ANAK perempuan
berumur delapan tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada hentinya
menyanyi. Di tangan kanannya tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga
yang baru dipetiknya di dalam hutan. Saat itu matahari pagi telah naik
tinggi. Si anak mempercepat larinya. Dia takut kalau kalau orang tuanya
mengetahui bahwa dia telah pergi ke hutan lagi. Tentu dia akan dilecut
seperti kemarin.
Baru saja dia memasuki jalan kecil yang akan menuju
keperkampungan, anak perempuan ini dikejutkan oleh derap kaki kuda yang
banyak dan riuh sekali. Dia tak ingin mendapat celaka diterjang
kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan berlindung di balik sebatang
pohon. Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat dengan cepat.
Si anak tak tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas amat
banyak dan semua berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis
melintang serta cambang bawuk yang lebat. Tampang-tampang mereka buas
bengis. Dan masing-masing membawa sebilah golok besar di pinggang. Meski
rombongan penunggang kuda itu telah berlalu jauh namun debu jalanan
masih beterbangan menutupi pemandangan. Setelah debu itu sirna barulah
si anak keluar dari balik pohon dan berlari sepanjangjalan menuju ke
kampungnya.
Kampung itu terletak di sebuah lembah subur yang dialiri
sungai kecil berair jernih. Sekeliling perkampungan terbentang sawah
ladang yang luas. Saat itu padi tengah menguning hingga kemanapun mata
memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus
lari. Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar tidak kelihatan oleh
orang tuanya. Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan
bunga-bunga itu dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi …. Jalan
pikiran si kecil itu terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya
terdengar suara hiruk pikuk. Suara itu bercampur aduk. Ada suara
ringkikan kuda, suara teriakan orang laki-laki, pekik jerit orang-orang
perempuan dan anak-anak, lalu suara beradunya senjata yang sekali-kali
diseling oleh suara ringkik kuda yang membuat kecutnya hati anak
perempuan itu.
Ada apakah di kampung? Begitu si anak berpikir.
Hatinya yang kecut membuat larinya terhenti-henti. Satu perasaan takut
memperingatkannya agar jangan pergi ke kampung, jangan pulang. Namun
kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak meskipun dalam
langkah-langkah perlahan. Dilewatinya kebun di belakang rumah dan sampai
di sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat ayahnya menyimpan segala
barang-barang rongsokan.
Justru di sini anak tersebut menghentikan
langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran, parasnya yang tadi kemerahan
karena berlari saat itu berubah menjadi pucat pasi karena ketakutan. Dia
ingin berteriak, dia ingin menangis tapi mulutnya terkancing oleh rasa
takut yang amat sangat. Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak
laki-lakinya tengah berkelahi melawan dua orang berpakaian serba hitam.
Agaknya kedua orang berpakaian hitam itu tidak sanggup menghadapi ayah
dan kakaknya karena dalam waktu yang singkat keduanya roboh mandi darah,
Namun pada saat itu muncullah tiga orang penunggang kuda bertubuh kekar
bertampang ganas. Salah seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari
punggung kuda, langsung menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain
menyusul dan saat itu juga terjadilah perkelahian dua lawan tiga. Tiga
manusia bertampang ganas itu ternyata amat tinggi ilmu silatnya karena
tak berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan ayahnya. Senjata di
tangan salah seorang lawan telah membabat dada ayahnya hingga laki-laki
itu tersungkur dan tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya bagaimana
kakaknya menjadi kalap oleh kematian ayahnya lalu mengamuk hebat. Tapi
nasibnya juga malang karena dua senjata lawan berbarengan mampir di
perut serta di pundak kakaknya. Salah seorang dari manusia-manusia jahat
itu lalu membakar rumah orang tuanya. Pada saat api berkobar hebat,
dari pintu belakang keluar dua orang perempuan. Mereka lari ke arah
kebun. Keduanya adalah ibu dan kakak perempuan anak kecil yang berdiri
disamping gubuk. Si anak hendak berteriak memanggil ibunya tapi tak
jadi. Salah seorang dari tiga manusia jahat itu rupanya berhasil melihat
kakak perempuan dan ibunya, lalu berseru keras dan mengejar.
"Ha-ha!
Ternyata ada isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang
kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri
dia segera ikut menyusul mengejar.
