Mungkin
ini adalah malam yang paling mengerikan bagi Wiro Sableng selama dia
menginjakkan kaki dalam rimba persilatan Tiongkok. Segala sesuatunya
gelap, hitam memekat. Hujan turun dengan lebat, angin bertiup dingin
mengeluarkan suara aneh tiada hentinya. Sekalisekali guntur menggeledek
dan di kejauhan terkadang terdengar suara lolongan liar serigala hutan.
Dalam
keadaan basah kuyup Wiro berusaha mencari perlindungan. Saat itu dia
berada di lereng sebuah bukit gundul, sekitar 100 lie dari tembok besar.
"Hujan
gila!" memaki Wiro. Dia lari terus. Dalam kepekatan itu di kejauhan
dilihatnya satu bayangan hitam sebuah bangunan. Dia tak dapat memastikan
bangunan apa adanya itu, namun Wiro segera menuju ke sana. Sesaat
kemudian, bila dia sampai ke tempat tersebut ternyata klenteng yang
sudah tidak terpakai lagi, Wiro mendekam di bawah atap klenteng yang
miring. Hawa
dingin baginya bukan apa-apa tetapi perut yang kosong keroncongan betul-betul merupakan siksaan.
Sekilas
kilat menyambar. Bumi sekejapan terang lalu gelap lagi. Ketika sekali
lagi kilat berkiblat tibatiba sepasang mata Wiro yang tajam melihat
sebuah batu empat persegi yang tebalnya hampir tiga jengkal, lebar dua
meter dan panjang tiga meter. Batu ini menutupi hampir separuh dari
bagian depan klenteng itu.
Meskipun dia tak mengerti mengapa batu itu
sampai berada di tempat tersebut, dan kelihatannya di sana, semula Wiro
tak mau ambil perduli. Namun ketika sekali lagi pula kilat menyambar
menerangi tempat itu. Tepat di atas batu besar itu menggeletak sebuah
tengkorak kepala manusia. Sepasang matanya yang merupakan dua buah
lobang besar, memandang menyorot mengerikan pada Wiro sedang mulutnya
seolah-olah melontarkan seringai maut ke arah pendekar ini. Pada batu
besar itu, tepat di bawah tengkorak tadi, terdapat tulisan yang agaknya
dibuat dengan darah berbunyi: Liang Se-thian (Liang Akhirat).
"Gila
betul! Apa-apaan ini?" membatin Wiro. Meskipun bulu kuduknya agak
merinding juga, namun dia melangkah maju mendekati batu besar itu.
Tangannya
diulurkan menjamah tengkorak. Batok tulang kepala itu terasa dingin.
Jari-jari tangan Wiro Sableng bergetar. Wiro garuk-garuk kepala dengan
tangan kiri. Tangan kanannya kemudian mengangkat tengkorak tersebut.
Maksudnya hendak ditelitinya. Namun mendadak sontak kelihatan dua larik
sinar hijau yang busuk membersit dari sepasang rongga mata yang seram
dari tengkorak, menyambar ke muka Wiro. Dari warna dan baunya sinar
tersebut Wiro serta merta dapat memastikan bahwa sinar ini mengandung
semacam racun yang amat jahat. Sebenarnya dengan memiliki Kapak Naga
Geni 212 yang dapat memusnahkan segala macam racun itu, Wiro Sableng tak
usah kawatir. Akan tetapi saking kagetnya, pemuda ini secepat kilat
meloncat sambil memaki membantingkan tengkorak itu hingga hancur
berkeping-keping.
Secara tak sengaja tengkorak yang dibantingkan Wiro
membentur sebuah tombol kecil yang terletak di saiah satu sudut batu
besar. Dan belum lagi pemuda ini habis kejutnya tiba-tiba pula batu
besar di hadapannya bergeser ke samping. Sebuah lobang gelap terbentang
dan dari lobang ini tiba-tiba sekali melesat sesosok bayangan disertai
mengumbarnya suara tertawa bekakakan yang amat dahsyat.
Angin
kelebatan bayangan tadi demikian hebatnya hingga membuat Pendekar 212
Wiro Sableng terhuyung-huyung ke samping, Wiro cepat berpaling.
Sesosok
tubuh yang berpakaian compang camping kurus kering tiada beda dengan
jerangkong hidup dan di bawah rambutnya yang panjang awut-awutan
terdapat wajahnya yang menyeramkan macam iblis ganas. Dia masih terus
mengumbar tertawanya yang seram menggetarkan itu. Sedang sepasang
matanya yang cekung memandang tidak berkedip pada Pendekar 212.
Wiro Sableng tetapkan hati mengusir rasa ngeri dan berseru, "Siapa kau?! Manusia apa bangsa setan pelayangan!"
Orang
yang ditanya tidak menjawab. Malah dia mendongak dan kembali
menghamburkan suara tertawanya yang lantang menyeramkan. Dia tertawa
sepuas-puasnya. Dan bila tawanya itu berhenti tibatiba dia membuka
mulut.
‘"Tiga tahun dipendam tidak membuat aku mati! Tiga tahun
disekap tidak membuat aku mampus! Tiga tahun dikubur tidak menjadikan
aku modar! Betapa tingginya kekuasaan Thian!"
Wiro yang tak mengerti
makna kata-kata orang aneh itu jadi garuk-garuk kepala. Siapakah adanya
manusia yang ada di depannya itu, kalau dia memang manusia? Apakah dia
telah terkurung atau dipendam dalam liang batu itu selama tiga tahun?
Tanpa makan dan minum tapi toh bisa hidup." Hanya satu hal yang dapat
dipastikan oleh Wiro yakni orang bermuka hampir seperti muka tengkorak
itu memiliki ilmu yang tinggi. Ini terbukti dengan angin kelebatannya
waktu keluar dari liang tadi, yang telah membuat Wiro Sableng terhuyung!
"Budak! Kau kemarilah!" Tiba-tiba orang itu berseru dan melambaikan tangannya ke arah Wiro.
Aneh!
Seolah-olah ada satu kekuatan gaib yang menariknya, Wiro kemudian
melangkah ke hadapan orang itu. Dia memperhatikan pendekar kita dengan
matanya yang cekung seram.
"Heh, kau orang asing? Bukan orang sini! Tapi sudah, aku tak perduli! Katakan siapa namamu!"
Wiro sebutkan namanya.
"Locianpwe sendiri siapakah kalau siauwte boleh tanya?"
"Saat
ini kau belum layak mengetahui siapa diriku. Tapi budak, ketahuilah.
Kau telah menyelamatkanku. "Ujarnya mengatakan. "hutang emas dapat
dibayar, hutang budi dibawa mati. Membawa mati budi itulah yang aku
tidak sudi. Karena kau telah selamatkan jiwaku dari liang neraka keparat
ini maka aku akan memberikan tiga jurus ilmu pedang!"
Wiro Sableng jadi kaget.
"Locianpwe…" katanya. "Aku tak merasa menolongmu, apalagi menyelamatkan jiwamu?"
"Tidak
merasa…?" Orang aneh bermuka dan bertubuh tengkorak itu kembali tertawa
gelak-gelak. "Kau telah menggeser batu besar itu hingga kini aku bebas.
Tiga tahun lamanya aku disekap di liang jadah ini! Kalau tidak ada kau
mungkin sampai mati aku akan mendekam terus di situ! Bukankah itu
berarti kau telah menyelamatkan diriku? Menolong jiwaku!?"
"Kurasa semua itu terjadi dengan tidak Sengaja. Hari hujan dan aku tersesat kemari…."
"Sengaja
atau tidak tapi tetap kau adalah tuan penolongku, budak! Nah sekarang
kau bersiap-siaplah untuk menerima tiga jurus ilmu pedang dariku!"
"Aku tanya dulu, Locianpwe!" memotong Wiro.
"Tanya apa?"
"Tiga tahun dipendam di dalam liang batu ini, bagaimana Locianpwe masih bisa hidup?"
"Bukan cuma masih bisa hidup, malah menambah ilmu kesaktianku."
"Ah,
itu hebat sekali! Tapi cobalah Locianpwe terangkan bagaimana hal itu
bisa terjadi. Manusia biasa tak bakal bisa terus hidup. Kecuali kalau
Locianpwe ini sebangsa jin…!"
Sesaat orang tua bermuka tengkorak itu
mendelik dan mimiknya seperti hendak menelan Wiro bulat-bulat. Tapi
sesaat kemudian kembali suara tertawanya yang dahsyat terdengar.
"Terhadap
orang yang telah menolong jiwaku tiada beda seolah-olah aku telah
meminjam nyawamu sendiri. Karenanya apa pun yang kau bilang aku tak akan
marah!"
"Ah, kau terlalu berlebih-lebihan, Locianpwe…"
"Mungkin… mungkin. Sekarang bersiaplah untuk menerima pelajaran ilmu dariku. Tapi…" Orang itu sejenak berpikir-pikir.
"Sebelum pelajaran ilmu pedang, sebaiknya lebih dulu kuberikan sepertiga iwekangku padamu!"
"Locianpwe, sebenarnya untuk satu pertolongan yang tidak sengaja itu aku tidak meminta balas jasa apa…."
"Perduli apa, toh aku memberikannya dengan sukarela."
"Walaupun begitu aku tetap tak layak menerimanya."
"Sudahlah,
jangan banyak mulut. Lekas duduk bersila dan hadapkan punggungmu
padaku. Aku akan buka jalan darah tay hwi hiat di bagian tubuhmu itu!"
Wiro
tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti dan duduk bersila. Si muka
tengkorak kemudian berlutut di belakang Wiro dan letakkan kedua telapak
tangannya pada punggung pemuda ini. Sesaat kemudian Wiro merasakan
punggungnya menjadi hangat. Hawa hangat itu terus mengalir menembus
kulit dan daging di punggungnya, mengalir ke seluruh pembuluh darahnya.
Sekira seperempat jam kemudian dengan butiran-butiran keringat di kening
dan pakaiannya yang compang-camping basah kuyup, si orang tua itu buka
kedua matanya dan berdiri. Dia menghela nafas lega.
"Berdirilah!"
Ketika
berdiri Wiro merasakan betapa tubuhnya kini terasa amat mantap dan
enteng. Sebagai seorang pendekar sakti mandraguna sebelumnya Wiro
Sableng telah memiliki iwekang (tenaga dalam) yang amat tinggi.
Ini ditambah pula dengan sepertiga bagian tenaga dalam baru dari
seorang sakti misterius itu, dengan sendirinya dapat dibayangkan
bagaimana hebat dan luar biasanya tenaga dalam yang sekarang dimiliki
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede itu.
"Sekarang kau perhatikan baik-baik. Aku akan mainkan tiga jurus ilmu pedang yang dahsyat. Sesudah itu kau menirukannya."
Orang sakti aneh itu rentangkan kedua kakinya. "Ini jurus pertama. Bernama Cip hian-jay-hong (Tibatiba muncul pelangi). Perhatikan baik-baik!" Kemudian, "Jurus kedua Lo han Ciang-yau (Malaikat Menundukkan Siluman)"
Setelah itu, "Dan ini jurus terakhir kunamai: Kui-gok-sin-ki atau Setan
Meratap Malaikat Menangis! Nah sekarang kumainkan sekali lagi satu
persatu dan kau menirukannya."
Wiro manggut-manggut sambil
garuk-garuk kepala dan sepasang matanya memperhatikan dengan teliti.
Bila orang tua tak dikenal ini selesai memainkan jurus pertama yang
disebut "Tiba-tiba Muncul Pelangi" maka Wiro pun menirukannya. Demikian
seterusnya.
Si orang tua tertawa lebar dan usap-usap janggutnya yang
panjang acak-acakan. "Budak, ternyata kau memiliki dasar ilmu silat yang
tinggi dan meskipun tampangmu tolol tapi otakmu cerdas. Hanya dua kali
melihat, kau sudah dapat menirukan masing-masing jurus ilmu pedang tadi
tanpa salah sedikitpun! Dan dalam gelapnya cuaca begini, kau betul-betul
hebatl Asal kau rajin melatih diri, pasti kau tak akan dapat dirubuhkan
oleh jago pedang dari negeri mana punl"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Nah,
untuk sementara segala hutang budi kurasa sudah terbayar. Cuma hutang
nyawa yang masih belum impas. Di lain hari kelak aku akan datang
membayarnya berikut bunganya. Selamat tinggal budak…. "
"Locianpwe, tunggu!" Wiro berseru cepat.
"Ada apa pula, budak?!"
"Sudilah Locianpwe mengatakan siapa adanya manusia jahat yang telah mencelakakan dan memendam Locianpwe dalam liang batu itui"
"Memangnya kenapa, budak?"
"Aku
akan mencarinya guna membalaskan sakit hati Locianpwe sebagai tanda
terima kasih atas budi baik yang Locianpwe berikan hari ini padakul"
Si
orang tua tertawa gelak-gelak. "Budak, ternyata kau seorang yang punya
hati polos, budi luhur dan tahu peradatan. Tapi ketahuilah, soal dendam
kesumat dengan orang yang telah menjebloskan diriku dalam liang akhirat
ini biarlah tetap menjadi urusanku dan tanggung jawabku!"
"Satu
pertanyaan lagi, Locianpwe," kata Wiro. Tapi astaga! Padahal kata-kata
terakhir orang itu masih ternigiang di telinga Wiro, tapi sosok tubuhnya
sendiri sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. Tadi dia hendak
menanyakan bagaimana selama tiga tahun terpendam di liang batu itu si
orang tua masih bisa hidup. Tapi yang hendak ditanya sudah melesat
pergi. Wiro melangkah mendekati lobang batu itu. Gelap. Dia berlutut dan
meluruskan tangannya meraba-raba. Aneh, dinding liang itu dirasakannya
basah dan berlapis semacam benda lembut. Ketika dikorek dan diteliti
ternyata adalah sejenis lumut yang dapat dimakan.
"Hemm…" menggumam
Wiro. Kini dia mengerti. Liang batu tersebut ditumbuhi oleh lumut dan
lumut inilah yang menjadi satu-satunya makanan yang menjadi pengisi
perut orang misterius tadi selama tiga tahun dipendam di situ!
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Di luar hujan telah mulai reda. Tiba-tiba sepasang
telinga Wiro yang tajam mendengar suara berdesir, di belakangnya lima
pisau terbang menderu ke arah lima bagian tubuh pendekar ini. Tahu
bahaya mengancam secepat kilat Wiro jatuhkan diri dan berguling ke sudut
ruang ini. Lima pisau melabrak dinding, sebuah menancap, empat lainnya
jatuh berkerontangan di lantai.
"Pembokong pengecut! Coba perlihatkan tampangmu!" teriak Wiro marah.
Dua sosok tubuh kemudian melesat masuk ke ruangan itu.
***
2
DUA
orang yang barusan melesat masuk itu bertampang garang dan seram.
Rambut merah panjang awut-awutan, kumis dan janggut berangasan. Mereka
mengenakan jubah hitam. Pada leher masingmasing tergantung sebuah
kalung emas yang mata kalungnya merupakan kepala seekor harimau tengah
mengangakan mulutnya.
"Aku tidak kenal siapa kalian! Sama sekali tidak ada permusuhan di antara kita. Kenapa kalian menyerangku?" Wiro menghardik.
Kedua
orang itu tidak menjawab. Yang satu melangkah mendekati liang batu dan
memandang tajam ke dalam. Sesaat kemudian dia berpaling pada kawannya
dan dengan paras berubah kaget dia berseru, "Liang batu ini kosong!"
"Hah?!"
sang kawan tampaknya juga kaget sekali dan dengan satu gerakan kilat
tahu-tahu sudah berada di tepi lobang batu. Memandang ke bawah
dilihatnya liang batu itu benar-benar kosong.
"Pasti bangsat inilah yang telah melepaskannya!"
Sesaat
kedua orang itu memandang melotot pada Wiro. Salah seorang dari mereka
mendengus, dan buka mulut, "Mengaku! Bukankah kau yang telah menggeser
batu besar ini dan melepaskan orang yang dipendam di dalamnya?!"
Wiro
Sableng paling benci pada manusia-manusia yang kasar dan galak serta
memandang rendah orang lain seenak perutnya. Apalagi barusan kedua orang
tak dikenal itu telah membokongnya dengan satu serangan maut. Maka
pemuda ini pun menjawab.
"Datang dengan baik, berkata dengan baik, bertanya dengan baik itulah peradatan dunia kangouw!"
"Kurang ajar! Budak hina dina macammu ini hendak memberi kuliah pada kami? Apakah tidak melihat gunung Thay-san di depan mata?!"
Sebenarnya
Wiro telah jengkel melihat dua manusia-manusia di hadapannya itu. Namun
ditindasnya rasa jengkel itu dan sebelum dia menghajar mereka, ingin
terlebih dahulu hendak dipermainkannya. Dia garuk-garuk kepala,
mendelikkan mata dan kerenyitkan kening lalu memandang berkeliling
celingukan.
"Gunung Thay-san, katamu heh! Aku tak mellihatnyal Kau
tentu sudah keblinger sobat! Gunung Thay-san jauh dari sini. Ribuan lie,
mana aku bisa melihat? Apalagi malam gelap gulita begini!"
"Bangsat gila! Berani kau mempermainkan Siang-mo-kiam! Kepalamu menggelinding detik ini juga!"
Habis
membentak begitu, tak tahu kapan dia mencabut pedang, tiba-tiba saja
sinar putih bertabur di depan hidung Wiro Sableng. Untung saja pendekar
ini waspada dan buru-buru menyurut tiga langkah.
Kalau tidak niscaya lehernya tersambar putus dan kepalanya benar-benar dibikin menggelinding oleh pedang lawan.
"Siang mo-kiam? Sepasang Pedang Iblis?! Hem, tampang kalian memang pantas disebut iblis kesiangan!"
Di
hadapan Wiro kini kedua orang berjubah hitam itu masing-masing telah
mencekal sepasang pedang perak. Keduanya berputar-putar mengelilingi
Wiro. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak nyaring dan detik
itu juga empat bilah pedang berkiblat bersuitan menggempur empat bagian
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng!
Wiro jadi terkesima. Memandang
berkeliling dia tak dapat lagi melihat kedua musuhnya. Di sekitarnya
kini hanya terlihat gulungan-gulungan sinar putih yang membuntal-buntal
menyelubungi dirinya. Tak satu jalan keluar pun tampak, sedang buntalan
gulungan-gulungan sinar pedang musuh detik demi detik semakin menyempit.
Pakaian dan rambut Wiro sampai berkibar-kibar oleh kerasnya deru angin
sambaran empat pedang lawanl
"Hebat!" mengagumi Wiro dalam hati. Seumur hidupnya baru hari itu dia melihat ilmu pedang yang demikian luar biasanya.
Pendekar
ini bersuit nyaring dan lepaskan satu pukulan sakti. Segulung angin
menerpa ke depan memapasi sinar pedang yang bergulung-gulung.
Terdengar
dua seruan tertahan dan kedua penyerang merasakan tubuh mereka
terdorong, pedang masing-masing menyibak tak karuan. Mau tak mau
keduanya cepat mundur. Namun serentak kemudian mereka menyerang kembali.
Dan kali ini permainan pedang mereka berubah amat ganas hingga dalam
waktu singkat terdengar "bret… bret…!" Dua bagian pakaian putih Pendekar
212 kena dirobek!
Wiro menggerung marah. Dia bersult nyaring dan
lepaskan pukulan sakti bernama "Benteng Topan Melanda Samudera". Dia
cuma kerahkan sepertiga bagian tenaga dalamnya, tetapi karena tadi
sebelumnya dia telah menerima tambahan iwekang dari si orang tua
misterius maka kini daya kekuatan tenaga dalam itu hebatnya bukan main.
Siang-mo-kiam terpental hampir setengah tombak.
Memikir
sampai di situ maka Wiro kerahkan ginkangnya yang tinggi dan berkelebat
lenyap. Sebelum kedua musuh tahu di mana dia berada tahu-tahu salah
seorang dari mereka merasakan pedang di tangan kirinya terbetot lepas!
Dan di lain kejap bila dia memandang ke depan dilihatnya Wiro telah
berdiri dengan dua kaki terpentang dan pedang melintang di depan dada!
Saking
kagetnya, kedua orang itu sesaat jadi kesima. Betapa tidak. Selama 20
tahun malang melintang dalam dunia kangouw belum ada satu lawan pun yang
mampu berbuat demikian terhadap sepasang Pedang Iblis. Jangankan untuk
merampas pedang, lolos dari kepungan empat bilah senjata maut itu pun
tiada yang sanggup. Hari ini Sepasang Pedang Iblis atau Siang-mokiam
betul-betul dibuat
mendelik mata masingmasing.
"Orang asing, siapakah kau sebenarnya?!"
Wiro ganda tertawa.
"Kalian berlututlah minta ampun di depanku, baru aku kasih tahu nama tuan besarmu ini!"
Wajah
kedua orang itu tegang membesi. Mata mereka laksana dikobari api,
saking marahnya. Penghinaan begini rupa tak pernah mereka terima
sebelumnya.
"Anjing liar! Lekas sebutkan namamul Siang-mokiam tak pernah membunuh musuh yang tak bernama!"
Kembali Wiro perdengarkan suara tertawa. Kali ini bernada mengejek.
"Jika
kau tidak mau kasih tahu nama tidak apa. Berarti kau bakal mati dengan
penasaran! Sekarang beri tahu cepat ke mana perginya orang yang dipendam
di dalam liang sini?!"
"Katakan dulu apa sangkut paut kalian dengan dia?!" balik bertanya Wiro.
"Budak
keparat ini terlalu banyak bacot! Lebih bagus kita bereskan saja
cepat-cepat dan bawa kepalanya ke hadapan Dewi sebagai pertanggungan
jawab!" Habis berkata begitu salah seorang dari dua manusia berjubah itu
mendahului menyerang, tapi kawannya pun kemudian menyusul pula dalam
satu gerakan kilat. Kini hanya tiga pedang yang datang menggempur, tapi
kehebatannya tetap tiada kepalang dan sedikit saja Wiro lengah pastilah
akan terkutung-kutung bagian tubuhnya!
Di lain pihak Wiro memang
sudah tunggu dan mengharapkan serangan ini. Tiga pedang bertaburan di
depan matanya. Dengan tenang Wiro mainkan jurus pertama ilmu pedang yang
baru diterimanya yakni "Cip-hian jay hong" atau "Tibatiba Muncul
Pelangi". Pedang perak di tangannya bersuit ke udara menimbulkan sinar
berkilauan hampir selebar satu tombak dan melengkung!
"Jurus Tiba-tiba Muncul Pelangi!" salah seorang dari Siang-mo-kiam berseru kaget dan melompat mundur.
