Ibukota kerajaan yang dulu terletak di Peking (Ibukota Utara) dipindahkan ke Nanking (Ibukota Selatan). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan serangan tak terduga dari bangsa Mongol. Di
samping itu sejumlah balatentara besar ditempatkan di Peking dan
sebagai panglima tertinggi di Peking merangkap wakil langsung Kaisar di
Nanking, oleh Kaisar Thaycu diangkatlah putera kandungnya yang bernama
Cu Yung Lo. Sebelum meninggal dunia Kaisar Thaycu yang bertahta di
istana Nanking mengangkat Hui Ti sebagai penggantinya. Hui Ti adalah
cucu yang amat disayangi Kaisar, merupakan putera dari anak sulungnya,
jadi adalah keponakan langsung Pangeran Yung Lo. Pengangkatan Hui Ti
sebagai Kaisar baru inilah yang kemudian menjadi pangkal silang sengketa
dan malapetaka dalam Kerajaan Beng. Sebagai anak kandung atau putera
Kaisar Thaycu, Pangeran Yung Lo merasa lebih berhak untuk menjadi Kaisar
dibanding dengan Hui Ti yang hanya seorang cucu. Hal ini kemudian
berubah menjadi pertentangan dan perpecahan dan pada puncaknya
mengakibatkan perang saudara yang hebat. Pangeran Yung Lo dengan
sejumlah balatentara besar menyerbu Nanking. Peperangan tak dapat
dihindar dan peperangan ini bertambah dahsyat karena tidak saja
melibatkan balatentara kedua belah pihak tetapi juga melibatkan banyak
tokoh-tokoh dunia kangouw (persilatan) Pihak Selatan dengan
mati-matian berusaha mempertahankan diri dari serbuan yang hebat itu.
Namun segala upaya sia-sia belaka. Balatentara Pangeran Yung Lo laksana
air bah. Selatan kalah, Nanking jatuh dan Kaisar Hui Ti tertawan
hidup-hidup. Dia dijebloskan ke dalam penjara, masih untung tidak
dijatuhi hukuman gantung atau pancung. Meskipun kemudian perang sudah
lama berakhir, tetapi keamanan negeri tidak keseluruhannya dapat
ditanggulangi. Di mana-mana sisa-sisa pasukan yang masih setia pada
Kaisar Hui Ti mengadakan kekacauan, menimbulkan kerusuhan-kerusuhan,
perampokan dan pembunuhan. Pospos tentara yang tak begitu kuat dan
terutama yang terletak di tempat terpencil menjadi korban penyerbuan. Dalam suasana Kerajaan Beng seperti scat itulah terjalinnya kisah silat ini.
***
SUATU HARI,
sebulan setelah Kaisar Hui Ti ditumbangkan, serombongan pasukan
Kerajaan di bawah pimpinan seorang perwira muda berkepandaian tinggi
tampak bergerak meninggalkan Nanking. Mereka tengah mengawal sebuah
kereta berisi emas milik bekas Kaisar Hui Ti untuk di bawa ke Peking
atas perintah Kaisar Yung Lo. Dua hari berlalu. Rombongan telah jauh meninggalkan Nanking namun Peking yang menjadi tujuan masih amat jauh di sebelah Utara. Karena
matahari tidak bersinar terlalu terik dan angin sejuk bertiup sepanjang
perjalanan, kusir kereta memegang tali les sambil bernyanyi kecil. Di
sebelahnya duduk seorang, pengawal berusia agak lanjut tetapi memiliki
ilmu silat bukan sembarangan, bahkan kepandaiannya setingkat lebih
tinggi dari perwira muda yang menjadi pimpinan rombongan itu. Pengawal
tua ini bernama Thian Gay dan dikenal dengan julukan Thian Gay Si Tangan
Baja. Di sebelah depan kereta yang membawa emas dan juga di sebelah
belakang terdapat masingmasing enam orang pengawal hingga keseluruhan
rombongan berjumlah 15 orang. Karena mereka membawa emas yang tak
ternilai harganya maka keberangkatan rombongan ini sangat dirahasiakan. Sampai
hari ke tiga perjalanan berjalan lancar tanpa suatu halangan. Akan
tetapi pada hari ke empat, sewaktu rombongan mengambil jalan memotong
terdekat memasuki sebuah hutan di kaki bukit terjadilah hal yang
mengejutkan. Jalan di hadapan perwira muda pemimpin rombongan tibatiba
saja runtuh amblas! Ternyata di situ telah digali sebuah lobang besar
yang diganjal dengan ranting-ranting kecil dan kemudian ditutup kembali
baik-baik dengan tanah serta dedaunan. Tak ampun lagi kuda yang
ditunggangi sang perwira, termasuk enam pengawal di belakangnya
terperosok dan terjebak masuk ke dalam lobang yang dalamnya hampir lima
kaki. Jika enam pengawal berseru kaget kalang kabut maka perwira muda
tadi masih dapat menguasai diri. Dengan sikap tenang tapi gesit
danmengandalkan gingkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang lihay
dia melesat dari punggung kuda. Sebelum kedua kakinya menginjak tanah,
tiba-tiba telinganya menangkap suara berdesing. Menyusul kemudian
terdengar jerit kematian yang mengerikan! Enam pengawal yang barusan
berhamburan masuk lobang bersama beberapa ekor kuda tunggangan mereka,
menggapai-gapai mencoba keluar dari lobang tersebut. Ada yang patah
tulang bahu, tulang kaki atau tangan. Dalam keadaan seperti itu, belum
mampu mereka keluar dari lobang, selusin golok terbang menderu, menancap
di dada, ada yang di leher atau perut, bahkan ada yang menancap di
kening, membuat ke enam pengawal itu roboh, mengerang sebentar lalu
mati! Kuda-kuda yang meringkik hingar bingar juga ikut menjadi korban golok-golok terbang yang ganas itu. Akan
keadaan kereta pembawa emas, bila saja kusir tidak cepat menahan tali
kekang, pastilah kereta itu akan ikut menghambur terperosok masuk ke
dalam lobang. Orang tua di samping kusir kelihatan kerenyitkan kulit
kening. Lalu dia keluarkan seruan keras. "Semua siap sedia! Ada
tangan-tangan jahat yang menjebak kita di tempat ini!" Selesai berteriak
tangan kanannya lalu dihantamkan ke atas, ke arah sebatang pohon besar. "Bangsat yang berani berlaku kurang ajar tunjukkan tampang-tampang kalian!" Serangkum
angin menderu keluar dari tangan Thian Gay Si Tangan Baja dan krak!
Batang pohon di sebelah atas patah. Cabang dan ranting-ranting serta
dedaunan melayang gugur. Detik itu pula terdengar suara tertawa
bekakakan yang menggetarkan seantero hutan dan membuat bergemetarnya
mereka yang mendengar. Lima sosok tubuh berkelebat dari atas pohon
yang tumbang dan serentak dengan itu enam batang golok terbang bersiuran
ke arah Thian Gay! Karena tidak menduga akan mendapat serangan
mendadak begitu rupa sedangkan dia baru saja melepas pukulan, Thian Gay
menjadi cukup kaget. Dua golok terbang dihantamnya dengan tangan kanan.
Begitu tangan kanannya beradu dengan golok-golok olah dua golok tadi
melabrak baja dan patah. Tak percuma dia mendapat julukan Si Tangan
Baja. Dengan menjatuhkan diri ke samping dua buah golok lainnya
berhasil dielakkan. Golok kelima dapat ditangkis dengan tendangan tepat
pada gagang golok. Namun serangan golok ke enam agak terlambat
dikelitnya. Bret! Bagian tajam golok merobek bahu pakaiannya, melukai
daging tubuh di bagian itu. Paras Thian Gay berubah. Jika dia masih
dapat dihantam oleh senjata lawan yang keenam sudah dapat dipastikannya
bahwa penyerang bukan manusia tingkat rendahan. Mengingat tanggung
jawabnya dalam pengawalan kereta Thian Gay tak mau berlaku ayal. Dia
melirik pada perwira muda di sampingnya yang saat itu sudah cabut pedang
dan tengah menghadapi lima manusia yang baru saja melayang turun dari
atas pohon. Kelimanya berjubah hitam. Empat berambut gondrong
awut-awutan Sedang yang kelima berkepala botak berkilat. Tampang mereka
buas seperti singa lapar, penuh berewok dan menyeramkan. Pandangan mata
mereka membersitkan kegarangan, haus darah dan maut! Lelaki gondrong
yang tegak paling ujung sebelah kanan keluarkan suara tertawa. Tubuhnya
tinggi kurus. Seputar pinggang jubahnya melilit belasan golok terbang.
Bila dia bergerak senjatasenjata itu bergesekan dan mengeluarkan suara
gemerisik menggidikkan. Manusia ini dikenal dengan panggilan Gui-kun
Kui-to alias Gui Kun Si Golok Iblis. Dialah tadi yang telah melemparkan
golokgolok terbang merenggut nyawa enam pengawal dan juga menyerang
Thian Gay. Di sebelah Gui-kun Kui-to berdiri kambratnya yang memiliki
rambut merah gondrong paling panjang menyela sampai ke punggung. Rambut
ini bukan sembarang rambut karena bisa dipergunakan sebagai senjata
maut! Rambutnya inilah yang membuat dia mendapat julukan Iblis Rambut
Merah atau Ang-mo It-kui. Orang yang ketiga berdiri sambil rangkapkan
tangan di depan dada. Kepalanya botak licin dan berkilat. Tubuhnya
pendek gemuk. Dia terkenal dengan panggilan Tiat-thou-kui atau Iblis
Kepala Besi. Kalau kawannya tadi mengandalkan rambut sebagai senjata
maka yang satu ini mengandalkan kepalanya sebagai senjata maut. Boleh
dikatakan sebagian besar musuhnya menemui kematian di tanduk atau
disodok dengan kepalanya yang botak keras laksana bola besi itu! Manusia
berjubah hitam yang keempat tegak dengan sikap angker, lebih seram dari
yang lainlainnya. Tubuhnya paling tinggi dan paling besar. Dialah yang
dikenal dengan gelaran Nan-king Kuiong atau Raja Iblis dari Nanking. Dan
dialah yang menjadi pimpinan dari semua manusia-manusia seram itu. Orang
terakhir berdiri di ujung kiri. Dia bertubuh katai. Sepuluh kuku
tangannya panjangpanjang dan berwarna hitam. Inilah Tui-hun Hui-mo alias
Iblis Pengejar Maut! Thian Gay Si Tangan Baja memandang dengan mata
terpentang lebar pada kelima manusia berjubah itu. Dia berusaha menekan
debaran jantungnya. "Nan-king Ngo-kui … " desisnya membisiki perwira muda yang tegak di sebelahnya. Mendengar
bisikan itu berubahlan paras si perwira yang bernama Ex Cu Liong.
Sedang enam pengawal lainnya begitu mendengar siapa manusia-manusia yang
ada di depan mereka jadi bergetar lutut masing-masing dan paras mereka
laksana kain kafan. Siapa yang tidak kenal dengan Nan-king Ngo-kui
atau Lima Iblis dari Nanking. Lima datuk iblis golongan hitam yang
berkepandaian tinggi. Pada masa perang saudara dulu mereka dikenal
sebagai pembantu utama Kaisar Hui Ti. Begitu perang berakhir dan Hui Ti
ditawan, kelimanya melenyapkan diri. Tahu-tahu kini muncul dalam keadaan
begitu rupa. Melihat cara mereka muncul dengan menyebar maut, jelas
kelimanya mempunyai maksud jahat dan keji. Diam-diam Thian Gay
mengeluh. Meskipun perwira Cu Liong berkepandaian tidak rendah akan
tetapi menghadapi lima manusia iblis itu sama saja dengan usaha hendak
lolos dari lubang jarum. Jago tua Thian Gay sudah mencium maut
kematiannya sendiri!
***
KALAU
tadi perwira muda Cu Liong hendak naik pitam melihat kematian enam anak
buahnya, kini setelah mengetahui siapa adanya lawan yang dihadapi mau
tak mau dia harus menekan amarah dan tidak boleh bertindak gegabah. Cu
Liong membuka mulut. "Sungguh tidak disangka hari ini kami akan
bertemu dengan Nan-king Ngo-Kui yang terkenal. Mengingat perang telah
lama usai dan pihak Pemerintah juga tidak pernah mengutik-utik diri
ngo-wi locianpwe sekalian meskipun dulu diketahui ngo-wi membantu
pemberontak Hui Ti, maka adalah menjadi tanda tanya bagi kami mengapa
hari ini begitu muncul ngo-wi langsung menjatuhkan tangan maut pada
anak-anak buahku yang tidak berdosa?" Gui-kun Kui-to, orang ke lima dalam urutan lima manusia iblis itu batuk-batuk beberapa kali lalu menyahuti. "Perwira
anjing peliharaan Yung Lo! Kau dengarlah baik-baik. Perang memang sudah
lama selesai tetapi akibatnya masih tetap akan terasa, malah mungkin
lebih hebat dari peperangan itu sendiri! Kau menyebut Kaisar Hui Ti
sebagai pemberontak. Kotor dan lancang sekali mulutmu. Kaisar Thaycu
sendiri yang mengangkatnya untuk menduduki tahta kerajaan Beng. Dan si
Yung Lo yang temahak busuk itulah yang telah melakukan pengkhianatan,
memberontak! Sekarang kalian sebagai kaki tangan Yung Lo keparat itu
boleh merasa menang. Tapi ingat, akan datang harinya kalian akan
menerima pembalasan!" Merah paras perwira Cu Liong yang dimaki anjing. "Memandang
nama besar ngo-wi sekalian aku masih mau memberi maaf atas kata-kata
yang bersifat menghina diriku. Tapi penghinaan kurang ajar terhadap
Kaisar Yung Lo benar-benar tak bisa diberi ampun!" "Oh begitu?" ujar Gui-kun Kui-to. Si
botak Tiat-thou-kui menimpali. "Kalau tak bisa diberi ampun, lalu
apakah kau akan menangkap kami berlima?" Habis bertanya begitu si botak
lantas tertawa mengejek. "Rasanya belum terlambat bagi kalian berlima
untuk kembali ke jalan benar. Bila kalian bersedia ikut ke Kotaraja
menghadap Kaisar Yung Lo, aku bersedia memintakan ampun bagi kalian dan
bukan mustahil Kaisar mau mengambil kalian-kalian sebagai
pembantu-pembantunya… " "Dijadikan anjing peliharaannya seperti dirimu?" tukas Tiat-thou-kui pula dan bersama kawankawannya dia tertawa gelak-gelak. Thian
Gay Si Tangan Baja yang sejak tadi bungkam mendehem beberapa kali lalu
berkata, "Memang tak mungkin bagi kami memaksa ngo-wi ikut ke Kotaraja.
Sebaiknya lupakan saja apa yang barusan kita perbincangkan dan sekarang
masing-masing kita sama meninggalkan tempat ini dengan aman." Cu
Liong hendak membuka mulut membantah ucapan Thian Gay itu. Mana mungkin
kematian enam anak buahnya dapat dilupakan begitu saja. Bagaimana
pertanggunganjawabnya nanti terhadap atasannya di Kotaraja? Namun ketika
melihat isyarat mata yang diberikan Thian Gay terpaksalah perwira muda
ini membatalkan niatnya. "Tua bangka Thian Gay, kau memang pandai
bicara," berkata Nan-king Kui-ong, pentolan kepala lima manusia iblis
itu. "Tetapi kenapa kau dan orang-orangmu buru-buru hendak pergi?" Saat itu Thian Gay sudah membalikkan diri melangkah mendekati kereta. Langkahnya tertahan. Dalam
batin dia bertanya apakah manusia-manusia iblis itu sudah mengetahui
apa isi kereta? Di dengarnya suara Nan-king Kui-ong kembali, "Bagus
kalau kau mau melupakan apa yang telah terjadi. Sekarang bagaimana kalau kau dan perwira muda ini masuk saja ke pihak kami?!" "Siapa sudi!" bentak Cu Liong dengan keras. Sebaliknya
Thian Gay menjawab dengan bijaksana. "Tawaranmu itu biarlah
kupertimbangkan dulu. Nanti kukirim orang untuk menemui kalian berlima." "Eh, mana bisa begitu aturannya," kata Ang-mo It-kui, orang keempat dari Lima Iblis. "Tanya sekarang harus jawab sekarang!" Thian Gay jadi serba salah. "Maaf, kalau kalian keliwat memaksa, mana mungkin … " Ang-mo
It-kui berpaling pada Nan-king Kui-ong. "Kalau begitu kita tak perlu
bicara panjang lebar lagi dengan cecunguk-cecunguk ini!" Nan-king Kui-ong menyeringai lalu mengangguk dan berkata: "Bunuh mereka. Semua!" Maka Ang-mo It-kui lantas maju menerjang Cu Liong sedang Gui-kun Kui-to menyerbu ke arah Thian Gay Si Tangan Baja. "Hai
apakah kalian tidak akan membantu tuan-tuan besar kalian?" berteriak
Tui hun Hui mo pada enam pengawal yang masih tegak tertegun di depan
kereta. Para pengawal mengerti kalau mereka tak bakal hidup lama.
Memikir sampai di situ rasanya saat itu mereka mau ambil langkah seribu.
Namun mengingat tugas dan pengabdian terhadap Kaisar, keenamnya
memutuskan untuk cabut senjata dan bergerak maju membantu Cu Liong serta
Thian Gay. Sambil tertawa mengekeh Tui-hun Hui-mo jentikkan
kuku-kuku jarinya yang panjang dan berwarna hitam. Lima pengawal
menjerit lalu roboh bergelimpangan kena sambaran lima larik sinar hitam
yang keluar dari ujung-ujung kuku Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar
Maut. Pengawal yang keenam bernasib lebih buruk. Tubuhnya mencelat
dimakan tendangan manusia iblis itu hingga dadanya hancur. Sementara itu
perkelahian antara Gui-kun Kui-to Si Golok Iblis berkecamuk melawan
Thian Gay dengan hebatnya. Satu kali lengan mereka saling beradu keras.
Thian Gay Si Tangan Baja tersurut empat langkah sedang Gui-kun Kui-to
terpental tiga langkah dan lengannya terasa seperti hancur. Daging
lengan di bagian yang beradu kelihatan membengkak merah kebiruan. Nyatanya
julukan Si Tangan Baja yang dimiliki Thian Gay bukan julukan kosong.
Pukulannya datang bertubi-tubi membuat Gui-kun Kui-to jago kelima dari
Nan-king Ngo-kui harus mengeluarkan kegesitannya berkelebat kian kemari
untuk mengelakkan serangan lawan. Menangkis kini dia tak berani. Sekali
salah satu bagian tubuhnya kena dihantam tangan lawan pasti celaka. Setelah
dua puluh jurus masih saja dia menjadi bulan-bulanan serangan lawan,
Gui-kun Kui-to jadi penasaran. Tanpa malu-malu dia menghunus golok besar
yang terselip di pinggang kirinya. Sekali dia memutar senjata itu,
anginnya saja membuat Thian Gay harus bertindak waspada. Dengan golok di
tangan tampaknya Gui-kun Kui-to berhasil menahan serangan tangan kosong
lawan. Merasa mulai berada di atas angin manusia iblis ini lancarkan
serangan-serangan ganas. Namun satu kali sewaktu tubuhnya kehilangan
keseimbangan karena begitu bernafsu membacok dan ternyata hanya
menghantam tempat kosong, dari samping Thian Gay memukul badan golok
hingga senjata itu terlepas mental dan patah dua! Gui-kun Kui-to bersurut mundur. Melihat hal ini Nan-king Kui-ong segera berteriak, "Tiat-thou-kui! Kau bantulah Gui Kun!" Tiat-thou-kui,
orang ketiga dari Nan-king Ngo-kui yang berkepala botak itu menggerang.
Dia usap-usap botaknya sambil bergerak memasuki kalangan perkelahian.
Di saat yang sama Gui-kun Kui-to kembali maju. Dan kini terjadilah
perkelahian dua lawan satu. Dikeroyok begitu rupa mulamula Thian Gay
bisa bertahan beberapa jurus. Namun kemudian dia mulai tampak terdesak. Selain
memiliki pukulan-pukulan tangan kosong yang deras Iblis Kepala Besi itu
ternyata amat berbahaya kepalanya yang botak. Thian Gay sudah pasang
tekad. Kalaupun dia menemui ajal di tangan pengeroyok, paling tidak
salah satu lawannya harus ikut mati bersamanya. Namun tekadnya itu sama
sekali tidak menjadi kenyataan. Karena beberapa saat kemudian, dalam
satu jurus yang hebat, selagi dia berusaha mengelakkan pukulan dan
tendangan Gui-kun Kui-to, tahu-tahu dari samping Tiat-thou-kui kirimkan
satu serangan ganas. Kepalanya yang lebih keras dari besi melesat ke
dada Thian Gay. Jago Kaisar ini berusaha mengelak sambil memukul kepala
lawan dengan tangan kanannya. Dia begitu yakin bahwa tangannya yang atos
akan sanggup menghancurkan kepala lawan. Mana mungkin besi bisa menang
lawan baja! Tetapi sesaat lagi ubun-ubun Tiat-thou-kui akan kena
digeprak, seperti seekor ular kobra tahutahu kepala manusia iblis itu
melesat ke bawah, menyelusup menghantam perut Thian Gay. Thian Gay Si
Tangan Baja terdengar menjerit. Tubuhnya mencelat jauh. Terhampar di
tanah tanpa bergerak dan tak bernyawa lagi. Mati dengan perut pecah! Sambil bersihkan darah yang mengotori kepala botaknya Tiat thou kui tertawa gelak-gelak. Sementara
itu perkelahian antara Iblis Rambut Merah alias Ang-mo It-kui melawan
perwira muda Cu Liong telah memasuki jurus ke 29. Meski sang perwira
memegang pedang dan mengurung lawan dengan serangan menderu-deru namun
sebegitu jauh pedangnya masih belum mampu menyentuh tubuh lawan.
