memecah di pantai dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi
di udara pagi yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai
tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi tembok tinggi
sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun temboknya seluruhnya berwarna
merah.
LAKSANA
anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu
berlari kencang membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda
yang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, berpakaian
biru sedang kawannya seorang dara berkulit hitam manis dan mengenakan
pakaian ringkas kuning muda.
"Bisakah kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa memalingkan kepalanya.
"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku," menjawab si pemuda.
"Halangan apa maksudmu?"
"Lihatlah ke langit … "
Gadis
itu mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas
sana telah gelap oleh gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi
hampir seluruh tempat.
"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang
bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan
berbatu licin berlumut, serta diapit oleh jurang-jurang terjal … Itulah
halangan yang kumaksudkan."
"Mudah-mudahan saja hujan tidak turun
dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan tali kekang kudanya.
Binatang itu mendongakc ke depan dan mempercepat larinya. Pohon-pohon
yang dilalui laksana terbang ke belakang.
Kira-kira sepenanakan nasi
berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup keras
menderuderu. Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya
gumpalan-gumpalan awan hitam mulai pupus sekelompok demi sekelompok.
Udara yang tadi mendung kini berangsur cerah.
"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si
pemuda hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu
berkata, "Kalau begitu kita memang bisa sampai sebelum malam turun.
Berarti kau bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih cepat.
Bukankah itu yang kau inginkan?"
Sang dara cemberut. Kedua pipinya
kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda disampingnya tersenyum.
Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya senyuman si pemuda
sewaktu di hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan merah dan
dua sosok tubuh manusia aneh sesaat kemudian sudah berdiri menghadang di
tengah jalan.
Kedua saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan
main dan serta merta menghentikan kuda masing-masing. Bau busuk
menyambar dari tubuh para penghadang yang mengenakan pakaian merah basah
sedang wajah masing-masing ditutupi oleh cairan yang setengah membeku.
Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.
"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.
"Kalian siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi dan sikap gagah.
"Kami adalah Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak pinggang.
"Istana Darah?!" mengulang si pemuda dengan terkejut.
Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut perintah?"
"Turut perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!" membentak gadis berbaju kuning.
"Ohoo … galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak pinggang.
"Kami
tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri
jalan. Kalau tidak kalian akan menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan
perlingatan.
"Pemuda sombong tekebur! Kau tak akan kuberi hidup lebih
lama!" Hulubalang Darah yang tegak di sebelah kanan menerjang ke depan
dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal si pemuda segera cabut pedang
di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas serangan Hulubalang Darah.
Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu.
Tubuhnya mencelat mental dari atas punggung kuda yang ditungganginya,
sedang pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia rendah! Matilah!"
Satu
bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke
arah batang leher Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget
namun tidak menjadi gugup. Di Istana Darah dia adalah Hulubaiang Darah
Ketujuh yang mempunyai kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia
berhasil mengelakkan sambaran pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat
dia berhasil memukul mental pedang di tangan lawan. Si gadis mengeluh
kesakitan sambil pegangi lengannya yang menjadi merah bengkak.
Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.
"Gadis manis sepertimu
ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah sekarang
kalian mau menyerah baik-baik atau bagaimana?"
"Baik, aku akan menyerah," jawab si gadis, "tapi…" digerakkannya tangannya.
"Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan
dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian
begitu dia gerakkan tangan kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat
tanpa suara ke arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang Darah
Ketujuh!
"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah.
Dikebutkannya lengan pakaiannya. Puluhan jarum yang menyerang serja
merta mental dilanda angin dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian
itu!
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru
berseru. "Mia! Larilah! Lari lekas! Biar aku yang menghadapi
begundal-begundal jahat ini." Dari pertempuran yang baru berjalan
beberapa gebrakan itu si pemuda sudah menyadari bahwa walau bagaimanapun
tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi kedua lawan yang memiliki
kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik seperguruannya
dia bersedia korbankan nyawa.
"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat
ini adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani yang membuat kakak
seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya juga sudah menyadari
nasib apa yang bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak merasa gentar.
Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani maju ke hadapan
Hulubalang Darah Ketujuh,
Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling
pada temannya. "Hulubalang Sebelas, kau bereskan pemuda itu. Aku akan
tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan membawanya ke Istana!"
Hulubalang
Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada
dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang
Ketujuh tadi. Namun demikian dengan sisa kekuatan yang ada dan penuh
keberanian si pemuda melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan
kirinya tiba-tiba melepaskan dua puluh jarum biru sedang tangan kanan
diayunkan ke batok kepala lawan. Serangan ini disertai dengan satu
loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani bertindak
sembrono.
Dengan berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu
pukulan tangan kosong ke udara, seranganserangan jarum biru berhasil
dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas. Untuk menghadapi serangan
lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada batok kepalanya, Hulubalang
Darah Kesebelas memukulkan tangannya ke atas dengan mengandalkan
setengah bagian tenaga dalamnya.
Dalam keadaan terluka begitu rupa
bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda baju biru. Walaupun
tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya
akan terjamin. Karenanya begitu lawan memukulkan lengannya ke atas,
pemuda baju biru menjejak tanah dan melompat satu tombak. Bersamaan
dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!
Hulubalang Darah
Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu
rupa. Saat itu dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga
dalamnya untuk melakukan bentrokan lengan. Tubuhnya telah mendongak ke
atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup sulit untuk menyelamatkan
dadanya dari tendangan si pemuda. Namun adalah percuma dia menjabat
kedudukan Hulubalang di Istana Darah kalau serangan begitu saja dia
tidak sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat
Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya merupakan bayangan
merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di sebelah mana
lawannya berada, tahutahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat di
bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun lagi pemuda itu
muntah darah dan tersungkur ke tanah!
"Kangmas Widura!" pekik Miani.
"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura sementara nafasnya mulai megap-megap.
Bukannya
lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun
sebelum dia sempat berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di
punggungnya membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi. Hanya mulutnya
saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki dan mengutuki kedua
manusia berbaju merah itu.
Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk
merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri. Dia berpaling pada
kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan pekerjaanmu."
Dari
balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong
karet yang pada salah satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga
jengkal. Setelah mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat tajam
dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah
mendekati tubuh Widura yang saat itu tidak berkutik dan menggeletak di
tanah tengah meregang nyawa.
Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal leher Widura.
"Manusia
biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani
sewaktu menyaksikan bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat
nadi di leher Widura dengan pisau kecil lalu menghubungkan ujung pipa
karet dengan urat nadi yang menyemburkan darah. Sesaat kemudian kantong
karet itu kelihatan mulai menggembung tanda darah korban telah mengalir
masuk. Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk pinggul Miani sambil
tertawa gelak-gelak.
"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu tidak menjadi parau!"
"Kalian
manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!"
teriak Miani lalu berulang kali diludahinya muka Hulubalang Darah
Ketujuh.
"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas
hancur mulutmu!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Ditdriknya
pakaian kuning si gadis dan disekanya mukanya yang penuh ludah.
"Seharusnya kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan untuk dipakai sebagai cat istana Darah!"
Tiga
perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada
lagi darah yang mengalir masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah
Kesebelas mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan memanggul
kantong berisi darah itu.
"Atas semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata Hulubalang Darah Kesebelas dengan tertawa lebar.
"Yang
jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan
dihadiahkan padaku. Dia menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan
Raja datang untuk mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani
mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku! Jangan bawa ke
Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang Darah
Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu
bersama kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.
***

PAGI ITU
udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin
melewati puncak gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap
putih kelabu yang kemudian menjadi satu dengan awan yang bergerak. Di
salah satu lereng gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini
merupakan sebuah goa yang bagian dalamnya dipakai sebagai tempat
kediaman. Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu besar berwarna
hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran, duduklah seorang Brahmana
berselempang kain putih. Kedua tangannya diletakkan di atas paha sedang
sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan
ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya yang putih menyeka bahu
melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin naik matahari, semakin khusus
Brahmana ini bersemedi.
Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah
sebuah air terjun kecil kelihatan seorang pemuda bertubuh tinggi
langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat kian
kemari. Di tangan kanannya ada sepotong bambu hijau yang digerakkan
demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana
menderu-deru. Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu
hanya merupakan sambaran sinar hijau belaka.
Sambil melompat gesit di
atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak mendekati
air terjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak setengah
tombak dari air terjun dan brass! Air terjun muncrat jauh lalu baru
mengalir lagi seperti sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si
pemuda dan hatinya baru merasa puas.
Kemudian dia berdiri di atas
ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki kiri yang
dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali memapas
air terjun. Ketika ditelitinya bambu itu, tak setetespun air melekat di
situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah tetapi
daya dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya
yang berpijak di batu licin!
"Kepandaianku telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat gurunya.
"Ketinggian
ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku
lekas puas, apalagi sombong." Pemuda bercawat itu kemudian
melompat-lompat lagi di atas bebatuan dan tangannya tiada henti
memainkan bambu hijau itu dalam gerakan-gerakan ilmu pedang yang
mengagumkan. Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia hentikan semua
gerakannya dan duduk berjuntai di cabang sebuah pohon. Dia berlaku
demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu pemikiran muncul
di kepalanya.
"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin. Kenapa sampai pagi ini masih belum muncul?"
Selagi
dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara
memanggil laksana ditiupkan oleh angin dan bergema di sekitar tempat
itu, apapun adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu
mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat sekali.
"Panji kemarilah!"
Seraya melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan berseru menjawab. "Saya datang Eyang!"
Laksana
seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng
berbatu-batu dan akhirnya sampai di satu jalan kecil yang menuju ke
pertapaan.
Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan bertanya.
"Ada apa Eyang memanggil saya?"
"Kau habis berlatih … ?"
"Betul sekali Eyang."
"Bagaimana, apakahada kemajuan kau rasakan?"
"Berkat
petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia
berdiam diri menunggu penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.
"Aku
barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam
semediku aku mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri
Widura dan Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka masih
belum sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon petunjuk Eyang lebih lanjut."
"Mereka
berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari
pengalaman mereka ku lepas selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah
lebih waktu tersebut dan mereka belum juga kembali. Cobalah kau turun
gunung dan menyelidiki keadaan sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi
apa-apa dengan mereka."
"Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian dulu."
Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan memberi isyarat.
"Satu
hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia
persilatan kini tengah mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu
didalangi oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut
dirinya Hulubalang Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak
diketahui siapa yang memimpin mereka."
"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"
"Menculik dan membunuh setiap manusia berilmu."
"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.
"Sebegitu
jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang
mereka bunuh tidak berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau
kedua saudaramu telah menjadi korban manusiamanusia penghisap darah
itu."
"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa dengan mereka."
Sang guru mengangguk.
Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali sudah berpakaian rapi.
"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya mengeluarkan sebilah pedang bergagang gading.
Terkejutlah
Panji Kenanga don buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang
mempercayakan saya membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga
sewaktu melihat gurunya mengangsurkan pedang mustika itu.
"Kalau
tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya.
"Pergunakan sebaikbaiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam
bahaya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang."
Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya ke balik punggung pakaiannya.
"Sekarang
saya minta diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia
menjura sampai tiga kali lalu membalikkan tubuh. Seat itu dihadapannya
telah berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang
cepat laksana angin den bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh
Brahmana binatang ini diberi nama Angin Salju. Panji Kenanga melompat ke
punggung Angin Salju. Sebelum berlalu binatang yang jinak dan cerdik
ini enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada sang Brahmana, lalu
meringkik tiga kali seolah-olah mengucapkan selamat tinggal mohoi diri.
***
Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah hari perjalanan dari kaki gunung Raung.
"Kita harus mencari tempat berteduh sobatku." kata si pemuda pada kuda tunggangannya.
Angin
Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya
dan cerdik serta memahami apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan
cepat dia memutar tubuh dan laksana anak panah melesat menuju
segerombolan pohon-pohon yang berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya
dedaunan pohon-pohon ini hingga tak setetespun air hujan dapat menembus
tanah di bawahnya.
"Matamu tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga saraya mengelus tengkuk Angin Salju.
Binatang
itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian
itu. Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan
yang laksana dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji Kenanga mendengar
suara berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak
seorang pun manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang
tampak. Tapi anehnya suara berdering-dering itu terdengar semakin keras.
"Apakah
ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak
menakut-nakutiku?" pikir Panji Kenanya dalam hati. Lalu turun dari
kudanya.
Sebagai orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta
kesaktian dengan sendirinya Panji Kenanga memiliki pendengaran tajam.
Namun sekali ini dia terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat
mengetahui sumber datangnya suara berdering-dering itu. Dan sewaktu
sampai di tempat tersebut melengaklah Panji Kenanga.
Di bawah
sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala
botak bercelana tipis dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas
bertonjolan. Setiap saat orang berkepala botak ini menggerak-gerakkan
kedua tangannya melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu
menyambutnya kembali, melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali,
demikian terus menerus tiada henti. Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga
menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu jumlah yang sedikit.
Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu. Kemudian sepuluh mata
itu dilemparkan ke udara dan bertebar demikian rupa bukan suatu hal
yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluhsepuluhnya dengan kedua
tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan
berulang-ulang oleh si botak itu dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah
si botak ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat.
Astaga! Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak
bercelana komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana dia memiliki
kepandaian melempar dan menyambut sepuluh mata uang seperti itu?
Benar-benar aneh. Panji Kenanga melangkah lebih dekat
***

"BAPAK, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si
botak tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik
melempar-lemparkan sepuluh mata uang emas itu ke udara. Panji Kenanga
mengulang kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab. Terus saja
asyik bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia
tak dikenal ini tuli maka dia kemudian menegur lebih keras.
Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh:
"Hup!"
seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi
ke udara. Seperti daundaun kering yang dihembus angin uang-uang emas
itu melayang turun perlahan-lahan, kemudian satu demi satu jatuh
menempel di atas kepala botak si orang aneh, tersusun rapi. Hampir saja
Panji Kenanga berseru kagum melihat hal ini. Seorang yang tidak memiliki
tenaga dalam tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup melakukan hal
itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat begitu. Si botak yang
kini "bertopikan" uang emas kembali tertawa mengekeh. Tawanya tiba-tiba
lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar suara nyanyian
aneh:
Sejak lahir menderita buta
Sekeliling serba gelap gulita
Banyak berjalan banyak didengar
Datang bertanya seorang sahabat
Sungguh sayang belum bisa kujawab
Dan sehabis menyanyi ini, orang itu kembali tertawa mengekeh sedang
sepuluh keping uang emas masih terus menempel di kepalanya yang botak!
"Kalau
kau tak mau menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu
lebih lama," kata Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun
hatinya penuh diliputi rasa ingin tahu siapa gerangan adanya si botak
aneh bermata buta ini.
"Hai! Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau dengarlah satu lagi nyanyianku."
Panji Kenanga hentikan langkah.
Si
buta goyangkan kepala botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di
atas kepalanya melayang ke atas, disambutnya lalu dilemparkannya kembali
seperti tadi sehingga mengeluarkan suara berdering. Dan suara berdering
ini dengan teratur menimpali suara nyanyian yang dibawakannya.
Seorang muda datang menunggang Angin Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar nasihat?
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal pikiran
Agar selamat nyawa di badan.
Sepuluh keping uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu
seperti tadi melayang turun perlahanlahan laksana ditarik oleh suatu
kekuatan gaib yang tak kelihatan, mata-mata uang tersebut mendarat satu
demi satu di kepala botak si orang tua. Di lain pihak Panji Kenanga
heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak buta tak dikenal ini
tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau ditemui keadaan
yang mengharukan? Mengapa dia disuruh berjalan ke arah utara? Setelah
meragu sejenak Panji akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai, bagaimana
kau tahu nama kudaku dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian
tadi?"
Si botak mata buta menguap lebar-lebar. Disandarkannya pungung
dan kepalanya ke batang pohan di belakangnya lalu tidur dengan
mendengkur. Bagaimanapun Panji Kenanga berseru keras memanggil, tetap
saja dia terus ngorok.
Panji Kenanga geleng-gelengkan kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.
Karena
saat itu hujan telah berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si
botak tadi maka akhirnya Panji Kenanga naik ke punggung kudanya,
langsung menuju ke utara. Setelah merancah jalan yang becek akibat air
hujan, Panji Kenanga menemui sebuah lereng pendek berbatu-batu. Di
seberang lereng tersebut, diantara pepohonan yang bertumbuhan di sana
sini dilihatnya sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang menarik
perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang menyelimuti daerah di
seberang lereng berbatu-batu itu. Rupanya hujan tidak turun di daerah
itu.
Panji Kenanga menyentakkan tali kekang. Angin Salju kembali
menggerakkan keempat kakinya. Tak lama kemudian kedua makhluk itu telah
menempuh jalan kecil vang sebelumnya terlihat dari atas lereng. Ada kira
kira setengah peminuman teh melintasi jalan itu tiba-tiba Angin Salju
tanpa diperintahkan menghentikan larinya, mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!
"Kalau bukannya ada bahaya
atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu binatang ini tak akan
meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia melompat dari
punggung Angin Salju. Diusapnya tengkuk binatang ini beberapa kali
seraya berkata, "Tenang sobatku, tenang …" Si pemuda kemudian melangkah
mengikuti Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan.
Belum
lagi dua puluh langkah berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas
perkelahian di jalan sempit itu. Semak belukar banyak yang rambas
sedang di tanah ada noda-noda hitam membeku. Pemuda ini melangkah terus.
Tepat pada langkah yang keempat puluh, kedua kakinya laksana di pantek
ke tanah. Mukanya berubah. Untuk seketika dia tidak dapat bergerak
seperti patung.
"Widura!" serunya sesaat kemudian lalu menghambur ke muka.
Di
tepi jalan tergelimpang sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian
tubuhnya yang tidak tertutup pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain
kafan. Di sampingnya, diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini adalah
darah yang telah membeku. Dan sosok tubuh itu adalah Widura yang telah
jadi mayat. Panji Kenanga berlutut di samping jenazah adik
seperguruannya. Tubuhnya bergetar. Rahangnya terkatup rapat-rapat
menahan geram. Dia duduk di tanah memangku kepala Widura yang pucat
tiada berdarah. Saat itulah dilihatnya urat nadi yang putus di bagian
leher! Ini adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher itu jelas bukan luka
bukan luka akibat perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh yang pucat
pasi seperti tidak berdarah itu, apakah yang menyebabkannya?
Panji
Kenanga lantas ingat pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia
persilatan tengah dilanda malapetaka yang disebabkan oleh orang dari
Istana Darah. Bukan mustahil manusia-manusia terkutuk itulah yang telah
membunuh Widura. Tetapi tubuh yang seolah-olah kempes tanpa berdarah?
Apakah mungkin disedot? Geraham Panji Kenanga bergemeletakan. Dia
teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis itu sekarang?
Panji
Kenanya memandang berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika
pandangannya membentur gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang
hampir pupus oleh udara. Tulisan itu tidak begitu jelas namun sedikit
demi sedikit, dengan susah payah berhasil juga disambung-sambung oleh si
pemuda dan ternyata berbunyi.
Kalau terjadi apa-apa dengan diriku,
yang menyebabkannya adalah manusiamanusia
terkutuk dari Istana Darah.
Mereka juga bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa dan kehormatan Miani.
Widura
Panji Kenanga kerenyitkan kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa
meninggalkan pesan begitu? Dan kapan dibuatnya? Atau mungkin dia sudah
menduga ada bahaya terlebih dahulu hingga siang-siang telah membuat
tulisan begitu rupa? Tentu saja semua pertanyaan itu tak bisa dijawab
oleh Panji Kenanga. Dia hanya bisa menduga-duga. Sebenarnya bagaimana
dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah yang berupa pesan itu?
Pada
waktu dia pertama kali dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga
mental dari atas kuda dan terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik
segera memaklumi bahwa lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan.
Apalagi sesudah diketahuinya bahwa manusia berpakaian serba merah itu
adalah Hulubalanghulubalang Istana Darah yang rata-rata berkepandaian
sangat tinggi dan bukan tandingannya. Yakin kalau dirinya tak bisa lolos
dari bahaya maut sedang untuk menyerah atau lari dia tak mau
melakukannya, di samping itu menyadari pula bahwa kedua hulubalang Darah
itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup, maka selagi tertelungkup di
tanah dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu dengan
ujung jarinya yang dialiri tenaga dalam.
Apa yang dikerjakan oleh
Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh karena
saat itu Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi serangan
pedang Miani.
"Tepat seperti apa yang diduga oleh guru," kata Panji
Kenanga dalam hati. "Walau bagaimanapun aku tak akan berpangku tangan.
Sekalipun menyabung nyawa ke lautan api, hutang nyawa ini harus
kubalaskan. Apalagi Miani pasti berada di tangan keparat-keparat durjana
itu!"
Panji Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah adik seperguruannya
dan diletakkannya di bawah satu pohon yang rindang. Di bagian lain dari
pohon dengan sebisa-bisanya dia mulai menggali sebuah lobang. Lalu
jenazah Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu. Setelah ditimbun
dengan tanah, makam itu ditutupnya dengan batu-batu agar tidak dikorek
oleh binatang buas.
Setelah merenung sejenak di hadapan makam adik
seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu melangkah ke tempat Angin Salju
tegak menunggu. Saat itu juga dia memutuskan untuk mencari di mana letak
Istana Darah. Namun mendadak dia ingat kembali pada si botak bermata
buta yang sebelumnya telah ditemuinya. "Manusia itu aneh," kata Panji
dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi tahu siapa dirinya.
Bukan mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana Darah. Aku
harus meyakinkan dulu siapa dia sebenarnya." Berpikir sampai di situ
Panji lantas memutar kudanya.
Ketika dia kembali ke tempat dimana
sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh berkepala botak itu,
didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan tidur mendengkur.
Kepingan sepuluh uang emas masih bertempelan rapi di kepalanya.
"Bapak
banguniah!" kata Panji dengan suara keras. Dia berseru sampai beberapa
kali tapi orang itu masih saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran.
Tapi apa yang harus dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si botak ini
benar-benar kaki tangan Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot
pakai membangunkan segala, langsung menghajarnya. Namun karena dia belum
punya bukti-bukti maka dia tak mau kesalahan turun tangan. Akhirnya
dengan mengkal Panji Kenanga duduk di bawah sebatang pohon yang
berhadap-hadapan dengan si botak. Ketika matahari sudah jauh condong ke
barat si botak masih juga belum bangun. Bahkan ketika matahari masuk ke
ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari mulai gelap, si botak masih
saja terus ngorok.
"Tak mungkin kutunggu lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan dengan tangan atau dengan kaki!"
Si
Pemuda melangkah mendekati si botak yang mendengkur di bawah pohon.
Tangannya diulurkan untuk menepuk bahu orang itu. Namun sebelum
tangannya menyentuh tubuh si botak satu bentakan menggeledek di seantero
tempat itu.
"Ini dia bangsatnya yang kucari-cari!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga kaget bukan main dan cepat berpaling.
***