Tapi "tring… tring!"
Pedang
kedua orang mental patah ke udara. Yang satu terhuyung sambil pegangi
dadanya yang koyak besar. Lalu tergelimpang mandi darah. Kawannya
mengerang terduduk di pojok kiri ruangan sambil pegang lengan kirinya
yang buntung dan berkucuran darah!
Sesaat Wiro sendiri jadi melotot,
tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dia barusan telah memainkan jurus
pertama dari ilmu pedang aneh yang dipelajarinya, bahkan jurus pertama
itu pun belum rampung keseluruhannya dan tahu-tahu kedua lawannya telah
roboh demikian rupa!
Melihat kawannya mati si jubah hitam yang lengan kirinya buntung menggembor marah. Mukanya ganas sekali.
"Keparat! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat Long-sam-kun?!"
"Aku mana tahu segala macam akhiratl Sebaiknya nanti saja kau lihat sendiri bagaimana keadaan di akhirat itu!"
"Setan!
Jika kau bukan muridnya tua bangka Long-sam-kun itu tak nanti kau
memiliki ilmu pedang itu! Tapi jangan kira aku takut padamu! Hari ini
aku mengadu jiwa denganmu! Nyawa kawanku harus kau bayar dengan nyawa
anjingmu!"
Orang itu melompat. Meskipun lengannya luka parah, buntung
dan masih mengucurkan darah serta cuma memegang satu pedang di tangan
kanan, namtjn masih saja serangan yang dilancarkannya itu hebat
berbahaya.
Wiro berkelebat ke samping dan siap membalas kembali
dengan ilmu pedang yang baru dikuasainya, namun tiba-tiba serangan itu
ditariknya kembali. Dia tak ingin musuh kedua ini menemui kematian pula.
Lebih penting bila dia bisa mendapatkan keterangan mengapa mereka
begitu bernafsu menginginkan jiwanya dan siapakah sebenarnya Pendekar
Pedang Akhirat Long-sam-kun itu, apakah orang tua yang dipendam dalam
liang batu dan ditolongnya itu?
Pada saat tebasan pedang lawan lewat,
Wiro kirimkan satu serangan susupan ke arah iga musuh. Namun ini cuma
satu tipuan saja, karena begitu lawan berkelit dan hendak membacok
ganas, Wiro sudah selundupkan kaki kanannya. Tendangannya tepat
menghantam pinggul orang itu dan membuat musuh terpekik melintir dan
pedangnya lepas dari genggaman.
Selagi dia terhuyung-huyung, Wiro jambak rambutnya yang merah dengan tangan kiri.
"Katakan, siapa yang menyuruhmu inginkan jiwaku?!"
"Tidak ada yang menyuruhl"
"Keparat,
jangan dusta! Jika kau tak mau bicara…." Wiro Sableng pelintir kepala
orang itu hingga dia merintih kesakitan. "Kau masih ingin hidup?"
"Percuma saja. Kau sudah bunuh kawanku.
Dan kalaupun aku hidup tiada gunanya."
"Kenapa tiada guna?"
"Pemimpinku akan menghukumku dengan kematian juga!"
"Hem… sekarang kau nyerocos sendiri. Ayo katakan siapa pemimpin kalian!" sentak Wiro.
"Baik, aku akan bicara. Tapi lepaskan dulu jambakanmul" jawab orang itu.
Wiro
lalu lepaskan jambakannya pada rambut musuh. Namun baru saja jambakan
dilepaskan, tibatiba sekali, di luar dugaan Wiro, orang itu angkat
tangan kanannya dan "brak!" Dia berjibaku.
Kepalanya dipukul sendiri hingga rengkah! Nyawanya putus detik itu juga!
"Keparat, aku kena ditipu! Manusla tolol! Diberi hidup inginkan mampus!"
Wiro
bantingkan pedang perak ke lantai. Setelah merenung sejenak dia
mendekati mayat Siang-mokiam dan menanggalkan kalung emas berkepala
harimau itu dari leher keduanya.
***
3
WIRO SABLENG
Sableng lenggang kangkung memasuki kota Khay-hong tanpa memperdulikan
orang yang memperhatikannya. Di hadapan sebuah kedai kecil dia berhenti.
Masuk ke sana didapatinya sudah ada beberapa orang tamu asyik makan
bubur ayam dan meneguk teh hangat. Wiro mengambil tempat duduk dan
sebagaimana biasa pandangan mata orang kemudian tertuju penuh perhatian
padanya. Selesai mengisi perut Wiro bermaksud untuk melanjutkan
perjalanan. Dia ingin buru-buru mencari tahu siapa adanya kedua orang
berkalung emas yang semalam berniat membunuhnya di bekas reruntuhan
klenteng. Karenanya, setelah membayar harga makanan dan minuman, segera
dikeluarkannya kalung harimau emas dan diperlihatkannya pada pemilik
kedai.
"Lopek, mungkin kau mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan kalung ini…?"
Sesaat
matanya melihat kalung harimau emas yang digoyang-goyangkan Wiro di
tangan kanannya, paras pemilik kedai serta merta berubah pucat pasi.
Tetamu lain yang juga ada di kedai itu kelihatan menjadi ketakutan,
beberapa di antaranya segera menyingkir.
"He…?" Wiro tentu saja menjadi heran.
Di hadapannya pemilik kedai jatuhkan diri berlutut dan menjura berulang kali.
"Mohon dimaafkan aku si orang tolol ini yang tidak mengetahui gunung Thay-san di depan mata."
"Lagi-lagi gunung Thay-san!" menggerutu Wiro di dalam hati.
"Ampunilah
selembar jiwaku yang tiada berharga ini karena aku sebelumnya tidak
mengetahui kalau tayhiap adalah anggota dari Hun-tiong Houw mo yang
termasyur itu."
Habis berkata demikian pemilik kedai itu lantas keruk
sakunya, mengeluarkan beberapa tail perak yang barusan diterimanya dari
Wiro dan mengembalikannya pada pemuda itu seraya berkata, "Harap
tayhiap sudi menerimanya kembali. Untuk segala hidangan yang tak
seberapa itu masakan aku berani meminta bayaran pada tayhiap. Kehadiran
tayhiap di sini sesungguhnya satu kehormatan besar bagiku…."
"Eh, lopek. Jadi aku ini tak usah membayar…?"
"Betul… betul…."
Wiro garuk-garuk kepala dan memasukkan kembali beberapa tail perak itu ke dalam pakaiannya. Diam-diam dia semakin heran.
"Jika sekiranya tayhiap ingin anggur atau arak yang baik untuk di perjalanan, aku segera akan menyediakannya…."
"Tak
usah… tak usah," kata Wiro pula seraya geleng-geleng kepala. Sebenarnya
Wiro ingin menanyakan apa yang dinamakan Hun-tiong Houw-mo (Siluman Harimau Dari Hun Tiong)
itu. Siapa pemimpinnya dan di mana letak markasnya. Di samping itu
apakah kalung harimau tersebut merupakan tanda bagi setiap anggota
Hun-tiong Houw-mo. Namun tentu saja saat ini dia menjadi kebingungan
karena si pemilik kedai telah menganggapnya sebagai salah seorang
anggota dari Hun-tiong Houw-mo. Tampaknya nama Hun-tiong Houw-mo begitu
ditakuti di Khay-hong. Dan ini berarti Hun-tiong Houwmo bukanlah
sesuatu yang baik. Setelah merenung sejenak akhirnya sambil garuk-garuk
kepala Wiro putar tubuh dan tinggalkan kedai itu. Kalung emas
dimasukkannya kembali ke dalam pakaiannya.
Pada saat dia keluar dari
kedai, matahari telah mulai naik. Wiro memandang berkeliling di mans
kira-kira dia bisa mendapatkan keterangan tentang spa yang dinamakan
Hun-tiong Hauw-mo itu. Di ujung jalan sebelah kanan dilihatnya dua orang
pemuda berjalan kaki ke arahnya Wiro menunggu sampai kedua orang pemuda
itu sampai ke dekatnya. Namun tiba-tiba dari ujung lain sebelah kiri
terdengar gemeletak roda gerobak yang ditingkah oleh derap kaki-kaki
kuda berisik sekali.
Wiro berpaling ke kiri! Sebuah gerobak yang
ditarik oleh dua ekor kuda besar lewat dengan cepatnya. Di sebelah depan
duduk dua orang lelaki bermuka bengis. Di bagian belakang yang terbuka
duduk pula dua lelaki yang juga bermuka ganas.
Masing-masing memanggul golok besar pada punggungnya. Di atas gerobak terdapat sebuah peti mati berwarna hitam.
Di
belakang gerobak ini mengikuti seorang lelaki separuh bays berpakaian
ungu. Di balik pinggang pakaiannya tersembul gagang sebilah senjata.
Orang ini menunggang seekor kuda coklat. Sebenarnya tak ada yang menarik
perhatian Wiro atas lewatnya rombongan pembawa peti mati ini, jika saja
sepasang matanya yang tajam tidak melihat seuntai kalung emas berkepala
harimau yang tergantung pada leher penunggang kuda coklat itu.
Wiro
memandang berkeliling. Di seberang jaIan sana dilihatnya tertambat
seekor kuda putih di depan sebuah toko kecil. Tanpa pikir panjang lagi
Wiro segera lari ke seberang jalan, membuka ikatan kuda pada tiang lalu
melompat ke punggung binatang ini. Baru saja dia menarik tali kekang
kuda tibatiba dari toko keluarlah seorang dara berbaju merah. Parasnya
yang jelita serta merta berubah marah.
"Pencuri kuda kurang ajar! Berhentilah jika tidak kepingin mampus!"
Namun
mana Wiro mau perduli. Menoleh pun tidak. Niatnya sudah bulat untuk
mengejar rombongan pembawa peti mati tadi dengan cepat.
Melihat
teriakannya tidak diacuhkan, dara baju merah tadi keruk saku pakaiannya
dan sesaat kemudian dua puluh jarum beracun berwarna hijau melesat
menyebar, hampir tak kelihatan saking cepatnya, menderu ke arah 20 jalan
darah di tubuh Wiro Sableng.
Di antara kerasnya derap kaki kuda
putih yang sedang dipacunya itu, Wiro mendengar suara bersiuran di
belakang punggungnya yang disertal sambaran angin halus. Sebelumnya dia
sudah mendengar bentakan seorang perempuan. Semua itu sudah jelas
menunjukkan bahwa dia tengah diserang dengan piauw secara ganas.
Tingkat
kepandaian murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah merantau di negeri
orang itu seperti diketahui sudah mencapal tingkat tinggi. Karenanya
meskipun diserang dari belakang demikian rupa, cukup tanpa menoleh dia
lambaikan tangan melepas pukulan "Angin Puyuh".
20 piauw beracun yang
dilemparkan dara berbaju merah serta merta mental dan luruh ke tanah.
Sang dara kaget bukan kepalang. Dia menggembor marah dan melompat sampai
tiga tombak ke depan untuk mengejar Wiro. Namun tentu saja dia tak
dapat mengejar kuda besar yang larinya cepat luar biasa itu. Baru saja
dia membuat lompatan, Wiro dan kuda putihnya sudah lenyap di balik
tikungan jalan. Dara ini mengomel setengah mati. Namun apakah yang bisa
dibuatnya…?
Setelah menempuh jarak lebih dari 80 lie, rombongan yang
dibuntuti oleh Wiro Sableng berhenti di sebuah telaga kecil. Sebenarnya
Wiro sudah gatal untuk buru-buru turun tangan terhadap rombongan
tersebut. Pertama untuk menyelidiki apa sebenarnya rahasia yang ada di
balik kalung emas berkepala harimau itu. Apa dan siapa sebenarnya
Hun-tiong Hauw-mo itu dan di mana markasnya. Apa tujuan komplotan
Siluman Harimau tersebut jika memang dia merupakan satu komplotan. Lalu
apa sangkut pautnya dengan tua renta aneh yang secara tak sengaja telah
ditolongnya ke luar dari Hang akhirat malam tadi. Namun karena memikir
mungkin sekali rombongan pembawa peti mati itu tengah menuju ke markas
Hun-tiong Hauw-mo maka Wiro mempersabar diri dan terus melakukan
penguntitan secara diam-diam.
Memperhatikan peti mati di atas gerobak
dari tempat persembunyiannya di balik semak-semak, Wiro jadi
berpikir-pikir kembali. Apakah peti mati itu kosong atau ada isinya?
Jika kosong apa gunanya dibawa demikian jauh. Kalaupun untuk penguburan
jenazah, adalah terlalu mencapaikan diri harus memesan peti mati dari
tempat yang amat jauh. Sebaliknya jika dalam peti mati itu memang ada
jenazahnya, kenapa rombongan membawanya dengan amat tergesa-gesa? Tidak
lazim sama sekali mayat diangkut begitu sembrono, di atas gerobak yang
dipacu kencang terus menerus, apalagi jalan demikian buruknya.
Sementara
orang-orang dalam rombongan itu beristirahat sambil meneguk arak, Wiro
Sableng cuma bisa leletkan lidah membasahi bibir.
Tak lama kemudian
rombongan itu dilihatnya bersiap-siap hendak berangkat kembali. Dan
kembali pula Wiro bersama kuda curiannya mengikuti orang-orang itu.
Beberapa
jam kemudian di ufuk barat sang surya telah mulai merosot ke titik
tenggelamnya. Warnanya yang tadi putih menyilaukan dan terik kini
kelihatan menjadi redup kemerah-merahan. Pada saat itulah rombongan
pembawa peti mati memasuki kota Ci-bun. Mereka langsung menuju sebuah
hotel. Dua orang jongos keluar menyambut kedatangan mereka. Namun
keduanya serta merta tersurut langkah ke belakang dan pucat pasi wajah
masing-masing. Mata mereka mendelik memandang kalung kepala harimau yang
tergantung pada leher penunggang kuda berpakaian ungu. Seolah-olah
kedua jongos hotel ini telah melihat setan kepala sepuluh yang
mengerikan!
Orang yang dipandang dengan mimik ketakutan itu kelihatan
menyeringai. Dia membuka mulut dan bicara dengan nada keras. "Untuk
malam ini semua kamar hotel kami sewa. Ini hadiah dua tail perak untuk
kalian. Tapi ingat! Awas jika kalian berani memberikan satu kamar saja
buat siapa pun!"
Habis berkata demikian lelaki baju ungu lantas
lemparkan dua tail perak pada kedua jongos. Meskipun tadi ketakutan
setengah mati, namun diberi uang dua jongos hotel itu ulurkan tangan
menyambut.
"Loya, apakah peti mati ini perlu diturunkan juga?" salah
seorang dari empat lelaki bertampang bengis yang mengawal gerobak
bermuatan peti mati bertanya begitu lelaki berpakaian serba ungu loncat
turun dari atas kuda.
Yang ditanya menjawab sambil memandang
sekeliling halaman hotel. "Gotong ke kamar tidurku. Kau dan tiga kawanmu
harus berjaga-jaga di luar kamar. Perjalanan kita masih cukup jauh dan
aku tidak ingin terjadi kesulitan mendadak."
"Perintahmu akan kami
jalankan, Loya. Dan kau tak usah kawatir soal keamanan peti mati itu.
Serahkan saja kepada kami Empat Golok Kematian…."
Orang itu kemudian
putar tubuh dan bersama tiga kawannya dia menggotong peti mati ke kamar
yang disediakan jongos hotel untuk lelaki berbaju ungu. Empat Golok
Kematian adalah empat perampok berkepandaian tinggi yang sering malang
melintang di daerah barat. Rata-rata memiliki tenaga dalam yang besar.
Namun dari cara mereka mengangkat peti mati tersebut kentara sekali
bahwa peti tersebut amat berat. Apakah sebenarnya isinya? Bahkan Empat
Golok Kematian sendiri pun tidak mengetahui. Mereka cuma dibayar untuk
mengawal gerobak tersebut ke satu tempat yang mereka tidak tahu.
Sepanjang perjalanan antara mereka saling bisik-bisik menduga-duga apa
isi peti misterius tersebut. Hendak menanyakan pada lelaki baju ungu
mereka tidak berani. Mereka tahu betul salah-salah mulut dan tingkah
bukan mustahil nyawa mereka imbalannya. Meskipun mereka berjumlah lebih
banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi, namun terhadap si baju ungu
berkalung harimau itu mereka laksana kelinci dengan singa!
Setelah
peti mati dimasukkan ke dalam kamarriya, lelaki berpakaian ungu lantas
kunci pintu dan jendela kamar, memeriksa keadaan tempat itu lalu duduk
bersila di lantai. Di luar kamar Empat Golok Kematian berjaga-jaga
sedang di pintu halaman dua jongos hotel tegak pula melakukan penjagaan.
Seekor
kelelawar menggelepar di puncak sebuah pohon, ketika dua jongos yang
mengawal di pintu halaman hotel melihat seorang penunggang kuda putih
mendatangi. Acuh tak acuh orang ini hendak masuk melewati pintu halaman
begitu saja. Kedua jongos serta merta menahannya.
"Bukankah bangunan
di dalam halaman ini sebuah rumah penginapan," penunggang kuda putih
bertanya. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu
hari sudah gelap. Dua jongos hotel tidak begitu jelas melihat wajah
penunggang kuda putih. Namun dari logat bicaranya kentara sekali kalau
orang itu adalah orang asing.
"Betul dugaanmu cuwi. Tapi harap dimaafkan. Jika kau bermaksud bermalam di sini ketahuilah semua kamar hotel telah penuh."
"Penuh? Tak satu pun yang ketinggalan?"
"Tak satu pun!"
"Tapi
barusan kalau aku tak salah lihat serombongan yang terdiri dari lima
orang telah datang kemari. Masakan untuk mereka berlima ada, untuk aku
yang sendiri tidak ada!"
"Mereka… mereka memborong semua kamar dalam hotel ini. Harap cuwi mau cari rumah penginapan yang lain."
"Tubuhku letih, perutku lapar. Aku perlu buru-buru istirahat. Harap kalian beri jalan!"
"Kami sudah bilang semua kamar penuh. Harap cuwi mengerti dan jangan kelewat memaksa?"
"Aku bisa tidur di dapur!"
"Itu tidak mungkin!"
"Kenapa
tidak mungkin?" sentak Wiro lantas gebrak kudanya dan menerobos masuk
ke dalam halaman. Kedua jongos hotel cepat memburu. Satu menahan tali
kekang kuda putih, satu lagi menarik ekor binatang itu.
Wiro jadi
jengkel. Jelas sudah ada apa-apa yang tak semestinya. "Kalian minta
digebuk!" desis pendekar ini lalu melompat turun dan hadiahkan
masing-masing satu tamparan pada kedua jongos tersebut.
Karena
tamparan cukup keras, kedua jongos itu melolong kesakitan dan rubuh ke
tanah. Wiro putar tubuh untuk melangkah ke pintu depan hotel. Baru maju
dua tindak, sesosok bayangan hitam berkelebat. Satu bentakan terdengar,
"Bangsat rendah dari mana yang berani mengacau di sini?!"
***
4
BERPALING
ke kiri Wiro Sableng melihat seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh
tegap dan punya tampang garang, berdiri mencekal sebilah golok besar.
"Siapa
kau?" sentak orang ini yang bukan lain adalah seorang dari Empat Golok
Kematian. Dia melirik pada dua jongos hotel yang melingkar
merintih-rintih di tanah.
"Ah, kau lebih sopan sedikit dari dua kurcaci konyol in!," jawab Wiro pula.
"Aku datang ke mari untuk menyewa kamar dan menginap."
"Semua kamar sudah penuh. Kami memakalinya semua!" jawab orang itu.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Jika sudah tahu lekas angkat kaki dari sini!"
"Yang
aku belum tahu…" kata Wiro pula anteng-anteng, "Kalian cuma berlima
sedang hotel ini punya hampir sepuluh kamar. Masakan penuh semua!"
"Rupanya
kau perlu diajar tahu dengan ini!" orang ketiga dari Empat Golok
Kematian itu jadi naik darah dan babatkan goloknya kepada Wiro Sableng.
Senjata ini besar berat dan menimbulkan suara bersiuran. Wiro segera
maklum kalau manusia di hadapannya ini tidak sama dengan jongos hotel
tadi. Cepat dia meluncur mengelit. Ujung golok lewat satu jengkal dari
dadanya.
Melihat serangannya tidak membawa hasil, orang itu
menggembor marah dan membacok sebat. Tapi lagi-lagi serangannya hanya
mengenai tempat kosong.
"Bangsat, jika kau punya kepandaian keluarkan senjata!" dia membentak.
Kemudian
dia hanya mendengar suara orang tertawa perlahan dan memandang ke
depan, Wiro Sableng dilihatnya tak ada lagi di tempat. Belum habis
kagetnya tiba-tiba "duk!" Satu jotosan menghantam punggungnya. Empat
Golok kematian mengeluh dan tersungkur ke depan. Dia coba mengimbangi
tubuh tapi satu totokan membuat dia tak bisa bergerak ataupun buka
suara! Dalam hatinya orang ketiga dari Empat Golok Kematian ini memaki
dan penasaran setengah mati. Seumur hidupnya baru sekarang dia
dipecundangi lawan semuda itul Siapakah adanya pemuda asing yang lihay
ini?
Wiro melangkah mendekati bangunan hotel. Pintu depan tidak
dikunci. Dia langsung melangkah masuk. Tapi baru masuk dua tindak, tiga
senjata dilihatnya berkelebat ke arahnya. Satu menyambar ke dada, satu
membabat ke muka dan satu lagi menusuk ke arah pintu.
Ganas sekali
serangan tiga senjata itu. Kalau saja Wiro tidak lekas melompat ke
belakang niscaya tubuhnya akan mandi darah dan nyawanya akan putus!
Baru
saja Wiro menginjakkan kaki di serambi depan hotel, tiga sosok tubuh
masing-masing mencekal golok telah mengurungnya. Melihat kepada tampang
dan pakaian mereka Wiro segera maklum kalau tiga manusia ini pastilah
kambrat-kambrat yang satu tadi.
Saat itu bagian serambi depan hotel
tiada berpenerangan. Dalam suasana gelap begitu tiga orang tersebut
kembali menggempur Wiro. Serangan tiga golok mereka bukan sembarangan
dan Wiro harus berhati-hati.
"Aku heran, ke mana kawan kita yang seorang," berbisik salah seorang Empat Golok Kematian pada teman di sebelahnya.
"Jangan-jangan sudah terjadi apa-apa atas dirinya."
Menduga
sampai di situ ketiga orang tersebut kemudian putar golok masing-masing
dengan sebat. Sampai seat itu Wiro masih mengandalkan tangan kosong dan
ginkangnya. Namun serangan tiga golok makin lama makin gencar dan
kurungan ketiga lawan itu semakin rapat.
