuatan apa-apa bukan mustahil sanggup menggusur Partai Lawu. Bagaimana
kalau orangorangmu diadu domba? Apa bukan jadi berantakan nantinya?"
Wiro
Sableng bakal nyerocos terus kalau tidak diberi isyarat kedepan mata
oleh Pendekar Pedang Akhirat. Resi Kumbara sendiri saat itu merah padam
wajahnya yang putih kelimis. Dia hendak membuka mulut tapi si kakek
buru-buru mendahului.
"Sudahlah, tak ada gunanya kita berdebat saat
ini. Lain kali saja kita teruskan obrolan ini dalam suasana yang lebih
tenang sambil makan minum tentunya. Kau sudah menerima barang jaminan
yang amat berharga. Sekarang tunjukkanlah pintu terowongan rahasia itu."
Dengan
menindih rasa marahnya, Resi Kumbara lantas menekan salah satu ubin
ruangan itu. Tiba-tiba lantai ruangan sebelah kiri bergeser. Pada bekas
geseran ini kelihatanlah sebuah tangga batu yang menuju kebawah,
memasuki mulut terowongan yang gelap. Tercekat juga kedua orang itu
rnelihat terowongan yang gelap seram ini.
"Kalian tunggu apa lagi?!" texdengar suara Resi Kumbara.
Pendekar
Pedang Akhirat Batara angkat bahu dan melangkah menuju tangga menurun.
Wiro Sableng sesaat garuk-garuk kepala, memandang pada paderi yang duduk
di hadapannya, angkat bahu dan akhirnya melangkah pula mengikuti kakek
muka angker. Di dalam terowongan yang gelap itu tangan di depan matapun
tak kelihatan. Wiro dan si kakek yang melangkah sebelah depan berjalan
dengan mengandalkan perasaan dan pendengaran mereka yang tajam. Meskipun
demikian tak jarang mereka terbentur pada dinding terowongan pada
tempat dimana terowongan itu membelok.
Yang menjengkelkan Wiro Sableng inilah karena sepanjang perjalanan melewati terowongan itu si kakek selalu mengajaknya bicara.
"Omong-omong gadis anak murid Partai Lawu Megah yang bernarna Sularwasih itu cantik juga heh..?" Batara berkata.
"Memangnya kenapa kau berkata begitu?" bertanya Wiro Sableng.
"Aku
berpikir-pikir, apakah betul kau tidak memperkosa gadis itu. Soalnya
aku yang sudah tua ini bisa blingsatan juga melihatnya."
"Kakek tidak percaya padaku?"
"Oh tentu. Tentu aku percaya padamu. Tapi banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan atas dirimu."
Wiro memaki dalam hati.
"Tapi aku sudah bilang, kalau saja anuku ini bisa bicara!"
"Soal anumu itu tak usah diulangi lagi. Sampai kiamatpun tak ada anu yang bisa bicara."
"Lalu, seandainya kakek merasa ragu, kenapa menolongku?"
"Dengan satu syarat sobat mudaku . . . ."
"Syarat apa?" tanya Wiro penasaran.
"Jika
nanti terbukti kau memang bersalah, aku sendiri yang akan membawa
kepalarnu kepada ketua partai Lawu Megah" sahut Pendekar Pedang Akhirat.
Dalam hatinya Pendekar 212 Wiro Sableng kembali memaki.
SETELAH kurang lebih dua jam menempuh terowongan gelap itu di sebelah depan tiba-tiba terdengar suara Pendekar Pedang Akhirat mengeluh.
"Ada
apakah …?" tanya Wiro dari belakang seraya bersiap-siap. Melihat sikap
Resi Kumbara tadi diam-diam pendekar ini merasa curiga. Bukan mustahil
terowongan itu memiliki alat rahasia yang bakal mencelakakan dirinya dan
si kakek.
"Terowongan ini buntu!" seru Batara.
"Hah?!" Wiro terkejut. Dia meraba ke depan.
Terasa olehnya dinding batu yang keras. "Bekas ketua partai itu menipu kita! Sialan betul!"
Sesaat kedua orang itu sama-sama terdiam.
"Apa yang harus kita lakukan? Kembali ke tempat semula?"
"Kakiku letih. Sebaiknya kita duduk saja dulu melepaskan lelah sambil omongomong", jawab si kakek.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala dan jadi menggerendeng. Bagaimana si kakek
enak-enak saja bicara seperti itu dan bukannya mencari jalan keluar dari
terowongan? Namun karena tak tahu mau berbuat apa, akhirnya pemuda ini
duduk menjelepok di lantai terowongan, bersandar ke dinding yang lembab.
Dalam gelap itu Wiro merenung kejadian yang baru saja dialaminya di
puncak gunung Lawu. Kemudian dia bertanya. "Kakek…. Tadi kau mengatakan
banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan atas diriku. Misalnya apa …. ?"
"Kau ketahuan mengedipkan mata sewaktu bertemu dengan Sularwasih itu di penginapan. …" Wiro Sableng tertawa.
"Kurasa
kau pernah muda sepertiku ini, kakek. Orang muda biasa suka iseng. Kau
sendiri tadi mengatakan sudah tua bangka begini masih blingsatan melihat
gadis cantik itu. Soal iseng dan mengedipkan mata apakah bisa dinilai
sebagai memperkosa….?
Justru orang yang memperkosa sering mendapat kehormatan dipungut mantu!" Si kakek tertawa gelak-gelak.
"Baiklah kalau kau bilang begitu, sobat mudaku. Lantas kancing bajumu yang ditemui dalam kamar si Warsih itu … ?"
"Akupun
heran dan bertanya-tanya bagaimana kancing baju keparat itu bisa ada
dan ditemui disitu. Padahal aku ingat betul kancing itu putus sewaktu
aku menabrak keranjang sayur seorang perempuan yang kebetulan keluar
dari penginapan. Aku tak berusaha menemukan kembali kancing baju itu.
Ini agaknya menjadi kesalahan yang kini kusesalkan…."
"Sulit bagimu untuk membuktikan hal itu, bukan? Saksi-saksi hidup dan bukti kuat berada di pihak Warsih!"
"Kelihatannya
begitu. Apalagi jika mengikuti jaIan pikiran yang berat sebelah. Namun
kalau dari sudut pemandanganku yang kau anggaplah geblek, akupun menaruh
kecurigaan pada seseorang…."
"Siapa?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Aku tak dapat mengatakannya karena belum ada bukti-bukti."
"Kau hendak mencari kambing hitam …?"
"Kalau kambing putih ada, buat apa cari kambing hitam?" ujar Wiro pula.
Si kakek tertawa bergelak. "Asalkan jangan aku saja yang kau curigai…."
"Bisa saja. Karena kenapa kau tahu-tahu muncul dipuncak gunung Lawu…." tukas Wiro.
Si
kakek memaki panjang pendek dan kini Wiro yang ganti tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba murid Eyang Sinto Gendeng ini hentikan tawanya
dan menggamit bahu Pendekar Pedang Akhirat.
"Aku mendengar sesuatu…."
Kedua
orang itu berdiam diri dan sama-sama pasang telinga. Suara tadi
terdengar lagi sayup-sayup lalu hilang. "Suara kaki-kaki kuda." desis si
kakek.
"Juga ada suara orang berlari," menyahuti Wiro. Mereka menunggu. Namun suarasuara itu tidak terdengar lagi.
Si
kakek berdiri dari duduknya. Dia merapatkan tubuhnya. pada dinding yang
menutup terowongan. Ketika telinganya ditempelkan ke dinding batu itu,
rapat-rapat dia kembali dapat mendengar suara derap kaki kuda, lalu
lenyap sama sekali. Setelah meraba sana sini, Batara kerahkan seluruh
tenaganya dan coba mendorong dinding batu itu. Terasa dinding ini
bergerak sedikit demi sedikit.
"Wiro! Bantu aku mendorong dinding buntu ini! Aku yakin kita sudah sampai di mulut pintu keluar terowongan!"
Mendengar
ucapan itu Wiro segera berdiri dan bantu Pendekar Pedang Akhirat
mendorong dinding. Oleh tenaga dorongan yang luar biasa dari dua manusia
berkepandaian tinggi ini, dinding dihadapan mereka bergeser. Tiba-tiba
terdengar suara keras. binding yang didorong roboh. Cahaya terang masuk
menyilaukan mata kedua orang itu. Tetumbuhan liar banyak menutupi mulut
terowongan. Keduanya keluar sambil menyibakkan tanam-tanaman itu.
Berdiri diluar mereka dapatkan saat itu berada di kaki sebelah timur
gunung Lawu.
"Sialan! Akhirnya kita keluar juga dari terowongan
celaka itu. Aku tadi sudah berprasangka buruk terhadap ResiKumbara kata
Wiro pula sambil yaruk-garuk kepala. Keduanya mendorong dinding batu
berat itu untuk menutupi terowongan rahasia. Terlindung oleh
tanaman-tanaman liar, orang yang tidak tahu sulit untuk membedakan batu
penutup terowongan itu dengan batu-batu besar yang berbentuk sama dan
banyak terdapat di kaki gunung Lawu itu.
"Nah sekarang bagaimana kakek? Aku masih memikul urusan berat dan hendak berangkat ke selatan.
"Aku
sendiri akan menuju ke barat. Tapi satu bulan dimuka aku akan tunggu
kau disini. Kurasa saat itu aku sudah dapat mengetahui apakah kau
bersalah atau tidak …"
Wiro Sableng menyeringai, dan menjawab,
"Mudah-mudahan kau datang tepat pada waktunya sebelum aku menerabas
puncak Lawu ini. Selamat jalan dan terima kasih kau telah memperpanjang
umurku sampai satu bulan dimuka."
Setelah masing-masing menjura dan
bergerak hendak pergi, satu keselatan lainnya ke barat, tiba-tiba
terdengar seruan lantang dari samping gunung sebelah kiri.
"Jangan harap kalian bisa pergi dari sini dengan masih membawa nyawa."
Wiro
dan si kakek muka tengkorak sama-sama kaget. Memandang ke atas mereka
lihat belasan orang berlompatan turun dari lamping-lamping batu gunung
ke tempat mereka. Orang-orang ini bukan lain adalah paderi-paderi Lawu.
Diantaranya Tandu Wiryo, yang sebelumnya telah memberikan kesaksian
sewaktu Wiro hendak di gantung.
"Digantung tidak maul Dicincang
rupanya lebih pantas," terdengar hardikan dari sebelah kiri. Memandang
ke jurusan ini dua pendekar yang barusan keluar dari terowongan melihat
lima penunggang kuda. Empat orang paderi danseorang gadis berpakaian
biru yang bukan lain adalah Sularwarsih.
Dikurung demikian Wiro
Sableng jadi melongo dan garuk-garuk kepala gondrongnya sedang Pendekar
Pedang Akhirat goleng-goleng kepala. Sekali memandang berkeliling dia
sudah dapat menghitung jumlah pengurungnya. Seluruhnya 21 orang!
"Kalian mau apa . . . ?!" Si kakek bertanya.
Tandu Wiryo mendengus.
"Orang datang minta nyawa masih berlagak tolol!" sentaknya.
"Minta
nyawa….? Sungguh kaulah yang tolol orang muda. Mana ada didunia ini
orang yang suka menyedekahkan nyawanya!" Habis berkata demikian si kakek
lalu tertawa gelak-gelak. "Kalian semua cari penyakit. Lebih baik
kembali ke puncak Gunung Lawu. Aku sudah berjanji pada Resi Kumbara.
Jika pemuda sobatku ini nanti terbukti betul-betul bersalah, aku sendiri
yang akan mengantarkan kepalanya pada kalian!"
"Kami tidak butuh kepalanya! Kami ingin nyawanya saat ini juga!" teriak Sularwarsih.
"Beranikah kau satu lawan satu dengan dia….?" tanya Pendekar Pedang Akhirat dengan nada dan mimik mengejek.
"Manusia laknat seperti dia tak perlu dilayani satu persatu . . . !"
"Tapi
sekurang-kurangnya kau pernah melayaninya satu persatu, bukan Warsih?
Itu jika betul-betul dia yang merusak kehormatanmu heh….?"
Merahlah paras Sularwasih. Dia menjerit keras dan cabut pedangnya, melompat turun dari kuda seraya berteriak.
"Bunuh manusia-manusia haram jadah ini!"
Gerakan
Warsih gesit dan cepat sekali. Pedangnya bersiuran menyambar ganas ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika murid Eyang Sinto Gendeng ini tak
lekas melompat ke belakang niscaya lehernya sudah kena dibabat putus.
Baru saja Wiro imbangi diri dari lompatan mengelak disamping kiri
dilihatnya empat paderi yang menemani Warsih telah turun dari kuda
masing-masing sedang dari kanan, Tandu Wiryo bersama saudara-saudara
seperguruan dan paderi-paderi lainnya telah menyerbu turut pula.
"Kalian
cari penyakit! Betul-betul cari penyakit!" seru Pendekar Pedang Akhirat
seraya berpaling acuh tak acuh pada Wiro dan bertanya pada pendekar
ini.