DI HADAPAN Panji
Kenanga saat itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti bola.
Rambut dan wajahnya dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya
sebatas sikut juga berwaena biru. Manusia ini memandang buas pada si
botak yang saat itu masih asyik tertidur pulas. Lalu dia memalingkan
kepala pada Panji Kenanga. Dari mulutnya terdengar suara macam harimau
menggereng.
"Kau tentu kambratnya Si Botak Mata Buta ini!" damprat
orang bermuka biru seraya melangkah mendekati Panji Kenanga dengan kedua
tangan terpentang.
"Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri siapa?" bertanya Panji Kenanga.
Si
gendut tidak perdulikan pertanyaan Panji malah menjawa. "Puah,
kebenaran ucapanmu akan kuselidiki kemudian. Jika ternyata kau masih
punya hubungan dengan bangsat gundul itu, kelak kau juga bakal menerima
bagian. Sekarang minggirlah!"
Panji Kenanga melihat orang berbadan
gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua tangannya setinggi kepala.
Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu tampak mengeluarkan
sinar biru gelap menggidikkan.
"Minggir!" teriak si muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda masih menghalang di depannya.
"Eh, kau mau bikin apa?" bertanya Panji.
"Tidak usah tanya! Lihat saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun menerima bagianmu!"
Panji
Kenanga tidak mau bergeser dari tempatnya malah berkacak pinggang.
"Menyerang lawan yang sedang tidur adalah tindakan pengecut!" katanya.
"Kalau mau buat perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"
"Anak setan! Kalau begitu biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai
berkata begitu si muka biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah
kepala si botak yang masih tidur lelap, satunya lagi ke arah Panji
Kenanga.
Dua sinar biru menderu dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat
panas. Meskipun saat itu Panji Kenanga masih merasa si Botak Mata Buta
adalah kaki tangan Istana Darah, namun melihat orang diserang dengan
cara pengecut begitu rupa adalah bertentangan dengan jiwa kesatrianya.
Pemuda ini berseru nyaring lalu berkelebat cepat ke arah pohon di mana
Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak menyelamatkan orang ini.
Namun dia hanya menemui tempat kosong karena lebih cepat dari
gerakannya, hampir tidak kelihatan, si botak itu telah berkelebat lenyap
dari pohon dimana dia tidur!
Sinar pukulan melesat di atas punggung
Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah. Di
belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar tempat si botak tadi
tidur patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara gaduh akibat dihantam
pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi baik batang pohon yang
masih menancap di tanah maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini
kelihatan berwarna biru!
Nyatalah manusia bermuka biru itu
betul-betul menginginkan kematian Panji Kenanga dan Si Botak Mata Buta.
Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah lancarkan pukulan maut
yang mengandung racun mematikan!
Ketika Panji Kenanga berdiri
kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta telah berada di bawah
pohon yang lain, duduk bersandar dan mengorok persis seperti sebelumnya.
Bahkan sepuluh uang emaspun masih tetap ada di kepalanya yang botak! Di
lain pihak si gendut muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua
orang itu berhasil mengelakkan pukulan saktinya yang bernama "kelabang
biru". Lebih-lebih Si Botak Mata Buta dianggapnya sengaja telah
mempermainkannya.
"Kupecahkan kepala kalian!" teriak si muka biru
garang lalu kembali menyerbu dengan dua kepalan diayunkan. Yang satu
menyerang Si Botak Mats Buta, yang lainnya menghantam ke arah dada Panji
Kenanga.
Murid Brahmana dari gunung Raung itu menggeser kakinya
kesamping, menepis lengan lawan dengan lengan kirinya. Sewaktu
masing-masing lengan saling beradu, Panji Kenanga mengigit bibir karena
merasakan lengannya pedas bukan main. Di lain pihak si muka biru tak
kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong lengan lawan sanggup
menepis demikian rupa hingga bukan saja serangannya terhadap si pemuda
gagal, tapi serangan yang ditujukan pada Si Botak Mats Buta pun meleset
akibat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh dua langkah!
Semua
itu membuat amarah si gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga
dalamnya kini disalurkan ke tangan kanan. Lengan kanannya kembali
memancarkan sinar biru. Kali ini lebih biru dan gelap dari yang tadi.
Panji Kenanga maklum kalau lawan kini siap-siap akan melancarkan pukulan
saktinya disertai tenaga dalam yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Maka diapun tidak menunggu lebih lama dan segera menyalurkan tiga
perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan. Begitu lawan melancarkan
pukulan "kelabang biru" yang mengandung racun mematikan itu, Panji
Kenanga segera menyambut dengan satu pukulan yang tak kalah hebatnya,
yang menebar selarik sinar putih ke abu-abuan.
Dua pukulan sakti
saling bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam yang tinggi
maka pertemua dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan.
Pohon-pohon bergoyang, tanah bergetar. Sepasang kaki si muka biru
melesak sampai tiga senti ke tanah sedang kedua kaki Panji Kenanga masuk
ke dalam tanah hampir setengah jengkal!
Dari sini nyatalah meski
masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam sebanyak tiga
perempat bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki si muka biru lebih sempurna dari yang dikuasai Panji Kenanga.
Hai ini adalah wajar karena Panji Kenanga masih terlalu muda, kurang
pengalaman dan masih banyak harus berlatih sementara lawannya sudah
belasan tahun malang melintang di dunia persilatan dan terus menerus
melatih diri.
Panji Kenanga yang memaklumi sepenuhnya hal itu
bukannya menjadi takut malah sebaliknya sudah siap-siap untuk maju
kembali dengan segala keberanian yang ada meskipun saat itu dadanya
terasa berdeenyut-denyut.
Si gendut muka biru diam-diam dalam hatinya
terheran-heran. Pukulan sakti yang tadi dilepaskan pemuda itu beberapa
tahun lewat pernah disaksikannya namun dia tak ingat lagi siapa yang
memiliki ilmu pukulan tersebut. Disamping itu dia jugs tidak menyangka
kalau tingkat tenaga dalam lawan akan sanggup mengimbangi tenaga
dalamnya yang sudah tinggi itu.
Manusia ini tak sempat untuk berpikir
panjangpanjang karena saat itu si pemuda dilihatnya sudah menerjang ke
hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru. Si muka
biru senantiasa berusaha mengadakan bentrokan lengan. Sebaliknya Panji
Kenanga yangg maklum kehebatan sepasang lengan lawan dengan cerdik
selalu menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian
kemari melancarkan serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah
sehingga membuat si muka biru kebingungan.
Memang dalam hal
meringankan tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti bola
itu agak sulit menandingi lawannya yang masih muda. Selama
bertahun-tahun Panji Kenanga telah dididik dan melatih diri
melompat-lompat di ujung batu-batu sungai yang runcing dan licin
berlumut. Dan kini di tanah datar dengan sendirinya bukan satu hal yang
sukar baginya untuk bergerak lebih cepat dan gesit. Sambil terus
bertempur si muka biru senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan ilmu
silat lawannya. Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga. Untuk
meyakinkan dugaannya ini maka diapun membentak.
"Anak setan! Ada sangkut paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung Raung?!"
Panji
Kenanga kaget. Namun cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu
pertempuran ini, baru nanti bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"
"Setan
alas!" maki si muka biru geram sekali. Dia berteriak nyaring dan
tubuhnya berkelebat lebih cepat tapi jaraknya sengaja diperjauh dari
lawan hingga dia dapat melancarkan pukulan-pukulan "kelabang biru"
dengan leluasa.
Menghadapi ilmu pukulan lawan yang ampuh ini membuat
serangan Panji Kenanga mengendur dan beberapa jurus kemudian pemuda ini
terpaksa berada di bawah angin. Si muka biru melipat gandakan kecepatan
gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya sehingga Panji Kenanga semakin
terdesak. Meskipun Panji telah mengeluarkan pula pukulan-pukulan
saktinya seperti yang bernama "mega putih"
namun tidak ada gunanya.
Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai berpikir-pikir
untuk mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan gurunya. Tapi karena
lawan ma’sih bertempur dengan tangan kosong, hatinya merasa bimbang
untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya semakin
kritis juga.
"Muka biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji Kenanga
memancing agar lawan mengeluarkan senjata dan dengan demikian dia tidak
akan merasa sungkan untuk mencabut pedangnya. Si muka biro tertawa
mengejek.
"Untuk melenyapkan bocah setan macammu ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini jurus kematianmu!"
Ucapan
itu ditutup oleh si muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar
biasa cepatnya. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu sudah berada di atas
lawannya sambil mengayunkan tiriju yung laksana palu godam ke kepala
Panji Kenanga, Pemuda ini menunduk seraya menghantamkan pukulan "mega
putih" ke perut lawan. Tapi dia terpedaya.
Begitu Panji Kenanga
bergerak memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan "mega
putih" mengenai tempat kosong. Di kejap yang sama si muka biru
menyorongkan satu tendangan kilat ke bawah ketiak kanan Panji Kenanga.
Dalam
keadaan tubuh masih terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul,
Panji Kenanga sulit sekali untuk mengelakkan serangan berbahaya itu.
Masih diusahakannya untuk mencegah hantaman kaki lawan dengan coba
menekuk sikut memukul tulang kering si muka biru. Tetapi itupun
terlambat karena saat itu ujung kaki kanan lawan sudah menyelinap di
bawah lengannya!
"Celaka!" keluh Panji Kenanga dalam hati.
***

DI SAAT
itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat
deras menderu, membuat kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting
sejauh setengah tombak!
"Tapak Biru! Kau memang terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"
Panji
Kenanga dan si muka biru yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama
memalingkan kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah
Si Botak Mata Buta yang saat itu telah bangun dari tidurnya tapi masih
duduk di bawah pohon sambil mengucak-ucak sepasang matanya yang tidak
melihat.
"Botak buta sialan! Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang
tidak tenteram rasa hatiku! Ini mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan
tangan kirinya ke arah pohon. Untuk kesekian kalinya pukulan kelabang
biru berkelebat di situ.
"Mentang-mentang memiliki pukulan baru yang
diandalkan sikapmu sombong selangit," ejek Si Botak Mata Buta. "Cuhh!"
dia meludah ke tanah dan mengangkat tangan kirinya. Satu gelombang
dingin bersiuran keluar dari telapak tangan orang ini dan sekaligus
memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru! Tapak Biru sampai
menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya dibikin
musnah semudah itu.
"Sialan! Tidak kusangka bangsat buta ini sudah
maju kesaktiannya begitu jauh!" maki Tapak Biru dalam hati. Lalu dia
berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita bertempur sampai seribu jurus!"
"Baik
orang gendut," jawab Si Botak Mata Buto seraya berdiri dengan sikap
acuh tak acuh dan sambil tepuk-tepuk pantat celana komprangnya.
Justru
di saat itu Tapak Biru sudah menerjang menyerangnya dengan satu
tendangan kilat. Si Botak tertawa. "Kelicikanmu masih seperti dulu saja,
gendut!" Lalu dia cepat-cepat menyingkir dan akibatnya tendangan Tapak
Biru mengenai batang pohon di sampingnya hingga patah dan tumbang dan
menjadi biru akibat racun kelabang biru.
Penasaran Tapak Biru
membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru ke
depan. Di belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.
"Kau toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"
Secepat
kilat Tapak Biru memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan
saktinya. Namun lagi-lagi dia mendengar suara tawa dari arah belakang.
Si Botak Mata Buta ternyata telah mempermainkannya. Sebenarnya si buta
ini tidak berada di belakangnya. Namun karena dia memiliki semacam ilmu
memindahkan suara maka suaranya terdengar seperti datang dari belakang,
padahal dia berada di tempat lain tak jauh dari situ!
Menyaksikan bagaimana si buta mempermainkan Tapak Biru mau tak mau Panji Kenanga merasa kagum sekali.
"Botak
mata buta mengapa kau hanya berani berkelahi dengan cara pengecut
begitu?!" damprat Tapak Biru marah sekali. Rahanqnya bertonjolan dan
dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah benda bulat sepanjang dua
jengkal. Ternyata adalah sebuah seruling yang terbuat dari perak.
Sementara itu keadaan di tempat itu telah berubaah menjadi gelap.
Apalagi di situ penuh ditumbuhi pohon-pohon berdaun rapat sekali.
"Cara berkelahi bagaimana yang kau inginkan Tapak Biru?" bertanya si buta.
"Mari kita berhadap-hadapan mengadu kekuatan batin!"
"Oh, begitu? Mengadu kekuatan batin berarti tidak mempergunakan senjata bukan heh?!"
Terkejutlah
Tapak Biru sedang Panji Kenanga melengak terpaku di tempatnya. Keduanya
tak habis pikir. Bagaimana orang buta ini mengetahui kalau lawannya
mengeluarkan dan memegang senjata? Meskipun buta namun saat itu tidaklah
terlalu sulit bagi Si Botak Mata Buta untuk mengetahui bahwa Tapak Biru
telah mengeluarkan senjata. Sinar terakhir matahari yang merambas dari
barat telah menimpa seruling yang terbuat dari perak. Sinarnya memantul
dan memijar ke muka si botak. Sekalipun buta tapi pijaran sinar itu
masih dapat dirasakan oleh urat-urat syarap di belakang matanya. Cuma
tentu saja dia tidak jelas senjata apa yang ada di tangan lawan saat
itu.
Tanpa perdulikan ejekan lawan Tapak Biru mementang kedua
kakinya, mengalirkari tenaga dalam ke perut dan mendekatkan ujung
seruling ke bibirnya. Terdengar suara seruling mengalun. Mula-mula
perlahan lalu makin keras dan makin merdu. Si botak bergerak-gerak
sepasang matanya yang buta. Baik dia maupun Panji Kenanga sama-sama
tercekat dengan alunan suara seruling itu. Namun tanpa disadari oleh
Panji Kenanga, lambat laun kepalanya menjadi pusing dan berat sedang
pemandangannya mulai berbinar-binar. Lututnya goyah dan tubuhnya
perlahan-lahan jatuh duduk di tanah!
Sebaliknya Si Botak Mata Buta
masih juga berdiri tak bergerak di tempatnya. Keningnya mengerenyit. Ada
kelainan dirasakannya pada denyutan nadinya serta aliran darahnya.
Namun di mulutnya tersungging satu senyuman. Setelah menutup jalan
pendengarannya diapun membuka mulut,
"Tapak Biru, sejak kapan kau
memiliki suling itu? Pasti itu senjata curian heh? Bagusnya kau mengamen
masuk kampung keluar kampung, pasti kau bakal mengantongi banyak uang!"
Tapak Biru tidak perdulikan ejekan lawannya. Tiupan serulingnya semakin keras dan tambah merdu.
"Ah,
nyanyianmu dari itu ke itu juga Tapak Biru. Bosan telingaku
mendengarnya!" kata Si Botak Mata Buta. Lalu diputarnya tangannya di
udara tujuh kali berturut-turut. Pada akhir putaran tangan yang ketujuh
maka terdengarlah suara menderu seperti suara angin punting beliung.
Mula-mula perlahan, makin lamamakin keras hingga menelan suara tiupan
seruling Tapak Biru.
Betapapun Tapak Biru memperkeras tiupan
serulingnya tetap saja tak terdengar dalam bisingnya suara angin yang
diciptakan Si Botak Mata Buta. Malah kini kelihatan si muka biru
tubuhnya bergetar dan pakaian serta rambutnya melambai-lambai sedang
Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling lenyap
baru dia kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri
angin punting beliung itu membuatnya terhuyung-huyung.
Pemuda ini
mengerahkan tenaga dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya
sampat goyah. Cepat-cepat dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di
situ. Putus asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan seruling
peraknya.
"Bangsat botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja
kelak aku bakal menyelesaikan urusan dengan dia," gerutu Tapak Biru
dalam hati.
"Hai gendut pendek! Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.
"Sayang
aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru
berdalih. "Hari ini masih kuberi kesempatan padamu untuk bernafas
beberapa lama lagi. Kelak walau bagaimana nyawa anjingmu akan kutagih
untuk melunasi hutang jiwa kematian adikku!"
Si botak tertawa
gelak-gelak. Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping uang emas
masih menempel di atas batok kepalanya yang plontos.
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu, suling curianmu itu padaku!"
"Jangan
temahak jadi manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan
padamu jika kau sudah kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"
Si
botak usap-usap dagunya dan berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih
Tapak Biru. Tinggalkan suling itu atau tinggalkan nyawamu!"
"Botak, jangan melantur! Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk mendengarkan celotehanmu!"
"Selesai berkata begitu Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di belakangnya terdengar si botak berseru.
"Suling atau nyawamu, gendut!"
Di
kejap itu juga si botak sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang
larinya. Tapak Biru berkelebat ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari
itu si botak sudah menghadang pula di depannya. Sekali lagi dia melesat
ke samping, sekali lagi pula si botak muncul menghadang di hadapannya.
Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah sekali tapi juga bingung
melihat kehebatan lawan. Dia menerjang dengan menghujamkan suling perak
ke arah kening lawan. Yang diserang begitu merasakan datangnya angin
serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk lalu menggerakkan kedua
tangannya serentak. Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang yang kanan
menyantakkan seruling perak.
Tapak Biru terpekik kesakitan. Disamping
itu dia juas terkejut karena suling perak di tangan kanannya tiada lagi
sedang di depannya Si Botak Mata Buta tertawa gelak-gelak.
"Masih inginkan suling ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan suling perak yang kini berada dalam genggamannya.
Tapak
Biru mendengus dan membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat
itu diantar suara tertawa mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga
menyaksikan hal itu dengan menahan tawa tiba-tiba si botak berkelebat
dan tahu-tahu Panji Kenanga merasakan satu pukulan keras menghantam
belakang kepalanya. Tak ampun lagi murid Brahmana Lokapala dari gunung
Raung ini roboh dan pingsan!
***