"Ilmu golok kalian hebat sekalit Tahan dulu! Aku mau bicara." Wiro tiba-tiba berseru.
Tapi
ketiga orang tersebut tidak mau hentikan serangan. Mereka menduga kawan
mereka yang seorang telah celaka di tangan pemuda tak dikenal itu,
karenanya mereka berkeputusan untuk membunuh Wiro.
"Bagusnya kau
sebutkan siapa nama dan clarl mana kau datang agar kau tidak mampus
penasaran," salah seorang dari Empat Golok Kematian berseru dan goloknya
bersiut-siut mengirim serangan yang tidak berkeputusan.
"Kalau
mengandalkan tangan kosong terus menerus aku bisa mati konyol!" kata
Wiro dalam hati. Sebaliknya untuk mengeluarkan kapak saktinya saat itu
dirasanya masih belum pada tempatnya. Karenanya ketika mengelakkan satu
bacokan dan dua tusukan golok ketiga lawannya, dengan menjambret, patah
sebatang cabang pohon yang panjangnya lebih dari satu meter dan besarnya
selingkaran lengan.
Melihat lompatan yang barusan dibuat oleh Wiro,
yang demikian gesit serta ringan sekali, ketiga lawannya diam-diam
merasa kaget juga. Semakin jelas bagi mereka bahwa orang asing berambut
gondrong itu bukan manusia sembarangan. Namun sebagai jago-jago yang
memiliki ilmu silat tinggi serta pengalaman luas di dunia persilatan,
tentu saja mereka tidak merasa jerih. Sebaliknya tiga manusia ini
kembali menyerbu disertai dengan bentakan-bentakan dahsyat.
Semula
Wiro Sableng akan sambut tiga serangan itu dengan jurus "Kipas Saku
Menerpa Hujan", yakni salah satu jurus ilmu silat yang dipelajarinya
dari gurunya Eyang Sinto Gendeng. Namun saat itu selintas pikiran timbul
dalam benaknya. Waktu menghadapi Siang-mo kiam tempo hari dia telah
mengeluarkan jurus pertama dari ilmu pedang yang diterima dari manusia
aneh berjuluk Pendekar Pedang Akhirat. Hasilnya luar biasa, membuat
Siang-mo kiam atau Sepasang Pedang Iblis mandi darah. Kini bukankah ada
baiknya kalau dia mencoba pula jurus kedua dari ilmu silat aneh
tersebut? Yaitu jurus pedang yang disebut Lo han Ciang-yau atau Malaikat
Menundukkan Siluman.
Begitulah, sewaktu tiga golok besar berkiblat
untuk membantainya, Wiro lantas putar cabang di tangannya dalam jurus
ilmu pedang tadi. Tiga lawannya tiba-tiba melihat sesuatu menghitam di
depan mereka yang disertai dengan suara bersiur yang berat. Hanya
sepasang cabang kayu masakan sanggup menghadapi tiga golok besar,
demikian ketiga orang dari Empat Golok Kematian itu berpendapat serta
memandang rendah lawan. Namun apa yang terjadi kemudian betul-betul
mereka tidak menduga.
Pertama sekali anggota Empat Golok Kematian
yang di ujung kanan terpelanting hampir satu tombak, melingkar di tanah
dengan kepala pecah kena hantaman cabang kayu di tangan Wiro. Dia mati
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Empat Golok Kematian yang
berada di tengah masih sempat mengeluarkan suara keluhan pendek sewaktu
dadanya kena dihantam cabang kayu, lalu jatuh tergelimpang di tanah,
megap-megap seketika, mengeluh sekali lagi dan mati.
Yang ketiga
masih untung karena hanya tulang lengannya saja yang remuk dan goloknya
mental ke atas. Orang ini tanpa tunggu lebih lama segera putar badan dan
ambil langkah seribu.
Sementara itu di dalam hotel sewaktu terjadi keributan…
Lelaki
separuh baya yang berpakaian serba ungu dan berada dalam salah satu
kamar hotel di mana Juga terletak peti mati hitam, itu menjadi kaget
ketika di luar didengarnya suara ribut-ribut orang berkelahi. Setelah
mengunci pintu dan jendela kamar itu serta memadamkan lampu minyak,
dengan satu gerakan yang lihay dia melompat ke atas panglari. Dari sini
dia membuka genteng kamar dan di lain saat dia sudah berada di atas atap
hotel.
Siapakah sebenarnya orang ini. Dia bernama Tio Ki-pi, seorang
tokoh silat dari propinsi Ciat kang yang dikenal dengan julukan
Thian-liong-pan atau si Ruyung Naga selama delapan tahun lebih dia
dikenal sebagai seorang pendekar gagah golongan putlh yang telah banyak
jasanya dalam menolong manusia-manusia lemah dan tertindas. Namun sejak
beberapa bulan belakangan ini Tio Ki-pi telah tersesat dan menempuh
jalan salah, ikut bersekutu dengan satu komplotan manusia jahat.
Di
dalam gelapnya malam, dari atas atap hotel, Tio Ki-pi dapat melihat tiga
dari Empat Golok Kematian tengah mengeroyok seorang tak dikenal tak
berapa jauh dari situ menggeletak sesosok tubuh yang tak dapat tidak
pastilah anggota Empat Golok Kematian yang telah kena dipreteli lawan.
Di bagian lain dari halaman itu dua orang jongos hotel tampak melingkar
di tanah.
Segala sesuatunya kemudian begitu cepat terjadi. Sehingga
belum sempat Tio Ki-pi berbuat sesuatu, berturut-turut terdengarlah
suara bergedebukan, suara keluhan dan jeritan dua dari Empat Golok
Kematian, dilihatnya menggeletak di tanah sedang yang ketiga lari
pontang-panting sambil menjerit kesakitan.
Sepasang alis mata Tio
Ki-pi naik ke atas. Sesaat mukanya kelihatan tegang. Siapakah adanya
orang di bawah sana yang demikian lihay dan mengandalkan kepandaiannya
untuk melakukan pembunuhan begitu rupa? Sejenak jago silat dari Ciat
kang ini berpikir. Kemudian laksana seekor burung walet dia melayang
turun dari atas atap hotel dan menjejakkan kakinya ditanah tanpa
menimbulkan suara barang sedikit pun.
"Orang asing dari manakah yang telah menunjukkan keganasan di sini? Harap beritahukan nama dan gelar!"
Wiro
kaget dan cepat berpaling. Jika sampal sepasang telinga tidak jelas
menangkap kedatangan orang ini jelas dia memiliki ilmu yang lihay.
"Ah, kiranya kau…!" kata Wiro begitu dia melihat si baju ungu.
"Kau
kenal aku?!" Tio Ki-pi menghardik. "Cuma kenal tampang. Siapa kau
adanya aku masih belum tahu…" jawab Wiro sambil nyengir.
"Manusia-manusia itu tiada permusuhan dengan kau. Kenapa kau turun
tangan sekejam itu?" Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lantas menjawab,
"Mereka mencari urusan yang tak karuan. Masakan aku mau menginap di
hotel ini mereka bilang semua kamar penuh. Brengsek! Lagi pula, kalau
melihat tampang-tampangnya, yang dua ini serta yang tadi lari itu
tampaknya bukan manusia baik-baik."
"Mereka adalah Empat Golok Kematian pembantu-pembantuku!"
"Pembantu-pembantumu…? Ah!" Wiro gelenggeleng kepala.
"Orang
asing. Dari gerak-gerik cecongormu, aku yakin juga kau bukan manusia
baik-baik. Kedatanganmu kemari membawa satu maksud yang tersembunyi.
Mengapa!"
Wiro tertawa. Kembali tangannya menggarukgaruk kepalanya.
"Kau betul. Jika aku boleh tanya, apakah isi peti mati yang ada di dalam
hotel itu hingga pembawaannya dikawal ketat demikian rupa bahkan
sampai-sampai dua manusia tolol itu mau pasrahkan jiwa mereka?"
Tio Ki-pi berusaha melenyapkan perubahan air muka kekagetan atas pertanyaan Wiro yang tidak diduganya itu.
"Oh, kiranya peti mati itulah yang menjadi perhatianmu? Apakah itu menjadi urusanmu?!"
"Tentu
saja bukan. Tapi kalau semua itu ada sangkut pautnya dengan kalung emas
kepala harimau yang kau pakai maka itu lain pula ceritanya!"
"He, tahukah kau apa artinya kalung kepala harimau ini?" tanya Tio Ki-pi seraya pegang kalung yang tergantung di lehernya.
Dari
balik pakaiannya, Wiro Sableng keluarkan salah satu kalung kepala
harimau emas yang diambilnya dari Siang mo Kiam. Seraya
menimbang-nimbang benda itu dia berkata, "Kalungmu tiada beda dengan
kalungku. Bukankah begitu?"
Tio Ki-pi melengak kaget. Sepasang matanya membeliak besar. "Apakah… apakah kau juga anggota komplotan Hun-tiong Hauw-mo?"
"Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya?" jawab Wiro keren sambil mendongak ke langit.
Tio
Ki-pi memandangi si rambut gondrong ini dari kepala sampai ke kaki.
Hatinya meragu melihat potongan Wiro. Ditambah pula dengan keganasan
yang dilakukannya terhadap Empat Golok Kematian. Jika dia anggota
Hun-tiong Houw-mo kenapa melabrak kawan sendiri? Tapi jika dia bukan
anggota komplotan itu di mana Tio Ki-pi merupakan pula salah seorang
anggotanya, mengapa pemuda itu bisa memiliki kalung emas kepala harimau
itu?"
"Sobat, jika kau orang sendiri, kenapa membuat keonaran
melakukan pembunuhan pada orang-orang yang kubayar untuk mengawal
kereta?" Tio Ki-pi ajukan pertanyaan.
"Kau tidak tahu orang bagaimana
sebenarnya Empat Golok iCematian," jawab Wiro, pula. "Pimpinan telah
menyuruhku secara diam-diam untuk mengikuti perjalananmu. Ternyata Empat
Golok Kematian mempunyai rencana busuk. Dia hendak membunuhmu secara
membokong kemudian melarikan apa yang terdapat dalam peti mati itu!"
Tio Ki-pi seorang yang sudah berpengalaman dan tak mau lekas percaya pada orang lain.
"Jika betul pimpinan kita telah menyuruhmu, coba kau beri tahu dari mana kami berangkat dan ke mana tujuan kami?"
"Soal
itu kau tak perlu memancingku. Sebaiknya kita masuk ke dalam dan
istirahat. Besok pagi-pagi buta harus sudah melanjutkan perjalanan."
Acuh
tak acuh Wiro kemudian melangkah menuju pintu hotel. Tapi Tio Ki-pi
cepat memotong jalannya dan menahan pada Wiro dengan tangan kiri. Cara
Tio Ki-pi menahan gerakan Wiro kelihatannya lembut perlahan saja namun
memiliki tenaga yang sanggup menahan dorongan 200 kati! Tahu kalau orang
hendak menjajaki kepandaiannya, tak sungkan Wiro kerahkan tenaga
dalamnya dan mendorongkan dadanya ke depan. Akibatnya Tio Ki-pi
terhuyung sampai tiga langkah ke belakang. Kagetnya jagoan dari Ciat
kang ini bukan kepalang. "Ah, tingkat tenaga dalamnya lebih tinggi
dariku," katanya membathin. Kemudian dia terbatuk-batuk beberapa kali.
"Sobat,
ketahuilah tugas yang diberikan oleh pimpinan padamu merupakan satu
tugas yang berat dan penuh tanggung jawab. Dunia persilatan penuh dengan
orang-orang jahat dan penipu licik. Karenanya jika kau betul anggota
Hun-tiong Houw-mo harap kau sudi mengucapkan sumpah perkumpulan kita!"
Menyadari
kalau dia tak bakal bisa mengucapkan segala macam sumpah komplotan
tersebut maka Wiro tiba-tiba berpura marah dan menghardik, "Rupanya kau
tidak pandang sebelah mata kepadaku? Berani kau menguji diriku?"
Diam-diam
Tio Ki-pi yakin kini kalau orang asing berambut gondrong di depannya
itu bukanlah anggota Hun-tiong Houw-mo karena setiap anggota jika
bertemu tapi sebelumnya belum saling kenal, diharuskan untuk menguji
kebenaran keanggotaannya dengan mengucapkan sumpah perkumpulan. Namun
untuk bertindak gegabah pada orang yang disadarinya lebih tinggi
kepandaiannya, Tio Ki-pi tentu saja tidak mau.
"Harap sicu maafkan. Aku bukan memandang rendah terhadapmu. Semua ini adalah demi keselamatan dan pengamanan tugas!"
Wiro kertakkan rahang.
"Menyingkirlah,"
perintahnya. "Kelak akan kumintakan pada pimpinan agar keanggotaanmu
dalam Hun-tiong Houw-mo dicabut dan atas kekurangajaranmu ini kau harus
menerima hukuman."
Tio Ki-pi tertawa bergelak.
"Manusia tolol,
jangan kira aku akan termakan oleh tipu busukmu! Kau bukan anggota
Hun-tiong Houw-mo! Selembar nyawamu tak mungkin kubiarkan terus
petantang-petenteng!"
Habis berkata begitu Tio Ki-pi yang bergelar
Thian liong pian atau Ruyung Naga ini lantas menggembor. Kedua lututnya
menekuk. Tiba-tiba tangan kanannya dipukulkan ke depan. Satu larikan
besar angin panas menggebu ke arah Wiro Sableng.
Wiro membentak marah
dan balas hantamkan tangan kanannya ke muka, lepaskan pukulan sakti
bernama, "Benteng Topan Melanda Samudera" dengan mengandalkan sepertiga
bagian tenaga dalamnya.
Meskipun pukulan itu membuat Tio Ki-pi
mencelat hampir sejauh satu setengah tombak namun Wiro sendiri
terhuyung-huyung. Tubuhnya laksana terpanggang hingga dia buru-buru
harus melompat selamatkan diri.
Tio Ki-pi bukan alang kepalang
kagetnya. Barusan dia telah melepaskan pukulan saktinya yang terhebat
dan bernama Ngo-lu gui san atau Lima Petir Membelah Gunung dengan
mengerahkan tiga perempat tenaga dalamnya. Selama ini boleh dikatakan
tak seorang lawan pun sanggup bertahan terhadap pukulan sakti itu. Namun
nyatanya musuh di hadapannya itu masih sanggup selamatkan diri!
Di
lain pihak Wiro sendiri tak urung tersentak kaget pula karena ketika
memperhatikan pakaiannya, baju serta celananya, kelihatan
kehitam-hitaman. Hangus!
Kedua orang itu sesaat saling baku pandang untuk kemudian sama-sama bergerak meneruskan baku hantam itu!
Dalam
waktu singkat kedua orang itu telah bertempur enam jurus. Dalam
gelapnya malam hanya bayang-bayang pakaian mereka saja yang kelihatan.
Salah seorang dari Empat Golok Kematian yang masih hidup yakni yang tadi
ditotok oleh Wiro dan masih tertegun itu tidak hentinya menaruh
kekaguman, melupakan sendiri nasib dirinya yang tiada berdaya saat itu.
Tingkat
pengalaman dan ilmu mengentengi tubuh dari Tio Ki-pi alias Thian
liong-pian tak dapat disangsikan lagi ketinggiannya. Gerakannya gesit
enteng. Serangannya mematikan sedangkan tiputipuannya betul-betul maut.
Namun menghadapi Wiro Sableng dia betul dibuat jadi gemas penasaran.
Semua serangan dan tipu-tipuan lihaynya tidak menemui sasaran, yang amat
menjengkelkan ialah karena dilihatnya lawan menghadapinya dengan sikap
cengar-cengir mengejek.
Tio Ki-pi membentak nyaring. Ilmu silatnya
mendadak berubah dan tubuhnya kini hanya laksana angin yang
menyambar-nyambar kian kemari.
Diam-diam Wiro merasa kagum juga
melihat kehebatan si baju ungu anggota Hun-tiong Houw-mo ini. Serta
merta dia percepat pula gerakannya hingga kini mereka hanya laksana
bayang-bayang yang saling berkelebatan kian ke mari dan
sebentar-sebentar lenyap dari pemandangan karena saking cepatnya gerakan
keduanya.
"Sobat jaga dadamu!" Wiro berseru. Secepat kilat tangan
kanannya memukul ke depan dalam gerakan yang dinamakan "Kilat Menyambar
Puncak Gunung".
Tentu saja Tio Ki-pi tidak mau menerima pukulan
tersebut mentah-mentah. Dengan membentak dahsyat jago silat dari
Ciatkang ini meningkatkan tubuh, pergunakan salah satu kakinya untuk
menjejak tanah sehingga dalam keadaan miring itu tubuhnya tersurut tiga
langkah ke belakang dan di lain kejap dia sudah maju pula sambil
selusupkan satu tendangan kilat ke perut lawan!
Jurus yang
dilancarkan oleh Tio Ki-pi tadi bernama Hek-hou-wat-sim atau Macan Hitam
Menggerak Hati dan merupakan salah satu jurus yang hebat dalam ilmu
silatnya. Sekali tendangannya mampir di perut lawan pastilah akan bobol
serta merenggut nyawa. Namun yang dihadapi Tio Ki-pi saat itu bukanlah
lawan dari tingkatan kurcaci rendah tolol, sekalipun bertampang goblok
macam anak-anak!
Serangan kedua yang dilancarkan Wiro disertai
teriakan peringatan tadi tak lebih hanyalah sebuah tipuan belaka. Begitu
lawan bergerak mundur dan kembali menyerang, murid Eyang Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini serta merta susulkan serangan berikutnya yang
bernama "Di balik Gunung Memukul Halilintar".
Ketika tendangannya
melesat ke depan, Tio Ki-pi mendadak kehilangan lawan, serangannya
mengenai tempat kosong. Kemudian sebelum dia berkesempatan mengetahui di
mana Wiro berada tahu-tahu satu hantaman keras sudah melabrak
punggungnya dari belakang. Demikian kerasnya hingga jago dari propinsi
Ciatkang itu mencelat tiga tombak, terguling-guling di tanah. Tapi
hebatnya dia cepat kembali berdiri. Buru-buru Tio Ki-pi mengambil
sebutir pil. Setelah telan benda itu dan pejamkan mata serta atur jalan
darah dan pernapasan, Tio Ki-pi lantas rasakan tubuhnya segar kembali
meskipun dadanya agak sesak.
"Bangsat! Hari ini aku mengadu jiwa
denganmu!" Tio Ki-pi menggembor marah lantas keluarkan senjata dari
balik jubah ungunya. Senjata ini adalah sebuah ruyung berbentuk kepala
naga terbuat dari baja putih. Di beberapa bagian dihiasi dengan
duri-duri beracun. Sekali seseorang kena dihantam senjata yang beratnya
hampir lima puluh kati ini tak ampun lagi pasti akan mati dalam keadaan
tubuh atau kepala hancur! Dengan memiliki senjata inilah selama
bertahun-tahun berkelana di dunia persilatan Tio Ki-pi sampai mendapat
julukan si Ruyung Naga (Thian liong pian). Meskipun malam gelap pekat namun ruyung baja putih kelihatan berkilat di tangan Tio Ki-pi.
Sesaat Tio Ki-pi melontarkan pandangan bengis pada lawannya. Lalu tanpa banyak bicara lagi orang ini kiblatkan senjatanya.
"Wutt!"
Satu
gelombang angin yang amat deras menerpa Wiro Sableng ketika ruyung baja
itu membabat di depannya. Tubuhnya tergontai-gontai limbung.
Selagi
dia berusaha mengimbangi diri, secepat kilat ruyung kembali membabat,
Wiro cepat menyingkir namun angin yang keluar dari senjata lawan masih
sanggup membuatnya terjajar dan tersandar ke gerobak yang berada di
halaman itu.
"Sekarang mampuslah!" teriak Tio Ki-pi bernafsu dan susul dengan hantaman ruyung untuk ketiga kalinya.
"Sialan,
ganas dan hebat sekali permainan ruyung kunyuk ini!" maki Wiro dalam
hati. Dia jatuhkan diri seraya mendorong dengan kedua tangannya ke arah
dada serta perut lawan.
Hantaman ruyung baja mengenai gerobak di
belakang Wiro. Kendaraan ini hancur berkepingkeping. Sebaliknya Tio
Ki-pi akibat dorongan Wiro tadi terpelariting sampai tiga tombak. Dada
dan perutnya seperti dipilin. Tanpa memperdulikan rasa sakit dengan
nekad dan kalap Tio Ki-pi kembali menyerbu. Ruyung naganya bersiuran di
udara berputar-putar laksana titiran dan mengurung Wiro Sableng dari
seluruh jurusan!
Diam-diam Wiro jadi mengeluh dan keluarkan keringat
dingin ketika setelah tiga jurus dia dikepung oleh serangan ruyung lawan
ternyata dia tak bisa keluar dari kepungan itu sekalipun dia telah
kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan segala kegesitannya. Sebaliknya
kurungan sambaransambaran ruyung semakin ganas dan tambah rapat. Sekujur
tubuhnya laksana ditindih oleh dinding yang keras gerakannya makin lama
makin lamban!
Tio Ki-pi yang melihat bagaimana lawan sudah tak berdaya tertawa panjang dan mengejek.
"Sekarang
kau baru tahu siapa adanya Tio Ki-pi yang berjuluk Thian liong pian
ini!" Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka ruyung baja
digenggamannya meluncur menghantam deras ke arah batok kepala Wiro
Sableng!
Tiba-tiba sekali satu sinar putih kelihatan bertabur
dibarengi dengan menderunya suara macam seribu tawon mengamuk. Sekejap
kemudian terdengar suara berdentang yang keras dan memerciknya bunga
api. Memperhatikan senjata mustikanya yang somplak, nyalinya kini
betul-betul menjadi lumer. Memandang ke depan dilihatnya lawan memegang
sebilah senjata berbentuk aneh dan baru sekali itu disaksikannya.
Senjata itu bukan lain adalah Kapak Naga Geni 212, yakni sebatang kapak
bermata dua, gagangnya terbuat dari gading dan memancarkan sinar kemilau
menyilaukan!
Tio Ki-pi mengeluh, kenapa dalam menjalankan tugas
penuh tanggung jawab itu dia musti menemui lawan yang begini tangguh.
Untuk melanjutkan perkelahian berarti konyol sendiri. Tapi tak mungkin
pula baginya untuk kabur dari situ dengan meninggalkan peti mati yang
ada di dalam kamar hotel. Lelaki ini jadi bingung sendiri. Namun dalam
bingungnya masih ada sekelumit pikiran cerdik dalam otaknya.
