LEMBAH MERAK HIJAU
yang terletak di propinsi Ciat-kang merupakan sebuah lembah subur
dengan pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena di sebelah timur
lembah ini terdapat daerah persawahan yang luas dan pada saat itu padi
yang ditanam telah masak menguning hingga kemanapun mata memandang,
seolah-olah hamparan permadani emaslah yang kelihatan. Bila angin
bertiup, padi-padi masak menguning itu bergoyang melambai-lambai
mengalun lemah gemulai.
Dipagi yang cerah ini diantara desau tiupan
angin lembah yang segar terdengarlah suara tiupan seruling yang merdu
sekali. Barang siapa yang mendengarnya, pastilah akan tertegun dan
memasang telinga baik-baik menikmati suara seruling itu. Siapakah
gerangan yang meniup seruling tersebut? Tentunya seorang seniman pandai
yang dapat menggambarkan keindahan pemandangan alam sekitarnya lewat
hembusan napas yang disalurkannya ke dalam lobang seruling.
Tetapi
adalah diiuar dugaan karena kenyataannya si peniup seruling bukanlah
seorang seniman, bukan pula seorang dewasa. Melainkan seorang anak
gembala yang baru berusia tujuh tahun dan duduk di atas punggung seekor
kerbau besar tegap berbulu bersih dan berkilat.
Perlahan-lahan kerbau
besar itu melangkah menyusur tepi sawah, memasuki lembah Merak Hijau,
kemudian mendaki bibir lembah di sebelah selatan. Di atas punggungnya
bocah berusia tujuh tahun itu demikian asyiknya meniup seruling hingga
dia tidak perduli lagi ke mana pun kerbaunya membawanya.
Akan tetapi
ketika binatang itu sampai di atas lembah sebelah selatan serta rnerta
si bocah menghentikan permainan serulingnya. Mulutnya ternganga dan
sepasang matanya yang bening melotot begitu dia menyaksikan pemandangan
di hadapannya. Dua sosok tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang hitam
dan putih dilihatnya berkelebat hebat, terlibat dalam suatu perkelahian
yang gencar dan seru.
Adalah aneh… memikir anak itu… di tempat yang
begini indah dan segar, ada orang berkelahi. Memperhatikan dengan mata
tak berkesip lama-lama membuat si bocah menjadi pusing sendiri. Beberapa
kali dia memejamkan matanya, dibuka kembali, dipejamkan lagi, dibuka
lagi. Ketika dia membuka sepasang matanya untuk yang kesekian kalinya,
dilihatnya bayangan hitam mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu
tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok tubuh bayangan hitam. Tapi
bayangan putih dapat mengelak. Tendangan maut itu tak sengaja terus
melabrak kepala kerbau yang ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan
keras. Kerbau besar itu mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di
tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki tadi terpelanting dan
nyangsrang dalam semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak dan kulitnya
baret luka-luka. Tapi suling Kesayangannya masih tergenggam di tangan
kanannya. Dengan susah payah dia keluar dari semak-semak itu sambil
mengomel marah ketika mengetahui apa yang terjadi dengan kerbau
tunggangannya.
Di depan sana akibat kejadian yang tak disangka-sangka
itu, dua orang yang tadi berkelahi mati-matian sama melompat mundur.
Perkelahian terhenti dan keduanya memandang ke arah si bocah dan
kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat dengan jelas sosok tubuh dan tampak kedua bayangan hitam dan putih tadi.
Di
depan sebelah kanan tegak seorang kakekkakek berjubah hitam berkepala
botak plontos yang kilat-kilat ditimpa sinar matahari. Sepasang alisnya
tebal, kumisnya jarang tapi tebal-tebal dan panjang. Tampangnya persis
seperti anjing air!
Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-kakek
berpakaian putih. Rambutnya panjang putih meriap bahu. Dia memelihara
kumis serta janggut lebat yang juga berwana putih. Sepasang matanya
memandang tajam pada bocah yang memegang suling sedang kulit keningnya
berkerut seolah-olah dia tengah memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi
hanya melihat bayangannya saja. namun bocah pengembara itu yakin kakek
berjubah hitam itulah yang telah melepaskan tendangan hingga mematikan
kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai dasar watak yang berani. Dengan
mata melotot dan air muka menunjukkan kemarahan dia membentak pada kakek
jubah hitam :
“Tua bangka botak! Kau telah membunuh kerbauku! Aku pasti akan dirajam oleh majikanku! Kau harus menggantinya kalau tidak…."
Seumur
hidupnya baru kali itu kakek berjubah hitam dimaki begitu rupa oleh
seorang lain. apalagi anak-anak yang masih ingusan pula! Tentu saja
darahnya naik ke kepala
"Pergi kau dari sini. kalau tidak kepalamu akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang mati itu!’
"Bocah
sundal! Kau mampuslah!’ teriak kakek jubah hitam marah sekali. Tangan
kanannya dipukulkan ke depan. Serangkum angin menderu dahsyat. Jangankan
seorang anak kecil seperti pengembala itu, batu karang atos sekalipun
kalau sampai dilabrak pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam
Suar biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan
kosong itu menghantam anak gembala, dari samping menderu angin pukulan
lain, menggempur angin pukulan yang pertama hingga berantakan dan punah!
Ternyata kakek berpakaian putihlah yang telah menolong bocah itu!
Si
anak yang tidak sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya
maut. dengan marah mengangkat sulingnya tinggi-tinggi dan lari ke arah
kakek berjubah hitam.
"Tua bangka botak! Kugebuk kau dengan sulingku kalau kau tak mau ganti kerbau yang mati!"
Anak
yang berani ini tidak menyadari sama sekali kalau perbuatannya itu
bakal merenggut nyawa sendiri karena dalam kemarahannya kakek jubah
hitam memang sudah berniat membunuh anak itu. Tapi lagi-lagi orang tua
berpakaian putih menyelamatkannya Sekali bergerak, kakek yang satu ini
tahu-tahu sudah telah mencengkram kerah pakaian bocah itu dan menariknya
ke tempat yang aman!
"Budak! Keberanianmu luar biasa dan
mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu bukan lawanmu! Biar aku yang
mewakilimu untuk menggebuknya!"
Sesaat anak gembala itu terdiam.
Kemudian dengan merengut dia berkata : "Kalian tua-tua bangka tak tahu
diri.-Berkelahi macam anak-anak!"
Kakek berjanggut putih tertawa
gelak gelak. Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala botak membentak
garang dan menyerbu. Kembali kedua orang ini bertempur hebat Kembali
tubuh mereka menjadi bayangbayang hitam putih dan kembali pula si bocah
menjadi sakit mata dan pening kepalanya menyaksikan. Namun dia
memaksakan untuk memperhatikan kejadian hebat itu sambi! tiada hentinya
berteriak : Janggut putih, ayo kau hajar kepala botak pembunuh kerbauku
itu! Sikat! Pecahkan kepalanya seperti dia memecahkan kepala binatang
gembalaanku!"
Teriakan-teriakan anak ini seolah-olah memberi semangat
pada kakek berpakaian pulih, sebaliknya membuat si botak jadi penasaran
setengah mati!
Dari batik jubah hitamnya si botak ini keluarkan
senjatanya berupa tongkat kayu berwarna hitam legam dan memancarkan
sinar menggidikkan. Setelah bertempur hampir dua ratus jurus ternyata
dia tak dapat merubuhkan lawan dengan iangan kosong maka kini dengan
senjata itu dia berharap bakai dapat mengalihkan kakek janggut putih.
Diiain
pihak lawannya begitu melihat musuh pegang senjata tidak pula menunggu
lebih lama, segera keluarkan senjatanya yakni sebatang tombak pendek
terbuat dari baja putih yang kedua ujungnya bercagak.
Sesaat kemudian
keduanya sudah bertempur kembali dengan hebatnya. Kini bayangan pakaian
mereka yang putih dan hitam dibuntali oleh sinar dari senjata
masing-masing dan menderu-deru dengan dahsyatnya.
Bocah gembala yang
berdiri jauh dari tempat itu merasakan bagaimana sambaran kedua senjata
tersebut membuat lututnya guyah dan tubuhnya bergetar menggigil Terpaksa
dia menjauh sampai satu tombak dari kalangan pertempuran sementara mata
dan kepalanya semakin sakit menyaksikan.
Dalam satu gebrakan hebat
kakek janggut putih berhasil mendesak lawan dan setelah mengirimkan
tusukan-tusukan gencar ke arah tawan tiba-tiba robah gerakan tongkatnya
dengan satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek botak berseru kaget.
Buru-buru dia melintangkan senjatanya di atas kepala. Tombak baja dan
tongkat kayu mustika beradu dengan keras, me ngeluarkan suara nyaring.
Tongkat kayu mental patah dua sedang tombak baja terlepas dari tangan
kakek janggut putih! Nyatalah kedua kakek-kakek itu sama tangguh
meskipun si janggut putih unggul sedikit dari lawannya.
Selagi kakek
janggut putih melompat mengambil tongkatnya, si kepala botak rangkapkan
dua tangan di depan dada, kaki terkembang dan kedua matanya dipejamkan.
Mulutnya komat-kamit. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul asap hitam.
Kemudian terdengar kekehannya.
"Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan
asap hitam itu sedetik kemudian berobah menjadi delapan buah tangan
yang amat besar, berbulu dan berkuku-kuku panjang laksana cakar burung
garuda dan mulai menggapaigapai ke arah kakek janggut putih.
"Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan wajah berobah. (Hoatsut ilmu sihir hitam).
Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti dan ilmu silat hebat
bagaimana pun dia tidak gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau tak mau
hatinya berdebar juga. Dia mengambil keputusan nekad. Menghajar si
kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu hitamnya melancarkan serangan.
Dengan memutar tombak bajanya sekeliling tubuh, dia menyusup diantara
kepulan asap hitam!
2
AKAN TETAPI SEBELUM
tongkat baja berkepala dua itu mampu mendekati kakek jubah hitam sampai
jarak tiga jengkal, tiba-tiba delapan buah tangan mengerikan telah
berserabutan menyerang kakek janggut putih!
Si kakek tersentak dan
buru-buru menghindarkan diri. Tapi empat tangan berkuku panjang itu
masih memburunya dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak bajanya,
sekaligus melabrak empat buah tangan yang menyerang. Aneh, meskipun
jelas dia berhasil menghantam empat tangan mengerikan itu namun
tombaknya lewat begitu saja seolah-olah menghantam udara kosong! Dan
dalam pada itu salah satu tangan tersebut telah berkelebat dengan cepat
dan bret!
Pakaian dibagian dada si kakek robek besar. Kuku-kuku yang
panjang masih sempat membuat baret daging dadanya dan kontan orang tua
ini merasakan tubuhnya panas dingin. Buru-buru dia salurkan tenaga
dalamnya kebagian dada yang cedera dan rasa sakit panas dingin
berangsur-angsur berkurang.
Dalam pada itu di depan sana kakek jubah
hitam kembali keluarkan suara tawa mengekeh dan delapan tangan siluman
kembali menyerbu!
Kakek janggut putih maklum bahwa segala pukulan
sakti dan tombaknya tak akan mampu meng hadapi ilmu sihir yang ganas
itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan mengandalkan ginkangnya yang
sudah amat tinggi. Tapi sampai berapa lama dia bisa berbuat begitu?
Seratus, dua ratus atau katakanlah sampai tiga ratus jurus di muka?
Dalam umurnya yang sudah demikian lanjut, apakah dia mampu
melaksanakannya? Cepat atau lambat dia bakal celaka juga! Hal ini
membuat dia nekad dan mengamuk dengan hebat. Tapi ilmu siluman musuh
betulbetul luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja dia sudah didesak
habis-habisan!
Bocah penggembala yang mengharapkan agar kakek
janggut putih bisa menghajar si botak yang telah membunuh kerbaunya itu,
jadi kecewa dan penasaran ketika menyaksikan bagaimana justru kakek
janggut putih itu terdesak hebat bahkan terancam jiwanya karena saat itu
beberapa kali tangantangan iblis berkuku panjang telah memukul dan
mencakar tubuhnya hingga dalam tempo singkat kakek ini mandi darah
akibat luka-luka yang dideritanya!
Dengan marah anak laki-laki itu
mulai mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan dan melempari kakek jubah
hitam dari belakang. Tapi semua batubatu yang dilemparkan jangankan
mengenai, mendekati tubuhnya saja pun tidak karena batu-batu itu mental
kembali akibat hawa sakti yang keluar dari tubuh si jubah hitam kepala
botak!
Hebatnya kakek janggut putih itu meskipun sadar bahwa dirinya
bakal celaka dan kematiannya sudah ditentukan saat itu, namun dia masih
saja bertahan dan melawan mati-matian, sama sekali tidak mau menyerah
apalagi lari selamatkan dirinya!
Melihat keadaan kakek berjanggut
putih itu dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu bakal
menyerangnya pula, timbullah rasa takut dalam diri anak penggembala.
Tetapi anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan diri dari tempat
ini. Malah untuk menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil
serulingnya dan mulai meniup. Lagu yang dimainkannya sama sekali tak
menentu. Rasa takut dan khawatir melihat keselamatan si kakek janggut
putih terancam membuat tiupan serulingnya melengkinglengking tak karuan.
Tetapi justru tiupan seruling inilah yang mendadak sontak merubah
keadaan di dalam kalangan perkelahian hidup mati itu!
Delapan tangan
iblis yang mengerikan kini kelihatan berserabutan dalam gerakan-gerakan
kacau. semakin lama semakin mengecil akhirnya berubah menjadi asap
hitam. Kakek jubah hitam tersentak kaget. Dia berkeras memusatkan
pikirannya guna mengumpulkan kekuatan bathin yang tercerai berai namun
tak berhasil bahkan tangan-tangan siluman itu telah berubah jadi kepulan
asap hitam dan lenyap.
"Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka
kedua matanya justru disaat itu musuhnya yang telah luka parah laksana
banteng terluka mengamuk melihat perubahan yang mendadak dan adanya
kesempatan untuk menyerang, tanpa tunggu lebih lama lancarkan gerakan
mematikan yang bernama "Joan hun-kigwat" atau "menyusup awan mengambil
rembulan."
Tongkat baja bermata dua itu menusuk laksana kilat ke dada
si jubah hitam dan tanpa dapat dielakkan lagi tepat menembus jantungnya
hingga tanpa suara sedikit pun kakek berkepala botak itu minggat
nyawanya ketika itu juga!
Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak gembala tadi bersorak gembira dan jingkrak-jingkrakan.
"Syukur!
Mampuslah pembunuh kerbau! Baru aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa
yang akan dikatakannya nanti pada majikannya akan ini lantas jadi
termenung murung.
Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya penuh
luka-luka, dalam keadaan megap-megap segera bersila di tanah. Atur jalan
darah dan napas serta salurkan hawa sakti tenaga dalam keseluruh bagian
tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluarkan dua macam obat yakni
beberapa butir pel dan sebungkus obat bubuk. Pel itu ditelannya sampai
habis sedang obat bubuk dituangkannya pada luka-luka sekujur tubuhnya.
Kemudian kembali dia bersila. Sekitar seperminuman teh berlalu.
Perlahanlahan orang tua ini membuka kedua matanya dan berdiri. Meski
kini dia telah selamat dari kematian namun kesehatannya belum pulih
keseluruhannya. ternyata cakar dari jari-jari tangan siluman yang telah
membuat dia cedera itu mengandung racun yang berbahaya. Untung saja dia
membawa persediaan obat, kalau tidak meskipun dia berhasil membunuh
musuh namun racun, yang mengendap bukan mustahil bakal membuat dia
menemui ajalnya pula dalam satu dua hari dimuka.
Orang tua ini
kemudian ingat pada anak gembala itu yang kini tengah duduk
termangu-mangu di bawah sebatang pohon. Meskipun kerbau gembalaannya
mati bukan karena kesalahannya dan si pembunuh sudah pula menemui ajal
namun majikannya pasti tak mau perduli. Masih mending kalau dia
diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh ganti?
Selagi dia
termenung sudah begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat.
Dia merasakan tengkuk pakaiannya dicekal orang dan kemudian dirasakannya
tubuhnya laksana terbang. Memandang ke samping ternyata dia telah
dipanggul oleh kakek berjanggut putih dan membawa lari dengan kecepatan
yang luar biasa, membuat dia gamang dan ngeri.
"Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!" seru si bocah dengan suara gemetar.
"Budak… kau diam sajalah. Tak usah banyak tanya!"
"Tapi aku harus kembali pada majikanku. Memberi tahu tentang kerbau yang mati itu…."
Si kakek tertawa.
Kau
anak baik yang tahu apa artinya tanggung jawab. Tapi lupakan saja
majikanmu dan kerbaumu itu! Persetan! Potongan tubuh dan ruas tulangmu
kulihat bagus sekali! Sayang… sayang kalau disiasiakan! Aku akan bawa
kau ke puncak Liongsan! Kau dengar? Puncak Liongsan!"
"Aku… aku…."
Si
kakek mempercepat larinya dan kerena ngeri si bocah tak berani lagi
banyak bicara, malah kini dia pejamkan kedua matanya. Tanpa sadar
akhirnya dia tertidur di atas pundak kakek yang membawanya "terbang"
itu!
Siapakah adanya kakek berambut putih ini? Siapa pula musuh
berjubah hitam itu dan apa tujuannya sampai anak gembala tersebut hendak
dibawanya ke puncak Gunung Naga yang selama ini dianggap angker dan
jarang didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek jubah hitam yang menemui
ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan Tongkok dikenal dengan
julukan angker Raja Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong. Pada masa
itu diantara tokohtokoh silat golongan hitam yang sesat Pak-san Kwi-ong
dianggap tokoh terlihay dan secara tidak resmi dijadikan sebagai
pimpinan. Dengan sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid dari orang
persilatan golongan putih.
Sekitar tiga tahun yang lalu antara
Pak-san Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih yang membawa lari anak
gembala tadi, telah terjadi bentrokan. Dalam perkelahian satu lawan satu
yang seru dan berlangsung seratus jurus, kakek janggut putih berhasil
mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan bibit pangkal dendam kesumat
sakit hati. Selama tlya tahun Pak-san Kwi-ong melatih diri memperdalam
ilmu silat, tenaga dalam dan gingkangnya. Disamping itu dia meyakini
pula satu ilmu baru yakni ilmu hitam atau sihir. Setelah dia merasa
cukup sanggup untuk melakukan penuntutan balas, maka dicarinyalah kakek
janggut putih tadi. Ternyata Paksa n Kwi-ong memang berhasil menghadapi
musuh besarnya itu, bahkan ilmu hitamnya dia hampir saja dapat membunuh
lawan. Namun tiada disangkasangka, ilmu sihirnya musnah berantakan hanya
karena tiupan seruling bocah penggembala kerbau. Dan akhirnya secara
penasaran dia terpaksa serahkan jiwanya pada musuh!
Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu?