"Bagaimana pendapatmu, sobatku?!"
"Apa boleh buat!" sahut Wiro Sableng sambil angkat bahu. "Penyakit harus diobati. Kalau tidak bisa berabe!"
DARI
dua puluh satu orang partai Lawu Megah yang menyerbu itu yang
menggempur Pendekar 212 Wiro Sableng adalah empat paderi utama, dua
paderi biasa, lima murid kelas satu dan Sularwasih serta pemuda bernama
Tandu Wiryo. Sisanya sebanyak delapan orang yakni empat paderi biasa
danempat murid kelas satu mengurung dan menyerang Pendekar Pedang
Akhirat.
Semua penyerang dari Lawu ini pergunakan pedang sedang dua
yang jadi bulanan serangan-serangan sampai satu jurus bergebrak masih
andalkan tangan kosong. Meskipun sering memperlihatkan sikap seperti
orang tolol danmemiliki jalan pikiran macam orang sinting namun kadang
kadang Wiro Sableng tak jarang memiliki otak yang jernih dancerdik. Dia
merasa heran melihat orang-orang Partai Lawu lebih banyak menyerangnya
dan terdiri dari mereka yang berkepandaian tinggi. Semakin besarlah
kecurigaannya bahwa betul-betul ada yang tak beres dengan orang-orang
itu. Pendekar Pedang Akhirat sendiripun terheran-heran kenapa yang
menyerangnya cuma paderi-paderi biasa dan murid klas satu. Dan cara
mereka menyerang jelas hanya mengurung demikian rupa hingga dia terpisah
jauh dari Wiro Sableng.
Empat paderi utama dan dua paderi biasa
serta empat murid partai klas satu dipimpin oleh Sularwasih dan Tandu
Wiryo melancarkan serangan laksana air bah yang betul-betul ganas hingga
akan celakalah Pendekar 212 dalam waktu singkat apabila dia masih
mengandalkan tangan kosong.
Wiro sendiri merasa agak menyesal telah
menyerahkan Kapak Naga Geni 212 pada Resi Kumbara hingga saat itu dia
menghadapi bahaya maut tanpa senjata sama sekali. Dengan mainkan ilmu
silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila di pulau Andalas
dulu, pendekar ini bergerak gesit kian kemari. Gerakan-gerakannya
merupakan sesuatu yang aneh bagi lawan hingga untuk sementar Wiro bisa
selamat dari serangan serangan maut lawannya. Dalam pada itu sesekali
dia mainkan pula jurus-jurus silat "tameng sakti menerpa hujan", "kincir
padi memutar", "kipas sakti terbuka"
dansebagainya yang merupakan
jurus-jurus pertahanan ampuh. Disamping itu Wiro pun lepaskan pula
pukulan-pukulan sakti "benteng topan melanda samudera", "orang gila
mengebut lalat" dan sebagainya yang membuat para penyerang berseru kaget
dan terpaksa mundur, tetapi kemudian menyerang lagi dengan ganas.
"Warsih!" teriak Wiro Sableng. "Jika kau dan yang lain-lainnya ini tidak hentikan pertempuran jangan menyesal . . ."
"Kaulah
yang menyesal bakal jadi setan kuburan!" teriak sang dara dan
mendahului kawan-kawannya menyerang Wiro Sableng. Pedangnya bersiur
membabat ke leher pendekar itu. Dua belas orang lainnya serentak
menyerbu pula.
Wiro memaki panjang pendek dan lepaskan pukulan. "Segulung ombak menerpa karang." Terdengar suara menderu.
"Lekas
menyingkir!" teriak salah seorang paderi utama yang telah banyak
pengalaman dan terkejut melihat hebatnya pukulan sakti ini.
Dua orang
murid partai tidak keburu menghindar. Tubuhnya mencelat dihantam angin
pukulan, jatuh ke tanah muntah darah tak berkutik lagi alias mati! Empat
paderi, melompat ke udara dan dari atas kebutkan lengan jubah
masing-masing. Empat gelombang angin deras menggebu menangkis dan
menghantam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro Sableng. Terdengar suara
berdentum.
Empat paderi kelihatan pucat wajah masing-masing dan turun
ketanah dengan tubuh gemetaran. Mereka menyadari bahwa bentrokan
pukulan sakti yang mengandung hawa tenaga dalam dahsyat itu telah
membuat tubuh mereka di sebelah dalam menjadi tidak beres untuk beberapa
ketika. Tandu Wiryo dan Warsih masih untung karena mereka keburu
menghindar dengan gerakan gesit.
Wiro sendiri yang terkena sapuan
empat angin deras yang menggebu dari lengan jubah paderi-paderi utama
gunung Lawu itu tampak agak terhuyung-huyung. Dadanya berdenyut-denyut
seperti ditekan batu berat. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, dari
belakang tiba-tiba terdengar suara menderu dingin.
Seseorang telah
menyerangnya dari belakang secara licik. Hal ini diketahui betul oleh
Wiro. Seperti kilat dia jatuhkan diri ke depan seraya tundukkan kepala.
Gerakannya yang sepontan ini menyelamatkan kepalanya dari sambaran
pedang maut Tandu Wiryo yang datang dari belakang Namun demikian bahu
kirinya masih sempat kena bacok. Wiro mengeluh kesakitan. Dirasakannya
perih yang amat sangat lalu cairan panas meleleh deras keluar dari
bacokan itu. Darah!
"Bunuh! Habisi dia!" teriak Sularwasih yang laksana jadi kesetanan melihat darah membasahi pakaian dantubuh Wiro.
Sebaliknya
rasa sakit akibat luka besar pada bahu kirinya itu membuat Pendekar 212
Wiro Sableng menjadi kalap. Seumur hidup barulah saat itu dia mendapat
luka yang demikian parah dan akibat serangan pengecut pula. Marahnya
bukan alang kepalang. Teriakan menggeledek keluar dari mulutnya. Dia
putar tubuh menghadapi Tandu Wiryo. Tangan kanannya bergetar oleh aliran
tenaga dalam yang disalurkan secara menyeluruh. Sesaat kemudian tangan
itu sampai sebatas siku kelihatan berubah menjadi putih perak.
"Awas! Dia hendak lepaskan pukulan sakti yang dasyat!" teriak salah seorang paderi gunung Lawu dengan suara gemetar bergidik.
Dari
samping Warsih kirimkan satu tusukan nekad ke tubuh Wiro Sableng dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Tandu Wiryo untuk berpindah tempat
Semula meskipun diserang dengan pedang begitu rupa Wiro sudah bertekad
untuk terus lepaskan pukulan sinar matahari ke arah Tandu Wiryo. Namun
karena si pemuda sudah berpindah tempat maka Sularwasihlah yang kini
jadi sasarannya.
Saat itu tusukan ujung pedang sudah dekat sekali
hingga akan kasiplah jika Wiro terus kalap untuk lancarkan pukulan
"sinar matahari". Menyadari hal ini maka Wiro melangkah mundur dan
pergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram lengan Sularwasih. Si
gadis terdengar menjerit kesakitan, melompat jauh sambil kibas-kibaskan
tangannya yang kelihatan merah gembung melepuh akibat hawa panas tenaga
dalam pukulan "sinar matahari" pada tangan Wiro. Pedangnya telah
berpindah tangan, kena di rampas oleh Pendekar 212. Dengan pedang ini
Wiro Sableng kemudian mengamuk hebat. Dua murid partai roboh mandi
darah. Empat paderi datang menyongsong sambil berteriak marah.
"Paderi-paderi
tua tidak tahu diri! Seharusnya kalian memberi petunjuk pada orangorang
muda partaimu! Sekarang malah kalian sendiri yang ikut melibatkan diri!
Mampuslah!"
Karena paderi-paderi itu masih beberapa langkah di
depannya, Wiro tidak menggunakan pedang rampasannya untuk menyerang
tetapi alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Ketika tangan itu serta
merta menjadi putih perak pendekar ini menghantamkannya ke depan. Maka
laksana topan prahara menderulah sinar putih menyilaukan mata dan panas
luar biasa.
Terdengar jerit kematian empat paderi utama partai Lawu
Megah itu tatkala tubuh mereka kena disapu pukulan "Sinar matahari".
Mayat mereka terlempar sampai sepuluh tombak, jatuh bergedebukan dalam
keadaan hangus mengerikan!
Wiro sendiri sehabis melepaskan pukulan
"Sinar matahari" tersebut tiba-tiba mengeluh tinggi. Kedua lututnya
goyah, pemandangannya mendadak gelap berkunangkunang. Akhirnya pendekar
dari gunung Gede ini roboh tak sadarkan diri.
Sewaktu siuman dari
pingsannya Wiro Sableng rasakan kepalanya pusing dan berat sedang
tubuhnya panas dingin. Bahunya mendenyut sakit. Perlahan-lahan dibukanya
kedua matanya. Mula-mula segala sesuatunya tampak hitam dan gelap.
Sesaat demi sesaat pemandangannya menjadi pulih. Kini diketahuinya bahwa
dirinya terbaring di atas kasur jerami dalam sebuah ruangan terbuka
dari satu bangunan tua. Sebuah lilin terletak disudut ruangan. Tak
seorangpun dilihatnya disitu. Dia berpikir, ingat pada apa yang telah
terjadi sebelumnya dan bertanya-tanya dimana gerangan Pendekar Pedang
Akhirat.
Tenggorokannya terasa sekat dan kering. Wiro batuk-batuk beberapa kali. Mendadak diluar kamar didengarnya suara orang berseru.
"Hai, kau sudah siuman!"
Wiro
tersirap. Suara itu bukan suara si kakek melainkan suara perempuan.
Rasa kawatir menggerayangi dirinya karena dia tak dapat memastikan
apakah itu suara Sularwasih murid Partai Lawu Megah yang berniat
membunuhnya itu atau bukan. Menyusul terdengar langkah-langkah kaki
mendatangi. Wiro semakin tegang. Pada puncak ketegangannya pintu ruangan
terblika mengeluarkan suara berkereketan karena engsel-engselnya sudah
karatan. Satu tangan halus tampak mendorong pintu itu. Kemudian
kelihatan sosok tubuh seorang perempuan berpakaian biru. Persis warna
pakaian yang sebelumnya dilihat Wiro dikenakan oleh Warsih!
"Celaka!" keluh murid Sinto Gendeng dalam hati. "Pasti aku dibunuhnya saat ini juga…!"
WIRO
yang saat itu tak kuasa bergerak karena demam panas dan lemah menyerang
dan membuatnya seperti lumpuh, hanya bisa pejamkan mata menunggu
kematian. Tetapi maut yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
Didengarnya suara orang berdiri dan berlutut disampingnya. Lalu tangan
halus sejuk meraba keningnya. Kemudian suara perempuan berkata,
"Heh,tadi kau sudah siuman, kenapa sekarang diam kembali?"
Perlahan-lahan
Wiro Sableng buka sepasang matanya. Dibawah nyala api lilin yang tidak
seberapa terang pendekar ini lihat seorang gadis berpakaian biru
bersimpuh disebelahnya. Semula disangkanya Sularwasih ketika dilihat
wajahnya ternyata bukan. Gadis ini berwajah bujur telur, berkulit
kuning. Rambutnya yang hitam digelung diatas kepala ditancapi tusuk
konde dari gading bergambar burung. Gerak-geriknya sama sekali tidak
kaku seolah-olah dia dan Wiro sudah akrab betul.
"Saudari!" tegur Wiro Sableng agak tersendat, "kau ini siapakah? Aku berada di mana saat ini….?"
"Ah….
rupanya kau betul-betul telah siuman. Cuma kau masih terserang demam.
Namaku Wilarani. Saat ini kau berada di sebuah Candi tua yang tak
terpakai lagi dan menjadi tempat kediaman aku beserta ayahku."
"Ayahmu?"
Wiro kerenyitkan kening. Apa mungkin gadis ini puteri Pendekar Pedang
Akhirat? Mustahil. "Siapa nama ayahmu?" tanya Wiro kemudian.
"Panda Wisuna."
"Kau…. kau…." Wiro tak dapat teruskan kata-katanya. Tenggorokannya kesat dan kering. "Air…" desisnya.
Wilarani ambil sebuah gelas. Isinya diminumkan pada Wiro.
"Racun apa ini?!" tukas Wiro Sableng begitu dirasakannya air yang diteguknya pahit seperti empedu.
Wilarani tertawa geli.
"Ini bukan. racun pendekar. Tapi obat! Agar kau lekas sembuh."
"Kau… kau seorang tabib?" tanya Wiro.
Sang dara baju biru gelengkan kepala. "Tapi aku memang banyak mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan…."
"Baiklah,
biar kuminum obat itu " kata Wiro pula. "Sekalipun racun aku tak
menyesal mati di hadapanmu." Lalu pendekar ini teguk cairan dalam gelas
sampai habis.
"Tahu berapa lama kau pingsan, pendekar?"
"Tak usah sebut aku pendekar. Namaku Wiro. Berapa lama aku pingsan?"
"Dua hari dua malam!"