Sebaliknya setiap kali Ang-mo It-kui menggoyangkan rambutnya maka
menghamburlah angin serangan yang berbahaya dan rambut panjang manusia
iblis ini seolah-olah berubah menjadi pedang yang memapas atau menusuk
dan membuat Cu Liong terkesiap. "Ang-mo It-kui!" terdengar seruan Nan-king Kui-ong, pimpinan dari lima manusia iblis itu. "Jangan
beri malu nama besar Nan-king Ngo-kui. Masakan menghadapi cacing tanah
yang masih ingusan begitu saja kau tak sanggup membereskannya dengan
cepat?" Mendengar teguran itu Ang-mo It-kui menjawab, "Harap maafkan
pangcu. Bukan maksudku untuk main-main. Tapi tubuh ini sudah lama tidak
bergerak badan. Aku ingin mencari sedikit kesegaran. Tapi baiklah. Kau
lihatlah ini!" (pangcu = ketua/pemimpin) Habis berkata
begitu Ang-mo It-kui mengeluarkan suara tertawa aneh. Kepalanya
digoyangkan. Sebagian rambutnya yang menyela bahu melesat ke depan
membelit pedang Cu Liong yang datang menyambar. Perwira Kerajaan ini
coba menarik pedangnya. Dia jadi terkejut. Karena semakin ditarik,
semakin kuat libatan rambut merah itu! Ang-mo It-kui menyentakkan
rambutnya. Cu Liong berusaha mempertahankan pedang. Tapi dia kalah kuat.
Tubuhnya terbetot ke depan. Detik itu pula gerombolan rambut yang lain
dari Ang-mo It-kui menyambar ke depan, menghantam tepat kening perwira
muda itu. Cu Liong hanya dapat keluarkan rintihan pendek. Di
keningnya kelihatan lobang besar yang mengeluarkan darah dari kepalanya
yang rengkah!
***
BUKIT
kecil itu terletak dua hari perjalanan kuda dari Hankouw. Di sebuah
peladangan gandum yang subur seorang lelaki berusia 40 tahun sibuk
menyiapkan hasil ladangnya karena dua hari di muka seorang pembeli dari
Hankouw bakal datang memborong seluruh gandumnya. Di tepi ladang
seorang anak lelaki berumur 8 tahun asyik membuat puput dari gulungan
daun kelapa. Dia adalah Sun Bi anak pemilik ladang gandum itu sedang
sang ayah adalah Ki Hok Bun. Tiba-tiba Hok Bun menghentikan
pekerjaannya. Dia berdiri tenang-tenang. Sepasang telinganya yang tajam
mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Dia berpaling ke arah bukit. Di
lereng tampak lima orang penunggang kuda bergerak menuruni bukit,
diikuti oleh tiga ekor kuda yang membawa barang. "Ada orang datang ayah," kata Sun Bi seraya berlari mendapatkan ayahnya. Ki
Hok Bun mengangguk. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Makin
dekat rombongan ke lima orang itu makin tidak enak perasaannya. Kelima
penunggang kuda berseragam jubah hitam. Di hadapan rumah Ki Hok Bun lima
penunggang kuda berhenti dan turun dari kuda masingmasing. Ingat
akan istrinya yang ada di rumah. Ki Hok Bun cepat-cepat keluar dari
balik kerimbunan pohon-pohon gandum. Sun Bi berlari kecil mengikutinya
dari belakang. Sepuluh langkah dari langkan rumah, orang berjubah
hitam yang tubuhnya paling tinggi dan paling besar mengangkat kedua
tangannya, tertawa bergelak dan berseru, "Hok Bun ciangkun!" Sesaat
Ki Hok Bun tertegun dan kaget. Sudah sekian lama tak seorang pun pernah
lagi memanggilnya dengan sebutan ciangkun itu. Sebuah sebutan terhormat
yang hanya diberikan pada perwira tinggi Kaisar. Dan kini ada orang yang
memanggilnya dengan sebutan itu. Namun ketika dia mengenali siapa
adanya si tinggi besar itu maka diapun berseru gembira. "Bu ceng enghiong! Kukira siapa. Sungguh pertemuan yang tidak disangka!" Keduanya kemudian saling rangkul. Ki Hok Bun lalu berpaling pada empat orang berjubah lainnya dansatu demi satu mereka merangkul pemilik ladang gandum itu. "Lima sahabat lama berada di sini. Benar-benar membuat aku gembira." Karena suara ribut-ribut di luar, The Cun Giok, istri Ki Hok Bun meninggalkan masakannya di dapur dan menjenguk keluar. "Ini
anak ciangkun …?" orang berjubah tinggi besar yang bukan lain adalah
Nan-king Kui-ong bertanya sambil memandang pada Sun Bi. "Betul." "Dan
gadis itu … ?" lelaki berambut merah Ang-mo It-kui menunjuk ke arah
pintu. Mendengar disebutnya "gadis" yang lain-lain ikut berpaling. "Dia
istriku," menerangkan Ki Hok Bun. "Waktu perang ibunya Sun Bi meninggal
dunia. Hidup sendirian di peladangan begini sepi sekali. Aku lalu
mencari pengganti ibunya Sun Bi." Bola mata lima manusia iblis itu
bersinar-sinar seolah-olah hendak menelanjangi sekujur tubuh Cun Giok.
Perempuan yang cantik jelita yang tadinya mereka sangka adalah seorang
gadis itu ternyata adalah istrinya Hok Bun. Nan-king Kui-ong basahi
bibir dengan ujung lidah lalu berkata, "Ah, sungguh nasibmu jauh lebih
beruntung dari kami, ciangkun. Kau kini hidup tenteram, punya anak,
punya ladang luas dan punya istri muda cantik sekali!" Kui-ong basahi
bibirnya kembali dengan uiung lidah dantenggorokannya tampak turun naik. Diam-diam Hok Bun merasa tidak senang melihat sikap dan cara memandang kelima orang itu terhadap istrinya. Cepat-cepat
dia berkata, "Cun Giok masuklah. Hidangkan anggur harum. Lalu atur
meja. Sahabatsahabatku ini tentu dahaga dan lapar." Cun Giok segera
masuk ke dalam sementara Hok Bun mempersilahkan kelima orang itu masuk
ke rumah danmengambil tempat duduk. Sambil berkipas-kipas sesekali
Nan-king Kui-ong yang nama aslinya adalah Bu Ceng melirik ke ruang dalam
mengintai istri Hok Bun. "Kau beruntung sekali ciangkun. Beruntung
sekali … " ujar Nan-king Kui-ong. Hok Bun tersenyum. "Antara kita tak
ada lagi ikatan atau hubungan ketentaraan. Karenanya tak usah
menyebutku dengan panggilan ciangkun itu … " "Ah, kau terlalu
merendah. Kau tahu dalam waktu singkat kau akan dikembalikan pada
jabatan lamamu sebagai perwira tinggi. Bahkan mungkin sebagai seorang
jenderal. Dan orang-orang kembali akan memanggilmu dengan sebutan
ciangkun. Kau tak usah sungkan-sungkan. Bukankah begitu sahabatku?" Empat orang yang ditanyai sama mengangguk menanggapi ucapan Nan-king Kui-ong itu. "Bu
Ceng enghiong," kata Hok Bun, "kulihat kau habis mengadakan perjalanan
jauh bersama teman-teman. Di luar sana ada tiga kuda membawa peti-peti
besar. Apa isi peti-peti itu kalau aku boleh tahu?" "Begini ciangkun.
Eh, kalau kau tak sudi dengan sebutan itu bagaimana jika kami panggil
dengan sebutan twako saja?" yang berkata adalah si gundul Tiat-thou-kui.
Twako artinya kakak dan memang di antara mereka Hok Bun berusia paling
tua. "Kami berlima beberapa hari lalu telah menghadang anjing-anjing
Kaisar Yung Lo di luar kota Nanking. Memang sedang hoki, rombongan
anjing Kaisar itu ternyata membawa sebuah kereta berisi tiga peti emas.
Semua anggota rombongan kami bunuh. Dan kini tiga peti emas itu menjadi
milik kita bersama!" "Kita?" ujar Hok Bun tak mengerti. "Kita siapa maksudmu?" "Ya kita! Kami dan kau twako!" yang menjawab adalah Ang-mo It-kui. Hok
Bun berpaling pada Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong. Sesaat kemudian dia
berkata, "Bu Ceng enghiong, sakit hati kita terhadap mereka yang kini
berkuasa memang tak mungkin bisa dihapus lenyap untuk selama-lamanya.
Namun adalah terlalu berbahaya bagi kau dan teman-teman melakukan
perampokan. Apalagi disertai membunuh prajurit Kerajaan dan dua orang
perwira. Tokoh-tokoh silat yang berpihak pada pemerintah sekarang,
dibantu ratusan perajurit Kerajaan pasti akan mencari cuwi sekalian.
Kita semua bisa celaka. Termasuk istri dan anakku." "Siapa takutkan mereka?" tukas Gui-kun Kui-to seraya betulkan letak golok-golok terbangnya yang berisikan seputar pinggang. "Memang
aku tahu betul para enghiong di sini tidak menaruh takut terhadap
mereka. Tetapi alat-alat Kerajaan bisa bikin susah kita semua dan
membuat hidup jadi tidak tenterarn. Perlu diingat, keadaan sekarang
sudah berbeda Bu Ceng enghiong." "Berbeda bagaimana?" tanya Nanking Kui Ong. Hok
Bun tak menjawab. Setelah menghela nafas panjang dia kemudian bertanya,
"Apa gunanya para enghiong di sini melakukan perampokan itu?" "Karena perang sebenarnya belum berakhir twako dan kita perlu biaya untuk meneruskan peperangan," sahut Bu Ceng pula. "Ah,
lagi-lagi aku tidak mengerti jalan pikiranmu," ujar Hok Bun. "Perang
sudah lama berakhir. Sejak lebih dari satu bulan lalu. Sejak jatuhnya
Nanking ke tangan orang-orang Kaisar Yung Lo. Sejak Kaisar Hui Ti yang
kita hormati dijebloskan dalam penjara. Apakah kau dan kawan-kawan tidak
melihat kenyataan ini, sobatku?" Bu Ceng memandang pada keempat kawannya. Sesaat kemudian kelimanya sama tertawa gelak-gelak. Bu Ceng geleng-gelengkan kepala. "Kau
salah twako. Salah besar. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa di
mana-mana sisasisa prajurit Kaisar Hui Ti kini tengah melakukan perang
gerilya di bawah pimpinan perwira-perwira yang masih setia. Mereka
berusaha menumbangkan kekuasaan Kasiar Yung Lo yang kini mengangkat diri
sebagai Kaisar Kerajaan Beng, di atas darah dan nyawa, di atas
pengkhianatan keji. Inilah yang disebut kenyataan, twako." "Memang
itu adalah kenyataan," jawab Hok Bun pula. "Tapi kenyataan yang tak
mungkin bertahan lama. Jumlah mereka yang bergerilya terlalu sedikit dan
kekuatan mereka terpencar-pencar, tak mungkin menghadapi balatentara
Kerajaan, apalagi hendak menumbangkan Kaisar Yung Lo. Mereka semua akan
mati konyol dan perjuangan akan sia-sia. Saat ini di mana musuh berada
dalam puncak kekuatan, adalah bunuh diri kalau kita berani angkat
senjata." "Lantas apakah akan dibiarkan begitu saja anjing besar
bernama Yung Lo itu bertahta sebagai Kaisar yang bukan haknya? Dirampas
secara keji?" ujar orang kedua dari Nan-king Ngo-kui yakni Tui-hun
Hui-mo. "Sudah barang tentu tak dapat dibiarkan. Tetapi juga tidak
mungkin untuk menumbangkan kekuasaannya pada saat sekarang ini. Mereka
terlalu kuat. Perajurit-perajuritnya saja berjumlah jutaan, belum
terhitung perwira-perwira tinggi dan pembantu-pembantu dari kalangan
kangouw." (kangouw=dunia persilatan) Bu Ceng kelihatan
beringas. Dia bangkit dari kursinya danmelangkah mundar mandir. Cun Giok
saat itu keluar membawa enam gelas berikut beberapa guci kecil anggur,
lalu masuk kembali ke dalam diikuti sorot mata liar Nan-king Ngo-kui.
Tiat-thou-kui menelan liurnya melihat telapak kaki nyonya rumah yang
begitu putih. "Apa yang aku katakan semuanya benar twako, "terdengar
suara Bu Ceng. "Dan justru karena keadaan yang demikianlah membuat kami
datang kemari. Orang-orang terlalu sedikit dan terpencar. Senjata kurang
pula. Di samping itu rakyat kurang membantu karena takut terhadap
pemerintah. Namun walau bagaimanapun perjuangan ini harus
dilanjutkan. Menumbangkan Yung Lo dan mengangkat kembali Kaisar Hui Ti.
Perjuangan ini bukan saja memerlukan tenaga tetapi juga biaya. Dan
biaya itu rasanya sudah mulai kita dapatkan. Yakni dengan adanya tiga
peti besar berisi emas yang tak ternilai harganya itu. Ini baru sebagian
kecil saja dari modal kita untuk menghimpun orangorang yang masih setia
terhadap Kaisar Hui Ti. Kita akan mempersenjatai mereka, melatih mereka
untuk perang. Dengan kekayaan yang kita miliki bahkan kita dapat
membeli orang-orang berkepandaian tinggi untuk menyingkirkan Yung Lo,
kaki-kaki tangannya serta cecungukcecungguknya!" "Semua rencanamu itu
sama saja dengan mimpi siang bolong, Bu Ceng enghiong. Jika kau
terbangun musnahlah mimpi itu. Jika kau nekad untuk meneruskannya maka
celaka akan menghadang." "Setiap perjuangan harus dengan pengorbanan.
Kami berlima tidak takut mati, entah twako," tukas Ang- mo It-kui
dengan nada pedas. "Kau betul sekali," menyahuti Hok Bun. "Perjuangan
harus dengan pengorbanan. Tapi pengorbanan yang sia-sia apa gunanya?
Harap kalian merenungkan hal itu baik-baik." Nanking Kui Ong
menghentikan langkah mundar-mandir. Nadanya agak geram ketika berkata,
"Aku dan kawan-kawan datang kernari bukan membawa persoalan untuk
direnungkan. Kami datang membawa rencana guna dilaksanakan. Dan kau
harus ikut bersama kami twako!" Hok Bun usap-usap dagunya. "Maafkan aku. Itu tidak mungkin kulakukan. Aku tidak mau melibatkan diri dengan kalian. Aku sudah muak dengan peperangan." Nan-king
Kui-ong danempat kawannya terkejut mendengar ucapan Hok Bun itu dan
saling pandang. Mereka tidak menyangka kalau kata-kata seperti itu bakal
keluar dari mulut Ki Hok Bun. Seorang bekas perwira tinggi yang semasa
perang dulu menjadi atasan dan pimpinan mereka. "Ki Hok Bun twako,"
kata Nanking Kui Ong dengan suara bergetar. "Kau yang dulu dijuluki
Kim-hong Kiam-khek atau Pendekar Pedang Pelangi, terkenal dimana-mana,
ditakuti lawan di segala penjuru dandisegani serta dihormati teman
seperjuangan, apakah kini telah berubah menjadi macan kertas yang paling
pengecut di muka bumi ini? Tinggal nama belaka?" Wajah Hok Bun
tampak menjadi merah kelam mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu.
Lalu dengan menahan emosi dia berkata, "Aku tak akan bicara panjang
lebar mengenai rencana ataupun perjuangan kalian. Jika kalian berlima
masih menghormatiku sebagai bekas pimpinan maka dengarlah nasihatku.
Untuk sementara lupakan segala sesuatu yang berbau perjuangan. Jauhkan
keterlibatan dengan perang. Cobalah menempuh hidup yang damai tenteram.
Dengan bermodalkan tiga peti emas itu kalian bisa memulai hidup baru
yang bahagia bahkan mewah. Bukankah itu lebih baik dari harus
mengorbankan diri menantang bahaya api peperangan?" Ang-mo It-kui
geleng-geleng kepala dan menoleh pada Nan-king Kui-Ong. "Pangcu, percuma
saja. Ki Hok Bun yang di depan kita ini agaknya sudah bukan lagi
manusia gagah yang berjuluk Kimhong Kiam-khek seperti dulu. Sekarang dia
telah berubah menjadi manusia pengecut, banci bahkan mungkin sudah jadi
tikus!" "Tutup mulutmu Ang-mo It-kui! Jangan kurang ajar!" hardik Ki Hok Bun dan plak! Tamparannya
dengan keras mendarat di pipi Ang-mo It-Kui. Demikian kerasnya hingga
orang keempat dari Nan-king Ngo-kui ini terjajar beberapa langkah,
menyeringai kesakitan. Sebenarnya rasa sakit itu tidak begitu dirasakan
oleh Ang-mo It-kui. Namun marah dan malu membuat dia jadi kalap mata
gelap. Dia berteriak garang. Lalu sambil menggembor seperti harimau luka
dia melompat ke depan, menyerang Ki Hok Bun bekas perwira tinggi
Kerajaan itu dengan satu jotosan maut ke arah dada di bagian jantung!
***
SEBAGAI
orang yang pernah menjadi atasan Ang-mo It-Kui dan empat manusia iblis
lainnya itu Ki Hok Bun tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian
mereka. Namun saat itu dia jadi terkejut menyaksikan angin pukulan
Ang-mo It-kui. Jelas mengandung satu kekuatan luar biasa. Yang berarti
manusia ini telah jauh maju tenaga dalamnya dalam waktu singkat. Dan
melihat Ang-mo It-kui dalam melancarkan serangan sengaja mengarah bagian
yang berbahaya nyatalah bahwa orang ini tidak mainmain bahkan ingin
membunuhnya! Tanpa berlaku ayal Ki Hok Bun cepat berkelit ke samping.
Namun sekonyong-konyong Angmo It-kui susul serangannya yang gagal itu
dengan serangan baru berupa tendangan dan hantaman tangan kiri. Ki
Hok Bun berseru keras. Melompat ke udara. Pukulan tangan kiri lawan
lewat di sampingnya sedangkan tendanyan yang juga berhasil dielakkannya
menghantam meja kayu hingga berantakan. Kendi anggur serta gelas yang
ada di atasnya berhamburan dan pecah berantakan. "Ang-mo It-Kui!" hardik Ki Hok Bun. "Jangan kau berani kurang ajar di rumahku! Tinggalkan tempat ini atau kau akan menyesal!" Habis
berkata begitu Ki Hok Bun dorongkan tangan kanannya ke arah dada lawan.
Ang-mo Itkui menjadi kaget ketika merasakan bagaimana dari telapak
tangan itu keluar satu dorongan kuat laksana sebuah batu besar ratusan
kati, mendorongnya dengan hebat. Ang-mo It-kui berusaha pertahankan diri
dengan memperkuat kuda-kuda kedua kakinya. Namun ketika Ki Hok Bun
datang lebih dekat tak ampun tubuhnya terjengkang dan jatuh terguling di
halaman depan rumah. Dengan pelipis bergerak-gerak menahan amarah Ki
Hok Bun berpaling pada Nan-king Kui-ong. "Bu Ceng enghiong," katanya.
"Kau bawalah kawan-kawanmu dari sini sebelum aku jadi kalap dan
menurunkan tangan salah!" Nan-king Kui-ong tidak senang melihat
kejadian ini. Sepasang matanya membeliak garang. "Terhadap Kerajaan dan
Kaisar Yung Lo laknat itu kau menunjukkan kepengecutan. Tetapi terhadap
kawan sendiri, bekas anak buahmu, kau memiliki nyali luar biasa besar
bahkan tega memukulnya!" "Aku telah menerima kalian dengan baik. Tapi
kalau kalian berlaku memaksa dan kurang ajar, jangan salahkan kalau aku
memberi sedikit peringatan…" "Sedikit peringatan? Memukul Ang-mo
It-kui sampai begitu rupa kau sebut sebagai sedikit peringatan…?" ujar
Nan-king Kui-ong berang sementara Ang-mo It-kui bangkit dari tanah.