3
KALAU SEBELUMNYA
telah dijelaskan bahwa Paksan Kwi-ong merupakan tokoh silat golongan
hitam yang paling tinggi ilmu silat dan kesetiaannya pada masa itu, maka
dari golongan putih boleh dikatakan kakek janggut putih itulah yang
menjadi tokoh kelas wahidnya. Dia dikena! dengan nama Kiat Bo Hosiang,
berusia 70 tahun dan bergelar Sin-jiu Thung ong atau Raja Tongkat Tangan
Sakti.
Meskipun Kiat Bo Hosiang teiah dianggap sebagai jago nomor
satu pada masa itu, namun tokohtokoh persilatan bukan tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya masih ada seorang tokoh yang luar biasa kesaktiannya,
yang sukar bahkan tak ada tandingnya diseluruh Tiongkok. Namun sudah
sejak lama orang ini mengundurkan diri dari urusan duniawi dan di mana
beradanya sekarang tak seorang pun yang mengetahui. Cuma diketahui bahwa
tokoh luar biasa itu adalah Suheng atau kakak seperguruan dari Kiat Bo
Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah berusia lebih dari 80 tahun,
bergelar Kim-Bong-Kiam-Khek atau Pendekar Pedang Pelangi Emas. Diduga
hanya Kiat Bo Hosiang sendirilah yang mengetahui di mana suhengnya itu
berada.
Sementara itu diketahui pula bahwa Ik Bo Hosiang mempunyai
dua orang pembantu rnasingmasing berusia 60 tahun yang kepandaiannya
hanya satu tingkat saja di bawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Jika baru
pembantunya saja sudah memiliki kepandaian tinggi demikian rupa, maka
dapat dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo Hosiang sendiri.
Sebagaimana
lazimnya yang terjadi dikalangan kangouw, tokoh silat berkepandaian
tinggi itu biasa mempunyai sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula
terlepas dari diri Ik Bo Hosiang. Namun keanehannya ini sudah melampaui
batas-batas yang dianggapnya wajar hingga banyak orang yang berpendapat
bahwa kakek sakti itu tidak sehat pikirannya alias berotak miring atau
setengah gila! Cuma untuk menyatakan pendapat atau anggapan itu secara
terang-terangan tentu saja tak satu pun yang berani karena kalau sampai
terdengar oleh Ik Bo Hosiang, maka itu sama saja dengan mengundang
"penyakit".
Setelah lari hampir seratus iie dan siang telah berganti
dengan malam, Kiat Bo Hosiang baru berhenti. Anak kecil yang didukungnya
ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan bocah ini dibaringkannya di
tanah. Dia sendiri kemudian menelan beberapa pil obat lalu duduk bersila
di tanah. Mengatur jalan nafas dan peredaran darah serta mengalirkan
tenaga dalam ke bagian tubuh yang baru saja sembuh dari pada racun jahat
ilmu siluman Pak-san Kwi-ong. Beberapa saat kemudian kembali dia
melanjutkan perjalanan, lari dalam gelapnya malam persis seperti setan
yang berkelebat gentanyangan.
Menjelang pagi Kiat Bo Hosiang istirahat dan tidur sebentar dan bila matahari terbit dia meneruskan perjalanan kembali.’
Seringai gembira tersungging di mulutnya ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga (Liongsan)
yang menjulang tinggi. Penduduk disekitar tempat itu menganggap gunung
itu angker, tak satu orang pun berani mendekati kaki gunung. Tapi Kiat
Bo Hosiang seperti orang tak perduli, dan terus mendaki gunung yang
menjulang ini. Sampai pertengahan lereng jalan yang menuju puncak gunung
masih mu-dah ditempuh dan tidak berbahaya. Tapi selewatnya pertengahan
lereng, pepohonan dan semak belukar mulai rapat. Ular-ular pohon
kelihatan membelit dan bergelantungan di mana-mana. Sekali seseorang
kena dipatuk, pasti dalam waktu dua atau tiga menit nkan mati akibat
bisanya yang jahat!
Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak perduli akan
binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular itu sendirilah yang menjauh
ketakutan karena dengan kesaktiannya yang tinggi tubuh kakek ini
mengeluarkan hawa panas yang membuat takut ular-ular dalam hutan, sama
sekali tidak mengganggu bocah penggembala yang sampai saat ini masih
tertidur nyenyak di atas pundak kirinya!
Selewatnya pertengahan
lereng, perjalanan betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-mana
menghilang batu-batu karang raksasa runcing menjulang langit, licin
berlumut lembab. Disela batu-batu karang Ini membentang jurang-jurang
terjal yang gelap sedang kabut bertebar menutupi pemandangan!
Akan
tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari di jalan yang rata dan seperti
sepasang matanya dapat menembus tebalnya kabut, kakek sakti Kiat Bo
Hosiang terus saja lari seenaknya. Melompat dari atas batu karang yang
satu ke batu karang yang lainnya; melayang di atas jurang-jurang maut
hingga akhirnya sampai di puncak Uongsan!
Saat itu di salah satu puncak Liongsan yang dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih asyik bermain tioki (catur).
Yang pertama berambut putih berbadan pendek. Usianya sekitar 60 tahun
dan dikenal dengan nama Toa Sin Hosiang. Yang se-orang lagi kurus
tinggi, bermuka hitam juga berusia sekitar 60 tahun. Keduanya bukan lain
adalah pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang berkepandaian tinggi itu.
Sementara
orang menyebut mereka sebagai pembantu Ik Bo Hosiang karena memang
sebegitu jauh tokoh berkepandaian luar biasa itu tak pernah mengangkat
mereka sebagai murid, sekalipun se gala kepandaian silat yang diperdapat
dari Ik Bo Hosiang sendiri. Disamping itu mereka dari sejak dulu memang
bertugas melayani dan memenuhi apa apa keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti
telah diterangkan sebelumnya Ik Bo Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh
yang boleh diKatakan seperti kurang sehat pikiran. Keanehan ini dengan
sendirinya menular pula pada kedua pembantunya, meskipun tidak segawat
Ik Bo Hosiang sendiri.
Demikianlah, selagi asyik main tioki dan
ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak membunuh salah satu bidak lawan,
tiba-tiba Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya dan berkata : "Heh ada
orang datang!"
Toa Sin Hosiang juga sudah mendengar. Sesaat keduanya
saling memandang heran. Memang sudah sejak lama sekali tak pernah ada
orang luar yang naik ke puncak Liongsan. Jika hari itu ada orang yang
datang ini merupakan suatu yang luar biasa.
Baru saja Lo Sam Hosiang
bicara maka berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu di depan mereka
sudah tegak seorang kakek-kakek berpakaian, janggut, kumis dan rambut
serba putih. Di pundaknya kirinya tidur nyenyak seorang bocah lelaki
berusia 7 tahun.
Begitu melihat siapa adanya kakek ini, secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang jatuhkan diri dan berlutut hormat.
"Ah sungguh tak dinyana kalau puncak Liongsan hari ini akan kedatangan tetamu yang bukan lain adalah susiok kami sendiri!" (Susiok – paman guru). Yang berkata ini adalah Lo Sam Hosiang.
Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya menyeringai.
Apakah saudaraku Ik Bo Hosiang ada?’
"Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau tak pernah meninggalkan puncak Liongsan ini “ menjawab Lo Sam Hosiang.
Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya dengan hormat: "Apakah susiok baik-baik saja selama ini?"
"Tentu… tentu saja."
Eh. susiok. Siapakah bocah yang kau bawa ini?" kembali Toa Sin Hosia-ig bertanya. Lo Sarn Hosiang pun kepingin pula mengetahui.
"Siapa namanya pun aku tidak tahu, aku cuma kenal dia adalah anak gembala!
Selama
belasan tahun Kiat Bo Hosiang tak pernah datang dan sekali muncul
membawa seorang anak lelaki tentu saja ini mengherankan kedua pembantu
Ik Bo Hosiang itu.
"Sekarang lekas kalian beri tahu pada suhengku itu bahwa aku ingin bertemu dengan dia untuk utusan penting!
Sekilas
dua pembantu \k Bo Hosiang saling lirik. Lalu memperhatikan bocah di
atas bahu susiok mereka dan memperhatikan pula pakaian Kiat Bo Hosiang
yang robek-robek serta guratan-guratan panjang pada kulit dadanya.
"Hai
kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat beri tahu!" Saat itu dua pembantu
Ik Bo Hosiang sudah bangkit dan berdiri kembali. "Maaf susiok," Toa Sin
memberikan jawaban. Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak di
ganggu. Jelasnya siapapun yang datang beliau sekaii-kali tak boleh
diganggu karena saat ini sedang bersemedi."
"Sekalipun yang datang aku, sute-nya?!"
"Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut Toa Sin.
Kiat
Bo Hosiang mendungak ke langit lalu tertawa gelak-gelak. Karena
memiliki tenaga dalam yang luar biasa, dengan sendirinya suara tawanya
dahsyat sekali!
Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran. Keduanya
saling pandang. Dan karena mereka memang kurang beres jalan pikirannya
maka lantas saja keduanya ikut tertawa gelak-gelak. Puncak Gunung Naga
itu seolah-olah bergetar dilanda gelombang suara tertawa tiga manusia
sakti ini!
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang hentikan tawanya. Parasnya
berobah kelam membesi. Sepasang matanya membeiiak dan dari mulutnya
keluar bentakan garang.
"Kalian berdua kacung-kacung rendah berani melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk menemui suheng-ku sendiri?!"
Serta
meria dua pembantu ini hentikan pula tawa mereka. Toa Sin menyahut:
"Bukan kami melarang, susiok. Tapi suhu sendiri yang berpesan begitu.
Kami pembantu-pembantu yang rendah cuma menuruti perintan."
Persetan dengan segala pesan dan perintah! Aku tidak rnengenal segala aturan yang dibuat oleh suhumu yang berotak miring itu!"
"Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit kurang sehat pikirannya," kata Lo Sam Hosiang.
"Otak
miring dan tidak sehat pikiran adalah sama saja, goblok! Dasar gurunya
gila, muridnya sinting. Sekarang menyingkirlah kalian. Aku mau lewat."
"Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa Sin macam orang tolol.
"Pendek!
Jangan bikin aku marah. Lekas menyingkir atau kau bakal menerima
gebukan dariku!" Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lag! menahan marahnya.
"Ah,
susiok. Kau tentu tahu kami ini bukan anak-anak yang harus digebuk.
Kami sudah tua bangka dan menjalankan perintah dengan segala tanggung
jawab dan akibatnya."
Kiat Bo Hosiang menyeringai.
"Jadi kalian kacung-kacung geblek berani kurang ajar pada paman guru sendiri ya! Bagus, mari kuberi sedikit pelajaran!"
Habis
berkata begitu Kiat Bo Hosiang kebutkan ujung lengan bajunya yang
lebar. Satu gelombang angin menggebu dengari dahsyatnya. Toa Sin dan Lo
Sam bagusnya sudah berlaku waspada dan buruburu menghindar ke samping.
Namun tak urung sambaran angin pukulan itu masih membuat mereka
terhuyung-huyung ke belakang.
“Susiok, kau pun nyatanya sinting!
Hendak menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-pembantu suhengmu. Tapi
jangan kira kami takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun kami bakal
hadapi! Dan kau nyatanya cuma punya satu kepala!" Yang bicara begitu
adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang memang lebih keblinger dari pada
rekannya. Bahkan kemudian dia tertawa-tawa seenaknya.
Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah Toa Sin!
4
MESKIPUN
cuma pembantu-pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua orang tua dari
Liongsan itu memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika
diukur maka kepandaian mereka rata-rata hanya satu tingkat saja dibawah
kepandaian Kiat Bo Hosiang. Kalau saat itu mereka maju berbarengan
dengan sendirinya Kiat Bo Hosiang akan terdesak dan kalah. Namun ada
beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih unggul dari kedua lawannya.
Pertama
sebagai pembantu-pembantu Ik Bo Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan
jarang sekali turun gunung hingga tidak banyak pengalaman dalam
pertempuran. Sekalipun memiliki kepandaian tinggi namun kurang
pengalaman merupakan hal yang ikut menentukan. Kedua, sepasang
kakek-kakek dari Liongsan itu dikarenakan otaknya yang miring menganggap
bahwa mustahil sute dan suhu mereka sendiri akan mau menurunkan tangan
jahat terhadap mereka. Karenanya mereka bertempur seperti main-main saja
dan sambil tertawatawa haha-hihi! Ketiga, sampai saat itu Kiat Bo
Hosiang masih memanggul tubuh anak gembala di atas pundak kirinya hingga
dua kakek dari Liongsan tidak mau menyerang dengan terlalu buas karena
khawatir akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran dua lawan satu itu
berlangsung sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu Kiat Bo Hosiang
mulai terdesak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka keluarkan satu
teriakan keras dan serta merta permainan silat dua kakek ini menjadi
berobah. Kiat Bo Hosiang menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik Bo Hosiang
dia tahu betul setiap jurus ilmu silat dari kakak seperguruannya. Namun
permainan silat yang dikeluarkan oleh dua lawannya saat itu aneh dan
tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo Itu sudah
menciptakan ilmu baru tanpa setahuku, demikian Kiat Bo Hosiang
membathin. Dan lebih terkejut lagi begitu merasakan bagaimana permainan
silat dua lawannya itu kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua
bangka-tua bangka Liongsan, jadi kalian hendak pamer dan andalkan ilmu
silat kalian yang baru? Bagus! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan
kalian!" berseru Kiat Bo Hosiang dengan penasaran. Dari balik pinggang
pakaiannya dia segera keluarkan senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja
yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan tong-kat di tangan kanan dan
bahu kiri masih mendukung bocah penggembala Kiat Bo Hosiang yang
bergelar Hln jiu Tlmng-ong atau Raja Tongkat Tangan Sakti Itu mengamuk
hebat. Tubuhnya lenyap terbungkus muai senjatanya dalam tempo singkat
dia sudah mendesak lawannya dengan hebat!
Haik Toa Sin maupun Lo Sam
Hosiang sama-sama kaget melihat serangan-serangan ganas yang mematikan
oleh susiok mereka itu. Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok, kami ini kau anggap musuhmusuhmukah?!" berseru keras Lo Sam Hosiang.
"Tutup
mulutmu manusia muka pantat dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya
dengan ganas menderu ke arah kakek muka hitam dari gunung Naga itu. Dan
krak!
Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat keluar dari kalangan
pertempuran sambil pegangi lengan kiri yang kuntal-kantil kerena
tulangnya telah patah!
"Susiok, kau sudah gilakah," teriak Toa Sin
namun kakek yang satu ini pun segera pula mendapat bagiannya. Kalau
kawannya patah tulang lengan maka dia sendiri remuk tulang kakinya
sebelah kanan dan berguling di tanah sambil merintih. Tapi dasar gila,
sekali dia masih bisa juga tertawa hahahihi!
"Tua bangka-tua bangka
tak tahu untung! Masih bagus tidak kepala kalian yang kuremukkan! Lain
kali suhu kalian harus memberi pelajaran sopan santun pada kalian!
Bagaimana menghormat se-orang paman guru!"
"Paman guru sableng
macammu mana patut dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan
pantatnya dan kemudian kentut! Untung saja Kiat Bo Hosiang sudah tidak
lagi ada di tempat itu. Kalau tidak kakek ini pastilah akan marah
setengah mati dihina begitu rupa!
Dengan beberapa kali lompatan kilat
Kiat Bo Hosiang telah sampai ke puncak Liongsan. Anak pengembara yang
ada di bahu kirinya masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa yang telah
terjadi sebelumnya!
Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok kayu
Dia tak perlu susah-susah masuk ke dalam pondok mencari suhengnya karena
Ik Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping tengah bersemedi dengan
cara yang luar biasa!
Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu
hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala di sebelah bawah, pada batu
hitam itu. Tubuhnya tak sedikit pun bergerak sedang dua tangannya
dirangkapkan dldepan dada. Janggut dan kumis putihnya yang panjang,
menjulai menutup wajah dan sepasang matanya.
Diam-diam Kiat Bo
menjadi kagum juga melihat nira bersemedi suhengnya ini. Dia yakin betul
di antara tokoh tokoh silat terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak
seperguruannyalah yang sanggup melakukan hal itu.
Kalau tadi Kiat Bo
ingin buru-buru menemui suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba
salah bagaimana harus membangunkannya. Tiba-tiba anak yang didukungnya
menggeliat dan terbangun. membuka matanya bocah ini terheran-heran
melihat di mana dia berada. Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik
Bo Hosiang yang bersemedi kaki ke utas kepala ke bawah.
“Hai. patung
atau manusiakah ini?!" si bocah berseru lantas turun dari pundak Kiat Bo
Hosiang. "Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba kau tarik
keras-keras
janggutnya. Jika dia manusia tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi
kalau patung pasti diam saja!" Berkata Kiat Bo yang nyatanya telah
mendapat akal bagaimana harus membangunkan suhengnya.
Bocah
penggembala mendekati Ik Bo Hosiang yang disangkanya patung. Tangan
kanannya diulur kan untuk menarik janggut orang tua itu. Tapi mendadak
terjadi hal yang mengejutkan si bocah, termasuk pula Kiat Bo Hosiang.
Ketika tangan itu hampir hendak menjenggut jenggot, tiba-tiba jang gut
panjang putih itu bergerak dan sesaat kemudian tahu-tahu lengan anak itu
terlibat erat!
"Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan kirinya,
namun tangan yang satu ini pun kemudian kena dilibat. Bagaimana pun
kerasnya dia berusaha berontak untuk melepaskan kedua tangannya tetapi
sia-sia saja!
"Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang berseru. Jika
janggut-janggutnya bisa bergerak pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari
samadinya, demikian Kiat Bo berpikir.
Tiba-tiba si anak menjerit
karena kedua lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-tahu tubuhnya
telah terpental ke arah Kiat Bo Hosiang. Kakek ini melenggak kaget,
untung masih sempat dia menangkap tubuh si bocah, kalau tidak pasti akan
jatuh dengan keras di atas sebuah batu besar. Untuk sesaat Kiat Bo
Hosiang tertegun bengong. Membuat mental seseorang dengan menggerakkan
janggut yang tentunya dialiri tenaga dalam betul-betul merupakan satu
hal yang amat luar biasa. Dan itulah yang telah dilakukan oleh
suhengnya!
"Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul, begitu unjuk
tampang kau hanya mengganggu ketenteraman puncak Liongsan ini saja!"
terdengar suara halus yang bukan lain adalah suara Ik Bo Hosiang.
Memandang ke depan Kiat Bo melihat suhengnya itu sudah duduk
tenang-tenang di atas batu hitam di atas mana sebelumnya dia
bersemedi.-Sepasang mata Ik Bo memandang tajam pada adik seperguruannya.
Pandangan ini terasa seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat Bo.
"Ah
suheng," menyahut Kiat Bo setelah terlebih dahulu menjura. "Bukan
maksudku untuk mengganggu ketenteraman di puncak Liongsan ini. Tapi
aturan yang dibuat oleh kacung-kacungmulah yang telah memaksaku berlaku
keras…."