Wiro kaget karena tidak menyangka sampai sedemikian lama dia jatuh pingsan.,
"Bagaimana aku sampai kemari? Apa hubunganmu dengan Pendekar Pedang Akhirat?"
"Pendekar
tua itu yang membawamu kesini. Tadinya untuk minta pertolongan ayah
agar kau diobati. Tapi ayah sedang ke Weleri. Aku berusaha sebisaku…"
"Terimakasih. Kau baik sekali. Aku berhutang besar padamu." kata Wiro pula. Wilarani tertawa.
"Dimana Pendekar Pedang Akhirat sekarang?"
"Dia
pergi dua hari yang lalu tanpa memberi tahu kemana. Cuma dia pesankan
agar aku merawatmu baik-baik. Menurut orang tua itu kau pingsan akibat
kehabisan darah dankarena mempergunakan seluruh tenaga dalam untuk
melepaskan pukulan sakti. Menurut apa yang aku tahu jarang orang bisa
selamat dari kematian jika mengalami hal sepertimu ini."
Wiro Sableng menghela nafas panjang.
"Kapan aku akan sembuh danbisa meninggalkan tempat ini?"
"Tak
dapat kupastikan. Mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Luka dibahumu
parah sekali dan harus kering betul baru bisa dikatakan sehat. Disamping
itu sebaiknya kau tunggu sampai ayah datang agar dapat memeriksa
tubuhmu bagian dalam."
"Mungkin aku tak dapat menunggu sekian lama," ujar Wiro pula.
"Kenapa?" tanya Wilarani.
"Ada urusan besar yang harus kulakukan "
"Urusan apa, kalau aku boleh tanya."
"Pendekar Pedang Akhirat tidak mengatakan kenapa aku sampai mendapat celaka begini rupa…"
"Tidak," sahut Wilarani. "Justru aku ingin mendengarkan kisahnya dari kau sendiri…."
Pada
dasarnya Wiro Sableng tidak suka membeberkan persoalan. dirinya pada
orang lain, apalagi gadis itu baru dikenalnya. Namun setelah
berpikir-pikir dan ingat kalau bukan Wilarani yang menolong mungkin dia
sudah mati saat itu atau paling tidak tengah meregang ajal, maka
akhirnya Wiro tuturkan juga nasib celaka yang menimpa dirinya.
Selesai Wiro menuturkan riwayatnya, kedua orang itu kemudian saling berdiam diri beberapa lamanya.
"Jika kau sudah sembuh, apa yang bakal kau lakukan?" bertanya Wilarani kemudian.
"Banyak
dan berat sekali!" sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. "Pertama aku harus
membersihkan diriku dari tuduhan keji itu. Ini berarti aku harus bias
menemukan siapa sebenarnya pemerkosa nona Warsih. Kemudian aku harus
membawa orang itu hidup-hidup kapuncak gunung Lawu untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Jika senjata warisan guruku sudah dikembalikan
danaku dapat turun dari puncak Lawu dengan aman barulah berarti selesai
urusan. Yang sulit ialah orang-orang gunung Lawu pasti akan menyerbuku
begitu aku muncul disana. Gila betul! Kenapa aku jadi ketiban nasib sial
begini!"
"Kurasa itu adalah tantangan yang harus dihadapi oleh
setiap pendekar petualang macammu. Ketidak tabahan justru itulah yang
membuat seseorang celaka sebelum bahayanya sendiri datang menimpa."
Pendekar
212 Wiro Sableng merasa kena disentil oloh kata gadis itu. Diam-diam
dia jadi malu pada diri sendiri. Si gadis rupanya tahu bagaimana
perasaan Wiro seat itu, maka die buru-buru menghibur. "Memang begitulah
keadaannya dunia. Yang kita harapkan tidak terjadi, yang amit-amit minta
dijauhkan justru nyelonong menyusahkan!"
"Berapa jauh Magelang dari sini!?" Wiro bertanya.
"Kira-kira dua hari perjalanan dengan kuda." jawab Wilarani.
"Kenapa?" si gadis kemudian bertanya.
"Besok aku akan berangkat ke sana guna memulai penyelidikan."
"Besok? Sekarang saja kau masih diserang demam. Lukamu masih basah. Apa mau mencari mati hendak pergi besok?"
"Kalau
dipikir-pikir sebenarnya aku ini sudah mati. Yaitu kalau tidak ditolong
oleh Pendekar Pedang Akhirat dankau sendiri." Wilarani tersenyum kecil.
"Hidup
penuh, hal hal yang tak terduga bahkan kadang-kadang aneh…" kata gadis
itu pula lalu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menatap wajah
Pendekar 212 Wiro Sableng dia berkata, "Aku sendiri sebenarnya adalah
anak murid partai Lawu Megah."
Wiro Sableng kaget bukan olah-olah.
Kata-kata gadis itu laksana petir menyambar sampai ketelinganya. Kalau
saja dia tidak sakit parah saat itu niscaya dia sudah melompat saking
terkejutnya.
"Kalau begitu,kalau begitu bukan mustahil kau memang
hendak membunuhku disini. Secara perlahan-lahan!" ujar Wiro pula dengan
sepasang mata melotot pandangi Wilarani.
Wilarani tertawa panjang.
"Kalau aku punya niat membunuhmu, tentu sudah sejak tadi-tadi kulakukan!"
"Lantas
kenapa tidak kau lakukan?" tanya Wiro. "Tidakkah kau mengandung dendam
padaku setelah mendengar aku membunuh empat orang paderi utama gunung
Lawu, lalu murid-murid partai yang menjadi saudara seperguruanmu…. ?"
"Aku
cuma menyesalkan dan menyayangkan kejadian itu. Kehendak Tuhan rupanya
harus terjadi demikian. Dan pemuda-pemuda gunung Lawu dalam hal ini juga
memiliki kesalahan."
"Aku betul-betul tak mengerti kalau begini",
ujar Wiro. "Tadi kau bilang anak tabib Panda Wisuna. Sekarang kau
katakan murid partai gunung Lawu. Bagaimana ini?!" Kembali Wilarani
tertawa.
"Saudari, jika kau betul murid partai Lawu Megah iebih baik
bunuh saja aku saat ini juga. Jangan aku dipermainkan. Maut didepan mata
tapi diulVr-ulur agar aku tersiksa!"
"Aku sudah bilang, kalau ingin
membunuhmu dapat kulakukan tadi-tadi dan semudah membalikkan telapak
tangan saja. Tapi apa perlunya ?"
"Heh!" Wiro kerenyitkan kening. "Terangkan alasanmu."
ATAS
desakan Wiro Sableng yang mau tak mau merasa was-was juga setelah
mengetahui kalau Wilarani adalah anak murid partai Lawu Megah, maka
akhirnya gadis itu memberikan keterangan.
Wilarani menjadi murid
partai Lawu Megah sejak masih berusia delapan tahun. Suatu hari Resi
Kumbara turun gunung. Waktu itu tengah berjangkit penyakit menular yang
amat jahat. Siapa yang sampai kejangkitan pasti akan menemukan kematian
dalam waktu dua hari. Resi Kumbara merupakan salah seorang yang kena
terserang. Pada saat-sat kritis Panda Wisuna (ayah Wilarani)
menjumpai ketua partai itu, menggeletak tak sadarkan diri di tepi sebuah
anak sungai. Segera dibawanya ketempat kediamannya di bekas candi tua
itu dan diobati sampai sembuh.
Sebagai balas budi Resi Kumbara
kemudlan mengambil Wilarani jadi muridnya, dibawa ke puncak gunung Lawu.
Karena sang paderi sendiri yang memberikan pelajaran silat pada anak
itu maka 10 tahun kemudian jadilah Wilarani seorang gadis berkepandaian
amat tinggi. Jika dibandingkan dengan murid-murid gunung Lawu Megah klas
satu, kepandaiannya jauh lebih tinggi. Sularwasih dan Tandu Wiryo
sendiripun jauh tertinggal. Ada yang mempercayai bahwa dalam ilmu silat
nona ini kepandaiannya hampir mendekati Resi Kumbara sendiri. Cuma
tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya saja yang masih agak rendah.
Tetapi bila dia rajin melatih diri niscaya tidak sembarang orang mampu
menghadapinya.
Beberapa tahun lewat akibat pengunduran diri Resi
Kumbara sebagai ketua partai maka terjadi banyak perobahan dalam tubuh
partai. Hal ini diketahui oleh ayah Wilarani. Maka dia naik ke puncak
gunung Lawu, bicara dengan puterinya itu, meminta agar dia meninggalkan
partai Lawu Megah selagi belum terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Dilain
pihak Wilarani sendiri sejak Resi Kumbara yang sudah dianggapnya
seperti ayah sendiri itu mengundurkan diri, merasa dipencilkan oleh
orang-orang disekitarnya. Kalau dulu selagi Resi Kumbara menjabat ketua
partai semua orang menghormati dan menyayanginya. Tetapi sejak paderi
itu melepaskan jabatannya, banyak paderi-paderi dan saudara-saudara
seperguruannya yang jelas-jelas memperlihatkan sikap mengejek serta
membencinya. Sering dia dihadapkan pada muka-muka asam, mendengar
kata-kata menyindir danmenghina hingga lambat laun gadis itu merasa tak
betah lagi diam di puncak gunung Lawu.
Dengan datangnya sang ayah
memintanya pergi meninggalkan gunung Lawu maka ini adalah satu hal yang
paling baik bagi Wilarani. Berdua ayahnya dia menemui Resi Kumbara untuk
minta diri. Sebenarnya berat bagi paderi tua itu untuk melepas murid
kesayangannya itu. Namun diam-diam dia sudah mengetahui apa yang dialami
Wilarani sejak dia mengundurkan diri sebagai Ketua. Yang membuat Resi
Kumbara kagum danterharu ialah bahwa sampai saat Wilarani meninggalkan
gunung Lawu gadis ini tak pernah satu kalipun mengadukan keadaan dirinya
itu. Semua dihadapinya sendiri dengan tabah dari masih tetap tersenyum
serta menghormati orang-orang di sekitarnya, padahal didalam hatinya
sakit bukan kepalang.
"Nyatanya keadaan di Partai Lawu Megah makin hari makin buruk. Untung sekali aku sudah tidak disitu lagi."
"Tapi
betapapun kau adalah anak murid Lawu Megah. Dan paderi-paderi yang kau
hormati serta saudara-saudara seperguruanmu itu banyak yang kubunuh,"
ujar Wiro.
Witarani geleng-gelengkan kepala. "Sejak aku meninggalkan
gunung Lawu aku tidak lagi merasa murid partai Lawu Megah, tapi murid
Resi Kuinbara pribadi."
"Apakah tidak berniat untuk pergi lagi kesana?" tanya Wiro Sableng pula.
"Jika
kudengar guru kenapa-kenapa, pasti aku akan naik ke puncak Lawu dan
memberi peringatan pada orang-orang yang kurang ajar itu."
"Sejak kau keluar dari partai apa saja yang kau lakukan?"
"Yaah… aku tinggal bersama ayah disini. Mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan…."
"Untung kau sempat mempelajari. Kalau tidak aku pasti tak akan tertolong." kata Wiro pula.
Wilarani tersenyum. "Sebetulnya dalam sakit begini kau tak boleh banyak bicara.
Minumlah
obat ini!" Gadis ini kemudian ambilkan secangkir obat lalu diminumkan
pada Wiro. Beberapa saat setelah minum itu Wiro merasakan mat8nya jadi
berat sekali. Akhirnya pendekar itu jatuh pulas. Seminggu kemudian Wiro
Sableng merasakan tubuhnya sudah segar. Cuma luka dibahu kirinya masih
belum kering dan sesekali terasa mendenyut sakit. Suatu hari ketika Wiro
tengah berkemas-kemas karena dia memang sudah memutuskan untuk pergi,
datanglah Wilarani dan menegurnya.
"Kau hendak pergi ke mana?"
"Magelang."
‘Tapi
kau masih belum sembuh. Kau harus menunggu paling cepat satu minggu
lagi. Balutan pada bahumu harus dibuka untuk diperiksa."
"Lukaku
memang belum kering, Wilarani. Tapi tubuhku segar sekali. Semua berkat
bantuanmu. Aku ingin tinggal lebih lama di tempat yang tenang dengan
pemandangan indah di sekitarnya ini. Tetapi urusan besarku memerlukan
penyeleseian dengan segera.
"Jika kau mau menunggu sampai lukamu baik, aku bersedia membantu kau menyelesaikan urusan itu."
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Ah, budi besarmu menolong aku dalam sakit belum
dapat kubalas, jangen kau tanamkan budi baru padaku."
"Terserahlah padamu. Cuma!"
Wilarani tidak teruskan katanya.
"Cuma ape?", Wiro bertanya.
‘ Wilarani tak segera menjawab seolah-olah meragu.
"Cuma apa, Wilarani?" desak Wiro.
"Aku ingin agar kau mengetahui satu hal…."
"Apa?"
"Dua murid gunung Lawu yang bernama Sulawarsih dan Tandu Wiryo itu bukanlah orang baik-baik…."