Tio
Ki-pi tiba-tiba menjura dan sambil tersenyum dia berkata, "Hari ini
benar-benar aku Tio Ki-pi manusia tak berguna ini mendapat pelajaran
dari seorang yang rupanya tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Aku
menghaturkan hormat dan karena belum mengenal siapa adanya tayhiap harap
sudilah memberi tahu nama dan gelaran."
"Nama dan gelarku tak perlu dipersoalkan. Yang jelas aku adalah anggota kepercayaan dari pimpinan Hun-tiong Houw-mo…."
"Tadi pun tayhiap sudah menerangkan…."
"Nah,
kalau sudah tahu kenapa masih banyak tanya?" sentak Wiro. Sepasang
matanya mengawasi waspada karena mungkin manusia di depannya itu akan
melakukan serangan licik secara tiba-tiba.
"Maksudku cuma akan
meminta petunjuk lebih lanjut dari tayhiap. Jika tayhiap betul-betul
mendapat tugas mendampingiku dari pimpinan perkumpulan, baiklah kita
lupakan segala apa yang barusan terjadi. Mari kita masuk ke hotel, untuk
bicara lebih lanjut."
"Kunyuk ini mulutnya jadi begitu manis dan
sikapnya jadi baik sekali. Aku harus hati-hati," membatin Wiro. Dia
tetap tegak di tempatnya.
Tio Ki-pi yang sudah maju dua tindak
berpaling, "Tunggu apa lagi? Apakah tayhiap tidak percaya padaku?
Bukankah jika tayhiap mau kau dapat membunuhku dengan mudah seperti
membalikkan telapak tangan saja?!"
Wiro merenung sejenak.
"Tadi tayhiap bilang ingin mengetahui isi peti mati itu…" kata Tio Ki-pi pula.
Akhirnya
setelah menyimpan Kapak Naga Geni 212 di balik pinggangnya, Wiro
melangkah juga mengikuti Tio Ki-pi. Mereka memasuki hotel dari pintu
depan. Tio Ki-pi membuka pintu lebar-lebar, begitu sampai di dalam dia
mempersilahkan Wiro masuk. Baru saja Wiro berada di bawah pintu
tiba-tiba Tio Ki-pi dengan cepat bantingkan daun pintu keras-keras dan
terus menekannya dengan tangan kiri hingga Wiro Sableng tergencet antara
ujung daun pintu dan tonggak pintu!
Wiro tahu bahaya apa yang
mengancamnya dalam keadaan begitu rupa. Lebih-lebih ketika dilihatnya
Tio Ki-pi menggerakkan tangan kanan mencabut ruyung bajanya. Meskipun
senjata itu sudah semplak, namun kalau sampai kena dihantam tetap saja
Wiro akan menemui kematian!
"Bangsat licik!"’ teriak Wiro marah
sementara ruyung baja dilihatnya sudah tergenggam di tangan lawan, Wiro
kerahkan tenaga dalam dan segala kekuatannya untuk melepaskan diri dari
gencetan pintu. Tangan kirinya yang berada di sebelah dalam pintu tampak
memutih. Dia membentak garang dan hantamkan tangan kiri memapasi
pukulan deras ruyung naga lawan.
Pendekar 212 Wiro Sableng ternyata telah lepaskan pukulan "Sinar Matahari" yang terkenal kedahsyatannya itu.
Daun
pintu dan tiangnya pecah berantakan. Tio Ki-pi sendiri meraung
kesakitan. Tubuhnya terpental dan tersandar ke dinding ruangan depan
hotel. Tangannya sebatas lengan hitam hangus sedang ruyung bajanya
menggelinding di lantai.
Senjata ini kelihatan merah laksana digarang di atas api dan perlahan-lahan meleleh menghitam.
"Sekarang
pergilah kau ke akherat, anjing busuk!" sentak Wiro dan lepaskan lagi
pukulan Sinar Matahari. Namun dia kalah cepat. Sinar pukulannya hanya
melabrak musnah dinding ruangan sementara musuh dengan sebat telah lebih
dulu melompat melabrak jendela terus kabur dan lenyap di kegelapan
malam, Wiro mengomel setengah mati dan melompat hendak mengejar. Namun
kemudian dia ingat akan peti mati yang tentunya berada dalam satu kamar
di hotel itu. Maka dia pun putar langkah dan mulai memeriksa kamar demi
kamar.
Di salah satu kamar di tingkat bawah hotel akhirnya
ditemukannya jugs peti mati itu, menghitam dan misterius dalam
kegelapan. Karena di situ dilihatnya ada lampu minyak maka Wiro segera
menyalakannya. Kamar itu kini menjadi terang. Wiro melangkah mendekati
peti mati hitam. Setelah meneliti benda itu beberapa lamanya maka dia
mulai membuka pasak-pasak sekeliling peti itu.
Setelah pasak
ditanggalkan masih ada enam buah sekerup yang harus dibuka. Untuk ini
Wiro pergunakan kapak saktinya mendongket sekerup tersebut.
Perlahan-lahan
dan hati-hati karena tak mus:ahil benda itu dipasang alat rahasia, di
atas mula-mula kelihatan tumpukan jerami kering. Hati-hati pula Wiro
menyibakkan jerami ini. Di bawah jerami tampak tumpukan batu-batu bata
merah. Seluruh jerami disibakkan. Diperiksa sampai ke dasar ternyata
peti mati itu cuma batu bata melulu, lain tidak!
"Sial dangkalan!
Apa-apaan ini," Wiro menggerutu sendirian. Dia betul-betul tak mengerti.
Dia melangkah memutari peti mati itu sambil tiada henti menggaruk-garuk
kepala. Kalau cuma sebuah peti mati yang berisi batu-batu bata melulu,
apa perlunya sampai dikawal oleh seorang tokoh silat seperti Tio Ki-pi
dan Empat Golok Kematian? Bahkan sampai dua dari mereka mau mengorbankan
jiwa hanya karena peti mati sialan itu? Wiro jadi tak habis pikir.
Digeledahnya seluruh kamar itu namun tak menemukan apa-apa yang bisa
memberi petunjuk.
Tiba-tiba Wiro ingat pada salah seorang dari Empat
Golok Kematian yang masih tertotok kaku di luar sana. Segera
ditinggalkannya kamar itu. Tapi sampai di luar ternyata manusia yang
satu ini sudah lenyap. Kembali Wiro menggerutu seorang diri.
"Kalau
tidak si Tio Ki-pi itu, pasti kawannya yang satu yang telah melepaskan
totokannya lalu kabur sama-sama!" Wiro menduga dalam hati. Akhirnya
dalam bingungnya pendekar ini melompat ke atas kuda putih yang dicurinya
dari depan sebuah toko di kota Khay-hong lalu tinggalkan tempat
tersebut.
Kira-kira sejauh 20 lie memacu kuda putih itu, sepasang
telinga tajam Pendekar 212 lapat-lapat menangkap suara beradunya
senjata. Dihentikannya kudanya dan setelah memastikan dari arah mana
datangnya suara itu, Wiro turun dari kuda dan lari menuju sumber suara.
Suara beradunya senjata kini diiringi pula dengan suara gelak tertawa
dua orang lelaki yang ditimpali pula oleh suara bentakanbentakan marah
seorang perempuan.
"Manusia-manusia bangsat hina dina. Kalian harus bayar kekurangajaran kalian dengan nyawa masing-masing! Mampuslah!"
Terdengar
suara robekannya kain yang disusul oleh pekik perempuan. Wiro terjang
semak belukar di depannya. Begitu sampai di balik semak-semak diiihatnya
dua orang teiaki tengah mengeroyok se-orang dara berpakaian merah.
Salah seorang dari lelaki itu, yang bersenjatakan golok besar dengan
kelihayannya pergunakan ujung senjatanya untuk merobek-robek pakaian
sang gadis hingga tubuhnya yang berkulit putih halus kelihatan
tersingkap di mana-mana. Leiaki bergolok besar itu bukan lain adalah
orang kedua dari Empat Golok Kematian yang sebelumnya telah ditotok oleh
Wiro. Sedang lelaki yang satu lagi bukan lain adalah Tio Ki-pi alias
Thian liong pian!
"Ha… ha! Tiada disangka malam-malam buta begini
setelah ditimpa nasib sial tahu-tahu dapat rejeki begini besar," kata
Empat Golok Kematian penuh nafsu sedang Tio Ki-pi terus mendesak dengan
tangan kirinya tiada henti menjamahi dada dan bagian bawah perut sang
dara baju merah yang berada dalam keadaan tak berdaya itu. Lelaki ini
sama sekali tidak mempergunakan tangan kanannya karena ternyata tangan
kanan itu sampai sebatas siku telah buntung dan ini menimbulkan tanda
tanya dalam hati Wiro, apakah yang telah dilakukan manusia tersebut?
"Bangsatl
Kalau tidak dapat mencincang tubuhmu lebih baik aku bunuh diri," sang
dara baju merah membentak marah ketika lagi-lagi tangan kiri Tio Ki-pi
menjamah bagian bawah perutnya secara kurang ajar, sedang Tio Ki-pi dan
Empat Golok Kematian sendiri cuma ganda tertawa.
"Malam-malam buta begini apa pula yang terjadi di tempat ini?!" pikir Wiro.
Gadis
jelita berpakaian merah itu putar pedangnya dengan sebat. Namun sesaat
kemudian… "trang!" Golok besar orang kedua dari Empat Golok Kematian
berhasil memukul mental pedang si nona. Dan saat itu juga kedua lelaki
itu bersirebut cepat menubruk tubuh yang molek itu dengan penuh nafsu.
"Manusia-manusia
haram jadah ini memang sudah saatnya diberi petunjuk jalan ke neraka!"
kertak Wiro Sableng dengan marah. Didahului oleh satu bentakan keras dia
berkelebat ke depan.
***
5
SEBELUM
menuturkan jalannya perkelahian antara Wiro dengan Tio Ki-pi serta
anggota Empat Golok Kematian yang hendak melampiaskan nafsu bejat
terhadap gadis berpakaian merah, marilah kita ikuti dulu bagaimana kedua
manusia brengsek itu sampai berada di tempat tersebut dan secara
berbarengan mengeroyok sang dara.
Sehabis terkena pukulan "Sinar Matahari" yang dahsyat dari Wiro Sableng.
Tio
Ki-pi lantas kabur dari hotel. Begitu sampai di halaman luar dilihatnya
orang kedua dari Empat Golok Kematian tegak seperti patung di bawah
sebatang pohon. Sebagai orang yang sudah berpengalaman Tio Ki-pi tahu
apa yang terjadi dengan orang bayarannya itu. Segera dilepaskan totokan
yang mempengaruhi Empat Golok Kematian lantas melanjutkan melarikan
diri.
Bagi Empat Golok Kematian begitu bebas darI totokan tak ada hal lain yang dilakukannya dari pada ikut kabur menyusul Tio Ki-pi.
Kira-kira
lari sejauh sepuluh lie, Tio Ki-pi berhenti, nafasnya mengengah-engah.
Pemandangannya berkunang. Dia berpegangan pada pohon supaya tidak jatuh.
"Ada
apa?" tanya Empat Golok Kematian seraya memegang pundak Tio Ki-pi.
Begitu telapak tangannya menyentuh pundak lelaki itu detik itu pula
disentakkannya kembali saking kagetnya.
Pundak Tio Ki-pi dirasakannya laksana bara!
"Loya, tubuhmu panas sekalil"
"Aku
keracunan," desis Tio Ki-pi seraya mengangkat tangan kanannya yang
hitam hangus akibat keserempet pukulan "Sinar Matahari" sewaktu terjadi
perkelahian dengan Wiro di hotel tadi. Perlahanlahan dia duduk bersila
di tanah.
"Kelihatannya racun yang amat berbahaya," berkata Empat Golok Kematian.
Tio
Ki-pi tidak menyahut. Setelah menelan beberapa butir pil penolak dan
pemusnah racun, jago silat dari Ciatkang ini meramkan mata, atur jalan
darah serta alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Beberapa menit
berlalu. Tubuh dan wajah Tio Ki-pi telah basah oleh keringat. Namun hawa
panas pada tubuhnya tidak berkurang. Pucat pasilah kini wajah anggota
Hun-tiong Houw-mo ini.
"Tak ada jalan lain," desisnya seraya membuka
kedua mata dan menotok jalan darah pada bahu kanannya di empat bagian.
Kemudian dia berpaling pada Empat Golok Kematian dan berkata,
"Pinjamkan aku golokmu."
Empat Golok Kematian maklum apa yang hendak
dilakukan Tio Ki-pi. Memang cuma itulah satusatunya jalan untuk
menyelamatkan nyawa. Goloknya dicabut dari sarung dan diserahkan pada
Tio Kipi. Dengan menggigit bibir, Tio Ki-pi lantas tebaskan senjata itu
ke tangan kanannya. Sekali tebas saja putuslah lengan kanannya yang
keracunan pukulan sakti Wiro Sableng itu. Darah mengucur kemudian
berhenti.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Loya?" bertanya Empat Golok Kematian setelah beberapa lama berdiam diri.
Tio
Ki-pi sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa yang akan diperbuatnya
saat itu. Untuk pergi ke markas Hun-tiong Houw-mo dan melapor apa yang
telah terjadi pada pimpinan perkumpulan itu sama saja dengan
mengantarkan nyawa. Sebaliknya untuk kembali ke hotel dan menyelamatkan
isi peti dia tidak pula punya nyali karena sudah barang tentu Wiro masih
ada di sana.
Tiba-tiba Tio Ki-pi ingat pada seorang kenalan baiknya
yang berdiam kira-kira 10 lie dari tempat itu. Sang kenalan adalah salah
seorang anak murid Kun lun pay yang kini hidup sebagai guru silat di
Siu Kan. Dengan meminta bantuan tokoh tersebut beserta lusinan anak
muridnya masakan dia tidak dapat menghajar Wiro dan sekaligus
menyelamatkan peti mati tersebut. Memikir sampai di situ Tio Ki-pi
mendapat semangat dan harapan besar. Dia segera berdiri.
Saat itu
orang kedua dari Empat Golok Kematian berkata, "Loya, jika memang segala
sesuatunya sudah dianggap selesai maka kuharap aku dapat menerima
bayaran sebagaimana yang sudah ditetapkan. Aku tidak meminta semuanya,
setengah pun jadilah."
Tio Ki-pi melotot dan membentak, "Saat ini
bukan tempatnya untuk bicarakan soal uang! Masih hidup sudah lebih dari
untung! Ayo kau ikut aku ke Siu Kan!"
Sebenarnya orang kedua Empat
Golok Kematian ini sudah tak punya minat lagi untuk berurusan dengan Tio
Ki-pi. Apalagi mengingat dua saudaranya sudah mati sedang yang satu
lagi kabur entah ke mana. Namun untuk bentrokan dengan Tio Ki-pi
sekalipun manusia ini telah cacat, Empat Golok Kematian musti pikir dua
kali. Dalam pada itu Tio Ki-pi kembali membentak dengan kata-kata,
"Apakah kau tidak ingin membalaskan sakit hati kematian dua saudaramu?!"
Tanpa
menunggu jawaban orang di hadapannya itu karena dia tahu bahwa Empat
Golok Kematian akan mengikutinya Tio Ki-pi berkelebat meninggalkan
tempat tersebut. Udara malam terasa dingin. Kegelapan semakin memekat.
Kedua orang tersebut laksana hantu yang gentayangan di malam buta. Belum
sampai menempuh jarak 10 lie, Tio Ki-pi yang berpendengaran lebih tajam
dari Empat Golok Kematian tiba-tiba hentikan lari, lalu berlindung di
balik sebuah pohon besar sambil memberi isyarat pada Empat Golok
Kematian.
"Ada apa?" bertanya Empat Golok Kematian.
"Seseorang
mendatangi dari jurusan depan," sahut Tio Ki-pi seraya siapkan pukulan
sakti di tangan kanannya. Hati-hati. "Bukan tidak mungkin si rambut
gondrong yang di hotel itu!"
Beberapa detik menunggu muncullah orang
yang datang dari arah depan itu. Meskipun malam gelap namun karena jarak
mereka cukup dekat, baik Tio Ki-pi maupun Empat Golok Kematian segera
dapat mengenali bahwa orang yang ada di hadapan mereka adalah seorang
nona jelita berpakaian merah. Di balik punggungnya menyembul ujung
gagang pedang.
Melihat kenyataan bahwa yang muncul adalah seorang
gadis berparas cantik, Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian jadi saling
pandang dan saling maklum jalan pikiran serta perasaan masing-masing.
"Di
tempat sepi dan malam-malam begini Loya. Siapa yang bakal tahu. Asal
saja Loya tidak menyerakahinya sendirian…" bisik Empat Golok Kematian.
Tio
Ki-pi alias Thian liong-pian menyeringai. Dia memberi isyrat lalu
berseru, "Nonaku manis, malam-malam begini tengah menuju ke manakah?"
"Bukankah akan lebih baik jika aku ikut menemanimu?" menimpali Empat Golok Kematian.
Keduanya kemudian tertawa gelak-gelak.
Sang nona, begitu mendengar teguran kurang ajar tersebut bukan kepalang kagetnya. Tapi dia juga marah.
"Siapa kalian? Bangsa hantu apa dedemit yang minta dihajar?"
Tio Ki-pi dan pembantunya kembali tertawa gelak-gelak.
"Nonaku
yang cantik, jangan terlalu galak dan lekas marah. Kami berdua sudah
barang tentu manusia biasa seperti kau. Jika kau kepingin kenal maka aku
adalah Hoa seng, orang kedua dari Empat Golok Kematian. Sedang ini
Loyaku bernama Tio Ki-pi bergelar Thian liong pian…. "
Sang dara
tidak pernah mendengar nama Empat Golok Kematian dan juga Tio Ki-pi atau
Thian liong pian. Meskipun memiliki ilmu silat yang lumayan tingginya
namun karena jarang mengembara maka si nona kurang begitu kenal akan
nama-nama tokoh silat dalam dunia kangouw, baik dari golongan putih
maupun dari golongan hitam. Dan karena dia seorang yang bersifat berani
bahkan kadang-kadang suka nekad, kembali dia menghardik. "Tampaknya
kalian bukan bangsa manusia baik-baik. Lekas menyingkir jika tidak ingin
merasakan gebukanku!"
"Ah… ah… ah! Kataku juga jangan kelewat galak,
nona. Coba perkenalkan dulu siapa kau adanya. Ke mana tujuanmu. Nanti
kami berdua pasti bersedia mengantarkan kau…" yang bicara ini adalah Hoa
seng orang kedua dari Empat Golok Kematian. Dan sehabis berkata
demikian enak saja tangan kanannya mencuil dagu sang dara. Tentu saja
nona baju merah ini bukan kepalang marahnya. Cepat laksana kilat
tamparannya melayang menghantam muka Hoa seng dan sesaat membuat
laki-laki kurang ajar ini menjadi berkunang-kunang pemandangannya.
"Seumur
hidup baru kali ini aku ditampar perempuan. Tapi tak apa. Lumayan juga
oleh seorang nona cantik macammu," kata Hoa seng pula sambil
cengar-cengir, meringis dan tiba-tiba dilompatinya dara baju merah itu,
berusaha merangkulnya dengan bernafsu. Namun saat itu juga si nona sudah
menghantamkan tinjunya kepada Hoa seng, membuat lelaki ini terjajar
beberapa langkah ke belakang.
"Hati-hati, sobat. Dia galak dan punya
kepandaian silat yang bisa membuatmu konyol," kata Tio Ki-pi menyeletuk
dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mampir menjamah dada sang nona.
Kini
gadis berbaju merah itu jadi meluap amarahnya. "Sret!" Dia cabut pedang
dan begitu senjata ini keluar dari sarangnya, satu babatan
dikirirrikannya ke batang leher tokoh silat propinsi Ciat kang itu.
Serangan
sang nona yang demikian ganas pastilah akan membuat putus leher dan
menggelindingnya kepala Tio Ki-pi bilamana orang ini terlambat sedikit
saja mengelak. Namun di mata Tio Ki-pi, serangan ini hanya disambut
dengan tawa mengejek. Sekali dia bergerak, ujung pedang lewat dua
jengkal di samping kepalanya!
Melihat serangannya gagal, nona berbaju merah jadi semakin meluap amarahnya.
Tio
Ki-pi jadi kaget dan tersurut beberapa langkah. Tidak disangka kalau
sang nona memiliki kepandaian begitu rupa. Hendak disambutinya dengan
pukulan sakti dia merasa bimbang karena dia tak ingin mencelakai gadis
kepada siapa dia ingin melampiaskan nafsu bejatnya. Sesaat dia layani
serangan lawan dengan bergerak gesit kian kemari sambil sekali-sekali
menyerang dengan tangan kosong. Namun agaknya sang nona tak mau memberi
kesempatan dan dengan cerdik dia sengaja mengirimkan seranganserangan
dari jurusan kanan sehingga Tio Ki-pi yang tangan kanannya buntung
menjadi cukup kewalahan. Lelaki ini segera berikan isyarat pada Hoa-seng
dan bekas anggota Empat Golok Kematian ini segera memasuki kalangan
pertempuran setelah lebih dulu cabut golok kanannya.
Betapa pun
lihaynya ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis berpakaian merah namun
dikeroyok dua begitu rupa jurus demi jurus dia jadi terdesak. Bahkan
kedua lawannya dengan seenaknya mempermainkannya. Hoa seng pergunakan
goloknya untuk merobek pakaian gadis itu sedang Tio Ki-pi dengan kurang
ajar tiada hentinya menjamahi bagian-bagian tubuh tertentu dari si nona
dan pada puncaknya Hoa seng berhasil memukul mental pedang lawannya.
Dalam keadaan tak bersenjata gadis itu tentu saja betul-betul tak
berdaya lagi. Kesempatan ini memang yang diharapkan oleh Tio Ki-pi serta
Hoa seng. Serta merta keduanya menubruk gadis itu, siap untuk
melampiaskan nafsu bejat masingmasing. Dan justru pada saat itu pula
lah Wiro Sableng yang sampai di tempat kejadian itu, Wiro kertakkan
rahang.
"Bangsat rendah! Kalian bedua memang layak mampus detik ini juga!"
Setelah membentak begitu rupa secepat kilat dia menerjang ke depan.
Tio
Ki-pi seorang lihay yang berpendengaran tajam dan berotak cerdik. Dia
laksana mendengar halilintar ketika mengenal suara Wiro Sableng. Saat
itu dia tengah berguling-guling di tanah sambil merangkuli tubuh nona
berpakaian merah. Meski nafsunya sudah meluap-luap namun lebih penting
cari selamat. Secepat kilat dia melompat satu jotosan menyambar hanya
beberapa milimeter saja clad kepalanya. Di lain ketika Tio Ki-pi sudah
merapat ke balik pohon besar. Wiro lepaskan satu pukulan sakti. "Krak!"