"Kekerasan itu memang harus ada. Tapi pada waktu-waktu
tertentu dan pada orang-orang tertentu. Kekerasan yang dilakukan secara
sembarangan adalah satu kejahatan. Lo Sam dan Toa Sin memang
kacung-kacung tak berharga. Tapi betapa pun di puncak Liongsan ini
mereka adalah tuan rumah yang harus dihormati oleh setiap tamu, siapa
pun dia adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan rumah yang membuat
aturan, bukan orang luar!"
Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke mari."
"Budak itu, suheng…."
"Aku
tidak tanya budak itu! Aku tanya keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang
tanpa menoleh atau melirik pada penggembala yang tegak di samping
sutenya.
"Begini suheng…" lalu Kiat Bo menerangkan peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara).
"Jelas sekali, jika tidak ada bocah penggembala yang pandai meniup
suling ini niscaya bukan saja aku kalah, malah jiwaku akan melayang di
tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang nyawa pada budak ini dan wajib
membalasnya!"
Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat Bo Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-san Kwi-ong yang mengeluarkan ilmu hoatsut (sihir),
Kiat Bo Hosiang hampir-hampir saja menemui ajal jika saat itu di tempat
tersebut tidak ada anak penggembala yang memainkan sulingnya. Padahal
suara tiupan seruling itu mengganggu pemusatan pikiran dan bathin yang
menjadi dasar dari kehebatan ilmu sihir Pak-san Kwi-ong.
"Aku
tidak tertarik pada ceritamu." Tidak tertarik padamu ataupun budak
tukang angon kerbau itu! Nah sekarang silahkan angkat kaki dari puncak
Liongsan ini!"
"Suheng…!"
Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan lagi sutenya itu, malah seenaknya dia membuka mulut dan menyanyi:
Puncak Liongsan tinggi sekali
Tapi lebih tinggi akal dan budi
Laut Selatan hijau dan dalam sekali
Namun lebih dalam perasaan hati sanubari
Yang tinggi gampang jatuh
Yang dalam sukar diselam
Akal dan budi terkadang tak berguna
Jika perasaan lebih menggelora.
Ik
Bo Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu. Dilain pihak, bocah
penggembala yang mendengar merasa nyanyian itu cukup merdu dan terus
saja keluarkan sulingnya, meniup benda itu mengiringi nyanyian si kakek.
Mengetahui nyanyiannya ada yang mengiringi Ik Bo Hosiang lantas saja
mengulang-ulang nyanyian sampai empat kali berturutturutl
Tiba-tiba
tokoh aneh dari Liongsan ini hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit
dan tertawa gelak-gelak. Si bocah yang sedang asyik-asyiknya meniup
suling merasakan lututnya goyah oleh suara tertawa itu dan sesaat
kemudian dia pun terhuyung jatuh ke tanah. Kiat Bo Hosiang sendiri pun
jika tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya pasti akan
menggeletar sekujur tubuhnya oleh kehebatan suara tertawa suhengnya itu!
"Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!" Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"kakek nyanyianmu bagus sekali. Kenapa berhenti?!"
"Budak
kurang ajar! Ditanyai malah menyuruh orang menyanyi. Apa kau kira kau
ini biduan sandiwara keliling?!" Ik Bo Hosiang membentak. Tiba-tiba
berkelebat jungkir-balik. Sedetik kemudian kepalanya sudah terletak di
atas batu di mana dia tadi bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai
budak! Kenapa kau menghentikan tiupan sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa
kau kira aku ini tukang tiup suling sandiwara keliling?!" si bocah
ngambek dan balik menyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang khawatir
kalaukalau suhengnya bakai kumat otak miringnya marah mendengar
kata-kata si bocah itu, buru-buru saja membuka mulut.
Suheng, kau
tahu aku telah berhutang nyawa padanya! Hutang dalam bentuk apa pun
harus dibayar. Kau saksikan sendiri keadaan budak ini. Potongan tubuh
dan susunan ruas-ruas tulangnya amat baik. Rasanya sulit mencari bocah
seperti dia di delapan penjuru angin Tiongkok. Sebetulnya aku berniat
untuk mengambilnya jadi murid. Tapi kau tahu sendiri. Sejak aku
mengambil Li Bwe Hun jadi murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk
tidak akan mengambil murid lain lagi dalam keadaan atau alasan apapun
juga. Memikir sampai saat ini kau sendiri tidak pernah mempunyai murid
yarig sebenarnya bisa disebut murid, dan sekaligus untuk membalas hutang
nyawaku padanya, maka kuharap kau sudi mengambil bocah ini menjadi
muridmu!’
"Enak betul bicaramu. Kiat Bo!" tukas Ik Bo Hosiang. "Anak
penggembala yang tidak tahu asalusulnya, tak dikenal bapak moyangnya,
tak tahu juntrungannya, eh tahu-tahu kau minta aku mengambilnya jadi
murid! Kau sudah gila atau otakmu memang sudah rengat?"
"Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain dari yang lain…."
"Apanya
yang lain? Dia bertangan, berkaki, punya mata dua, hidung satu, mulut
satu, telinga dua…. Itu kau bilang lain. Ah sute! Kau rupanya
betul-betul sudah gila! Kasihan…!"
"Suheng, aku memohon padamu…!"
"Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau kemudian hari bocah itu mengecewakan aku?!"
"Kau boleh bunuh aku, suheng!"
"Buset!
Dua tiga bulan di muka mungkin kau sudah lebih dulu mampus! Apakah aku
harus menggali kuburmu lalu membunuhmu? Gila kau sute!"
Lama-lama
berdebat begitu rupa Kiat Bo Hosiang yang memang punya watak lekas
jengkel jadi penasaran juga. Dia berkata: "Sudahlah suheng, jika kau tak
sudi aku pun tak memaksa!"
"Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi murid-mu!" menimpali si bocah.
"Bocah kurang ajar! Aku tidak bicara denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau masih belum menerangkan nama dan she-mu!"
"Namaku
Thian Ong, she Song. Dan sekarang aku akan angkat kaki dari sini!" Anak
penggembala itu berpaling pada Kiat Bo Hosiang dan berkata: "Kakek, kau
punya tanggung jawab membawaku ke mari. Sekarang kau punya kewajiban
membawaku turun dari tempat memuakkan ini!"
"Budak edan! Orang hendak membalas budi malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo Hosiang.
"Aku tak perlu segala balas budi. Kalaupun…."
"Thian
Ong anak kurang ajar, kau mendekatlah ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang
memanggil. Tapi si bocah tak mau datang. Namun satu hawa aneh yang
keluar dari tubuh si kakek menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai
ke hadapan orang itu. Aku sudah lihat susunan tubuhmu dari luar, tapi
belum pada bagian-bagian yang tertutup. Sekarang tanggalkan seluruh
pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo Hosiang diam-diam merasa gembira
mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi sebaliknya bocah yang bernama
Song Thian Ong berkata marah: "Kakek, kau betul-betul sudah gila,
menyuruh orang telanjang! Kau saja telanjang sendiri!"
"Anak kurang
ajar! Kualat kau!" teriak Ik Bo Hosiang. Dia mengulurkan kedua
tangannya. Bret…. Bret…. Bret! Maka robeklah seluruh pakaian Thian Ong
hingga dia kini telanjang bulat. "Hem bagus…. Kau memang boleh!" Dan
habis berkata begitu Ik Bo Hosiang mencekal tengkuk Thian Ong,
melemparkannya ke udara, menyambutnya dengan kedua kakinya, lalu dengan
kaki-kaki itu tubuh Thian Ong dipentalkan kembali ke atas, disambut
lagi, dipentalkan lagi demikian seterusnya. Anehnya Thian Ong tidak
merasa sakit barang sedikit pun. Tapi rasa gamang membuat dia ngeri. Dan
anak ini tak hentihentinya menjerit.
Selagi Ik Bo Hosiang
mempermainkan Thian Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah sebuah
bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam Hosiang dan Toa Sin Hosiang.
Masing-masing mereka telah membalut lengan dan kaki yang cidera serta
mengganjalnya dengan potongan kayu. Menyaksikan guru mereka
"bermain-main" begitu rupa keduanya tertawa gelakgelak.
"Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua boleh Ikut main bersamamu?"
Sebagai
jawaban Ik Bo Hosiang berseru: "Pendek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu
tubuh Thian Ong sudah melesat ke arah Toa Sin Hosiang. Dan kakekkakek
ini dengan gembira menyambut tubuh yang terlempar itu dengan kaki
kirinya. Tubuh Thian Ong melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan gembira
kakek yang seorang ini menyambut pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong
kembali lagi melayang ko arah Ik Bo Hosiang. Begitulah seterusnya. Tiga
kakek-kakek keblinger dari gunung Naga itu telah asyik dengan permainan
"bolanya". Tidak perduli lagi akan jerit ketakutan si bocah. Apalagi
terhadap Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu
cuma bisa geleng-geleng kepala. "Gila dasar manusia manusia gila!"
katanya dalam hati. Namun diam-diam dia gembira sekalipun suhengnya
tidak mengatakan apakah dia mau mengambil Song Thian Ong menjadi
muridnya, namun secara tidak langsung. Dengan cara main bola" seperti
itu, Ik Bo Hosiang telah menyatakan bahwa dia berkenan dengan bocah itu.
Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang berkelebat pergi meninggalkan puncak Liongsan.
5
DUA BELAS TAHUN
kemudian…. Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok sebelah utara
jatuh ke dalam cengkeraman bangsa mongol. Penjajahan oleh bangsa manapun
juga atas bangsa lain pastilah mendatangkan penderitaan. Dan yang
paling sengsara seperti biasanya ialah rakyat jelata.
Di mana-mana
kaum penjajah yang berkuasa melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan
dan seribu satu macam tindakan sewenang-wenang lainnya.
Pemerintah
Tiongkok di selatan yang pada masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa
berbuat apa-apa menghadapi kaum penjajah. Selain selatan memang
memiliki balatentara dan persenjataan lemah, roda pemerintahan pun sudah
kacau-balau centangperentang. Mulai dari kaisar sampai pada
pejabatpejabat yang terendah di desa-desa sibuk memupuk kekayaan, harta
dan uang, tanah dan sawah. Dalam pada itu mereka terlena pula dalam
bujuk rayu perempuan-perempuan cantik hingga mana pula akan terpikir
untuk membebaskan negeri di utara dari tangan penjajah Mongol.
Pedih
sakitnya penderitaan yang melanda, lambat laun merupakan cambuk bagi
rakyat jelata untuk bersatu dan secara diam-diam menyusun kekuatan.
Kekuatan
tersebut dibagi dua. Yang pertama untuk menghantam kaum penjajah di
utara dan kedua untuk menyingkirkan pejabat-pejabat pemerintahan yang
korup, keji sewenang-wenang dan sebagainya. Pada masa itu bukan rahasia
lagi kalau gerakan rakyat yang menderita ini secara diam-diam dibantu
oleh orang-orang kangouw sehingga akibat yang ditimbulkannya makin hari
makin hebat dan membuat kaum penjajah merasa terancam.
Namun tidak
jarang pula rakyat yang berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu
bilamana mereka dihantam oleh pasukan Mongol berjumlah besar atau
diserang dan ditangkap oleh balatentara Kaisar dari selatan.
Pemimpin-Pemimpin mereka digantung di tempat terbuka, prajurit-prajurit
yang tak lain adalah rakyat jelata biasa dibunuh secara massal!
Gerakan
rakyat yang ingin membebaskan negeri mereka dari penindasan bangsa
Mongol serta sekaligus mengikis para pejabat Pemerintah yang korup dan
memeras, dengan sendirinya menghadapi dua lawan berat. Korban dan
kerugian lebih banyak jatuh dikalangan mereka, namun demikian semangat
perjuangan mereka tak kunjung padam. Jangankan orang lelaki yang sudah
dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan kaum wanita pun ikut turun ke
dalam kancah peperangan tanpa rasa takut sama sekali!
Pada suatu
hari di bulan kelima, malapetaka telah pula menimpa serombongan pasukan
rakyat yang berjumlah 50 orang yang pada saat itu berada di sebuah kaki
bukit. Tanpa setahu pemimpin pasu kan, salah seorang diantara anggotanya
adalah mata-mata. Pemerintah selatan yang berhasil menyusup. Selagi
pasukan itu tengah beristirahat di’ kaki bukit, diam-diam mata-mata tadi
meninggalkan tempat tersebut, langsung menuju tempat rahasia di mana
telah menunggu satu kelompok pasukan Pemerintah yang terdiri dari lebih
seratus orang
Dalam waktu singkat pasukan rakyat yang tengah
istirahat itu telah terkurung. Dan ketika mereka diserbu dengan
sendirinya mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya mereka mempertahankan
diri dan berjuang mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali lipat
disamping itu serangan datangnya mendadak sekali.
Dalam waktu
sebentar saja dua puluh orang anggota pasukan rakyat gugur. Komandan
pasukan seorang lelaki separuh baya bernama Pouw Keng In berteriak
kepada anak buahnya untuk lari menyelamatkan diri dan membiarkan dia
sendiri menghadapi pasukan Pemerintah. Tekadnya biar dia mati asal
sisa-sisa anak buahnya masih bisa diselamatkan. Akan tetapi mana ada
diantara mereka yang mau mengikuti perintah Pouw Keng In. Malah pasukan
rakyat itu bertempur makin hebat hingga 10 orang lagi diantara mereka
menjadi korban.
"Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini. Tangkap
komandannya hidup-hidup!" teriak komandan pasukan Pemerintah. Dia
menyeringai puas melihat bagaimana musuh porak-poranda dan berguguran
satu demi satu dalam waktu yang cepat. Dan pandangan matanya rakyat yang
berjuang itu tak lebih dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara
sewenang-wenang,
Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat itu. dimana
Pauw Keng In sendiri sudah luka parah dan mandi darah, tiba-tiba
berkelebatah satu bayangan hijau disertai gulungan sinar coklat.
Terdengar pekik susul-menyusui. Dalam waktu amat cepat enam anggota
pasukan Pemerintah telah menjadi korban, ada yang pecah kepalanya, remuk
dada. bobol perut dan sebagainya.
Tentu saja pasukan Pemerintah
terkejut sekali terutama Komandannya. PasuKan rakyat pun tak kurang
kagetnya. Namun karena menduga ada orang kangouw yang telah turun tangan
membantu mereka meskipun mereka beium melihat jelas siapa adanya orang
itu karena saking cepatnya gerakannya maka kembali mereka jadi
bersemangat dan menempur iawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis
dari mana yang berani mencari mati di sini?!" berteriak Komandan
prajurit Pemerintan. Namanya Cu Lay Seng. Berbadan tinggi tegap bermata
sedikit juling dan punya tampang garang, lengkap dengan kumis melintang
serta cambang bawuk.
Bayangan hijau yang mengamuk tidak menyahuti
malah berkelebat makin cepat. Delapan orang lagi pasukan Pemerintah
berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang lain jadi gentar dan tak berani
didekati
bayangan hijau itu. Sebaliknya kelengahan mereka itu merupakan sasaran
baik bagi prajuritprajurit rakyat hingga banyak diantara mereka berhasil
ditewaskan
"Setan alas." maki Cu La i Seng marah sekali. Saat itu
dia masih duduk di atas punggung kudanya. Dengan tangan kanan
dirampasnya pedang anak buahnya yang terdekat. Perlu diketahui Cu Lay
Seng ini seorang yang amat lihay dalam ilmu menyambitkan berbagai macam
senjata. Sekali tangannya mencari sasaran pastilah tak akan melesat!
Begitu tangan kanannya memegang pedang segera senjata ini dilemparkan
dan melesat deras ke arah bayangan hijau yang tengah memporak-porandakan
pasukan Pemerintah.
Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan bagaimana
tubuh bayangan hijau itu akan tertembus oleh pedang yang dilemparkannya.
Namun alangkah kagetnya Komandan pasukan ini sewaktu menyaksikan
senjata yang dilemparkannya itu malah ditangkap oleh lawan dengan tangan
kirinya. Dan dengan memegang senjata ini di tangan kirinya si bayangan
hijau mempergunakannya untuk membabat musuh kian kemari hingga dalam
waktu singkat makin banyaklah anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu
Lay Seng maklum kini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang
berkepandaian amat tinggi dan memiliki gingkang luar biasa hingga dia
sendiri sampai saat itu tidak dapat jelas melihat siapa adanya bayangan
hijau itu.
"Mundur semua", teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit
Pemerintah yang memang sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa disuruh
dua kali terus saja melompat mundur. Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng
ln memberi isyarat agar anak buahnya tidak terus memburu musuh. Dia
sendiri yang saat itu terluka parah, amat kagum melihat kehebatan
bayangan hijau. Dengan dipapah oleh seorang anak buahnya dia menyaksikan
apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu Cu La y Seng telah melompat
turun dari kudanya dengan satu gerakan enteng tahu-tahu sudah berada
lima langkah di hadapan bayangan hijau. Dan ketika bayangan hijau ini
menghentikan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay Seng dan
semua orang yang ada di situ jadi melotot dan ternganga. Mereka semua
melengak kaget! Be-tapa tidak! Si bayangan hijau yang kini tegak tak
bergerak di tengah kalangan pertempuran itu nyatanya adalah seorang
gadis berparas elok jelita. Rambutnya hitam panjang dan digelung di atas
kepala dengan sepasang cambang halus meliuk dikedua pipinya! Menurut
perkiraan paling banyak gadis ini baru berusia sekitar 17 tahun.
Secantik dan semuda itu sudah memiliki kepandaian yang hebat, siapa
orang yang menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona, kau telah
menurunkan tangan ganas terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku
harus menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng dengan
nada keren dan keras.
"Aku?! Kau mau menangkap aku…?" si gadis menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi Cu Lay Seng.
"Begundal
penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba gadis hijau membentak marah.
Wajahnya merah dan justru dalam keadaan marah ini dia kelihatan tambah
cantik. Jika kau bilang aku menurunkan tangan jahat terhadap
prajurit-prajurit Kaisar, lantas kau yang telah membunuhi rakyat jelata
pantas disebut apakah?! Dosamu besar sekali Komandan! Sebaiknya kaulah
yang lekas menyerah dan cepat berlutut minta ampun di hadapan Thian.
Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku tak segan-segan mengirimmu ke
akhirat!"
Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah menyaksikan kehebatan
gadis itu, tapi jangan kira dia merasa takut. Selain memiliki ilmu
tinggi dia sudah berpengalaman luas. Kalau baru gadis binal begini saja
kenapa musti jerih? Demikian dia menganggap enteng.
"Jika kau tak mau
menyerah secara baik-baik, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan
kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan ancaman yang disambut oleh sang nona
dengan tertawa mengejek.
"Majulah! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan segala manusia pepesan macam kau!"
Dimaki
"pepesan kosong" begitu rupa di hadapan sekian banyak orang dan anak
buahnya sendiri betul-betul merupakan penghinaan luar biasa bagi Cu Lay
Seng. Dengan didahului bentakan dahsyat. Komandan pasukan ini meloncat
sebat ke arah nona berbaju hijau dan saat itu juga berkiblatlah sinar
putih menyilaukan. Inilah sinai senjata di tangan Cu Lay Seng yaitu
sebuah ruyung perak.