"Maksudmu?"
"Aku
tak bisa menerangkan. Kau selidikilah sendiri." jawab Wilarani pula.
"Kalau kau hendak pergi, aku tak bisa menahan. Selamat jalan!" Lalu
gadis itu putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lima hari kemudian
menjelang malam Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Magelang. Kota yang
membawa riwayat sial bagi dirinya. Setelah berkeliling meneliti keadaan
kota baru dia menuju penginapan Candi. Dia tersenyum pada pelayan yang
masih mengenalinya.
"Ingin menginap disini lagi raden?" Wiro mengangguk.
Ketika
pelayan itu mengantarkannya ke kamarnya, Wiro bertanya. "Kau masih
ingat pertama kali aku menginap disini sekitar empat minggu yang lalu?"
"Ya.. saya masih ingat"
"Waktu itu ada sepasang muda mudi yang juga menginap disini,Ingat?"
Pelayan
itu berpikir sejenak. Lalu, "Ingat, saya ingat betul! Gadisnya cantik
sekali bukan? Ketika pergi saya dan Gundali diberinya masing-masing dua
tail perak. Mudamudi yang baik sekali…. ! Entah kapan mereka akan datang
kemari lagi. Jarang sekali tamu sebaik mereka."
"Mereka menyewa berapa kamar?" bertanya Wiro.
"Agaknya
mereka bukan suami istri. Dua orang pengelana. Mereka masing-masing
menyewa satu kamar yang saling berdampingan. Eh, kenapa tuan bertanya
begitu?"
"Tidak apa-apa. Tadi kau menyebut nama Gundali. Siapa orang itu!?"
"Gundali orang yang bekerja sebagai ronda dan penjaga keamanan di penginapan ini……."
"Dia tinggal di Magelang ini?"
"Tentu saja!"
"Aku ingin bertemu dengan dia," kata Wiro pula.
"Tuan tak usah susah-susah. Sebentar lagi dia akan datang di sini. Tugasnya memang khusus malam hari!"
Wiro
tepuk bahu pegawai hotel itu dan ucapkan terima kasih. Dia langsung
berbarina di tempat tidur karena sekujur tubuhnya terasa letih. Tanpa
disadari dia jatuh pulas. Ketika bangun, yang pertama sekali diingatnya
adalah orang bernama Gundali itu. Namun sewaktu ditanyakan pada pelayan
dia mendapat keterangan bahwa Gundali belum datang.
"Tidak seperti biasanya. Seharusnya dia sudah berada di sini saat ini." kata pegawai hotel itu.
Wiro
garuk-garuk kepala. Setelah berpikir-pikir sejenak pendekar ini
memutuskan lebih baik mandi danmakan dulu, baru kemudian menunggu
Gundali. Jika orang ini masih belum datang juga dia akan minta bantuan
pelayan itu Untuk mengantarkan ke rumah Gundali. Dia harus menemui orang
ini untuk minta beberapa keterangan. Selesai membersihkan diri Wiro
Sableng pergi makan di sebuah kedai tak berapa jauh dari penginapan.
Tengah
dia menyantap makanannya, masuklah tiga orang tetamu yang langsung
disambut oleh pemilik kedai. Setelah menyebutkan makanan yang mereka
pesan, salah seorang dari tetamu itu bertanya. "Apakah kau sudah dengar
peristiwa pembunuhan atas diri Gundali penjaga penginapan Candi."
"Gundali
dibunuh orang …. ?!" kata pemilik kedai yang bertubuh gemuk setengah
berteriak. Karena kerasnya ucapannya ini Wiro yang berada jauh di sudut
sampai mendengar dan menjadi tersentak kaget. Dia hentikan makannya dan
memandang pada orang-orang itu sambil pasang telinga.
"Waktu itu dia
tengah bersiap-siap hendak berangkat ke penginapan tempat dia bekerja.
Baru saja keluar pintu rumah tiba-tiba satu bayangan melompat dari atas
atap, sebilah pedang berkelebat dan putuslah kepala Gundali!"
Pemilik kedai menggigil ngeri. "Kapan terjadinya?" tanyanya.
"Barusan saja. Rumahnya ramai didatangi orang. Pembantu-pembantu Kadipaten sudah ada di sana mengusut perkara pembunuhan ini!"
Sampai
disitu Wiro berdiri dari kursinya, letakkan uang di atas meja dan
tinggalkan kedai. Karena peristiwa terbunuhnya Gundali cukup
menggemparkan dan saat itu banyak orang yang berdatangan ke sana, maka
tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari rumah Penjaga penginapan
yang malang itu.
KETIKA WIRO SAMPAI
dirumah Gundali, orang masih banyak berjubalan disana. Beberapa petugas
sibuk melakukan pengusutan. Wiro menyeruak diantara orang banyak.
Diruangan depan dari rumah yang kecil itu seorang wanita separuh baya
duduk memangku seorang anak perempuan sambil menangis tersedu-sedu.
Perempuan ini pastilah isteri Gundali yang malang, pikir Wiro. Segera
dia mendekati perempuan ini. Karena dia seorang asing dan berpakaian
aneh, ditambah rambut gondrongnya, tentu saja dia menjadi perhatian
orang. Sebelumnya dia sampai ke dekat, istri Gundali, seorang petugas
menahannya.
"Orang asing, kau siapa?" petugas itu bertanya.
"Gundali adalah sahabat lamaku", sahut Wiro. "Aku datang kesini untuk menyampaikan rasa duka citaku pada isterinya."
Setelah meneliti Wiro sejenak akhirnya petugas itu mengizinkan Wiro menemui istri Gundali.
"Mbakyu, kau tentu tidak mengenal aku. Tapi aku adalah sahabat suamimu. Terimalah rasa duka citaku yang sedalam-dalamnya."
Janda
itu angkat kepalanya, memandang dengan agak heran pada pemuda berambut
gorldrong di hadapannya lalu tutup wajahnya dan kembali menangis
tersedu-sedu.
"Dalam keadaan begini masih saja ada orang gila yang datang mengganggu. . . "
Wiro
Sableng pencongkan mulut, garuk-garuk kepala. Meskipun jengkel
penasaran dia berkata. "Mbakyu, aku bukan orang gila. Aku sahabat
suamimu. Aku ingin menolongmu mencari siapa pembunuh suamimu itu dan
menghukumnya. Asal saja saat ini kau bersedia membantu berikan
keterangan. . ." Wiro lantas keruk saku pakaiannya dan masukan dua
keping uang emas kedalam genggaman perempuan malang itu seraya berbisik.
"Jika kau tak keberatan sebaiknya kita bicara di dalam saja. . . ."
Meskipun
dalam keadaan duka cita karena kematian suami, namun dua keping uang
emas itu membawa pengaruh juga bagi sang janda. Dipandanginya uang itu,
lalu pada Wiro, kemudian pada jenazah suaminya yang terbaring diatas
ranjang bertutupan seperai. Perlahan-lahan dia berdiri, mendukung
anaknya dan masuk ke ruangan dalam, "Ceritakanlah bagaimana kejadiannya
sampai suamimu dibunuh orang," kata Wiro begitu janda Gundali duduk di
sebuah kursi diruangan dalam.
Janda malang itu keringkan dulu air
matanya baru menjawab. "Seperti biasa setiap suamiku hendak pergi
ketempat pekerjaannya, aku selalu mengantarkan sampai pintu depan. Waktu
itu ruangan depan agak gelap karena aku belum sempat menyalakan lampu.
Suamiku mencium anak tunggalnya ini dulu, kemudian membuka pintu depan.
Begitu
dia melangkahkan kaki dari ambang pintu tiba-tiba ada sesosok bayangan
melompat turun dari atas. Aku dan suamiku terkejut sekali. Kemudian
kudengar suamiku berseru. "Ah raden! Kau kiranya. Aku …" Ucapan suamiku
itu hanya sampai di situ karena tiba-tiba orang yang disebutnya raden
itu menghunus pedang dan menebas lehernya hingga putus. Aku sendiri
kemudian jatuh pingsan …"
Sampai disini kembali janda Gundali menangis.
Setelah tangisnya reda Wiro Sableng bertanya. "Apakah kau kenal orang yang membunuh suamimu itu?"
"Saat itu didepan gelap. Aku tak dapat melihat wajah si pembunuh. Cuma dari perawakannya kuduga dia masih muda."
"Suaranya juga tak dapat kau kenali?" Istri Gundali menggeleng.
Wiro diam sejenak sambil tangannya tidak berkeputusan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apakah suamimu punya musuh di kota Magelang ini atau di tempat lain…?"
"Setahuku tidak. Meskipun miskin tapi suamiku adalah orang baik-baik. . . ."
Wiro Sableng menghela nafas panjang. Dia berpikir apa lagi yang hendak ditanyakannya. Kemudian dia ingat.
"Mungkin
suamimu pernah menceritakan sesuatu sehubungan dengan pekerjaannya
sebagai penjaga keamanan di penginapan Candi? Coba kau ingat-ingat
mbakyu."
"Sesuatu apa?" balik bertanya janda Gundali tak mengerti.
"Misalnya. . . mungkin suamimu pernah menceritakan tentang tamu-tamu di penginapan…?"
Perempuan
itu termenung sejenak, kemudian dia anggukkan kepala. "Memang
kadang-kadang dia pernah bicara soal tetamu-tetamu. Tapi apa sangkut
pautnya itu dengan kematian suamiku?"
Wiro Sableng tak perdulikan
pertanyaan perempuan itu. Malah berkata. "Pernah suamimu menerangkan
tentang seorang tetamu lelaki muda, yang datang menginap bersama seorang
gadis cantik. Dan tamu lelaki itu kemudian memberikan dua tail perak
pada suamimu…. ?"
Sepasang mata istri Gundali membesar dan memandang lebar-lebar pada Wiro Sableng.
"Memang ada," katanya, "dan pemuda itu memberi tambahan tiga tail lagi sewaktu meninggalkan penginapan."
"Hemm… jarang orang yang sebaik itu."
"Kau lebih baik dari dia. Kau barusan memberikan dua keping uang emas padaku."
"Itu
karena aku sahabat suamimu," jawab Wiro pula berdusta padahal
sebetulnya dia ingin mengorek keterangan di samping memang berniat
membantu perempuan yang kematian suami itu. "Apa saja yang diceritakan
suamimu mengenai muda-mudi itu selain hadiah lima tail perak tersebut."
"Aku tak bisa menceritakannya. Aku malu …" kata janda Gundali pula.
Wiro
kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepala. "Memangnya kenapa. . . ?
Dengar, aku ingin membantumu menangkap dan menghukum pembunuh suamimu.
Kurasa aku bakal dapat mengetahui siapa orang nya. Tapi tanpa keterangan
yang memberikan bukti-bukti darimu sulit bagiku . . . ."
"Suamiku
pernah menceritakan tentang seorang pemuda asing, berambut gondrong. Dia
meragukan kesehatan pikiran orang itu. Agaknya kaulah orangnya, bukan?"
Wiro Sableng jadi menggerendeng dalam hati.
"Mbakyu,
siapa aku, apakah orang gila atau setengah gila kuharap tak usah
diperdulikan. Yang penting pembunuh suamimu itu harus dihukum. Kalau dia
masih berkeliaran di luar bukan mustahil keselamatanmu dan puteri
tunggalmu ini akan terancam pula."
Kelihatan bayangan rasa takut pada wajah janda Gundali.
"Baiklah,"
kata perempuan ini pada akhirnya. "Waktu itu sudah larut malam. Suamiku
mematikan lampu-lampu tertentu dalam penginapan. Sewaktu dia sampai di
ujung gang pada bagian mana muda-mudi itu menginap, dilihatnya si pemuda
berdiri di depan pintu kamar si pemudi, mengetuk perlahan-lahan.
Kemudian pintu kamar terbuka, tamu lelaki masuk ke dalam dan pintu
dikunci kembali. Karena mengetahui kalau sepasang muda-mudi itu adalah
murid-murid Partai Lawu Megah yang berkepandaian tinggi, dia tak berani
berbuat apa-apa, apalagi menegur meskipun nyatanyata masuk ke dalam
kamar seorang gadis pada malam hari adalah perbuatan yang tidak senonoh.
Kemudian karena ingin tahu apa yang sebenarnya diperbuat oleh
murid-murid Lawu Megah itu suamiku keluar dan dari luar melakukan
pengintaian lewat celah-celah papan dinding. . . ."
Sampai disini janda Gundali terdiam.
"Bagaimana terusnya? Apa yang dilihat suamimu?" tanya Wiro tak sabaran.
"Dua
orang itu betul-betul melakukan perbuatan yang tidak senonoh! Mereka
tengah berpeluk-pelukan. Kemudian pindah ke ranjang. Kemudian mereka
kelihatan menanggalkan pakaian di tubuh masing-masing. Dan melakukan
perbuatan mesum itu…!"
Wiro keluarkan suara bersiul dan mulutnya.