KETIKA
Panji Kenanga sadarkan diri didapatinya hari telah malam. Keadaan
sekitarnya gelap gulita. Tiupan angin dingin sekali menusuk
tulang-tulangnya. Di kejauhan sesekali terdenger suara burung hantu
mambuat auasana serasa mengerikan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri.
Dirabanya bagian belakang kepalanya yang terasa mendenyut sakit. Dia
terkejut sewaktu satu bayangan putih besar bergerak di sampingnya.
Ketika dia berpaling tarnyata adalah kuda kesayangannya Angin Salju.
Panji tersenyum dan menarik nafas lega. Dijentikkannya tangannya memberi
tanda. Binatang itu datang mendekat.
Panji Kenanga langsung naik ke
punggung Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda ini dia berkata, "Bawa
aku keluar dari tempat celaka ini, sobat."
Seakan mengerti akan
maksud tuannya Angin Salju melompat dan lari meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian binatang ini sudah menempuh sebuah jalan kecil yang
menuju ke sebuah bukit. Dalam kencangnya lari Angin Salju, Panji Kananga
merasakan sesuatu menggandul di leher serta memukul-mukul dadanya.
Sebenamya hal itu terasa sejak tadi namun karena pemuda ini hanya
memikirkan peristiwa yang barusan dialami maka hal itu tak terperhatikan
olehnya.
Panji Kenanga menunduk memperhatikan dadanya. Terkejutlah
pemuda ini. Tangan kanannya menyentak tali kekang kuda hingga Angin
Salju dengan serta merta hentikan larinya. Pada sehelai benang yang
terkalung dilehernya menggandul sebuah benda putih panjang yang bukan
lain adalah seruling perak yang telah dirampas Si Botak Mata Buta dari
tangan Tapak Biru.
"Bagaimana benda ini bisa tergantung pada leherku?" tanya Panji Kenanga pada diri sendiri.
Digerakkannya
tangannya. Sekali renggut putuslah benang penggantung seruling. Panji
menimang-nimang benda itu beberapa lama dan berpikir-pikir. Tak dapat
disangsikan lagi tentu Si Botak Mate Buta yang punya kerja. Mula-mula
orang aneh itu memukul kepalanya hingga pingsan. Dalam keadaan pingaan
lalu dia menggantungkan seruling perak di lehernya.
"Tapi mengapa hal
itu dilakukannya?" muncul lagi pertanyaan baru dalam hati si pemuda.
Dan pertanyaan ini tak kunjung dapat dijawabnya.
Panji memandang ke
langit. Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip. Bulan sabit muncul di
balik sekelompok awan. Si pemuda meneliti suling perak di tangan
kanannya itu. Pada waktu itulah dilihatnya segulung kertas pada ujung
sebelah bawah. Segera gulungan kertas ini dicabutnya. Ketika dibuka di
dalamnya ternyata ada beberapa baris tulisan yang berbunyi.:
Pembalasan harus dilakukan
Tapi akal pikiran harus diutamakan
Kutitipkan Suling Perak padamu
Bertemu pemiliknya harap serahkan.
Walaupun di bawah tulisan itu tidak tertera tanda atau nama pembuat
surat namun Panji Kenanga sudah bisa menduga bahwa surat itu dibuat oleh
orang botak yang lihay itu. Dua kali orang itu memberi nasihat agar
mempergunakan akal pikiran bila dia hendak melakukan pembalasan. Pertama
dalam nyanyian pada pertemuan waktu hujan lebat dan kedua dalam surat
tersebut "Kalau begitu besar kemungkinan dugaanku meleset," kata Panji
dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki tangan atau bergundal Istana Darah."
Kembali Panji menimang-nimang suiing perak itu. Siapakah gerangan
pemilik sebenarnya benda itu? Mengapa justru Si Botak Mata Buta
menitinpkannya padanya? Akhirnya Panji menyelipkan suling tersebut di
balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa
memperdulikan lagi kemana Angin Salju membawanya. Tak selang berapa lama
di kejauhant kelihatan kelap-kelip nyala api.
"Sobatku, larilah ke
arah nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau kampung. Kita
bisa istirahat di sana malam ini," bisik Panji Kenanga.
Angin Salju
mengeluarkan suara reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa yang
dimaksudkan tuannya. Dan binatang ini lebih mempercepat larinya.
***
Kampung Warnasari sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai kampung
karena jumlah rumah yang ada di situ banyak sekali. Di samping itu
terdapat pula tiga buah jalan besar serta jalan-jalan kecil. Lebih tepat
kiranya bilamana Warnasari dikatakan sebagai sebuah kota kecil. Malam
itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun kesunyian sekali ini jauh
berbeda denqan kesunyian seperti biasanya. Kesunyian kali ini adalah
kesunyian yang dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat oleh
sekelompok orang-orang yang saat itu berada di kedai paling besar di
Warnasari.
Dalam kedai itu suasana biasanya ramai. Suara orang-orang
yang asyik mengobrol sesekali dipecahkan oleh gelak tawa berderai. Tiga
orang laki-laki berpakaian serba hitam dan bertampang bengis duduk di
tengah kedai. Mereka inilah yang membuat suasana tidak seperti biasanya
lagi. Tak ada yang berani bicara keras apalagi tertawa.
Di atas meja
di hadapan mereka terhidang segala macam makanan yang enak-enak serta
minuman yang lezat-lezat. Demikian banyaknya makanan dan minuman itu
hingga dua buah meja terpaksa digabung menjadi satu.
Pemilik kedai
seorang laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai
dengan muka seputih kertas, lutut gemetar. Tiga orang pelayan berdiri
disampingnya. Seperti pemilik kedai para pelayan inipun berada dalam
ketakutan yang amat sangat. Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin
tamu. Namun begitu tiga manusia ini masuk, para tamu yang ada di situ
cepat-cepat membayar makanan dan minuman masing-masing lalu keluar dari
kedai. Bahkan ada di antara mereka yang belum sempat mencicipi makanan
ataupun minuman namun karena kawatir cepat-cepat saja berlalu.
Tiga
tamu berpakaian serba hitam melahap makanan di atas meja laksana
singa-singa buas yang telah berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang
kedai tiga orang berseragam hitam lagi tampak berdiri sedang di pintu
depan lima orang dengan pakaian yang sama tampak berjaga-jaga sambil
bertolak pinggang dan menghisap rokok.
"Hai Bawean!" sentak salah
seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam kedai. "Bawa ke sini
satu kendi tuak baru untukku!"
Dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai
meninggalkan tempatnya kemudian muncul kembali membawa sebuah kendi
berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan sangat hati-hati di atas
meja lalu kembali ke tempatnya semula di sudut kedai menunggu perintah
selanjutnya.
"Lama juga anak-anak pergi memanggil kepala kampung
itu," kata salah seorang yang duduk melahap makanan. Namanya
Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari semua orang yang berpakaian serba
hitam itu. Pimpinan gerombolan rampok yang paling ditakuti di daarah
sekitar hulu Kali Bedadung. Dua orang yang ikut makan bersamanya adalah
orang-orang kepercayaannya alias tangan kanannya yang masing-masing
bernama Randuwongso dan Taliwongso. Keduanya kakak beradik.
Dulunya
Randuwongso dan Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang
melintang sepanjang Kali Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan
Ronggokarapan bersama beberapa anak buahnya melakukan kejahatan yang
serupa. Pada suatu kali terjadilah pertemuan yang tidak disangka-sangka
antara duao kelompok penjahat itu. Pertempuran tak dapat dihindarkan.
Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan Randuwongso berhasil
dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan dari gabungan
dua kelompok penjahat itu. Meskipun dua bersaudara Wongso itu pada
dasarnya menanam dendam kesumat terhadap Ronggokarapan namun mereka
menyadari adalah mencari mati jika mereka berani melakukan sesuatu
selagi ilmu kepandaian mereka jauh di bawah Ronggokarapan.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda.
"Itu pasti anak-anak," kata Randuwongso.
Ronggokarapan menyeringai.
"Kali
ini kepala kampung itu harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu
rasa!" kata pamimpin rampok itu lalu memandang ke pintu. Saat itu di
luar kedai suara rentak kaki kuda terdengar semakin dekat. Lima anak
buah rampok yang tegak di ambang pintu memandang ke ujung jalan.
Tak
selang berapa lama dari tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda
putih berikut penunggangnya. Mendekati kedai itu si penunggang
memperlambat lari kudanya. Di depan kedai dilihatnya hampir seluruh kuda
tertambat sedang di ambang pintu lima orang berpakaian serba hitam dan
rata-rata bertampang buas tegak berjejer membuat hatinya kurang enak dan
curiga.
Si penunggang kuda yang bukan lain adalah Panji Kenanga
berpikir sejenak. Lalu menghentikan Angin Salju di depan kedai dan
melompat turun. Perutnya sangat lapar dan memang dia musti berhenti di
situ karena malam buta begini di mana pula akan mencari kedai lain yang
masih buka. Dia tengah melangkah ke pintu kedai ketika salah seorang
dari lima manusia yang tegak menghadang di pintu masuk menegurnya.
"Orang muda, putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh masuk ke dalam!"
Panji Kenanga berpaling don memandang muka orang itu.
"Memangnya ads apa?" tanya si pemuda.
"Tak
usah banyak bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung
kau disuruh pergi baikbaik. Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat
sedang tubuh anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu rasa!"
"Oh,
kalau begitu itu lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya
tersenyum. Dia sudah maklum kini dengan manusia-manusia macam apa
sebenarnya dia sedang berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan
langkahnya menuju pintu kedai.
"Kurang ajar! Dikiranya kita ini siapa!"
Rampok
yang membentak melompat ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan
goloknya ke kepala pemuda ini. Si pemuda cepat manyingkir. Golok yang
menderu menembus udara kosong terus menghantam dinding kedai!
***

"HAI!
Ada apa ribut-ribut di luar sana?!" terdengar bentakan Ronggokarapan
dari dalam kedai. Kedua pembantunya segera berdiri dan melangkah ke
pintu.
"Ada apa disini?!" tanya Randuwongso.
"Pemuda kurang ajar ini hendak memaksa masuk ke dalam kedai!” jawab salah seorang perampok.
"Bah,
kukira ada apa. Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam
orang keblinger!" kata Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam. Sementara
itu sambil bertolak pinggang Randuwongso menatap si pemuda asing dan
bertanya dengan kasar.
"Pemuda hina dina, kau siapa?!"
"Namaku
Panji Kenanga. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam
kedai. Toh kedai ini bukan punya nenek moyangnya!"
"Hem…" Randuwdngso tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau kubikin mengerti?"
Dia berpaling pada lima orang anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar monyet alas ini sampai dia mengerti!"
Serempak
dengan itu kelima orang perampok tersebut menerjang menyerang Panji
Kenanga. Namun gerakan mereka terhenti karena saat itu dari dalam kedai
terdengar seruan Ronggokarapan.
"Randu! Biarkan monyet alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"
Melihat
orang-orang disitu tak jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena
ada yang berteriak dari dalam. Panji Kenanga segera dapat menduga.
Siapapun adanya orang yang barusan berseru dia pastilah pemimpin dari
keseluruhan manusia-manusia jahat yang ada di tempat itu.
Panji
Kenanga tersenyum pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dan
berkata, "Nah, apa kataku. Kedai ini bukan milik nenek moyang kalian,
kan? Buktinya pemimpin kalian sendiri yang mengundangku masuk!" Habis
berkata begitu dengan lenggang kangkung Panji Kenanga melangkah masuk ke
dalam kedai. Satu hal yang tak terduga terjadi sewaktu pemuda ini baru
saja masuk dua langkah ke dalam kedai. Sebuah benda melayang pesat ke
arah kepalanya!
Saking cepatnya benda itu melesat Panji Kenanga tak
sempat mengenali benda apa adanya namun dengan cekatan dia menundukkan
kepala dan berhasil mengelakkan hantaman benda tersebut. Seseat kemudian
di belakangnya terdengar suara benda tadi pecah berantakan. Pemuda ini
melirik. Ternyata sebuah gelas besar yang telah dilemparkan ke
kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk mengangkat kaki di
belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas, bercambang
bawuk dan berbibir tebal. Dialah Ronggokarapan.
"Bagus, sanggup juga
kau mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai. "Sekarang
coba elakkan yang ini!" Kedua tangannya yang bertelapak tebal dan
berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja. Hebatnya, lima buah piring
berisi makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana anak panah
lepas dari busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga!
Kaget
murid Brahmana Lokapala itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin
rampok tergebut memiliki kepandaian begitu hebat. Dengan gesit Panji
Kenanga cabut suling perak dari balik pinggangnya. Lalu terdengar suara
trang-trang-trang sampai delapan kali berturut-turut. Lima buah piring
dan tiga gelas berhamburan pecah ke lantai.
Kini Ronggokarapan yang ganti terkejut.
"Sobat
mata merah! Ini kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba.
Si pemuda hantamkan kaki kanannya ke lantai kedai. Puluhan pecahan
piring dan gelas yang ada di lantai, laksana daun kering dihembus angin,
menderu menyambar ke arah pemimpin rampok Kali Bedadung itu!
Saking
kagetnya melihat kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu
Ronggokarapan sampai keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau
bahaya mengancam. Kedua tangannya turun dengan cepat ke bawah dan di
lain kejap dia telah mengangkat meja makan besar itu ke atas untuk
melindungi tubuhnya. Puluhan beling pecahan gelas dan piring menancap
pada papan meja. Belasan lainnya bertebaran lewat di sampingnya. Dapat
dibayangkan bagaimana kalau puluhan pecahan kaca itu menancap di kepala
dan tubuh Ronggokarapan!
"Orang muda, terima kasih atas serangan
balasanmu!" kata si kepala rampok keren. "Kau menang. Dan terimalah
hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara Ronggokarapan tertawa dari
balik meja. Di lain ketika tiba-tiba meja yang besar yang terbuat dari
kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana
dihantam topan. Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga
jengkal lagi meja besar itu akan melabraknya, pemuda ini angkat kedua
tangannya menangkap dua dari empat kaki meja. Lalu dengan gerakan
seperti seorang main akrobat meja yang berat itu diletakkannya baik-baik
ke lantai tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
Semua mata memandang
hampir tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi sunyi
senyap. Di ujung kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa
yang disaksikannya tadi sungguh membuatnya kagum luar biasa tetapi
sekaligus juga membuatnya ketakutan. Kalau dua orang berilmu tinggi baku
hantam dalam kedainya, pastilah segala perabotan yang ada di situ akan
porak poranda. Bahkan bukan mustahil kedainya akan amblas roboh!
Di
luar, terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian
hitam masuk ke dalam kedai menggiring seorang lelaki tua berambut
putih, berpipi cekung dan melangkah terbungkuk-bungkuk. Ronggokarapan
tidak acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia memandang tak berkedip
pada Panji Kenanga. Otaknya jalan.
"Ilmunya tinggi," membatin
Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan, seumur hidup aku
bakal enak ongkang-ongkang kaki …"
Kepala rampok itu tersenyum.
"Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan kiri. "Antara kita tak ada
saling sengketa apa-apa. Lupakan cara berkenalanku yang agak kasar
tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik kedai dan memerintah, "Bawean,
siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan hidangkan pada pemuda
ini. Cepat!"
Tanpa banyak bicara, dengan ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang diperintahkan Rondokarpan.
"Sobatku, kau duduklah tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si kepala rampok.
Sementara itu Randuwongso datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa kepala kampung kemari."
Ronggokarapan
berpaling. Dia memandang pada lelaki tua berambut putih yang berdiri
dengan muka pucat pasi don gemetaran di hadapannya.
"Lawang Kuning!" kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu. "Ingat apa yang kuperintahkan tempo hari?!"
Kepala
kampung itu mengangguk berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik
Taliwongso dan tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga
dia merintih kesakitan.
"Ak . . . aku ingat Ronggo," Lawang Kuning
akhirnya membuka mulut sambil mengerenyit kesakitan karena rambutnya
masih dijambak keras oleh Taliwongso.
"Bagus. Kalau ingat mengapa tidak kau laksanakan!"
"Sulit Ronggo. Sulit! Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di sini miskin semua…"
"Sulit atau tidak aku tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!" damprat Ronggokarapan.
Randuwongso
ikut menghardik. "Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan. Mengumpulkan
semua harta benda perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu
tua bangka!"
Penduduk di sini rata-rata punya sawah ladang. Ternak!"
yang bicara kini adalah Taliwongso. "Rumah mereka bagus-bagus. Mustahil
tidak punya uang dan perhiasan."
Ronggokarapan geleng-geleng kepala
dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning. "Kalau tidak ingat
persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan badanmu, Lawang…"
"Justru
kalau masih menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat
terhadapku? Dan terhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak
punya apa-apa!" Lawang Kuning memberanikan diri menyahuti.
Kepala
rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan
plak! Satu tamparan mendarat di muka kepala kampung tua itu. Lawang
Kuning jatuh terjelapak di lantai. Pemandangannya berkunang-kunang.
Pipinya sakit bukan main. Dia merasakan darah mengalir di sela bibirnya
yang pecah.
"Hajar dia sampai konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu dia duduk ke sebuah kursi.
Yang
pertama sekali turun tangan adalah Randuwongso. Kaki kanannya menendang
punggung kepala kampung yang masih terduduk nanar di lantai.
Bukk!
Tendangan
mendarat di punggung Lawang Kuning. Orang tua ini menjerit mengenaskan.
Tubuhnya mencelat menghantam dinding kedai sebelah kamar lalu
tergelimpang ke lantai. Dari mulutnya terdengar suara erangan. Lalu
diam. Entah pingsan entah mati.
Sesosok tubuh melompat ke hadapan Randuwongso.
"Bangsat! Kau mau apa?!" sentak Randuwongso ketika melihat ternyata Panji Kenanga yang rnenghadangnya.
"Mau mematahkan kakimu yang tadi dipakai menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.
"Sobat,
jangan jadi orang tolol," berseru Ronggokarapan. "Aku sudah punya
rencana bagus untukmu. Biarkan saja tua bangka itu konyol. Tidak
sekarang lusapun dia akan mampus juga!"
Panji Kenanga menyeringai.
"Kalaupun orang tua ini mati, maka harus ada yang mengantarkannya ke
akheratl" Lalu secepat kilat Panji Kenanga kirim kan satu jotosan ke
dada Randuwongso. Yang diserang terkejut tak menyangka. Masih untung dia
tidak ayal dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi
di dalam kedal itu.
Semula Ronggokarapan hendak membentak menyuruh
hentikan perkelahian itu. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Dengan adanya perkelahian itu dia akan dapat melihat sampai di mana
kehebatan pemuda asing yang menurut rencananya hendak dijadikan tangan
kanannya itu. Baru berkelahi lima jurus Randuwongso sudah terdesak. Ini
membuat perampok tersebut penasaran sekali. Selama ini belum ada orang
lain yang dengan tangan kosong sanggup mendesaknya begitu rupa kecuali
pemimpinnya.
Didahului satu bentakan garang Randuwongso berkelebat
gesit mengirimkan serangan-serangan berantai selama tiga jurus
berturut-turut. Tampaknya Randuwongso menjadi nekat. Panji Kenanga
berlaku hati-hati. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi pemuda ini berkelebat kian kemari sehingga
tak satupun serangan lawan mengenai tubuhnya. Di lain pihak setiap ada
kesempatan Panji Kenanga tidak lupa untuk melancarkan serangan ba!asan
yang cukup membuat Randu menjadi repot.
Setelah berlalu beberapa
jurus Panji mulai melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Pada
satu kesempatan yang paling baik murid Brahmana Lokapala itu keluarkan
jurus yang disebut "sekuntum bunga menebar harum." Kedua tangannya
membuat gerakan berputar, terpentang ke samping laksana kitiran.
Randuwongso merundukkan kepala melihat serangan aneh itu lalu susupkan
satu jotosan ke bagian bawah tubuh lawan yang lowong.
Namun rampok
ini kalah cepat. Tepi telapak tangan kiri Panji Kenanga mendarat lebih
dulu di kuduknya, membuat Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh
terjerembab di lantai kedai! Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya
kelihatan gembung merah. Ketika dia berdiri kembali tampak miring.
Sepasang bola matanya seperti bernyala-nyala. Kedua tinjunya terkepal.
"Bangsat! Kalau aku tidak dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi orang!"
Randuwongso
sudah siap untuk menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah
pintu terdengar suara tawa bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang
seperti disirap, tertegun di tempat masing-masing.
"Yang sudah mampus
kalau bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin
berhenti jadi orang?! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"
***