"Nona baju hijau!" Pouw Keng In Komandan pasukan rakyat berseru. Kau hati-hatilah dia lihay sekali!"
Memang
Pouw Keng In mengetahui betul kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi.
Dibandingkan dengan dirinya masih ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia
sudah menyaksikan kehebatan si nona namun tetap saja dia khawatir.
Karena kalau sampai Cu Lay Seng menang bukan saja dia dan seluruh
anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi nasib si nona pun akan jauh
lebih buruk. Pouw Keng In cukup mengenal kebejatan para anggota pasukan
Kaisar pada masa itu, apalagi Komandan-komandan mereka.
Tapi nona
baju hijau justru malah tertawa mendengar peringatan itu. Dia menjura
pada Pouw Keng in dan berkata: "Terima kasih atas peringatanmu. Kau
lihat sajalah bagaimana aku menghajar manusia kecoak yang tidak berguna
ini."
Sambil menjura tadi dengan tak acuh nona itu gerakkan tongkat
kayu di tangan kanannya ke atas Cu Lay Seng yang saat itu tengah
melancarkan serangan hebat menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba
dirasakannya ada sambaran angin dingin menderu ke arah lengannya.
Komandan yang berpengalaman ini segera maklum kalau lawannya memiliki
tenaga dalam yang jauh lebih lihay dari dia Karenanya secepat kilat Cu
Lay Seng robah gerakannya, batalkan serangan pertama dan menyusul dengan
serangan ruyung ke arah kaki sang nona.
Tapi lawan ternyata sudah
mengetahui lebih dulu gerakannya. Karena begitu ruyung perak menyamber
ke bawah si nona segera melintangkan tongkat kayunya ke arah yang sama
Selain
tak menyangka kalau lawan akan menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay
Seng pun kelewat yakin bahwa ruyung peraknya lebih ampuh. Karenanya dia
tidak berusaha menghindarkan bentrokan senjatanya dengan tongkat lawan
yang hanya terbuat dari kayu coklat.
Tapi apa yang terjadi kemudian
membuat Cu Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat. Pada saat
bentrokan senjata terjadi ruyung perak di tangan Komandan itu patah dua
dan mencelat mental! Sedang tongkat kayu yang dianggap remeh oleh Cu Lay
Seng ternyata tidak cacat barang sedikit pun.
Dalam keadaan sang
Komandan masih kaget begitu rupa nona baju hijau yang sampai saat itu di
tangan kirinya masih memegang pedang yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay
Seng sudah memburu ke depan kirimkan satu tebasan kilat. Dan cras ! Cu
Lay Seng menjerit keras. Darah mancur dari tangan kanannya yang kini
sudah terbabat putus!
"Sekarang lekaslah kau menghadap Tuhan untuk
mempertanggung jawabkan dosa-dosamu.” berseru si nona seraya tusukkan
pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si Komandan.
Hanya satu senti saja lagi ujung pedang akan menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba terdengar bentakan marah:
"Bwe Hun! Lagi-lagi kau! Lagi -lagi kau!"
Satu
bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan kiri sang dara
terdorong ke samping selamatlah Cu Lay Seng dari kematian!
6
NONA BERBAJU HIJAU
palingkan muka dan berubahlah parasnya. Lalu gadis ini cepat jatuhkan
diri, berlutut pada seorang kakek-kakek berpakaian putih yang tegak
dihadapannya.
"Suhu…!"
"Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang
jangan melakukan pengacauan! Jangan berani menentang alat-alat
kerajaan!" si kakek berkata dengan nada keras.
"Suhu, murid sama
sekali tidak mengacau, tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin
mengikis kejahatan, kekejaman dan ketidak adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan jalan membunuh seenakmu?!"
"Orang-orang
jahat dan se-wenang-wenang macam mereka layak dibunuh. Dan perjuangan
rakyat untuk membebaskan tanah air dari kaum penjajah dan penindasan
bangsa sendiri wajib dibantu!"
"Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak
tahu banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas angkat kaki dari sini.
Lain kali jika aku memergoki kau melakukan perbuatan begini, aku akan
jatuhkan hukuman berat padamu! Kau dengar?!"
Si nona yang bernama Li
Bwe Hun gelengkan kepalanya dan sikapnya gagah ketika menjawab: "Suhu
hukuman berat bagiku bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah perbuatan Suhu
sendiri. Kau menetap si utara, ditengah-tengah bangsa Mongol dalam
kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari bahwa Suhu sebenarnya telah
diperalat oleh kaum penjajah untuk menindas bangsa sendiri! Sebagai
murid aku…."
Belum sempat Li Bwe Hun meneruskan katakatanya itu satu
tamparan telah mendarat di pipinya, membuat gadis itu terhuyung ke
belakang satu langkah. Keseluruhan wajahnya menjadi merah mengetam.
Bukan karena sakit tapi karena tak percaya kalau suhunya sendiri-yang
telah mendidik dan merawati selama belasan tahun -tega-menamparnya
seperti itu dihadapan sekian banyak mata! Betul suhunya telah berubah
sejak masuk ke dalam bujuk rayu bangsa Mongol!
"Sekali lagi kau berani bicara lancang seperti itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu,
aku tidak takut mati di tanganmu! Aku lebih rela mati dari pada menjadi
murid Kiat Bo Hosiang yang kenyataannya adalah seorang pengkhianat
bangsa dan negara!"
Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang yang
ada di situ sama-sama kaget mendengar siapa adanya nama kakek di hadapan
mereka saat itu. Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat utama yang boleh
dikatakan tak ada tandingnya untuk masa itu diseluruh penjuru Tiongkok!
Baik
Komandan pasukan Kaisar maupun Komandan pasukan rakyat masing-masing
merasa gelisah dan berdebar. Karena kini di hadapan mereka berdiri tokoh
silat berkepandaian tinggi yang sejak beberapa waktu belakangan ini
telah membantu kaum penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan musuh
besar pasukan rakyat dan juga Pemerintah!
Sepasang bola mata Kiat Bo
Hosiang berkilatkilat dan laksana dikobari api mendengar kata-kata
muridnya itu. Dia menggerung dahsyat dan berteriak: "Li Bwe Huni Mulai
hari ini aku bukan gurumu lagi! Kau murid kualat! Murtad! Kau harus
serahkan seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
Habis berteriak
demikian Kiat Bo Hosiang lantas kirimkan satu serangan berupa totokan ke
arah jalan darah kian le hiat di dada dan jalan darah gi hay hiat di
punggung muridnya. Dua totokan ini bukan merupakan totokan maut akan
tetapi amat berbahaya. Jika totokan-totokan itu sampai menemui
sasarannya, pembuluh-pembuluh darah di tubuh Li Bwe Hun akan menjadi
rusak. Dan yang paling hebat akibatnya ialah bahwa dia akan kehilangan
seluruh ilmu kepandaiannya bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe
Hun kaget sekali melihat bagaimana suhunya melancarkan totokan yang
jahat itu. Kini nyata kalau gurunya memang sudah gelap mata dan tidak
tedeng aling-aling untuk menurunkan tangan jahat. Bagusnya dia berlaku
waspada hingga cepat menghindar selamatkan diri.
Melihat serangan
dapat dikelit, Kiat Bo Hosiang jadi penasaran. Kembali dia menyerbu
dengan serangan-serangan kilat secara berantai. Dan setiap serangan
senantiasa diserta totokan-totokan jahat tadi. Sampai belasan jurus
dimuka kakek-kakek sakti ini walaupun membuat sibuk muridnya namun masih
belum sanggup merobohkan, ini membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan
sialan! Menyesal aku mengambilmu jadi murid! Menyesal aku mewarisi
segala macam ilmu kepandaian padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang
kali.
"Aku malah seribu kali lebih menyesal dan malu karena memiliki
suhu jahat dan pengkhianat macammu! Dan jangan lupa, aku tak pernah
meminta untuk dijadikan murid! Kau yang menculik aku dari tangan orang
tuaku!"
"Murtad! Laknat! Kubunuh kau sekalian biar puas hatiku!" Maka
Kiat Bo Hosiang lantas mempergencar serangannya. Tubuhnya hanya tinggal
bayangan putih saja lagi, mengurung Bwe Hun dari segala penjuru. Untuk
menghadapi kehebatan suhunya terpaksa gadis ini kerahkan pula seluruh
kepandaiannya. Karena masing-masing pihak mengetahui betul jurus-jurus
silat yang dimainkan, termasuk tipu-tipu dan kelemahan-kelemahannya maka
dengan sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan dan seru sekali.
Dalam hal Lweekang memang Bwe Hun masih berada di bawah suhunya. Namun
dalam memainkan ilmu silat tangan kosong dan kegesitan dia tidak kalah!
Sampai seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih belum bisa berbuat
apa-apa!
Bagaimanakah asal mulanya sampai Kiat Bo Hosiang bentrokan
dan hendak membunuh murid nya sendiri! Dan apakah betul tokoh silat
golongan putih itu menjadi kaki tangan penjajah Mongol?
Seperti sudah
sama dimaklumi jarang sekali manusia yang betul-betul dapat membebaskan
diri dari daya tarik keindahan hidup di dunia yang seribu satu macam
ragamnya itu. Salah seorang diantaranya adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi
dia masih memberi pelajaran silat pada Li Bwe Hun. Kiat Bo yang memang
mempunyai dasar watak suka akan hidup mewah di dunia dan disamping itu
lemah iman dalam menghadapi perempuan cantik, telah terjebak dalam bujuk
rayu orang-orang Mongol.
Kepadanya diberikan sebuah gedung besar bak
istana layaknya di Undur Khan. Harta benda dan uang berlimpah ruah.
Disamping itu tak lupa pula perempuan-perempuan cantik yang dia tinggal
pilih saja berganti-ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat Bo Hosiang
lupa segala-galanya. Dan diam-diam orang Mongol mulai memperalatnya.
Memang banyak gunanya tokoh lihay ini oleh kaum penjajah. Pertama, jika
Kiat Bo berada dalam genggaman mereka berarti tak akan ada bahaya dari
pihak Pemerintah Tiongkok ataupun dari pergerakan rakyat karena memang
masa itu Kiat Bo seorang tokoh sakti yang ditakuti oleh pihak Mongol.
Kedua Kiat Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi orang-orang Pemerintah
dan rakyat. Dan kenyataannya memang Kiat Bo Hosiang telah berhasil
mematahkan perlawanan-perlawanan yang dibangkitkan oleh bangsanya
sendiri.
Disatu pihak Kiat Bo mendapat imbal kehidupan yang mewah
penuh kesenangan namun dilain pihak dia menjadi momok kebencian rakyat
dan juga Pemerintah Tiongkok. Salah satu dari orang yang membencinya
ialah muridnya sendiri Li Bwe Hun yang telah digemblengnya selama lebih
dari sepuluh tahun.
Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu
memulai pengelanaannya di dunia kangouw telah dihadapkan dengan
kenyataan pahit yaitu gurunya ternyata adalah seorang pengkhianat yang
menjada kaki tangan penjajah Mongol dan diperalat untuk menghancurkan
rakyat serta Pemerintahnya sendiri! Sedangkan dia sendiri yang walaupun
masih muda tapi dapat membedakan mana yang betul dan mana yang salah,
telah memilih untuk berpihak perjuangan rakyat tertindas. Karenanya
dalam petualangannya, gadis ini berulang kali membantu pasukan rakaat
dan disamping itu setiap dia mendengar ada pejabatpejabat Pemerintah di
daerah-daerah yang berlaku keji serta semena-mena, pastilah dia turun
tangan untuk menghukum pejabat itu. Sekali dua diberi peringatan, tapi
bila masih tidak mau insyaf, Bwe Hun tak segansegan untuk menebas batang
lehernya.
Dalam melakukan hai yang dianggapnya sebagai tugas
kewajiban itu tentu saja Bwe Hun mendapat tantangan dan menghadapi
lawan-lawan berat. Dan salah satu diantaranya adalah gurunya sendiri
yakni Kiat Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang telah memberi
peringatan keras pada muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam
kekalutan yang berkecamuk akhir-akhir ini. Namun Bwe Hun tak mau perduli
karena dia yakin apa yang dilakukannya adalah benar. Dia sadar ilmu
kepandaian yang dimilikinya bukanlah untuk membuat dia menjadi beo atau
berlepas tangan ataupun melakukan perbuatanperbuatan yang salah, tapi
justru guna menolong orang-orang yang tertindas, untuk kebaikan dan
membela keadilan serta kebenaran. Dan nyatanya hari ini kembali dia
dipergoki oleh subangnya ketika membela pasukan rakyat yang hendak
dimusnahkan oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah Komandannya yang
bernama Cu Lay Seng!
Sekali ini Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat
hingga dia mempunyai tekad keji untuk mencelakakan muridnya sendiri,
membuat Bwe Hun menjadi cacat seumur hidupnya. Akan tetapi karena sampai
begitu jauh dia masih belum sanggup menyerangkan dua totokan ganas itu
ke tubuh muridnya yang dianggapnya murtad laknat, disamping itu
ucapanucapan Bwe Hun betul-betul membuat dia gelap mata, maka dalam
sesatnya Kiat Bo memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe Hun
tersirap darahnya ketika melihat tiba-tiba suhunya mengeluarkan
senjatanya yang hebat yakni tongkat baja yang kedua ujungnya bercagak.
"Suhu…!
Orang-orang Mongol betul-betul telah membuat kau jadi buta mata dan
hati serta pikiran! Insyaflah Suhu!" berseru Bwe Hun.
Tapi seruan itu
justru membuat Kiat Bo Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat bajanya
berkiblat. Sinar putih menderu-deru menyilaukan. Bwe Hun terpaksa
keluarkan tongkat kayu coklatnya yang tadi telah diselipkannya di
pinggang.
Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe Hun yang di mata Cu
Lay Seng serta Pouw Keng In sudah amat luar biasa, dihadapan Kiat Bo
Hosiang dia hanya sanggup bertahan sampai 5 jurus. Selewatnya 5 jurus,
setelah tongkatnya dibabat patah oleh suhunya, dia segera terdesak
hebat. Kegesitannya tiada berarti untuk menyelamatkan diri dari dua
ujung tongkat yang terus-menerus menyambar. Beberapa bagian pakaiannya
telah robek disambar senjata sang suhu dan agaknya dalam dua jurus
dimuka gadis ini akan menemui kematian secara mengenaskan. Menyaksikan
ini semua orang jadi gelisah. Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan ujung
tongkat bersarang di dada Bwe Hun, membuat gadis ini terpekik dan roboh
terguling di tanah. Darah kental mengalir disela bibirnya.
"Sekarang kau mampuslah, murid celaka!" teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan tusukkan ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua
bangka keji!" tiba-tiba terdengar bentakan. "Kau yang lebih dulu layak
mampus!" Dua orang berkelebat ke depan. Ternyata adalah Cu Lay Seng dan
Pouw Keng In!"
7
BAGAIMANA
pula sampai kedua Komandan pasukan yang tadinya saling bermusuhan dan
bertempur itu kini bersatu menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal
yang membuat mereka tiba-tiba saja turun tangan dalam keadaan yang
kritis itu tanpa memperduiikan keadaan dan tingkat kepandaian mereka
sendiri. Pertama bagaimana pun juga Li Bwe Hun merupakan nona penolong
bagi Pouw Keng In sewaktu tadi dia luka parah menghadapi pasukan
Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng. Kedua, baik Cu Lay Seng maupun
Pouw Keng In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah, maka Kiat Bo
Hosiang pasti akan membasmi mereka pula. Karena itu sebelum si nona
celaka lebih baik mereka lekas-lekas turun tangan menolong. Ketiga Cu
Lay Seng seolah-olah sadar bahwa apa yang terjadi di negerinya selama
ini memang membawa penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia merasa
berdosa telah melakukan pembasmian ganas terhadap rakyat yang selama ini
berjuang.
Akan tetapi, meski dibantu oleh dua orang Komandan pasukan
yang gagah berani Itu, keadaan Bwe Hun tidak lebih baik Malah setelah
membantu dua jurus, Cu Lay Seng dan Pouw Keng In mulai terdesak. Melihat
ini Cu Lay Seng segera berteriak, memerintah pada anak buahnya untuk
mengeroyok. Demikian pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang dikurung
oleh lebih dari tujuh orang dengan Bwe Hun, Lay Seng dan Keng ln sebagai
pelopornya. Namun keadaan bukannya lebih menguntungkan Bwe Hun dan
kawan-kawan, malah jalannya pertempuran jadi sembrawutan
Tongkat baja
di tangan Kiat Bo Hosiang mulai minta korban. Jerit sakit dan erang
kematian terdengar setiap tongkatnya berkiblat. Kemudian Cu Lay Seng
menenun ajalnya pula dengan kepala pecah. Satu jurus kemudian menyusul
Pouw Keng In. Sesudah kedua orang ini roboh anggota-anggota pasukan yang
mengeroyok menjadi kecut. Kebanyakan diantara mereka segera melarikan
diri hingga pada akhirnya Li Bwe Hun yang hanya mengandalkan tangan
kosong, tinggal sendirian menghadapi suhunya. Dan boleh dikatakan
ajalnya di depan mata kini!
Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang
menderuderu untuk menamatkan riwayat muridnya sendiri tiba-tiba
terdengarlah tiupan seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun yang tahu
ajalnya sudah di depan matanya sama sekali tidak perduli dengan suara
itu, lain halnya dengan Kiat Bo Hosiang, Serta merta kakek ini melompat
dari kalangan pertempuran dan berpaling ke arah datangnya suara suling
itu
Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi juga luar biasa.
Seorang pemuda berpakaian gombrang mengaitkan kaki kirinya pada cabang
sebuah pohon yang tinggi hingga dia tergantung-gantung dengan kaki ke
atas kepala ke bawah. Sambil ber gantung dia meniup seruling dan
ayun-ayunkan tubuhnya mengikuti irama seruling itu. Lagu yang
dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun yang lalu Kiat Bo Hosiang
hampir menerima kematian waktu bertempur melawan Pak-san Kwi-ong!
Meskipun kini telah berlalu demikian lama namun Kiai Bo Hosiang tak bisa
pangling. Pasti inilah bocah penggembala yang tempo hari telah
menolongnya dan yang telah dibawanya ke puncak Liongsan untuk diserahkan
pada suhengnya. Ternyata kini dia telah dewasa. Tapi tingkahnya yang
muncul secara aneh itu diamdiam membuat Kiat Bo Hosiang merasa kurang
enak. Ah, pastilah dia telah pula mewariskan sifat gila suhengku!
Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia berseru :
"Thian Ong Kau! Ayo lekas turun!’
Pemuda
berpakaian gornbrong yang berayunayun di cabang pohon sambil meniup
suling itu memang adalah Song Thian Ong, bocah penggembala yang 12 tahun
yang lalu dibawa oleh Kiat Bo kepada suhengnya di puncak Liongsan!
Selama bertahun-tahun menerima pelajaran ilmu silat dari seorang sinting
seperti Ik Bo Hosiang dan berada diantara pembantu-pembantunya yang
berotak miring pula yakni Toa Si Hosiang dan Lo Sam Hosiang, maka selain
telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, ternyata pemuda
itu juga mewarisi sifat-sifat keblinger suhu serta dua pembantu suhunya
itu!
"Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal aku lagi? Aku Kiat
Bo Hosiang yang dulu membawamu ke puncak Liongsan. Kau boleh panggil aku
susiok!’
Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun malah terus saja
mainkan serulingnya. Seolah-olah dia tidak mendengar suruan susioknya
itu. Sementara Itu Li Bwe Hun yang begitu mendengar bahwa pemuda aneh di
atas pohon yang tentunya berkepandaian tinggi adalah murid keponakan
dari Kiat Bo Hosiang, menyadari betapa makin sulit kedudukannya. Barusan
dia hampir menemui kematian menghadapi Kiat Bo Hosiang seorang diri.
Kini ditambah munculnya murid keponakan suhunya, pastilah tak ada
harapan baginya untuk selamatkan diri. Karenanya selagi kakek itu lengah
berseru seru memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih lama lagi Li Bwe
Hun segera berkelebat kabur. Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar
seruan:
"Nona baju hijau kau mau ke mana? Kenapa buruburu? Aku belurn
puas melihat kecantikan wajahmu!’ hampir tak kelihatan Thian Ong
jentikkan jari telunjuk tangan kirinya secara acuh tak acuh. Inilah satu
ilmu menotok jarak jauh yang amat lihay dan jarang terlihat dalam dunia
persilatan di Tiongkok selama 40 tahun belakangan ini! Dan di bawah
sana tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua kakinya Kaku tak sanggup untuk
dibawa lari. Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan barang
sedikit pun. Malah bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo Hosiang yang
menyaksikan ha! itu diamdiam merasa terkejut. Dia sudah mengetahui
kelihay an suhengnya. Tetapi adalah hampir tak dapat dipercaya kaiau
murid suhengnya sehebat ini; karena dia sendiri pun telah meyakini ilmu
menotok jarak jauh itu selama 10 tahun dan tak kunjung berhasil mencapai
kesempurnaannya.
"Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau memberi hormat padaku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah nyanyian dari atas pohon :
Menghormati memang satu kewajiban,
Dari vang muda kepada yang tua.
Kehormatan adalah satu yang berharga.
Terkadang lebih berharga dari nyawa,
Tetapi menghormat harus melihat orang dan tempat,
Karena terkadang si penghormat bisa jadi penjilat,
Apakah wajib menghormat seorang pengkhianat,
Apakah wajib menghormat seorang sesat,
Apakah wajib menghormat penindas dan pembunuh rakyat?
Ataukah penghormatan itu satu hal yang bisa dipaksakan?
Siapakah orangnya yang bisa membendung arus sungai Yangtse menuju laut?
Siapakah orangnya yang bisa memindahkah puncak gunung Thaysan?
Sekalipun, seorang Kaisar yang gila hormat?
Mendengar
nyanyian itu berubahlah paras Kiat Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam
nyanyian yang dibawakan oleh Thian Onq tadi merupakan sindiran langsung
atas dirinya. Tetapi dengan berpura-pura tidak tahu, Kiat Bo Hosiang
tertawa geiak-gelak lalu berkata;
"Bagua sekali nyanyianmu itu, Thian Ong! Rupanya kau betul-betul telah mewarisi kepandaian suhumu, lahir dan bathin!"
Baru saja Kiat Bo Hosiang habis berkata demikian, kembali terdengar Song Thian Ong bernyanyi:
Lahir dan bathin dua hal yang berbeda,
Karenanya sering tidak sama dan serupa,
Malah kerap bertolak belakang,
Yang satu memalsukan yang lainnya,
lahir bagus belum tentu batinnya baik,
Bathin baik belum tentu lahirnya bagus,
Di luar kebijaksanaan di dalam mungkin culas,
Di luar culas di dalam mungkin bijaksana.
Menipu diri sendiri berarti tolol,
Menipu orang lain berarti jahat,
Menghormat orang lain adalah wajib,
Minta keliwat dihormat adalah otak rengat!
Kalau
tadi Kiat 3o Hosiang masih bisa menahan rasa dongkolnya maka kini
sesudah sindiran Thian Ong berterang-terangan begitu rupa, marahlah
kakek-kakek ini. Langsung dia membentak:
"Thian Ong! Apakah kau begitu berani bicara lancang dan menghina terhadap susiokmu sendiri?!"
Dan jawaban Thian Ong lagi lagi berupa nyanyian yang membuat hati Kiat Bo Hosiang laksana bara panas.
Lancang adalah perbuatan salah,
Tetapi masih bisa diperbaiki.
Tak ada yang terhina kalau semua bersih,
Kekotoran itulah yang perlu diperbaiki,
Hinanya si miskin hal yang lumrah.
Tapi hinanya mereka yang tersesat harus cepat diperbaiki,
Sudah tiba saatnya bertobat,
Sudah tiba saatnya mengambil pikiran sehat,
Atau apakah mau menunggu hari kiamat?
Tiba-tiba
Kiat Bo Hosiang lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah batang
pohon di mana Thian bergelantungan seenaknya Brak! Batang pohon besar
itu patah, lalu tumbang dengan suara gemuruh. Suara gemuruh ini disertai
gelak tertawanya Thian Ong. Tubuhnya sesaat terlihat membuat beberapa
kali putaran mengelilingi cabang pohon, lalu lenyap dan tahu-tahu sudah
berada di hadapan Kiai Bo Hosiang. Di depan susioknya ini, Thian Ong
memandang dengan kening berkernyit dan salah satu tangan diletakkan di
atas alis, seolah-olah dia tengah memperhatikan sesuatu yang jauh
dikesilauan sinar matahari. Ditambah dencan bajunya serta celananya yang
gombrang sekali, maka sikap pemuda ini betul menggelikan.
Anggota-anggota pasukan kerajaan dan pasukan rakyat yang masih ada di
situ meskipun tercekat tegang namun tak dapat menahan suara tertawa
masing-masing. Bwe Hun sendiri pun kalau saja tidak dalam keadaan
tertotok pastilah akan tertawa pula cekikikan.
"Ah, Susiok! Kau
rupanya! Kukira siapa!" tibatiba Thian Ong berkata begitu, seolah-olah
baru tahu kalau orang di depannya adalah susioknya! Tentu saja Kiat Bo
Hosiang jengkel setengah mati diperlakukan seperti itu.
"Anak setan!
Kalau kau tidak berlutut minta ampun atas semua kekurang ajaranmu ini,
niscaya aku akan menjatuhkan hukuman berat padamu!"
Air muka Song
Thian Ong mendadak berubah pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang
ketakutan setengah mati mendengar ancaman susioknya itu. Tiba-tiba dia
jatuhkan diri berlutut.
Anehnya begitu kedua lututnya menyentuh tanah
itu jadi melesak dan merupakan lubang besar. Dan tubuh Thian Ong lantas
roboh jatuh. Tapi dia bangun kembali, melangkah ke bagian tanah yang
rata lalu jatuhkan berlutut lagi. Namun begitu kedua lututnya mencium
tanah hal seperti tadi terjadi lagi. Tanah itu melesak dalam, tubuhnya
kembali jatuh. Hal ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada
akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan susioknya seraya
berkata:
“Mohon maafmu, Susiok. Semua tanah di sini tak ada yang
rata. Hingga setiap aku berlutut terus jatuh. Aku tak dapat
menghormatimu secara sempurna!"
Paras Kiat Bo Hosiang berubah
mengejam. Dia tahu betul semua yang dilakukan Thian Ong itu bukanlah
penghormatan melainkan kesengajaan untuk mengejek mempermainkannya. Dan
sekaligus hendak menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya karena saat itu
semua tanah di tempat itu telah penuh dengan lobang-lobang dalam bekas
hantaman lutut Thian Ong! Tadipun Kiat Bo Hosiang merasakan betapa
setiap kedua lutut pemuda itu menyentuh tanah, tanah jadi bergetar
keras!
"Thian Ong keparat! Yang tak tahu membalas budi! Kalau bukan
aku yang membawamu pada Ik Bo Hosiang mana mungkin kau berkepandaian
sakti mandraguna dan berilmu silat tinggi! Dan sekarang ilmu itu yang
hendak kau obral di depanku!"
"Ah, Susiok, budi yang bagaimanakah
yang kau bicarakan ini? Apakah orang menanam budi untuk mengharap suatu
pamrih dikemudian hari seperti yang kau lakukan saat ini dalam
kesempatanmu?" Thian Ong tertawa gelak dan sampai saat itu masih saja
tegak terbungkuk-bungkuk. Susiok sekarang ini zaman edan, banyak
orang-orang sinting macam aku ini, tapi tidak berbahaya. Yang berbahaya
ialah orang-orang pandai tapi yang mempergunakan kepandaiannya untuk
berbuat segala kesesatan yang gila! Karenanya jika kau tidak buru-buru
keluar dari kesesatan itu, kau pasti akan dicap gila! Ketahuilah, aku
diminta oleh suhu untuk membawamu ke jalan yang benar!"
"Bangsat
rendah! Kau rupanya sudah lupa asal. Anak gembala jembel hina dina
hendak memberi nasihat pelajaran kepadaku! Ingusmupun kau belum mampu
menyekanya!"
"Ah, kau salah susiok! Apakah kau lihat saat ini aku sedang ingusan? Celaka, matamu rupanya sudah mulai buram!"
Saat
itu Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi membendung kemarahannya. Dia
berteriak dahsyat dan gerakan tangan kanannya ke pinggang. Dilain kejap
berkiblatlah sinar putih menyilaukan ke arah Thian Ong.
8
TERNYATA
Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid suhengnya itu dengan senjatanya
yang paling dahsyat yakni tongkat baja yang ujung-ujungnya bercagak dua.
Sebelumnya
12 tahun yang lewat Thian Ong telah menyaksikan kehebatan tongkat
tersebut, bahkan tadi pun Kiat Bo Hosiang telah mempergunakannya melawan
musuh-musuh tangguh serta hendak dipakai membunuh muridnya sendiri. Dan
kini senjata yang sama dipergunakan pula untuk menghadapi Thian Ong.
Dalam waktu singkat pemuda itu telah terkurung sinar tongkat namun dasar
gendeng dia masih saja tertawa-tawa.
Penasaran Kiat Bo Hosiang
segera robah permainan tongkatnya. Kini senjata itu bergerak lebih cepat
dan suaranya menderu dahsyat. Selama 10 jurus dimuka Thian Ong masih
melayani seranganserangan susioknya dengan tangan kosong dan melancarkan
serangan balasan dengan mengandalkan kebutan-kebutan ujung lengan
pakaiannya yang gombrangi Karena tenaga dalamnya yang luar biasa angin
yang keluar dari ujung-ujung lengan pakaiannya itu sanggup membuat
mental tongkat di tangan Kiat Bo setiap senjata itu mendekati Thian Ong.
Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu mulai kerepotan. Saat ini Kiat Bo
Hosiang telah keluarkan ilmu tongkatnya yang terhebat dan bernama "sin
eng-thunghoat" atau ilmu tongkat garuda sakti.
Serangan tongkat
datang bertubi-tubi dan tidak beda seperti burung garuda yang
menyambar-nyambar keseluruh bagian tubuh Thian Ong. Kadangkadang menukik
seperti hendak mematuk kepalanya, kadang-kadang pula menusuk tajam ke
perut atau dada dan tak jarang berkelebat menggempur tubuhnya sebelah
bawah!
Diam-diam dalam marah dan penasarannya Kiat Bo Hosiang
mengagumi pemuda ganteng itu. Se-lama ini jarang sekali dia mengeluarkan
ilmu tongkatnya dalam jurus-jurus yang lihay itu, bahkan ketika
menghadapi dua pembantu-pembantu suhengnya di puncak Liongsan 12 tahun
silam dia sama. sekali tidak mengeluarkannya. Kini menghadapi murid dari
suhengnya ternyata dia terpaksa harus keluarkan kepandaiannya yang
paling diandalkan itu! Meskipun Thian Ong kelihatan terdesak tapi
nyatanya si pemuda masih sanggup melayani sin-eng thonghoat sampai
sepuluh jurus. Padahal tokoh-tokoh silat ternama yang pernah
dihadapinya, paling bantar dua jurus sudah pasti konyol di tangannya!
Mendapati
kenyataan bahwa susioknya kini berhasil mendesaknya dengan ilmu
tongkatnya yang amat lihay, Song Thian Ong anehnya malah perdengarkan
suara tertawa gelak-gelak.
"Bret!" ujung tongkat menyambar robek dada
pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu lebih ke depan dengan pasti
dada pemuda ini akan kena dilabrak hancur!
"Tertawalah terus pemuda sedeng!" teriak Kiat Bo Hosiang. "Sebentar jagi perutmu yang akan kurobek!"
"Enak
betul! Kamu musti ganti dulu bajuku yang robek Tua bangka sesat!" balas
berteriak Thian Ong. Lalu sambil tertawa gelak-gelak dia jungkir balik
di udara tiga kali berturut-turut. Bagi orang yang tidak berpengalaman,
saat lawan berjungkir balik seperti itu amat empuk untuk dijadikan
sasaran serangan mematikan. Tapi Kiat Bo Hosiang yang sudah berilmu amat
tinggi dan berpengalaman luas, serta mengetahui pula sedikit seluk
beluk ilmu suhengnya, mengerti betul adalah bahaya besar jika dia
melancarkan serangan saat itu.
Setelah jungkir balik Thian Ong
melayang turun dengan kemudian kedua tangan menuju tanah lebih dahulu.
Sedetik kemudian dia sudah tegak lurus dengan kepala menempel tanah
sedang kedua kaki dikeataskan. Kakinya yang di ke ataskan ini membuat
gerakan aneh dan mendatangkan siuran angin keras. Kadang-kadang turun
naik seperti orang mengayuh. Sesekali menendang-nendang dengan
dahsyatnya, lalu berganti pula berputar-putar. Dan lebih keblingernya
lagi, sambil membuat gerakan aneh dengan kedua kakinya itu, Thian Ong
keluarkan serulingnya lalu mulai meniup lagu-lagu yang tak karuan.
Terkadang merdu lembut, terkadang melengking-lengking menyakitkan
telinga.
Melihat bagaimana tingkah Thian Ong dalam pertempuran itu
yang seolah-olah mengejek mem permainkannya, semakin mendidihlah amarah
Kiat Bo Hosiang. Dia teringat pada masa 12 tahun yang lalu ketika dia
membawa Thian Ong ke puncak Liongsan lalu suhengnya dan dua orang
pembantupembantunya membuat Thian Ong seperti bola, ditendang kian
kemari dari satu kaki ke kaki lain sedang main-main mereka tegak dengan
kepala di bawah kaki ke atas!
"Pemuda keparat! Asalmu jembel tukang
angon kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!" teriak Kiat Bo Hosiang.
Lalu menyerbu dengan tongkatnya. Tapi serta merta saja dia tersurut
kembali. Ternyata gerakan-gerakan kedua kaki Thian Ong yang aneh itu
merupakan benteng pertahanan yang kokoh dan sekaligus dapat menjalankan
serangan berbahaya!
Tapi Kiat Bo Hosiang masih jauh dari rasa gentar.
Meski dia tak dapat menyerang lawan dari sebelah atas namun matanya
yang tajam segera melihat bahwa ilmu silat aneh Thian Ong itu memiliki
kelemahan di sebelah bawah. Jika dia melancarkan serangan yang hebat
antara pinggang sampai ke bagian kepala lawan yang saat itu menempel di
tanah pastilah dia akan berhasil merobohkan Thian Ong,
sekurang-kurangnya membuat cidera pemuda itu!
Maka setelah menunggu
kesempatan yang baik, tiba-tiba Kiat Bo Hosiang membuat gerakan yang
bernama "sin-eng-tian-ci" atau garuda sakti pentang sayap. Kaki kirinya
melesat menghantam ke arah selangkangan Thian Ong sedang dalam detik
yang sama tongkat bajanya menunjuk deras ke arah tenggorokan si pemuda.
Memang dua serangan yang dilancarkan oleh Kiat Bo Hosiang sekali ini
betul-betul luar biasa. Dua-duanya sulit dikelit saking cepatnya dan
disamping itu merupakan serangan maut total! Kiat Bo Hosiang yakin salah
satu dari serangan itu pasti akan mengenai sasarannya, ter utama
tusukan tongkat ke arah leher.
Tetapi adalah kecele kalau Kiat Bo
berpikir demikian. Didahului oleh lengkingan seruling yang ditiup
gila-gilaan kerasnya tiba-tiba tubuh Thian Ong sebatas pinggang ke kaki
melejit ke samping. Ini membuat serangan kaki kiri Kiat Bo hanya
mengenai tempat kosong.
Disaat yang sama suling di tangan Thian Ong
tiba-tiba membeset laksana kilat dan bret! Robeklah pakaian putih
kakek-kakek itu di sebelah dada.
Kiat Bo Hosiang kaget sekali. Dia
cepat membuat gerakan untuk menjatuhkan tubuhnya yang setengah melayang
itu dari lawan. Namun masih kurang lekas karena saat itu tubuh Thian Ong
sudah melejit lurus kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah mendepak
pantat si kekek! Tak ampun Kiat Bo Hosiang mencelat mental sampai satu
tombak. Untung saja meskipun otaknya agak keblinger Song Thian Ong tidak
bermaksud jahat terhadap paman gurunya itu, kalau tidak pastilah
tendangan tadi akan membuat Kiat Bo Hosiang celaka, sekurang-kurangnya
cacat seumur hidup.
Dilain pihak sambil tertawa haha hihi, Thian Ong bergerak jungkir balik dan berdiri di atas kedua kakinya kembali.
"Susiok!
Harap maafkan aku. Kalau saja aku tahu pantatmu itu sudah tak ada lagi
dagingnya alias tulang melulu, pastilah aku tak akan menendang pantatmu
itu!"
"Anjing jadah!" maki Kiat Bo Hosiang menggeledek. "Aku mengadu
jiwa denganmu!" Lalu kakek ini secara menerjang ke depan. Namun
gerakannya terhenti karena saat itu mendadak terdengar suara tawa
bergelak :
"Kiat Bo Hosiangl Ada berapa nyawakah kau punya hingga
hendak mengadu jiwa dengan pemuda itu?! Apa kau tak malu sudah
dipermainkan begitu rupa?!"
Kiat Bo Hosiang mengeram macam harimau
menggerang. Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-sisa pasukan Kaisar dan
pasukan rakyat yang tadi asyik menonton pertempuran hebat luar biasa
yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya, pada lari berserabutan,
ketakutan seolah-olah melihat setan kepala sebelas!
Li Bwe Hun dan
Thian Ong jadi terheran-heran sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar
kepala ke arah datangnya seruan dan suara tertawa bergelak tadi.
Memandang ke jurusan itu mendadak wajahnya yang beringas gemas kelihatan
gembira dan dia tertawa lebar. Kakek ini lalu menjura.
"Ah, kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira siapa? Bagus sekali kau datang dan dapat membantu aku meringkus pemuda pengacau ini!"