"Karena
merasa jengah suamiku tidak meneruskan pengintaian. Tapi kira-kira satu
jam kemudian sewaktu dia kembali mengintai, didengarnya dua orang itu
bicara berbisik-bisik. Si gadis mengatakan perasaan kawatirnya karena
saat itu katanya dia telah hamil jalan tiga bulan. . . ."
Wiro melengak kaget. "Kalau begitu mereka melakukan hubungan sudah sejak lama!"
Janda
Gundali mengangguk. "Agaknya begitu. Rupanya mereka sudah mencoba
mencari obat untuk menggugurkan kandungan. Tapi sia-sia belaka. Kalau
Tuhan punya kuasa minum obat apapun kandungan itu tak bakal gugur!
Suamiku mendengar si pemuda berkata bahwa satu-satunya orang yang bisa
menggugurkan kandungan itu adalah Resi Kumbara, bekas ketua Partai Lawu
Megah. Tetapi tentu saja mereka tidak bisa melakukannya. Maka suamiku
mendengar keduanya berunding. Yang pemuda rupanya dapat akal keji. Dia
menyebut-nyebut pemuda gondrong ceriwis yang juga menginap di penginapan
itu. Lalu tentang kancing baju milik orang itu yang tanggal dan
ditemuinya dekat kaki kursi. Dari pembicaraan jelas bahwa mereka tengah
mengatur rencana busuk, hendak mengambing hitamkan pemuda asing yang
agaknya adalah kau sendiri. Rupanya lelaki muda itu seperti mengetahui
kalau ada orang di dekat kamar karena dia kemudian membuka jendela.
Untung saja suamiku cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan pura-pura
buang air kecil di balik pohon. Namun agaknya pemuda itu menaruh curiga.
Itulah sebabnya dia menambahkan tiga perak lagi ketika hendak pergi.
Maksudnya agar suamiku tidak membuka rahasia malam itu."
"Cukup. . . .
cukup dan terima kasih atas keteranganmu itu. Tahukah kau sekarang
siapa yang membunuh suamimu malam ini? Pemuda bangsat itu. Namanya Tandu
Wiryo. Dan si gadis mesum itu bernama Sularwasihl"
Si janda terpekik kecil dan memandang melotot pada Wiro.
Pendekar
212 pegang bahu janda Gundali dan berkata. "Bila tiba nanti waktunya,
aku akan bawa kau kepuncak Lawu!" Habis berkata begitu Wiro tinggalkan
perempuan yang kemudian kembali menangis bersedu-sedu sambil peluki
puterinya yang kini telah jadi anak yatim.
JEJAK
pendekar Pedang Akhirat lolos dari puncak gunung Lawu bersama Wiro
Sableng timbullah kecurigaan penuh diantara para paderi dan semua anak
murid partai yakni jika tidak dengan bantuan Resi Kumbara, kedua orang
itu pasti tidak bakal dapat melarikan diri. Pintu rahasia dari
terowongan yang menembus gunung ada dalam tempat pengasingan bekas ketua
partai itu. Nyata sudah bahwa Resi Kumbara telah membantu Wiro dansi
kakek muka tengkorak.
Hal ini membuat pihak-pihak yang memang tidak
menyukai Resi Kumbara menjadi marah, termasuk Resi Tumbal Soka sendiri.
Suasana di gunung Lawu hari-hari kelihatan tenang-tenang saja. Namun
ketenangan ini tidak beda laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu
pasti meledak. Dan ledakan itu nyatanya terjadi juga yakni empat minggu
kemudian.
Atas perintah Resi Tumbal Soka semua paderi yang memegang
pucuk pimpinan dikumpulkan di gedung perundingan. Diluar gedung menjaga
murid-murid partai kelas satu.
"Saudara-saudara separtai yang aku
cintai," Resi Tumbal Soka angkat bicara. "Kita semua sama tahu bagaimana
keadaan sesungguhnya dalam tubuh partai kita sejak lolosnya dua orang
manusia terkutuk itu. Rasanya tak perlu lagi dibentangkan panjang lebar
bagaimana mereka bisa lolos atau siapa yang memberi jalan pada mereka.
Saat ini aku mengumpulkan kalian semua adalah untuk membicarakan soal
tanggung jawab yang harus kita tuntut pada bekas ketua kita. Resi
Kumbara meskipun adalah bekas ketua yang kita hormati bahkan kakak
kandungku sendir, namun jika berbuat kesalahan bahkan penghianatan musti
kita tuntut dan mintakan pertanggungan jawabnya. Untuk itu mari kita
beramai-ramai mendatangi tempat persamadiannya!"
Sebelum
paderi-paderi itu berdiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka
mendahului dan tegak menghadang di pintu. Paderi ini adalah Resi Permana
yakni, paderi yang memimpin mereka yang ingin melihat Partai Lawu Megah
kembali pada masa jaya seperti dibawah pimpinan Resi Kumbara dulu
bahkan berharap agar Resi Kumbara sudi memegang jabatan ketua kembali.
"Saudara-saudaraku
separtai," kata Resi Permana sambil rangkapkan tangannya didepan dada.
"Sebelum bertindak pikirkan baik-baik lebih dulu. Mengganggu kakak yang
sedang bersamadi saja sudah merupakan perbuatan tidak sopan. Apalagi
hendak menuntutnya. Dan secara beramai-ramai seperti ini, seperti
gerombolan yang datang menggarong saja!"
Mendengar ucapan saudara
seperguruannya itu merah padamlah wajah Resi Tumbal Soka. Dia maju ke
hadapan Resi Permana dan dengan nada keras marah menegur:
"Resi
Permana! Kau sudah keblinger atau bagaimana sampai berkata dernikian?
Sudah terbukti kakak salah, kau masih hendak membela. Rupanya kau
bersekongkol jadi pengkhianat?!"
"Berkhianat suatu hal yang keji, aku
tahu hal itu," sahut Resi Permana pula. "Dan berlaku kurang ajar pada
leluhur tidak jauh kejinya dari berkhianat. Jangan kau berani menuduh
Resi Kumbara telah berkhianat. Kesalahannya memang nyata. Tetapi aku
rasa kakak tidak akan terlalu bodoh meloloskan orangorang itu begitu
saja. Aku yakin ada perjanjian tertentu yang mengikat diantara mereka!"
"Berjanji
dengan musuh-musuh partai justru adalah kesalahan yang harus
dipertanggung jawabkan pula!" tukas Resi Tumbal Soka. "Jika kau tidak
ingin bersatu dengan kami, menyingkirlah dari pintu itu!"
Resi
Permana dalam hati marah setengah mati terhadap Resi Tumbal Soka. Jika
saja paderi itu tidak dihormatinya sebagai ketua niscaya dia tidak
segan-segan untuk berdebat mulut lebih jauh. Bahkan tidak gentar
melakukan kekerasan. Diam-diam dia menyesali kenapa Resi Kumbara dulu
menyerahkan jabatan ketua pada paderi ini.
Resi Permana menghindar
dari pintu. Tiga orang paderi lainnya, yang sama sefaham dengan Resi
Permana tegak disamping paderi ini, tak mau ikut bersama ketua Partai
Lawu Megah dan paderi lainnya. Resi Tumbal Soka memandang pada mereka
berempat dengan pandangan menyorot. Lalu dengan nada sinis dia berkata.
"Bagus!
Jadi inilah contohnya empat paderi yang jadi puntung-puntung
pengkhianat. Kelak para pucuk pimpinan akan mengadakan rapat untuk
merundingkan tindakan apa yang bakal dilakukan atas diri kalian!"
"Ketua, aku mohon sekali lagi agar kau suka memikirkan tindakan ini sebelum melakukannya", kata Resi Permana merendah dan sabar.
Pelipis Resi Tumbal Soka kelihatan bergerakgerak saking marahnya. Dia menyemprot.
"Sebaiknya
kau pikirkan paderi-paderi dan murid murid partai yang mati dibunuh
oleh kedua keparat itu di kaki gunung begitu keluar dari terowongan
rahasia!"
"Itu salah mereka sendiri. Kenapa menghadang dan mengeroyok dengan sengaja!" sahut Resi Permana.
Jika
tidak dapat menindih kemarahannya mungkin ketua Partai Lawu Megah sudah
menampar Resi Permana saat itu. "Kalau toh mereka yang terbunuh itu
bisa datang dan bicara, pasti mereka akan menyumpah dan mengutukmu
habis-habisan!" Resi Tumbal Soka bantingkan kakinya ke lantai hingga
ubin ruangan amblas lalu putar tubuh tinggalkan paderi Permana yang cuma
tegak terdiam dan menarik nafas panjang berulang kali.
***
SEPERTI
biasanya Resi Kumbara yang sudah lanjut usia itu ketika didatangi oleh
adiknya bersama delapan paderi utama tengah tenggelam dalam kekhusukan
samadi. Namun begitu Resi Tumbal Soka dan paderipaderi lainnya sampai di
hadapannya, bekas ketua partai ini tiba-tiba saja buka matanya yang
terpejam dan hentikan samadinya. Dia memandang pada adiknya dan semua
paderi yang ada di situ dengan tersenyum. Dia tidak melihat paderi
Permana dan tiga paderi lainnya, tetapi tak mau bertanya.
"Adikku,"
Resi Kumbara justru yang lebih dulu buka pembicaraan. "Kau dan
saudara-saudara lainnya tak usah menerangkan lagi panjang lebar maksud
kedatangan kalian. Aku sudah dengar semua pembicaraanmu di ruangan
perundingan. . . ."
Resi Tumbal Soka dan delapan paderi lainnya tidak
terkejut karena mereka mengetahui kalau paderi tua itu memiliki semacam
ilmu pendengaran jarak jauh yang luar biasa.
Setelah memandang pada
saudara-saudara seperguruannya. Resi Tumbal Soka lantas menjawab,
"Syukurlah kalau kakang sudah mengetahui hingga kami tidak perlu
mengganggumu lama-lama."
Resi Kumbara manggut-manggut sambil
usap-usap janggutnya yang putih. "Aku mengakui bahwa memang akulah yang
membantu Pendekar Pedang Akhirat dan pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu melarikan diri lewat terowongan. Tetapi dengan syarat tertentu yaitu
si Pedang Akhirat itu harus mengantarkan sendiri kepala Wiro Sableng
padaku jika nanti terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Di samping
itu karena keteledorannya si kakek harus pula bunuh diri di hadapanku."
"Kakang percaya pada janji manusia-manusia busuk macam mereka?" tukas Resi Tumbal Soka. "Aku betul-betul tak mengerti."
"Soal
busuk mereka belum ketahuan adik. Ada orang yang di luaran kelihatannya
kotor jahat, tetapi hatinya putih bersih. Sebaliknya ada orang yang
berpakaian bagus, baik budi bahasa, manis tutur bicaranya, berlagak
pegang disiplin dan aturan, tetapi di dalamnya keji keropok."
Resi Tumbal Soka terdiam mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian dia baru berkata. "Tapi bagaimanapun kakak tetap salah."
"Betul,
aku tahu hal itu…" jawab bekas ketua partai Lawu Megah itu." Sebagai
jaminan atas perjanjian itu, Wiro Sableng telah menyerahkan senjata
mustika warisan gurunya. …" Dari balik jubah putihnya Resi Kumbara
kemudian keluarkan Kapak Maut Naga 212.
Baik Tumbal Soka maupun
delapan paderi lainnya sama membeliak kaget dan kagum melihat senjata
aneh yang memancarkan sinar terang berkilauan itu.
"Ini betul-betul
bukan senjata sembarangan dan agaknya tak ada duanya di jagat ini,"
membathin Resi Tumbal Soka. Dan dalam hatinya timbullah niat buruk untuk
memiliki kapak sakti ini. Setelah memutar otak licinnya sesaat maka
berkatalah dia.
"Kakak, senjata itu terpaksa kami sita sebagai barang
bukti. Bukti bahwa kau telah disuap oleh dua orang jahat itu agar
mereka bisa lolos."
Resi Kumbara tertawa jumawa mendengar kata-kata adiknya itu. Dia sendiri maklum apa yang berada dalam hati sang adik.
"Aku
sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Jika kau menganggap ini barang
sogokan dan hendak menyitanya, aku tak keberatan. Cuma aku pesankan,
jika nanti terbukti pemuda itu tidak bersalah, kau harus kembalikan
kapak itu padanya."
Habis berkata begitu Resi Kumbara serahkan Kapal
Maut Naga Geni 212 pada adiknya yang segera diambil oleh Resi Tumbal
Soka dan disimpannya di balik jubah.
"Sekarang apa lagi maumu, adik?" bertanya Resi Kumbara.
"Sesuai dengan peraturan, kakak terpaksa kami masukkan dalam penjara," kata Resi Tumbal Soka pula.
Resi Kumbara menarik nafas panjang.
"Nasibku
memang sial," kata kakek ini, "Jika memang begitu menurut aturan aku
tidak akan membantah. Di penjara manakah aku hendak kalian jebloskan?"
Patut
diketahui bahwa di gunung Lawu terdapat tiga macam penjara. Yang
pertama penjara berdinding batu biasa. Kemudian penjara dibawah sebuah
mata air yang amat dingin hingga siapa yang masuk di sana akan merasakan
seolah-olah dipendam dalam salju. Penjara ini disebut Penjara Salju.