Pohon itu patah dan tumbang tapi Tio Ki-pi lenyap.
Lain halnya dengan
Hoa seng. Meskipun dia juga dikagetkan oleh suara bentakan Wiro namun
dia bertindak agak ayal. Baru saja dia putar kepala, mendadak sontak
satu kepalan sudah menderu ke arah mukanya. Hoa seng hanya sempat
keluarkan seruan pendek karena sedetik kemudian "prak!" Mukanya hancur,
kepalanya rengkah. Otak dan darah berhamburan! Tamatlah riwayat orang
kedua dari Empat Golok Kematian ini.
Wiro garuk-garuk kepala. Dia
amat penasaran karena untuk kedua kalinya Tio Ki-pi anggota komplotan
Hun-tiong Houw-mo yang misterius itu masih bisa melarikan diri. Dengan
sebal dia balikkan tubuh. Tapi baru saja memutar tubuh tahu-tahu ujung
sebilah pedang sudah menempel di tenggorokannya. Tentu saja pendekar
kita jadi melengak kaget. Memandang ke depan ternyata sang nona yang
barusan ditolongnya itulah yang telah menodongnya dengan ujung pedang
tersebut!
"Heh, apa-apaan ini…!" ujar Wiro membeliak. Tapi sekali ini
dia bukan membeliak kaget melainkan membeliak bergetar menyaksikan
sepasang payudara sang nona yang putih membuntal padat, bersembul di
robekan-robekan bajunya!
***
6
DARA
berpakaian merah melintangkan lengan kirinya di atas dada untuk
menutupi auratnya yang terbuka karena bajunya yang robek-robek besar.
"Pencuri!
Jangan kira aku akan minta terima kasih padamu karena kau telah
menolong jiwa dan menyelamatkan kehormatanku. Lekas katakan di mana si
Putih!"
"Si Putih…? Si Putih apamu?!"
"Setan! Jangan pura-pura
tolot! Si Putih kudaku! Kau telah mencurinya sewaktu kutambatkan di
depart toko di Khay-hong! Katakan cepat di mana binatang itu!"
"Ah…!" Wiro ingat kini dan tertawa lebar.
"Jangan
cengar-cengir tak karuanl Kalau kuda kesayanganku sampai cedera sedikit
saja, apalagi kau jual, jangan harap nyawamu akan selamat! Di mana
binatang itu?!"
"Sabar Nona, sabar. Jangan terlalu galak. Mari kita bicara baik-baik."
"Dengan
seorang maling tengik macammu tak perlu bicara baik-baik?" jawab si
nona dan ujung pedangnya masih menempel pada kulit leher Wiro Sableng.
Meskipun mengatakan pemuda gondrong itu sebagai pencuri tengik namun
sang dara sesungguhnya sudah mengetahui kelihayan Wiro.
Pertama
sewaktu dia menangkis musnah serangan senjata rahasianya di kota
Khay-hong tadi pagi. Kedua ketika barusan dia menggebuk kepala Hoa seng
hingga konyol hanya dalam sekejapan mata saja! Di samping marah pada
dasarnya dia agak jeri juga pada pemuda itu. Karena itulah dia tak mau
ambil risiko dan tetap menodong Wiro dengan ujung pedangnya.
"Aku
memang mungkin bangsa maling tengik, pencuri picisan," kata Wiro sambil
senyum dan garuk-garuk kepalanya. "Namun percayalah Nona, aku mencuri
kudamu karena terpaksa…."
"Jangan bicara panjang lebar!" sentak sang dara.
Wiro ganda tertawa.
"Jika
kau bunuh aku, kudamu tak bakal ketemu lagi. Nah sekarang kau dengarlah
dulu. Pertama aku pun tidak butuh ucapan terima kasih darimu. Aku
berada di sini bukan untuk menolongmu, nona. Tapi karena memang mengejar
dua bangsat itu, cuma sayang satu masih bisa lolos…." Habis berkata
begitu Wiro lantas keluarkan kalung emas kepala harimau. "Coba kau
perhatikan kalung ini. Tanda dari komplotan yang menamakan diri
Hun-tiong Houw-mo. Manusia yang barusan kabur adalah anggota komplotan
tersebut."
Nona di hadapan Wiro mendelik kaget. "Aku tak percaya! Mungkin kau sendiri yang jadi anggota perserikatan dajal itu!"
Wiro
geleng-geleng kepala. "Sudahlah, susah bicara denganmu. Jika kau cari
kudamu, itu di sana di belakang semak belukar…." tak perduli Wiro
kemudian putar tubuhnya hendak meninggalkan sang dara. Justru si nona
bergerak cepat dan ajukan pertanyaan. "Kau mau ke mana?!"
"Eh…?" Wiro garuk-garuk kepala. "Aneh, kenapa kau tanya begitu?"
"Dengar! Komplotan Hun-tiong Houw-mo telah membunuh kakak lelakiku…."
"Yang
aku dengar," memotong Wiro. "… bukan hanya saudaramu saja yang jadi
korban, tapi banyak. Belasan gadis-gadis kabarnya diculik, entah untuk
dijadikan apa. Apakah kau kepingin diculik juga oleh komplotan itu!"
"Jangan
bicara ngaco belokl" sentak sang dara jengkel. "Kalau kau mau bekerja
sama denganku, aku tahu sedikit tentang komplotan itu…."
"Siapa sudi
bekerjasama dengan dara segalakmu? Lagi pula kau punya kepandaian apa?!"
Wiro sengaja mengejek hingga si Nona jadi penasaran banting-banting
kaki. Tangan kanannya bergerak dan putuslah dua kancing baju Wiro
Sableng.
"Ah… boleh juga ilmu pedangmu, Nona. Tapi aku sudah saksikan
sendiri tadi. Menghadapi dua pengeroyok itu kau tak mampu berbuat
apa-apa. Sekarang kau mau pinjam tanganku untuk membantumu menuntut
balas kematian kakakmu pada komplotan Hun-tiong Houw-mo karena kau sadar
tak bakalan mampu melakukannya sendiri. Sungguh cerdik otakmu, nona.
Tapi tak usah ya…?!"
Dara itu gigit bibirnya. Sepasang matanya
berapi-api. Rahangnya menggembung. Tanpa bilang apaapa lagi dia putar
tubuh dan melompat ke balik semak-semak. Begitu dilihatnya kuda putihnya
segera saja dia menaiki binatang ini dan meninggalkan tempat itu dengan
cepat. Sampai suara rintik kaki kuda putih lenyap di kejauhan barulah
Wiro berlalu pula dari situ.
***
Larinya
Tio Ki-pi setelah lolos dari lubang jarum kematian untuk kedua kalinya
dari tangan Pendekar 212 Wiro Sableng tak bedanya seperti orang lari
dikejar setan kepala tujuh! Hampir 20 lie dia lari terus menerus tanpa
memperdulikan ke mana arah tujuannya. Pakaian ungunya robek-robek
tersangkut semak-semak. Ketika nafasnya megap-megap dan lidahnya
terjulur keluar barulah lelaki ini hentikan larinya. Ternyata dia berada
di satu daerah berbukit-bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon kapas.
Lapat-lapat didengarnya suara air yang jatuh memercik menimpa batu. Dia
melangkah tertatihtatih ke jurusan itu. Ditemuinya sebuah sungai dan
air terjun kecil. Tio Ki-pi mencelupkan muka dan kepalanya dalam air
yang dingin itu,
kemudian meneguk air sungai sepuas hatinya. Tubuhnya
dibaringkan di tebing sungai. Memandang ke langit dia melihat susunan
bintang-bintang yang menunjukkan bahwa tak lama lagi malam akan
digantikan dengan pagi. Karena terlalu letih Tio Ki-pi akhirnya tertidur
pulas berselimutkan udara malam yang dingin.
Tio Ki-pi terbangun
oleh silaunya sinar matahari pagi yang jatuh menimpa wajahnya. Sambil
mengucak-ucak mata dia duduk. Ketika hendak membasuh mukanya dengan air
sungai tiba-tiba kakinya menginjak sehelai kertas. Ternyata kertas itu
bukan kertas biasa, melainkan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya.
Tio Ki-pi.
Hari ini juga kau harus segera kembali ke markas.
Tertanda
Hun-tiong Houw-mo
Surat itu ditulis dengan tinta merah dan tangan kiri Tio Ki-pi jelas
kelihatan gemetaran memegangnya. Dia tahu apa artinya kembali ke markas
itu. Hukuman telah menunggunya yang bakal dijatuhkan oleh pemimpin
komplotan. Jika dia melarikan diri, akan sanggupkah dia untuk
melenyapkan diri selamalamanya? Tapi dari pada mengantar diri
mentah-mentah ke markas komplotan, lebih mending kabur. Jika dia sampai
di satu daerah yang ratusan lie jauhnya masakan ketua Hun-tiong Houw-mo
dan anggota-anggotanya akan tahu kalau dia berada di situ?!
Memikir
demikian maka Tio Ki-pi lekas-lekas cuci muka dan mulutnya lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke timur, menjauhi markas Hun-tiong
Houw-mo yang terletak di sebelah barat. Selama dalam perjalanan itu Tio
Ki-pi senantiasa merasa tak enak. Nalurinya mengatakan bahwa ada
seseorang yang terus menerus menguntitnya. Dia tak dapat memastikan
siapa, namun yang jelas sang penguntit bukanlah Wiro Sableng. Karena
jika benar Wiro pastilah pemuda itu siang-siang sudah melabraknya.
Kadang-kadang
Tio Ki-pi hentikan perjalanannya dan mengambil jalan memutardengan
maksud hendak mengetahui siapa adanya penguntit tersebut. Namun tak
seorang pun dilihatnya. Sekali-kali jika dia sedang berlari kencang, dia
menoleh ke belakang. Tetap saja dia tak menampak siapasiapa. Diamdiam
jagoan dari propinsi Ciat kang ini menjadi mengkirik juga. Dia baru
merasa lega sedikit ketika memasuki sebuah kota kecil. Karena perutnya
lapar langsung saja dia masuk ke dalam sebuah warung makanan. Tatkala
pelayan datang menghidangkan pesanannya, sepasang mata Tio Ki-pi
membeliak menyaksikan segulung kertas yang menancap di atas tumpukan
nasi panas dalam mangkok.
Diambilnya gulungan kertas itu. Begitu dibuka tampaklah serentetan tulisan yang berbunyi:
Tio Ki-pi.
Apa kau kira kau bisa melarikan diri mencari selamat?!
Segera kembali ke markas atau kau akan mati dengan tubuh tercincang detik ini juga!
Atas nama Ketua,
Hun-tiong Houw-mo
Tengkuk Tio Ki-pi dingin laksana diguyur air es. Mukanya sepucat kertas.
"Siapa yang meletakkan kertas itu di sini?" bertanya Tio Ki-pi pada pelayan yang membawa hidangan.
Pelayan
itu geleng-geleng kepala. "Percayalah Loya, saya hampir tak melihat
siapa-siapa pun yang menancapkan kertas itu. Waktu dari dapur benda itu
belum ada…."
Pastilah seorang lihay, amat lihay yang telah
melakukannya. Kalau tidak masakan si pelayan sampai tidak mengetahui,
demikian Tio Ki-pi membatin. Semakin gelisah dia. Dia memandang seputar
ruangan. Di sudut sana duduk seorang lelaki muda berpakaian petani. Di
bagian lain seorang kakek berkumis putih. Tak ada orang lain yang
mencurigakannya. Tak mungkin pula kedua orang itu yang telah menancapkan
gulungan surat dalam nasi.
Karena seleranya boleh dikatakan saat itu
sudah tak ada lagi untuk makan, Tio Ki-pi lantas berdiri. Membayar
harga makanan dan keluar dari warung. Di depan warung dia memandang
berkeliling. Segala sesuatunya kelihatan biasa dan tenang-tenang saja.
Lelaki ini mengeluh dalam hati.
"Tak ada jalan lain. Terpaksa kembali ke markas. Mudah-mudahan saja ketua mau memberi ampun…."
Maka
Tio Ki-pi kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju ke sebelah
barat, ke jurusan di mana terletak markas komplotan Hun-tiong Houwmo.
***
7
PADA
malam gelap ketika Tio Ki-pi dan Empat Golok Kematian mengawal gerobak
misterius itu, hampir bersamaan waktunya, di sebuah jalan buruk
kira-kira 50 lie di selatan Khay-hong terlihat pula sebuah gerobak yang
ditarik oleh dua ekor kuda hitam, dipacu cepat ke jurusan utara.
Satu-satunya orang di atas gerobak ini adalah kusirnya sendiri. Adalah
satu hal yang luar biasa begitu kita mengetahui bahwa kusir gerobak itu
nyatanya adalah seorang nenek berambut putih berpakaian rombeng penuh
tambalan. Di bagian belakang gerobak terdapat timbunan jerami kering.
Meskipun
kuda-kuda penarik gerobak itu telah lari kencang sekali, namun si nenek
masih saja terus mendera punggung binatang-binatang ini dengan
cambuknya sehingga kedua kuda tersebut lari laksana dikejar setan.
Di
sebelah depan kini kelihatan daerah pegunungan yang menghitam dalam
kegelapan malam. Inilah yang dikenal dengan nama Hun-tiongsan. Memasuki
daerah pegunungan yang di sanasini terdapat jurang batu dalam dan
terjal, si nenek bukannya memperlambat lari gerobak, malah seperti orang
kesetanan kembali dia mencambuk kuda-kuda penarik gerobak itu!
Siapakah
adanya nenek-nenek yang demikian hebat dan berani luar biasa
mengemudikan gerobak di jalan buruk berbahaya dan dalam gelap gulitanya
malam begitu rupa? Untuk mengetahuinya mari kita ikuti saja ke mana
tujuan tua bangka misterius ini.
Kira-kira dua kali peminuman teh si
nenek sampai ke puncak Hun-tiong-san. Sebuah tembok menjulang hampir
sepuluh tombak tingginya. Bagian atasnya ditancapi dengan tombak-tombak
besi. Di salah satu bagian dari tembok ini terdapat sebuah pintu gerbang
bercat kuning yang pada kiri kanannya ada dua buah arca harimau tengah
mendekam terbuat dari emas murni! Meskipun belum diketahui bangunan atau
apa yang ada di belakang tembok tinggi tersebut namun sudah dapat
diduga kiranya puncak Hun-tiong-san inilah markas Huntiong Houw-mo atau
Siluman Harimau Dari Gunung Hun- tiong!
Si nenek berambut putih
hentikan gerobaknya di depan pintu gerbang kuning. Dengan gerakan cepat
dan enteng dia melompat turun, lalu bergerak mendekati arca harimau emas
di sebelah kiri. Salah satu jari tangannya dipergunakan hendak menekan
mata arca harimau emas yang sebelah kanan. Namun sebelum itu
dilakukannya tiba-tiba didengarnya suara bersiur dan ketika memandang
berkeliling si nenek jadi melengak. Tiga orang kakek-kakek berpakaian
paderi dilihatnya tahu-tahu sudah mengurungnya.
"Paderi dari mana
yang malam-malam buta begini masih gentayangan di luaran?!" si nenek
membentak bengis. Sepasang matanya menyorot galak.
Paderi yang di
tengah yang berambut panjang sedang dua kawannya sama-sama berkepala
gundul menyeringai dan keluarkan suara tertawa. Suara tertawanya ini
perlahan saja, tetapi si nenek rambut putih merasakan seolah-olah ada
satu kekuatan gaib yang mendorong dadanya hingga jika saja tidak
lekas-lekas teguhkan kuda-kuda kedua kakinya pastilah dia akan
terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Heh, paderi sialan ini nyatanya
memiliki tenaga dalam yang bisa disalurkan lewat suara!" membathin nenek
rambut putih dan melirik pada dua paderi lainnya sambil
menimbang-nimbang sampai setinggi mana pula kehebatan yang dua ini.
Paderi
berambut panjang mendongak ke langit, keluarkan sebuah buli-buli kecil
berisi anggur dan gluk… gluk… gluk. Setelah meneguk minuman itu tiga
kali berturut-turut dan menyimpan buli-buli kembali di balik jubahnya,
dengan masih mendongak dia membuka mulut, berkata, "Ada ujar-ujar yang
mengatakan hutang budi bayar budi hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Heh!
Kalian ini paderi-paderi gila dari mana sampai kesasar kemari?! Tahukah
kalian apa artinya jika ada orang-orang luar yang berani menginjakkan
kaki di puncak Hun-tiong-san ini?!"
Paderi rambut gondrong kembali tertawa sementara kedua kawannya tampak tidak sabaran.
"Kami
datang kemari bukan untuk mencari segala tahu. Tapi guna menagih hutang
nyawa! Beberapa waktu yang lalu kau telah membunuh seorang paderi dari
Siauw Lim-si secara kejam tanpa sebab lantaran. Karenanya pantas hari
ini kau mempertanggungjawabkannya!"
Nenek rambut putih mendongak dan
tertawa panjang. Sambil berkacak pinggang dia berkata, "Di puncak
Hun-tiong-san ini ada suatu ketentuan. Siapa-siapa orang luar yang
berani naik kemari berarti mampus! Bisa datang tak bisa pulang!"
"Segala
macam aturan bisa saja dibuatl Tapi yang kami perlukan adalah nyawa
busukmu!" menyahuti paderi botak di sebelah kanan. Namanya Tek Bun.
Si
nenek rambut putih kembali mengumbar suara tertawa. "Nyali kalian
sungguh besar. Apakah kalian akan maju berbarengan atau
sendiri-sendiri?"
"Bagi manusia laknat macam kau mengapa harus memakai segala macam aturan?!" sentak paderi rambut gondrong. Namanya Hoa keng.
"Hem…
bagus! Dengan demikian aku tak membutuhkan waktu lama untuk
menyingkirkan kalianbertiga. Memang sudah lama juga puncak Hun-tiong-san
ini tidak dibasuh dengan darah paderi tengik macam kalian…!"
"Hun-tiong-san!"
paderi botak yang di sebelah kiri dan bernama Tek Nyo. "Sudah lama kami
mendengar nama keji Hun-tiong Houw-mo. Hari ini agaknya sudah layak
nama itu dikubur untuk selama-lamanya. Dan kau warga komplotan terkutuk
itu yang bakal mampus duluan!"
"Paderi keparat! Jangan kelewat
takabur! Makan jariku ini!" Berteriak si nenek rambut putih dan
jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hijau berkiblat.
"Ilmu Jari Kelabang Hijau!" teriak paderi Tek Bun kaget. "…. Lekas menyingkir!"
Tapi peringatannya itu terlambat.
Di
sampingnya terdengar jeritan paderi Tek Nyo. Berpaling ke samping
kelihatan paderi Tek Nyo terbanting ke tanah. Sebagian tubuhnya menjadi
hijau gelap sedang kepalanya hancur. Otak dan darah berhamburan!
"Dan
ini untuk kalian berdua!" seru si nenek rambut putih seraya jentikkan
lagi-lagi jari tangan kanannya. Kembali lima larik sinar hijau menderu
ke arah dua paderi dari Siauw Lim-si. Tapi sekali ini serangan itu tidak
menemui sasarannya bahkan mendapat sambutan perlawanan yang hebat.
Begitu
melihat lima larik sinar hijau datang menyerang, paderi Hoa Keng
melompat ke samping seraya kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin deras
mendorong tubuh si nenek, membuat dia terhuyung beberapa langkah sedang
bagian dari serangan ilmu jari kelabang hijaunya terdorong ke samping.
Di
lain bagian begitu melihat serangan, paderi gondrong Tek Bun keluarkan
buli-buli anggurnya, teguk tiga kali berturut-turut kemudian
menyemburkan minuman ini ke depan. Meskipun cuma anggur namun
disemburkan dengan kekuatan tenaga dalam yang ampuh maka serangan benda
cair itu amat berbahaya. Sebagian dari ilmu jari kelabang hijau bukan
saja musnah malah semburan anggur itu terus menerobos dan menerpa tubuh
si nenek rambut putih! Perempuan tua ini melengak kaget menyaksikan
bagaimana pakaian rombengnya menjadi bolong seperti disundut rokok,
kulit tubuhnya menggerayang ngilu, namun untung saja dia mempunyai
semacam ilmu kebal hingga dia tidak menderita luka.
Baik paderi Hoa
Keng maupun Tek Bun diamdiam merasa kaget menyaksikan bagaimana
semburan anggur yang mengenai lawan hanya sanggup merobek pakaiannya
saja. Maka berbisiklah paderi Tek Bun pada kawannya yang ternyata lebih
tua. "Hoa Keng-twako, kita harus hati-hati. Tampaknya lawan bukan dari
tingkat sembarangan!" Habis berbisik begitu Tek Bun berikan isyarat dan
kedua paderi clad Siauw Lim-si ini kemudian menyerbu pula serentak
dengan hebatnya.
Nenek rambut putih rupanya sudah rnengukur pula
tingkat kepandaian lawan yang dua ini. Sejak dulu paderi-paderi dari
Siauw Lim-si memang terkenal kehebatannya. Karenanya dalam menghadapi
dua lawan tangguh itu si nenek keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu
silat. "Siluman Harimau" yang dipelajarinya dari Ketua Hun-tiong
Houw-mo.
Serangan dua paderi Siauw Lim-si menggebu-gebu tiada
olah-olah hebatnya. Setelah berkelebatan cepat selama dua jurus di mana
masingmasing pihak banyak dapat intai mengintai kelemahan dan kelengahan
musuh, di jurus ketiga si nenek rambut putih membuka serangan dengan
keluarkan jurus yang bernama Liong hun houw-hong atau "Awan Naga Angin
Harimau".
Dua paderi melihat seolah-olah udara malam yang gelap
semakin pekat menghitam dan serentak dengan itu terdengar lawan
keluarkan suara macam harimau menggereng, dan menyusul satu serangan
yang membawa angin laksana tiupan badai!
Untuk menghadapi serangan
dahsyat ini yang membuat tubuh dua paderi jadi tergontai-gontai paderi
Tek Bun sambut dengan jurus cian-bun-ki long atau "Menolak Serigala di
Depan Pintu" sedang paderi Hoa Keng menggebrak dengan jurus Po hun kian
jit atau "Menyibak Awan Memandang Matahari".
Kecamuk pertempuran di
jurus yang ketiga itu bukan kepalang. Tanah serasa bergetar.
Masingmasing lawan sama-sama merasa tertekan dan kemudian terlempar
sampai satu tombak!