"Sudahlah Bu Ceng, jangan banyak mulut. Lekas pergi dari sini. Bawa anak
buahmu. Aku tak ingin melihat tampang-tampang kalian lagi!" Iblis Kepala Besi Tiat-thou-kui yang sejak tadi sudah tidak sabaran maju ke hadapan Ki Hok Bun dan membuka mulut, "Ki
Hok Bun, lagakmu keren amat! Apa ilmumu sudah setinggi langit sedalam
lautan hingga berani berkata dan bertindak seenaknya terhadap kami? Dulu
kami memang anak-anak buahmu, tapi sekarang keadaan berbeda. Kau tidak
lebih tinggi dari kami. Tadi-tadi kami sengaja untuk tetap
menghormatimu, tapi nyatanya kau keras kepala … " "Diam!" sentak Ki Hok Bun. "Sekali aku bilang pergi dari sini ya pergi! Jangan banyak cingcong!" "Oho
… hebatnya! Sombong, keras kepala tapi pengecut!" ejek Gui-Kun Si Golok
Iblis sambil menggerakkan tangan seperti orang hendak bertolak
pinggang. Tapi tiba-tiba tangan kanan itu mencabut golok besar yang ada
di sisi kirinya. Begitu golok keluar dari sarung Gui Kun lantas kirimkan
satu serangan ganas. "Bagus Gui Kun! Kaupun minta digebuk!" teriak
Ki Hok Bun marah. Cepat dia membebaskan diri dari serangan golok. Marah
karena serangannya dapat dielak begitu mudah, Gui Kun putar senjatanya
dan membabat membalik untuk membacok putus tangan Hok Bun. Tapi bekas
perwira yang berpengalaman ini sudah dapat membaca maksud lawan. Sambil
merunduk Hok Bun menghantamkan tangan kanarinya ke atas. "Krak!" Bersamaan
dengan terdengarnya suara patahan lengan, terdengar pekik kesakitan Si
Golok Iblis Gui Kun. Dia melompat menjauhi lawan dan masih lindungi diri
sambil pergunakan tangan kiri untuk lemparkan golok terbang. Namun Hok
Bun sudah lebih dulu melompat ke samping hingga tiga golok terbang hanya
mengenai tempat kosong lalu menancap di dinding rumah. Nan-king
Kui-ong melengak marah. Dua anak buahnya telah dihajar. Tapi untuk maju
sendiri melakukan pembalasan dia merasa bimbang. Bagaimanapun tingkat
kepandaian Hok Bun tidak bisa dibuat main. Kalau tidak maju berbarengan
sulit untuk menghadapi orang ini. Memikir sampai ke situ lalu diapun
berteriak, "Keroyok bangsat ini!" Maka Tui-hun Hui-mo Iblis
Pengejar Maut dan Ang-mo It-kui serta Tiat-thou-kui dan juga Gui Kun
yang kini hanya mengandalkan tangan kiri memegang golok serentak
menyerbu ke depan. Sedang Nan-king Kui-ong sendiri membantu dari
belakang dengan kiriman pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh yang
sangat berbahaya. Ki Hok Bun kertakkan rahang. "Main keroyok! Nyatanya kalianlah yang pengecut! Majulah lebih dekat biar kucincang kalian lebih cepat!" teriak Hok Bun. "Maut
sudah di depan mata! Kau masih saja bicara sombong dan ngaco!
Kawan-kawan mari kita jagal manusia ini cepat-cepat!" balas berteriak
Nan-king Kui-ong. Ki Hok Bun selain memiliki kepandaian silat yang
tinggi jelas bukan seorang berjiwa kecil dan pengecut. Pengalamannya
amat luas dalam perkelahian ataupun medan peperangan. Karenanya tidak
salah dia mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi Kim-hong Kiam-khek,
ditakuti lawan disegani kawan. Dibanding dengan kelima pengeroyoknya
secara satu-satu lima orang itu bukan apa-apa baginya. Namun jika
Nan-king Ngo-kui bergabung jadi satu dia harus bertindak hati-hati. Dia
tahu betul orang-orang itu bukan saja rata-rata memiliki ilmu silat
lihay tetapi juga licik penuh tipu muslihat. Kalaupun dia harus mati
menghadapi mereka dia tidak takut, namun yang dicemaskannya ialah
kalau-kalau terjadi sesuatu dengan anak istrinya. Rambut merah Ang-mo
It-kui berkelebat ganas kian kemari. Terkadang rambut ini laksana
seutas cambuk. Namun terkadang dapat berubah seperti sebilah golok atau
pedang yang datang membabat atau menusuk atau menotok. Sepuluh jari
tangan Tui-hun Hui-mo yang berkuku-kuku panjang hitam laksana cakar
burung garuda, berkelebat ganas kian kemari. Sekali bagian tubuh sempat
kena digaruk pastilah akan berbusaian dagingnya. Ditambah dengan golok
di tangan kiri Guikun Kui-to yang tak kalah berbahayanya serta kepala
besi maut dari Tiat- thou-kui lalu serangan tangan kosong jarak jauh
dari Nan-king Kui-ong yang datang bertubi-tubi, maka kedudukan Ki Hok
Bun benar-benar berbahaya. Apalagi saat itu dia hanya bertangan kosong,
hanya mengandalkan ginkang dan Iwekang belaka. Lima belas jurus
berlalu. Dalam keadaan cukup kepepet Ki Hok Bun masih berhasil
menunjukkan kehebatannya yaitu memukul dada Gui-kun Kui-to hingga iblis
satu ini muntah darah dan terpaksa keluar dari kalangan pertempuran.
Namun sebaliknya Hok Bun juga mengalami cidera yang berbahaya. Bahunya
sebelah kiri telah terkena sambaran kuku tangan Tui-hun Hui-mo.
Pelipisnya terluka dan mengucurkan darah akibat hantaman rambut Ang-mo
It-kui sedang serudukan kepalaTiat-thoukui sempat satu kali melabrak
sisinya hingga dua tulangnya menjadi patah. Ki Hok Bun sadar kalau
dirinya dalam bencana besar. Namun untuk menyerah tentu saja tak ada
dalam kamus hidupnya. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya namun sia-sia
belaka. Tiga lawan mengurung dengan rapat hingga sulit baginya untuk
mencapai Nan-king Kui-ong yang secara licik selalu melancarkan
pukulan-pukulan jarak jauh dengan berlindung di belakang anak buahnya. Setelah
dua puluh jurus lebih bertahan mati-matian, Ki Hok Bun mulai terdesak.
Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, sodokan kepala besi,
cakaran kuku dan hantaman rambut maut bertubi-ttibi melabraknya.
Saat-saat terakhir sebelum roboh Hok Bun berhasil menjambak rambut
Ang-mo It-kui dan siap untuk memuntir patah leher lawan yang satu ini.
Namun sebelum hal itu dapat dilakukannya satu pukulan Nan-king Kui-ong
melanda dari samping. Dia merasakan bahunya seperti remuk. Didahului
satu jeritan keras Ki Hok Bun terlempar dan roboh. Tubuhnya penuh darah
yang keluar dari bekas luka yang menguak di mana-mana. Dia sudah pasrah
untuk mati. Karenanya dia berteriak, "Manusia-manusia iblis keparat! Aku
tidak takut mati! Bahkan kalau kalian tidak membunuhku saat ini juga,
kalian akan menyesal seumur hidup karena pembalasanku lebih mengerikan
dari apa yang kalian lakukan hari ini terhadapku!" Nan-king Kui-ong menyeringai. Dia melangkah mendekati Hok Bun yang tidak berdaya. Sambil injak kepala orang ini dia berkata, "Mula-mula
kami memang berpikiran bahwa manusia pengecut dan keras kepala
sepertimu ini perlu disingkirkan dari muka bumi. Tapi mana kami puas
kalau belum menyiksamu lebih dulu. Kau akan segera merasakannya dan…" Belum habis kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara berteriak, "Ayah…! Ayah … apa yang terjadi. Manusia-manusia jahat itu…oh!" Yang
berteriak adalah Sun Bi, putera Hok Bun yang berusia 8 tahun. Anak ini
datang berlari-lari dan menjatuhkan diri di tanah memeluk tubuh ayahnya. Tiba-tiba
satu tangan besar kasar dan keras menjambak rambutnya dan
menyentakkannya hingga Sun Bi terpekik kesakitan dan tubuhnya terangkat
ke atas. Dia coba meronta melepaskan diri bahkan menendang Nan-king
Kui-ong yang menjambaknya namun mana anak kecil ini sanggup melawan
kekuatan manusia iblis seperti Bu Ceng. "Ki Hok Bun!" seru Bu Ceng.
"Manusia pengecut dan pengkhianat teman sepertimu tak layak punya
turunan. Karena pasti turunan itu akan menjadi manusia sepertimu pula!" "Keparat
Bu Ceng!" Hok Bun coba bangun tapi rebah kembali ke tanah. "Kau hendak
apakan anakku. Lepaskan dia!" Nafas Hok Bun menyengal dan dari mulutnya
keluar darah. "Kau lihat sendiri apa yang bakal terjadi dengan anakmu.
Ini pelajaran bagus untukmu yang telah berani melawan Nan-king Ngo-kui."
Lalu Bu Ceng angkat tinggi-tinggi tubuh Sun Bie. "Jangan ganggu
anakku!" satu jeritan perempuan terdengar. Yang berteriak adalah The Cun
Giok, istri Hok Bun, ibu tiri Sun Bi. Bagi Cun Giok, meski Sun Bi hanya
seorang anak tiri namun dia sangat mengasihi anak ini seperti putera
k.andung sendiri. Cun Giok coba menarik dan merampas Sun Bi dari
tangan kepala gerombolan manusia iblis itu. Namun Ang-mo It-Ku memegang
bahunya dan merangkulnya dan belakang. Nan-king Kui-ong sendiri kembali
mengangkat tubuh Sun Bi tinggi-tinggi lalu dengan kekejaman luar biasa
anak itu dibantingkannya keras-keras ke tanah. Terdengar suara
mengerikan ketika kepala Sun Bi membentur tanah. Tanpa suara anak yang
malang ini menghembuskan nafas penghabisan diiringi pekik Cun Giok dan
seruan tanpa daya Hok Bun. Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng tertawa
mengekeh, memandang pada Hok Bun yang hanya bisa mengutuk dan mengutuk.
Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berpaling pada Ang-mo It-kui yang
saat itu masih merangkuli tubuh Cun Giok. Ang-mo It-kui bukan hanya
merangkul agar perempuan itu tidak lepas namun kini rangkulannya menjadi
kurang ajar. Bahkan salah satu tangannya bergerak meraba bagian tubuh
sebelah atas Cun G iok. Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar. Sambil menyeringai dia mendekati kedua orang itu. "Ang-mo
It-kui, enak benar kau mendekap tubuh bagus itu. Serahkan dia padaku!"’
Ang-mo It-kui tertawa ha-ha-hehe dan mendorong tubuh Cun Giok ke
hadapan Nan-king Kuiong.
***
SEJAK
pertama kali melihat istri Hok Bun yang muda dan cantik jelita itu,
nafsu kotor telah merasuk Bu Ceng. Namun karena saat itu Hok Bun masih
dipandangnya sebagai atasan dan diperlukan tenaganya maka dia berusaha
bersikap hormat. Namun kini setelah terjadi perkelahian maka rasa hormat
itu dengan sendirinya lenyap. Nafsu kotor kembali bersarang dalam
dirinya. Tubuh Cun Giok yang terdorong ke hadapannya segera
ditangkapnya. Ciuman beringas di daratkannya bertubi-tubi ke wajah
perempuan itu. Cun Giok meronta dan menjerit coba melepaskan diri. Namun
sambil tertawa-tawa disaksikan oleh kawan-kawannya Bu Ceng merobek
pakaian Cun Giok hingga perempuan ini akhirnya berada dalam keadaan
hampir telanjang. Cun Giok merasakan tubuhnya didukung. "Bu Ceng
manusia iblis! Kau hendak apakan istriku! Lepaskan dia! Cun Giok
larilah. Selamatkan dirimu!" Hok Bun berteriak. Dia sudah dapat
membayangkan apa yang bakal menimpa istrinya. Namun tidak mungkin bagi
Cun Giok untuk melepaskan diri. "Hok Bun, kau dapat melihat sendiri
apa yang bakal kulakukan. Masakan hanya kau saja yang dapat menikmati
perempuan secantik ini. Ha … ha … ha …!" Bu Ceng gulingkan tubuh Cun
Giok di atas lantai rumah. "Pegangi dia!" perintahnya pada anak buahnya.
Ang-mo It-kui dan Tiat-thou-kui membungkuk memegangi tangan Cun Giok. Bu
Ceng kemudian tanpa malu-malu lepaskan pakaian dalamnya dan singsingkan
jubahnya lalu jatuhkan diri di atas tubuh Cun Giok yang tak mampu
membebaskan diri dan menolak penghinaan keji itu. Hok Bun pejamkan mata.
Tak sanggup dia menyaksikan hal itu, darahnya menggelegak. Namun tak
satupun yang bisa dilakukannya. "Bu Ceng, jangan terlalu temahak!
Berikan giliran padaku!" Tui-hun Hui-mo berteriak dan tegak di belakang
Bu Ceng sambil menyingkapkan jubahnya. Bu Ceng menyeringai. Dia
berdiri sambil seka keringat dan rapikan pakaiannya. "Jangan takut
sobat. Kau segera dapat giliran. Tapi jangan lupa pada kawan-kawan." Begitulah,
satu persatu kelima manusia iblis itu melakukan perbuatan terkutuk atas
diri The Cun Giok hingga akhirnya perempuan ini pingsan tak sadarkan
diri. "Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Tiat-thou-kui sambil usap kepala botaknya yang basah oleh keringat. "Bunuh saja perempuan itu. Juga lakinya!" jawab Golok Iblis Gui Kun. "Ya, memang Hok Bun harus dibunuh. Kalau tidak bisa bikin urusan berabe di kemudian hari," menyetujui Ang-mo It-kui. "Betul
… " sahut Nan-king Kui-ong manggut-manggut. "Tapi setahuku dia memiliki
sebilah pedang mustika. Kim-hong-kiam. Aku harus dapatkan dulu senjata
itu …." Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong lantas melangkah mendekati Hok Bun. Dia membungkuk dan menjambak rambut bekas perwira tinggi itu. "Hok
Bun, mungkin aku bisa membatalkan niat untuk menghabisi nyawamu saat
ini. Asal saja kau mau memberi tahu di mana kau simpan Kim hong kiam … " Sepasang mata Ki Hok Bun terbuka sedikit. "Kau inginkan pedang itu … ?" desisnya. "Betul. Dan nyawamu kuampuni. Bahkan mungkin akan kuberi beberapa batang emas untukmu…" "Kau
ambillah pedang itu di neraka kelak …" kata Ki Hok Bun lalu diludahinya
muka Bu Ceng. Air ludah bercampur darah berlepotan di muka Bu Ceng. "Bangsat
haram jadah!" teriak Bu Ceng marah. Kepala Hok Bun dibantingkannya ke
tanah hingga lelaki ini pingsan. "Seret dia ke dalam rumah dan bakar
hidup-hidup bersama istri dan bangkai anaknya!" Hok Bun di gotong ke
langkan rumah, terpisah beberapa meter dari istri dananaknya. Ang-mo
It-kui kemudian mencari minyak pembakar di dapur lalu menyulut api.
Dalam keadaan api berkobar semakin besar kalima manusia iblis itu
tinggalkan tempat tersebut.
***
KI HOK BUN
siuman dari pingsannya sewaktu sebagian rumahnya telah dimakan api.
Bagian yang dimakan api itu roboh. Tiang-tiang serta palung-palung kayu
berapi jatuh di atas tubuh anak dan istrinya langsung menembus perempuan
yang pingsan ini tanpa dapat diselamatkan. Api kemudian mulai menjilati
kaki Hok Bun. Lelaki ini sebenarnya sudah pasrah untuk dilamun api
dan menyusul anak istrinya. Baginya tak guna lagi hidup tanpa kedua
orang yang dicintainya itu. Namun bila dia ingat kekejaman perbuatan
Nan-king Ngo-kui, terutama Bu Ceng yang menjadi pimpinan maka dendam
kesumat yang amat besar membuat hati kecilnya berontak. Tidak, dia tidak
boleh mati saat itu! Dia harus hidup. Kemudian mencari Nan-king Ngo-kui
dan membunuh mereka satu per satu guna membalaskan dendam kesumat.
Hutang nyawa dan darah harus mereka bayar dengan darah dan nyawa pula! Memikir
sampai ke situ Ki Hok Bun kumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia coba
beringsut menjauhi jilatan api. Namun keadaannya saat itu sudah sangat
lemah. Sama sekali tiada daya. Tulang belulangnya serasa hancur luluh.
Darahnya tertalu banyak keluar. Pemandangan matanya makin lama makin
guram. Lelaki ini sama sekali tidak mampu untuk menyelamatkan
dirinya. Saat itu satu-satunya yang dianggapnya bisa menolong adalah
Tuhan. Karenanya dalam hati Hok Bun membathin : "Thian, berikan
kekuatan pada hambaMu ini. Biarkan aku hidup terus agar dapat membalas
kejahatan dan kebiadaban lima manusia iblis itu. Jangan biarkan aku mati
mengenaskan begini rupa … " Sementara itu kobaran api semakin
mengganas. Palang kayu yang membelintang di bagian atap rumah dan tepat
di atas kepala Ki Hok Bun berderak patah sewaktu api membakar loteng. Bersamaan
dengan bagian loteng palang kayu itu runtuh tepat mengarah tubuh Ki Hok
Bun yang menggeletak tiada daya di lantai. Hok Bun sendiri tidak
menyadari hal ini karena sesaat sesudah dia berdoa menyebut nama Tuhan,
dia langsung jatuh pingsan. Agaknya akan segera tamatlah riwayat bekas
perwira ini dandendam kesumatnya tak akan pernah dapat dibalasnya. Namun
sebelum ajal berpantang mati. Maut anak manusia berada dalam tangan
Yang Maha Kuasa. Di saat yang sangat kritis itu tiba-tiba terdengar satu
siulan aneh dan nyaring, menyusul berkelebatnya sesosok bayangan putih
yang disertai sambaran angin yang luar biasa derasnya. Balok kayu dan
loteng yang tadinya akan menimpa dan menimbun tubuh Ki Hok Bun laksana
dihantam badai mental jauh. Bahkan sebagian dari rumah yang sudah
dilamun api itu ikut ambruk akibat hantaman angin yang entah dari mana
datangnya. Di lain kejap bayanyan putih tadi bekelebat cepat menyambar Ki Hok Bun dan membawanya lari dari tempat itu. Siapa
gerangan yang menyelamatkan Ki Hok Bun? Manusia atau malaikatkah dia
karena demikian cepat gerakannya hingga cuma bayangannya saja yang
kelihatan? Di puncak bukit dia memperlambat larinya. Nyatanya dia adalah
manusia biasa juga. Masih muda, berambut gondrong menyala bahu.
Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih. Dari mulutnya terus menerus
membersit siulan lagu tak menentu. Larinya seperti gerabak gerubuk
tetapi laksana kilat. Mukanya seperti wajah seorang tolol, cengar cengir
tak tentu juntrungan. Setiup angin berhembus melawan arah larinya.
Rambut gondrong pemuda ini melambai-lambai ditiup angin. Pakaian di
bagian dada yang tak terkancing tersibarlebar. Pada dada yang penuh otot
itu kelihatan tertera tiga buah angka aneh yakni : 212. Pada waktu
itu dalam dunia kangouw Tiongkok tersebar berita tentang munculnya
seorang pemuda asing bertampang tolol tetapi memiliki kepandaian tinggi
luar biasa Demikian tingginya hingga sulit untuk mengetahui apakah para
datuk atau tokoh silat yang terkenal masa itu dapat disejajarkan dengan
tingkat kepandaiannya. Banyak tokoh-tokoh silat golongan hitam yang
telah rubuh bahkan terbunuh di tangan pendekar asing itu. Akibatnya dia
menjadi momok nomor satu bagi kaum sesat. Sebaliknya para jago silat
golongan putih merasa gembira dan banyak yang ingin berkenalan dengan
pemuda itu. Namun sulit sekali untuk menemukannya. Dia muncul secara
mendadak. Membasmi manusia-manusia jahat secara tak terduga lalu
melenyapkan diri hampir tanpa bekas untuk kemudian muncul lagi di tempat
lain dan membuat kegemparan. Pendekar yang menjadi buah tutur di
Tionggoan bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah melakukan pengembaraan di
daratan Tiongkok. Dan dialah yang saat itu menyelamatkan Ki Hok Bun
alias Pendekar Pedang Pelangi dari kematian. Sebenarnya bukan satu
kebetulan Wiro Sableng berada di tempat itu danberhasil menyelamatkan
Hok Bun. Sudah sejak satu bulan lalu dia mendengar nama Nan-king Ngo-kui
yang menggetarkan dan ditakuti. Mereka melakukan pembunuhan dan
perampokan di mana-mana. Menculik anak gadis atau istri orang. Sekalipun
dulu mereka dikenal sebagai pembantu-pembantu Kaisar Hui Ti dan
berjuang menghadapi balatentara Yung Lo, namun kejahatan dan kebiadaban
yang kini mereka lakukan benar-benar sudah melewati batas. Dua hari
lalu Wiro berada di Hankouw danmendengar berita tentang dirampoknya tiga
peti emas milik Kaisar Yung Lo. Dua perwira dan selusin prajurit
pengawal menemui kematian. Dari tanda-tanda yang ditemukan di tempat
kejadian sudah dapat ditebak bahwa pelaku perampokan dan pernbunuhan
yang sangat berani itu adalah Nan-king Ngo-kui. Sebelum Kaisar Yung Lo
mengirimkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, Wiro Sableng
sudah mendahului menuju utara. Dia berhasil mengetahui ke jurusan mana
kelima manusia iblis itu membawa lari barang rampokannya. Namun di
sebuah daerah luas yang berbukit-bukit Wiro kehilangan jejak mereka. Sebagai
pendekar yang ingin menumpas kejahatan dan membela mereka yang lemah
dan tertindas Wiro tidak akan mencampuri urusan peperangan ataupun
mempersoalkan tiga peti emas yang dirampok Nan-king Ngo-kui. Dia mencari
kelima manusia iblis itu karena telah mendengar kejahatan dan kemesuman
yang mereka lakukan sejak satu bulan terakhir ini. Sudah barang tentu
perbuatan seperti itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Wiro juga
mengetahui bahwa telah banyak tokoh-tokoh silat golongan putih di
Tionggoan yang turun tangan terhadap kelima iblis itu. Namun sebegitu
jauh belum ada hasilnya. Bukan saja karena mereka memang memiliki
kepandaian tinggi dan selalu berkelompok dalam setiap saat, tetapi
mereka juga licik dan dapat melenyapkan diri dengan cepat setiap habis
melakukan kejahatan. Sadar kalau untuk kesekian kalinya dia
kehilangan jejak orang-orang yang dikejarnya Wiro mengomel dalam hati
dan garuk-garuk kepala. Tapi dia tidak berputus asa. Di bukit di mana
dia berada banyak tumbuh pohon-pohon tinggi. Dia memilih yang paling
tinggi lalu memanjatnya. Dari atas pohon ini dia dapat memandang ke
segala penjuru sejauh mungkin. Dia mengeluarkan suara bersiul sewaktu di
arah selatan dilihatnya kepulan asap hitam bergulung-gulung membumbung
ke udara. "Kebakaran biasa atau … ?" Wiro bertanya pada dirinya sendiri. Setelah
berpikir sejenak sambil meneliti keadaan di bagian lain akhirnya Wiro
memutuskan untuk mendatangi sumber kebakaran itu. Bukan mustahi
kebakaran itu ditimbulkan oleh iblis-iblis yang tengah dikuntitnya. Dia
cepat-cepat turun dari atas pohon dan dengan pergunakan ilmu larinya dia
lari ke arah selatan. Namun kedatangannya terlambat. Yang ditemuinya
hanya bekas kebiadaban yang dilakukan oleh Nan-king Ngo-kui. Kelima
manusia jahat itu tak ditemuinya, pasti sudah menghilang jauh. Masih
untung dia sempat menyelamatkan seorang lelaki yang dia tidak kenal dan
tubuhnya penuh dengan luka-luka.