"Cuma meringkusnya?"
"Eh… tidak! Membunuh!" sahut Kiat Bo Hosiang pula. "Aku tidak malu-malu meminta bantuanmu untuk mengirimnya ke akhirat!"
Terdengar
suara tertawa kembali. "Ahoi! Se-orang tokoh ternama yang katanya
paling lihay di seluruh Tionggoan hari ini tidak mampu untuk menghadapi
seorang pemuda otak miring! Percuma saja kami orang-orang Mongol
memeliharamu, memberikan uang dan harta berlimpah, gedung mewah serta
perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali tidak berguna bagi kami!"
Merahlah paras Kiat Bo Hosiang mendengar kata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya dia mati kutu!
9
SAAT
itu di hadapannya Kiat Bo Hosiang berdiri seorang kakek kakek berambut
pirang dan bermuka merah macam kepiting rebus. Tubuhnya kurus tinggi dan
dia mengenakan jubah biru gelap. Dialah tokoh kelas wahid dari Mongol
yang dikenal dengan nama Pengho. Dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang
ilmunya memang jauh lebih tinggi.
Di samping Pengho tegak pula
seorang berpakaian rombeng dekil, kurus kering dan bungkuk. Dia memegang
sebuah tongkat di tangan kiri untuk menopang tubuhnya yang bungkuk tak
seimbang itu. Orang kedua ini adalah kawan kental Pengho, bernama
Wanglie dan bergelar Pengemis Sakti Tangan Kidal, dan merupakan salah
seorang tokohtokoh ternama berasal dari Tibet.
Orang ketiga yang
datang bersama dua tokoh terdahulu itu ialah seorang pendek bermata
juling yang mukanya tembam selalu berkeringat. Yang hebat dari menusia
ini ialah sepasang lengannya yang panjang sekali, hampir menyentuh ke
tanah. Dia juga seorang tokoh lihay dari Mongol, yang kepandaiannya
masih satu tingkat di atas Kiat Bo Hosiang. Nama aslinya tak ada yang
tahu. Dia dikenal dengan gelar Sepasang Tangan Perenggut Jiwa!
Dengan
hadirnya gembong-gembong besar pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa
sisa pasukan Pemerintah dan rakyat kontan ambil langkah seribu begitu
melihat dan mengenali mereka!
Li Bwe Hun yang saat itu masih tertegak
mematung dan tak bisa bersuara karena masih tertotok, yang juga
mengenali siapa adanya ketiga manusia itu, diam-diam terkejut dan
mengeluh. Dia sudah dapat menduga walau betapapun lihaynya pemuda
berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah jika menghadapi Pengho,
apalagi jika dikeroyok bersama-sama!
Sambil rangkapkan tangan di muka dada, Pengho berpaling pada Thian Ong dan gelenggeleng kepala.
Hanya seorang pemuda gendeng begini kau tak sanggup menghadapinya? Betul? Memalukan, Kiat Bo!"
"Dia
memang sedeng, Pengho Loenghiong," sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka
merah. "Tapi kunasihatkan jangan terlalu dianggap remeh. Dia adalah
murid suhengku Ik Bo Hosiang dari Liongsan!"
"Cuma muridnya saja? Itu
toh lebih memalukan, Kiat Bo! Bagaimana lagi kalau suhunya yang jadi
pengacau. Tentu kau sudah modar!" ejek Pengho pula. Memang pada masa itu
bukan rahasia lagi kalau orang-orang asli Mongol kurang menyenangi
bangsa Han yang dipelihara oleh Kaisar Mongol secara mewah
berlebih-lebihan untuk mengharapkan imbal kepandaiannya dalam
mencengkeram Tiongkok. Seolah-olah pada kalangan orang-orang Mongol
sendiri tidak ada tokoh-tokohnya yang lihay. Dalam pada Itu perlakuan
Kaisar Mongol terhadap orang-orang Han (Tiongkok) kelihatan menyolok berlebih-lebihan.
Ejekan Pengho tadi membuat dada Kiat Bo Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak bisa berbuat lain dari pada berdiam diri.
Pengho
berpaling pada Sepasang Tangan Perenggut Jiwa. Diantara mereka bertiga
memang yang satu ini paling rendah ilmunya tapi dibandingkan dengan Kiat
Bo Hosiang masih lebih tinggi satu tingkat.
"Sobatku Perenggut Jiwa,
apakah kau bersedia mengotorkan tanganmu membunuh monyet baju gombrang
yang katanya adalah murid dari Ik Bo Hosiang?!"
Si muka tembam
Sepasang Tangan Parenggut Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan
ujung lidah. Dia melirik dengan matanya yang juling ke arah Li Bwe Hun,
kemudian berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Kiat Bo-Lo Jianpwe, apakah aku ingin aku membunuh murid suhengmu ini?" bertanya si Perenggut Jiwa.
"Betul, lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo Hosiang.
Si
Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke arah Kiat Bo Hosiang dan berkata
lagi: "Nona cantik ini kalau aku tak salah adalah muridmu, bukan?"
Kiat Bo Hosiang mengangguk.
"Ada
satu syarat, Lotjianpwe. Jika aku ingin aku turun tangan, upahnya kau
harus hadiahkan nona muridmu itu padaku!" Sepasang Tangan Perenggut Jiwa
memang seorang tokoh silat Mongol yang terkenal hidung belang. Habis
berkata demikian dia melirik pada Bwe Hun, leletkan lidah lalu tertawa
mengekeh.
Tiba-tiba suara tawanya itu ditimpali lebih hebat oleh
suara seorang lainnya ternyata adalah Song Thian Ong! Dan mendengar
suara pemuda itu, Pengho kernyitkan kening, Pengemis Sakti Tangan Kidal
mendongak ke langit sedang si Perenggut Jiwa tertegun! Mereka sama
terkesiap mendapatkan bagaimana suara tertawa Thian Ong itu mereka
rasakan membuat tanah bergetar.
Masing-masing saling pandang sesaat,
kemudian Pengho berbisik: "Hanya pemuda edan macam dia apa pula artinya
tak perlu ditakutkan!"
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa menggaruk lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Bagaimana Lotjianpwe?"
Kiat
Bo Hosiang memang sudah miring jalan pikirannya, ditambah pula saat itu
dia disungkup amarah serta malu luar biasa. Karenanya menceplos saja
jawabannya:
"Terserah padamu kau mau buat apa atas diri gadis laknat itu! Tadipun aku hendak membunuhnya!"
Mendengar jawaban ini si Perenggut Jiwa ternyata puas.
"Ah rejekimu besar nian hari ini, Sobat," berkata Pengho seraya menepuk bahu hambratnya itu.
Si
Perenggut Jiwa basahi bibirnya dengan ujung lidah. Sambil mengedipkan
matanya yang juling pada Li Bwe Hun dia berkata : "Nonaku, kau tunggulah
sebentar. Saksikanlah bagaimana aku menghajar pemuda gila itu. Kemudian
kita berdua tinggalkan tempat ini, pergi bersenang-senang di atas
ranjang."
Li Bwe Hun benar-benar tak menyangka kalau hati gurunya
demikian bejatnya. Tapi apakah dayanya? Harapannya satu-satunya kini
terletak pada Song Thian Ong. Dapatkah pemuda berotak miring ini
mengalahkan si Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat lantas apakah dia mampu
pula melawan Pengemis Sakti Tangan Kidal serta Pengho? Bagaimana kalau
orang-orang itu kemudian mengeroyoknya? Betapapun lihaynya pemuda murid
Ik Bo Hosiang itu namun adalah mustahil dia akan sanggup menghadapi
musuh-musuh tangguh demikian rupa. Dan ini berarti celakalah dirinya
sendiri!
"Ah, mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawaku saat ini!"
keluh Li Bwe Hun dalam hati dan air mata mulai menggenangi
pelupuk-pelupuk matanya.
Dalam pada itu dengan mengumbar suara
tertawa mengekeh si Perenggut Jiwa melangkah mendekati Thian Ong.
Sebaliknya Thian Ong tampak acuh tak acuh, malah membelakangi musuh yang
datang mendekat itu, berpaling menghadap Kiat Bo Hosiang dan dengan
jari telunjuk tangan kirinya diacungkannya tepat ke hidung orang tua
ini.
"Tua bangka sedengl Kau betul lebih sinting dari manusia edan
manapun di dunia ini. Hatimu bejat dan keji. Bukannya memberi hajaran
malah menyerahkan bulat-bulat tubuh dan kehormatan murid sendiri pada si
pendek juling ini!"
Paras Kiat Bo Hosiang jadi merah saga. Dia
membentak: "Tutup mulutmu Bwe Hun bukan muridku lagi! Kau hadapi saja
musuh si Pendekar Perenggut Jiwa untuk menerima mampusmu!"
"Kaulah
yang lebih dulu layak mampus!" teriak Thian Ong, lalu menggebrak tanah
dengan kaki kirinya hingga tanah itu tenggelam sampai satu jengkal.
Tubuhnya berkelebat ke depan melancarkan hantaman satu pukulan tangan
kosong yang hebat namun saat itu belakangnya terdengar deru yang deras.
Ternyata Sepasang Tangan Perenggut Jiwa telah ulurkan kedua tangannya
dan dalam gerakan kilat siap untuk menangkap batang leher Thian Ong yang
telah lengah membelakangi. Sekali leher itu kena tertangkap nyawa murid
Ik Bo Hosiang yang agak berotak miring itu pastilah tak akan tertolong!
Memang
sesuai dengan gelarnya yaitu Sepasang Tangan Perenggut Jiwa maka tokoh
silat Mongol bermata juling itu memang memiliki sepasang tangan yang
luar biasa hebatnya. Selain cepat dalam gerakan juga memiliki kekuatan
atos dan ampuh.
Baik Kiat Bo Hosiang maupun Wanglie (Pengemis Sakti Tangan Kidal)
serta Pengho sudah dapat memastikan bahwa dengan sekali gerakan kilat
saja dan saat lawan dalam keadaan lengah, si Perenggut Jiwa betul-betul
akan dapat merenggut lepas nyawa Thian Ong.
Pada saat itu, ketika
merasakan sambaran angin di belakangnya, Song Thian Ong maklum kalau
dirinya tengah diserang orang secara pengecut. Dia menggerendeng dan
rundukkan tubuh sedikit sambil memutar dan serentak dengan itu tangan
kirinya yang tadi dipergunakan untuk menuding hidung Kiat Bo Hosiang
kini dipakainya sebagai kemplangan menebas ke arah datangnya serangan!
Buk!
Terdengar suara bergedebukan yang keras ketika lengan kiri Thian Ong beradu dengan lengan kanan si Perenggut Jiwa.
Tokoh
lihay dari Mongol ini merasakan tubuhnya terbanting ke kiri sampai
empat langkah tapi lengannya sama sekali tidak cedera bahkan terasa
sakit pun tidak! Inilah kehebatan ilmu kebal sepasang tangan yang
dimilikinya. Padahal jangankan manusia, batang pohon pun kalau sampai
kena digebuk lengan Thian Ong yang berisi kekuatan tanaga-dalam luar
biasa itu, pastilah akan remuk berantakan!
Kini Pengho dan Pengemis
Sakti Tangan Kidal, lebih-lebih si Perenggut Jiwa sendiri baru terbuka
matanya. Meskipun jago silat dari Mongol ini tidak cidera namun tubuhnya
yang terlempar sampai sejauh empat langkah itu cukup membuktikan bahwa
Thian Ong meskipun gendeng tapi betul-betul tak bisa dibuat main.
Padahal sesungguhnya murid Ik Bo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya
membuat gerakan acuh tak acuh dan tidak pula disertai kekuatan tenaga
dalam yang berarti)
Walau dia tidak apa-apa, namun Perenggut Jiwa
merasa malu sekali karena lawan gila yang dianggapnya remeh dan gila itu
ternyata tak dapat dibereskannya dalam satu gebrakan saja.
Didahului
dengan bentakan galak dia sengaja keluarkan jurus silatnya yang
terlihay untuk menebus rasa malunya yakni jurus yang bernama
siang-lui-guisan’ atau sepasang petir membelah gunung!
Kehebatan
jurus ini memang luar biasa. Sepasang tangan si Perenggut Jiwa kini
hanya merupakan bayangan sinar putih dan mengeluarkan suara keras setiap
serangan dilancarkan. Tampaknya Thian Ong kerepotan dibuatnya meskipun
dia sudah lancarkan serangan balasan dengan kebutan ujung lengan
pakaiannya yang gombrong. Semakin lama pertempuran semakin seru.
Tiba-tiba Thian Ong membentak nyaring dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke
atas, turun lagi dengan kaki ke atas kepala ke bawah.
Pemuda ini
agaknya merobah permainan silatnya dan mengeluarkan ilmu yang tadi telah
dipergunakannya dalam menghadapi Kiat Bo. Namun setiap tendangan yang
dilancarkannya selalu dapat dikelit atau ditangkis oleh tangan si
Perenggut Jiwa.
Thian Ong jadi penasaran. Dia jungkir balik kembali
dan kini mainkan jurus silat baru. Memang, si Siperenggut Jiwa jadi
terdesak hebat namun sekalipun tubuhnya terbanting atau tercelat mental
selama dia masih sanggup mempergunakan sepasang tangannya yang
benar-benar ampuh untuk menangkis maka dia sama sekali tak mengalami
cidera. Lama-lama Thian Ong jadi beringas.
Murid Ik Bo Hosiang ini
mencak-mencak macam orang kemasukan setan. Tapi setiap tangannya
digerakkan, menghamburlah pukulan-pukulan ganas yang dialiri tenaga
dalam tinggi. Berkali-kali si Perenggut Jiwa jatuh bangun dihantam
pukulan tangan kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu mempergunakan
kedua lengannya untuk menangkap maka setiap jatuh dia cepat bangun
kembali dan balas menyerang!
20 jurus berlalu. Si Perenggut Jiwa
kelihatan mandi keringat, pakaian kusut masai dan muka celemongan karena
berulang kali jatuh atau terguling-guling di tanah. Sebaliknya Thian
Ong masih biasa saja, hanya suara menggerendeng tak hentinya keluar dari
mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagaimana dapat merobohkan lawan
yang memiliki sepasang tangan laksana benteng baja itu, tibat-tiba
terdengarlah siulan nyaring menusuk telinga yang disusul dengan suara
orang menyanyi.
20 jurus berlalu percuma
Hanya karena serangan membabi buta
Dua tangan memang laksana benteng baja
Untuk apa diserang menghabiskan tenaga?
Semua
orang yang ada di situ terkejut, termasuk Thian Ong. Pemuda ini
melompat mundur dan mendongak ke atas pohon, dari arah mana suara orang
menyanyi itu datang. Pada cabang sebuah pohon tampak duduk seorang
pemuda asing tak dikenal, rambutnya gondrong dan mulutnya penuh berisi
buah apel yang digerogotinya.
Melihat pemuda di atas pohon, Thian Ong tibatiba tertawa bergelak.
"Gondrong!
Tampangmu tolol dan lagakmu juga edan seperti aku! Jika kau merasa
berkawan dengan aku, silahkan turun beri petunjuk!"
Tapi orang di atas pohon tidak mau turun, malah kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi:
Segala sesuatunya tidak sempurna
Otakmu tidak seluruhnya gila
Pergunakan bagian yang tidak gila
Untuk menduga dan menerka
Bahwa tidak seluruhnya sekeras baja
Diantara yang keras ada yang lemah
Pada kelemahan terdapat kelembutan
Dan kelembutan pangkal celaka.
Orang
di atas pohon kunyah terus buah apel dalam mulutnya lalu garuk-garuk
kepala. Thian Ong ikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia memandang lagi
pada si gondrong di atas pohon, lalu tertawa.
"Aku mengerti… aku
mengerti sekarang cihuy terima kasih! Kau memang kawanku, memang sobat
ku! Cihuyl" Thian Ong kelihatan girang sekali dan sampai-sampai dia
membuat gebrakan jungkir balik di udara beberapa kali. Begitu kakinya
menginjak tanah kembali, langsung dia menuding si pendek Perenggut Jiwa
dan berkata keras.
"Mata juling, ayo kita bertempur lagi." Lalu dia
berpaling pada Pengho, Pengemis Sakti Tangan Kidal dan Kiat Bo Hosiang.
"Manusia-manusia penjajah, sekarang kalian lihat bagaimana aku akan
merobohkan jagomu ini dalam satu jurus!’
Thian Ong tertawa lagi
gelak-geiak. Selagi dia tertawa begini si Perenggut Jiwa menyerbunya
dengan hebat. Serangannya datang bertubi-tubi selama lima jurus. Di
jurus keenam, Thian Ong melakukan pembalasan. Dia lancarkan serangan
ganas dengan tangan kiri ke arah batok kepala Thian Ong demikian rupa
hingga tak bisa dikelit dan mau tak mau si Perenggut Jiwa harus
pergunakan lengannya untuk menangkis. "Buk!"
Lagi-lagi sepasang
lengan mereka beradu. Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan jotosan
selusupan ke arah perut lawan. Dan perut si Perenggut Jiwa tidaklah
mempunyai ilmu kebal seperti yang dimiliki kedua lengannya. Manusia ini
menjerit setinggi langit ketika tubuhnya terlempar empat meter,
menggeletak tak berkutik lagi, mati dengan perut bobol!
"Terima
kasih! Terima kasih! Terima kasih sahabatku?" teriak Thian Ong berulang
kali sambil jingkrak-jingkrakan lalu melesat ke cabang pohon di mana
pemuda gondrong yang makan buah apel itu nongkrong.
"Eh, apakah kau doyan apel, Sahabatku!" berkata si gondrong.
"Thian
Ong manggut-manggut, lantas saja di keruk saku pakaian si gondrong dan
sambar dua buah apel. Keduanya sambil tertawa-tawa kemudian asyik
mengunyah buah-buah apel itu seolah-oleh tidak perduli di mana mereka
berada, seolah-oleh tidak ada terjadi apa-apa di situ!"
"Manusia-manusia sinting! Gila!" maki Pengho dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
"Kalau
tidak karena diberi tahu oleh si gondrong itu kambrat kita si Perenggut
Jiwa tak bakal mati di tangannya ‘Pengho Lo enghiong, apakah kau kenal
siapa bangsat gila yang berambut gondrong itu?"
"Tak pernah kuketahui siapa dia adanya. Mung-kin sute atau suheng dari keparat bernama Thian Ong itu?"
Kiat
Bo Hosiang gelengkan kepala. Ik Bo Hosiang tak pernah mengambil murid
lain dari pada Thian Ong bocah penggembala hina dina itu. Pemuda yang
gondrong ini jelas bukan orang Han!"
Sementara itu di atas pohon
saking girangnya Thian Ong begitu tenggak habis dua buah apel lantas
keluarkan serulingnya dan tiup benda itu keras membawakan lagu gembira.
"Ah Sobat! Kau ternyata pandai sekali main suling. Boleh aku ikut menimpali?!" bertanya si gondrong.
"Tentu, tentu saja!" sahut Thian Ong gembira sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan! Silahkan!"