KETIKA
semua orang memandang ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut
gondrong memasuki kedai dengan langkah seenaknya dan sambil
cengar-cengir. Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia memanggul sesosok
tubuh perempuan muda berpakaian merah yang robek-robek di beberapa
tempat hingga menyembulkan kulitnya yang putih mulus.
Si pemuda
melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh perempuan
yang dipanggulnya lalu didudukkannya di atas kursi. Semua orang jadi
terkesiap ketika menyaksikan wajah perempuan muda itu. Cantik sekali!
Tapi sepasang matanya terpejam, bibirnya berwarna biru. Sedang tidur,
pingsan atau tertotokkah dia, demikian setiap orang menduga-duga.
Pemuda
itu memandang berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia
mengumbar tawa dan ucapan lantang namun setelah sampai di dalam dia
seperti acuh tak acuh saja dengan segala apa yang terjadi di situ. Dia
memandang berkeliling sekali lagi lalu menghentikan pandangannya pada
orang tua bermuka pucat di seberang sana.
"Bapak, kau pemilik kedai ini?" tanya si pemuda.
Ki Sepuh Bawean mengangguk. Agak takut-takut.
"Aku perlu kain untuk menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga keroncongan …"
Ki
Sepuh Bawean memandang pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir
apakah manusia yang satu ini orang benar atau bangsa sedang brengsek
pula yang bakal menambah huru-hara di kedainya. Kemudian dia memandang
pula pada gadis berbaju merah yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor dan
robek-robek. Salah satu robekannya demikian besar hingga pangkal payu
daranya yang sebelah kiri kelihatan tarsembul dengan jelas.
"Pak tua, lekaslah. Aku tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini. Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan."
Ki
Sepuh Bawean hendak beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarsrpan
memberi isyarat dengan larnbaian tangan agar pemilik kedai itu tetap di
tempat semula.
Sambil rnenimang-nimang sebuah paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang asing, kau siapa?"
"Maaf
aku datang ke mari bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda
lalu duduk di samping gadis baju merah yang pingsan. Tentu taja semua
orang jadi terkesiap mendengar jawaban pemuda tak dikenal itu.
Ronggokarapan sendiri kelihatan marah tampangnya dan duduk ternganga.
"Tambah lagi satu orang edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.
Si
pemuda tak ambil perduli ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai,
dan berkata lagi, "Pak, tolong berikan apa yang kuminta."
Ki Sepuh
Bawean jadi serba salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia
memenuhi permintaan pemuda itu maka dia bakal mendapat hajaran dari
Ronggokarapan dan anak anak huahnya. Sebaliknya jika dia tidak menolong,
hati kecilnya merasa kasihan terhadap tamu muda tersebut yang
kelihatannya memang letih, apalagi menyaksikan keadaan garlis yang duduk
di kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma bisa angkat bahu.
Pemuda rambut gondrong itu berdiri.
"Aku
tak salahkan engkau kalau takut pada manusia itu," katanya sambil
menunding dengan ibu jari tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan
engkau, gorilapun pasti akan kabur melihatnya!"
Selama hidupnya baru
kali itu Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi di depan
orang banyak dan di muka hidung anak buahnya rendiri!
Tangan kanannya menggebrak meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan tangan kiri diletakkan di pinggang.
"Monyet gondrong! Berani menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi kematian!"
Si pemuda menyeringai. "Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau mulutmu membuat hidungku seperti mau tanggal!"
"Bangsat
rendah!" teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokaraprrn
menggembor. Tangan kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang
dialirkan ke situ. Tiba-tiba dia menghantam ke depan kirimkan satu
pukulan tangan kosong. Selarik angin keras menyambar ke arah dada si
pemuda. Meja dan kursi berpelantingan saking hebatnya. Bahkan beberarapa
orang anak buah Rongglokarapan cepat menyingkir takut terserempet angin
pukulan itu.
Yang diserang rupanya juga bukan manusia sembarangan
walau masih muda dan tampangnya kelihatan tolol. Dengan satu gerakan
kilat dia melompat seraya menyambar tubuh gadis yang didudukkannya di
kursi. Baru saja dia berkelebat dari tempat itu, kursi kosong itu hancur
berantakan kena hantaman pukulan tangan kosong Ronggokarapan. Dinding
papan di belakangnya ikut pecah-pecah. Dapat dibayangkan bagaimana kalau
pukulan ganas tadi mengenai tubuh si gadis yang berada dalam keadaan
tidak sadar diri itu!
Baik Ronggokarapan maupun si pemuda tampaknya
sama-sama terkejut. Si pemuda tidak menyangka kalau kepala rampok itu
memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan benar-benar inginkan
nyawanya. Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak mengira
kalau si pemuda bakal sanggup mengelakkan serangannya itu bahkan
sekaligus mampu menyelamatkan gadis di atas kursi!
Diam-diam
Ronggokarapan menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang
pemuda yang berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama
tadi belum selesai. Kini muncul satu lagi. Apakah kedua orang ini punya
hubungan satu sama lain?
Tanpa mengacuhkan kepala rampok itu, sambil
memanggul tubuh gadis yang tak sadarkan diri, pemuda berambut gondrong
bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.
"Hai! Kau mau kabur ke mana?!" bentak Ronggokarapan mengejar.
Di
bagian belakang kedai si pemuda menemukan sehelai kain panjang
tergantung. Benda ini segera disambarnya dan dipergunakan untuk menutupi
tubuh gadis yang dipanggulnya. Kemudian dengan cepat dia mengumpulkan
nasi serta lauk yang dapat ditemuinya di tempat itu, membungkusnya
dengan daun dan keluar.
Namun di hadapannya Ronggokarapan dan tiga
anak buahnya telah menghadang. Dalam keadaan seperti itu si pemuda masih
saja bersikap luar biasa. Tanpa rnengacuhkan orang-orang yang ada di
depannya dia berkata pada Ki Sepuh Bawean. "Terserah kau mau bilang aku
pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku tak punya uang untuk membeli
nasi serta lauk yang barusan kubungkus ini. Kain panjang inipun kupinjam
dulu. Atas kebaikanmu aku ucapkan terima kasih. Budi baikmu pasti akan
kuingat."
"Bangsat! Lagak bicaramu seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak adalah Rongaokarapan.
Lalu
tanpa banyak menunggu lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si
pemuda. "Sebelum kubunuh biar kubikin cacat dulu kau!"
"Terima kasih
untuk seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si pemuda.
Tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke perut lawan.
Bagaimanapun
juga serangan kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan. Akibatnya
tendangan kaki itu akan lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan
tangan. Hal ini diketahui benar oleh Ronggokarapan. Dengan gemas dia
mendengus dan cepat mengelak ke samping kiri. Dari sini dia langsung
susul serangannya yang tadi batal dengan satu jotosan ke arah pelipis
kanan pemuda berambut gondrong.
Kali ini si pemuda tidak punya
kesempatan untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya dia kawatir
pukulan lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh gadis yang berada di
panggulannya. Maka terjadilah satu tontonan yang menarik. Pemuda rambut
gondrong lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya ke udara lalu dengan
lengan kanan dia menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok
lipat gandakan tenaga dalamnya. Dia yakin sekali tangannya beradu dengan
lengan si pemuda maka pemuda itu akan terjengkang dengan tangan patah!
Sedetik
kemudian dua lengan mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara
keras. Disusul oleh keluhan kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan.
Ketika dia meneliti ternyata lengan kanannya berwarna merah dan bengkak
sedang tubuhnya sendiri akibat bentrokan itu terpental sampai empat
langkah! Selagi lawan berdiri terkesima dan kesakitan pemuda rambut
gondrong telah menangkap kembali bungkusan nasi yang tadi dilemparkannya
ke udara!
"Keroyok dia! Cincang sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar
perintah itu delapan anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso
menyerbu. Ada yang mengandalkan tangan kosong tapi kebanyakan merasa
lebih aman dengan senjata di tangan.
"Sialan betul, lama-lama di sini
aku bisa berabe! " si pemuda yang menjadi buian-bulanan serangan
mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan tubuhnya mencelat
ke atas hampir menyundul langitlangit kedai. Di lain kejap selagi lawan
terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda lancarkan tendangantendangan
pada kepala atau dada lawan-lawannya yang berada di bawah.
Randuwongso
muntah darah akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung
roboh dan tergelimpang tak sadarkan diri di lantai. Seorang lagi anak
buah Ronggokarapan mencelat sambil menjerit. Hidungnya melesak
menghambur darah, bibirnya pecah dan giginya amblas akibat terkena
hantaman tumit si pemuda!
"Bunuh! Pateni!" teriak Taliwongao yang
jadi beringas karane melihat saudaranya roboh tak berkutik dan
disangkanya sudah mati. Golok besarnya menderu membabat pinggul lawen
sementara dua orang anggota rampok lain kirimkan tusukan dari kiri
kanan. Si pemuda berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat
dielakkannya, sambaran golok Talliwongso menggores bajunya. Ini membuat
dia jadi penasaran dan sebelum lawan memburu dia pindahkan bungkusan
nasi ke tangan kiri.
"Setan alas! Kowe mau lari ke mana?!" teriak Taliwongso dan mengejar ke pintu karana menyarngka lawan hendak lari.
"Rampok
bau! Siapa bilang aku mau kabur. Silakan hadiahku ini!" teriak si
pemuda lalu putar tangan kanannya dan menderulah rangkuman angin
***

KEDAI
Kayu yang tak seberapa besar itu laksana dilanda angin punting beliung.
Benda-benda berpelantingan. Enam anggota rampok terhuyung-huyung lalu
jatuh satu demi satu. Taliwongso masih sanggup bertahan dari hempasan
angin dan dengan golok besar di tangan kembali menyerang lawan. Si
pemuda pukulkan tangan kanannya ke arah Taliwongso. Kali ini Taliwongo
terjajar ke belakang lalu jatuh terjengkang di antara anggota-anggota
rampok lainnya. Ronggokarapan kelihatan berkerut keningnya. Dia kerahkan
seluruh tenaga yang ada agar jangan sampai ikut terseret oleh gelombang
angin yang menggebu-gebu itu. Tubuhnya bergetar. Pakaiannya
berkibar-kibar. Kumis dan cambang bawuknya berjingkrak!
Di sudut lain
Panji Kenanga tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Diam-diam murid Brahmana Lokapala ini juga kerahkan tenaga dalamnya agar
jangan sampai kena tersapu sambaran angin yang keluar dari tangan si
gondrong. "Siapa adanya pemuda gagah ini!" tanya Panji Kenanga dalam
hati. Jika saja dia tidak memiliki ilmu yang tinggi pasti sudah sejak
tadi terseret oleh gelombang angin. Ronggokarapan yang juga memiliki
ilmu silat dan tenaga dalam tinggi kerahkan kekuatannya namun tak urung
lututnya masih terasa goyah. Dia mengambil keputusan untuk menyerbu saja
dari pada menderita malu karena jatuh dilanda angin serangan lawan.
Maka didahului satu bentakan keras kepala rampok Kali Bedadung ini
menerjang ke depan. Tangan kanannya dihantamkan ke arah lawan.
Selarik
sinar hitam berkiblat ganas ke jurusan pemuda yang memanggul gadis.
Setengah depa lagi sinar ha am ini akan menghantam mati si pemuda,
tiba-tiba dia balas menghantam dengan tangan kanan, menyongsong
datangnya sinar pukulan lawan. Serangkum angin yang padat dan
berbuntal-buntal bulat menderu. Dan punahlah sinar hitam Ronggokarapan
dengan mengeluarkan suara mendesis.
Melihat pukulan "wesi hitam" yang
amat diandalkannya dibikin musnah oleh lawan begitu mudah,
Ronggokarapan menjadi kecut dan lumer nyalinya. Apelagi saat itu ketika
memandang berkeliling dilihatnya anak-anak buahnya masih pada
berjelapakan di lantai tiada daya sedang di ujung sana musuhnya yang
lain yakni Panji Kenanga tegak memandang mengejek ke arahnya.
Tengah
kepala rampok ini berpikir-pikir untuk ambil langkah, seribu mendadak
dirasakannya dadanya amat sakit lalu satu bayangan berkelebat. Ronggo
merunduk. Tapi terlambat. Satu tamparan mendarat di keningnya, laki laki
ini melintir lalu jatuh duduk di lantai dengan pandangan
berkunang-kunang.
"Selamat tinggal Ronggokarapan. Lain kali kita
bertemu lagi!" Terdengar seruan pemuda rambut gondrong dan di lain kejap
dia sudah lenyap lewat pintu kedai bersama gadis di atas panggulnya.
"Hebat
sekali pemuda itu," kata Panji Kenanga dalam hati. "Bahkan agaknya dia
belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena sikapnya berkelahi tadi
seperti main-main saja." Lalu murid Lokapala ini berpaling pada
Ranggokarapan yang masih menjelapak di lantal kedai. Dan kagetlah Panji
Kenanga ketika menyaksikan bagaimana di kulit kening kepala rampok itu
kelihatan tertera tiga buah angka yaitu : 212.
"Dua
satu dua …," desis Panji Kenanga sambil leletkan lidah. "Kalau begitu …
Jadi rupanya dialah yang dijuluki Pendekar 212. Pantas … Guru pernah
menerangkan tentang dia. Sekarang melihat bagaimana hebatnya dia
benar-benar aku merasa masih jauh ketinggalan!"
Sementara itu
Ronggokarapan dengan terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti oleh
anakanak buahnya kecuali Randuwongso yang masih menggeletak pingsan dan
seorang lagi yang tadi sempat ditendang remuk mukanya. Kepala rampok itu
meneguk sisa-sisa tuak yang masih ada dalam salah satu kendi sekedar
untuk melegakan perasaan kecut serta sakit pada kepalanya. Kendi tuak
kemudian dibantingnya hingga pecah di lantai lalu kembali sifat ganasnya
keluar.
"Lawang Kuning!" bentak Ronggokarapan. "Kemari cepat!"
Kepala
kampung Warnasari yang masih ketakutan di sudut kedai tersentak kaget
dan terbungkuk bungkuk melangkah menghampiri kepala rampok itu Begitu
kepala kampung itu sampai di hadapannya tangan Rongpokarapan segera
hendak melayang menamparnya, namun gerakannya dihentikan oleh seruan
tiba-tiba dari salah seorang anak buahnya!
"Pemimpin! Keningmu!"
Kepala rampok itu berpaling tak mengerti.
"Keningmu!" kini Taliwongso yang bicara sambil tepuk keningnya sendiri.
Ronggokarapan
usap keningnya lalu memperhatikan tangannya. Hanya keringat yang
dilihatnya menempel di situ. Tak ada kotoran apa-apa seperti yang
disangkanya. Taliwongso melangkah mendekati dan dengan suara bergetar
dia berkata,
"Ada tiga angka aneh tertera di keningmu."
"Hah, apa
…?!" dan Ronggokarapan kembali memegang keningnya. Mengusapnya berulang
kali. Namun deretan angka 212 itu tetap saja tak mau hapus.
"Kau jangan main-main Wongso! Angka keparat apa yang ada di keningku hah?!" Ronggokarapan marah karena mengira dipermainkan.
"Demi setan aku tidak main-main. Di keningmu benat-benar ada angka dua-satu dan dua. Kalau tak percaya tanyakan pada anak-anak!"