***
PENDEKAR 212
Wiro Sableng membawa Ki Hok Bun ke sebuah telaga kecil berair jernih.
Bekas perwira kerajaan itu masih berada dalam keadaan pingsan. Wiro
mengagumi kekuatannya. Manusia biasa dengan menderita luka-luka seperti
itu pasti sudah tidak tertolong nyawanya. Wiro membersihkan
sedapatnya luka yang terdapat di tubuh Ki Hok Bun, lalu pada luka itu
ditaburinya sedikit obat bubuk. Setelah menunggu beberapa saat dia
telungkupkan tubuh Ki Hok Bun dan tempelkan telapak tangannya di
punggung telanjang orang itu dan salurkan hawa dingin sakti ke tubuh Ki
Hok Bun. Setengah jam kemudian dia ganti mengalirkan hawa panas lewat
dada. Tak berapa lama menjelang matahari akan tenggelam Ki Hok Bun
sadar. Mula-mula dia merasakan denyutan sakit pada kepala dan dadanya.
Ternyata rasa sakit tidak hanya di tempat itu saja namun boleh dikata di
setiap bagian tubuhnya. Perlahan-lahan dia membuka kedua matanya. Yang
dilihatnya adalah langit luas berwarna merah kekuningan akibat tersapu
sinar sang surya yang hendak tenggelam. Sesaat matanya tak berkesip.
Jalan pikirannya masih belum jernih. "Di mana aku ini … " pikirnya.
Dia coba menggerakkan kepala sedikit dan memandang berkeliling.
Tiba-tiba dia ingat pada anak dan istrinya. Langsung berteriak
memanggil, "Cun Giok, Sun Bi … kalian di mana?!" Seperti ada satu
kekuatan yang memasuki tubuhnya dia melompat duduk namun kemudian roboh
kembali dengan pemandangan berkunang-kunang. Bila kedua matanya mulai
jernih kembali maka pemandangannya membentur sosok tubuh Wiro Sableng
yang duduk di dekatnya. "Kau … kau siapa? Mana istriku? Mana Sun Bi … Apa yang terjadi?" ‘Twako
sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya. Atur jalan darah dan
pernafasan. Kau terluka berat. Coba kendalikan tenaga dalammu …" "Kau orang asing … Logat bicaramu aneh …" Wiro
garuk-garuk kepala dan tersenyum. Dari balik pakaiannya dia keluarkan
dua buah pil. Satu berwarna merah dan satunya lagi hitam. "Telan obat
ini …" Wiro hendak masukkan dua butir pil itu ke dalam mulut Hok Bun,
tetapi orang ini menjauhkan mulutnya. Pandangan mata dan wajahnya
menunjukkan keraguan kalau tidak mau dikatakan curiga. Tentu saja Hok
Bun berperasaan demikian karena dia belum pernah kenal atau melihat Wiro
sebelumnya. "Tak usah takut. Percayalah, obat ini akan menolongmu,"
kata Wiro. Akhirnya Hok Bun membuka mulut dan menelan juga obat itu
walaupun dengan agak susah payah. Wiro kemudian urut pelipis lelaki itu.
Perlahan-lahan Hok Bun pulas dan tertidur sampai keesokan harinya.
Ketika dia bangun yang dirasakannya bukan lagi sakit tetapi lapar dan
haus. Wiro mendudukkannya bersandar pada sebatang pohon di tepi telaga.
Lalu menyodorkan dua buah apel, makanan yang dimilikinya. Buah ini cepat
sekali dihabisi Hok Bun. Selesai makan pemandangan dan jalan pikiran
lelaki ini menjadi lebih jernih. Dia menatap Wiro Sableng beberapa lama. Kemudian
dia ingat apa yang telah menimpa keluarganya. Hok Bun menangis dan
tiada henti memanggil- manggil nama istri dan anaknya. Wiro maklum
malapetaka besar telah menimpa orang ini karenanya dia membiarkan saja
Hok Bun hanyut dalam perasaannya. Hok Bun akhirnya sadar bahwa
menangis tidak akan mendatangkan hasil apa-apa padanya. Karena belum
sanggup berjalan, dia merangkak ke tepi telaga dan mencuci mukanya lalu
kembali ke tempat semula. "Twako, apa yang telah terjadi. Aku menemukanmu di rumah yang terbakar … " Wiro membuka mulut bertanya. Ki
Hok Bun menatap ke langit di atasnya. Lalu menghela nafas. "Kau sendiri
siapa orang muda? Kulihat jelas kau bukan orang sini," balik bertanya
Hok Bun. "Namaku Wiro Sableng Aku memang orang asing di Tionggoan ini." Ki
Hok Bun kerenyitkan kening. "Wiro Sableng … Aku rasa pernah dengar
namamu akhir-akhir ini. Kau seorang pendekar asing yang membuat gempar
dunia kangouw. Nyatanya kau adalah inkong tuan penolongku. Tai-hiap aku
berhutang nyawa padamu. Biar aku menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya." Habis berkata begitu Hok Bun merangkak ke hadapan
Wiro dan membuat gerakan hendak berlutut. Tetapi Wiro cepat-cepat
mencegah. "Jangan panggil aku dengan sebutan pendekar besar itu
twako," ujar Wiro. "Kalau aku boleh tahu apakah sebenarnya yang telah
terjadi. Mengapa kau kutemui dalam rumah yang terbakar itu?" "Mereka yang melakukannya?" "Mereka siapa?" "Manusia-manusia iblis itu. Nan-king Ngo-kui!" "Ah,
aku sudah menduga. Aku memang sudah sejak lama mencarinya. Aku berhasil
menguntit mereka dari Han-kouw, tetapi kehilangan jejak dan terlambat …
" Ki Hok Bun lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga tak lupa menerangkan sedikit mengenai riwayat hidupnya. "Aku tidak mengira kalau berhadapan dengan seorang bekas perwira tinggi kerajaan," kata Wiro dengan sikap hormat. Hok
Bun tersenyum pahit. "Dulu … sekarang aku bukan apa-apa. Sekarang aku
seorang lelaki yang sengsara." Hok Bun terdiam sejenak. Kemudian. "Orang
muda, seumur hidup mungkin aku tak dapat membalas semua pertolongan dan
jasamu. Biarlah hari ini aku menganggapmu sebagai saudara. Sebagai
adik…" "Betul-betul satu kehormatan besar bagiku twako. Terima kasih." "Satu dua hari di muka aku akan mulai mencari lima manusia iblis itu!" kata Hok Bun dengan nada penuh dendam. Wiro tersenyum dan gelengkan kepalanya. "Twako,
kau masih jauh dari sembuh. Sebelum kesehatanmu luar dalam pulih
kembali untuk sementara sebaiknya lupakan soal dendam kesumat itu." "Lebih
cepat aku dapat memenggal kepala manusia-manusia jahanam itu lebih baik
rasanya. Pembalasan harus dilakukan dalam waktu cepatl" "Kau tengah menghadapi persoalan besar twako. Karenanya tak boleh bertindak sembarangan. Sekali salah langkah bisa besar akibatnya, Lima manusia iblis itu bukan saja berkepandaian tinggi tetapi juga licik … " Hok Bun terdiam. Apa yang dikatakan Wiro itu betul. Akhirnya dia berkata,: "Besok aku akan kembali ke tempat kediamanku." "Sebaiknya jangan. Itu hanya akan mendatangkan pukulan berat pada batinmu," menasihatkan Wiro. "Tapi aku harus mengurus jenazah dan abu anak istriku." "Aku
sudah membayar orang desa untuk mengurus jenazah mereka," menerangkan
Wiro. Hok Bun menatap wajah pendekar itu lama-lama. Kedua matanya
berkaca-kaca. "Kau baik sekali Wiro. Aku benar-benar berhutang budi
dan-nyawa terhadapmu …" "Sudahlah, jangan sebut hal itu. Besok pagi
sebaiknya kita pergi ke kota terdekat. Mencari penginapan. Di situ kau
bisa dirawat lebih baik." Ki Hok Bun mengangguk. Namun keesokan paginya ketika Wiro bangun didapatkannya lelaki itu tak ada lagi di situ.
***
APAKAH
yang telah dilakukan oleh Ki Hok Bun? Ke manakah bekas perwira tinggi
kerajaan ini pergi meninggalkan Wiro Sableng yang telah menolongnya? Malam
itu sewaktu Wiro sedang tidur nyenyak dekat perapian di tepi telaga
diam-diam Ki Hok Bun bangun. Diperhatikannya pendekar asing itu sesaat.
Meskipun dia telah mengangkat saudara terhadap Wiro dan pernah mendengar
hal-hal menggemparkan yang dilakukan pendekar itu namun dia masih belum
tahu banyak tentang si pemuda. Hal ini disebabkan karena Wiro lebih
banyak muncul di utara sedang Ki Hok Bun tinggal di selatan. Sebetulnya
Hok Bun tak ingin meninggalkan Wiro secara diam-diam seperti itu karena
ini satu perbuatan danperadatan yang tidak baik. Namun dia terpaksa
melakukan hal itu. Dia harus kembali ke rumahnya yang telah musnah,
betapapun hancur hatinya kelak menyaksikan rumah yang telah jadi
puing-puing hitam itu. Dia merasa tidak tenteram seumur hidup bahkan
sampai ke liang kubur kalau tidak dapat membunuh habis ke lima musuh
besarnya itu. Malam berganti siang. Ketika matahari sudah naik tinggi
barulah Hok Bun sampai di lereng bukit. Tubuhnya terasa letih sekali.
Tetapi tekad dan semangat balas dendam atas kematian istri dan anaknya
membuatnya tidak merasakan semua itu. Dia berlari menuruni lereng bukit.
Untuk beberapa lamanya dia tegak termenung di hadapan rumahnya yang
kini hanya tinggal puing-puing hitam. Sebagian ladang gandumnya juga terbakar. Air mata Ki Hok Bun sukar dibendung. Dia menggigit bibir menahan sakit batin. Selagi
dia tegak begitu rupa seorang penduduk mendatanginya. Dengan pandangan
wajah haru orang ini berkata, "Saudara Ki, aku datang memberi tahu bahwa
jenazah istri dan anakmu telah kami perabukan. Jika kau ingin melihat
abunya, ada di rumah abu Thian-an-tang." Ki Hok Bun mengucapkan
terima kasih sambil menganggukkap kepala. Karena tak ingin mengganggu
lebih lama orang tadi minta diri dan cepat-cepat berlalu. Beberapa
saat kemudian Ki Hok Bun melangkah dari hadapan reruntuhan rumahnva
menuju ke sebatang pohon Yang-liu yang tumbuh seratus meter dari bekas
rumahnya. Dekat pohon ini terdapat sebuah pilar batu. Dengan sepotong
besi pendek Ki Hok Bun menggali tanah di sebelah kanan pilar. Kira-kira
menggali sedalam satu meter ditemuilah sebuah kotak terbuat dari kayu
besi yang tahan air dan rayap. Dari dalam kotak ini Ki Hok Bun kemudian
mengeluarkan sebilah pedang yang ketika dicabut serta merta memancarkan
sinar tujuh warna. Inilah Kim-hong-kiam atau Pedang Pelangi. Sebuah
senjata mustika sakti yang kehebatannya telah membuat Ki Hok Bun
mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi atau Kim-hong kiam-khek. Sesaat
Ki Hok Bun mendongak ke langit sambil pejamkan mata. Selama perang
saudara, sebagai seorang perwira kerajaan yang taat pada atasannya yakni
Kaisar Hui Ti dia telah berjuang mati-matian membela kehormatan dan
tahta Kaisarnya tanpa parnrih ataupun memikirkan apakah Kaisar Hui Ti
berada di pihak yang benar atau bukan. Ketaatannya adalah sama dengan
disiplin militer dan jiwa satria. Sebenarnya sebelum pecah perang
nama Ki Hok Bun telah dikenal dan kepadanya telah lama melekat gelar
Pendekar Pedang Pelangi. Namun di masa perang saudara itulah justru dia
membuktikan kehebatan dan jiwa besarnya. Dalam setiap pertempuran Ki Hok
Bun bukannya menghadapi perajurit-prajurit atau para perwira yang pada
dasarnya adalah saudara satu bangsanya dan bertempur karena tugas
menjalankan perintah atasan. Justru yang dicari dan dihajarnya
habishabisan adalah mereka yang berperang untuk maksud tertentu, mencari
keuntungan sendiri atau memancing di air keruh. Orang-orang itu
biasanya adalah tokoh-tokoh silat golongan hitam. Lantas mengapa Ki Hok
Bun membasmi tokoh-tokoh silat lawan dari golongan hitam sementara
dipihaknya sendiri juga terdapat tokoh-tokoh silat culas golongan hitam
seperti Nan-king Ngo-kui? Sebenarnya Ki Hok Bun tidak suka terhadap
Nan-king Ngo-kui yang pada masa perang adalah bawahannya langsung. Namun
kalau Kaisar Hui Ti sendiri yang mengangkat dan mengambil mereka
sebagai pembantu, mana bisa dia menolak? Lagi pula saat itu kedudukan
Kotaraja Selatan (Nan-king) dalam keadaan gawat. Serangan
balatentara utara demikian dahsyatrnya hingga mau tak mau orangorang
semacam Nan-king Ngo-kui terpaksa dimanfaatkan tenaganya. Pada saat
Ki Hok Bun memegang pedang pelangi itu bukan semua peristiwa dimasa
perang saudara itu yang terbayang di matanya, melainkan adalah
tampang-tampang lima manusia iblis yang telah membunuh anak istri dan
menghancurkan kehidupannya. "Mereka harus mati di tanganku!" desis Ki
Hok Bun. Perlahan-lahan kepalanya yang mendongak langit di turunkan dan
kedua matanya dibuka kembali. Pedang pelangi dimasukkannya ke dalam
sarung lalu disusupkannya di balik punggung pakaian. Dengan hati berat
dia meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah rumah abu Thian-an-tang. Ketika
sampai di rumah abu, didapatinyaa banyak orang berkumpul di pintu
masuk. Mereka adalah penduduk setempat dan kebanyakan para petani
seperti Hok Bun. Melihat Hok Bun datang, salah seorang dari mereka yang
agaknya menjadi wakil orang-orang itu maju mendatangi dan menyampaikan
rasa berlasungkawa sedalam-dalamnya atas musibah yang telah menimpa
lelaki itu. Kemudian dijelaskan pula bahwa para pemuda desa sudah
bermufakat untuk membantu Hok Bun guna mencari Nan-king Ngo-kui. Hok
Bun terharu sekali mendengar kata-kata itu. Dipegangnya bahu petani itu
dan berkata, "Lopek, aku menghaturkan terima kasih padamu dan juga pada
semua saudara-saudara di sini. Soal dendam kesumat terhadap lima manusia
iblis itu adalah urusan pribadiku. Aku akan mencari mereka sekalipun ke
neraka. Dengan tanganku sendiri akan kuhabisi nyawa mereka satu
persatu. Sekali lagi terima kasih. Thian akan membalas kebaikan dan
ketulusan budi kalian." Selesai berkata demikian Ki Hok Bun langsung
masuk ke dalam rumah abu. Seorang pegawai mengantarkannya ke tempat di
mana dua buah peti kecil berisi abu anak dan istrinya disimpan. Di
hadapan peti-peti kecil itu Ki Hok Bun bersembahyang. Selesai
sembahyang, sambil bercucuran air mata dia tak dapat lagi menahan diri.
Tiba-tiba sret! Hok Bun cabut Kim-hong-kiam. Tujuh sinar pelangi
berkilauan. Pegawai rumah abu sampai tersurut saking kaget dantakutnya
karena disangkanya tiba-tiba saja Ki Hok Bun menjadi mata gelap dan
hendak mengamuk. "Istriku The Cun Giok dan anakku Sun Bie. Kalian
dengarlah baik-baik. Aku Ki Hok Bun, suami dan ayahmu bersumpah untuk
mencari dan membunuh lima manusia biadab yang telah berlaku keji dan
membunuh kalian. Percayalah, kematian mereka akan jauh lebih sengsara
dari penderitaan yang telah kalian terima dari mereka. Semoga Thian
memberikan tempat yang sebaikbaiknya bagi kalian di alam baka!" Ki Hok
Bun sarungkan pedangnya kembali, putar tubuh dan tinggalkan rumah abu
itu.