Yang ketiga adalah Penjara Api. Disini hawanya panas sekali karena pada
sebelah luarnya di kelilingi oleh kobaran api.
Setelah berpikir sejenak Resi Tumbal Soka berkata, kata, "Untuk sementara kakak kami tempatkan di Penjara Biasa saja."
"Terima
kasih," jawab Resi Kumbara sambil tersenyum dan berdiri. Baru saja dia
hendak digiring keluar ruangan samadi tiba-tiba berkelebatan empat sosok
tubuh berjubah putih. Di lain kejap Resi Permana dan tiga orang paderi
yang setia padanya sudah berdiri menghadang di pintu.
"Siapa yang berani menjebloskan kakak ke penjara akan berurusan dulu denganku!" kata Resi Permana lantang.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Resi Tumbal Soka segera maju menghadapi sambil bertolak pinggang.
"Aku ketua partai. Hitam kataku harus hitam. Putih musti putih! Kau punya hak apakah bicara seperti itu?!"
"Peduli
setan dengan segala hak! Seorang ketua yang baik tidak akan melakukan
perbuatan seperti ini terhadap orang yang menjadi kakak kandungnya.
Apalagi yang telah mengangkatnya sebagai ketua. Resi Tumbal Soka, aku
harap kau bawa saudarasaudara yang lain ini keluar dari sini. Kalau
tidak niscaya terjadi pertumpahan darah disini."
"Hemm. . . . Kau
berani berkata begitu terhadapku, paderi Permana. Sungguh besar nyalimu!
Minggirlah sebelum aku betul-betul marah!"
"Kau yang harus menyingkir dari tempat ini!" teriak Resi Permana pula.
"Kurang ajar! Saudara-saudara, tangkap pemberontak ini!" Seru Resi Tumbal Soka pada delapan paderi.
Segera
delapan paderi yang diperintahkan bergerak mengurung Resi Permana. Tiga
paderi yang datang bersama paderi Permana melihat ini segera pula
bersiap-siap.
"Bagus! Kalian berempat akan kujebloskan ke dalam
Penjara Api!", teriak Resi Tumbal Soka marah. Sehabis berteriak begitu
ketua Partai Lawu Megah ini mendahului turun tangan, lepaskan satu
pukulan tangan kosong kearah Resi Permana yang saat itu sudah alirkan
pula tenaga dalamnya ke lengan jubah, siap untuk menangkis dan balas
menggempur. Sebelum pukulan tangan kosong Resi Tumbal Soka menghantam
tiba-tiba paderi ini rasakan bahunya dipegang orang dari belakang
demikian keras hingga dia bukan saja tak mampu menggerakkan tangan untuk
memukul tetapi juga seolah-olah dipantek kaku. Berpaling ke belakang
Resi Tumbal Soka lihat kakaknya tersenyum padanya.
"Sabar adik, bukan
dengan saudara sendiri ilmu kepandaian dipakai untuk menyerang!"
Kemudian pada Resi Permana dia berkata, "Paderi Permana, kedudukanmu
tidak memungkinkan kau dan saudara-saudara membelaku. Caranya juga
salah. Kau harus hormat dan patuh pada Resi Tumbal Soka …. "
Resi Permana gigit bibirnya sampai berdarah saking kesal hatinya.
"Menghindarlah dari pintu itu, paderi Permana. Biar mereka menggiring aku ke penjara. Soalnya aku memang salah!"
Untuk
beberapa lamanya Resi Permana cuma berdiri tegak sambil
geleng-gelengkan kepala. Kemudian dia berkata. "Kalau begitu biar aku
dan tiga paderi ini ikut bersamamu dijebloskan dalam penjara!" katanya.
"Terima kasih kalau kau memang bersedia menemaniku." ujar Resi Kumbara pula.
"Berkawan adalah lebih baik dari pada sendirian. Apalagi dalam penjara!"
Maka kelima paderi gunung Lawu itu kemudian digiring dan ramai-ramai dijebloskan dalam Penjara Biasa.
HANYA BEBERAPA JAM
saja sesudah Resi Kumbara, Resi Permana dan tiga orang paderi lainnya
itu dimasukkan ke dalam Penjara Biasa maka di jalan kecil pada lereng
gunung Lawu kelihatan sebuah kereta bertenda ditarik oleh dua ekor kuda
yang tegaptegap, mel-ncur mendaki dengan cepat. Bertindak sebagai sais
dari kereta ini adalah seorang pemuda berambut gondrong. Dia memegang
les kuda sambil bersiul-siul nyaring entah membawakan lagu apa. Pemuda
ini bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede atau
Pendekar 212 Wiro Sableng. Disamping Wiro duduk seorang perempuan
separuh baya berwajah pucat ketakutan karena jalannya kereta begitu
kencang. Perempuan ini adalah janda Gundali. Di sebelah belakang duduk
pula seorang perempuan bertubuh gemuk berambut putih. Seperti istri
Gundali perempuan inipun ketakutan setengah mati naik kereta yang dipacu
sekencang itu, apalagi jalan kecil mendaki dan kiri kanan diapit
jurang. Dia duduk berpegang erat-erat, kedua matanya dipejamkan. Dia
adalah tukang sayur di Magelang.
Ketika melewati sebuah tikungan
tajam dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba dari lamping batu dikiri jalan
yang tingginya hampir lima belas tombak, melayang dua sosok tubuh. Janda
Gundali berteriak kaget, begitu juga tukang sayur yang membuka matanya
karena mendengar jeritan itu. Dua orang yang melompat dari atas lamping
batu tinggi itu, jatuh tepat diatas kereta yang tengah bergerak cepat,
tanpa menimbulkan suara sama sekali!
Wiro berbaling ke belakang. Dia
keluarkan suara siulan keras ketika mengenali siapa adanya dua orang
yang barusan melompat ke dalam kereta. Mereka bukan lain ialah Pendekar
Pedang Akhirat dan Wilarani yang tempo hari mengobati dan merawat Wiro
Sableng.
"Senang bertemu denganmu kembali, Wilarani!" kata Wiro dan memecut kuda penarik kereta agar lebih cepat.
"Amboi!
Apakah kau juga senang bertemu denganku, Wiro? Kau hanya menegur gadis
cantik ini! Mentang-mentang aku sudah tua bangka!" berkata si kakek.
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kalian berdua hendak membonceng kemanakah?!" tanya Wiro.
"Jalan
buruk dan sukar, panas pula. Bukankah lebih baik membonceng bersama
kalian? Kita mempunyai tujuan yang sama. Puncak gunung keparat ini!"
jawab si kakek.
"Untuk menyerahkan kepalaku pada Resi Kumbara?", tanya Wiro bergurau.
"Mungkin juga kepalaku sekalian!" sahut Pendekar Pedang Akhirat. Lalu keduanya sama-sama tertawa.
Setelah
melewati pertengahan lereng Gunung Lawu kedatangan mereka ini sudah
diketahui oleh muridmurid Partai Lawu Megah yang melakukan penjagaan di
tempat tinggi. Laporan segera dikirimkan pada ketua partai. Resi Tumbal
Soka segera memanggil beberapa orang paderi kepercayaannya. Mereka
bicara di satu ruangan tertutup selama sepuluh menit kemudian bubar.
Sementara
itu Wiro dan kawan-kawannya masih terus memacu kuda-kuda kereta dijalan
buruk mendaki itu. Disatu tempat dimana sebelah kiri membentang jurang
dalam sedang disebelah kanan menjulang gunung batu tinggi, tiba-tiba
terdengar suara menggemuruh seolah-olah datang dari langit. Semua orang
mendongak ke atas dan serentak menjadi kaget. Tiga buah batu raksasa
menggemuruh menggelinding ke bawah. Janda Gundali dan perempuan gemuk
tukang sayur menjerit ketakutan sambil pejamkan mata dan tutup kepala
dengan telapak tangan.
"Celaka! Matilah kita semua!" seru Pendekar Pedang Akhirat. Wiro sendri garukgaruk kepala kebingungan dan hentikan kereta.
"Wiro
kau hantam batu yang sebelah kanan, aku yag sebelah kiri. Batu ketiga
elakkan! Dua perempuan ini dibawa keluar kereta dan kau Wilarani, jangan
bertindak ayal! Cepat!"
Mendengar kata-kata kakek muka tengkorak itu
Wiro Sableng segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan lalu lepaskan
pukulan "sinar matahari", menghantam batu besar di sebelah kanan.
Dibagian belakang kereta si kakek telah lepaskan pula pukulan tangan
kiri yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Terdengar suara berdentum
sewaktu pukulan-pukulan sakti itu menghancur-leburkan dua batu besar
yang melayang turun kebawah. Sehabis memukul hancur si kakek dan Wiro
Sableng melesat dari kereta sedang Wilarani merangkul janda Gundali
serta Pedagang sayur, melompat ke tempat yang aman. Batu raksasa ketiga
jatuh menggemuruh dan tepat menghantam kereta. Kereta dan dua ekor kuda
itu tertindih lumat! Mengerikan untuk disaksikan!
"Keparat haram
jadah! Orang-orang Partai Lawu Megah itu benar-benar minta dihajar!"
maki Wiro seraya bersihkan muka dan pakaiannya dari debu hancuran batu.
"Sudah,
jangan memaki saja sobatku! Mari kita lanjutkan perjalanan. Kau
dukunglah nyonya gemuk itu, aku akan menggendong janda Gundali. Kalau
tidak, kita akan terlalu lama sampai di puncak Gunung Lawu."
Habis
berkata hegitu si kakek sambar tubuh janda Gundali, terus membawa lari.
Wiro menggerendeng garuk-garuk kepala karena dia kebagian perempuan
gemuk buntak itu, sementara Wilarani tertawa geli, lambaikan tangan pada
Wiro dan berkelebat mengikuti si kakek. Wiro berpaling pada perempuan
tukang sayur yang saat itu tegak menggigil sambil pejamkan mata.
"Hai,
gemuk! Marilah kugendong kau!" seru Wiro seraya tampar pantat perempuan
itu lantas memanggulnya di bahu kanan. Si gemuk berteriak kaget, di
lain kejap dia kembali pejamkan matanya karena ngeri dibawa lari
demikian cepatnya!
Setelah melewati jalan yang sulit, dua jam
kemudian sampailah mereka di puncak Gunung Lawu. Tak seorangpun
kelihatan sedang suasana tampak sunyi saja. Justru hal ini membuat tidak
enak. Ketegangan yang tersembunyi. menggantung diseantero tempat. Tepat
pada saat Wiro dan kawan-kawannya sampai di tengah lapangan terbuka,
maka dari mana-mana muncullah puluhan murid partai dan paderi-paderi.
Sekali memandang saja Wiro dan si kakek serta Wilarani sudah mengetahui
kalau mereka semua telah terkurung rapat.
Si kakek berbisik pada Wiro, "Bagaimana sekarang?"
"Kau saja dulu yang buka pembicaraan kakek. . . ." sahut Wiro.
"Tapi sebelum bicara apakah aku boleh tertawa dulu?" tanya si kakek muka tengkorak masih bisa bergurau.
"Tertawalah sepuasmu, kalau nanti sudah mati kau tak bakal bisa lagi tertawa," jawab Wiro setengah mengomel.
Wilarani
senyum-senyum geli melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah menurunkan
janda Gundali dari panggulannya, si kakek memandang berkeliling lalu
mulai tertawa. Mula-mula perlahan-lahan, kemudian makin keras, makin
keras dan panjang meninggi hingga orang yang disitu merasakan bagaimana
tanah yang mereka pijak bergetar akibat suara tertawa dahsyat si kakek
muka tengkorak.
"Orang-orang Gunung Lawu! Penyambutan kalian ini masih kurang lengkap! Mana ketua kalian?" tiba-tiba si kakek berseru.
Dari
bangunan bertingkat di sebelah kiri lapangan, terdengar jawaban. "Aku
disini pendekar tua!" Memandang ke jurusan itu kelihatan Resi Tumbal
Soka berdiri di beranda tingkat atas. Disebelah kirinya tegak Tandu
Wiryo dan Sularwasih. Disamping kanan berdirl dua orang paderi. Semua
memandang dengan mata berapi-api. "Bagus kalian datang sendiri mengantar
nyawa hingga kami tak perlu susah-susah mencari…!"
Si kakek berpaling pada Wiro, kedipkan matanya lalu kedua orang ini tertawa cekakakan.
"Kami datang mengantar nyawa katamu? Sungguh lucu sekali kedengarannya.
Bagaimana kalau aku katakan bahwa kami datang untuk minta beberapa nyawa orang Partai Lawu Megah hari ini heh!!"
Resi
Tumbal Soka mendengus marah. Di sebelahnya Tandu Wiryo berkata, "Kita
tak perlu berdebat panjang dengan bangsat-bangsat ini. Izinkan saya dan
para paderi menghajarnya saat ini juga!" Suara Tandu Wiryo bergetar
bukan saja karena marah tetapi juga karena takut luar biasa yakni
setelah dia mengenali Isteri Gundali!