Kepala
rampok itu berpaling pada anak-anak buahnya. Dan kesemua mereka sama
melongo ketika menyaksikan bahwa di kening pimpinan mereka saat itu
memang terlihat guratan angka 212. Ronggokarapan mengambil piring dan
mengisinya dengan air putih. Lalu dia berkaca pada air di atas piring
itu. Dinginlah tengkuk pernimpin rampok ini ketika melihat bayangan
wajahnya sendiri dengan tiga buah angka hitam pada keningnya. Dia
seperti mau kencing. Selama malang melintang menjadi orang jahat ada
beberapa tokoh golongan putih yang paling ditakutinya dan diusahakannya
agar jangan sampai bertemu. Salah satu diantara mereka adalah yang
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dan hari ini tiada di sangka
dia telah berhadapan bahkan berkelahi dengan pendekar tersebut. Serta
meninggalkan angka pengenalnya yang angker!
Kepala rampok Kali Bedadung itu kerahkan tenaga dalamnya dan coba menghapus tulisan di keningnya. Namun sia-sia saja.
"Sekalipun kulit kepalamu dikelupas, angka-angka itu tak bakal hilang!" Yang bicara ini adalah Panji Kenanga.
Ronggokarapan berpaling. Kini amarahnya ditumpahkannya pada pemuda yang satu ini.
"Pemuda keparat! Sudah saatnya kau musti mampus!"
Begitu
membentak begitu dia menyerang dengan lepaskan pukulan "wesi hitam"
yang mengeluarkan sinar hitam dan deru ganas. Meskipun pukulan saktinya
itu tadi tidak mampu menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng namun
Ranggokarapan beranggapan Panji Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng dan
pasti konyol dilanda pukulannya itu.
Namun tidak semudah itu
merobohkan Panji Kenanga. Meski dia masih muda dan belum banyak
pengalaman tetapi Brahmana Lokapala dari gunung Raung telah
menggemblengnya cukup hebat. Ketika melihat kepala rampok itu lepaskan
pukulan maut Panji Kenanga cepat menghindarkan diri ke samping dan dari
tempat kedudukannya yang baru pemuda ini membalas dengan satu tendangan
kilat ke arah tulang-tulang iga lawan.
"Kurang ajar!" maki
Ronggokarapan penasaran bukan main karena bukan saja serangannya
mengenai tempat kosong tapi juga tidak menyangka kalau lawan bakal
kirimkan seranqan balasan secepat itu. Dengan sedikit repot dia
meliukkan badan ke kiri dan di lain kejap selarik sinar putih memapas ke
arah kaki Panji Kenanga.
Murid Lokapala itu kaget dan cepat-cepat
menarik pulang tendangannya. Ternyata Ronggokarapan telah cabut golok
besarnya dan membabatkan senjata itu ke kaki kanan si pemuda. Ilmu golok
kepala rampok ini memang hebat hingga Panji Kenanga harus bertindak
hati-hati. Meski dia tahu dengan kegesitan dalam ilmu meringankan tubuh
senjata lawan tak bakal mencelakainya, namun Panji tak mau main-main
lebih lama dengan penjahat ini. Segera dia keluarkan seruling perak dari
balik pakaiannya dan pergunakan benda ini untuk menghadapi senjata
lawan. Gerakan-gerakannya yang gesit, sambaran dan tusukan-tusukan
suling perak yang gencar membuat serangan Ronggokarapan jadi terbendung.
Setiap saat dia harus berlaku awas waspada. Beberapa kali pakaiannya
hampir terkait ujung suling perak.
Beberapa jurus berlalu cepat.
Permainan golok Ronggokarapan mulai mengendor bahkan kacau. Setiap jurus
dirinya diburu bahaya. Akhirnya ketika dia merasa tak mampu melayani
pemuda itu lebih lama maka dia berteriak beri perintah agar samua anak
buahnya ikut bantu mengeroyok. Kecuali anggota rampok yang mukanya
melesak kena tendang Wiro Sableng, tujuh orang lainnya ditambah
Randuwongso yang telah siuman dari pingsannya kini mengurung Panji
Kenanga lalu dengan senjata di tangan menyerang pemuda itu. Panji maklum
dikeroyok demikian rupa kalau hanya mengandalkan seruling pendek akan
terlalu besar bahayanya baginya. Dia tak mau berlaku takabur. Laksana
seekor kucing hutan pemuda ini berkelebat ke kiri. Satu jeritan
terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya mental ke udara dan secepat kilat
disambar oleh Panji Kenanga. Dengan golok di tangan kanan dan seruling
perak dipindah ke tangan kiri, murid Brahmana Lokapala ini mainkan
jurus-jurus ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah dikuasainya.
Dalam
satu gebrakari saja pemuda itu berhasil merobohkan seorang pengeroyok
dan membabat putus tangan kiri seorang lainnya. Namun demikian dia
terpaksa melepaskan golok di tangan kanannya sewaktu empat golok lawan
secara serentak bentrokan dengan senjatanya. Tiga dari empat golok itu
adalah yang masing-masing dipegang oleh Ronggokarapan, Taliwongso, dan
Randuwongso.
"Jangan tunggu lebih lama. Cincang keparat itu sampai lumat!" teriak Ronggokarapan.
Serempak
dengan itu lima golok berkelebat menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba
selarik sinar biru menderu dan trang … trang … trang! Tiga pengeroyok
terpekik seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran dalam keadaan
terluka parah. Satu diantararrya adalah Taliwongso. Pembantu kepercayaan
Ronggokarapan ini berdiri membungkuk sambil pegangi perutnya yang bobol
dihantam pedang "Gajah Biru"
yang kini berada di tangan Panji Kenanga.
Taliwongso
tak berumur lama. Dia roboh ke lantai. Menggetiat beberapa kali lalu
tak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Dua rampok lainnya mengalami
nasib sama. Mati di situ juga dimakan pedang mustika pemberian Brahmana
Lokapala. Randuwongso seperti orang kemasukan setan ketika menyaksikan
kematian saudaranya. Didahului satu pukulan tangan kosong dia kirimkan
bacokan ke arah kepala Panji Kenanga. Namun dengan pedang Gajah Biru di
tangan pemuda itu kini sulit untuk dihadapi. Sekali Panji mengiblatkan
senjata mustikanya mentallah golok besar di tangan Randuwongso
bersama-sama sebagian telapak tanganya!
Dengan menjerit kesakitan dan
memegangi tangannya yang kini buntung mengucurkan darah, Randuwongso
melompat keluar dari kalangan perkelahian. Sisa-sisa rampok yang
mengeroyok dan sejak tadi sesungguhnya sudah meleleh nyalinya sama-sama
melompat keluar dari kalangan menjauhi Panji Kenanga. Dengan demikian
kini hanya Ronggokarapan seorang diri yang bertempur melawan Panji
Kenanga. Dan inipun tidak lama. Sesudah golok besarnya dibabat putus
oleh pedang Gajah Biru kepala rampok ini lari ke pintu dan memberi
abaaba pada anak buahnya untuk melarikan diri. Yang masih sanggup kabur
tentu saja tidak sia-siakan kesempatan ini. Mereka tak perduli lagi akan
kawan-kawan mereka yang tertinggal di dalam kedai dan melolong minta
tolong. Sebelum Ronggokarapan dan anak-anak buahnya yang kabur lenyap
Panji Kenanga masih sempat berteriak.
"Kalau kalian berani lagi datang ke desa ini jangan harap bakal dapat ampunan dariku!"
***

DENGAN
mengandalkan ilmu lari tingkat tinggi yang sudah mencapai
kesempurnaannya, Pendekar 212 Wiro Sableng lari laksana angin.
Hampir-hampir sulit untuk melihat kapan kedua kakinya menjejak tanah.
Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus mencapai tujuannya. Dalam gelap
dan dinginnya malam dia lari terus seperti tidak memperdulikan apapun.
Di bahu kirinya sampai saat itu dia masih memanggul sosok tubuh gadis
baju merah yang berada dalam keadaan pingsan. Siapakah gerangan adanya
gadis cantik ini? Kenapa berada dalam keadaan begitu rupa dan lebih
lanjut kemanakah sebenarnya Wiro Sableng saat itu membawanya?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas kita kembali pada suatu tempat kira-kira
setengah hari perjalanan jauhnya di tenggara desa Warnasari. Saat itu
sekitar dua jam setelah matahari tenggelam.
Sejak setengah bulan yang
lalu Pendekar 212 Wiro Sableng telah mendengar terjadinya
penculikanpenculikan serta pembunuhan yang dilakukan secara kejam oleh
manusia-manusia iblis yang menyebut dirinya Hulubalang-hulubalang Darah.
Sesuai dengan tujuan hidup serta maksud petualangannya di dunia
persilatan yaitu membela kaum tertindas, mempertahankan kebenaran serta
menegakkan keadilan dan di lain pihak membasmi setiap manusia jahat
penimbul malapetaka, maka Pendekar 212 segera melakukan penyelidikan.
Pertama sekali dia harus mengetahui di mana letaknya Istana Darah itu.
Tekadnya sudah bulat.
Istana Darah serta siapapun begundal-begundal
yang ada di dalamnya musti dimusnahkan. Jika tidak dunia persilatan akan
mengalami malapetaka besar!
Dalam perjalanan inilah, setelah
menyeberangi sebuah sungai dan menyusuri hutan kecil di tepi sawah yang
terletak 25 kilometer di tenggara Warnasari, Wiro mendengar derap kaki
kuda di belakangnya. Segera dia menghindar ke tepi jalan. Satu perasaan
mendorongnya untuk menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon
sebelum derap kaki-kaki kuda itu datang lebih dekat.
Tak lama
kemudian lewatlah seekor kuda coklat berbelang putih, ditunggangi oleh
seorang dara berpakaian merah. Untuk beberapa ketika pendekar kita
dibikin terpesona oleh kecantikan paras gadis yang tak dikenal itu.
Namun mata Wiro yang tajam melihat bahwa di belakang kecantikan wajah si
gadis terdapat bayangan rasa cemas yang amat sangat. Siapakah gerangan
dara berbaju merah yang menunggangi kuda secepat itu? Kecemasan apa pula
yang mencekam dirinya?
Saat Wiro berpaling cepat-cepat ke jurusan
kiri karena di ujung jalan terdengar derap kaki kuda. Sepasang bola mata
Pendekar 212 menyorotkan sinar aneh ketika melihat kuda dan penunggang
yang muncul dari ujung jalan itu. Kuda itu berwarna merah, penunggangnya
juga mengenakan pakaian serba merah. Di bawah topinya yang berbentuk
tarbus merah kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah menyeramkan.
Bau amat busuk menebar waktu penunggang kuda ini melewati pohon di
belakang mana Wiro Sableng mengendap.
"Pasti ini adalah salah seorang
Hulubalang Istana Darah," kata Wiro dalam hati, "tampaknya dia mengejar
gadis tadi." Tidak menunggu lebih lama Wiro keluar dari balik pohon dan
dengan mempergunakan ilmu larinya segera mengejar dari belakang. Di
satu pendakian jarak antara gadis berkuda coklat dan pengejarnya hanya
tinggal beberapa tombak saja. Si muka merah berteriak memerintah agar
orang yang dikejar berhenti. Sebagai jawaban si gadis melambaikan tangan
kanannya ke belakang. Terdengar suara desingan halus. Kira-kira dua
lusin senjata rahasia melesat ke arah si muka merah.
"Kurang ajar!"
desis si muka merah seraya lambaikan ujung lengan pakaiannya. Serangkum
angin menderu dan berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang
menyerangnya. Di lain kejap manusia itu memukulkan tangan kanannya. Di
lain kejap Wiro Sableng melihat bagaimana kuda coklat putih yang
ditunggangi sang dara roboh di puncak pendakian dan terguling-guling ke
bawah. Gadis berbaju merah berhasil selamatkan diri dengan jalan
melompat.
"Manusia puntung neraka!" bentak sang dara begitu
pengejarnya sampai di hadapannya. "Kau kira aku takut padamu?" Lalu dari
balik bajunya dia keluarkan segulung cambuk.
Si muka merah tertawa mengekeh.
"Kalau
kau tidak keras kepala kau bakal mendapat tempat yang bagus di Istana
Darah bersamaku! Kecuali kalau memang sengaja mencari celaka!"
"Manusia
terkutuk! Kaulah yang bakal celaka!" hardik sang dara. Lalu terdengar
suara laksana petir menyambar ketika dia hantamkan cambuknya ke arah
batang leher si muka merah.
"Gadis tolol! Adatmu tidak beda dengan
kau punya guru! Kalau hari ini aku belum dapat membuat perhitungan
dengan si keparat tua itu, biar kau yang jadi muridnya harus menerima
celaka lebih dulu!"
Sekali si muka merah itu gerakkan tangannya maka
dia berhasil menyentak lepas cambuk yang saat itu menyambar batang
lehernya! Gadis baju merah terkejut bukan main. Gerakan pukulan cambuk
yang tadi dilepaskannya adalah satu serangan kilat yang selama ini
selalu mengenai sasarannya. Tapi sekali ini bukan saja gagal malah
senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang dara menjadi cemas bukan main.
Sementara itu si muka merah sudah melompat turun dari kudanya. Si gadis
dengan nekad kirimkan serangan kedua berupa pukulan tangan kosong.
Namun sebelum dia sempat bergerak dilihatnya segulung asap biru keluar
dari mulut si muka merah dan menghembus ke arahnya.
"Akh … "
Hanya
itu suara yang bisa dikeluarkan si gadis lalu tubuhnya melosoh dan
terhantar ke tanah. Dikeluarkannya seluruh kekuatannya yang ada,
berusaha agar jangan jatuh pingsan. Sementara itu pemandangannya menjadi
gelap, wajahnya mulai pucat dan bibirnya bergetar, mulai berubah warna
rnenjadi kebiru-biruan. Pakaiannya robek-robek ketika tersentuh asap
biru aneh tadi. Si muka merah tertawa gelakgelak.
"Gadis! Umurmu
hanya tinggal lima jam! Menjelang kematianmu kau bakal merasakan siksaan
luar biasa. Urat-urat dan saluran darah dalam tubuhmu laksana digigit
oleh ratusan semut rangrang.
Ha…ha…ha…!"
Suara gelak tawa si muka merah serta merta terhenti ketika di belakangnya terdengar satu bentakan.
"Manusia terkutuk! Kejahatanmu lebih terkutuk dari iblis!"
"Heh!
Setan dari mana magrib-magrib begini berani mendampratku?" ujar si muka
merah seraya memalingkan kepala. Diam-diam dia merasa terkejut karena
adalah aneh baginya kalau ada seorang berada di tempat itu tanpa dia
sempat mengetahui lebih dulu.
"Kau apakan gadis itu?!"
Si muka
merah mengerenyit dan memandang tajam-tajam pada seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian putih yang tegak delapan langkah di hadapannya.
Karena hari sudah agak gelap dia tidak dapat melihat jelas wajah si
pemuda namun dia yakin belum pernah mengenal pemuda ini sebelumnya.
Siapakah sebenarnya manusia berpakaian serba merah dan yang mukanya
dicat merah ini.
Dari ciri-cirinya sudah dapat dipastikan bahwa dia
adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah dan yang satu ini merupakan
Hulubalang Darah Kesatu. Hulubalang Darah Ketujuh saja sudah kita
saksikan kehebatan ilmunya, apalagi Hulubalang Darah Kesatu ini.
Nyatanya meskipun gadis berbaju merah tadi adalah murid seorang sakti
mandraguna namun dengan mudah Hulubalang Darah Kesatu merobohkannya. Di
lain pihak siapa pula adanya pemuda berambut gondrong yang tegak di
depan Hulubalang Darah Kesatu saat itu? Dia bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng!
"Bedebah! Majulah ke tempat lebih terang agar aku
dapat memastikan apakah kau manusia atau benarbenar setan kesasar!”
Hulubalang Kesatu membentak.
"Kau apakan gadis itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
Hulubalang Darah Kesatu kertakkan rahang. "Dirimu punya sangkut paut dengan dia?" Pendekar 212 menyeringai.
"Yang aku tahu…," kata si gondrong dari Gunung Gede ini, "ialah bahwa aku punya sangkut paut dengan kejahatan laknatmu!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng menerjang ke muka serta melepaskan pukulan "kunyuk melempar buah."
Hulubalang
Darah Kesatu tak menyana kalau lawan semuda itu bakal memiliki pukulan
meyakinkan begitu rupa. Kontan dia keluarkan pekik garang dan tubuhnya
lenyap dari pandangan.
"Keparat! Mau lari ke mana bangsat merah ini!"
maki Wiro dalam hati dan tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh
berkelebatnya lima jari tangan berkuku-kuku panjang. Hampir saja
Pendekar 212 mendapat celaka dalam gebrakan pertama itu kalau dia tidak
lekas-lekas membuang diri ke samping. Karena hari sudah mulai gelap Wiro
tak sempat melihat bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan berwarna
merah yang ditumbuhi kuku-kuku panjang macam cakar garuda!
Bukan
main marahnya Hulubalang Darah Kesatu ketika melihat bagaimana
serangannya yang bernama "lima cakar sakti meremas bumi" dapat dielakkan
oleh lawannya yang disangkanya hanya seorang manusia tolol mau mencari
mati.
"Manusia edan! Kau benar-benar terlalu berani mgncari mati!
Terlalu gegabah mencari urusan denganku! Atau kau belum tahu siapa
aku?!" Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengejek.
"Manusia muka
merah! Aku cukup kenal siapa kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama aku
punya niat membasmi Hulubalang-hulubalang keparat macammu dan
memusnahkan Istana Darah. Kau adalah korbanku yang pertama!"
Mendengar
ucapan itu Hulubalang Darah Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk
dada dia berkata, "Dalam Istana Darah, 24 tokoh-tokoh sakti dan terkenal
sudah menemui kematiannya. Hari ini seorang bocah bau air tetek mimpi
hendak menghancurkan Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha… ha ha …
!"
"Mimpi atau bukan kau terimalah pukulanku ini!" teriak Wiro
lantang. Begitu tangan kanannya digerakkan menderulah angin dahsyat
laksana topan prahara mengamuk. Pohon-pohon di sekitar situ berderak
patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara riuh.
Gadis baju merah
yang terhampar di tanah terguling ke dekat pematang sawah. Itulah
pukulan "benteng topan melanda samudera" yang telah dilepaskan Wiro
Sableng dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Sebagai
tokoh berkepandaian tertinggi di antara Hulubalang-hulubalang Istana
Darah, Hulubalang Darah Kesatu kaget bukan main menyaksikan pukulan
pemuda tadi. Sepasang lututnya terasa bergetar dan sebelum tubuhnya ikut
tersapu oleh pukulan lawan cepat-cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya
ke kaki hingga walau bagaimanapun hebatnya serangan Wiro namun kedua
kaki-nya laksana gunung karang menancap dalam tanah, tak sanggup
digetarkan sedikitpun!
"Ha … ha .., apa sudah seluruh tenaga dalammu
kau keluarkan?" ejek Hulubalang Darah Kesatu. Dia sama sekali tidak
menduga kalau Wiro baru kerahkan setengah bagian saja dari kekuatan
tenaga dalam yang dimilikinya. Murid Sinto Gendeng ini jadi penasaran.
Didahului satu suitan melengking memecah langit di malam gelap itu, Wiro
lipat gandakan tenaga dalamnya. Hulubalang Darah Kesatu menjadi kaget
ketika dirasakannya bagaimana kedua kakinya mendadak menjadi gontai dan
tubuhnya perlahan-lahan bergetar terhuyung-huyung.
Hulubalang Darah
keluarkan bentakan menggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua
larik sinar merah yang bukan lain merupakan semburan api panas luar
biasa, menderu melabrak ke arah Wiro Sableng. Pendekar 212 tidak berlaku
ayal. Kedua tangannya segera pula dipukulkan ke depan. Maka
terdengarlah suara berdentum. Bumi laksana digulung lindu. Pohon-pohon
bertumbangan. Hulubalang Darah Kesatu terguling-guling di tanah. Dia
mencoba bangun dengan cepat tapi sempoyongan dan jatuh lagi. Dadanya
sebelah dalam mendenyut sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila dan
pejamkan mata "mengatur jalan darah serta nafas dan mengalirkan tenaga
dalam dari pusar ke dada.
***