***
SAAT
itu telah memasuki musim semi. Pohonpohon yang tadinya hanya merupakan
cabang-cabang gundul dan rerantingan kini mulai ditumbuhi dedaunan hijau
segar. Bunga-bunga kemudian mulai bermekaran dari kuncupnya. Kemanapun
mata dilayangkan kehijauan segarlah yang kelihatan menyedapkan mata. Di
tikungan sebuah sungai berair jernih dan dangkal dan dasarnya ditebari
batu-batu kecil, lima orang berjubah hitam asyik membersihkan wajah
masing-masing. Sekalipun telah dicuci tetap saja tampang-tampang mereka
tampak kotor liar berangasan, penuh ditumbuhi cambang bawuk, kumis dan
jenggot tak terurus. Mereka bukan lain adalah Tui-hun Hui-mo, Tiat-thouw-kui, Ang-mo It-kui, Gui-kun Kui-to dan pangcu (pimpinan)
mereka biang iblis bernama Bu Ceng bergelar Nan-king Kui-ong. Setelah
mencuci muka masing-masing mereka mencari tempat duduk di sekitar
perapian yang telah padam untuk menikmati kelinci panggang. Ang-mo
It-kui dari tadi tampak tidak tenang. Sebentar-sebentar dipeganginya
perutnya. "Ada apa dengan kau?" bertanya Bu Ceng. "Perutku sakit," sahut Ang-mo It-kui seraya mengunyah daging kelinci dengan muka berkerenyit. Perutnya
mulas. Entah apa sebabnya. Sejak tadi malam hal ini dirasakannya. Tadi
telah dicobanya untuk buang hajat besar tapi tak mau keluar. Berulang
kali dia kentut di dalam jubahnya yang hitam dan bau apak itu. Mulas
perutnya semakin tidak tertahankan. Agaknya sekali ini dia betulbetul
akan buang air besar. Daging kelinci yang belum habis dimakannya
dibuangnya ke tanah. Lalu dia berdiri menuju bagian tikungan sungai yang
tertutup rapat oleh pohon-pohon dansemak belukar lebat. "Eh, kau mau kemana lagi?"tanya Gui-kun Kui-to. "Buang
hajat besar!" jawab Ang-mo It-kui tanpa menoleh. Sesaat kemudian dia
sudah lenyap di balik pepohonan dan semak belukar kira-kira sepuluh
tombak dari tempat dimana kawan-kawannya berada. Sementara Ang-mo
It-kui mendekam di sebelah sana dan kawan-kawannya asyik menyantap
daging kelinci panggang, Si Golok Iblis Gui Kun membuka mulut. "Aku kawatir kalau-kalau tiga peti emas yang kita sembunyikan itu diketahui orang dan digasak habis!" Sebelumnya,
beberapa hari yang lalu, untuk mempercepat perjalanan Bu Ceng telah
memutuskan menyembunyikan tiga peti emas rampokan di satu tempat
rahasia. Sambil mengunyah daging kelinci panggang dalam mulutnya, Bu
Ceng alias Nan-king Kui-ong berkata, "Kalau tak ada di antara kita yang
berkhianat, sampai kiamat tak ada orang lain yang bakal tahu rahasia
itu." Tiai-thou-kui mengunyah daging kelinci dalam mulutnya dengan
segan-seganan. "Lama-lama aku jadi jemu juga dengan kehidupan macam
begini …" Sepasang mata Nan-king Kui-ong membeliak. Dia semburkan
makanan dalam mulutnya, meneguk tuak dari buli-buli kecil, menyeka mulut
lalu bertanya dengan nada garang. "Kau bilang apa tadi Tiat-thou-kui?" Sesaat
Tiat-thou-kui jadi kuncup juga nyalinya melihat pandangan mata dan
wajah pangcunya itu. Dia tahu Nan-king Kui-ong sangat tersinggung bahkan
marah sekali mendengar kata-katanya tadi. Sambill usap-usap kepala
botaknya dia berkata, "Kau jangan buru-buru marah dulu pangcu. Tapi
coba kau pikir dengan hati dingin dan otak tenang. Sepanjang hari kita
selalu di rongrong oleh kawatir karena alat-alat kerajaan senantiasa
melakukan pengejaran dan mencari kita dimana-mana. Belum lagi
tokoh-tokoh silat golongan putih atau yang bekerja untuk Yung Lo. Dalam
pada itu sampai saat ini sisa-sisa pasukan yang terpecah dan berhasil
kita kumpulkan masih sangat kecil. Bahkan kita banyak mendapat tantangan
dari orangorang sendiri. Seperti si Ki Hok Bun itu misalnya…"
Tiat-thou-kui menghentikan kata-katanya dan sejenak memandang pada
pangcunya. "Terus . . . teruskan pidatomu Tiat-thou-kui!" kata Bu Ceng. "Bukan
pidato pangcu. Maafkan aku. Ini Cuma sekedar untuk dipikirkan,
Kuperhitungkan, sampai setengah tahun dimuka belum tentu kita dapat
mewujudkan apa yang menjadi rencana kita. Kalau kurenungkan dalam-dalam
bukankah lebih baik bila emas rampasan yang tiga peti itu kita bagi
lima, lalu mencari jalan sendiri-sendiri untuk menempuh hidup baru…"
Nan-king Kui-ong menyeringai aneh. Tiba-tiba dia melompat dan
mencekal leher jubah Tiat-thou-kui, sekaligus menyentakkannya hingga si
kepala botak itu terangkat tegak. "Tiat-thou-kui keparat! Dengar
baik-baik. Jangan kau berani bicara seperti itu lagi di hadapanku,
bahkan jangan kau berani punya jalan pikiran seperti itu. Jangan coba
pengaruhi teman-temanmu dengan mulut manis. Atau kau akan kubunuh detik
ini juga!" Sesaat kedua orang itu saling pandang. Nan-king Kui-ong
dengan mulut komat kamit entah mengucapkan apa lalu mendorong keras
keras dada Tiat-thou-kui hingga si botak ini jatuh terjengkang di tanah. Untuk
beberapa lamanya tak satu orangpun yang membuka mulut. Sunyi bahkan
siliran tiupan anginpun tidak kedengaran. Namun mendadak sontak
kesunyian itu dirobek oleh satu jeritan amat menggidikkan. Suara jeritan
Ang-mo It-kui! Keempat orang itu tersentak kaget. Saling pandang sesaat. "Itu jeritan Ang-mo It-kui …" kata Si Golok Iblis Gui Kun. Kontan keempat mereka melompat ke arah semak-semak dan pepohonan rapat di ujung kanan dari mana datangnya jeritan itu. Beberapa
langkah lagi mereka akan sampai pada deretan pohon-pohon tersebut
tiba-tiba dari balik kerimbunan semak belukar melesat sebuah benda merah
kehitaman, menyambar deras ke jurusan Nan-king Kui-ong dan tiga
kawannya. Dalam keterkejutan ke empatnya cepat berkelit menghindarkan
diri. Benda merah tadi jatuh ke tanah. Begitu mereka perhatikan maka
masing-masing empat manusia iblis itu keluarkan seruan keras. Tampang
mereka kontan menjadi pucat pasi laksana kain kafan. Betapakan tidak.
Benda merah kehitaman itu ternyata adalah kepala berwajah merah dan
berambut hitam Ang-mo It-kui yang tetah dijagal! Dari bekas potongan
lehernya masih menyembur darah segar mengerikan! "Ang-mo It-kui … ah.
Apa yang terjadi denganmu sobat? Siapa yang membunuhmu?!" desis
Tiat-thou-kui dengan suara bergetar dan lutut goyah. Di antara empat
kawannya dia memang paling dekat dengan Ang-mo It-kui. Tentu saja
kutungan kepala itu tidak bisa memberikan jawaban. Kesunyian
menggidikkan menyungkup tempat itu. Tiba-tiba sepasang mata garang
Nan-king Kui-ong melihat suatu gerakan. Didahului suara menggembor dia
membentak keras dan hantamkan tangan kanannya ke depan. Krak! Krak! Dua
batang pohon patah. Semak belukar rambas berhamburan. Di belakang semak
belukar yang rambas itu kelihatan tegak seorang bertubuh tinggi besar,
bermuka kotor penuh cambang bawuk serta kumis meliar dan rambut
awut-awutan. Sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan. Maut.
Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan tujuh
sinar angker. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Bun alias Pendekar
Pedang Pelangi! Kim-hong Kiam-khek! Apakah yang telah terjadi dengan
Ang-mo It-kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-kui itu hingga dia
menemui kematian amat menyeramkan begitu rupa? Seperti diceritakan
sebelumnya Ang-mo It-kui diserang sakit perut dan membuat dia memisahkan
diri dari empat kawannya. Dia pergi ke tepi sungai diantara pohon-pohon
dan semak belukar rapat untuk membuang hajat besar. Dia sama sekali
tidak menduga justru di tempat itulah maut tengah menantinya! Sesaat
satelah dia turunkan pakaian dalam dan singsingkan jubah lalu
berjongkok, tiba-tiba saja seolah-olah keluar dari dalam air muncul
sesosok tubuh di hadapannya. Nyawa Ang-mo It-kui serasa terbang. Kalau
orang lain yang muncul dia tidak akan demikian kagetnya. Tetapi melihat
sosok tubuh Ki Hok Bun di depannya benar-benar membuat manusia iblis
yang satu ini seperti sudah berhenti nafasnya detik itu juga! "Kau….!"
suara Ang-mo It-kui bergetar. Dia melompat bangun. Namun dia lupa pada
celana dalam yang melingkar di pergelangan kakinya. Gerakannya yang
tiba-tiba itu membuat kakinya terjirat celana dalamnya sendiri dan
akibatnya tak ampun lagi tubuhnya tersungkur ke depan. Ang-mo It-kui
tahu bahaya apa yang bakal dihadapinya. Sebetulnya dengan kepandaiannya
yang tinggi dia tidak perlu kawatir bakal dapat dirobohkan dalam waktu
cepat oleh siapapun. Namun kemunculan Ki Hok Bun benar-benar tidak
disangkanya. Dia laksana melihat setan kepala sepuluh. Karenanya Ang-mo
It-kui segera buka mulut untuk berteriak memberi tahu kawan-kawannya. Namun
Ki Hok Bun telah tahu gelagat. Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan
suara dia melompat ke depan dan menotok urat jalan suara di pangkal
leher musuh besarnya itu hingga detik itu juga manusia iblis ini sama
sekali tidak sanggup keluarkan suara selain haha-huhu macam orang gagu
sedang sepasang matanya melotot. Sebenarnya kalau saja dia tidak terlalu
dicekam ketakutan luar biasa dan dapat menguasai diri tidak akan
terlalu mudah bagi Ki Hok Bun untuk dapat menotoknya begitu rupa. Ki Hok Bun keluarkan seringai maut. "Jangan harap kau bisa lari selamatkan diri manusia biadab! Hari pembalasan telah datang. Bersiaplah untuk berangkat ke neraka!" Kedua
mata Ang-mo It-kui membeliak. Dia melangkah mundur hendak larikan diri
namun secepat kilat Ki Hok Bun sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah
menghadang di depannya. "Mau lari ke mana binatang?" Di tangan kanan Ki Hok Bun saat itu sudah tergenggam Pedang Tujuh Pelangi. Ang-mo
It-kui angkat kedua tangannya dan goyang-goyangkan kepala. Dia sadar
tak mungkin lari. Maut sudah di depan mata. Sekalipun saat itu dia
memegang senjata pula belum tentu dia dapat lolos. Bahkan dibantu oleh
empat kawannya pun sukar untuk cari selamat karena dia sudah tahu
kehebatan pedang mustika di tangan lawan. "Huk … huk . . . huk . . . "
Ang-mo It-kui lagi-lagi angkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Dengan
berbuat begitu dia bermaksud hendak mengatakan agar Ki Hok Bun jangan
membunuhnya. Tentu saja hal ini suatu hal yang tidak mungkin. Selama
beberapa minggu Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh besarnya itu. Kini
salah seorang dari mereka sudah berada dalam tangannya. "Iblis-iblis di neraka sudah lama menunggumu manusia keparat! Pergilah ke sana!" Pedang
di tangan Ki Hok Bun berkelebat. Tujuh warna sinar pelangi bertabur.
Ang-mo It-kui membuang diri ke samping dan lepaskan satu pukulan tangan
kosong tetapi tak menemui sasaran. Seperti diketahui rambut merah
panjang Ang-mo It-kui merupakan senjata hebat yang bisa menotok,
menusuk, mencekik bahkan melibat dan merampas senjata lawan. Namun
menghadapi Pedang Tujuh.Pelangi dia tidak berani pergunakan rambutnya
untuk melakukan semua itu. Matimatian dia keluarkan seluruh
kepandaiannya. Untuk lari sudah tidak bisa. Setiap dicobanya setiap kali
pula Ki Hok Bun berhasil menghadangnya. Pedang lawan seolah-olah telah
berubah jadi puluhan banyaknya dan mengurung dirinya dari berbagai
jurusan. Ang-mo It-kui cuma sanggup bertahan selama empat jurus.
Jurus kelima Pedang Tujuh Pelangi menyambar putus tangan kirinya
kemudian berbalik menusuk dada. Darah seperti mancur dari dua bagian
tubuh yang terluka itu. Pembalasan Ki Hok Bun masih belum berhenti. Di
lain saat tangan kanannya jadi sasaran sambaran pedang. Ang-mo It-kui
menjerit tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Dalam keadaan tubuh
sempoyongan ujung pedang datang lagi menyambar. Kali ini merobek
perutnya hingga isi perut manusia iblis ini berbusaian keluar. Ki Hok
Bun tampaknya masih belum puas. Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah
perut dan cras! Putuslah keseluruhan anggota rahasia Ang-mo It-kui yang
dulu telah menodai The Cun Giok, istri Ki Hok Bun! Sampai disitu
masih juga Ki Hok Bun belum merasa puas. Pembalasannya betul-betul
mengerikan. Hanya manusia yang dilanda dendam kesumat seperti dialah
yang sanggup melakukan hal seperti itu. Dia ingin mendengar bagaimana
jerit kesakitan melanda musuh besarnya itu sebelum dia menghabisi
nyawanya. Maka dengan tangan kirinya dia lepaskan totokan di leher
Ang-mo It-kui. Begitu totokan lepas maka menggeledeklah jeritan
setinggi langit dari tenggorokan Ang-mo It-kui yang sejak tadi
terbendung. Tubuhnya roboh ke tanah dan detik itu pula Pedang Pelangi
membabat menyambar batang lehernya. Nyawanya lepas begitu kepalanya
menggelinding! Jeritan Ang-mo It-kui itulah yang membuat terkejut
empat manusia iblis lainnya. Sewaktu mereka mendatangi Ki Hok Bun telah
menunggu dengan menjambak rambut kepala Ang-mo It-kui di tangan kirinya
lalu melemparkan kutungan kepala itu ke arah Nan-king Kui-ong dan tiga
kambratnya. Bukan saja menyaksikan kutungan kepala kawan mereka
membuat keempat manusia iblis itu menjadi menggerinding ngeri, tetapi
yang membuat mereka terkesiap dan kaget sekali adalah menyaksikan
berdirinya Ki Hok Bun di hadapan mereka. "Ki … Ki Hok Bun … Kau?" Suara Nan-king Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu dan tenggorokannya seperti tercekik. Ki
Hok Bun alias Kim-hong Kiam-khek mendengus. Sementara Bu Ceng
gosok-gosok kedua matanya seperti tak percaya pada pemandangannya
sendiri. Kemudian terdengar suara tawa Ki Hok Bun mengekeh. Bagi
keempat iblis itu suara kekehan tersebut laksana suara malaikat maut
dari liang kubur. "Ki Hok Bun … bukankah, bukankah kau sudah mampus?
Mati ditembus api bersama istri dan anakmu. Dulu …?" Yang buka suara
adalah si botak kepala besi Tiat-thou-kui. "Memang … memang aku sudah
mampus iblis botak! Dan yang kalian lihat berdiri di hadapan kalian
saat ini ada!ah setannya Ki Hok Bun. Setannya yang datang dari neraka
untuk melakukan pembalasan atas kejahatan biadab yang telah kalian
lakukan. Heh . . . kalian sudah lihat bagaimana cara mampusnya Ang-mo
It-kui? Kalau masih belum jelas silahkan lihat lebih terang!" Habis
berkata begitu Ki Hok Bun tendang sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui
ke hadapan ke empat musuh besarnya itu. Empat manusia iblis ini saking
ngerinya tak berani memandang ke jurusan tubuh kawannya itu. "Pedang
sakti itu. Celaka . . . Rupanya masih ada padanya," Nan-king Kui-ong
mengeluh ketika memandang senjata di tangan Ki Hok Bun. Dia tahu
bagaimanapun tingginya ilmu silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini
namun kalau dia mengeroyok bersama kawan-kawannya pasti dia mampu
mengalahkan Ki Hok Bun. Namun jika pedang sakti itu berada dalam
genggaman Ki Hok Bun mau tak mau manusia iblis ini jadi gentar sekalipun
dia masih memiliki tiga kawan untuk membantunya. "Apakah kalian sudah siap untuk mampus menyusul Ang-mo It-kui …?" tanya Ki Hok Bun dengan pandangan mata tak berkedip. "Twako
dengarlah … Mari kita bicara dulu," berkata Bu Ceng alias Nan-king
Kui-ong dan diamdiam dia berikan isyarat pada Si Golok Iblis Gui Kun. Ki Hok Bun meludah ke tanah. "Kau mau bicara apa manusia iblis biang racun kejahatan? Silahkan bicara dengan pedangku!" Habis
berkata begitu Ki Hok Bun segera menerjang ke depan namun mendadak dari
samping kiri menderu setengah lusin golok terbang, mencari sasaran di
enam bagian tubuhnya! Ki Hok Bun kertakkan rahang. Pedang Pelangi di
tangan kanannya digerakkan. Tujuh warna sinar pelangi bertaburan.
Terdengar suara berdentrangan enam kali berturut-turut. Setengah lusin
golok terbang yang dilepaskan Si Golok Iblis Gui Kun mental patah dua
dihantam Pedang Pelangi. Di saat yang sama dari jurusan lain Nan-king
Kui-ong lepaskan satu pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin
deras ke arah lambung Ki Hok Bun. Berbarengan dengan itu menyambar pula
sepuluh sinar hitam panjang yang membersit keluar dari jentikan
kuku-kuku jari Tui-hun Huimo. Sedang dari belakang didahului dengan
suara menggembor seperti banteng mengamuk kepala besi Tiat-thou-kui
datang menyeruduk! "Bagus! Kalian main keroyok. Berarti lebih cepat aku dapat mencincang kalian sekaligus!" seru Ki Hok Bun. Nan-king Kui-ong tertawa mengejek. "Justru kami ingin menolong agar kau lekas-lekas bisa bertemu dengan anak istrimu di akherat!" Mendidih
darah Ki Hok Bun mendengar ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar
pelangi berkiblat seputar tubuhnya hingga diri dan pedang sakti itu
seolah-olah lenyap dari pemandangan. Sesaat kemudian terdengar seruan
kaget susul menyusul keluar dari mulut ke empat pengeroyok. Nan-king
Kui-ong tersurut mundur dan cepat-cepat melompat ke samping ketika
pukulan hawa saktinya yang membentur sinar pedang mustika seperti membal
dan terpental kembali menghantam dirinya sendiri. Tui-hun Hui-mo
yang berbadan katai mundur jumpalitan menjauhi kalangan pertempuran.
Wajahnya seputih kertas sewaktu menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya
sebelah kiri dan tiga lagi di sebelah kanan kena dibabat putus oleh
pedang sakti lawan. Kedua tangannya terasa panas. Masih untung bukan
jari-jari tangannya yang kena disambar. Orang ke tiga dari lima iblis
itu yakni Gui-Kun Kui-to juga mundur dengan tampang pucat pasi sambil
pegangi jubah hitamnya yang robek besar di bagian dada kena dimakan
ujung Pedang Pelangi. Sedang Tiat-thou-kui yang menyeruduk dari belakang
terpaksa tarik pulang serangannya karena mendadak sontak Ki Hok Bun
kirimkan satu tendangan ke belakang. Bagaimanapun atosnya batok
kepala Tiat-thou-kui yang terkenal seperti besi itu, namun untuk beradu
dengan tendangan kaki seorang berkepandaian tinggi seperti Pendekar
Pedang Pelangi dia musti berpikir tiga kali! Sesaat empat manusia
iblis itu diam tak bergerak di tempat masing-masing, mengurung Ki Hok
Bun di tengah-tengah. Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan tangan
kanannya ke balik jubah. Sesaat kemudian dia telah memegang sebuah
senjata aneh. Senjata ini berbentuk hudtim (kebutan) sedang ujungnya yang lain berbentuk tombak besi bermata dua berkilauan. "Hem … jadi senjata curian itu masih berada di tanganmu, biang iblis?" sentak Hok Bun. Senjata
di tangan Nan-king Kui-ong dulunya adalah milik seorang tokoh silat
golongan putih pembantu Kaisar Yung Lo. Dalam satu pertempuran di medan
perang tokoh silat itu menemui ajalnya dikeroyok Nan-king Ngo-kui,
senjatanya lalu dirampas oleh Nan-king Kui-ong. "Ha .. ha. Agaknya kau takut menghadapi senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king Kui-ong. Sebagai
jawaban Ki Hok Bun lantas putar pedangnya. Melabrak ganas ke arah
pangcu manusia-manusia iblis yang tinggal empat orang itu. Jurus yang
dikeluarkan Hok Bun saat itu bernama ko-sing poan-swat atau bintang
mengejar rembulan. Tak kalah hebatnya Nan-king Kui-ong keluarkan
jurus pit-bun ki-khek atau menutup pintu menolak tetamu guna menangkis
serangan ganas lawan. Gerakan ini sebenarnya dimainkah dalam ilmu silat
tangan kosong. Tapi karena Kui-ong berkepandaian tinggi maka dengan
senjata di tangan dia membuat gerakan yang amat hebat. Namun
bagaimanapun dia tak mau ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan
pedang sakti di tangan lawan. Karena sebelum ujung tombak mata dua
saling beradu dengan Pedang Pelangi, Nan-king Kui-ong membuat gerakan
joan-hun ki-gwat atau menyusup awan mengambil rembulan. Ki Hok Bun
bukan pendekar kemarin. Dia maklum kalau lawan takut untuk bentrokan
senjata. Maka buru-buru dia kiblatkan pedangnya dalam jurus tiang-hong
koan-jit atau pelangi menutup matahari. Akibatnya Nan-king Kui-ong tak
dapat lagi melihat lawan maupun pedang. Gulungan sinar tujuh warna
menyambar deras menyilaukan mata dan mengurungnya. Dia terpaksa mundur
dua langkah. Justru saat itu Hok Bun tidak memberi kesempatan dan susul
dengan serangan thian-sing tui-sin atau bintang meluncur turun. Pedang
Pelangi laksana kilat menyambar deras dari atas ke bawah. Kali ini
Nan-king Kui-ong mati langkah. Mau tak mau dia harus menangkis dengan
senjatanya untuk selamatkan diri dari bahaya maut. Sambil putar senjata ke depan pangcu manusia-manusia iblis itu berteriak, "Kawan-kawan bantu aku cepat!" Maka
tiga serangan menggebu ke arah Hok Bun. Namun semuanya luput karena Hok
Bun sudah lebih dulu melompat ke atas dan dari atas meneruskan
serangannya tadi yang kini jadi lebih dahsyat. Trang! "Auu!" Nan-king
Kui-ong terpekik. Dia melompat mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan
kanannya putus sedang senjata hudtimnya hancur berkeping-keping
dihantam Pedang Pelangi. Tiga kawannya yang barusan menyerang kini
mundur pula berserabutan ketika Ki Hok Bun kembali kiblatkan pedang
saktinya ke arah mereka. Diantara empat iblis itu Iblis Pengejar maut
Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis Gui Kun sebenarnya sudah runtuh
nyalinya. Hanya si botak kepala besi Tiat-thou-kui yang masih cukup
berani dan bertekad untuk menghancurkan tubuh lawan dengan
serudukan-serudukan kepaia besinya. Nanking Kui-ong sendiri merasa malu
kalau terlalu menunjukkan rasa kawatirnya. Namun dia menyadari bahwa
saat itu keadaan sangat tidak menguntungkannya. Malah jika dia tidak
mengambil keputusan cepat mereka berempat bisa mengalami celaka besar
menemui kematian satu persatu. Dia berpaling pada Si Golok Iblis Gui Kun
dan memberi isyarat. Gui Kun yang cepat menangkap arti isyarat
pangcunya itu menganggukkan kepala dan mengirimkan isyarat yang sama
pada Tui-hun Hui-mo. Malang bagi si kepala besi Tiat-thou-kui karena
berada di sebelah depan dia tak dapat melihat isyarat isyarat tersebut.
Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong berseru, "Kawan-kawan, tinggalkan tempat ini. Lain hari kita buat perhitungan dengan bangsat itu!" "Ho…
ho! Mau lari kemana manusia-manusia keparat?!" teriak Hok Bun seraya
melompat memburu. Sambil melompat itu dia kirimkan satu tendangan ke
arah si kepala besi Tiat-thou-kui. Karena memang berada sangat dekat, di
samping itu tidak menyangka kalau sambil mengejar ke jurusan lain lawan
akan kirimkan tendangan, Tiat-thou-kui agak terlambat mengelak.
Akibatnya bahu kirinya kena dihantam tumit Hok Bun hingga remuk dan dia
terpelanting jatuh tergelimpang di tanah. Di lain kejap Hok Bun sudah
berhasil menghadang tiga manusia iblis lainnya. "He … he … Kalian boleh lari. Tapi tinggalkan nyawa kalian disini!" kata Hok Bun sambil melintangkan pedang sakti di depan dada. Nan-king
Kui-ong dan dua kawannya terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas
perwira tinggi itu hingga belum sempat mereka bergerak jauh tahu-tahu
sudah kena dihadang. Jika tidak memakai tipu muslihat tak bakal bisa
lolos. Demikian Nan-king Kui-ong membatin. "Hok Bun, jangan terlalu
sombong! Aku akan perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar Hui Ti untukmu.
Surat ini diloloskan lewat penjara …" "Akal busukmu tak bakal mempan
manusia iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium niat licik lawan. Namun
karena disebutnya nama Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa dia pernah
mengabdi, agak tergerak juga hati Ki Hok Bun. Karena itulah dia hanya
tegak berdiam diri. Dari balik jubah pakaiannya Nan-king Kui-ong
keluarkan segulung kertas merah mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai
benang hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai seperti itu memang adalah
ciri-ciri surat Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong membuka gulungan kertas
lalu mengangsurkannya ke hadapan Hok Bun seraya berkata, "Kau bacalah sendiri isinya!" Ketika
mengangsurkan surat itu sebuah benda bulat hitam sebesar ujung ibu jari
melesat ke udara disertai bunyi mendesis tajam. Sadarlah kini Hok Bun
kalau dia memang telah tertipu. Dia melompat ke depan sambil kiblatkan
pedang namun terlambat! Bola kecil hitam itu.meledak di udara
membersitkan asam hitam pekat bergulung-gulung. Keadaan di tikungan
sungai itu menjadi gelap gulita. Pemandangan Hok Bun tertutup. Kemanapun
berpaling hanya kehitaman yang kelihatan. Hok Bun merutuk dalam hati.
Dia melompat jauh-jauh ke belakang. Tak ada yang bisa dilakukannya
selain menunggu. Selang beberapa lama asap hitam mulai menipis.
Nan-king Kui-ong dan kawan-kawannya telah lenyap. Tetapi ternyata tidak
semua mereka sempat melarikan diri. Tiat-thou-kui yang tadi kena dihantam tendangan kelihatan merangkak di tanah sambil pegangi bahu kirinya yang remuk. "Pangcu
…! Kawan-kawan! Jangan tinggalkan aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun
sang pangcu dan dua kawannya sudah lari jauh. Sepasang kaki dilihatnya
melangkah mendekatinya. Ketika dia mendongak pandangannya membentur
wajah Ki Hok Bun yang garang angker. "Sampai lidahmu copot berteriak, tak ada satu orangpun yang bakal menolong manusia keparat!" Dengan
tubuh menggigil Tiat-thou-kui berdiri tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun
melangkah semakin dekat dengan pedang terhunus di tangan. Tiba-tiba Hok
Bun gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang. Tiat-thou-kui
mengelak ke kiri, lompat ke kanan, mundur dan melompat berulang kali,
berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang yang datang
bertubi-tubi. Sebagai orang ke tiga di antara Lima Iblis Dari
Nan-king Tiat-thou-kui memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Namun
dalam keadaan terluka serta hanya ditinggal sendirian begitu rupa dia
jadi mati kutu. Karena melompat terus-terusan lama lama tenaganya
jadi kendor dan nafasnya memburu. Satu kali terdengar teriakan
Tiat-thou-kui ketika kepalanya kena digores pedang dan senjata itu terus
membabat putus telinga kirinya. Darah mengucur membasahi wajahnya
hingga tampangnya benarbenar menyeramkan seperti iblis. Sadar kalau
dirinya tak bakal lolos dari tangan musuh tiba-tiba Tiatthoukui jatuhkan
diri dan berlutut. Setengah meratap dia berkata, "Twako Kim-hong
Kiam-khek, aku menyerah dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon padamu
sudilah mengampuni selembar nyawa yang hina dina ini. Aku sadar kini
kalau sudah tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng dan kawan-kawan.
Aku insaf dan tobat. Aku bersedia membantumu membalaskan sakit hati
terhadap ketiga orang itu . . . " "Cuh!" Hok Bun meludahi muka Tiat-thou-kui. "Tutup mulut busukmu yang banyak akal. Omongan
iblis aku tak mau dengar!" lalu tanpa banyak bicara lagi Hok Bun
gerakkan pedang pelanginya. Tiat-thou-kui terpekik dan tekap mukanya
dengan kedua tangan. Sambaran pedang tadi telah memutus hidung dan
bibirnya hingga tampangnya jadi luar biasa mengerikan. Rasa sakit
yang amat sangat membuat si botak ini menjadi kalap. Hilang rasa
takutnya. Dia sadar percuma saja minta ampun. Dari pada mati sia-sia
lebih baik melawan. Siapa tahu dengan serangan membabi buta dia berhasil
merobohkan lawan. Maka dengan nekad didahului macam suara harimau
menggereng Tiat-thou-kui menerjang ke depan, hantamkan tangan kanannya.
Angin pukulan deras menyambar Hok Bun tapi segera terpental begitu
membentur sinar pedang tujuh warna pelangi dan membalik menyerang
tuannya sendiri. Selagi Tiat-thou-kui kalang kabut mengelakkan angin
pukulannya sendiri Ki Hok Bun kembali membabatkan pedangnya. Kali ini
Tiat-thou-kui tak punya daya lagi untuk mengelak. Dengan kalap dia
sorongkan kepalanya melabrak perut lawan. Ki Hok Bun memutar arah
pedangnya sedikit dan cras! Tamatlah riwayat orang ke tiga dari Nan-king
Ngo-kui ini. Kepalanya terbacok terbelah sampai ke pangkal leher! Meski
Tiat-thou-kui sudah menggeletak tak bernyawa namun Ki Hok Bun seperti
kemasukan setan terus saja membacokkan pedangnya ke sekujur tubuh orang
itu. Pembalasan bekas perwira tinggi ini benar-benar sadis. Dua musuh
besar telah mati di tangannya. Masih ada tiga orang lagi yang harus
dicarinya!
***
PELACURAN adalah salah satu macam pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama tuanya dengan umur ummat manusia dan terdapat di mana-mana. Umumnya
di masa perang dan sesudah perang pelacuran lebih menjadi-jadi
dibanding dari masa damai. Hal ini disebabkan karena kesulitan hidup
akibat peperangan itu sendiri. Demikian pula yang terjadi di Tiongkok
sesudah perang saudara berkecamuk. Kota-kota seperti Peking, Tien
Tsien, Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton dan sebagainya timbul
menjadi pusat-pusat hiburan dengan pelacuran pada tingkat teratas.
Bahkan gejala buruknya kehidupan sosial ini menjalar pula ke kota-kota
kecil, ke pedalaman. Salah satu dari kota-kota kecil yang dilanda
pelacuran itu adalah Ankeng di propinsi Kiangsi, kira-kira 20 lie di
barat laut Nanking. Meskipun Ankeng cuma sebuah kota kecil namun karena
menjadi pusat pertemuan dari tiga buah jalan raya maka tak urung kota
ini senantiasa ramai setiap siang maupun malam. Pelacuran merajalela.
Mulai dari kelas murahan di lorong-lorong gelap yang sempit sampai ke
tingkat tinggi di gedung-gedung besar danmewah. Suatu hari di Ankeng,
saat itu matahari pagi baru saja menyingsing naik. Di dalam sebuah
kamar pada satu gedung mewah di pusat kota, yakni sebuah gedung
pelacuran, terjadi pertengkaran antara seorang pelacur muda dengan
lelaki yang telah memakainya semalam suntuk. "Cis!" pelacur yang bernama Lu Sian Cin mengomel. "Semalam suntuk kau berpuas-puas menikmati diriku. Masakan dibayar sebegini?!" Lelaki
berambut gondrong awut-awutan bertampang seram penuh cambang bawuk liar
serta kumis jenggot meranggas sesaat memandang Lu Sian Cin sambil
menyeringai sementara kedua tangannya sibuk mengikat ikat pinggang jubah
hitamnya yang dekil danbau. "Lelaki brengsek. Kalau tak punya uang cukup jangan datang ke tempat ini!" kernbali terdengar omelan Lu Sian Cin. Sang
tamu yang berbadan tinggi jengkel juga mendengar ucapan itu dan
berkata, "Kalau tak mau dibayar sebegitu biar kuambil kembali uang itu!"
Lal!u diulurkannya tangannya hendak mengambil uang di atas meja. Begitu
uang dimasukkannya kembali ke kantong di balik jubahnya tahu-tahu plak! Tamparan perempuan lacur itu mendarat di salah satu pipinya. "Benar-benar lelaki tidak bermalu!" Mendapat
tamparan begitu rupa si berewok yang bukan lain adalah Bu Ceng alias
Nan-ing Kuiong menjadi naik darah. Dijambaknya rambut si pelacur dan
sekali tangannya bergerak perempuan itu dilemparkannya keluar pintu. Lu Sian Cin menjerit-jerit kesakitan. Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan bengkak dan mengucurkan darah. Seorang
lelaki tinggi besar bermuka hitam, entah dari mana datangnya tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Gerakannya enteng tanda dia memiliki ilmu.
Sesaat dia memandang pada tetamu berjubah hitam. Lalu berpaling pada Lu
Sian. "Ada apa?" tanya si muka hitam ini. Namanya Song Bun Lip. Dia
adalah kepala keamanan di gedung pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian
Cin adalah primadona dari semua pelacur yang ada disitu dan paling muda
usianya. Sudah sejak lama Bun Lip menaruh hati pada pelacur ini dan
agaknya Lu Sian pun senang padanya. Tentu saja melihat orang,yang
disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi marah. Apalagi setelah Lu
Sian Cin menerangkan apa yang terjadi. Song Bun Lip membantu Sian Cin
berdiri lalu berpaling pada Bu Ceng dan berkata, "Loya berjubah hitam.
Pinceng adalah Song Bun Lip, kepala keamanan di gedung ini. Pinceng dan
majikan tak ingin terjadi keributan di sini, karenanya pinceng harap
loya suka membayar sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan. Bukankah
pantas membayar menurut aturan?" (loya = tuan besar. pinceng = saya) Nan-king
Kui-ong yang penaik darah, ditegur begitu rupa mula-mula hendak
melabrak si tinggi besar kepala keamanan itu. Namun melihat Song Bun Lip
bersikap tenang dan pandangan matanya tajam diam-diam Bu Ceng jadi
tercekat juga. Setelah membetulkan ikat pinggang jubahnya dia berkata, "Aku
kan sudah membayar. Betina sialan ini malah mengumel, memakiku bahkan
menampar. Apa kalian di sini tidak memberi pelajaran sopan santun
padanya hingga dia tahunya cuma naik ke atas ranjang, mengangkang lalu
minta uang dengan cara yang kurang ajar? Sekarang siapapun kau adanya,
apapun pangkatmu di tempat ini menyingkirlah. Aku mau pergi!" Song Bun
Lip batuk-batuk beberapa kali. "Setiap saat tentu saja loya boleh pergi. Namun tentunya setelah membayar seperti yang pinceng bilang tadi." "Hem … berani kau memaksa?!" "Bukan memaksa loya. Kami di sini cari makan …" "Kalau tuan besarmu tidak mau bayar, kau mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu Ceng. "Jika demikian adanya, terpaksa pinceng menjalankan apa yang menjadi tugas pinceng," sahut Song Bun Lip. Bu Ceng tertawa bergelak. "Manusia bermuka hitam macam pantat kuali, rupanya kau tidak melihat gunung Thaysan di depan mata hah?" Sehabis
berkata demikian Nanking Kui Ong dorongkan tangan kanannya ke dada
kepala keamanan itu. Song Bun Lip terkejut karena detik itu juga dia
merasa dadanya seperti ditindih batu besar. Kontan mukanya berubah
pucat. Sebagai kepala keamanan Bun Lip memang memiliki ilmu
kepandaian silat yang tinggi. Tapi semua yang dimilikinya hanya ilmu
luar atau ilmu kasar belaka. Di dalam dia sama sekali tidak mempunyai
isi. Sebelum tubuhnya terlempar dan terjengkang, lelaki ini melompat ke
samping dan dari samping langsung kirimkan satu jotosan ke pelipis Bu
Ceng. Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam namun demikian
hebatnya hingga kalau sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah manusia
iblis ini akan rengkah kepalanya! Akan tetapi tentu saja Bu Ceng,
manusia pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo Kui tidak semudah itu
untuk dijatuhkan. Dengan gerakan seperti acuh tak acuh dan sikap
memandang rendah Bu Ceng mengelak dan entah kapan tangannya bergerak
tahu-tahu buk! Kepala keamanan tempat pelacuran itu mengeluh tinggi.
Tubuhnya terpental ke luar kamar, terguling-guling di langkan gedung
terus terhampar di halaman depan, muntah darah, mengerang kesakitan
tetapi masih sanggup bangun kembali. Song Bun Lip orang yang tahu
membaca kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak mungkin dia sanggup
melayani si jubah hitam ini. Karenanya dia segera cabut golok. Dengan
mulut berlumuran darah dia melangkah mendekati Bu Ceng. Yang diserang
tegak tolak pinggang di tangga gedung. Sementara itu orang mulai
banyak berkumpul di depan gedung. Ankeng adalah kota hiburan yang
hangat. Setiap perkelahian atau sesuatu yang berbau kekerasan akan
segera menarik perhatian orang banyak. Mereka akan menonton dengan
senang malah memberi semangat agar perkelahian menjadi lebih hebat. Wut! Golok
di tangan Bun Lip menyambar ke arah tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut
ini disambut dengan ganda tertawa oleh Nan-king Kui-ong. "Manusia pantat kuali tak tahu diri. Kau rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri akan menembus dadamu!" Song
Bun Lip sudah dapat memastikan bahwa serangan kilatnya yang ganas itu
akan membuat bergelindingnya kepala lawan. Tetapi tidak dinyana
tahu-tahu sikutnya terasa remuk berderak dan di lain saat lengannya
tertekuk hingga ujung goloknya dengan sebat dan tak dapat dihindarinya
lagi menusuk keras ke arah badannya sendiri! Semua orang yang ada
disitu bergidik dan menyaksikan dengan mata membeliak ngeri apa yang
bakal dialami Song Bun Lip. Saat itu tiba-tiba terdengar jeritan
perernpuan. "Lelaki keparat! Kalau kau bunuh dia maka kau sendiri bakal mampus!" Yang
berteriak adalah Lu Sian Cin. Dia mendatangi dengan menggenggam sebilah
golok penjagal babi. Senjata ini diayunkannya dari arah samping ke
kepala Bu Ceng. Hebatnya Bu Ceng seolah-olah tidak mengacuhkan serangan
tersebut dan terus menekan golok dalam genggaman Bun Lip ke dada kepala
keamanan itu. Nainun sedetik lagi golok penjagal babi akan mendarat di
batok kepalanya, Bu Ceng kebutkan lengan kiri jubahnya. Angin deras
menderu. Lu Sian Cin terpekik. Tubuhnya mencelat dan dia terguling muntah darah di tanah, pingsan. Beberapa orang segera datang menolongnya. Song
Bun Lip sadar bahwa dia tak bakal menghindari dari goloknya sendiri
yang ditusukkan ke arah dadanya. Ini membuat dia menjadi kalap dan
sengaja dorongkan tubuh ke depan sambil menendang ke arah selangkangan
lawan. Maksudnya hendak berjibaku. Tapi dengan mempergunakan lututnya Bu
Ceng berhasil menahan tendangan maut itu sebaliknya ujung golok sudah
menyentuh dada pakaian Bun Lip. Sedetik lagi ujung golok akan
menembus dada Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah satu siulan aneh.
Bersamaan dengan itu sebuah benda merah sebesar kepalan melayang di
udara. Plak! Benda itu menghantam tangan kanan Nan-king Kui-ong dan
pecah. Ternyata sebuah apel merah. Meski cuma apel belaka tetapi begitu
terkena lemparan Nan-king Kui-ong merasakan tangan kanannya seperti
lumpuh hingga cekalannya terlepas. Kesempatan ini dipergunakan oleh Song
Bun Lip untuk meloloskan diri. Namun pukulan tangan kiri Nan-king
Kui-ong masih sempat mampir di bahunya hingga dia terbanting ke tanah
dengan tulang bahu remuk. Ini adalah lebih baik dari pada ditembus
goloknya sendiri! Sambil menguruti tangan kanannya dengan tangan kiri Bu Ceng memandang berkeliling. "Bangsat rendah dari mana yang berani campur tangan dengan jalan membokong? Lekas tunjukkan tampang!" Teriakan
Bu Ceng ini demikian kerasnya hingga semua orang yang ada disitu
tergetar kecut dan mundur beberapa langkah. Sepasang mata kepala manusia
iblis ini menyorot berkeliling mencari-cari. Akhirnya pandangannya
membentur seorang pemuda asing berambut gondrong yang duduk ongkang kaki
di atas bangku di bawah emper sebuah warung penjual teh pahit. Di
bangku di sampingnya ada sebuah keranjang berisi buah-buah apel.
Seolah-olah dia cuma berada sendiri di situ dan seperti orang kelaparan
pemuda asing tadi yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
tanpa acuh terus saja asyik menggerogoti buah-buah apel yang manis itu. Pelipis
Bu Ceng bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Karena cuma pemuda asing
ini saja yang memegang dan makan apel di sekitar tempat itu maka Bu
Ceng yakin sekali dialah tadi yang telah melemparnya dengan buah itu! "Bangsat rendah yang sedang makan apel! Kemari kau!" bentak Bu Ceng. Wiro
Sableng sesaat hentikan mengunyah apel dalam mulutnya dan berpaling.
Sejenak dia memandang pada Bu Ceng dengan sepasang mata disipitkan,
garuk-garuk kepala, meludahkan apel yang dalam mulutnya ke tanah lalu
acuh kembali mengambil buah apel baru dari dalam keranjang dan
memakannya. Tentu saja sikap Wiro ini membuat Bu Ceng naik darah
setengah mati. "Benar-benar minta dihajar bangsat ini!" kertak Bu
Ceng. Dengan langkah-langkah besar dia mendatangi Wiro. Sekali tendang
bangku kayu yang diduduki murid Sinto Gendeng ini hancur
berkeping-keping. Namun anehnya Wiro sendiri tetap tak bergerak di
tempatnya. Jangankan bergerak, bergemingpun tidak. Sikapnya seolah-olah
dia masih duduk di atas bangku yang tak kelihatan seperti tadi. Lalu
perlahan-lahan tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk menjelepok di
tanah sambil terus mengunyah apel! Kalau tadi orang banyak tampak
agak takut menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka kini melihat kelakuan si
pemuda asing semuanya jadi tersenyum lucu dan ingin menyaksikan
bagaimana lanjutan kejadian ini. Bu Ceng yang bermata tajam sadar
kalau pemuda asing tak dikenal itu memiliki kepandaian namun amarah
membuatnya jadi kalap. Apalagi disaksikan demikian banyak pasang mata.
Dia merasa direndahkan dan dipermainkan. "Budak gondrong keparat! Kau mau jual tampang dan pamer ilmu padaku hah?!" "Eh
muka berewok berjubah hitam kau bau busuk. Kenalpun aku tidak padamu.