"Tiada nyana dua paderi keparat ini memiliki ilmu
yang tangguh!" kata hati nenek rambut putih. Baru saja dia membatin
begitu tiba-tiba si nenek mendengar suara mengiang di kedua telinganya.
"Putih! Kau harus dapat melenyapkan dua paderi Siauw Lim-si itu dalam
tiga jurus. Jika tidak berhasil kau bakal terima hukuman potong salah
satu anggota tubuhmu!"
Suara yang mengiang itu datangnya dari arah
belakang tembok tinggi dan dilakukan oleh Ketua Komplotan Hun-tiong
Houw-mo. Pada masa itu di dunia kangouw hanya terdapat beberapa orang
tokoh yang memiliki ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh seperti itu.
Dari sini saja sudah dapat dibayangkan bagaimana tingginya tingkat
kepandaian Ketua Hun-tiong Houw mo dan di samping itu juga kentara
sekali bagaimana pula kebengisannya terhadap anak buahnya sendiri!
Nenek
rambut putih yang dipanggil dengan sebutan si Putih menjadi dingin
tengkuknya mendengar perintah pemimpinnya itu. Sambil berkelebatan kian
kemari dia berpikir, "Bagaimana aku dapat membunuh dua paderi ini hanya
dalam tempo tiga jurus saja? Sulit! Keduanya memiliki kepandaian yang
tinggi…."
Dalam pada itu kembali paderi Tek Bun dan Hoa Keng
melancarkan serangan-serangan berbahaya, mendesak nenek rambut putih ke
dekat pintu gerbang warna kuning.
"Baiknya aku hadapi mereka dengan
jurus hun in toan-san, lalu jurus jit gwat-bu kong kemudian baru kususul
dengan serangan ilmu jari kelabang hijau. Jika ini tidak membawa hasil,
celakalah. Biar aku terima nasib," demikian nenek rambut putih
membatin. Rupanya jurus-jurus silat yang hendak dikeluarkannya itu
adalah ilmu simpanan yang paling hebat. Satu jurus berlalu tanpa si
nenek mempunyai kesempatan untuk mulai menyerang karena dua paderi
menyerbunya dengan amat hebat.
Jurus berikutnya, didahului dengan bentakan menggeledek nenek itu keluarkan jurus hun-in toan-san (Awan Melintang Memutus Bukit).
Kehebatan jurus ini segera terlihat karena bagaimana pun dua paderi
Siauw Lim-si memburu lawannya namun di antara mereka tetap saja terdapat
jarak tertentu yang memisah hingga setiap serangan yang dilancarkan
tidak pernah sampai. Selagi dua paderi itu merasa heran campur
penasaran, si nenek keluarkan jurus berikutnya yaitu jit-gwat-bu-kong
atau "Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar".
Paderi Tek Bun dan
kawannya tiba-tiba merasakan tempat sekelilingnya menjadi amat gelap dan
mereka tak dapat melihat di mana musuh mereka berada. Selagi keduanya
kebingungan begitu rupa tahu-tahuj lima larik sinar hijau berkiblat di
depan mata, demikian cepatnya hingga dua paderi ini tidak sempat
menyelamatkan nyawa masing-masing. Mereka cuma sanggup berteriak. "Ilmu
Jari Kelabang Hijau!" Dan sedetik kemudian keduanya roboh ke tanah, mati
dengan kepala hancur dan hangus hijau!
Nenek rambut putih menghela
nafas lega. Dia membalikkan tubuh, mendekati arca harimau emas di pintu
gerbang sebelah kiri. Ketika mata sebelah kanan dari harimau ini ditekan
maka pintu gerbang kuning pun terbuka. Si nenek lompat ke atas gerobak
dan membedal binatang penarik gerobak itu masuk melewati pintu gerbang.
Begitu gerobak masuk pintu gerbang kuning menutup dengan sendirinya.
Di
belakang tembok tinggi di puncak Hun tiong-san itu ternyata terdapat
sebuah bangunan besar yang keseluruhannya dilapisi emas hingga meskipun
malam hari bangunan yang seperti istana itu kelihatan memancarkan sinar
berkilau yang amat menakjubkan. Di mana-mana terdapat arca berbentuk
kepala harimau.
Dua orang berpakaian putih menyambut kedatangan si
nenek dan langsung membawa gerobak ke bagian belakang bangunan emas
sedang nenek rambut putih sendiri masuk ke dalam gedung besar lewat
pintu depan.
Di sebuah ruangan yang amat bagus, di atas satu kursi
emas duduklah seorang gadis berparas amat jelita. Dia mengenakan pakaian
sutera warna merah. Seuntai kalung emas kepala harimau tergantung di
lehernya. Di atas kepalanya yang berambut hitam terdapat sebentuk
mahkota emas yang ditaburi intan berlian. Meskipun wajahnya cantik
rupawan, namun sepasang matanya kentara sekali membersitkan sinar
kebengisan yang menggidikkan. Manusia inilah, yang menjadi Kepala
Komplotan Hun-tiong Houw-mo yang selama beberapa bulan terakhir ini
telah menebar anak-anak buahnya di seluruh pelosok untuk menimbulkan
kekacauan, melakukan perampokan dan pembunuhan serta penculikan hingga
menggegerkan dunia kangouw.
Di sekeliling Ketua Hun-tiong Houw-mo
berdiri beberapa orang gadis yang kesemuanya berparas cantik pula,
masing-masing mengenakan pakaian sutera warna ungu, biru dan kuning.
Nenek
rambut putih menjura di hadapan Ketua Hun-tiong Houw-mo. "Dewi tugas
telah kuselesaikan. Harap petunjuk dari Dewi lebih tanjut."
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil dengan sebutan "Dewi" itu anggukkan kepalanya sedikit.
"Betulkan dulu pakaian dan tampangmu, baru bicara!" sang Dewi membuka mulut. Suaranya tinggi angkuh.
Nenek
rambut putih tanggalkan pakaiannya yang kotor compang camping, tarik
rambut palsunya yang berwarna putih talu membuka topeng tipis yang
menutupi wajahnya.
Ternyata dia adalah seorang gadis berparas cantik
sekali, berambut panjang hitam yang digulung dan mengenakan pakaian
sutera warna putih! Di lehernya tergantung kalung emas kepala harimau!
***
8
DI ANTARA
pembantu-pembantu utama Ketua Hun-tiong Houw-mo yang kesemuanya adalah
daradara berparas jelita maka dara berpakaian putih inilah yang paling
cantik dan mendatangkan sedikit rasa iri dalam diri yang lain-lainnya.
Setelah
memandang wajah gadis itu seketika maka bertanyalah Dewi Hun-tiong
Houw-mo, "Koankoan, apakah dalam perjalanan kau ada bertemu dengan Tio
Ki-pi?"
"Tidak satu pun di antara mereka kutemui, Dewi," jawab si Putih Koan-koan.
Baru saja dia menjawab demikian tiba-tiba dari luar terdengar seseorang berseru, "Dewi, aku Tio Ki-pi datang menghadap!"
Sesaat
kemudian masuklah Tio Ki-pi alias Thian liong-plan. Dia menjura di
hadapan Ketua Huntiong Houw-mo yang duduk di kursinya dan memandang
tajam pada tangan kanan Tio Ki-pi yang kini kelihatan buntung.
"Dewi,"
kata Tio Ki-pi kemudian sambil berlutut jatuhkan diri, "Mohon maafmu
karena aku tidak berhasil menyelamatkan gerobak itu. Bahkan Empat Golok
Kematian yang kusewa untuk membantu mengawal, tiga di antaranya telah
menemui aja!!"
"Sejak semula aku sudah tahu kalau kau tidak mampu
mengamankan dan menjalankan tugas. Masih untung aku berlaku cerdik,
menyuruh Si Hitam ling-ling untuk membawa gerobak asli yang berisi emas
rampokan milik Kaisar Boan. Kalau kuserahkan tanggung jawab padamu,
pasti ludaslah semua emas itu!"
"Ja… jadi Dewi sudah mengetahui semua…?" tanya Tio Ki-pi dengan suara gemetar dan muka seputih kain kafan.
Ketua
Hun-tiong Houw-mo menyeringai. Matanya kelihatan berapi-api. "Aku sudah
menerima laporan lengkap tentang tindak tanduk kegagalanmu! Ling-ling,
keluarlah kemari!"
Sebuah pintu terbuka. Seorang kakek berkumis putih
melangkah masuk dan menjura di hadapan Dew! Hun-tiong Houw-mo. Sepasang
mata Tio Ki-pi terbelalak. Jika dia tidak salah kakek ini adalah yang
pernah dilihatnya tempo hari di rumah makan di sebuah kota kecil di mana
dia kemudian menerima sepucuk surat panggilan dari Ketua Hun-tiong
Houw-mo yang ditancapkan di mangkuk nasi!
"Jadi… kiranya dia…. Celakalah aku!" keluh Tio Ki-pi.
Kakek
berkumis putih tanggalkan pakaian luarnya dan tarik topeng tipis yang
menutupi wajahnya. Nyatanya kini dia adalah seorang dara rupawan yang
mengenakan pakaian sutera hitam, salah satu pembantu Dewi Siluman
Harimau. Dari Hun-tiong!
"Tio Ki-pi, tahukah kau apa kesalahanmu?!"
Tio
Ki-pi menyembah-nyembah dan seperti anak kecil dia merengek menangis:
"Dewi aku yang hina ini mohon pengampunanmu. Semua terjadi di luar
kemampuanku…."
Ketua Hun-tiong Houw-mo cuma ganda tertawa. "Pertama
kau telah gagal menjalankan tugas untuk membawa gerobak itu ke sini,
sekalipun itu hanyalah gerobak yang bukan berisi emas karena yang asli
telah kuperintahkan pada Koan-koen untuk membawanya kemari. Kesalahan
kedua setelah menemui kegagalan kau berniat untuk melarikan diri tapi
rencanamu itu diketahui oleh si Hitam Ling-ling. Pembantuku ini telah
memberi surat peringatan agar kau kembali, ke markas dengan segera.
Namun kau tidak acuhkan malah nekad hendak terus lari. Itu kesalahanmu
yang ketiga!"
"Dewi, betapa pun juga kasihanilah selembar nyawaku
ini. Jika saja kau mau memberikan tugas baru untukku pasti akan
kulakukan dengan berhasil."
"Bagaimana kalau tugas baru itu adalah menyuruh kau membunuh dirimu sendiri…?"
Tio
Ki-pi merasakan nyawanya seolah-olah sudah terbang saja saat itu.
Apakah kau masih merasa pantas mengenakan kalung kepala harimau lambang
tertinggi dari Hun-tiong Houw-mo itu?" ketua Komplotan membentak.
Tio
Ki-pi buru-buru membuka kalung emas kepala harimau yang tergantung di
lehernya, kalung pertanda sebagai komplotan Hun-tiong nouw-mo. Benda ini
kemudian diletakkannya di hadapan sang Dewi.
"Kesalahanmu terlalu
besar untuk diampuni Tio Ki-pi," berkata Dewi Siluman Harimau dari
Gunung Hun-tiong itu. Tampangnya menjadi bengis total dan pandangan
matanya membersitkan maut. Dia bertepuk tiga kali dan berseru, "Seret
dia ke kamar penyiksaan. Gantung kaki ke atas kepala di atas tong bara
menyala!"
"Dewi!" seru Tio Ki-pi seraya berlutut dan menggerung.
Namun saat itu tiga orang pembantu sang Dewi yang juga merupakan
murid-murid berkepandaian tinggi sudah melompat ke muka, mengurung Tio
Ki-pi.
Dalam takutnya yang sudah sampai pada puncaknya dan dalam
keadaan tidak berdaya untuk selamatkan diri, Tio Ki-pi menjadi nekad.
Lari tidak mungkin, minta pengampunan juga tidak bisa. Dari pada mati
disiksa lebih dulu, lebih baik menyabung nyawa. Dan kebencian serta
kemarahan yang meluap bekas tokoh utama dari propinsi Ciat kang ini
tertumpah keseluruhannya pada Dewi Siluman Harimau yang duduk dengan
mimik bengis di atas kursi kebesarannya.
"Dewi atas semua kesalahan
aku rela menerima hukuman," kata Tio Ki-pi dengan suara bergetar sambil
maju beberapa tindak mendekati Ketua Hun-tiong Houw-mo itu. Diam-diam
dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri, "Namun sebelum aku
menjalani hukuman itu ada satu rahasia besar yang kurasa perlu
kuterangkan padamu…."
Kening Ketua Hun-tiong Houw-mo mengerenyit.
"Rahasia apa? Katakan lekas!"
"Begini,
Dewi…" kata Tio Ki-pi pula dan dia maju lagi dua langkah. Jaraknya
dengan Ketua Komplotan Siluman Harimau itu hanya terpisah setengah
tombak kini. "Di puncak Hun-tiong-san ini…." Tiba-tiba dengan kecepatan
luar biasa, dengan mempergunakan jurus yang dinamakan Teng miaou kin
thian atau "Kucing Sakti Terkam Tikus", Tio Ki-pi lancarkan satu
hantaman dahsyat dengan tangan kirinya.
Para pembantu Ketua Hun-tiong
Houw-mo berseru kaget namun Ketuanya sendiri kelihatan tenang-tenang
saja di kursinya. Sesaat lagi pukulan sakti itu akan menghancur-leburkan
sang Dewi, gadis cantik ini dengan senyum maut bermain di bibir angkat
tangan kanannya.
"Naik!" seru Ketua Hun-tiong Houw-mo. Dan hebat
sekali, angin pukulan Tio Ki-pi tadi terdorong penuh sedang tubuh Tio
Ki-pi sendiri tiba-tiba terangkat ke udara sampai dua tombak. Dan ketika
sang Dewi memukulkan telapak tangannya ke pegangan kursi, maka jatuhlah
tubuh Tio Ki-pi ke lantai dengan keras. Kepalanya pecah, otak
berantakan, darah menghambur!
Beberapa pelayan mengangkat mayat Tio
Kipi, yang lainnya membersihkan lantai. Kemudian Ketua Hun-tiong Houw-mo
memandang berkeliling pada murid-muridnya yang berjumlah lima orang
itu,
"Aku mendapat firasat bahwa kita sekarang ini berada dalam
keadaan yang tidak menyenangkan kalau tak mau dikatakan berbahaya.
Pertama orang-orang Kaisar Boan sudah barang tentu menyelidiki
perampokan segerobak emas yang kits lakukan itu. Lambat laut
bagaimanapun juga pasti mereka akan mengetahui bahwa kitalah yang telah
melakukannya. Kita tak perlu takut akan serbuan balatentara Boan kemari
karena kita mempunyai banyak senjata rahasia. Namun jika Kaisar Boan
meminjam tangan orang-orang kangouw, kita akan cukup direpotkan oleh
mereka. Hal kedua adalah munculnya seorang pemuda asing sebagaimana yang
diterangkan oleh si Hitam Ling-ling dan si Putih Koan-koan. Dapat
dipastikan bahwa pemuda itulah yang bernama Wiro Sableng, yang telah
menghancurkan Empat Golok Kematian dan mencelakai Tio Ki-pi. Mata-mata
kita selanjutnya memberi tahu bahwa pemuda itu kini tengah mencari tahu
di mana letaknya markas kita. Hal ketiga yang paling berbahaya ialah
lenyapnya Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun dari penjara Liang
Akhirat dan matinya Siang-mo-kiam. Saat ini mungkin dia belum tahu letak
markas kita. Tapi cepat atau lambat dia pasti akan mengetahui juga!"
Dewi
Ketua Hun-tiong Houw-mo itu diam sejenak. Kemudian melanjutkan
kata-katanya, "Karenanya, sebelum tiga hal itu menjadi kenyataan yang
berbahaya, ada beberapa tugas yang harus kalian lakukan! Pertama, kau
Ling-ling harus menambah dan menebar sejumlah mata-mata untuk
memperhatikan gerak-gerik pasukan Kaisar. Kemudian kau si Biru Bwe Bwe
mencari tahu di mana adanya Pendekar Pedang Akhirat Long Sam kun. Kau si
Ungu Lan-Lan dan si Kuning Ni-nio mendapat tugas membuat alat-alat
rahasia baru di sekitar puncak Hun-tiong san ini. Tugas terakhir pada si
Putih Koan-koan ialah membunuh pemuda asing yang bernama Wiro Sableng
itu. Untuk itu kau harus berangkat saat ini juga, yang lain-lain tunggu
pemberitahuanku lebih lanjut!"
Dara berpakaian sutera putih bernama Koan-koan menjura dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.
***
9
SAMBIL
bersiul-siul membawakan lagu tak menentu Pendekar 212 Wiro Sableng
melangkah lenggang kangkung. Kadang-kadang sesungging senyum muncul di
ujung bibirnya. Saat itu bukan dia tidak tahu kalau sudah sejak tadi ada
seseorang yang mengikutinya dari belakang dalam jarak tertentu. Namun
pura-pura tak tahu dia jalan terus memasuki rimba belantara di kaki
bukit yang menurut keadaannya mungkin belum pernah didatangi manusia
sebelumnya.
Di satu tempat tiba-tiba laksana seekor burung, dengan
gesit dan tanpa suara sama sekali dia melompat ke sebuah cabang pohon
yang tingginya hampir tiga tombak. Di sini dia mendekam di balik
rerumputan daun dan menunggu. Tak lama kemudian di bawah sana dilihatnya
ranting-ranting dan semak-semak bersibakan dan sesosok tubuh menyeruak
mencari jalan.
Pendekar kita tersenyum. Dia memang sudah menduga dari
semula. Orang yang mengikutinya itu ternyata adalah gadis cantik yang
tempo hari dicuri kudanya. Cuma sedikit yang menimbulkan tanda tanya
dalam hati Wiro di mana gadis itu meninggalkan kudanya dan dari mana
pula dia mendapat pesalin pengganti pakaian merahnya yang dulu
robek-robek. Tepat ketika sang dara yang kini berpakaian putih ringkas
dan rambut digulung di atas kepala sampai di bawah pohon.
Wiro melayang turun hingga si nona menjadi kaget.
"Ah,
sungguh menyenangkan dapat bertemu denganmu kembali, Nona. Kurasa kau
pun demikian pula bukan?" Wiro menegur sambil garuk-garuk kepala dan
cengar-cengir.
"Siapa sudi bertemu dengan kau!" sang dara melengos.
"Eh, kalau tak sudi ketemu kenapa dari pagi tadi kau diam-diam mengikuti? Bukankah itu maksudnya pingin ketemu…?"
Si Nona tadi merah wajahnya karena jengah.
"Nah, sekarang ringkas saja, Nona. Kenapa kau mengikutiku?"
"Aku tak mengikutimu, hanya kebetulan saja kita satu jurusan dan kau di sebelah depan."
"Begitu? Baiklah. Sekarang kau silahkan jalan di sebelah depan dan aku di belakang!"
Nona
itu kelihatan geregetan sekali mendengar kata dan melihat tingkah Wiro.
"Dengar," katanya serius. "Kau dan aku mempunyai kepentingan yang sama.
Kita sama menuju gunung Hun-tiong di mana markas komplotan Hun-tiong
Houw-mo berada. Kau tak tahu jalan dan aku butuh bantuan. Sekali lagi
kutawarkan bagaimana kalau kita kerja sama?"
Wiro merenung sejenak lalu tersenyum.
"Aku kurang begitu percaya padamu. Sebelumnya kau hendak menebas batang leherku. ingat?"
"Itu… itu karena kau telah mencuri kuda kesayanganku dan… dan…."
"Sudahlah,
Nona, kalau kau kepingin jalan sama-sama denganku aku tak keberatan.
Tapi sesampainya di Hun-tiong san kita urus persoalan sendiri-sendiri…."
"Aku belum pernah bertemu laki-laki sesombongmu!" desis nona itu.
"Aku belum pernah bertemu gadis secantikmu!" jawab Wiro pula dan membuat si nona jadi betulbetul kepingin menggebuk pemuda itu.
"Kau…
kau terlalu…" kata gadis itu perlahan dan menggigit bibirnya
keras-keras agar air matanya jangan sampai keluar karena rasa kesal yang
amat sangat itu.
Wiro jadi kasihan juga melihat gadis itu.
"Sudahlah, aku tadi cuma bergurau. Bagaimana persoalannya sampai saudara laki-lakimu dibunuh oleh komplotan Hun-tiong Houw-mo?"
"Suatu
hari dia diculik oleh anggota komplotan itu, hendak dipersembahkan pada
Ketua Hun-tiong Houw-mo yang kabarnya seorang gadis berparas jelita
tetapi mempunyai nafsu terkutuk luar biasa dan suka menyimpan
pemuda-pemuda gagah di markasnya. Jika dia sudah bosan, pemuda-pemuda
itu dibunuhnya satu persatu dan cari yang lain…."
"Jadi Ketua Hun-tiong Houw-mo itu adalah seorang gadis, seorang perempuan?"
Sang dara mengangguk.
"Seorang gadis cantik dan berkepandaian tinggi luar biasa."
"Aneh…" Ujar Wiro.
"Apa yang aneh?"
"Jika
dia berkepandaian tinggi dan banyak tokoh-tokoh persilatan yang jatuh
di tangannya sedangkan usianya demikian muda, sejak umur berapa dia
sudah menguasai ilmu silat dan kesaktian?"
"Aku pun tidak mengerti,"
menyahut si nona. "Kira-kira sebulan sesudah saudaraku diculik, mayatnya
ditemukan dalam keadaan rusak di pinggiran kota…."
"Bagaimana kau tahu bahwa komplotan Hun-tiong Houw-mo yang membunuhnya?!" tanya Wiro pula.
"Ada piauw kepala harimau dari emas menancap di keningnya."
Wiro manggut-manggut.
"Bagaimana sekarang?" si nona ajukan pertanyaan.
"Apa yang bagaimana?"
"Kau masih tak mau bekerja sama denganku?"
"Apa yang kau ketahui tentang Hun-tiong Houw-mo?" balik bertanya Wiro.
"Pertama aku tahu jalan terpendek ke puncak Hun-tiong san tanpa diketahui oleh penghuni markas komplotan itu."
"Tapi
kabarnya markas komplotan itu dipagari dengan tembok luar biasa
tingginya sedang di pelbagai tempat penuh dengan senjata rahasia!"
"Itu
adalah persoalan kedua," jawab si nona. "Semasa kecil aku sering diajak
kakek guruku ke puncak Hun-tiong san. Waktu itulah kutemui sebuah
terowongan rahasia yang jika diikuti akan sampai di salah satu bagian
dalam halaman markas Hun-tiong Houw-mo…."
"Ah, itu bagus sekali!" ujar Wiro. "Lantas apa lagi yang kau ketahui…."