SEWAKTU
bentrokan dua pukulan sakti itu terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng
merasakan tanah yang dipijaknya laksana digoncang gempa. Kedua kakinya
melesak sampai lima senti. Lututnya goyah dan dalam keadaan tubuh
terhuyung-huyung akhirnya dia jatuh duduk di tanah. Meskipun semburan
dua gelombang api lawan sanggup dimusnahkannya namun sekujur kulit
tubuhnya terasa perih oleh hawa panas luar biasa pukulan lawan.
Seperti
Hulubalang Darah Kesatu, pendekar kita inipun cepat-cepat duduk bersila
untuk mengatur jalan nafas dan darah serta mengalirkan tenaga dalam ke
bagian-bagian tubuh terpenting. Begitu keadaannya pulih kembali
Hulubalang Darah Kesatu cepat melompat dan berdiri bertolak pinggang.
Sepasang matanya berapi-api memandang tak berkedip pada Pendekar 212.
Wiro sendiri saat itu sudah berdiri pula dan menunggu dengan penuh
waspada.
"Rambut gondrong!" tegur Hulubalang Darah Kesatu sambil
bertolak pinggang. "Kulihat kau barusan melepaskan pukulan benteng topan
melanda samudra! Apa hubunganmu dengan Sinto Gendeng dari Gunung
Gede?!"
Wiro Sableng diam-diam terkejut melihat lawan mengenali ilmu
pukulan serta nama gurunya. Tapi dia tenang-tenang saja dan tidak
memperlihatkan rasa terkejutnya itu. Tak dapat tidak si muka merah ini
pasti orang tokoh silat terkenal dan berusia lanjut. Memang sebenarnya
Hulubalang Darah Kesatu sudah berusia harnpir 80 tahun. Namun karena
mukanya dicat dengan darah yang telah membeku maka keriput-keriput
ketuaannya tidak kelihatan. Demikian pula rambutnya yang seharusnya
berwarna putih macam saiju selain tertutup tarbus juga telah dicelup
dengan darah.
Puluhan tahun silam Hulubalang Darah Kesatu dikenal
dengan nama Waranawikualit dan merupakan tokoh silat kelas satu yang
disegani di kawasan Jawa Barat. Namun karena sikapnya yang culas dan
suka berkhianat terhadap kawan sendiri, tokoh-tokoh silat golongan putih
boleh dikatakan rata-rata membencinya. Akibat tidak diterimanya dirinya
oleh kaum putih, maka makin lama Waranawikualit semakih jauh tersesat
ke dalam dunia hitam dan akhirnya melalui liku-liku pasang surut dunia
persilatan dia sampai di Jawa Timur dan memegang jabatan Hulubalang
Darah Kesatu di Istana Darah yang menjadi sumber malapetaka sejak
akhir-akhir ini.
Wiro Sableng tertawa bergumam.
"Kau kenal ilmu
pukulanku tadi, muka merah? Bagus … bagus sekali! Dan lebih bagus lagi
kalau kau kenal nama guruku. Tapi apa kau sudah kenal jalan ke neraka
…?"
Paras Hulubalang Darah menjadi tambah marsh mendengar kata-kata
itu. Sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Bilang saja terus
terang bahwa kau belum tahu jalan ke neraka. Tuan besarmu ini pasti akan
menunjukkan padamu!"
"Bedebah!" bentak Hulubalang Darah Kesatu merah
bukan main diejek begitu rupa. Sepuluh jari tangannya yang berkuku
panjang dipentang. Didahului oleh gelegar lengekingan yang keluar dari
tenggorokannya, manusia ini menjentikkan ke sepuluh jari tangannya dan
sepuluh jalur asap yang saling bersilangan menderu. Silangan-silangan
itu semakin banyak karena jalur asap merah itu cepat sekali memecah
menjadi puluhan hingga dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap merah
itu tak bedanya seperti sebuah jaring yang menyerbu ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng!
"Ilmu setan apa pula ini!" kata Wiro dalam hati lalu
lepaskan satu pukulan ke arah jaring asap merah. Hebatnya jaring asap
merah itu bukannya punah melainkan pecah dan semakin melebar serta
semakin cepat menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita keluarkan siulan
nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak dan dari tempat
kedudukan yang baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan
"kunyuk melempar buah". Namun pukulan inipun percuma saja karena semakin
membuat tambah banyaknya jalurjalur asao merah yang berarti semakin
melebar pula dan siap menelan Wiro Sableng. Hulubalang Darah Kesatu
tambahkan kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan suara menderu
asap merah bergerak tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa jengkal
saja lagi.
Wiro cepat angkat kedua telapak tangannya dan memompa
tenaga dalam. Di antara deru serangan asap merah, terdengar pula deru
dua gelombang angin menyapu ke depan. Pukulan "dinding angin berhembus
tindih menindih" yang dilepaskan Pendekar 212 untuk sesaat berhasil
membendung serangan yang aneh berbahaya itu. Namun ketika Hulubalang
Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah benteng pertahanan
lawan dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya sebelah
kiri! Pemuda ini terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung
jaring dengan cepat datang pula menyambar. Tentu saja Wiro tak mau
mendapat hantaman kedua kali. Karena hentaman pada tubuh sebelah kiri
telah membuat bagian tubuh di sebelah situ menjadi kaku tak bisa
digerakkan!
Didahului oleh siulan nyaring Wiro hantamkan tangan
kanannya ke arah jaring. Sinar putih menyilaukan berkelebat. Di belakang
sana Hulubalarg Darah Kesatu terdengar keluarkan seruan tertahan.
Pukulan "sinar matahari" yang dikeluarkan Wiro bukan saja
menghancurleburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi hampir saja
menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.
Wiro
kirimkan pukulan tangan kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang
Darah telah lenyap dari tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya
jaring asap aneh tadi.
Wiro kertakkan rahang tanda geram. Dia
kemudian ingat pada gadis baju merah yang tadi tergulingguling akibat
angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang sawah. Namun untuk sesaat
langkahnya terhenti karena saat itu dilihatnya dua sosok benda hitam
terhampar di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata adalah dua ekor
kuda. Yang pertama kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya
berwarna merah milik Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang
Darah sempat membunuh kedua binatang yang tak berdosa itu.
Wiro
dapatkan gadis baju merah terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok
akar pohon mengganjal tubuhnya hingga tak sampai kecemplung ke dalam
lumpur sawah. Wiro mendukung tubuhnya dan menyandarkan pada sebatang
pohon. Kedua mata si nadis terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit
terbuka. Mukanya pucat pasi. Pakaiannya robek-robek.
Wiro menarik
nafas sesak. Dipegangnya kedua lengan si gadis. Dia maklum kalau dalam
tubuh gadis itu mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan
riwayatnya jika tidak lekas rnendapatkan pertolongan.
Aliran tenaga
dalam Wiro menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan oleh si
pemuda itu bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis
memusnahkan hawa hangat itu dan walau bagaimanapun dicoba untuk
mengimbanginya tetap saja gagal. Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni
212 yang tidak mempan segala macam racun. Cepat dikeluarkannya senjata
itu dan hulunya yang berbentuk kepala naga serta terbuat dari gading
digenggamkannya ke tangan dara berbaju merah. Hawa panas mengalir ke
segenap bagian tubuh sang dara, namun tak lama kemudian kembali sirna.
"Racun jahat luar biasa!" kata Wiro dan menjacli bingung bagaimana caranya menyelamatkan jiwa gadis ini.
Tiba-tiba
didengarnya si gadis menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan
terpatah-patah. "Guru … mu … muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung…
mungkin kita … kita tak bisa bertemu la … lagi…"
Wiro ingat pada
beberapa butir obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini dikeluarkannya
dan dimasukkannya ke dalam mulut si gadis. Gadis baju merah terkejut
dan hendak menyemburkan obat itu.
"Jangan buang. Telan…!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong… " Si gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.
"Telanlah cepat. Siapa tahu bisa menolong."
Dengan obat masih dalam mulut si dara bertanya, "Kau … kau siapa yang hendak menolongku …?"
"Jangan habiskan waktu dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu cepat."
Sang dara agak meragu sesaat lalu gelengkan kepalanya. "Percuma…" desisnya.
"Percuma atau tidak telan dulu," ujar Wiro.
Akhirnya
si gadis menelan obat itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada
guna … percuma saja. Ra… racun yang mengindap di tu … buhku adalah racun
waja biru. Hanya dua orang yang bisa menyelamatkanku. Tapi… tak
mungkin… "
"Siapa kedua orang itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
"Waranawikualit …," bisik si gadis.
"Siapa dan di mana tempatnya?"
"Orangnya manusia muka merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku …"
Wiro gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi pertolongan. "Yang satunya lagi?" tanya Wiro kemudian.
"Gu… ruku sendiri… "
"Di mana beliau sekarang?"
Sang dara tarik nafas sesak. "Tak mungkin …," katanya perlahan.
"Apa yang tak mungkin …?"
"Tak mungkin kau bisa menolongku … "
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.
"Tempatnya jauh dari sini. Sebelum sampai aku sudah mati di … tengah … jalan … "
"Kita harus mencoba. Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.
"Danau
Jembangan," menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba
mulutnya membuka lebar. Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang
keluar, dari mulutnya adalah satu teriakan yang mengerikan. Tubuhnya
kemudian miring ke kanan dan hampir roboh ke tanah jika tidak lekas
dipegang oleh Wiro. Pemuda ini terkejut. Menyangka si gadis sudah
menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata cuma pingsan.
Danau
Jembangan memang jauh dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda
setengah hari baru akan sampai ke situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan
mengandalkan ilmu lari "seribu kaki" dia yakin bisa sampai ke sana
paling lama dalam tempo empat jam. Karenanya tanpa membuang waktu lagi
murid Sinto Gendeng ini segera memanggul tubuh si gadis dan meninggalkan
tempat itu menuju ke utara. Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan
itulah Wiro melewati kampung Warnasari. Dengan perut kosong dan tubuh
letih dia memutuskan untuk mampir ke kedai Ki Sepuh Bawean yang justru
pada saat itu tengah didatangi oleh gerombolan Ronggokarapan hingga
terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.
***

DANAU
Jembangan terletak di satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan
bakau. Di bagian timur danau ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di
atas rakit ini berdiri sebuah bangunan ‘ tinggi macam menara yang
keseluruhannya juga terbuat dari rotan. Dengan tubuh basah mandi
keringat serta nafas memburu Wiro Sableng datang berlari dari jurusan
barat. Pada saat itu di atasnya terdengar suara pekik aneh. Ketika dia
mendongak dilihatnya seekor burung elang merah bertengger di ujung
ranting sebatang pohon. Sepasang matanya yang hijau menyorot tajam ke
arah Wiro dan berkilai-kilai ditimpa sorotan sinar matahari yang baru
terbit.
"Aneh," kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang mengikutiku."
Tiba-tiba
elang itu kembali memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali
suara pekiknya," kata Wiro pula. Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang
itu dia segera lari ke jurusan timur danau. Di atasnya kembali elang
merah terbang mengikuti dan terus-terusan mengeluarkan suara pekikan
bising. "Binatang celaka ini mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal.
Sambil itu digerakkannya tangannya ke atus untuk memukul namun sesuatu
mendadak meluncur menyambar kedua kakinya, membuatnya terkejut dan cepat
melompat. Ketika diteliti ternyata serumpun akar bakau hampir saja
menyerandungnya.
Ini adalah satu keanehan. Semula Wiro menyangka yang
meluncur ke arah kakinya itu tadi adalah ular namun nyatanya akar
bakau. Dapatkah tanaman yang tidak memiliki daya gerak itu meluncur aneh
demikian rupa? Sementera itu di atas kepalanya elang merah masih terus
terbang berputar-putar sambil tiada hentinya berkuik-kuik. Lagi
kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya dari
belakang.
Wiro cepat melompat menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya
pula pendekar ini dibuat terkejut karena sambaran angin keras tadi
ternyata disebabkan oleh batang-batang pohon bakau yang secara aneh
berjatuhan ke tanah.
"Kalau tidak ada yang mengendalikan mustahil
pohon-pohon ini bisa bergerak," pikir Wiro. Dia memandang berkeliling
namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya dengan jalan kaki biasa Wiro
lanjutkan perjalanannya menuju bangunan rotan di tepi timur danau.
Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di sekelilingnya
terdengar suara menderu. Pohonpohon bakau yang berjajaran di tempat itu
bergerak seperti tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro
Sableng!
"Kurang ajar! Apa-apaan ini?!" seru Wiro lalu dengan cepat
menghantamkan tangan kanannya melepas pukulan "benteng topan melanda
samudera". Serta merta tanaman yang hendak menjirat tubuhnya mental
pecah-pecah. "Gila!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.
Semakin
dekat ke bangunan di tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya
sampai jarak lima langkah dari bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa.
Dengan cepat ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan masuk adalah
sebuah pintu yang terletak di sebelah
atas bangunan. Jarak pintu
dengan tepi danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu hal yang sulit
bagi Wiro untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul tubuh
gadis yang pingsan di bahu kirinya. Namun ketika dia hendak melompat
sejenak hatinya menjadi bimbang. Mungkinkah dia telah datang ke tempat
yang salah. Mungkin danau di hadapannya ini bukan Danau Jembangan. Lalu
apa artinya semua rintangan-rintangan aneh yang barusan dialaminya?
Setelah
menetapkan hati, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana
seekor burung Wiro Sableng melompat ke udara den melayang ms nuju pintu
di puncak bangunan rotan. Namun sebelum dia mencapai pintu tersebut,
dari samping berketebat satu bayangan merah yang langsung menyambar ke
arah lehernya!
Dalam terkejut yang amat sangat Wiro Sableng masih
sempat memiringkan tubuh namun daya lesatnya ke atas sudah agak
berkurang hingga mau tak mau pendekar ini terpaksa melompat ke sampirg
dan mempergunakan sebuah cabang pohon untuk menjejakkan kaki lalu
melesatkan tubuhnya kembali ke udara. Rasa penasaran mendapat serangan
yang aneh itu membuat Wiro marah bukan main. Lebih-lebih ketika
diketahuinya bahwa yang menyerang temyata adalah elang marah yang
rupanya masih terus mengikutinya.
Dan saat itu dari arah atas
dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya yang berkuku pinjang
tajam terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk mengirimkan satu
patukan keras!
"Binatang celaka ini kalau tidak dilenyapkan bisa
bikin aku susah," kata Wiro geram lalu memukulkan tangannya ke atas,
melancarkan pukulan "kunyuk melempar buah."
Namun untuk kesekian
kalinya pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan cekatan elang
merah itu berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar biasa
berbalik kembali menyambar ke arah perut Wiro!
"Kurang ajar! Jangan
harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap lepaskan satu
pukulan lagi. Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara yang
terbuat dari rotan terdengar seruan nyaring.
"Sultan! Hentikan seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"
Elang
merah yang hendak menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu
berbalik cepat dan hinggap di puncak menara bangunan. Terheran-heran
Wino melesat masuk ke pintu. Ruangan di puncak rnenara rotan itu tidak
seberapa besar dan kalau saja dia tidak lekas-lekas menahan daya
dorongan tubuhnya hampir saja dia menabrak seorang lelaki tua yang
terbaring di atas sebuah tempat tidur rendah terbuat dari rotan.
"Pemuda
asing, kau siapakah! Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau
buruk? Dari sambaran angin yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu
waktu masuk ke sini, kau tentu membawa sesuatu di bahu kirimu!"
Saking
terkejutnya Wiro Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga.
Betapakan tidak karena dilihatnya orang tua yang barusan bicara itu buta
kedua belah matanya! Dan bukan itu saja, orang tua yang berambut putih
bermata buta ini, buntung kedua kakinya sebatas lutut sedang kedua
tangannya terbelenggu oleh rantai besar berwarna biru. Dalam keadaan
begitu rupa bagaimana dia bisa berada di bangunan yang tinggi itu!
"Orang
tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah
Danau Jembangan?" Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.
"Betul!"
jawab si orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau.
Apa yang kau bawa dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk
sebaiknya lekas-lekas angkat kaki dari sini!"
"Namaku Wiro. Aku … "
"Tunggu
dulu!" orang tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si
Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Wiro terkesima. "Kira-kira begitulah …," katanya menyahuti.
Tiba-tiba orang tua itu berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah duduk di atas pembaringan rotan.
"Lekas
tolong aku! Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang
membelenggu kedua tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu
kedatanganmu. Kini aku bebas! Bebas! Karena hanya kapak saktimu itu yang
sanggup memotong putus belenggu celaka ini!"
Wiro berdiri bingung
dan si orang tua kembali menyuruhnya agar segera mengeluarkan Kapak Naga
Geni 212. Dengan hati sedikit meragu karena kawatir orang tua itu akan
menipunya, akhirnya Wiro keluarkan senjatanya dari balik pakaian. Sinar
putih menerangi ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri si orang
tua mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.
"Potonglah cepat!" katanya.
Wiro maju mendekat.
Dalam keadaan lebih dekat begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas gadis berbaju merah yang pingsan di bahu kiri Wiro.
"Hai!" seru orang tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"
"Aku sendiri tak tahu namanya. Tapi dia mengaku muridmu… "
Si orang tua kerenyitkan kening.
"Apakah dia seorang dara berpakaian serta merah?" tanya si orang tua.
"Apa yang telah terjadi atas dirinya?"
Maka
dengan cepat Wiro menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan
sang dara dan apa yang kemudian terjadi atas dirinya.
"Racun waja
biru!" desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar si
Waranawikualit! Rupanya dia sudah menjadi kaki tangan raja Rangrang
Srenggi. Memang sudah sejak lama aku mendengar kedurjanaan mereka!"
Rahang orang tua itu nampak menggembung tanda dia marah luar biasa.
"Siapa Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.
"Sudah. Jangan banyak tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting muridku harus diselamatkan jiwanya!"
Wiro
baringkan gadis yang sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di
samping si orang tua. Lalu mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas
saja dengan mengeluarkan suara berkerontang maka putuslah rantai besi
beser berwarna biru yang sebelumnya mengikat sepasang lengan orang tua
itu.
Sambil tertawa gelak-gelak orang tua itu acungkan kedua
tangannya ke atas dan berkata, "Aku bebas! Aku bebas kini! Rangrang
Srenggi, kau bakal menerima pembalasanku …!"
Ucapannya itu terputus
ketika dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat muridnya
terbaring. Dengan jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu.
"Racun jahat .., racun jahat," desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang Srenggi! Awas kau Waranawikualit!"
Orang
tua itu membungkuk dan meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah
tempat tidur rotan diambilnya sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya
botol itu sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
"Untung … untung
dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu tidak
mengetahui tempat penyimpanan obat ini. Untung!"
Orang tua ini
kemudian membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya. Setelah
mengerahkan tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya
penuh dengan ludah berbusa biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali
dia menyedot bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali berulang-ulang.
Setelah itu dari dalam botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna
biru: Setelah menotok bagian leher dan perut muridnya beberapa kali baru
obat itu dimasukkannya ke dalam mulut sang murid. Wiro kemudian melihat
bagaimana orang tua itu duduk bersila sambil mendekapkan tangan di
depan dada. Sesaat berselang dari ubun-ubunnya keluar asap putih,
bergulung-gulung yang terus membungkus sekujur tubuh muridnya yang
terbaring di atas tempat tidur.
Tiba-tiba orang tua itu membentak
keras. Bangunan rotan bergoyang keras. Bersamaan dengan itu dia
memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,
"Racun jahat! Pergilah!"
Gulungan asap putih yang membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu seruan lenyap maka asap biru itupun sirna.
"Bangun, muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"
Wiro
melihat bagaimana gadis yang tadi pingsan membuka matanya
perlahan-lahan. Parasnya yang pucat kini kelihatan mulai berdarah
kembali bahkan bibirnya yang sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar
kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh lebih cantik dari selagi dia
pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi meneguk air liur.
"Bangunlah Lestari. Sadarlah … !"
Lestari
demikian nama gadis itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia
memandang berkeliling dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.
"Pikiranmu masih belum jernih. Pejamkan matamu, Lestari…"
Si
gadis mengikuti ucapan gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru
menyuruh buka matanya kembali. Dan bersamaan dengan itu Lestari
bertanya,
"Eyang; bagaimana … murid bisa berada di sini dengan selamat? Semestinya… bukankah murid telah mati? Atau … "
Si orang tua tertawa gelak-gelak.
"Soal hidup atau mati ada di tangan Tuhan, muridku… "
"Tapi murid benar-benar tak mengerti eyang…"
"Tanyakan pada pemuda di depanmu … " berkata sang guru.
Lestari berpaling. Untuk sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang dengan mata pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau kenal padanya?" tanya si orang tua.
Lestari menggeleng.
"Tapi kalau tak salah sebelumnya … murid pernah bertemu dengan dia."
Kembali sang guru tertawa dan berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja jalan dan cara Tuhan mempertemukan kalian … "
"Apa … apa?!" seru Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan memandang ternganga pada gurunya.
Kembali orang tua berkaki buntung tertawa gelak-gelak.
"Aku
sudah ketelepasan bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya
sendiri. "Tapi kalian mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto
Gendeng pasti senang kalau mengetahui pertemuanmu dengan muridku ini,
Wiro… "
"Kau kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.
"Lebih dari kenal."
Wiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari dilihatnya menundukkan kepala dan parasnya memerah.
"Sudahlah
…," si orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau sudah
jodoh masa ke mana. Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa
ketemu dengan bergundal Istana Darah barpangkat Hulubalang Kesatu dan
bernama Waranawikualit itu!"
Maka Lestari menuturkan riwayatnya
lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro Sableng. Si orang tua yang sampai
saat itu masih belum diketahui Wiro siapa namanya nampak
manggut-manggut berulang kali. Wajahnya serius.
"Memang sudah saatnya
kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu Sultan sudah
cukup. Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana
Darah."
"Memang niat itu sudah sejak lama terkandung dalam hatiku.
Tapi kalau boleh bertanya, kau ini siapakah orang tua?" tanya Wiro pula.
"Apakah namaku perlu sekali bagimu?"
"Lebih
dari perlu. Karena kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto
Gendeng, adalah kurang enak rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu
…" Orang tua itu tersenyum.
"Namaku sebenarnya sudah hampir musnah
ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku buruk sekali yaitu Karewang.
Dan aku adalah saudara angkat gurumu."
Mendengar itu kontak Wiro
Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang mengaku bernama
Karewang tertawa lagi gelak-gelak.
"Tapi mengapa guru tak pernah menerangkan padaku tentangmu?"
"Gurumu
itu memang sedeng," sahut Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya agar
Wiro duduk di hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana
Darah Karewang menyuruh pemuda itu menelan tiga butir obat biru dalam
botol. Dengan menelan obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja
biru" yang teramat jahat itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.
Sampai
saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat klas
satu yang memegang gelar Si Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah
menjagoi dunia persilatan di tanah Jawa selama dua puluh tahun sebelum
diambil alih Eyang Sinto Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari
pasang surut dunia persilatan, suatu ketika Karewang didatangi
Waranawikualit yang datang untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat
di masa silam. Waranawikualit datang tidak sendirian melainkan membawa
seorang tokoh aneh berotak miring yang ternyata amat lihay. Tokoh inilah
yang membuat cacat kedua kaki Karewang, kemudian membelenggunya dengan
rantai biru. Dan manusia itu bukan lain adalah RNangrang Srenggi yang
kini menobatkan diri sebagai Raja Istana Darah!
***