Mengapa usil menggangguku?" Wiro Sableng menjawab seenaknya. "Setan
alas! Mampuslah!" teriak Bu Ceng yang seumur hidupnya baru sekali itu
dihina demikian rupa dan di depan banyak orang pula. Kaki kanannya
menderu ke arah kepala Wiro Sableng. Orang banyak terkesiap malah ada
yang mengeluarkan seruan tertahan karena mengira detik itu-juga pastilah
kepala si pemuda berambut gondrong yang tidak dikenal akan pecah. Di
saat itu justru terdengar suara siulan aneh. Dan tahu-tahu tendangan Bu
Ceng hanya rnengenai tempat kosong. Semua orang melongo heran. Bu Ceng
sendiri melengak kaget karena dia tidak dapat melihat kapan pemuda yang
hendak dibunuhnya itu bergerak dan ketika memandang ke atas tahu-tahu
dilihatnya Wiro sudah berada di cabang sebatang pohon besar sambil duduk
goyanggoyang kaki dan makan buah apel! Sebenarnya jika Bu Ceng mau
berpikir sedikit jauh dari situ dia harus memaklumi bahwa pemuda asing
itu memiliki kepandaian yang bukan sembarangan. Namun amarah sudah
membuatnya mata gelap. Dia menghantam ke atas lepaskan satu pukulan
sakti yang mengandung tenaga dalam hebat. Segulung angin laksana
hembusan topan melabrak deras ke arah pendekar kita. Bukan saja cabang
di mana Wiro duduk hancur berantakan tetapi batang pohon juga ikut patah
dan pohon itu tumbang dengan suara menggemuruh disertai pekik orang
banyak. Wiro sama sekali tidak kelihatan. Sepasang mata Nan-king Kui-ong
bergerak liar mencari-cari. "Hai!" terdengar suara rremanggil. Bu Ceng berpaling. Setan betul! Pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di belakangnya memegang keranjang apel sambil cengar-cengir. "Jika kuberikan apel satu keranjang ini padamu, maukah kau tidak menggangguku lagi?" tanya Wiro tentu saja mempermainkan. "Anjing
geladak hina dina! Kau rupanya tidak tahu berhadapan dengan siapa!
Apakah kau pernah mendengar nama Nan-king Ngo-kui? Lima Iblis Dari
Nanking? Akulah pemimpinnya. Aku Nan-king Kui-ong!" Mendengar
kata-kata itu semua orang menjadi gempar dan banyak diantara mereka yang
buruburu tinggalkan tempat itu. Yang masih berani mengintip-intip dari
tempat jauh. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Lima Iblis Dari
Nanking? Dan kini justru kepalanya, biang iblisnya yang muncul! Bu
Ceng sadar kalau dalam marahnya telah ketelepasan mulut mengatakan siapa
dirinya. Kalau saja ada alat Kerajaan di tempat itu pasti dia akan
menghadapi urusan yang tidak sedap. Wiro Sableng sendiri tak kalah
kagetnya ketika mengetahui bahwa manusia berjubah hitam busuk yang sejak
tadi dipermainkannya itu adalah pemimpin dari Nan-king Ngo-kui. "Hm,
jadi inilah manusia biang racun yang jadi musuh saudara angkatku Ki Hok
Bun!" katanya dalam hati. Dan sekaligus yang selama ini diburunya pula.
Sesaat Wiro tertegak diam sambil garukgaruk kepala. Kemudian dia
berkata, "Ah, mataku sangat buta. Tidak melihat gunung Thaysan di depan
mata. Jika kau memang Nan-king Kui-ong, biarlah aku memberikan
penghormatan dengan menyerahkan apel-apel ini padamu!" Setelah
berkata begitu Wiro goyangkan keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat
belas buah apel yang masih ada dalam keranjang itu laksana meteor
melesat ke arah 14 bagian tubuh Nanking Kui Ong. Menyaksikan ini orang
banyak yang mengintip dari tempat kelindungan merasa kagum. Pemuda ini rupanya memang berilmu tinggi. Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama saja mencari mati. Begitu mereka berpikir. Bu
Ceng sendiri tak kurang kagetnya. Melemparkan buah apel dalam keranjang
tanpa menyentuh langsung buah-buah itu sudah merupakan kepandaian
tersendiri, apalagi kalau buah-buah tersebut dijadikan senjata yang
ampuhl Hanya tokoh silat berkepandaian tinggi yang sanggup melakukan hal
seperti itu. Menilik kepada tampangnya yang tolol dan sikapnya yang
seperti orang miring otak Nanking Kui Ong sulit untuk mempercayai bahwa
pemuda berambut gondrong itu telah melakukan kehebatan tersebut. Namun
justru itulah kenyataan yang terjadi dan jika dia tidak bertindak cepat
niscaya bakal cidera! Nan-king Kui-ong membentak garang. Sekali
kebutkan ujung lengan jubah hitamnya sebelah kanan, enam buah apel
mental berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan kebutan lengan jubah
kiri dan dua sisanya dikelit dengan gerakan cepat. "Oho …!" seru Wiro
yang melihat Bu Ceng membuat gerakan menghantam dan mengelak itu,
"Rupanya selain jadi iblis nyatanya kau juga pandai menari! Ha … ha …
ha!" "Sialan benar. Kalau tidak segera kubunuh bangsat ini bisa
membuat darah muncrat dari benakku!" kata Bu Ceng dalam hati. Sementara
itu di hadapannya Wiro kembali membuka mulut. "Hai! Setahuku kalian berjumlah lima orang. Mana empat iblis jejadian lainnya?" "Makan
dulu gebukanku ini baru nanti kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke
depan sambil dorongkan kedua tangannya yang dikepal ke arah dada Wiro
Sableng. Inilah serangan tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam
tinggi bernama Soan-hong hiap-in atau angin berpusing mengejar awan.
Belum lagi dua kepalan itu mengenai sasarannya, angin pukulannya saja
sudah membuat pakaian Wiro berkibar-kibar dan dadanya seperti ditekan! Melihat
kehebatan serangan lawan, Wiro Sableng tak mau berlaku ayal walau
tampangnya masih tetap cengar cengir. Cepat dia melompat ke samping dan
dari arah ini bermaksud lancarkan satu sodokan lutut ke pinggul lawan. Namun
serangan angin berpusing mengejar awan mempunyai cahaya yang tidak
terduga. Karena begitu dielakkan tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa
membalik. Dan kini bukan saja dua tinju yang bergerak menyerang tetapi
satu kaki ikut pula berkelebat ke bawah perut Wiro Sableng! Wiro
Sableng keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya mengapung sampai dua tombak
dan dari atas laksana elang menyambar anak ayam dia menukik. Lima jari
tangannya menyambar ke arah kepala Nan-king Kui-ong yang berambut
panjang awut-awutan. Nan-king Kui-ong geram sekali. Belum pernah
serangannya yang begitu hebat dapat diruntuhkan lawan malah kini
mendapat serangan balasan. Bu Ceng rendahkan kuda-kuda kedua kakinya.
Tubuhnya kini merunduk dan serentak dengan itu tangan kirinya memukul ke
atas. Sesaat kemudian kedua orang itu sama-sama mengeluarkan seruan. Meskipun
sudah merunduk namun jari-jari tangan Wiro masih sempat menjambak putus
segenggam rambut di kepala Bu Ceng hingga kulit kepalanya mengeluarkan
darah. Sakitnya tentu saja bukan kepalang. Sebaliknya Wiropun kena dihantam oleh pukulan Hoan-thian-ciang (pukulan membalik langit)
yang dilepaskan lawan. Tubuhnya tergetar dan dadanya berdenyut sakit.
Cepat-cepat dia jungkir balik dan begitu berdiri di atas kedua kakinya
dia segera salurkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena dihantam. Bu
Ceng merasakan dan melihat jelas pukulan saktinya tadi tepat mengenai
dada lawan. Tapi Wiro masih tegak berdiri tanpa cidera bahkan masih bisa
cengar cengir, membuat tokoh terlihai dari Lima Iblis Dari Nanking ini
jadi melengak kaget kalau tidak mau dikatakan dingin tengkuknya. Selama
ia memiliki ilmu pukulan Hoan-thian-ciang itu, tak ada satupun musuh
yang bisa selamat, paling tidak muntah darah atau terluka di dalam. Sebenarnya
ingin sekali Bu Ceng mengetahui siapa adanya pemuda acing berambut
gondrong bertampang tolol ini. Namun untuk bertanya dia merasa jatuh
harga diri danakan menunjukkan kekecutan beiaka. Dalam hatinya dia
membatin, "Keparat ini memiliki kepandaian tinggi. Berbahaya. Kalau tidak segera kuhabisi bisa berabe buntut-buntutnya …" Maka tanpa menunggu lebih lama Nanking Kui-ong langsung menyerang. Dia
kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan gin-kang dan iwekangnya yang
tinggi dalam setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Tubuhnya
lenyap. Yang kelihatan hanya bayangan jubah hitamnya berkelebat kian
kemari. Demikian hebatnya serbuan Nan-king Kui-ong hingga Wiro merasa
seolah-olah ada setengah lusin musuh yang menggempurnya saat itu.
Tubuhnya disambar angin serangan dari berbagai penjuru dan sesaat
kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga pendekar ini melintir.
Nan-king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan keseimbangan kirim
tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut. Namun saat itu Wiro
sudah dapat menguasai diri. Murid Sinto Gendeng ini membentak
nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari pemandangan dan yang ada
kini hanya bayangan putih menyambar kian kemari. Kini Nan-king Kui-ong
yang ganti kebingungan. Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro seperti ada
di sebelah kanan. Diserangnya ke jurusan itu namun tahu-tahu dia sendiri
mendapat serbuan dari sebelah kiri. Setelah menggempur lima belas
jurus tanpa hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah. Jubah hitamnya telah
basah oleh keringat dan ini membuat pakaian itu menebar bau yang semakin
menjadi jadi. Seumur hidupnya dia tak pernah kucurkan begitu banyak
keringat untuk perkelahian yang masih di bawah dua puluh jurus.
Tiba-tiba. Buk! Nanking Kui Ong mengeluh dan pegangi dadanya yang
kena disodok sikut lawan. Belum lagi hilang rasa sakitnya dia harus pula
menerima jambakan pada rambutnya. Demikian hebatnya hingga pada bekas
rambut yang tercabut itu kelihatan kepalanya seperti botak dan
mengucurkan darah. Nanking Kui-ong meraung kesakitan. "Setan alas!
Aku bersumpah untuk membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng dalam
sakit dan marahnya. Dan wuut! Satu sinar biru berkiblat menyambar ke
arah Wiro Sableng. Melihat angkernya sinar dan derasnya angin yang
menyambar Wiro tak berani bertindak gegabah. Dia melompat mundur.
Memandang ke depan dilihatnya lawan memegang sebuah tasbih yang
memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah senjata mustika hasil
rampasan pada masa perang dulu. Wiro yang bisa menduga hal ini berseru
mengejek. "Seorang iblis bersenjata tasbih, sungguh lucu dan tak pantas. Kau curi dari mana tasbih itu?!" Rahang
Bu Ceng menggembung. "Bagaimana keparat asing ini tahu kalau tasbih ini
adalah senjata curian," katanya dalam hati. Tanpa banyak bicara
melayani kata-kata Wiro tadi dia langsung saja menyerbu dengan
menyabatkan tasbih. Sinar biru yang keluar dari senjata sakti ini
menderu menelikung aneh disertai hawa dingin menggidikkan. Wiro cepat
berkelit menghindarkan serangan lawan. Namun tiba-tiba dengan kecepatan
luar biasa senjata itu membalik dan kembali menabur sinar biru.
Demikian terjadi berulang kali. Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan
yang ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh yang tinggi niscaya sudah
beberapa kali dia kena dihantam tasbih mustika, paling tidak terserempet
sinarnya yang mengandung hawa dingin. Serangan Nan-king Kui-ong datang bertubi-tubi. Sinar biru dan hawa dingin menggebu-gebu. Menelikung dan mengurung dari berbagai arah, mempersempit ruang gerak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lambat laun hawa dingin itu dirasakannya mulai membuat matanya perih dan menekan denyut jantungnya. "Gila! Lama-lama aku bisa remuk dibuatnya!" kata Wiro. Lalu
dia membentak nyaring. Sikap dan gerakannya seperti hendak mengeluarkan
satu serangan balasan yang hebat detik itu juga. Hal ini membuat
Nan-king Kui-ong cepat berlaku waspada. Namun justru saat itu Wiro sama
sekali tidak melancarkan serangan hebat atau melepas pukulan sakti
melainkan seperti seorang gila atau tepatnya seperti seekor monyet
terbakar buntut dia melompatlompat petatang peteteng. Sesekali dia
menggelitiki tubuhnya sendiri seperti lutung lalu tertawa gelak sambil
garuk-garuk kepala. "Keparat ini benar-benar miring otaknya!" kertak
Nan-king Kui-ong. Dia salurkan tenaga dalamnya lebih besar hingga tasbih
di tangannya memancar lebih terang dan menderu-deru sewaktu dia kembali
mulai menggempur. Akan tetapi bagaimanapun dahsyatnya serangan manusia
iblis ini tak satupun berhasil mengenai Wiro Sableng padahal lawan
kelihatan begitu jelas untuk diserang bahkan ditamatkan riwayatnya. Ilmu
silat yang dikeluarkannya Wiro Sableng saat itu adalah ilmu silat
"orang gila" yang dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni Tua Gila.
Ilmu silat ini memang aneh dan mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur
hidupnya manusia berjuluk Nan-king Kui-ong baru kali itu menyaksikan
ilmu silat macam begitu. Mau tak mau dia jadi bingung. Lebih-lebih
ketika Wiro salurkan hawa sakti pada kedua tangannya hingga setiap
serangan tasbih dapat dibendung. Nan-king Kui-ong hampir hilang
kesabarannya ketika dalam satu jurus dia melihat kedudukan lawan
dianggapnya lemah. Maka dia tidak membuang kesempatan dan langsung
menerjang. Tasbih di tangan kanannya menabur sinar terang menyilaukan,
membabat dari samping kiri. Tampaknya hendak menghantam ke jurusan dada
Wiro Sableng yang terbuka. Namun sebelum sampai, tiba-tiba senjata itu
melesat menghantam ke jurusan kepala! Orang banyak yang menyaksikan
kejadian itu menahan nafas. Wiro terlihat seperti tidak berdaya untuk
mengelak. Sekali ini akan hancurlah kepala pemuda asing ini, pikir
mereka. Sesaat lagi tasbih itu akan mengenai sasarannya, Pendekar 212
angkat tangan kanannya ke muka. Telapak tangan menghadap ke depan dan
jari-jarinya menekuk membentuk cakar. Sambil kerahkan tenaga dalamnya
murid Sinto Gendeng ini sudah siap untuk menangkis tasbih dan sekaligus
merenggut merampasnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi mendadak
terdengar suara menderu. Tujuh warna sinar pelangi berkiblat,
menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung Tasbih. Sedetik kemudian tasbih
itu putus hancur bertaburan dengan mengeluarkan suara bergemerincing! Nan-king
Kui-ong berseru kaget dan melompat mundur. Dia masih kurang cepat.
Ujung sinar pelangi mengejarnya dan bret! Pakaiannya di bagian dada
robek besar. Pucatlah wajah manusia iblis ini. Di saat itu pula
terdengar suara bentakan garang: "Manusia iblis bernama Bu Ceng! Hari
ini kutagih hutang darah dan nyawa! Serahkan kepalamu!"
***
BU CENG yang
kenali suara menggeledek itu berpaling ke kiri. Wajahnya berubah putih.
Dadanya berdebar dan lututnya bergetar goyah. Memandang ke kiri
dilihatnya Ki Hok Bun Pendekar Pedang Pelangi tegak dengan muka
membersitkan hawa pembunuhan. Di tangan kanannya berkilauan pedang
pelangi. "Celaka, bagaimana dia bisa muncul di sini," keluh Bu Ceng. "Twako,
kukira siapa. Terima kasih kau telah menyelamatkan mukaku yang buruk
ini dari hantaman tasbih curian itu!" kata Wiro merendah ketika dia
melihat kehadiran Ki Hok Bun di tempat itu. Melengak Bu Ceng
mendengar Wiro memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah, tambah celaka
jadinya. Rupanya kedua orang ini sudah saling kenal!" Bu Ceng jadi
bingung dan takut sekali. Menghadapi Wiro Sableng saja dia sudah tak
mampu, apalagi kini datang pula Ki Hok Bun untuk membalaskan dendam. Nan-king
Kui-ong melangkah mundur sewaktu Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar
ke kiri dan ke kanan. Hok Bun tahu apa yang ada dalam benak manusia
iblis ini. "Larilah jika kau memang mampu!" ujar Hok Bun. Sadar kalau dia tak mungkin melarikan diri Bu Ceng yang banyak akal dan licik ini tiba-tiba jatuhkan diri dan bersujud. "Ki
Hok Bun ciangkun," katanya tanpa mengangkat keningnya dari tanah.
"Mengingat hubungan baik kita di masa perang dahulu, sudilah ciangkun
mengampunkan selembar nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf dan
bertobat. Aku berjanji akan kembali ke jalan benar." "Manusia iblis! Kau lupa apa yang telah kau lakukan terhadap anak dan istriku? Sekarang kau mengemis minta ampun!" Bu
Ceng alias Nan-king Kui-ong angkat kepalanya. Sambil berlutut kini dia
berkata "Ciangkun, aku betul-betul merasa berdosa atas semua perbuatanku
di masa lampau. Apapun yang bakal kau lakukan atas diriku akan kuterima
asal kau mau mengampunkan nyawaku." "Enak betul ucapanmul" kata Ki
Hok Bun. Saat itu dia tak dapat lagi menahan hati. Kaki kanannya menderu
menendang dada Bu Ceng. Pimpinan manusia-manusia iblis itu terlempar.
Sambil mengerang dia bangkit berlutut seperti tadi dan kembali merengek
minta diampuni. Ki Hok Bun menyeringai. Pedang pelangi di angkatnya
tinggi-tinggi. Sebelum memenggal leher musuh besarnya ini dia berniat
menebas bagian-bagian tubuh Bu Ceng terlebih dahulu. Namun sebelum
pedang itu meluncur turun tiba-tiba didengarnya Wiro Sableng berseru
"Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat membunuhnya!" Pendekar Pedang
Pelangi Ki Hok Bun berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan berkata
"Waktu manusia iblis ini melakukan perbuatan biadab itu dia tidak
sendirian. Ada empat orang kawannya. Kudengar kau telah berhasil
membunuh dua di antara mereka. Berarti masih ada dua iblis lainnya. Di
mana dua iblis itu berada pasti dia tahu. Kita tak bakal susah-susah
mencari mereka … " Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar dan
bersinar. Sambil mengangkat tangannya dia berkata, "Ciangkun, jika
kuberi tahukan di mana mereka berada apakah kau mau mengampuniku? Aku tak perduli apa yang kau akan lakukan terhadap Si Golok Ib!is Gui Kun dan Tui-hun Hui-mo…" "Lekas
katakan di mana mereka!" bentak Ki Hok Bun yang merasa bahwa ucapan
Wiro ada benarnya. Kalau Bu Ceng dibunuhnya saat itu memang berarti dia
berhasil melampiaskan dendam kesumatnya. Akan tetapi dia akan butuh
waktu untuk mencari dua manusia iblis lainnya. Tak ada salahnya menunda
kematian Nan-king Kui-ong dan pergunakan manusia ini sebagai alat untuk
mencari dua kambratnya. "Hai, lekas katakan di mana mereka!" sentak Ki
Hok Bun kembali. "Tapi kau akan mengampuniku bukan …?" Yang
menjawab adalah Wiro. "Soal nyawamu bisa diatur kemudian sobat. Sekarang
lebih baik terangkan di mana dua anak buahmu itu berada." Bu Ceng
tak segera menjawab. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun
tempelkan ujung pedang ke tenggorokannya. Kontan Bu Ceng membuka mulut,
"Baiklah, aku akan katakan. Mereka … mereka berada di sebuah rumah
pelacuran. Di Ankeng ini juga. Aku akan tunjukkan pada kalian." Bu
Ceng lalu berdiri. Diiringi Ki Hok Bun danWiro Sableng serta orang
banyak yang ingin menyaksikan kejadian itu lebih lanjut, dia menuju ke
pinggiran kota. Song Bun Lip dan Lu Sian Cin kelihatan diantara
rombongan orang yang mengikuti. "Awas kalau kau menipu kami Bu Ceng," kata Ki Hok Bun memperingatkan. "Ciangkun,
kau percayalah padaku. Bahkan jika kau betul nanti mengampuni jiwaku,
kelak tiga peti emas rampokan dulu bisa kita bagi dua. Kau masih ingat
pada peti-peti emas itu ciangkun?" Ki Hok bun muak mendengar kata-kata Bu Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan banyak mulut. Jalan terus!" Wiro
Sableng yang mendengar ucapan Bu Ceng itu hanya tertawa menyengir.
Siapa yang mau percaya pada kata-kata manusia iblis seperti Bu Ceng? Rumah
mesum di mana saat itu Iblis Pengejar Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok
Iblis Gui Kun berada dan tengah bersenang-senang terletak agak di
pinggiran kota Ankeng. Melihat munculnya seorang berjubah hitam
bertampang seram diiringi seorang lelaki separuh baya berwajah penuh
berewok serta seorang pemuda asing berambut gondrong, ditambah pula
dengan serombongan orang banyak yang mengikuti mereka dari belakang,
tentu saja pemilik gedung pelacuran, germo serta tukang pukulnya kaget
bercampur heran. "Ada apakah?" tanya sang germo seorang bertubuh
gemuk bermuka merah. Ki Hok Bun bepaling pada Bu Ceng dan menganggukkan
kepalanya. Bu Ceng lantas berkata, "Dua orang kawanku ada di dalam sana. Panggil mereka. Katakan pangcu mereka memanggil!" "Maksud loya dua orang berjubah hitam dan berewokan seperti loya?" "Betul!" Germo
itu menatap Bu Ceng sesaat. Hatinya bergetar melihat keangkeran manusia
iblis ini. Lalu berpaling pada Ki Hok Bun dan Wiro Sableng. "Loya … mereka sedang istirahat dan menghibur diri. Mana mungkin aku berani mengganggu mereka?" si germo akhirnya berkata. Nan-king Kui-ong menunjukkan tampang berang dan membentak, "Apa perlu kami yang langsung masuk?!" Wiro
garuk-garuk kepaia sedang Ki Hok Bun pegang gagang pedangnya. Melihat
gelagat yang kurang baik ini tukang pukul rumah pelacuran hendak
melangkah maju namun cepat ditahan oleh sang germo. Dia sudah
berpengalaman dan maklum kalau tiga orang yang ada di depannya itu bukan
manusia-manusia biasa. Pasti orang-orang dari rimba hijau (persilatan). Dan dia tak mau mencari urusan dengan orang-orang tersebut. "Baik
loya, aku akan beritahu mereka," kata si germo lalu cepat-cepat masuk
ke dalam. Saat itu Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to sedang duduk di
atas sebuah kursi besar ditemani dua pelacur sambil meneguk anggur. Si
Golok Iblis Gui Kun memangku seorang pelacur berkulit putih bertubuh
langsing. Hampir tiada henti dia menciumi pelacur ini. Kalau saja bukan
lantaran uang tentu saja si pelacur merasa jijik terhadap manusia ini.
Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun asyik mendekapi pelacur
pilihannya, seorang perempuan berbadan gemuk dan berambut panjang.
Tangannya merayap kian kemari. Kedua apak buah Nan-king Kui-ong ini
saat itu sudah siap-siap untuk masuk ke kamar masingmasing ketika germo
berbadan gemuk mendatangi. "Loya berdua harap maafkan. Ada orang mencari loya… " Merasa
terganggu tentu saja kedua orang itu marah sekali. Iblis Pengejar Maut
Tui hun membentak sambil bantingkan gelas anggur ke lantai hingga pecah
berkeping-keping. "Aku sudah bilang berapa kali! Jangan ganggu kalau kami sedang bersenang-senang …!" "Tapi yang mencari adalah …" "Sekalipun setan aku tak perduli!" kini Si Golok Iblis Gui Kun yang buka mulut keras. Sesaat
germo itu jadi bingung. Dia tidak mau kehilangan dua orang tamunya ini
yang walaupun kasar liar serta bertampang bengis tapi nyatanya punya
banyak uang. Namun dia juga tidak mau cari urusan dengan tiga manusia di
luar sana. Maka dia memberanikan diri membuka mulut memberi tahu. "Yang mencari adalah pangcu loya berdua…" Dua
manusia iblis itu sesaat saling pandang. Dengan segan dan sambil
menggerutu keduanya bangkit dari kursi setelah terlebih dulu meminta
pelacur pilihan masing-masing untuk menunggu. Begitu sampai di luar
keduanya kontan melengak kaget setengah mati. Mereka memang melihat
pemimpin mereka tegak di halaman rumah, tetapi di samping sang pangcu
juga berdiri Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi, yang
kemunculannya pasti sudah dapat diterka yaitu untuk membalaskan dendam
kesumat. Selain itu mereka melihat pula seorang pemuda asing berambut
gondrong bertampang tolol yang mereka tidak kenal. Lalu orang banyak
yang sudah berkumpul di tempat itu. Keduanya heran mengapa ketua
mereka tegak agak gelisah dan kelihatannya dialah yang telah membawa Ki
Hok Bun serta pemuda asing itu ke tempat tersebut. Sepasang mata Iblis
Pengejar Maut Tui-hun memperhatikan robek besar di dada pakaian
pemimpinnya. Pasti sesuatu telah terjadi pikirnya. Lalu dia memberi
kisikan pada kambrat di sebelahnya. "Ada yang tidak beres. Kita kabur saja. Naga-naganya kita bisa celaka!" Si
Golok Iblis Gui Kun mengangguk perlahan-lahan. Namun saat itu mereka
dikagetkan oleh seruan pangcu mereka, "Ciangkun, tunggu apa lagi. Bunuh
saja kedua manusia tak berguna ini!" "Pangcu!" seru Gui-kun Kui-to.
"Jadi kau bersekutu dengan Ki Hok Bun…" Habis berkata begitu dia
berpaling pada Tui-hun Hui-mo danberkata "Tunggu apa lagi. Mari kabur!" Kedua
orang itu secepat kilat putar tubuh hendak masuk ke dalam rumah dan
seterusnya melarikan diri lewat pintu belakang. Namun keduanya serta
merta hentikan langkah ketika tahu-tahu di hadapan mereka sudah
menghadang pemuda asing berambut gondrong itu sambil tolak pinggang dan
cengar cengir. Tidak mengenali siapa adanya orang Si Golok Iblis Gui
Kun langsung membentak, "Bangsat rendah! Kau siapa berani menghalangi
kami?! Kepingin mampus?!" Wiro pencongkan hidungnya. "Mau kabur …? Tempat kabur manusia-manusia iblis macam kalian adalah neraka!" Tui-Hun
Hui-mo marah sekali. Lima kuku jarinya yang hitam panjang dan
mengandung racun jahat bekelebat ganas meremas ke arah muka Wiro
Sableng! Sebagai orang kedua dari Nan-king Ngo-kui, Tui-hun Hui-mo
tentu saja memiliki kepandaian tinggi luar biasa. Jurus yang barusan
dikeluarkannya untuk menyerang Wiro adalah hek-hou wat-sim atau macan
hitam mengorek hati. Sekali kepala lawan kena remas pastilah akan
hancur, mata terkorek keluar, hidung dan mulut copot! Belum lagi racun
mematikan yang terkandung dalam kuku kuku hitam itu. Tetapi hebatnya Wiro Sableng melayani serangan musuh itu dengan mengejek seperti orang mempermainkan. "Buset! Kau ini perempuan atau banci. Pelihara kuku begini panjang? Bagusnya kupotes saja!" Wiro
miringkan mukanya yang hendak diremas. Tangan kanannya bergerak dan
pletek… pletek… pletek… Tiga kuku jari Tui-hun Hui-mo patah
berpeletekan. Manusia iblis ini meraung kesakitan. Jarijari tangannya
mengucurkan darah? Melihat apa yang terjadi dengan kawannya, Si Golok
Iblis Gui Kun tak tinggal diam. Sekali bergerak empat golok terbang
dilemparkannya ke arah Wiro Sableng. Pemuda kita keluarkan siulan
tinggi. Tubuhnya bekelebat. Dua golok berhasil dikelit dan menancap pada
kusen pintu. Dua golok lainnya dengan sikap acuh tak acuh ditangkapnya
lalu trak … trak. Kedua senjata ini dipatahkannya! Tentu saja Si Golok
Iblis Gui Kun jadi terkesiap setengah mati. Selama hidup baru sekali ini
dia menemui lawan yang kepandaiannya begitu tinggi. Sedang Tui-hun
Hui-mo menjadi goyah lututnya dan meleleh nyalinya.. Nan-king Kui-ong
alias Bu Ceng yang sebelumnya sudah menyaksikan danmerasakan sendiri
kehebatan Wiro saat itu terkesima demikian rupa karena nyatanya pemuda
asing berambut gondrong itu benar-benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki
Hok Bun sendiripun masih ketinggalan jauh. Bahkan gurunya sendiri
menurut Bu Ceng paling tidak masih dua tingkat di bawah pemuda itu. Ki Hok Bun sendiri diam-diam tak habis mengagumi kelihayan Wiro. Sulit dipercayanya ada manusia sehebat ini. Selagi
Ki Hok Bun maupun Nanking Kui Ong tertegun begitu rupa Wiro sudah
mencekal rambut panjang dua manusia iblis itu lalu mendorongnya dengan
keras hingga Tui-hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to jatuh tergelimpang di
tanah tepat di hadapan Ki Hok Bun. Keduanya cepat bangun dan bersurut mundur melihat Ki Hok Bun cabut pedang mustikanya. "Pangcu!"
berseru Golok Iblis Gui kun memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau
bersekutu dengan musuh besar kita ini. Tapi kenapa kau suruh bunuh kami?
Bantu kami menghadapi mereka!" Bu Ceng tertawa mendengar kata-kata
anak buahnya itu dan berkata, "Sobatku Gui-kun harap maafkan. Saat ini
aku bukan pangcumu lagi. Antara kita tak ada hubungan apa-apa lagi. Tak
ada satu orangpun yang sanggup menyelamatkan nyawa kalian dari kematian
di tangan Ki Hok Bun ciangkun. Namun ciangkun masih berbaik hati memberi
kesempatan pada kalian untuk membela diri!" "Pengkhianat busuk!" maki Si Golok Iblis Gui Kun. Tui-hun Hui-mo yang sudah melihat tidak ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki Hok Bun! Apakah untuk menghadapi kami berdua yang mengandalkan tangan kosong kau begitu pengecut hendak pergunakan Pedang Pelangi?" Tui-hun
Hui-mo sebetulnya coba mengukur tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam
tangan kosong jika dikeroyoik dua dia merasa pasti akan dapat
mengalahkan Ki Hok Bun. Tetapi jika lawan memegang Pedang Pelangi, sulit
untuk menyelamatkan diri. Namun di lain pihak Ki Hok Bun yang
berjiwa kesatria sejati begitu mendengar kata-kata salah seorang
lawannya segera sarungkan Pedang Pelangi. Lalu tanpa tunggu lebih lama
dia menerjang ke hadapan kedua musuh besarnya itu. Maka terjadilah
perkelahian dua lawan satu yang hebat. Tui-hun Hui-mo meskipun
tangannya sebelah kanan terluka namun kehebatannya boleh dibilang hampir
tidak berkurang. Serangan-serangannya berupa cakaran dan pukulan serta
tendangan datang bertubi-tubi. Demikian pula Gui-kun Hui-to yang
bertubuh tinggi kurus itu. Serangannya menggebu-gebu. Walaupun dia cuma
jago ke lima di antara lima manusia iblis dari Nanking namun tingkat
kepandaiannya tidak boleh dipandang remeh. Apalagi kedua orang itu sadar
kedudukan mereka dalam keadaan terjepit hingga keduanya mengadu nyawa
karena laripun sudah tidak mungkin. Sepuluh jurus berlalu. Walaupun
belum kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia dibikin repot juga dan
hanya sekali-kali mampu balas menyerang. Jika saja pangcu mereka
membantu pasti Ki Hok Bun dapat dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun
Kui-to berteriak, "Pangcu! Lekas bantu kami!" Namun Nan-king Kui-ong
cuma tersenyum. Saat itu sebenarnya dia berada dalam keadaan tertotok.
Pada saat sampai di depan rumah pelacuran Ki Hok Bun telah menotok
manusia iblis ini hingga dia hanya mampu buka mulut tapi tak dapat
bergerak. Kalaupun dia tidak dalam keadaan tertotok tak juga dia akan
membantu kedua anak buahnya itu. Tentu saja dia merasa senang melihat
kematian mereka dari pada dirinya sendiri jadi korban. Memang begitulah
sifat manusia iblis seperti Bu Ceng. Tak perduli anak buah celaka asal
diri sendiri selamat! Memasuki jurus ke dua puluh karena menyerang
terus menerus tanpa hasil, tenaga dua manusia iblis itu mulai mengendor.
Kini Ki Hok Bun ambil kesempatan. Di jurus ke dua puluh satu
jotosannya menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga tubuhnya melintir
setengah lingkaran Gui-kun pegangi dadanya yang terasa sakit dan
nafasnya sesak. Dia merasa seperti mau muntah. Ketika dia meludah,
ludahnya bercampur darah! Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak
roboh ke tanah. Dia berputar-putar, tapi begitu berada tepat di belakang
Ki Hok Bun yang tengah menghadapi Tui-hun Hui-mo secepat kilat dia
cabut empat buah golok dan melemparkannya ke arah lawan yang
membelakang! "Twako awas serangan curang!" seru Wiro memberi tahu.
Dia tak mungkin menolong karena saat itu berada tepat di belakang Ki Hok
Bun. Kalau dia menghantam runtuh empat pisau itu dengan pukulan tangan
kosong ada kemungkinan satu dari senjata tersebut akan mengenai Ki Hok
Bun. Bekas perwira tinggi Kaisar itu sendiri sudah mendengar suara
bersiuran dari arah belakang. Ditambah dengan teriakan peringatan Wiro
dia sadar kalau telah diserang secara curang. Secepat kilat Ki Hok Bun jatuhkan diri seraya tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-mo. Meskipun
kaget melihat gerakan lawan menjatuhkan diri dan menangkap kakinya
namun Tui-hun Hui-mo melihat adanya kesempatan baik untuk mencengkeram
kepala dan pundak Ki Hok Bun. Namun sebelum maksudnya ini kesampaian
dua dari empat golok terbang yang dilemparkan Gui kun Kui to menancap
tepat di dadanya. Manusia iblis ini menjeril keras. Matanya melotot. Dia
tergelimpang di tanah. Golok Iblis Gui-kun bukan kepalang kagetnya
ketika menyaksikan bagaimana serangan mautnya tadi justru membunuh kawan
sendiri! Sesaat dia tertegun terkesiap. Justru ini adalah satu
kesalahan besar karena saat itu pula laksana seekor singa lapar Ki Hok
Bun melompatinya. Sepuluh jari tangannya langsung menyambar batang leher
Gui-kun. Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi cekikan
itu laksana jepitan baja. Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur keluar.
Mulutnya membusah ludah campur darah. Matanya membeliak. Bagian hitamnya
makin menghilang. Sesaat kemudian terdengar suara berderak tanda remuknya tulang leher Gui Kun. Nyawanya lepas. Tubuhnya terkulai. Tiba-tiba
seperti orang kemasukan setan Ki Hok Bun berteriak sambil mencabut
Pedang Pelangi. Semua orang yang ada di situ menyaksikan bagaimana tujuh
sinar pelangi berkiblat kian kemari membuntal tubuh Gui kun. Lalu sinar
itu berpindah ke arah tubuh Tui-hun Hui-mo. Kemudian kelihatanlah
hal yang mendirikan bulu tengkok karena terlalu mengerikan. Tubuh
Gui-kun dan Tui-hun Hui-mo kini terkapar di tanah dalam keadaan tidak
utuh lagi. Tercincang mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kaki! Wiro
sendiri bergidik menyaksikan hal itu sedang Nan-king Kuiong melengos ke
jurusan lain! Nan-king Kui-ong kemudian menyadari bahwa ada
seseorang yang mendekatinya dari arah depan. Ketika dia berpaling ke
jurusan itu dadanya jadi berdebar. Ki Hok Bun dilihatnya melangkah
mendatangi dengan Pedang Pelangi terhunus. Senjata mustika ini penuh
lumuran darah. Darah Gui- Kun dan Tui-hun! "Bu Ceng, katakan di mana kau sembunyikan tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki Hok Bun ajukan pertanyaan. "Ciangkun … seperti yang aku bilang. Tiga peti emas itu akan kita bagi dua. Kita bisa berangkat ke sana sekarang." "Baik, tapi aku ingin kau memberitahu dulu di mana tempat kau sembunyikan. Aku tidak mau tertipu … " "Tapi … ciangkun, apa kau tidak percaya padaku?" Ki Hok Bun menyeringai. "Jangan banyak tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau kucincang kau seperti kawan-kawanmu detik ini juga?" Tubuh Bu Ceng alias Nanking Kui Ong bergeletar. "Letaknya
kira-kira lima puluh lie dari sini. Di sebelah selatan ada sebuah
reruntuhan klenteng. Di tanah pada pintu sebelah belakang tiga peti emas
itu kupendam…" "Kau berani dusta terhadapku Bu Ceng?!" hardik Ki Hok Bun. "Aku tidak dusta ciangkun. Kita ke sana saja sekarang jika ciangkun tidak percaya," sahut Bu Ceng. Ki
Hok Bun anggukkan kepala dan mengerling ke arah Wiro. Melihat isyarat
ini Wiro lalu lepaskan totokan di tubuh Bu Ceng seraya berkata, "Manusia
tolol. Apakah kau pernah mendengar kalau bangsa iblis dan setan macammu
ini akan ditempatkan Thian di sorga sekalipun dia menyerahkan seratus
peti emas?" Sesaat Bu Ceng tertegun. "Apa maksudmu?" tanya dengan suara besar serak. "Maksudku
kau tetap harus mampus. Dosa dankejahatanmu sudah selangit. Malah sudah
menerobos langit! Kalau bukan karena kau biang racunnya istri dan anak
saudara angkatku itu tak akan menemui kematian. Nah sekarang kau
hadapilah twakoku itu!" Wajah Bu Ceng yang garang jadi berubah putih kertas. Pucat pasi. "Tapi… tapi … bukankah dia sudah janji memberi ampun dan tiga peti emas itu kami bagi dua…?" "Jangan
bicara ngelantur manusia durjana!" hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi
memberi ampun padamu. Pengampunan tidak akan menghidupkan kembali anak
serta istriku! Soal emas itu kau bisa terima bagianmu di neraka!" "Jadi… kau sengaja menipuku?!" Mata Bu Ceng melotot. Kembali Ki Hok Bun menyeringai. "Terserah
kau mau bilang apa. Yang jelas kau akan susul empat anak buahmu. Mereka
telah tak sabar menunggumu di neraka. Di dunia kalian sama-sama berbuat
kejahatan. Ganjarannya di akhirat juga harus kalian rasakan sama-sama!" Dendam
kesumat yang membara membuat Ki Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan
segala macam aturan persilatan ataupun jiwa satria terhadap musuh paling
besarnya ini. Pedang sakti di tangan kanannya tergenggam erat. Sekali
senjata ini menabas maka terpekiklah Bu Ceng. Tangan kanannya putus.
Pedang berkelebat lapi. Tangan kirinya kini yang jadi sasaran. Sekali
lagi senjata itu menderu. Dan anggota rahasia Bu Ceng amblas putus! Terdengar
suara seperti sapi dipotong keluar dari tenggorokan pimpinan
manusia-manusia iblis itu. Tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa lagi. Dan
seperti tadi, seperti kamasukan setan Ki Hok Bun bacokkan pedangnya
berulang kali ke tubuh Bu Ceng hingga tubuh itu tak karuan rupa lagi,
hancur luluh! Sesaat setelah sadar akan dirinya Ki Hok Bun jatuhkan
diri di tanah. Mulutnya bergetar ketika berkata, "Istriku The Cun Giok,
anakku Sun Bie, hari ini aku Ki Hok Bun telah membalaskan sakit hati
kalian atas lima manusia iblis itu. Kuharap kalian berdua bisa tenteram
kini di alam baka …. " Lalu KI Hok Bun menangis sesenggukan. ‘Twako,
bangunlah…!" kata Wiro sambil memegang bahu saudara angkatnya itu.
Perlahan-lahan Ki Hok Bun berdiri. Ditatapnya muka pemuda itu lalu
berkata, "Tarima kasih. Aku berhuYtng budi bahkan bwhutang nyawa
terhadapmu. Kau sudah tahu di mana tiga peti emas itu disembunyikan.
Pergilah ke sana dan ambillah…!" Wiro Sableng tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. "Sekarang
bukan saatnya bicara segala hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu,
aku mana ada hak untuk memilikinya. Takdir menentukan emas itu harus
menjadi milikmu…" "Kalau begitu tiga peti emas itu kukembalikan saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki Hok Bun pula. Wiro
jadi mendelik. "Kenapa jadi begitu tolol twako? Kalaupun mau
dikembalikan cukup dua saja, yang satu ambil olehmu. Kau sudah
kehilangan segala-galanya twako. Anak istri, rumah dan ladang. Kau perlu
sesuatu untuk modal masa depanmu!" Ki Hok Sun merenung. "Kata-katamu akan kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan menuju ke sana. Kau ikut…?" "Tidak twako. Aku akan melanjutkan perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini yang belum kudatangi! "Kalau
begitu kita berpisah dan selamat jalan. Selama langit masih biru, hutan
masih hijau dan air sungai masih mengalir ke laut, aku tak akan
melupakanmu dan kuharap kita bisa berjumpa kembali!" Wiro mengangguk. "Kudoakan agar kau bahagia twako." Keduanya
saling rangkul beberapa ketika. Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu
lebih dulu. Wiro memperhatikan sampai saudara angkatnya itu lenyap di
kejauhan. Setelah Ki Hok Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh siap
pule untuk pergi. Namun tiba-tiba satu tangan halus memegang lengannya.
Dia berpaling. Ternyata pelacur jelita bernama Lu Sian Cin itu. "Eh, ada
apakah nona …?" "Tayhiap, kau telah menolongku. Kalau tak ada kau
mungkin aku sudah mati di tangan manusia iblis itu. Aku merasa tidak
tenteram sebelum dapat membalas budi bessrmu itu…" "Eh, aku tidak mengharapkan imbalan apaapa…" "Terus terang akupun tak punya harta apa-apa. Kecuali…" "Kecuali apa maksudmu?" Lu
Sian Cin membisikkan satu kata-kata mesra ke telinga Wiro Sableng
membuat pemuda ini jadi merah wajahnya tapi juga senyum-senyum. "Kau mau…?" Wiro
garuk-garuk kepala. Siapa yang tak mau diajak bersenang-senang oleh
perempuan secantik Lu Sian Cin ini? Tapi walau bagaimana pun Lu Sian Cin
adalah pelacur. Dan ini membuat pendekar kita jadi meragu. Namun untuk
menyenangkan hati perempuan itu dia berkata, "Baiklah, aku akan datang
ke tempatmu. Kau berangkat saja lebih dulu. Nanti kususul!" Wiro
kedipkan matanya. Lu Sian Cin tersenyum gembira dan setengah berlari
tinggalkan tempat itu.