Si
gondrong merogoh pinggang pakaiannya sesaat kemudian terlihatlah sinar
menyilaukan. Ternyata pemuda ini keluarkan sebuah senjata berbentuk
kapak bermata dua yang pada mata-matanya yang menyilaukan itu tertera
angka 212. Kapak aneh ini gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran
kepala naga pada sebelah bawahnya, sedangkan pada batang gagang terdapat
lobang-lobang. Dan ketika pemuda ini tempelkan bibirnya ke bibir
naganagaan lantas meniup, maka membersitlah suara lengkingan seperti
tiupan seruling, dahsyat luar biasa.
Kiat Bo Hosiang, Pengho dan
Pengemis Sakti Tangan Kidal merasakan telinga masing-masing bergetar
sakit. Buru-buru mereka tutup indera pendengaran. Tapi dada
masing-masing masih saja terasa bergetar. Hebat sekali. Sungguh belum
pernah mereka menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan suling yang
demikian luar biasa hingga. Menggetarkan tanah yang mereka pijak dan
mempengaruhi mereka. Pengho, sebagai orang yang paling tinggi ilmunya
tahu betul kalau saja dia dan kawan-kawannya masih merupakan jago silat
kelas rendah pastilah telinga masing-masing telah rusak berdarah
mendengar tiupan suling yang luar biasa karena disertai aliran tenaga
dalam dahsyat itu!
"Merdu sekali! Merdu sekali!" teriak Thian Ong. Lalu tiup sulingnya lebih keras.
Pengho
tokoh silat kelas wahid dari Mongol tak dapat lagi menahan
kejengkelannya. Amarahnya meluap karena dia merasa seolah dipermainkan .
Di samping itu Thian Ong harus mati untuk menebus nyawa si Perenggut
Jiwa yang telah dibunuhnya!
"Thian Ong pemuda keparat! Turunlah untuk
menerima kematian!" teriak Pengho menggelegar diantara hiruk-pikuknya
tiupan-tiupan suling.
Tapi Thian Ong dan juga si gondrong tidak ambil
perduli malah kini ongkang-ongkang kaki dan terus meniup suling
masing-masing dalam lagu tanpa nada tak karuan!
Mendidihlah amarah Pengho tokoh dari Mongol ini angkat tangan kanannya dan menghantam ke atas pohon!
10
SATU
gelombang sinar hitam menggebu ke arah cabang pohon di mana Thian Ong
dan pemuda gondrong yang bukan lain adalah Wiro Sableng si Pendekar 212
tengah duduk ongkang-ongkang kaki enak-enakan sambil tiup suling.
Terdengar suara keras hancurnya cabang pohon serta rontoknya dedaunan yang kemudian disusul oleh tumbangnya pohon besar itu.
Tapi
suara tiupan dua suling sama sekali tidak berhenti dan baik Wiro maupun
Thian Ong tidaklah menemui celaka dihantam pukulan sakti tadi karena
sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja mereka tahu bahaya
dan siang-siang sudah berkelebat turun ke tanah. Begitu sampai di tanah
enak saja mereka duduk menjelepok dan terus memainkan suling!
Kiat Bo
Hosiang melengak, Pengemis Sakti Tangan Kidal naik turun tenggorokannya
sedang Pengho Lio Bwe Hun yang saat itu masih berada dalam keadaan
tertotok meskipun hatinya cemas setengah mati namun melihat tingkah dua
pemuda yang agaknya sama-sama keblinger itu dalam hati jadi tertawa
geli. Menghadapi tiga tokoh silat begitu lihay keduanya masih saja
gila-gilaan, padahal maut sudah di depan mata!
"Thian Ong manusia keparat. Lekas ke sini untuk menerima kematian!" teriak Pengho.
"Ah,
di sini banyak pengganggu. Bagaimana kalau kita main suling di tempat
lain saja?" ujar Thian Ong seraya hentikan permainannya dan masukkan
sulingnya ke balik pinggang pakaiannya yang gom brong. Wiro pun hentikan
permainannya, masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
"Mari!" kata Wiro pula seraya berdiri mengikuti Thian Ong.
"Bangsa!, kau mau pergi ke mana?’" teriak Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti Tangan kidal dan memerintah : "Bunuh dia!"
Pengemis
Sakti Tangan Kidal mendongak ke langit lalu tertawa melengking? Terima
kasih Pengho – twako, memang aku sudah lama tak membunuh orang. Hari ini
tanganku yang sudah gatai akan dapat bagian!"
Sambil melintangkan tongkat kayu yang dipegangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti Tangan Kidal maju mendekati Thian Ong.
"Thian Ong, kaum ditakdirkan mampus di tanganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Eh,
Sobat," ujar Thian Ong sambil menepuk bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek
bungkuk itu seperti malaikat maut saja. Apakah begini tampangnya
malaikat maut!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Entahlah, aku pun belum
pernah melihat. Tapi aku yakin malaikat maut tampangnya lebih cakepan
dari tua bangka keriputan ini’ sahut Wiro pula sambil cengar-cengir.
Kedua anak geblek itu lantas tertawa terpingkalpingkal.
Wut!
Entah
kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat di tangan kiri Pengemis Sakti
Tangan Kidal sudah membabat ganas ke batok kepala Thian Ong. Meskipun
tadi kelihatannya acuh tak acuh namun begitu diserang murid Kiat Bo
Hosiang ini ternyata waspada sekali. Secepat kilat dia jatuhkan diri,
kedua tangan lebih dulu mencapai tanah. Sesaat kemudian kedua kakinya
telah melancarkan serangan balasan. Satu mendepak ke arah perut sedang
lainnya menendang ke tenggorokan lawan. Namun tingkat kepandaian si
kakek bungkuk ini lebih tinggi dari si Perenggut Jiwa. Ilmu tongkatnya
lebih lihay dari Kiat Bo Hosiang. Dua serangan itu dikelitkannya dengan
mudah, bahkan kini tongkat di tangan kirinya menyapu-nyapu dahsyat
sekali.
Song Thian Ong dalam tingkahnya yang gilagilaan itu beberapa
kali hampir kena dihantam senjata lawan. Dan masih saja dia bertingkah
aneh yang bukan-bukan sambil tak lupa mengejek dan mencaci maki lawannya
sehingga Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal penasaran setengah
mati.
Dengan matanya yang tajam dan pengalaman luas, Pengho si tokoh
utama di Mongol segera melihat bahwa sesungguhnya Thian Ong memiliki
dasar ilmu silat yang iebih hebat dari Pengemis Sakti Tangan Kidal.
Buktinya sampai 20 jurus di muka pemuda ini masih melayani tokoh lihay
yang berasal dari Tibet itu dengan tangan kosong! Cuma karena tingkahnya
yang aneh dan gila-gilaan itulah yang membuat dia seolan-olah tak mau
menurunkan tangan jahat dan hanya ingin mempermainkan musuh.
"Kiat Bo
Hosiang! Kau bantulah Pengemis Sakti!’ berseru Pengho setelah 20 jurus
lagi berlalu tanpa kambratnya itu bisa melakukan sesuatu terhadap Thian
Ong.
Kiat Bo Hosiang cabut tongkat bajanya dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
"Curang!" teriak Wiro marah.
"Orang
asingi Tutup mulutmu!’ sentak Pengho. "Kau tak ada hak mencampuri
urusan orang lain! Lekas angkat kaki dari sini kaiau tidak ingin
kugebuk!"
"Eit enak betui memerintah orang. Kau kira aku ini
kacungmukah?! Makan ini!" teriak Wiro sambil keluarkan sisa satu buah
apel dari dalam sakunya. buah ini dilemparkannya dengan sebat. Pengho
bergerak cepat tapi dia kecele karena Wiro sama sekali tidak
menyerangnya, melainkan melemparkan buah apel itu ke arah Li Bwe Hun
yang masih tegak tak berdaya karena ditotok.
"Buk!"
Buah apel itu
mencerai tepat di tengkuk Li Bwe Hun. Totokan yang sejak tadi menguasai
si gadis serta merta buyar karena memang disitulah sebelumnya Thian Ong
teiah menotok Bwe Hun yakni sewaktu gadis ini hendak melarikan diri dari
Kiat Bo Hosiang yang hendak membunuhnya.
"Nona, tadi kau telah diselamatkan oleh pemuda itu. Sekarang bantulah dia!" seru Wiro.
Li
Bwe Hun katupkan bibirnya rapat-rapat. Kemudian seolah-olah patuh, dia
memungut sebilah golok milik bekas seorang prajurit Kerajaan dan tanpa
banyak bicara terus ke kalangan pertempuran!
Sebenarnya Wiro merasa
yakin kalau Thian Ong tak akan mudah dikalahkan sekalipun dikeroyok dua
orang oleh Pengemis Sakti Tangan Kidal dan susioknya sendiri. Namun
Pendekar 212 ini yang sudah gatal tangan ingin ikut bertempur, diam diam
mendapat akal Maka dilepaskannya totokan Bwe Hun lalu disuruhnya gadis
ini membantu Thian Ong. Mendapat bantuan ini dengan sendirinya Thian Ong
semakin sulit untuk dirobohkan malah kebalikannya dua lawannyalah kini
yang berada dalam kedudukan sulit!
Dan hal ini diketahui oleh Pengho
si tokoh lihay dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu mengkhawatirkan
keselamatan Kiat Bo Hosiang. bahkan dia ingin sekali kakek-kakek bangsa
Han yang sejak lama dibencinya itu mampus saat itu juga. Namun dia sama
sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet yakni Pengemis Sakti Tangan
Kidal sampai celaka. Maka tak menunggu lebih lama lagi, Pengho segera
menyerbu pula ke dalam kancah pertempuran. Justru inilah yang
dikehendaki Wiro!
"Tua bangka bermuka kepiting rebus!" teriak Wiro
memaki Pengho yang memang memiliki tam-pang merah seperti kepiting
rebus. "Aku lawanmu, jangan main keroyok!
Mendengar makian itu dan
melihat Wiro berkelebat ke arahnya serta merta Pengho lepaskan pukulan
saktinya yang tadi telah dikeluarkannya waktu menyerang Wiro dan Thian
Ong di atas pohon.
Sinar hitam menderu ganas ke arah Pendekar
212.
Wiro kaget juga karena tak menyangka begitu mulai berkelahi lawan sudah
lancarkan serangan pukulan sakti itu. Memang Pengho tak mau kepalang
tanggung menghadapi lawan yang sudah diduganya tidak berkepandaian
rendah itu. Apalagi karena petunjuk Wirolah sampai Thian Ong berhasil
membunuh si Perenggut Jiwa. Dengan sendirinya den-dam serta kebencian
bertumpuk jadi kemarahan yang bukan alang kepalang.
Wiro keluarkan
siulan melengking lalu lepaskan pukulan sinar matahari ke depan.
Sedangkan sinar putih panas dan menyilaukan bergemuruh memapas sinar
hitam serangan Pengho.
Bumi terasa bergetar ketika dua pukulan sakti
itu bentrokan di udara dengan mengeluarkan suara yang hebat! Tubuh
Pengho terhuyung sampai lima langkah ke belakang sedang tangan kanannya
sampai sebatas pangkal bahu terasa sakit berdenyut denyut. Diiain pihak
sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng melesak sampai setengah jengkal
dan tubuhnya bergetar.
Paras Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh
kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia mengalami bentrokan
pukulan sakti yang hebat. Jelas sudah bahwa pemuda rambut gondrong itu
memiliki kepandaian luar biasa dan agaknya tidak berada di sebelah bawah
sobatnva si orang Han yaitu Song Thian Ong.
"Celaka! Naga-naganya
aku bakal mendapat kesulitan!" membathin Pengho dengan hati tidak enak.
Dan dia semakin tak enak lagi ketika melihat bagaimana kambratnya
Pengemis Sakti lengan Kidal yang membantu Kiat Bo Hosiang berada dalam
keadaan terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong yang mempergunakan
serulingnya sebagai senjata dan mainkan jurus-jurus silat aneh berhasil
memukul mental tongkat kayu Pengemis Sakti!
"Tahan, seru Pengho
tiba-tiba seraya melompat menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis Sakti, kurasa
cukup sudah kita main-main dengan orang-orang ini. Kita masih ada
urusan lain yang lebih penting harus diselesaikan. Iain hari saja kita
layani mereka kembali. Mari!"
Pengemis Sakti Tangar» Kidal yang
maklum apa arti kata-kata Pengho itu dsn menyadari pula keadaan mereka
yang sulit bahkan bakal celaka jika bicara lagi segera meninggalkan
tempat itu menyusu! Pengho yang telah berkelahi pergi lebih dulu tanpa
memperdulikan Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang ditinggal
sendirian, sesaat jadi tertegun. Hendak menyusul kabur keadaannya
terjepit antara Thian Ong dan Bwe Hun. Dan saat itu sambil menyeringai
Thian Ong datang mendekati.
Kasihan kau tak mempunyai kesempatan
kabur, susiok ku yang sesat. Dan lebih kasihan lagi karena suhu telah
berpesan bahwa jika seseorang sesat tak mau insaf dan tobat adalah layak
untuk dibunuh’"
Sebagai penutup kata-katanya Thian Ong lantas
kirimkan tusukan dengan serulingnya ke arah dada Kiat Bo Hosiang. Orang
tua ini agak gugup. Meskipun dia sempat berkelit tapi tak urung bahunya
masih kena keserempet hingga dagingnya terkelupas. Dengan menggembor
marah Kiat Bo Hosiang mengirimkan serangan balasan. Tongkat bajanya
bersuit suit mengeluarkan sinar putih.
Tapi bagaimana pun juga
tingkat kepandaian Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi murid
keponakannya itu. Kalau dalam pertempuran sebelumnya Thian Ong banyak
mengejek dan main-main, maka kini jurus silat yang dikeluarkannya
betul-betu! aneh dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian
berlangsung empat jurus tiba-tiba pendekar aneh berbaju gombiong dari
Gunung Naga ini berteriak: "Awas tongkat!"
Baru saja kata-katanya itu berakhir, tahu-tahu tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang sudah terlepas kena dirampas.
"Lihat
suling/’ terdengar lagi seruan Thian Ong. Dan detik Itu pula suling di
tangannya telah menyambar ke arah leher si kakek tanpa sempat berkelit
lagi. Kiat Bo Hcsfanu hanya bisa mendelik kaget melihat datangnya maut.
Sedetik lagi suling itu akan menusuk amblas leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar teriakan Bwe Hun :
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Thian
Ong tersentak heran. Masih untung dia sempat ubah arah tusukan
sulingnya hingga benda ini hanya menyambar robek bahu pakaian Kiat Bo
Hosiang.
"Eh, apa-apaan kau Nona Li?!" bertanya Thian Ong. Sedang Wiro juga heran sambil garuk-garuk kepala.
Yang paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang. Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.
"Nona,
tadi kau hendak dibunuhnya dan malah mencoba pula untuk menamatkan
riwayatnya. Sekarang kenapa kau mencegah aku membuat dia konyol?!"
bertanya kembali Thian Ong. "Ingat, manusia sesat pengkhianat semacam
ini amat berbahaya. Ular berkepala dua seperti dia harus dibunuh!"
"Betapa pun sesat dan jahatnya, dia tetap adalah suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara bergetar.
Kiat
Bo Hosiang terkesiap. Dadanya berdebar dan wajahnya pucat. Apakah
sebenarnya kehendak Bwe Hun bekas muridnya itu? Hendak membalasnya atau
hendak turun tangan sendiri membunuhnya?
"Suhu!" tiba-tiba Bwe Hun
melangkah ke depan gurunya. "Kurasa kau masih bisa diperbaiki. Kurasa
kau masih bisa keluar dari segala macam comberan busuk yang kau renangi
selama ini. Jika kau sadar dan berjanji untuk kembali ke jalan yang
benar, kurasa murid suhengmu ini pasti akan mengampunimu. Bagaimana…."
Semakin
pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-tiba saja sepasang matanya
berkaca-kaca. "Tak mung-kin," desisnya. "Aku telah terlalu jauh dalam
kesesatan. Aku pengkhianat paling terkutuk. Kau bunuhlah aku sekarang.
Aku.tak akan melawan. Thian Ongl Bwe Hun! Bunuh aku sekarang juga!" Si
kakek lalu jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya, menangis
tersedu-sedu.
"Suhu, tak ada dosa yang tak berampun. Kalaupun kau
merasa telah berbuat dosa dan kesalahan besar kurasa masih ada jalan
untuk menebusnya. Yaitu bersama-sama kami memusnahkan kaum penjajah
Mongol yang selama ini mendatangkan malapetaka."
"Itu betul!" seru Thian Ong yang tiba-tiba saja kasihan melihat susioknya itu.
"Tapi syaratnya satu," menyelinap Wiro. "Asal jangan dia menipu kita. Kalau tidak bisa berabe seumur-umur!"
"Kalau…
kalau kalian memang bersedia memberikan pengampunan dan ingin berjuang
bersama, aku rasa memang inilah kesempatan bagiku untuk menebus dosa…."
"Berdirilah
suhu, mari kita atur rencana," kata Bwe Hun pula seraya memegang bahu
Kiat Bo Hosiang dan memungut senjata kakek ini.
Menurut Kiat Bo
Hosiang yang paling tahu seluk beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah
sulit untuk menumpas habis pasukan-pasukan Mongol yang kuat dan banyak
disekitar perbatasan. Sebenarnya bala tentara Mongol bukanlah apa-apa
jika saja mereka bisa memusnahkan pusat dan orang-orang yang mengatur
semua kekuatan itu, yang sekaligus menjadi pengatur dari segala kegiatan
penjajahan. Pusat kekuatan dan pengaturan ini terletak di kota Ansi,
tak berapa jauh dari perbatasan. Di sini terdapat sebuah gedung besar
yang merupakan markas dari pada tokoh-tokoh Mongol, terdiri dari
"arsitek" dan "pelaksana" pejajahan. Mereka adalah orang-orang yang
berkepandaian silat tinggi, diantaranya Pengho sebagai kepala dan wakil
Raja Mongol, lalu seorang jenderal bernama Karfi Khan, kemudian Penghu,
sute dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti Tangan Kidal dan
kira-kira selusin perwira-perwira tinggi yang lihay.
"Terus terang
saja, sebelumnya aku pun menjadi salah seorang diantara mereka di sana.
Namun syukur kalian telah membuka kedua mataku. Jika kita sanggup
mengobrak-abrik markas mereka itu dan membunuh semua tokoh yang ada di
situ kukira hancurlah induk kekuatan kaum penjajah Mongol. Balatentara
Mongol yang banyak tak ada artinya. Tak lebih dari serombongan anak ayam
yang kehilangan induk. Dalam pada itu aku tahu betul bahwa
prajuritprajurit Mongol telah muak dengan peperangan apalagi
kekejaman-kekejaman yang lewat batas kemanusiaan yang selama ini
diperlihatkan oleh pimpinan mereka. Cuma satu hal yang diperhatikan,
markas tokoh-tokoh Mongol banyak alat rahasianya!"
Sesaat semua orang terdiam setelah mendengar keterangan Kiat Bo Hosjang itu.
"Bagaimana…?" Bwe Hun bertanya.