"Kau sabarlah muridku. Serahkan semuanya padaku." jawab Resi Tumbal Soka pula.
Di bawah terdengar Wiro Sableng buka suara.
"Ketua Partai Lawu Megah, aku dan orang-orang ini datang untuk meneruskan kembali urusan yang terbengkalai tempo hari!"
"Bagus! Kali ini kau tak akan mampus digantung, tapi lumat dicincang!" yang menjawab adalah Sularwasih.
Wiro Sableng keluarkan siulan. "Amboi Warsih, kau ini tambah cantik saja. Tambah
gemuk malah. Apakah kau sehat-sehat saja selama ini, tidak muntah-muntah … ?!"
Mendengar
kata-kata itu berubahlah paras Sularwarsih. Tubuhnya menggigil sedang
di sebelahnya Tandu Wiryo kelihatan pucat pasi. Jelas pemuda asing itu
sudah tahu rahasia mereka berdua. Sementara itu yang lain-lain, termasuk
Pendekar Pedang Akhirat tampak agak heran mendengar ucapan Wiro tadi
sedang Wilarani mulai menduga-duga. Tiba-tiba!
Sret! Sret!
Tandu
Wiryo dan Sularwasih cabut pedang mereka, berteriak keras dan sambitkan
senjata itu kebawah. Laksana anak panah pedang Tandu Wiryo melesat
kearah Wiro Sableng sedang pedang Sularwasih menyambar kearah janda
Gundali!
PENDEKAR
Pedang Akhirat merasa kaget dan heran kenapa Sularwasih menyerang janda
Gundali dengan lemparan pedangnya yang ganas. Disamping itu kakek ini
juga jadi marah sekali.
"Sungguh orang-orang partai Lawu Megah tak
tahu aturan dan peradatan!" teriak kakek ini. "Ini kukembalikan pedangmu
Warsih." Sekali dorongkan tangan kirinya ke depan maka pedang
Sularwasih kelihatan tertahan di udara, kemudian melesat membalik
menyerang pemiliknya sendiri. Demikian derasnya luncuran pedang hingga
Sularwasih tak berani menyambut, buru-buru mengelak. Pedang itu menancap
pada langitilangit bangunan tingkat dua.
"Aku pun juga tidak butuh pedangmu manusia Tandu Wiryo. Ambillah kembali!"
terdengar
Wiro berseru. Ketika pedang menyerang ke arahnya, pendekar ini berkelit
ke samping. Dari samping dia pukul gagang pedang hingga senjata itu
mental tegak lurus ke atas. Begitu turun kembali Wiro pukul belakang
gagangnya. Kini pedang itu laksana kilat menyambar ke arah Tandu Wiryo.
Seperti juga dengan pedang Wasih, senjata ini melesat danmenancap pada
langit-langit ruangan tingkat dua.
"Kalian semua dengar," tiba-tiba
si kakek berteriak keras, membuat semua orang terdiam tegang. "Sebelum
aku dan sobat muda ini meneruskan pembicaraan aku harap agar Resi
Kumbara hadir di sini untuk mendengarkannya."
Resi Tumbal Soka tertawa mengejek.
"Orang tua itu tak ada urusan dengan kalian. Aku ketua Partai Lawu Megah yang menentukan hitam atau putih disini."
"Baik!
Tetapi jika nanti kau mengambil keputusan secara tidak adil, ingat
Tumbal Soka! Aku sudah tua dan sudah jemu hidup di dunia ini. Mati bukan
apa-apa bagiku. Tapi kematianku kelak harus disertai dengan
sekurang-kurangnya tiga puluh nyawa orang-orang Gunung Lawu termasuk
kau!"
Resi Tumbal Soka mendengus. "Tua bangka sombong takabur. Lekas
kemukakan persoalanmu sebelum kau danbangsat gondrong itu kami cincang
lumat."
Si kakek berpaling pada Wiro Sableng, anggukkan kepala seraya berkata. "Selesaikan urusanmu, sobat muda."
Wiro garuk-garuk kepala beberapa kali lalu buka mulut.
"Ketua
Resi Tumbal Soka! Dulu kalian telah menuduhku secara membabi buta
sebagai orang yang telah merusak kehormatan nona Warsih. Hari ini aku
datang untuk membeberkan persoalan yang sebenarnya lengkap dengan
saksi-saksi."
"Saksi-saksi palsu!" teriak Tandu Wiryo.
"Sssst!"
Wiro palangkan jari telunjuknya diatas bibir. "Jika kau tidak diminta
bicara, belajarlah sopan santun berdiam diri!" kata-kata dan sikap Wiro
yang lucu tapi mengejek itu membuat Tandu Wiryo laksana terpanggang
sementara Sularwasih sendiri menggigil tubuhnya. Wiro lanjutkan
kata-katanya.
"Sejak semula aku merasa ada yang tidak beres di balik
semua kejadian keji itu. Aku sengaja dijadikan kambing hitam. Dan orang
yang mengatur semua rencana keji itu adalah murid Partai Lawu Megah
sendiri. Itu mereka…. yang bernama Sularwasih danTandu Wiryo."
"Bangsat!
Kau berani menuduh kurang ajar," teriak Tandu Wiryo dan hendak melompat
turun dari tingkat atas, tapi seorang paderi cepat mencegahnya.
"Tandu
Wiryo! kenapa kau kelihatan begitu sewot. Apa hendak menyembunyikan
rasa takutmu…?" kembali Wiro menempelak dengan ejekannya.
Mulut Tandu
Wiryo kelihatan komat kamit entah menyumpah apa. Sambil cengar cengir
Wiro kemudian lanjutkan kata-katanya. "Dua murid Partai Lawu Megah itu
nyatanya sudah sejak lama melakukan hubungan gelap, entah di luaran
entah di puncak Gunung Lawu ini. Pokoknya yang jelas hubungan terkutuk
itu telah membuat Sularwasih hamil alias bunting alias mengandung alias
berbadan dua. Kalian dengar semua?! Sularwarsih bunting akibat
hubungannya dengan Tandu Wiryo.
Hal ini membuat mereka takut dan
berusaha menggugurkan kandungan. Tetapi telah kasip. Mereka mencari akal
untuk menyelamatkan diri dan sewaktu aku bertemu dengan mereka di
penginapan Candi. Magelang, ternyata akulah yang mereka jadikan
bulan-bulanan kambing hitam. Sekarang Sularwarsih sudah hamil memasuki
empat bulan. Jika kalian tidak percaya silahkan geledah perutnya."
Kata-kata Wiro yang tandas itu membuat semua orang kaget laksana disambar petir.
"Tidak!
Tidak! Dia berdusta!" tiba-tiba Sularwarsih berteriak. Gadis ini tutup
mukanya dengan telapak tangan, lalu tanpa diduga siapapun dia melompat
dari tingkat dua itu ke genting bangunan di sebelahnya dan lenyap.
Pendekar
Pedang Akhirat berseru. "Resi Tumbal Soka apa kau tidak memerintah
orang-orangmu untuk mengejar dan menangkap gadis bunting itu?"
Wajah Resi Tumbal Soka membesi merah padam.
"Hal
itu bisa dilakukan nanti. Toh dia mau lari kemala! Yang penting pemuda
gondrong ini harus mempertanggung jawabkan tuduhan kejinya itu."
Wiro
tertawa mengejek. "Ketua! Tuduhan bukan cuma tuduhan membabi buta dan
palsu seperti yang pernah dilakukan orang-orang Partai Lawu Megah
terhadapku. Aku datang lengkap membawa dua saksi hidup." Wiro berpaling
pada janda Gundali dan berkata, "Perempuan ini sekarang menjadi janda
karena suaminya telah dibunuh oleh Tandu Wiryo."
Kembali semua orang jadi gempar.
"Suaminya
bekerja di Penginapan Candi di Magelang dan secara kebetulan telah
mengintip perbuatan mesum Tandu Wiryo dengan Sularwasih, bahkan
mendengar juga pembicaraan mereka hendak mencelakakan akau Mbakyu, kau
tuturkan sendirilah semua apa yang kau ketahui!"
Dengan
tersendat-sendat janda Gundali ceritakan apa yang pernah diterangkan
suaminya padanya. Lagi-lagi gunung Lawu menjadi gempar. Disaat itu
tiba-tiba Tandu Wiryo putar tubuh hendak melarikan diri tapi dari bawah
Pendekar Pedang Akhirat yang sejak tadi mengawasi pemuda ini cepat
jentikkan jarinya, kirimkan totokan jarak jauh yang lihay hingga detik
itu juga Tandu Wiryo tak mampu berkutik lagi!
"Bagus…. bagus! Semua mulai terang kini! Yang busuk mulai kelihatan belangnya!
Ayo sobatku sekarang aku ingin tahu tentang perempuan gemuk ini. Siapa dia!" seru si kakek pula.
"Perempuan
ini adalah pedagang sayur mayur yang menjadi langganan penginapan Candi
di Magelang. Hari itu ketika aku masuk penginapan secara tak sengaja
aku bertabrakan dengan dia yang sedang membawa keranjang. Tabrakan ini
membuat salah satu kancing bajuku tanggal dan jatuh. Aku tak dapat
menemukannya. Kancing baju inilah yang kemudian diambil oleh Tandu Wiryo
sebagai bukti bahwa aku seolah-olah memang pernah masuk ke kamari
Sularwasih! Sialan betul! Ibu gemuk, kau berikanlah kesaksianmu!"
Perempuan gemuk tukang sayur itu lantas memberikan kesaksiannya! Pucat pasi laksana kain kafan wajah Tandu Wiryo.
"Resi Tumbal Soka! Sekarang aku minta agar kau menggantung murid terkutuk itu!
Di
hadapanku! Di hadapan sobatku dan semua murid-murid partai! Jika kau
dulu berani memutuskan hukuman gantung bagi sobatku maka hari ini kau
harus berani menjatuhkannya pada Tandu Wiryo! Ayo!"
Mulut ketua
partai Lawu Megah tampak terpencong-pencong. Sulit baginya menjawab
kata-kata kakek muka tengkorak itu. Namun akhirnya dia berkata juga.
"Soal hukuman itu adalah urusan kami. Kau orang luar tidak layak
mendikte!"
"Ah, sungguh enak sekali kalau begitu Resi Tumbal Soka.
Murid sudah terbukti salah masih tak mau mengambil tindakan! Aku curiga
jangan-jangan kaupun ikut terlibat dalam_persoalan ini!" seru si kakek.
"Bangsat tua! Kurobek mulutmu!"
"Silahkan, aku mau lihat!" tantang si kakek yang memang sudah jengkel dan muak meiihat kctua Partai Lawu Megah itu.
"Aku
mengajukan usul!" Wiro berseru tiba-tiba. "Bagaimana kalau Tandu Wiryo
langsung mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya satu lawan satu
denyanku?"
"Aku sudah bilang kami yang membuat aturan di sini, bukan kalian yang mendikte!" teriak Resi Tumbal Soka.
"Wah, berabe kalau begini kakek." kata Wiro pada si kakek muka tengkorak.
"Sekarang
kalian kupersilahkan angkat kaki dari sini, kecuali Wilarani. Kau ada
keperluan apakah datang kemari bersama-sama mereka, Wilarani? Apa ikut
bersekutu?!" kata Resi Tumbal Soka pula.
"Saya datang untuk menyambangi guru Resi Kumbara!" jawab Wilarani.
"Sayang sekali kakek itu tak mungkin menerimamu. Lain kali saja. Dan kau pergilah pula dari sini!"
Wiro
maju kemuka. "Aku dan kawan-kawan akan pergi dari sini. Tetapi lebih
dahulu harus bertemu dengan Resi Kumbara. Tempo hari aku telah
menyerahkan sebuah senjata mustika sebagai jaminan. Sekarang aku harus
memintanya kembali".
"Lupakan senjatamu itu. Kalau semua sudah selesai pasti akan dikembalikan!"
"Kentut! Pokoknya aku harus mendapatkan senjata itu kembali! Saat ini juga dan bukan nanti!"
"Memang senjata itu sudah saatnya harus dikembalikan," kata si kakek pula.
"Kalian tak bisa bertemu dengan dia…."
"Kenapa?"
"Dia tengah menjalani hukuman dalam penjara bersama paderi Permana dan tiga paderi lainnya!"
Wilarani kaget sekali Wiro dan Pendekar Pedang Akhirat jadi melongo.
"Kalau begitu kami akan menemuinya di penjara!" kata Wiro kemudian.
"Kalian jangan keliwat memaksa dan bicara seenaknya. Silahkan pergi dari sini dengan aman…."
"Resi
Tumbal Soka keparat! Kaulah rupanya yang jadi biang racun dari semua
yang terjadi disini? Turunlah dan mari bertempur sampai mampusl" teriak
Wiro Sableng.
Seumur hidupnya Resi Tumbal Soka tak pernah dimaki
begitu rupa, apalagi di hadapan sekian puluh pasang mata. Amarahnya
mendidih. Dia berteriak memberi perintah, "Bunuh pemuda itu!"