KUDA PUTIH
bernama Angin Salju itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan
debu di belakangnya. Pemuda yang duduk di atas punggungnya bukan lain
Panji Kenanga, murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung. Tak selang
berapa lama kemudian lapat-lapat di kejauhan pemuda ini mulai mendengar
suara deburan ombak. Itulah satu pertanda bahwa dia telah mendekati
tempat yang ditujunya.
Di satu tempat Panji Kenanga turun dari
kudanya dan sambil membimbing binatang itu dia meneruskan perjalanan
dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata dibuka lebar-lebar dan
awas, telinga dipasang tajam-tajam. Bukan mustahil sebelum dia sampai ke
tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia mungkin bakal
jadi korban pembokongan.
Dia sampai di satu jalan kecil berliku-liku
yang diapit oleh puing-puing batu karang. Angin mengandung garam
menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk tidak menempuh jalan kecil
itu tetapi mengambil jalan lain di sela-sela batu karang. Akhirnya dia
sampai di salah satu puing karang datar. Dari sini dia melayangkan
pandangan jauh ke muka.
Di hadapannya terbentang pantai dan laut
lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari tepi pantai sebelah timur,
dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin raksasa berdirilah satu
bangunan besar yang keseluruhannya berwarna merah. Bila angin bertiup
maka dari arah bangunan itu menghamburlah bau busuk yang amat sangat,
laksana mau meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa
menutup hidungnya.
"Pasti itulah yang disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hoti. "Sumber segala macam malapetaka."
Dengan
menggertakkan rahang karena ingat akan kematian adik seperguruannya
yaitu Widura serta lenyapnya Miani yang diduganya berada di Istana
Darah, Panji Kenanga balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul kuda
tunggangannya dan berkata, "Angin Salju kau tunggulah di sini. Bila
sampai matahari terbenam nanti aku tidak kembali, kau pulanglah ke
gunung Raung, ke tempat guru."
Sebagai jawaban bihatang itu
menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya seolah-olah mengerti
maksud ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju, Panji
Kenanga dengan gerakan gesit melompat ke puing batu karang di bawahnya,
demikian terus menerus dilakukannya. Melompat dari satu batu karang ke
lain batu karang hingga akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon
beringin raksasa yang mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau
busuk bukan alang kepalang. Mau tak mau bulu tengkuk pemuda ini agak
merinding sewaktu mengetahui bahwa warna merah yang menjadi cat tembok
serta dinding seluruh bangunan itu adalah darah!
"Agaknya aku harus melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam … " membathin Panji Kenanga.
Dia bersiap-siap. Pada saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara di belakangnya.
"Panji Kenanga, kau datang terlambat."
Murid Brahmana Lokapala itu berpaling. Astaga.
Ternyata
yang berkata adalah seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang,
berkepala botak dan bermata buta. Dan dia bukan lain adalah si orang
aneh yang pernah ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang dipanggil
sebagai Si Botak Mata Buta.
"Apa maksudmu orang tua." tanya Panji Kenanga.
Tampaknya kali ini orang tua itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti dulu. Wajahnya serius.
Dan dia berkata, "Adik seperguruanmu telah mereka bunuh!"
"Aku sudah tahu kematian Widura."
"Bukan Widura saja. Mianipun mengalami nasib yang sama…"
"Hah?!"
laksana diambar petir Panji Kenanpa mendengar keterangan itu. "Kau tahu
dari mana?" kedua tangannya dikepalkan saking geram.
Si Botak Mata Buta menghela nafaa "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah, jangan harap umurnya lebih dari dua jam."
"Kurang
ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu pembalamnku!" seru Panji
Kenange. Segera dia hendak melangkah ke arah tembok merah tapi satu
tangan memegang bahunya dengan cepat. Betapapun dia mengerahkan tenaga
untuk melepaskan pegangan itu tatap saja tidak berhasil. Ternyata yang
memegang bahunya adalah si Botak Mata Buta.
"Jangan bertindak ceroboh
orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas dendam! Lain dari itu
kudengar ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau memandang ke
jurusan barat."
Panji Kenanga memandang ke jurusan yang dikatakan.
Apa yang diucapkan Si Botak Mata Buta memang benar. Dua orang dilihatnya
berlari amat cepat ke jurusan mereka. Satu lelaki berpakaian serba
putih berambut gondrong dan satunya lagi seorang perempuan berpakaian
merah. Yang lelaki kelihatan mendukung seorang tua yang ternyata buntung
kedua kakinya.
"Apa yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.
Baru
saja selesai pertanyaan itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu
sudah sampai dan berhenti sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah
pohon beringin yang besar. Panji Kenanga menceritakan ciri-ciri
orang-orang yang dilihatnya itu.
"Aku mendengar sesuatu terbang di udara. Pasti burung …," kata Si Botak Mata Buta.
"Memang betul ucapanmu orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di atas kepala orangorang yang baru datang itu."
Si Botak Mata Buta kerenyitkan kening.
"Apakah burung elang itu berbulu merah?"
"Benar."
"Dan orang tua yang didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta…?" Panji meneliti sebentar lalu membenarkan.
Si
Botak Mata Buta memukul keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum
lebar. Maka dia terdengar berseru, "Karewang! Memang justru pertemuan
inilah yang kuharapkan!"
Karewang alias Si Pemusnah Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng memutar kepala dan mengeluarkan seruan tertahan.
"Nanggala!"
serunya menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku bertemu
dengan kau di sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan
sahabat lamaku itu."
Begitu saling berdekatan kedua orang tua yang sama-sama buta itu saling berangkulan.
"Dua puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau masih buta-buta juga!"
Kedua orang itu lantas tertawa gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng dan Lestari hanya berdiri terlongong-longong.
"Heh,
kita ini macam orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa
berada di mana dan lupa apa maksud kedatangan kita kemari!"
"Apa maksudmu datang ke sini sobat? Agaknya udara busuk di tepi pantai ini menarik hatimu!"
Karewang tertawa rawan. Lalu dituturkannya bencana yang menimpa dua orang muridnya dan rencana untuk menghancurkan Istana Darah.
"Kau sendiri, angin apa pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.
"Kita
bernasib dan punya maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak
Mata Buta. Setelah memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu
maka dituturkannya kejadian yang menimpa dua orang saudara seperguruan
Panji Kenanga.
Karewang mengusap-usap dagunya.
"Kejahatan dajal-dajal di dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah waktunya harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Sobatku Karewang, aku mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang pemuda gondrong bersamamu. Siapakah dia … ?"
Karewang
hendak menjawab tapi Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului
menjawab, "Aku yang muda ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si
Pemusnah Iblis."
Panji Kenanga yang sebelumnya sudah bertemu dengan
Wiro segera membuka mulut. "Dialah yang telah melabrak gerombolan
Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga dialah yang menyelamatkan anak
murid Si Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya berhasil."
Wiro cuma bisa senyum-senyum saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba kebetulan saja sobat," katanya merendah.
"Dan dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga.
Sepasang mata buta Nanggala membuka lebar-lebar.
"Pendekar 212?" ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak lama aku mendengar kehebatanmu, Wiro … "
"Saya bukan apa-apa terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah yang ada di sini."
"Tidak
selamanya yang tua lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak
Mata Buta pula. "Kita yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh
yang muda-muda macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami yang
tua-tua dan pikun ini merasa amat malu masih mengurusi segala macam
urusan dunia." Si Botak Mata Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya
kemudian, "aku sampai lupa pada muridmu Karewang. Sayang … sayang mataku
buta hingga tidak dapat melihat kecantikannya."
Orang tua berkepala
botak berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari menjadi
merah parasnya. "Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak Mata
Buta. "Panji aku ada menitipkan sebuah benda padamu tempo hari.
Serahkanlah pada Lestari karena benda itu adalah miliknya."
Panji
Kenanga ingat akan seruling perak yang ada di balik pakaiannya.
Cepat-cepat benda ini dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari.
Baik Lestari maupun Karewang merasa heran bagaimana senjata mustika itu
berada pada Panji Kenanga. Sebelum mereka bertanya Nanggala membuka
mulut memberi keterangan.
"Kalau aku tidak salah suling itu berhasil
diambil oleh Tapak Biru sewaktu terjadi kerusuhan di puncak Dieng.
Dengan senjata milik Lestari itu dia malang melintang lebih berani
berbuat kejahatan hingga akhimya aku berhasil merampasnya dan
menyerahkannya pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila bertemu pada
pemiliknya dia harus menyerahkan suling perak terebut. Tidak disangka
kalau hari ini kita saling bertemu hingga suling itu bisa dikembalikan
pada pemiliknya. Bukankah itu suatu pertanda …?"
"Pertanda apa gerangan maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.
"Pertanda
bahwa ada jalan yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana
Lokapala ini! Lebih jelas kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"
Karewang
tertegun sejenak. Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis
melirik pula pada Wiro hingga pandangan mereka saling bertemu dan
membuat si gadis cepat-cepat menunduk dengan paras merah. Dalam pada itu
Panji Kenanga mencuri pandang pula dan memang sesungguhnya sejak
pertemuan ini, bahkan sejak mula pertama dia melihat Lestari di kedai di
kampung Warnasari, hatinya mengakui bahwa Lestari seorang gadis yang
amat menarik. Namun karena orang yang dicintainya adalah Miani, maka
apapun daya tarik Lestari tidak menjadi persoalan baginya.
"Sobatku
Nanggala," kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa.
"Urusan jodoh biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas
dilakukan saat ini dan juga kurang tepat kalau kita berani
menyebut-nyebut urusan itu tanpa setahu Brahmana Lokapala. Bukankah
begitu Panji Kenanga?"
"Betul … betul sekali orang tua," sahut Panji Kenanga.
"Nah, sekarang mari kita bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata Nanggala.
"Masuk
ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi
Rangrang Srenggi keparat itu memang betul-betul cerdik dan licik. Kita
mesti hati-hati. Panji, coba kau naik ke pohon beringin itu dan selidiki
keadaan di belakang Tembok Darah."
Mendengar ucapan Karewang, Panji
Kenanga dengan satu gerakan enteng segera melompat ke atas pohon
beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di salah satu cabang
tiba-tiba laksana tangantangan setan, puluhan akar gantung pohon
beringin itu bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun
diusahakannya untuk melepaskan diri tetap siasia belaka. Semua orang
terkejut melihat kejadian ini. "Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang
Srenggi itu," kata Nanggala seraya hendak melompat ke atas untuk
memberi pertolongan. Inilah kehebatannya. Meski buta tapi dapat
merasakan apa yang telah menimpa Panji Kenanga.
"Biar burungku yang
turun tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri." Berkata begitu
Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan pemuda itu!"
Elang
merah yang sejak tadi berputar-putar di atas kepala mereka menguik
keras lalu terbang ke arah pohon beringin. Dengan paruhnya yang tajam
laksana gunting baja, dalam waktu singkat binatang ini berhasil memutus
seluruh akar-akar yang melilit tubuh Panji Kenanga.
"Terima kasih,"
kata Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya terlibat tidak
berdaya tadi namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan di
belakang Tembok Darah. Tak seorangpun yang kelihatan. Seluruh bangunan
berbda dalam keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru
saja dia selesai berikan keterangan, dari arah Istana Darah menggema
suara keras.
"Siapapun yang berada di luar, bersiaplah untuk mampus!"
"Itu suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas lakukan apa yang kita telah atur!"
Wiro
segera menurunkan orang tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang
datar. Dari balik pakaiannya yang menggembung dikeluarkannya sebuah
benda hitam berbentuk bola sebesar dua kepalan tangan. Dia lalu lari ke
arah Pintu Gerbang Darah.
"Kau mau bikin apa, Karewang?" tanya Nanggala.
"Lihat saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita menyerbu ke dalam mungkin terlalu berbahaya dan … "
Karewang
alias Si Pemusnah Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari
belakang Tembok Darah laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah
mereka. Ternyata benda-benda itu adalah paku-paku berwarna biru yang
merupakan senjata rahasia yang telah dicelup dengan racun "waja biru".
"Ini
pasti perbuatannya si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh
serangan paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di tanah
senjata-senjata rahasia ini kembali memantul mengirimkan serangan.