"Kita menyerbu ke sana!" Thian Ong menyahut.
"Betul, kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.
‘Bagus!
Sebaiknya kita berangkat sekarang juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan
disetujui oleh semua orang. Maka keempat menusia berkepandaian tinggi
itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Kalau tadi di tempat itu
suasananya hiruk-pikuk maka kini jadi sunyi tapi tetap saja mengerikan
karena di sana sini bertebaran puluhan mayat.
11
SETELAH
melakukan perjalanan yang cukup sulit hampir selama dua minggu akhirnya
mereka sampai juga diluar kota Ansi. Kota ini adalah kota Kerajaan
Tiongkok pertama yang direbut oleh bangsa Mongol sewaktu pecah perang.
Karena terletak di daerah yang kini dikuasai bangsa Mongol maka
suasananya tenang dan aman, tak banyak prajurit-prajurit yang kelihatan
berkeliaran. Namun adalah berbahaya bagi Thian Ong, Wiro dan Bwe Hun
untuk memperlihatkan diri dan memasuki kota pada siang hari sekalipun
mereka bersama Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk setempat dianggap
sebagai salah satu tokoh pimpinan bangsa Mongol. Maka mereka mengatur
rencana dan baru pada malam hari rencana itu akan dijalankan.
Bila
senja berganti dengan malam, gedung besar yang menjadi markas para tokoh
Mongol kelihatan terang dan tenang. Di pintu depan lima orang pengawal
asyik bercakap-cakap sedang lainnya melakukan perondaan sekeliling
tembok halaman. Tadi sudah dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman, namun
untuk gedung penting seperti markas itu tentu saja harus mendapat
pengawal yang cukup terjamin.
Di dalam gedung, pada sebuah ruangan
besar empat belas orang kelihatan duduk mengelilingi meja. Mereka adalah
Pengho di kepala meja, Jenderal Karfi Khan di kepala meja yang lain,
lalu Penghu
sutenya Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan Kidal ditambah 10 orang perwira tinggi bangsa Mongol.
Satu
jam yang lalu Pengho dan Pengemis Sakti baru saja kembali dan langsung
mengumpulkan orang-orang itu untuk mengadakan pembicaraan. Yang jelas
tentu saja Pengho menuturkan apa yang telah terjadi dua minggu lalu
antara dia dan murid Ik Bo Hosiang.
"Pemuda itu lihay sekali dan yang lebih bahaya adalah konconya, seorang pemuda asing berambut gondrong," berkata Pengho.
"Bagaimana dengan Kiat Bo Hosiang?" bertanya Jenderal Karfl Khan.
"Entahlah,
kami tinggalkan saja dia sendirian. Mungkin sudah mampus di tangan
muridnya sendiri atau si keparat Thian Ong itu," menyahuti Pengemis
Sakti.
"Bagiku lebih baik dia mampus. Aku tak begitu senang padanya," kata Pengho pula blak-blakan.
Setelah
membicarakan susunan dan keadaan pasukan Mongol di beberapa tempat di
selatan, Pengho kemudian berkata: "Dengan adanya pengacau-pengacau
seperti Thian Ong dan pemuda asing serta gadis murid Kiat Bo Hosiang itu
pasti akan banyak mempengaruhi keadaan kita. Dalam perjalanan kemari
aku dan Pengemis Sakti telah membicarakan rencana untuk mendatangkan
beberapa tokoh utama Tibet guna membantu kita. Kalau sampai Ik Bo
Hosiang sendiri turun tangan keadaan kita akan semakin sulit. Kita basmi
dulu tiga kurcaci itu, soal Ik Bo baru kita urus kemudian. Dengan
ratusan pasukan dan dipimpin oieh tokoh-tokoh lihay seperti kita masakan
Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur dan puncak Longsan?! AKU hanya
menunggu persetujuan dari para hohan di sini saja.’ (
Hohan = orang gagah).
Kurasa semua kita di sini dengan menyetujui rencana Pengho lo enghiong dan Wanglie loenghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.
"Terima kasih kalau begitu aku dan Pengemis Sakti akan berangkat bes….
Pengho tak meneruskan kata-katanya karena saat itu matanya melihat alat rahasia yang terletak di dinding bergerak-gerak.
Ada orang di atas genteng! Semua siap!" seru Pengho.
Orang-orang
yang ada dalam ruangan pertemuan itu serta merta melompat dari kursi
masingmasing dan hunus senjata Pada saat itu pintu ruangan tiba-tiba
terbuka dan muncullah Kiat Bo Hosiang.
"Eh, bukankah kau sudah mampus di tangan murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
"Belum, masih belum Pengho lo enghiong," sahut Kiat Bo Hosiang.
"Jadi
kau berhasil lolos dari kepungan tiga orang muda lihay itu?!" Pengemis
Sakti kini yang ajukan pertanyaan. Sebelum Kiat Bo Hosiang sempat
menjawab Pengho kembali buka mulut: "Apakah kau masih punya muka untuk
kembali kemari?!"
"Ah soal muka tak perlu kita bicarakan. Mukamu atau muka siapapun di ruangan ini tidak lebih baik dari mukaku!"
"Wah
kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!" tukas Jenderal Karfi Khan.
Sementara Pengho melirik pada alat rahasia di dinding yang sampai saat
itu masih kelihatan bergerak sedikit.
"Ketahuilah aku datang bukan
sebagai Kiat Bo Hosiang yang dulu. Selama ini kalian orang-orang Mongol
telah memperdayaiku, membujuk dan merayu hingga aku lupa daratan dan
menindas, memusnahkan bangsa sendiri!"
"Kiat Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan apa maumu sebenarnya," membentak Pengho.
"Kalian
kaum penjajah terkutuk hari ini harus bertanggung jawab atas kejahatan
dan kekejian apa yang telah kalian lakukan terhadap tanah air dan
bangsaku!" Habis berkata begitu Kiat bo Hosiang lantas cabut tongkat
bajanya lalu berseru: "Kawan kawan silahkan turun!"
Serentak dengan
itu terdengar suara ribut di atas atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol
dan tiga sosok tubuh melayang turun dalam gerakan yang sebat luar biasa!
"Kurang
ajar!’ teriak Pengho. Dia sudah maklum siapa-siapa adanya tiga manusia
yang masuk menerobos itu karenanya segera saja dia hantamkan kedua
tangannya ke atas. Dua larik sinar hitam menderu memapaki Thian Ong, Bwe
Hun dan Wiro Sableng yang tengah melayang di udara.
Terdengar suara
tertawa Thian Ong disusul dengan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke
kiri dan laksana seekor naga dia menukik ke arah Pengho sambil lancarkan
satu jotosan. Tokoh dari Mongol ini cepat membuang diri ke samping
hingga serangan lawan mengenai tempat kosong.
Di atas sana pukulan
sinar hitam Pengho telah menghancur leburkan atap ruangan sementara
Pendekar 212 Wiro Sableng yang membalas dengan pukulan sinar matahari
telah membuat lantai ruangan hangus retak-retak, ubinnya pecah
bermentalan!
"Bangsat!" memaki Pengho. "Penghu! Kau dan Jenderal
Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo Hosiang itu. Wanglie locianpwe kau
pimpin lima perwira tinggi menghadapi bangsat berambut gondrong. Aku
sendiri akan mencincang bangsat pengkhianat ular kepala dua Kiat Bo
Hosiang. Yang lain-lainnya lekas kepung gadis binal baju hijau itu!"
Pengho sengaja mencari lawan dan menghadapi Kiat Bo Hosiang karena dia merasa jerih terhadap Thian Ong apalagi Wiro Sableng.
Di dalam ruangan besar yang sudah porak poranda itu maka terjadilah pertempuran yang amat seru!
Dengan
sebilah pedang berwarna ungu, Pengho mengamuk yang dilayani oleh Kiat
Bo Hosiang dengan tongkat bajanya. Namun hanya lima jurus saja Kiat Bo
Hosiang segera terdesak hebat!
Li Bwe Hun yang menghadapi lima
pengeroyok tidak mendapat kesulitan. Meski pengeroyok-pengeroyoknya
terdiri dari perwira-perwira berkepandaian tinggi namun dengan mainkan
jurus-jurus ilmu tong-kat yang dikuasainya dengan sempurna dalam tempo
enam jurus saja sudah membuat lima pengeroyok bergeletakan mandi darah.
Pada
saat gadis ini hendak menolong suhunya yang tengah didesak hebat oleh
Pengho, tiba-tiba dari pintu menyerbulah selusin pengawal dipimpin oleh
seorang perwira tinggi. Terpaksa Bwe Hun menghadapi mereka lebih dahulu.
Setelah mengamuk hampir sepuluh jurus dan membuat lawan roboh satu demi
satu, sisa yang masih hidup ambil langkah seribu, maka Bwe Hun
menerjang ke depan membantu suhunya.
Dalam keadaan terdesak tadi,
Kiat Bo Hosiang telah keluarkan ilmu tongkat yang paling hebat yaitu
ilmu tongkat garuda sakti atau "sin-eng thunghoat". Namun Pengho yang
jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya hanya dua tiga jurus saja
dibikin repot oleh ilmu tongkat itu. Dilain saat pedangnya sudah
menggebu-gebu kembali melabrak ke arah lawan dan di satu kesempatan
berhasil membabat bahu kiri Kiat Bo Hosiang hingga putus buntung dan
darah menyerbu!
"Suhu!" seru Bwe Hun. Dengan kalap gadis ini menyerbu
ke arah Pengho sementara Kiat Bo Hosiang menotok bahunya di beberapa
tempat hingga darah berhenti memancur kemudian dengan gagah berani
kembali dia menghadapi Pengho, bahu membahu dengan muridnya.
"Bagus!
Kalian datang berdua! Hingga aku tak susah-susah membunuh guru dan murid
sekaligus!" seru Pengho dengan seringai maut lalu kiblatkan pedang
ungunya menghadapi dua lawan yang dia yakin dapat dirobohkan dalam waktu
singkat.
Thian Ong yang dikeroyok oleh jago-jago lihay yakni Penghu (
adik dari Pengho)
dan Jenderal Kaili Khan untuk beberapa lamanya dibikin repot. Hal ini
terutama karena dia sesekali masih saja kejangkitan penyakit
keblingernya hingga menghadapi lawan lebih banyak mempermainkan dan
mengejek. Tetapi ketika satu hantaman dari Penghu mendarat di dadanya
dan membuat dia kesakitan, pemuda sinting aneh ini baru sadar. Serta
merta dia cabut sulingnya dan keluarkan jurus-jurus ilmu silat aneh dari
Liongsan yang dipelajarinya selama 12 tahun dari Ik Bo Hosiang!
Menghadapi
ilmu silat yang tak pernah dilihatnya sebelumnya, dengan sendirinya
Penghu serta Jenderal Karfi Khan kebingungan. Betapapun lihaynya mereka
namun jurus demi jurus keduanya mulai terdesak. Dalam hebatnya kecamuk
pertempuran itu tiba-tiba Thian Ong keluarkan pekik nyaring. Serentak
dengan itu tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu terdengarlah pekik
Penghu.
Tubuhnya mencelat lima langkah. Keningnya kelihatan berlubang
dan mengucurkan darah. Sekali lagi adik dari Pengho ini berteriak
mengerikan lalu roboh. Thian Ong telah menghantam keningnya dengan
suling hingga berlobang dan membuat nyawanya lepas.
Melihat adiknya
mati Pengho menggembor marah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan yang
hebat dan sesaat kemudian dia berhasil merobohkan Kiat Bo Hosiang. Kakek
ini terjungkal dihantam tendangannya dan selagi sempoyongan pedang
Pengho cepat menebas lehernya hingga Kiat Bo mati dengan kepala
menggelinding!
Li Bwe Hun terpekik ngeri melihat kematian suhunya
itu. Dengan kalap tanpa mempertimbangkan lagi kemampuan sendiri dia
menyerbu Pengho seorang diri. Tapi sekali Pengho gerakkan pedangnya maka
patah mentallah pedang di tangan si nona. Dilain saat senjata Pengho
membacok ganas ke kepala si nona tanpa dapat dikelit lagi ataupun
ditangkis oleh Bwe Hun.
Disaat yang kritis itu tahu-tahu melesat
sesosok tubuh antara kepala Bwe Hun dan pedang Pengho yang tengah turun
dengan deras. Pengho melengak kaget. Dia tidak tahu tubuh siapa yang
dilemparkan karena saking cepatnya lemparan dan di samping itu dia tak
dapat pula menahan turunnya pedangnya.
"Cras!"
Pedang Pengho
membacok tepat di pertengahan tubuh yang terlempar. Terdengar jeritan,
tubuh itu terhampar ke lantai tak berkutik lagi dengan pinggang terbabat
putus. Ketika diperhatikan ternyata dia bukan lain adalah Wanglie alias
Pengemis Sakti Tangan Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan tertegun
sedang Pengho dengan muka pucat berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng yang saat itu asyik "menggebuki" perwira-perwira Mongol yang
tengah mengeroyoknya!
Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
Seperti
diketahui sebelumnya Pengemis Sakti Tangan Kidal bersama dengan lima
perwira tinggi Mongol telah mengeroyok Wiro. Kenyataannya lima perwira
ini adalah lebih lihay dari lima perwira lain yang mengeroyok Bwe Hun
hingga dipimpin oleh Pengemis Sakti mereka sempat membuat Wiro kalang
kabut. Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari
Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun maka dalam satu gebrakan saja dia
berhasil merobohkan dua perwira tinggi. Ketika dia menendang mental
perwira yang ketiga matanya yang tajam menyaksikan bagaimana Pengho
tengah melancarkan satu bacokan ganas ke arah kepala Bwe Hun tanpa si
gadis bisa berkata apa-apa.
Di saat yang sama Pengemis Sakti Tangan
Kidal kirimkan satu sodokan dengan tongkat kayunya ke arah ulu hati
Wiro. Dengan mainkan jurus bernama "lo-han-ciang-yau" atau malaikat
menundukkan siluman, Wiro sambar lengan kiri Pengemis Sakti dan tarik
demikian rupa hingga tubuh kakek itu berputar di atas kepalanya lalu
dilempar ke arah Pengho. Seperti yang diperhitungkan oleh Wiro dan
malang bagi Pengemis Sakti, tubuh kakek-kakek itu terlempar tepat antara
kepala dan bacokan pedang hingga tak ampun lagi pedang di tangan Pengho
menghantamnya tepat di pinggang I
Wiro tertawa gelak-gelak. "Pengho!
Apakah kau sudah gila membacok mati kawan sendiri?!" ejek pendekar
sableng ini lalu tertawa gelak-gelak. Sementara Thian Ong mendengar
suara tertawa kambratnya itu ikut-ikutan pula tertawa dan membuat
gerakan yang bernama "koay-liong-hoan-in" atau naga aneh berjumpalitan.
Tubuhnya seperti terjungkal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki menendang
ke muka lawan dan begitu lawan mengelak tahu-tahu suling di tangan
kanan memburu dengan cepat. Terdengarlah jerit kematian Jenderal Karfi
Khan sewaktu perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian Ong hingga ususnya
berbusaian keluar!
Dengan matinya Jenderal Karfi Khan maka kini
Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau tak mau ini membuat nyalinya
lumer. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompat ke pintu.
Wiro memburu disusul oleh Thian Ong.
"Biang racun anjing penjajah kau mau kabur ke mana!" teriak Thian Ong.
Saat itu, sebelum keluar ruangan menghambur lari, Pengho masih sempat pergunakan tangannya untuk memutar sebuah tapel (
ukiran kayu) kepala manusia di dinding dekat pintu. Serta merta terdengarlah suara mendesir di Seantero ruangan.
"Awas senjata rahasia!" teriak Wiro memperingatkan.
"Lekas tiarap!" seru Thian Ong.
Wiro,
Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan diri di lantai ruangan. Detik itu
pula dari empat tembok ruangan yang dilapisi kayu melesatlah seratus
pisau terbang berwarna hijau gelap. Bagaimanapun lihaynya seseorang,
jika berdiri di tengah ruangan pastilah tak bakal dapat menyelamatkan
jiwanya! Begitu serangan pisau terbang berhenti, Wiro cepat melompat ke
atas atap yang bobol. Dia sampai di sana dalam waktu yang tepat karena
masih sempat melihat bayangan Pengho berkelebat di balik atap gedung
sebelah kiri. Wiro segera memburu dan dalam waktu singkat berhasil
menyusul pentolan kelas wahid gembong penjahat itu.
Pengho sadar dia
tak akan bisa menang menghadapi Pendekar 212, tapi lari pun tak mungkin.
Apalagi waktu itu berkelebat pula dua bayangan di atas genteng yakni
Thian Ong dan Bwe Hun. Dan si nona belum apa-apa lantas saja sudah
menyerangnya dengan sebuah golok besar yang diketahuinya adalah milik
Jenderal Karfi Khan.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Pengho
daripada melawan mati-matian. Sebenarnya dalam tingkat ilmu kepandaian
jelas sekali Bwe Hun jauh tertinggal dari tokoh kelas satu Mongol itu.
Namun saat itu Pengho bertempur dalam pikiran kacau balau takut dan
gugup. Pikirannya tak terpusat karena dia senantiasa mengintai
kelengahan lawan untuk melarikan diri. Dalam pada itu Thian Ong dan Wiro
meskipun tidak langsung turut pula ambil bagian dalam pertempuran.
Setiap
Pengho mendesak Bwe Hun atau lancarkan serangan berbahaya maka
tahu-tahu pantatnya ditendang oleh Thian Ong dari belakang. Terkadang
Wiro menjambak rambutnya atau menarik turun celananya. Sambil berbuat
begitu kedua pemuda sableng itu tertawa-tawa tiada henti.
Akhirnya
dalam keadaan penasaran, Pengho pergunakan pedangnya untuk tusuk dadanya
sendiri! Tokoh utama dari Mongol ini roboh, terguling dari atas
genteng, jatuh ke tanah dengan pedang masih menancap di dadanya!
Penyerbuan
Thian Ong, Wiro Sableng, Li Bwe Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas
besar pentolanpentolan tertinggi penjajah di Ansi itu betul-betul
menggemparkan baik empat kalangan Pemerintah Mongol maupun Pemerintah
Tiongkok.
Kalau orang Mongol merasa sangat terpukul maka pihak
Tiongkok jadi mendapat semangat. Ribuan tentara Tiongkok dua minggu
kemudian menyerbu ke perbatasan. Dan betullah seperti kata-kata mendiang
Kiat Bo Hosiang. Jika markas sumber kekuatan penjajah itu dihancurkan
maka balatentara Mongol meskipun berjumlah besar namun tak lebih dari
anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Seluruh kekuatan Mongol disapu
bersih dan bumi Tiongkok bebas lepas dari kaum penjajah yang selama ini
telah mendatangkan 1001 macam kesengsaraan di kalangan rakyat. Namun
agaknya tugas Song Thian Ong dan Li Bwee Hun masih belum selesai karena
di selatan masih banyak pemimpinpemimpin yang tak tahu diri yang perlu
disingkirkan. Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng terus pula melakukan
petualangannya.
TAMAT