ENAM orang paderi dan delapan murid kelas satu bergerak maju mengurung Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid
Sinto Gendeng ini betul-betul sudah sampai dibatas kesabarannya. Dia
membentak. "Kalian ini tertalu bodoh, mau saja disuruh mampus! Atau
memang sudah bosan hidup hingga ingin buru-buru mati?"
Enam paderi keluarkan bentakan buas dan menyerang Wiro tanpa banyak bicara lagi.
Disaat
yang menegangkan itu Wiro Sableng berseru memanggil kakek muka
tengkorak. "Kakek, lihatlah bagaimana aku mainkan jurus ke tiga dari
ilmu pedangmu "Setan meratap malaikat menangis!"
Si kakek yang tadi
hendak melakukan sesuatu terpaksa perhatikan pemuda itu. Wiro mainkan
jurus ilmu pedang itu dalam gerakan tangan kosong yang luar biasa yang
dirasakan lebih hebat dari pada yang dimainkan sendiri olehnya sementara
tangannya bergetar oleh kekuatan tenaga dalam. Tangan kiri tiba-tiba
lepaskan pukulan "sinar matahari" sedang tangan kanan menghantamkan
pukutan "dewa topan menggusur gunung."
Terjadilah hal yang hebat.
Puncak Gunung Lawu itu laksana di landa gempa. Jeritan enam paderi dan
delapan anak murid partai terdengar susul menyusul. Di seberang sana
sembilan murid partai lainnya ikut tersapu oleh dua pukulan maut itu.
Wiro yang sudah kalap terus mengamuk hingga keadaan tidak beda seperti
di neraka!
Ketika semua itu terjadi, diatas bangunan tingkat dua si
kakek melihat Resi Tumbal Soka melepaskan totokan ditubuh Tandu Wiryo
dan membisikan sesuatu pada pemuda ini. Si kakek cepat berpaling pada
Wilarani dan berkata, "Kau tahu letak penjara di mana Resi Kumbara
dijebloskan?"
Gadis itu mengangguk.
"Pergilah ke sana dan lepaskan gurumu. Dua perempuan ini kau selamatan lebih dulu ke tempat aman!"
Habis
berkata begitu si kakek lantas melesat ke bangunan tingkat dua tepat
pada saat Tandu Wiryo hendak bergerak pergi! Sekali tangan si kakek
mendorong, Tandu Wiryo jatuh ke lantai, sekujur tubuhnya seperti lumpuh
tak bisa lagi berkutik!
Melihat hal ini Resi Tumbal Soka jadi marah.
"Tua
bangka sundal! Kau sudah saatnya dibasmi!" teriak ketua Partai Lawu
Megah itu. Dalam kemarahan paderi ini sudah tak bisa lagi mengontrol
kata-katanya yang keluar.
Si kakek cuma tertawa mendengar makian itu.
Juga masih tertawa sewaktu Resi Tumbal Soka kebutkan lengan jubahnya,
kirimkan pukulan yang mengandung angin hebat sekali. Jangankan manusia,
batu sekalipun pasti ambruk terkena kebutan lengan jubah ini! Sesaat
lagi angin pukulan akan melabrak, kakek muka tengkorak ini dorongkan
telapak tangan kanannya ke depan menyambut serangan lawan. Terjadilah
hal yang hebat. Bangunan tingkat dua itu bergetar keras, langit-langit
serta teralinya ambruk sewaktu terjadi bentrokan dua kekuatan tenaga
dalam yang dasyat!
Resi Tumbal Soka berseru tegang, Parasnya pucat.
Tubuhnya pasti terjungkal jika tidak tertahan dinding bangunan. Memang
dalam hal tenaga dalam ketua Partai Lawu Megah ini mana bisa menang dari
Pendekar Pedang Akhirat yang sudah dianggap jago nomor satu dalam
tenaga dalam dan pedang di dunia persilatan. Padahal sekitar satu tahun
yang silam dia pernah memberikan sebagian dari tenaga dalamnya pada Wiro
Sableng yakni waktu pemuda itu selamatkan si kakek dari liang maut.
Sambil usap-usap telapak tangannya yang bergetar dan terasa panas akibat
bentrokan tenaga dalam itu, si kakek tertawa mengekeh.
"Hari ini kau betul-betul mendapat pelajaran, paderi brengsek!"
Dengan
geraham bergemeletakan Resi Tumbal Soka keluarkan Kapak Naga Geni 212
dari balik jubahnya. Kaget si kakek muka tengkorak bukan kepalang.
"Heh! Bagaimana senjata itu ada di tanganmu hah?!" serunya.
"Tak
usah banyak tanya!" hardik Resi Tumbal Soka. Sekali dia ayunkan Kapak
Naga Geni 212 maka berkiblatlah sinar menyilaukan disertai suara
mengaung seperti ratusan tawon mengamuk!
Pendekar Pedang Akhirat yang
sudah maklum kehebatan senjata ini cepat melompat mundur dan cabut
pedang mustikanya. Pada dasarnya Resi Tumbal Soka mengetahui kehebatan
ilmu pedang lawan yaitu tak satu ilmu pedang lainpun pada masa itu
sanggup menandinginya. Namun karena sudah terlanjur kalap di samping
merasa dapat mengandalkan senjata yang kini ada di tangannya maka dia
keluarkan jurus-jurus silat Partai Lawu Megah yang paling hebat dan
menyerbu lawannya tidak kepalang tanggung.
Pendekar Pedang Akhirat
sendiri terpaksa pula keluarkan jurus-jurus silat simpanannya. Baginya
ilmu silat lawan bukan apa-apa. Tetapi senjata Wiro yang di tangan Resi
Tumbal Soka itulah yang tak bisa dibuat main. Harus diakui bahwa pedang
mustikanya sendiri kehebatannya masih berada dibawah kapak itu. Setelah
berhati-hati selama delapan jurus akhirnya si kakek mulai dapat
menguasai lawannya. Jurus demi jurus, serangan pedangnya yang laksana
berubah jadi puluhan banyaknya itu mengurung Resi Tumbal Soka dari
segala penjuru.
Dalam satu gebrakan yang hebat tiba-tiba si kakek
berteriak. "Lepaskan senjata itu, paderi brengsek! Lepaskan dan berikan
padaku!"
Tapi mana Resi Tumbal Soka sudi menurut perintah lawannya
itu. Malah sambil merangsak maju dia memaki. "Tua bangka sundal!
Sebentar lagi kau bakal mampus jadi setan penasaran!"
"Paderi tolol! Diberi peringatan tidak mau dengar! Sekarang kau harus serahkan senjata itu berikut tanganmu!"
Pedang
mustika di tangan kakek lihay itu berkiblat dalam gerakan aneh dan
tahutahu cras! Putuslah lengan kanan Resi Tumbal Soka dan mental ke
udara berikut Kapak Naga Geni 212. Resi Tumbal Soka menjerit-jerit macam
orang gila karena kesakitan. Dia kemudian totok urat-urat besar di
bahunya hingga darah berhenti memancur dari luka pada lengan.
Pada saat itu dari arah timur lapangan terdengar seruan keras mengumandang.
"Hentikan pertempuran!"
Begitu
berwibawa suara teriakan itu hingga semua orang yang sedang bertempur
berhenti memandang ke timur kelihatanlah Resi Kumbara bersama Resi
Permana dan tiga paderi serta Wilarani.
"Tobat! Puncak Gunung Lawu
telah banjir darah. Satu hal yang seharusnya tak perlu terjadi!" Bekas
ketua Partai Lawu Megah ini memandang ke abangunan bertingkat dan
kembali berseru. "Resi Tumbal Soka, kau kemarilah!"
Saat itu Resi
Tumbal Soka bukan saja tengah mengalami luka parah tetapi juga sakit
hati dendam kesumat yang bukan kepalang. Dan kini mendengar kakaknya
memanggil timbullah rasa takutnya.
"Maaf kakang! Aku tak bisa datang
menghadapmu! Jikalau umur sama panjang tentu kita bakal bertemu lagi!"
Lalu Resi Tumbal Soka berpaling pada Pendekar Pedang Akhirat yang tegak
di depannya sambil menimang-nimang Kapak Naga Geni 212.
"Suatu ketika
kelak aku akan mencarimu, tua bangka sundal! Saat itu akan kau rasakan
berapa hebatnya pembalasanku!" Habis berkata begitu paderi ini putar
tubuh.
"Hai, kunyuk tua! Kau hendak lari kemana?!" seru si kakek dan
bergerak hendak mengejar. Tapi membatalkan gerakannya itu tatkala
dibawah sana terdengar Resi Kumbara berseru. "Biarkan saja dia, sobat!
Memang dia tak layak berada lebih lama disini."
Si kakek angkat bahu
kemudian pandangannya membentur tubuh Tandu Wiryo yang melingkar di
lantai, lumpuh tak bergerak akibat totokannya. Si kakek pergunakan
kakinya untuk membuka totokan di tubuh si pemuda terkutuk dan sekaligus
menendangnya hingga Tandu Wiryo mencelat mental dan jatuh tepat
dihadapan Wiro Sableng!
Wiro jambak rambut pemuda ini lalu tampar keras-keras pipi kanannya hingga mulutnya robek. Tandu Wiryo meraung kesakitan.
"Buset! Suaramu kok jadi buruk sekarang! Mana mulut besarmu yang suka bicara seenaknya itu!"
"Wiro!"
terdengar seruan Resi Kumbara, "Biarkan dia. Biar aku yang menjatuhkan
hukuman pada manusia sesat dan keji itu! Wiryo, kemari lekas!"
Dengan terhuyung-huyung dan sambil pegangi pipinya yang mengucurkan darah. Tandu Wiryo melangkah kehadapan Resi Kumbara.
"Semua
ini terjadi gara-garamu! Gara-gara nafsu kotormu! Gara-gara otakmu yang
sesat, licik dan keji! Seharusnya kupenggal kepalamu detik ini juga!
Tetapi ada hukuman lain yang lebih pantas bagimu biar kau rasakan selama
hidupmu!"
Resi Kumbara ulurkan tangannya ke selangkangan Tandu Wiryo. Terdengar pekik pemuda ini setinggi langit.
"Pergi dari sin.! Aku tidak sudi lagi melihat mukamu! Seumur hidup Gunung Lawu merupakan daerah terlarang bagimu!"
Terkangkang-kangkang
Tandu Wiryo tinggalkan tempat itu. Darah kelihatan bercucuran dari
selangkangannya. Semua orang tidak menyangka demikian kejam
danmengerikannya hukuman yang dijatuhkan oleh Resi Kumbara. Seluruh
anggota rahasia pemuda itu diremas hancur dan cacat selama-lamanya!.
Resi Kumbara menghela nafas panjang dan memandang pada Wiro Sableng serta Pendekar Pedang Akhirat yang melangkah mendatanginya.
"Apakah kalian berdua sudah puas sekarang…?" menegur bekas ketua Partai Lawu Megah itu.
Si kakek batuk-batuk beberapa kali.
"Bukan
maksud kami sampai terjadi yang begini. Tapi kau tentu maklum, keadaan
memaksa. Aku yang tua dan sahabat mudaku ini mohon maaf
sebesar-besarnya. Karena cerita sebenarnya tentang perkosaan itu telah
diketahui oleh semua orang disini maka aku dan sahabatku mohon diri!"
Si kakek dan Wiro menjura. Melirik ke samping Wiro lihat Wilarani. "Kau bagaimana? Akan pergi sama-sama kami?"
"Sayang aku tak bisa ikut bersamamu, Wiro. Banyak tugas yang harus kulakukan di sini bersama guru!"
Wiro
mengangguk. "Kau murid yang baik. Sekali lagi terima kasih atas
pertolonganmu tempo hari!" Wiro lambaikan tangannya dan segera
berkelebat pergi tapi si kakek memegang bahunya dan angsurkan tangan
kirinya yang memegang Kapak Naga Geni 212.
"Kau tak ingin membawa ini?"
"Astaga, aku sampai lupa. Terima kasih kakek. Mari kita pergi."
"Ya,
kita segera pergi. Tapi bagaimana dengan dua perempuan itu?" ujar si
kakek seraya menunjuk pada janda Gundali dan perempuan pedagang sayur.
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Lalu dia mendekati janda Gundah dan langsung
dukung perempuan ini seraya berkata sambil tersenyum pada si kakek.
"Sekarang giliranmu untuk menggendong si gemuk itu!" Wiro tertawa
gelak-gelak dan berkelebat pergi sedang si kakek memaki panjang pendek.
Mau tak mau dia harus mendukung nyonya gemuk pedagang sayur itu!
Resi
Kumbara cuma bisa geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan kedua
orang itu. Setelah terjadinya peristiwa besar di puncak gunung Lawu itu
dan perginya sang ketua Resi Tumbal Soka, maka Resi Kumbara mengangkat
Resi Permana menjadi ketua yang baru sedang dia sendiri kembali
mengundurkan diri ke ruangan samadi.
TAMAT