"HEM … ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya gerakkan tangan kanannya.
Dari
telapak tangan kanan orang tua itu menderu angin yang berputar-putar,
menikung beberapa kali, menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya
berkelompok menjadi satu. Dalam pada itu Panji Kenanga yang sudah tidak
sabar mencabut pedang "Gajah Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu
sinar biru berkelebat menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang
tergabung jadi satu itu dalam keadaan terpotong dua!
"Pedang bagus … pedang bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.
Dalam
pada itu Wiro telah berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang
Darah. Mendadak dari lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian
bawah Tembok Darah bermunculanlah enam kepala merah bertopi tarbus
merah yarg ujungnya berkuncir. Mereka ternyata adalah
Hulubalang-hulubalang Istana Darah. Dalam waktu singkat mereka telah
mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang Darah Kelima Belas
sampai Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi untuk mendekati pintu
gerbang lebih dekat maka serta merta bola hitam di tangan kanannya
dilemparkan. Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu.
Lidah api menjulang. Sebagian dari atap Istana Darah mental beterbangan
ke udara, beberapa tiang besar runtuh bersama-sama dinding Istana.
"Kurang ajar!" teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak Istana! Mari kita bunuh bangsat itu!"
Maka
ke enam Hulubalang Darah serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam
sinar merah yang bukan kepalang panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng.
Yang diserang maklum kalau lawan-lawannya adalah rata-rata
berkepandaian tinggi. Karenanya dengan tangan kiri kanan Wiro lepaskan
pukulan "benteng topang melanda samudera." Begitu pukulan lawan buyar
Wiro menyelinapkan satu jotosan dan satu tendangan.
Tak ampun lagi
Hulubalang Darah Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh. Yang
pertama segera meregang nyawa karena perutnya bobol kena tendangan
sedang yang kedua muntah darah lebih dulu baru lepas jiwanya. Itulah
korban-korban pertama dari Istana Darah!
Melihat kedua temannya
menemui kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang lainnya berteriak
marah lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali menyerbu ke
arah Wiro. Namun saat itu serangan mereka tertahan oleh satu sambaran
sinar biru yang menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru kaget.
Dalam pada itu terdengar teriakan.
"Wiro biar aku menahan mereka!"
Ternyata
saat itu dengan pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah
menyerbu ke tempat pertempuran. Hulubalang Darah Kedelapanbelas dan
Kesembilanbelas dengan penasaran melompat ke muka seraya menyapukan
senjata masing-masing. Namun begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali
berturut turut, keduanya kontan menjerit dan menggeletak mandi darah.
Yang satu tertembus dadanya, yang lain terbacok parah pangkal lehernya!
Diam-diam
Wiro kagum melihat kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji
Kenanga bakal dapat menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa
ragu-ragu ditinggalkannya tempat itu. Dia lari ke samping kanan Tembok
Darah dan dari sini melemparkan bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya
terdengar suara menggelegar. Bagian samping kanan Istana Darah runtuh,
kerusakan hebat terjadi. Hulubalang Darah Keduabelas dan Keempat belas
yang kebetulan ada di bagian situ dan tidak keburu menyingkir, menjadi
korban.
Ketika sekali lagi Wiro melemparkan bola hitam ke sampirig
kiri Istana Darah boleh dikatakan Istana Darah telah hampir sama rata
dengan tanah. Beberapa Hulubalang Darah menemui ajalnya. Wiro kembali ke
tempatnya sementara Panji Kenanga telah berhasil membunuh dua
Hulubalang yang tadi dihadapinya. Orang-orang itu menunggu. Sampai
sepeminuman teh tak ada seorangpun yang muncul dari belakang tembok.
"Apa mereka sudah pada mampus semua …?" tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"
"Kita tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi …" kata Karewang.
Dan
betul saja. Didahului oleh suara berkerekatan maka terbukalah Pintu
Gerbang Darah dan laksana bobolnya sebuah bendungan mencurahlah cairan
merah hingga seantero tempat kini digenangi oleh cairan tersebut sampai
sebatas betis Di samping cairan itu busuknya bukan main juga di dalamnya
kelihatan bergerak-gerak ratusan ular berbisa!
Semua orang cepat menyingkir ke atas puing karang data di atas mana Karewang alias Si Pemusnah Iblis duduk.
Panji
Kenanga membungkuk dan membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang
sehingga puluhan ular yang berani datang mendekat segera terpotongpotong
dan menemui kematiannya. Wiro Sableng lebih hebat lagi. Dicabutnya
Kapak Naga Geni serta batu hitam 212. Setiap kali batu dan Kapok
diadukannya satu sama lain maka menderulah lidah api. Cairan darah
muncrat dan menggelegak panas. Ular-ular yang ada di dalamnya laksana
direbus dan hanya dalam tempo kurang dari sepeminuman teh seluruh
binatang itu telah musnah menemui ajal!
Karewang tertawa mengekeh.
"Bagus
Wiro, bagus. Kalau tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang
Darah tengah keluar serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"
Memang betul!
Empat
belas orang berpakaian serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang
Darah, berjalan memecah genangan darah busuk dengan seenaknya lalu
berhenti kira-kira lima belas langkah di hadapan rombongan Karewang.
Mereka
adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor
satu yang menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli
bernama Waranawikualit. Di belakang rombongan Hulubalang ini menyusul 40
Hulubalang pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak seberapa tinggi
namun jumlah mereka yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan
oleh pihak lawan.
"Mereka berjumlah lebih dari lima puluh Eyang …" bisik Lestari pada gurunya dan diam-diam segera keluarkan suling peraknya.
"Tak perlu ditakutkan," sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani datang lebih dekat pasti konyol…"
"Di antara mereka tak kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari berbisik.
"’Hai
kenapa raja kalian tidak muncul?! Apa takut mampus?!" Karewang
tiba-tiba berteriak sementara orang-orang dari Istana Darah mulai
berpencair, mengurung mereka.
"’Untuk menghajar manusia-manusia pikun
macam kamu perlu apa Raja kami mesti mengotorkan diri turun tangan!"
Yang menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.
Karewang yang mengenal
suara itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh besar
Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku
tahu apa yang kau lakukan terhadap dua muridku!"
Waranawikualit atau Hulubaiarg Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek.
”’Kalau
saja kau ingat nasib celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah
miring otak masih beraniberanian datang kemari!" kata Hulubalang Darah
Kesatu pula.
Sementara itu dengan ilmu menyusupkan suara Karewang
berkata pada Nanggala, "Kau hadapi dia sobatku. Walau bagaimanapun lawan
besar yang harus kuhadapi adalah Rangrang Srenggi."
"Tak usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan menunjukkan jalan ke liang kubur pada mereka!"
"Bagus.
Tapi kalau tidak turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata
Karewang pula. Maka diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul
nyalimu amat besar majulah! Bawa semua orangorangmu sekalian! Hari ini
aku akan memberi pelajaran terakhir padamu sebelum kau jadi makanan
cacingcacing liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya.
Beberapa
Hulubalang maju sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran
kurungan. Tinggal sepuluh langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana
kilat Karewang yang bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa mengekeh dan
tangan kanannya melemparkan sebuah bola hitam.
"Lekas menyingkir!" teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak melayang di udara.
Tangan
kanannya dihantamkan ke atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata
maut itu sebelum meledak diantara orang-orangnya. Tapi dari angin suara
gerakannya, Karewang cukup tahu apa yang dilakukan lawan. Segera ia
mengirimkan satu pukulan tangan kanan ke arah dada lawannya dan memaksa
Hulubalang Darah Kesatu melompat ke samping.
Tangkisannya luput dan
sesaat kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang meledak di
tengahtengah orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan belas
Hulubalang Pengawal roboh ke dalam genangan darah. Darah mereka
bercampur baur dengan darah busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal
dan ikut jadi korban! Dengan demikian yang tinggal kini cuma 9 orang
Hulubalang Darah dan 21 orang Hulubalang Pengawal!
Bukan alang kepalang marahnya Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang berjatuhan di pihaknya.
"Kalau
tidak kupecahkan kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi
manusia!" teriak Waranawikualit lalu sambil melompat dia kirimkan dua
pukulan hebat sekaligus!
Dua larik sinar merah menyambar dari
pukulannya itu ke arah dada dan kepala Karewang. Karewang membentak,
"Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat. Selarik sinar pelangi
berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah buyar!
Tapi saat itu dari samping terdengar seruan, "Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu sinar kuning menyambar.
Hulubalang
Darah Kesatu membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat siapa
yang menyerangnya. "Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol
berani datang kemari!" Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang
bergerak dalam serangan "Sepuluh cakar sakti meremas bumi" yang amat
hebat karena mengandalkan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya.
Si
Botak Mata Buta yang bukan sembarang orang dengan gerakan mengagumkan
berhasil mengelakkan serangan itu. Akibatnya sepuluh jari tangan
Waranawikualit melabrak batu karang di sampingnya dan batu karang itu
hancur lebur!
Bayangkan kalau sepuluh jari tangan berhasil mengermus
kepala botak Si Botak Mata Buta. Untuk beberapa lamanya semua orang
tertegun di tempat masing-masing menyaksikan jalannya pertempuran
tingkat tinggi itu. Perkelahian berjalan terus. Ketika kelihatan
Waranawikualit atau Hulubalang Darah Kesatu mulai terdesak,
Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga Hulubalang Pengawal segera
menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran untuk mengeroyok Si Botak Mata
Buta!
Melihat hal ini maka Wiro Sableng, Panji Kenanga dan Lestari
tidak tinggal diam. Karena lawan datang mengeroyok dengan mempergunakan
berbagai macam senjata maka ketiganyapun menyerbu dengan senjata di
tangan. Di atas genangan cairan darah busuk itu berkecamuklah
pertempuran hebat. Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212 yang
mengeluarkan sinar putih menyilaukan serta suara menggaung seperti
ratusan tawon menggila. Panji Kenanga berkelebat gesit kian kemari
dengan pedang Gajah Birunya yang terlihat hanya merupakan
kelebatan-kelebatan sinar biru menderu-deru. Di lain pihak laksana
seorang puteri dari kayangan yang sedang marah, Lestari berubah
merupakan bayangan merah yang berkelebat gesit kian kemari sambil
pergunakah suling peraknya untuk memukul dan menotok kepala atau dada
lawan!
Meskipun orang-orang dari Istana Darah rata-rata berkepandaian
tinggi namun tiga lawan yang mereka hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro
Sableng bukanlah lawan-lawan kelas rendah yang bisa mereka lakukan
dengan sekehendak hati. Dalam tempo singkat korban demi korban telah
berjatuhan dan bergeletakan dalam genangan darah busuk.
Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka yang
bertempur.
Tiga kali peminuman teh berlalu dan saat itu kelihatanlah
bahwa hanya Hulubalang Darah Kesatu sajalah yang tinggal sendirian
berhadapan dengan Si Botak Mata Buta. Keadaan itupun agaknya tidak bakal
berjalan lama karena saat itu tangan kanan Hulubalang Darah Kesatu
telah disentak putus oleh lawannya hingga dia kini hilang keseimbangan
badan dan bercampur macam orang celeng!
Si Botak Mata Buta sendiri bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba
mulut Hulubalang Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian menyemburlah
asap biru pekat ke muka Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah maklum
kehebatan racun "waja biru" cepat menutup jalan nafasnya dan menyembur
pula ke depan! Dari mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang
Darah Kesatu terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke depan,
sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta dengan cepat mencengkeram
lehernya. Hulubalang Darah Kesatu megap-megap kehabisan nafas, meronta
dan melejang-lejang.
"Kreek …!"
Sepuluh jari tangan Si Botak Mata
Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah Kesatu dan hancurlah
tulang leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke akhirat!
"Pertempuran
hebat! Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi
dimanakah lawanku? Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul?!"
"Mari kita periksa ke dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang
berpikir sejenak. Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk
mendukungnya kembali. Kelima orang itu dengan merancah genangan darah
busuk, melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan hati-hati
bergerak menuju reruntuhan Istana Darah. Di mana-mana terdapat sisa-sisa
korban api dan dari setiap jurusan menyambar bau busuk yang memengapkan
jalan pernafasan.
"Aneh, di manakah si gila Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di
ujung sana, dekat sisa reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas
Istana Darah, Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba menghentikan
langkahnya. Ketika dia menjenguk ke balik reruntuhan tembok, depan
sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing reruntuhan serta pecahan
patung Rakseksi telanjang, di atas sebuah kursi goyang besar yang
terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang laki-laki katai
berpakaian merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah dan
bermuka bercelomot darah! Baik kening, maupun hidung serta mulut orang
katai ini amat rata sekali hingga sepintas lalu mukanya licin tak
ubahnya seperti sebuah bola! Kursi yang didudukinya terlalu besar bagi
tubuhnya yang kecil itu. Bahkan kedua kakinya tidak sampai menjejak
lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk bergoyang-goyang
seenaknya. Di tangan kiri kanannya terdapat sebuah seloki cairan merah.
Dalam duduk sendirian seenaknya itu dia tertawa-tawa macam orang kurang
ingatan. Wiro memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk mendekat.
Ketika semua orang sudah berkumpul di dekatnya tiba-tiba si katai di
atas kursi goyang menghamburkan tawa gelak berderai hingga kedua
matarrya basah oleh air mata!
"Selamat datang tuan-tuan … Selamat datang di Istanaku yang telah hancur ini …!" kata orang katai itu pula.
Tapi tiba-tiba mukanya berubah warna dan dari mulutnya keluar makian. "Keparat … sialan! Laknat …!
Haram jadah! Terkutuk! Mampuslah semua! Mampusl Semuaaa …!"
Mengenali suara yang mengutuk menyerapah itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka
Yang Mulia Raja Gila, setelah istanamu hancur, setelah
begundal-brgundalmu konyol, apakah kau masih menganggap dirimu masih
sebagai raja?"
"Kalau asalku raja tetap raja. Hari ini aku telah
menjadi raja akhirat untuk mengirim kau dan yang lainlainnya ke
akhirat!" Selesai berkata begitu manusia yang menganggap dirinya sebagai
raja itu tertawa gelakgelak.
"Rangrang Srenggi. Otakmu yang miring
rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang! Hari ini kau harus
mempertanggungjawabkan segala kejahatan yang telah kau perbuat!"
Rangrang
Srenggi mendengus. Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang
lalu sambil mengacungkan dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata,
"Sebelum
kita meneruskan pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini!
Datanglah ke hadapanku. Eh… apakah kedua kakimu yang kubikin buntung
tempo hari sudah disambung dengan kaki palsut!"
Paras Karewang merah
padam namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan menjawab, "Justru
aku datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki palsu."
Karewang lantas balas tertawa.
Rangrang Srenggi memencongkan mulutnya.
"Aku
akan buatkan cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah
ini!" Habis berkata begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan
seloki arak di tangan kanan itu melayang perlahanlahan ke arah
Karewang.
"Wiro dudukkan aku di runtuhan tembok agar aku bisa
menyambuti suguhan tuan rumah!" kata Karewang. Maka Wiropun mendudukkan
orang tua itu di atas runtuhan tembok.
Sementara itu seloki yang
berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang. Kira-kira satu
meter lagi dari hadapannya. Karewang menguiurkan tangan seperti hendak
menyambuti. Tapi dari tangan kanannya justru keluar selarik angin yang
membuat seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah
kini seloki itu kelihatan mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan
tenaga dalamnya tetap saja dia tak sanggup mendorong seloki tersebut ke
arah lawannya!
***

"HA…HA…HA…!
Rupanya seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah bagianku itu
kau ambil saja!" kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih
keras.
Dengan muka merah karena malu Rangrang Srenggi menyambut
seloki arak itu. Sadarlah dia bahwa tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi
darinya. Perlahan-lahan dengan tenang dia meneguk habis darah busuk
yang ada dalam seloki satu demi satu. Lalu seenaknya kedua seloki kosong
itu dilemparkannya hingga pecah bertaburan. Dia kemudian tertawa
bekakakan lalu kembali memaki kata-kata kotor. Tiba-tiba dia memejamkan
kedua matanya. Dalam memejamkan mata itu dia kemudian mengajukan
pertanyaan.
"Karewang, sudah siapkah kau untuk pergi ke akhirat!"
"Sudah sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.
"Bagus!"
Bersamaan dengan ucapan "bagus" itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya yang kecil.
Sesiur
angin yang amat dingin meluncur ke arah Karewang. Yang diserang
menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat setengah tombak ke
atas. Serangan lawan lewat di bawahnya, menghantam runtuhan tembok di
mana tadi Karewang duduk hingga hancur lebur. Karena temtok itu kini
sudah jadi sama rata dengar tanah orang menyangka Karewang akan jatuh
terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki buntung ini dengan
senyum-senyum melayang turun dan duduk bersila di tanah tanpa
menimbulkan sedikit suarapun!
"Kini giliranku, Srenggi!" seru Karewang.
Kedua
tangannya ditepukkan ke depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang
Srenggi hancur berantakan. Tapi si katai itu sendiri sudah melompat ke
lain tempat dan di lain kejap laksana topan prahara menyerbu ke arah
Karewang.
Orang tua bermata buta dan berkaki buntung itu tetap duduk
dengan tenang di tempatnya. Telinganya dipasang benar-benar untuk
mengetahui serangan apa dan dari mana datangnya. Tiba-tiba dia
mengangkat kedua tangannya, menangkis! Empat lengan mereka saling
beradu! Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah sedang
Karewang yang hilang keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat
bangun dan duduk bersila kembali!
Si katai Rangrang Srenggi dengan
amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis berwarna merah darah dan
melompat ke hadapan Karewang.
"Licik!" teriak Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan suling peraknya.
"Guruku tidak pakai senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"
"Bocah
jelita. Kau minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan.
Angin yang menderu keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari
yang terkena terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!
"Biarkan
saja Lestari! Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara
Karewang, "Dia tolol kalau menganggap gurumu yang pikun ini adalah
Karewang beberapa tahun lalu, buta dan buntung!"
Lalu orang tua ini
dengan sikap acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka dada sedang
sepasang matanya yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-ubunnya
tampak keluar asap warna ungu. Asap ini dengan cepat menutupi sekujur
tubuhnya. Sesaat Rangrang Srenggi tertegun. Namun kemudian dia teruskan
serangan pedangnya. Senjata ini bergaung mencari sasaran di arah leher
Karewang. Tapi aneh! Begitu pedang membentur lapisan asap ungu, maka
senjata itu terpental kembali laksana menghantam satu dinding yang luar
biasa atosnya. Rangrang Srenggi jadi penasaran. Dia mengumpulkan seluruh
tenaga dan menghujani tubuh lawan dengan bacokan terus menerus. Namun
bagaimanapun dicobanya untuk membacok, menusuk, membabat, tetap saja
pedangnya tidak mampu menerobos lapisan asap ungu yang aneh itu!
"Gila! Gila … gila!" teriak Rangrang Srenggi kalap.
Tiba-tiba
cepat sekali Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam
gerakan bagaimana tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di
tangan Rangrang Srenggi. Selagi lawan berada dalam keadaan tertegun
kaget, senjata itu sudah menyambar datar di bawah pinggangnya dan cras!
Putuslah tubuh Rangrarig Srenggi sebatas pinggul!
Darah menyembur
dari dua bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi
berteriak-teriak, memaki dan mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik
suaranya semakin kecil melemah. Pada saat tubuhnya tak berkutik lagi
suaranyapun lenyap dan nyawanya lepas!
"Seorang iblis telah musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah Iblis?!" Karewang lalu tertawa gelak-gelak.
T A M A T