"Di
samping Ketua Hun-tiong Houw-mo yang terkenal sakti itu, di sana
terdapat juga beberapa orang pembantunya yang terdiri dari gadis-gadis
cantik dan rata-rata berkepandaian tinggi!"
"Lain hal…?"
"Tak ada lagi yang kuketahui."
Wiro usap-usap dagunya. "Kau belum menerangkan siapa namamu, Nona."
Kembali paras sang dara menjadi merah. Tapi dia menyahut juga. "Panggit aku Pek Lan…."
"Pek Lan…? Ha, kalau tak salah itu artinya Anggrek Putih! Nama yang bagus! Nah sekarang
mari kita sama-sama lanjutkan perjalanan…. "
"Kau silahkan jalan duluan," kata Pek Lan pula. "Eh, bagaimana ini? Katanya bekerja sama, jalan sama-sama tidak mau…!"
"Jalan saja duluan, aku tunjukkan arah dari belakang. Sekeluarnya dari rimba ini, puncak Hun-tiongsan akan segera terlihat!"
Wiro
tarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala. Akhirnya dia melangkah
juga. Pek Lan mengikutinya sejauh lima belas langkah di belakang.
Ketika
hampir akan keluar dari hutan belantara itu tiba-tiba Wiro tersentak
kaget menyaksikan pemandangan beberapa langkah di hadapannya. Seorang
nenek-nenek tak dikenal, berambut putih berpakaian compang-camping duduk
menjelepok di tanah. Di tangannya ada sepotong ranting kering. Dengan
ranting ini dia menggurat-gurat tanah.
Gerakan tangannya acuh tak
acuh dan tampaknya perlahan saja namun guratan yang terlihat di tanah
demikian dalamnya tanpa mempergunakan tenaga dalam yang tinggi tak bakal
seseorang mampu melakukan hal itu.
Wiro sudah mengetahui baik di
tanah airnya maupun di Tiongkok, orang-orang atau tokoh persilatan itu
banyak yang bersifat aneh. Karenanya dia sudah menduga kalau nenek tak
dikenal ini pun tentu salah seorang dari tokoh-tokoh golongan aneh itu.
Maka menjuralah dia dengan penuh hormat dan menegur dengan lembut.
"Nenek
tua rambut putih, maafkan siauwte mengganggu ketentramanmu. Sudilah
nenek memberi jalan sedikit agar aku dapat melanjutkan perjalanan."
Sementara
itu Pek Lan yang mengikutinya, dari belakang, begitu melihat ada orang
lain di depan, cepat hentikan langkah, menyelinap ke balik semak belukar
dan menghilang.
Anehnya, ditegur oleh Wiro si nenek seolaholah tak
mendengar dan terus saja menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting
kering. Memikir kalau-kalau pendengaran si nenek kurang baik maka Wiro
menegur lagi. Kali ini dengan suara lebih keras.
Si nenek tiba-tiba
angkat kepalanya. Kelihatan jelas kini wajah yang mengeriput. Di lain
pihak Wiro melihat bagaimana sepasang mata si nenek bening bercahaya,
bukan seperti mata seorang yang sudah lanjut usia. Si nenek sendiri
begitu matanya membentur wajah Wiro, hatinya tercekat dan dalam hati dia
membatin, "Ah… tak kusangka kalau yang harus kubunuh ini seorang pemuda
asing berparas gagah meskipun tindak tanduknya macam orang tolol dan
lucu…. " Kemudian nenek ini cepat-cepat tundukkan kepalanya kembali.
Pandangan mata Wiro Sableng membuat hatinya bergetar.
"Nenek, beri jalan padaku…. " Wiro berkata lagi.
Tiba-tiba
si nenek melompat. Mimiknya jadi bengis dan dia membentak garang.
"Bangsat, kapan aku kawin dengan kakekmu kau panggil aku nenek!"
Mendengar
ini Wiro hendak meledak tawanya. Tapi batal karena sambil membentak
dilihatnya si nenek tusukkan ranting kering di tangannya ke arah dada
Wiro. Meskipun cuma sepotong ranting kering namun bisa mendatangkan maut
karena dialiri tenaga dalam yang hebat. Wiro berkelit ke samping dan
menghantam dengan tangan kanannya.
"Buk!"
Pukulan tepi telapak
tangannya tepat mengenai lengan si nenek. Ranting terlepas mental dan si
nenek menggigit bibir menahan sakit. Wiro sendiri merasakan tangannya
seperti kesemutan. Diam-diam pendekar ini kaget juga dan mulai berlaku
lebih hati-hati.
"Aku tiada permusuhan denganmu Nenek, kenapa kau menyerangku?"
"Mulutmu terlalu kurang ajar. Orang sepertimu pantas dilenyapkan!"
"Eh, bukankah kau yang duluan bicara segala macam kawin dengan kakekku. Kau yang buktinya bermulut usil, Nek!"
Si
nenek yang bukan lain adalah si Putih Koan-koan sebenarnya merasa geli
juga mendengar ucapan Wiro itu, namun berhubung dia mendapat tugas dari
ketuanya untuk membunuh pemuda asing ini, maka itu tak dapat
ditawar-tawar lagi. Dia tahu kalau pemuda itu dikabarkan memiliki
kepandaian tinggi dan telah sanggup membunuh Siang Mo Kiam, dua anggota
komplotan Hun-tiong Houw-mo yang berkepandaian tinggi. Karenanya dalam
serangan kedua dia sengaja keluarkan jurus hun-in toan-san (Awan Melintang Mernutus Bukit) yakni jurus pertama yang sebelumnya telah mengantar kematian dua paderi Siauw lim-si berkepandaian tinggi itu.
Wiro
kaget ketika melihat bagaimana seolah-olah lawan dipisahkan oleh satu
jarak gaib yang tak bisa dicapainya padahal si nenek kelihatan dekat
saja di depan matanya.
"Ah, nyatanya kepandaiannya cuma rendah saja,"
kata nenek rambut putih alias Koan-koan begitu melihat jurus yang
dikeluarkannya itu membuat lawan tidak berdaya. Segera dia keluarkan
jurus kedua yakni "Matahari Dan Rembulan Tidak Bersinar" atau
jit-gwat-bu-kong.
Ketika menghadapi jurus aneh yang pertama tadi Wiro
memang terkesiap namun itu bukanlah berarti dia menjadi tak berdaya
seperti yang disangka oleh Koan-koan. Secepat kilat tangan kanannya
mendorong ke depan melancarkan pukulan sakti bernama "Benteng Topan
Melanda Samudera".
Setiup angin bertiup dengan dahsyat seolah bumi
ditiup badai. Kini Koan-koanlah yang menjadi kaget. Bukan saja dia tak
mendapat kesempatan untuk mengeluarkan jurus "jit gwat-bu-kong" tetapi
jurus "hun-in-toan-san"nya pun dilabrak musnah sedang dirinya sendiri
terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Melihat lawan nyatanya
memiliki kepandaian tinggi, tidak serendah yang diduganya, Koan-koan
menjadi marah dan naik pitam. Baginya jika menghadapi lawan seperti ini
hanya ada satu pilihan, dia yang bakal konyol atau lawan yang akan
meregang nyawa. Karenanya Koan-koan tanpa tunggu lebih lama lagi segera
keluarkan kesaktiannya yang paling tinggi yaitu "Ilmu Jari Kelabang
Hijau".
Ketika Pek Lan yang mengintip di balik belukarmelihat si
nenek rambut putih jentikkan lima jarinya yang disusul dengan
berkiblatnya lima larik sinar hijau yang menggidikkan maka dara itu
tersentak kaget dan berseru memperingati Wiro. "Saudara, awas! Itu
pukulan Ilmu Jari Kelabang Hijau yang ganasl Lekas menyingkir!"
Wiro
tertegun mendengar peringatan itu sedang Koan-koan sendiri
terheran-heran karena tak menyangka kalau ada orang ketiga di tempat
itu.
Karena belum tahu sampai di mana kehebatan Ilmu Jari Kelabang
Hijau, Wiro turuti juga peringatan Pek Lan, menyingkir dua langkah ke
samping dan menghantam dengan pukulan "Angin Puyuh", tapi apa lacur,
pukulan sakti yang dialiri setengah bagian tenaga dalamnya itu ternyata
punah dilabrak sinar hijau pukulan lawan. Di lain kejap sinar hijau
terus menyambar ke arah Wiro.
Pek Lan menjerit kaget, "Celaka!" dan
dia sendiri tidak punya kemampuan untuk menolong Wiro. Meskipun demikian
dia cabut pedangnya dan menyerang ke arah Koan-koan seraya membentak
garang.
"Nenek keparat, jadi kau adalah salah seorang dari pembantu
ketua Hun-tiong Houw-mo terkutuk itu! Jangan coba mungkir sekalipun kau
bisa menyamar jadi setan! Hanya orang-orang dari Hun-tiong san yang
memiliki ilmu laknat itu!"
Koan-koan sendiri sebenarnya mengeluh dan menyesal dalam hatinya telah lepaskan pukulan
Ilmu
Jari Kelabang Hitam yang ganas yang dilihatnya telah membuat si pemuda
tak berdaya dan bakal meregang nyawa. Pada dasarnya dia tak ingin
membunuh pemuda yang menarik hatinya ini. Namun untuk menarik pukulan
tersebut sudah kasip dan dalam pada itu satu serangan pedang dari
seorang gadis cantik tak dikenalnya datang pula dari samping, membuat
dia terpaksa berkelit, selamatkan batang lehernya.
Melihat pukulan
tangkisannya musnah Wiro kaget sekali dan sebelum sinar hijau melabrak
kepalanya pendekar ini hantamkan tangan kirinya ke atas. Selarik sinar
putih menyilaukan berkelit ganas dan terdengarlah suara berdentum!
Nenek
rambut putih atau Koan-koan mencelat mental sampai tiga tombak. Dengan
jungkir balik susah payah baru dia bisa berdiri di atas kedua kakinya.
Dadanya terasa sakit dan jari-jari tangannya seperti hendak putus.
Wajahnya sepucat kain kafan. Sedang di depannya Wiro Sableng dilihatnya
berdiri tegak dengan kaki melesak ke tanah sampai sedalam sepertiga
jengkal. Di bagian lain beradunya dua pukulan sakti itu telah membuat
Pek Lan terbanting ke samping dan jatuh duduk di tanah. Tapi gadis ini
cepat bangun kembali. Pungut pedangnya dan kembali menyerbu Koan-koan.
"Bangsat
dari Hun-tiong san! Kau harus tebus nyawa kakakku dengan nyawa
anjingmu!" Pedangnya berkelebat. Tapi saat itu Koan-koan yang sudah
maklum tidak bakal sanggup menghadapi Wiro sudah putar langkah dan
hendak kabur. Cuma sayang Wiro lebih cepat menghadangnya.
"Nenek manis, kau mau merat ke mana? Makan dulu jariku ini."
Sekali totok saja nenek rambut putih alias Koan-koan tertegun jadi patung, tak bisa bergerak lagi!
"Hem, sekarang mampuslah!" seru Pek Lan. Pedangnya turun laksana kilat. Koan-koan hanya bisa pejamkan mata terima nasib.
"Pek Lan tahan dulu!" Wiro tiba-tiba berseru dan memegang lengan Pek Lan.
Gadis
ini coba berontak. "Apa-apaan kau! Bangsat ini adalah musuh besarku,
yang telah membunuh kakakku! Musuh besar setiap orang-orang golongan
putihl Kenapa kau cegah aku membunuhnya?"
"Sabar dulu Pek Lan. Dari dia kita bisa mengorek beberapa keterangan penting…. "
"Aku tak butuh segala macam keterangan! Aku butuh nyawanya!" sentak Pek Lan.
"Itu
bisa kau lakukan nanti. Tapi aku pun mempunyai kepentingan sendiri,"
tukas Wiro pula. Dia berpaling pada si nenek rambut putih dan bertanya,
"Betul kau anggota Hun-tiong Houw-mo?"
"Terlu apa itu ditanya !agi!
Lihat aku akan buktikan sendiri!" kata Pek Lan dan dengan kedua
tangannya dirobeknya pakaian luar Koan-koan. Kini kelihatan pakaiannya
sebelah dalam, pakaian ringkas warna putih sedang di lehernya tergantung
kalung emas kepala harimau. "Dan ini tampang iblis ini yang asli!" seru
Pek Lan selanjutnya seraya menanggalkan topeng tipis dari wajah
Koan-koan, Wiro sampai ternganga bengong waktu menyaksikan wajah di
balik topeng nenek-nenek buruk keriput tadi ternyata adalah paras yang
demikian jelitanya!
"Nona, aku tak mengerti. Kau demikian cantik. Kenapa menyia-nyiakan hidup dengan masuk menjadi anggota Hun-tiong Houw-mo?"
Ditegur oleh Wiro selembut itu, Koan-koan jadi sesenggukan dan tak dapat lagi menahan air matanya.
"Eh, kenapa jadi menangis?" tanya Wiro.
"Awas, jangan sampai kita termakan tipunya!" ujar Pek Lan tetap bernafsu.
Wiro
bertanya sekali lagi. Sekali ini Koan-koan membuka mulut memberi
keterangan dengan terisak-isak, "Aku dan juga empat kawanku yang lain
tak pernah menginginkan untuk hidup sebagai murid Ketua Hun-tiong
Houw-mo. Kami semua terpaksa. Diculik beberapa tahun yang silam dan tak
mungkin lagi keluar dari genggaman Ketua kami kecuali kalau kami ingin
buru-buru mati!"
"Bangsat! Kau pandai main sandiwara! Toh kau yang menculik dan membunuh kakakku!?"
"Apakah kakakmu itu masih muda…?" tanya Koan-koan dengan pandangan rawan.
"Ya."
"Orang-orang
muda ditangani sendiri oleh Ketua kami. Dia yang menyuruh culik
kemudian dia pula yang membunuhnya bila telah bosan. Aku dan kawan-kawan
hanya menjalankan tugas secara terpaksa karena kami tak punya daya."
"Kenapa tidak melarikan diri?!" bertanya Wiro.
"Tak ada gunanya. Kami akan segera tertangkap dan disiksa seumur-umur…."
"Apakah kau punya niat untuk kembali ke jalan yang benar?" Wiro tanya lagi.
"Aku
dan juga kawan-kawan selalu mengharapkan hal itu. Namun sampai saat ini
kesempatan itu belum ada. Kalaupun ada tokoh golongan putih tentu
siang-siang sudah membunuh kami. Padahal mereka banyak yang tidak tahu
kehidupan kami yang boleh dikatakan tersiksa batin sepanjang hari…."
"Siapakah namamu Nona?"
Koan-koan menerangkan namanya.
"Dengar, jika kami berdua membebaskan kau saat ini…."
"Siapa sudi melepaskan dial" Pek Lan nyerobot.
Wiro memberi isyarat agar gadis itu diam.
"Rupanya kau sudah tertarik pada kecantikannya Wiro! Kau akan ditipunya dan kelak akan dibunuhnya!"
Wiro
tak perdulikan kata-kata Pek Lan. "Dengar Koan-koan," katanya. "Segala
apa yang terjadi antara kita bisa dilupakan, dan kami berdua mengampuni
dirimu. Tapi dengan syarat kau harus membantu kami. Dan kelak mengajak
pula kawan-kawanmu kembali ke jalan yang benar. Bertobat dan hidup
secara baik-baik."
Koan-koan tertawa rawan. "Seolah-olah mimpi ini
semua bagiku," katanya. Lalu, "Kau belum tahu siapa Ketua Hun tiong
Houw-mo. Jika kau bermaksud hendak memusnahkannya itu adalah satu
kesiasiaan belaka…"
"Kita harus coba dan kau musti membantu. Menghadapi kita beramai-ramai masakan dia bisa menang…?"
Koan-koan menghela nafas dalam. "Baiklah, aku berjanji. Tapi apakah kau percaya pada diriku?"
Wiro
memandang sepasang mata sang dara. Dan pandangan keduanya saling
bertemu. "Aku percaya padamu!" kata Wiro lalu lepaskan totokan
Koan-koan.
Begitu Wiro tepaskan totokan Koan-koan, Pek Lan kontan
berkata, "Mulai saat ini aku tak mau kenal lagi padamu, Wiro! Kau dengan
urusanmu dan aku dengan urusanku!"
"Pek Lan, kau mau ke mana?" seru Wiro. Namun gadis yang keras hati itu sudah berkelebat pergi. Wiro cuma geleng-geleng kepala.
"Adatnya keras…" kata Wiro.
"Kekasihmu…?" bertanya Koan-koan.
Wiro
berpaiing. Sepasang mata mereka kembali saling bertemu. Koan-koan
merasakan dadanya berdebar dan perlahan-lahan tundukkan wajahnya. Wiro
gelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kuharap kau betul-betul dapat dipercaya dan tidak menipuku," berkata Wiro.
Koan-koan
angkat wajahnya yang jetita. "Asalkan kau bersungguh hati membawaku ke
jalan yang benar, kau suruh apa pun aku pasti akan melakukan."
"Apakah
kau akan lakukan jika aku meminta kau menciumku saat ini?" kata Wiro
pula bergurau. Tapi di luar dugaan Koan-koan melompat ke muka, memeluk
pemuda itu dan mencium sang pendekar pada kedua pipinya.
"Aku sudah buktikan!" kata Koan-koan pula meski wajahnya bersemu merah.
Wiro
usap-usap kedua pipinya. "Aku tadi cuma bergurau. Tapi tak apa…. Ini
pertama kali seorang gadis menciumku lebih dahulu. Terima kasih untuk
ciumanmu itu…"
"Di lain hari aku akan memberikan lebih dari…!" kata
Koan-koan dengan setulus hatinya. Entah mengapa dia demikian terpikat
pada si gondrong yang baru beberapa saat saja dikenalnya itu.
"Aku akan lebih berterima kasih," jawab Wiro pula. "Nah, sekarang mari kita atur siasat."
***
10
KEADAAN
terowongan rahasia seperti yang diketahui Pek Lan di masa
kanak-kanaknya ternyata kini sudah jauh berubah sejak puncak
Hun-tiong-san dipergunakan sebagai markas oleh komplotan Huntiong
Houw-mo. Perubahan-perubahan ini telah menyesatkan Pek Lan dan tanpa
diketahuinya beberapa kali dia telah menyentuh alat-alat rahasia di
dalam terowongan itu.
Melihat adanya tanda dari alat-alat rahasia,
Dewi Siluman Harimau segera memberi perintah pada dua orang murid atau
pembantunya yakni si Ungu Lan-lan dan si Biru Bwe-bwe. Meskipun Pek Lan
memiliki ilmu pedang yang tidak rendah, namun menghadapi kedua gadis
tangguh itu, dengan hanya mempergunakan tangan kosong dalam tempo dua
jurus dia sudah kena diringkus dan dihadapkan pada Dewi Siuman Harimau.
"Nona,
parasmu cantik dan keberanianmu patut dipuji untuk bernyali masuk ke
sarang kematian ini. Siapakah namamu dan bagaimana kau bisa tahu
terowongan rahasia di bawah tanah itu?!" Ketua Hun-tiong Houw-mo ajukan
pertanyaan.
Pek Lan yang memang seorang gadis pemberani, apalagi
dihantui dendam kesumat kematian saudaranya tegak berkacak pinggang
diapit dan diawasi oleh si Biru Bwe-bwe dan si Ungu Lan-lan.
Ditanya bukannya dia menjawab, malah balas bertanya dengan sikap congkak nada sinis,
"Hemm..,
jadi inilah Ketua Hun-tiong Houw-mo yang dipanggil dengan sebutan Dewi
itu?" Pek Lan kemudian tertawa panjang. "Tampangmu juga cantik. Cuma
sayang hatimu lebih busuk dari comberan dan kejahatanmu lebih ganas dari
iblis."
"Dewi! Biar kurobek mulut gadis kurang ajar ini!" teriak si Hitam Ling-ling.
Ketua
Hun-tiong Houw-mo lambaikan tangan dan berkata, "Nyalinya cukup
mengagumkan Ling-ling. Dan potongan tubuhnya menunjukkan bakat silat
yang bagus. Kau ada harapan untuk kujadikan murid serta pembantuku
seperti nona-nona yang lain ini."
Pek Lan keluarkan suara mendengus dari hidung. "Aku datang kemari bukan untuk menghambakan diri pada iblis macammu ini!"
"Lantas, apa perlumu datang kemari dan lewat terowongan rahasia segala?"
"Untuk mencincangmu. Kau bertanggung jawab atas penculikan dan kematian kakak laki-lakiku."
"Apakah kakakmu yang bernama Oel Siong Ang itu…? Ah, dia sungguh cakap dan amat pandai melayaniku di atas tempat tidurt"
"Perempuan
cabul! Mampuslah!" teriak Pek Lan marah sekali dan melompat ke muka
hendak kirimkan tendangan ke kepala Ketua Hun-tiong Houw-mo. Namun
maksudnya ini tidak kesampaian karena Ling-ling dan Lan-Ian cepat
mencegahnya.
"Dewi, sebaiknya gadis binal ini buru-buru saja disingkirkan. Kalau tidak bisa bikin berabe…!" berkata Bwe-bwe.
"Menyingkirkannya
soal mudah, muridku. Tapi bagaimana pendapatmu kalau mukanya kita
cincang hingga wajahnya yang cantik menjadi lebih buruk dan seram dari
muka setan sehingga seumur-umur tak satu pemuda pun ingin
mendekatinya…."
"Perempuan gila!" sentak Pek Lan. "Jika kau punya nyali mari kita bertempur sampai seribu jurus!"
"Gadis
sundel!" si Hitam Ling-ling, memaki. "Kau andalkan apakah berani bicara
sombong terhadap Ketua kami? Membunuhmu jauh lebih mudah dari pada
membalikkan telapak tangan!"
"Hitam dan Biru! Seret dia ke kamar
penyiksaan!" Dewi Siluman Harimau berteriak. Namun sebelum kedua
muridnya melakukan hat itu tiba-tiba dari luar berkelebat satu bayangan
putih dan tahutahu si Putih Koan-koan sudah tegak di ruangan itu. Di
bahunya dia memanggul sesosok tubuh pemuda berpakaian putih. Begitu
melihat pemuda ini Pek Lan keluarkan seruan tertahan. Si pemuda yang
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng! Saat itu Koan-koan telah
mengenakan kembali pakaian samarannya dan topeng tipisnya. Dia
meletakkan sosok tubuh Wiro di lantai, menjura di hadapan sang Ketua dan
berkata, "Dewi, tugas telah kujalankan, cuma mohon dimaafkan agak
menyimpang sedikit dari yang diperintahkan. Semula Dewi menugaskan agar
aku membunuh pemuda ini, namun ketika melihat dia memiliki paras yang
cukup gagah maka dalam perkelahian aku cuma menotoknya lalu membawanya
kemari dengan harapan siapa tahu Dewi berkenan padanya!"
Ketua
Hun-tiong Houw-mo kerenyitkan kening. Sepasang alis matanya naik ke
atas. Dia bangkit dari kursi emas dan melangkah mendekati sosok tubuh
Wlro. Dongan ujung kakinya yang dibungkus dengan kasut sutera merah dia
membalikkan kepala Wiro untuk dapat menilai wajah pemuda itu lebih
jelas. Ternyata tampang Wiro memang membuat dia terpikat.
"Ah… aku
memang belum pernah dapat pemuda asing. Kelihatannya dia kuat sekali!"
Sang Dewi tertawa dikulum dan meneguk ludahnya beberapa kali lalu dengan
gembira menepuk-nepuk bahu Koankoan yang saat itu sudah menanggalkan
pakaian luar serta topeng tipisnya. "Kau memang muridku yang bijaksana
dan banyak berjasa. Panjang pikiran dan tahu bagaimana kesenangan guru
serta Ketuamu ini! Bagus sekali Koan-koan, bagus sekali. Kau gotonglah
dia ke kamar tidurku sekarang juga…."
Baru saja sang Dewi berkata
demikian tiba-tiba hampir tak kelihatan sepasang tangan Wiro bergerak
laksana kilat menangkap salah satu kaki Ketua Hun-tiong Houw-mo itu. Di
lain kejap terdengar satu bentakan dan tubuh sang Dewi mencelat mental
ke udara! Semua orang terkejut bukan kepalang.
Ketua Hun-tiong
Houw-mo kelihatan jungkir balik tiga kali di udara kemudian tegak di
lantai kembali. Wajahnya merah laksana bara. Sepasang matanya
berapi-api, menatap pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di
samping Koan-koan sambil satu tangan tolak pinggang, tangan lain garuk
kepala dan tertawa gelak-gelak.
"Tiada dinyana ketua Hun-tiong Houw-mo begini cantiknya dan pandai main akrobat pula!" kata Wiro masih terus tertawa-tawa.
"Jadah!
Koan-koan kau berani menipuku! Kau telah bersekongkol untuk
mengkhianatiku hah?!" Ketua Hun-tiong Houw-mo meluap amarahnya bukan
kepalang. Dia berpaling dan berteriak, "Ringkus murid murtad itu! Aku
akan hadapi bangsat bernama Wiro Sableng ini!"
Melihat kawan-kawan
atau saudara seperguruannya hendak bergerak, Koan-koan cepat berseru,
"Saudara-saudaraku tunggu dulu! Bukankah kita sudah sejak lama tersiksa
hidup di puncak Hun-tiong san ini? Bukankah kita sejak lama ingin
meninggalkan tempat celaka ini dan menempuh hidup di dunia luar secara
wajar dan baik? Bukankah kita sering menyadari bahwa apa yang kita
lakukan dan diperintahkan oleh Dewi semua bertentangan dengan hati kecil
kita dan perikemanusiaan? Apakah akan kita rusakkan lebih jauh hidup
kita yang cuma sekali ini di dunia? Hari inilah saat yang kita
tunggutunggu untuk mendapat kehidupan bebas yang kits rindukan. Hari
ini kebenaran akan menghancurkan malapetaka yang bersumber di puncak
Hun-tiong san ini! Mari, ikutlah bersamaku untuk kembali pada hidup yang
benar dan keluar dari azab neraka ini!"
Mendengar kata-kata
Koan-koan yang penuh semangat itu, empat saudara seperguruannya jadi
bimbang. Melihat ini marahlah Ketua Hun-tiong Houw-mo. Dia berteriak,
"Lekas bunuh murid murtad Itu. Kalau tidak kalian berempat akan mendapat
hukuman berat!"
Empat murid sang Ketua semakin bingung.
"Kesempatan
ini hanya sekali, saudara-saudaraku! Kalau sampai luput, kalian akan
celaka sampai di liang kubur!" berseru Koan-koan.
"Aku si geblek yang bernama Wiro Sableng ini akan membantu kalian!" Wiro pentang mulut.
"Aku juga!" teriak Pek Lan.
"Murid
jadah! Kau layak mampus duluanl" Kemarahan Ketua Hun-tiong Houw-mo tak
terkendalikan lagi. Sekaligus dia jentikkan lima jari tangan kanannya
yang sudah dialiri seluruh tenaga dalam yang ada ke arah Koan-koan.
Gadis ini berseru tegang dan secepat kilat menyingkir. Dalam pada itu
Wiro telah lepaskan pukulan Sinar Matahari yang membuat istana emas itu
laksana dilabrak geledek. Satu dentuman terdengar. Semua orang yang ada
di sini terpental ke samping sedang salah satu dinding ruangan yang
terbuat dari emas meleleh dan berlobang besar!
Ketua Hun-tiong
Houw-mo kaget bukan kepalang. Ternyata pemuda asing itu memiliki tenaga
dalam yang tidak berada di bawahnya. Namun dia sama sekali tidak gentar.
Dengan satu lengkingan nyaring dahsyat dia menerjang ke depan. Begitu
cepatnya dia berkelebat hingga hanya bayangan , merah
pakaiannya saja yang kelihatan.
"Buk!"
Satu
jotosan melabrak dada Wiro Sableng, Pendekar ini terpental sampai satu
tombak. Darah kental kelihatan meleleh di sebelah bibirnya. Melihat ini
Koan-koan jadi bergeming. Jika sampai Wiro kalah oleh Ketuanya pastilah
dia bakal celaka pula. Dia melirik pada saudara-saudaranya. Sampai saat
itu mereka masih tertegun dalam kebimbangan.
Melihat serangannya
berhasil Ketua Hun-tiong Houw-mo kembali melabrak ke depan, sosok
tubuhnya tak kelihatan. Kali ini Wiro bertindak gesit karena ternyata
lawan memiliki ilmu yang disebut Pek-pian-mo-ing atau Seratus Bayangan
Iblis! Hal ini diketahui Wiro dari Koan-koan. Untung saja dia telah
mendapat tambahan kekuatan tenaga dalam dan ginkang dari orang tua
misterius yang berjuluk Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun itu, kalau
tidak pastilah dia bakal celaka. Mengingat si orang tua tersebut,
setelah menelan sebutir obat, Wiro segera hadapi musuhnya dengan jurus
silat yang pernah dipelajari dari kakek itu yakni jurus yang bernama
"Cip-hian-jay-hong" atau "Tiba-tiba Muncul Pelangi".
Ketua Hun-tiong
Houw-mo itu tersurut saking kagetnya ketika menyaksikan lawannya
keluarkan jurus tersebut bahkan kemudian mendesaknya dengan jurus yang
dikenalnya bernama "Lo han-cianyau" atau "Malaikat Menundukkan Siluman".
"Bedebah!"
seru Ketua Hun-tiong Houw-mo seraya menyambut dengan jurus "Pit bun ki
khek" atau "Menutup pintu Menolak Tetamu", meskipun dia tahu jurus
tersebut tak mungkin sanggup menangkis serangan lawan. "Ada sangkut paut
apa kau dengan Pendekar Pedang Akhirat?! Ayo lekas jawab!"
"Ini
jawabanku!" kata Wiro pula dan mainkan jurus terakhir setelah dua jurus
pertama sanggup menghantam Ketua Hun-tiong Houw-mo yang tangguh itu.
Jurus ketiga ini bernama "Kui gok-sin ki" atau "Setan Meratap Malaekat
Menangis". Sang Dewi merasakan pemandangannya tertutup dan sebelum dia
sempat menjauhkan diri, dua buah pukulan telah menghantam di tubuhnya,
membuatnya tak ampun terguling-guling di lantai tapi hebatnya segera
pula bangkit berdiri meskipun dengan terhuyung-huyung dan muka pucat
yang menandakan dia terluka di dalam.
Dewi Siluman Harimau itu
tiba-tiba berteriak garang. Kedua tangannya bergerak ke pinggang dan
sesudah itu hampir tak kelihatan kapan dia melemparkannya, sepuluh piauw
emas beracun berbentuk kepala harimau meluncur pesat ke arah Wiro.
Dari
Koan-koan Wiro sudah mengetahui kehebatan senjata rahasia ini,
jangankan sampai menancap di tubuh, sedikit saja kulit sampai keno
diserempet pastilah korbannya akan meregang nyawa. Karenanya tanpa
tunggu lebih lama Wiro segera lepaskan pukulan "Dewa Topan Menggusur
Gunung" .
Kehebatan pukulan ini membuat geger. Bukan saja ke sepuluh
piauw emas beracun mencelat mental tapi sebagian langit-langit gedung
dan sebagian dinding amblas sedang lebih ke atas lagi atap bangunan
ambruk, salah satu tiang besar patah. Gedung yang berlapiskan emas itu
bergetar dahsyat laksana diguncang gempa. Koan-koan, Pek Lan, dan
murid-murid Dewi Siluman jatuh berkaparan di lantai sedang Wiro dan sang
Dewi sendiri tergontai-gontai untuk beberapa lamanya. Wajah sang Dewi
sepucat kertas kini. Jika pemuda asing itu tidak lekas dapat dibunuhnya
pasti dia bakal celaka pikirnya. Maka diputuskannyalah untuk
mengeluarkan ilmu simpanannya yang terakhir yakni ilmu siluman atau ilmu
sihir (hoatsut) yang selama ini tak satu orang pun sanggup menandingnya.
Koan-koan,
begitu melihat mulut gurunya berkomat-kamit dan sepasang matanya
laksana dikobari nyala api, dengan ilmu menyusupkan suara segera memberi
peringatan, "Awas, dia akan segera mengeluarkan ilmu sihir silumannya!
Hati-hati!"
Mendengar ini Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212.
Namun sebelum dia sempat mempergunakan, di depan sana Ketua Hun-tiong
Houw-mo sudah membentak, "Naik!"
Wiro merasakan kedua telapak kakinya
tidak lagi menginjak lantai. Tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas.
Dengan sekuat tenaga dia coba bertahan. Satu pukulan sakti yakni pukulan
"Sinar Matahari" dilepaskan ke arah lawan kemudian menyusul dia
kiblatkan senjatanya. Namun dua serangannya itu hanya mengenai tempat
kosong dan merusak gedung yang bagus itu sedang lawannya sendiri sudah
lenyap dari hadapannya.
Ketika Wiro berpaling ke kiri, segulung asap
membuntal ke arahnya. Sedetik kemudian asap itu berobah menjadi satu
makhluk raksasa, badan manusia berbulu sedang kepala harimau bertampang
ganas dengan taring-taring luar biasa besarnya. Binatang ini menggereng.
Bangunan itu terasa bergetar. Koan-koan serta gadis-gadis lainnya
sama-sama menjauhkan diri dengan perasaan ngeri.
"Pemuda itu tak akan sanggup memusnahkan ilmu siluman dari Ketua…" bisik si Hitam Ling-ling dengan menggigil.
"Rampas
kapak itu!" Dewi Siluman Harimau memberi perintah pada makhluk
sihirnya. Makhluk ini kembali menggereng dan sekali dia bergerak
Kapak
Naga Geni 212 di tangan Wiro sudah kena dirampas. Wiro memukul dengan
pukulan "Segulung Ombak Menerpa Karang", namun pukulan itu seolah-olah
lewat di tempat kosong, tidak menimbulkan apa-apa pada diri manusia
raksasa kepala harimau. Wiro keluarkan keringat dingin. "Celaka sekarang
mampuslah aku!" keluh pendekar ini.
Dan kembali terdengar Ketua Hun-tiong Houwmo memberikan perintah, "Bunuh dia dengan kapak itu."
Makhluk
sihiran itu menggereng dan mengangkat tangan kanannya yang memegang
kapak tinggitinggi. Wiro melompat selamatkan diri seraya lepaskan
pukulan "Sinar Matahari", tapi tak mempan dan dalam pada itu tangan kiri
raksasa kepala harimau itu telah mencengkeram pundaknya hingga dia tak
bisa berkutik lagi.
Ketua Hun-tiong Houw-mo tertawa meninggi. "Bunuh," teriaknya.
Kapak Naga Geni 212 membacok turun ke arah batok kepala Wiro Sableng.
"Celaka,
betul-betul aku mampus juga akhirnya…. " Wiro cuma bisa membathin
demikian dan tutupkan mata siap menerima kematian dengan tabah.
Justru
di saat yang amat kritis itu terdengar satu suara berseru, "Siok Eng!
Ilmu menakuti anak-anak apakah yang kau keluarkan ini!"
Selarik sinar
biru yang dingin melesat dari atas reruntuhan atap. Makhluk kepala
harimau menggereng. Kapak Naga Geni 212 lepas dari tangannya dan detik
itu pula sosok tubuhnya lenyap punah!
Jika ada orang yang paling
kaget di tempat itu, maka manusianya adalah Ketua Hun-tiong Houwmo
sendiri yang tadi dipanggil dengan nama aslinya yaitu Siok Eng!
Wiro
juga kaget dan buka sepasang matanya lebar-lebar. Sesosok tubuh kurus
kering macam jerangkong dilihatnya melayang turun dari panglari dan
segera dikenalinya. Pemuda ini kontan berteriak: "Locianpwe!"
***
11
TERNYATA
orang yang barusan melompat dari atas langit-langit ruangan bukan lain
adalah kakekkakek sakti bertubuh kurus kering macam jerangkong yang
tempo hari secara kebetulan pernah ditolong oleh Wiro dari ruangan batu
di mana dia disekap. Dia yang dikenal dengan Pendekar Pedang Akhirat
Long Sam Kun.
Melihat munculnya si kakek di tempat itu, kaget Dewi
Siluman bukan kepalang. Dia sudah tahu kalau kakek itu terlepas dari
penjara batu di mana dia disekap selama bertahun-tahun. Namun adalah
tidak diduganya sama sekali kalau dia akan muncul di situ demikian
cepatnya!
Di lain pihak si kakek tertawa gelak-gelak lalu berpaling
pada Wiro, "Budak, tidak dinyana bukan kalau hari ini aku telah dapat
membalas hutang nyawa tempo hari terhadapmu?"
Wiro cepat menjura dan
menghaturkan terima kasih. Dia hendak mengatakan sesuatu namun saat itu
Pendekar Pedang Akhirat telah berpaling pada Ketua Hun-tiong Houw-mo.
"Siok Eng! Dosa kejahatanmu telah lewat takaran! Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan semua itu!"
Meskipun
saat itu Ketua Hun-tiong Houw-mo boleh dikatakan sudah pecah nyalinya
namun dengan tetap angkuh dia bertolak pinggang dan mendamprat!
"Pengemis gila dari mana yang kesasar kemari! Lekas angkat kaki dari istanaku. Kalau tidak kubikin berhamburan benakmu!"
Long
Sam Kun cuma ganda tertawa mendengar kata-kata itu. "Kini semua jelas
bagiku, Siok Eng! Tiga tahun yang lalu kau sengaja menipuku dan
menjebloskan diriku ke dalam liang penjara batu. Dengan berbuat demikian
kau merasa tak ada lagi yang menghalangi dirimu berbuat kejahatan
seenak perutmu, mendirikan komplotan Hun-tiong Houw-mo dengan maksud
membunuh musnah tokohtokoh persilatan hingga kau bisa merajai dunia
kangouw! Kau lupa Siok Eng! Kejahatan tak akan pernah menang dari
kebenaran!"
"Tua bangka edan! Namaku bukan Siok Eng! Lekas minggat dari sini atau…."
Pendekar
Pedang Akhirat tertawa bergelak. "Kau tak mau kupanggil dengan nama
aslimu itu?! Kau hendak menipu dirimu sendiri? Cukup sejak dari muda kau
menipuku dengan kasih sayang palsu dan penyelewengan. Hari ini jangan
harap kau bisa berbuat lebih banyak!" Orang tua bertubuh jerangkong itu
maju satu langkah. "Sudah saatnya kau memperlihatkan tampangmu yang
asli, Siok Eng!"
Habis berkata demikian Long Sam Kun menyerbu ke
depan. Tubuhnya lenyap. Ketua Hun-tiong Houw-mo membentak garang dan
lepaskan sekaligus pukulan Ilmu Jari Kelabang Hijau dengan kedua belah
tangannya. Sepuluh larik sinar hijau menyambar ke arah tubuh Long Sam
Kun. Justru di saat itu pula terlihat satu cahaya merah menebas dan
punahlah serangan Ketua Hun-tiong Houw-mo. Juga pada detik yang
bersamaan terdengar pekik sang Ketua dan gelak berderai Pendekar Pedang
Akhirat!
"Nah sekarang semua orang bisa melihat tampangmu yang asli! Selama ini kau telah menipu dirimu sendiri dan orang lain!"
Memandang
pada Ketua Hun-tiong Houw-mo itu, baik Wiro maupun lima murid-muridnya
bukan kepalang terkejut mereka. Wajah gadis jelita yang selama ini
mereka lihat ternyata hanyalah sebuah topeng tipis belaka yang barusan
telah direnggutkan oleh Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun. Kini wajah
sang ketua yang asli hanyalah wajah peot cekung penuh kerut dari
seorang nenek-nenek yang berusia sekitar 80 tahun!
Long Sam Kun masih terus mengumbar tertawanya sambil melintangkan pedang merah tipis di depan dada.
"Siok Eng! Kau juga punya pedang seperti yang kupegang ini. Lekas keluarkan dan aku beri kau kesempatan untuk membela diri."
"Koko…"
tiba-tiba membersit ucapan itu dari sela bibir Ketua Hun-tiong Houw-mo.
Sepasang matanya berkaca-kaca dan perlahan-lahan dia berlutut di
hadapan Long Sam Kun.
Sesaat hati kakek ini jadi tergetar juga. Namun
cepat dia mendongak, menguatkan hatinya dan membentak, "Ini bukan
panggung sandiwara, Siok Eng! Kalau kau tak mau kuberi kesempatan untuk
membela diri, kau bakal lebih menyesal sampai ke pintu gerbang
kematianmu yang terkutuk! Jangan mengemis cinta dan belas kasihan
terhadapku! Apa kau tidak punya malu?!"
Ucapan itu membuat wajah Siok
Eng alias Ketua Hun-tiong Houw-mo menjadi gelap. Tiba-tiba dia melompat
berdiri. Dari balik pakaian sutera merahnya nenek ini cabut sebilah
pedang merah yang bentuknya persis sama dengan pedang yang digenggam
oleh Long Sam Kun!
"Bagus, kau telah menentukan kematianmu secara lebih rnenyenangkan!"
"Tua
bangka keparatl Jangan terlalu takabur. Kepalamu akan menggelinding
lebih dulu!" teriak Siok Eng marah. Dia menerkam ke depan. Pedangnya
bersuit. Segulung sinar merah menebas ganas ke arah Long Sam Kun dalam
jurus yang dinamakan hun-tin-coan-san atau Awang Melintang Memutus
Bukit. Ini merupakan satu jurus dari ilmu pedang naga kencana yang
dimiliki oleh Siok Eng. Kehebatannya luar biasa. Namun di mata si tua
bangka Long Sam Kun itu bukan apa-apa. Dia segera sambut dengan jurus
ilmu pedangnya yang sejak 20 tahun silam telah menggegerkan dunia
kangouw di Tiongkok yakni jurus pertama dari ilmu pedang akhirat yang
bernama "Tiba-tiba Muncul Pelangi" (Cip hian jay hong).
Wiro
yang saat itu tegak sambil memegang Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga
segala kemungkinan jadi geleng-geleng kepala. Dia telah diberi pelajaran
jurus ilmu pedang itu oleh Long Sam Kun dan bahkan telah pernah
mencobanya sendiri menghadapi, musuh-musuh tangguh. Tapi jurus
"Tiba-tiba Muncul Pelangi" yang dimainkan si kakek boleh dikatakan
hampir enam kali lebih hebat dari yang dikuasainya. Mau tak mau pendekar
ini jadi leletkan lidah saking kagum!
Siok Eng sudah tahu kehebatan
ilmu pedang orang yang pernah menjadi kekasihnya, tetapi kemudian
dikhianatinya itu bahkan dipenjarakannya di liang batu. Adalah tak bisa
dipercayai olehnya kalau setelah tiga tahun mendekam dalam penjara batu
tahu-tahu ilmu pedang si kakek kini semakin dahsyat! Karenanya dalam
jurus kedua Siok Eng segera lancarkan serangan dengan gerakan yang
dinamakan Hek-houw wat sim atau Harimau Hitam Mengorek Hati yang
kemudian disusul dengan gerakan ganas bernama Sin-liong-pok cui atau
Naga Sakti Menyambar Air.
Pendekar Pedang Akhirat tetap tenang-tenang
saja dan dengan satu gerakan yang sebat, setelah mengelakkan kedua
serangan itu dia mainkan jurus kelima dari ilmu pedangnya yang disebut
Tiang-hongkoan jit atau "Pelangi Menutup Matahari".
"Trang!"
Pedang
merah di tangan Siok Eng terlepas mental dan sebelum senjata ini jatuh
ke lantai, ujung pedang di tangan Long Sam Kun telah menusuk dada Siok
Eng, tembus sampai ke punggung Ketua Komplotan Hun-tiong Houw-mo ini
cuma keluarkan seruan pendek dan mati dengan mata membeliak. Long Sam
Kun tarik pedangnya dan tubuh Siok Eng lantas roboh ke lantai. Orang tua
itu menarik nafas dalam, membungkuk mengambil pedang Siok Eng lalu
memandang pada Wiro dan gadis-gadis yang ada di situ.
Sekali lagi dia
menarik nafas dalam lalu berkata, "Ini satu pelajaran bagi kalian. Ada
kalanya cinta itu harus dikorbankan untuk suatu kebenaran. Mudah-mudahan
kalian tidak mengalami nasib sepahit diriku ini!" Habis berkata begitu
Pendekar Pedang Akhirat Long Sam Kun balikkan tubuh.
"Locianpwe, tunggu dulu…." Wiro cepat memanggil.
"Ah,
budak kau masih seperti dulu saja. Seialu banyak cerewet. Sudah, kau
atur saja nona-nona manis itu. Aku percaya kau akan bakal bisa membawa
mereka ke jalan yang benar, keluar dari neraka dunia di puncak Hun-tiong
san!"
Si muka jerangkong itu tersenyum kedipkan matanya pada Wiro
dan berkelebat pergi. Pendekar Kapak Maut 212 geleng-geleng kepala dan
garuk-garuk rambutnya. "Ah, benar-benar di luar langit masih ada langit
lagi…" katanya dalam hati dan seenaknya tangan kirinya kemudian sudah
melingkar di pinggang si Putih Koan-koan.
TAMAT