"Bagianku yang muda, Tunjung!"
seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja dia berhasil mengejar si
gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu. Gadis itu
menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun tubuhnya
sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti
anaknya, diapun diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan kalian!"
satu bentakan terdengar. Yang membentak ternyata adalah laki-laki
ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan kecil di dekat gubuk
reyot. "Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung ini menjadi
milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling,
seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata! Sudah lebih dari selusin
perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan pada sobat
sendiri yang dua ini masih hendak kau ambil?!"
"Heh, sejak kapan kau
berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!" gertak lakilaki
yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot garang.
Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh
padat si gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi
Bayunata cepat mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga
paras mereka saling berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer Tunjung!
Ini adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak
mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak.
Kawannya yang bemama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke
tanah.
"Kalau tidak dia biar yang ini saja untukku!" kata Sawer
Tunjung seraya menunjuk pada perempuan berumur sekitar tigapuluh lima
tahun yang tengah didekap oleh kawannya yang bemama Singgil Murka.
"Tidak bisa!" Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini aku belum dapat satu perempuanpun!"
"Kalian
berdua tak perlu berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!"
kata Bayunata. Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar
yang tak boleh melihat perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin
dimilikinya sekalipun saat itu lebih selusin dari perempuan-perempuan
kampong telah diambilnya.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah tertawa.
"Kelak kalau aku sudah mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang lumayan. Jadi tak perlu menggerutu!"
"Kau keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!"
Bayunata membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau
kau berani mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam
dekapannya yang saat itu masih menjerit dan meronta.
"Kau ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup senang! Mari …!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku marah," kata Bayunata. Tapi si gadis terus meronta dan memaki.
"Kau
ingin aku berbuat kasar sebelum waktunya?! Baik!" Tangan kanan Bayunata
bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya
tersingkap lebar. Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada yang padat
putih itu. Dilumatnya dada itu dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari
mulutnya keluar ucapan, "Dada bagus …. dada bagus … uh … uh!"
"Lepaskan aku! Manusia dajal ….!"
Bayunata
tertawa mengekeh dan memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas
kuda. Pada saat itulah anak kecil yang berdiri di samping gubuk
berteriak.
"Ibu …. kakak!" Namun suara teriakannya itu sama sekali
tidak keluar karena satu telapak tangan berwarna amat hitam dan
berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan
berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh! Kau tahu tak satu
anak kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis kecil
itu berpaling dan dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras orang
yang menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras
setan-setan yang pernah diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur!
Paras itu cuma punya satu mata yaitu di sebelah kanan sedang mata yang
kiri hanya merupakan lobang hitam yang dalam. Manusia bermuka hitam itu
cekung sekali kedua pipinya sedang hidungnya melesak penyet!
"Jangan
takut anak, jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya
ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya
tangannya yang menekap mulut si gadis cilik.
"Mari ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang sepertimu ini yang kucari-cari!"
‘Tidak!" si gadis cilik meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau lari ke mana, anak?!"
"Ibu … ibu … aku akan mengejar ibu!" jawab si anak.
"Ah … akan mengejar ibumu dan melawan perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!"
Manusia bermuka hitam seram yang temyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa mengekeh.
"Sekecil
ini kau telah menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku
harus bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si
muka hitam lalu mendukung gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan
tempat tersebut. Tapi satu bayangan putih memapas larinya dan satu
bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam! Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main dan menghentikan larinya.
"Bangsat! Setan alas dari mana yang berani mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!"
DI HADAPAN
si nenek yang mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang
kakek-kakek berpakaian putih. Kumis dan janggutnya panjang menjulai,
melambai-lambai ditiup angin. Mengenali orang yang berdiri di depannya
si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau rupa-rupanya yang
berani-beranian bicara seenak perutmu terhadapku! Lekas menyingkir
sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang lehermu!"
Si kakek
tertawa perlahan dan ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan
kanannya ke tanah. Meski tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar
jari tangan, namun hebatnya tanah yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan bocah itu padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata Munding Wirya.
Si
nenek yang ternyata bernama Camperenik menggembung kedua pipinya yang
cekung lalu menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan
melesak! Sekaligus si nenek hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya
tidak kalah hebat dengan tenaga dalam si kakek.
"Enak betul bicaramu! Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang baik.
Sesudah dapat ada yang mau memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu juruspun aku bersedia mempertahankannya!"
"Aku
tak punya waktu untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak
itu secara baik-baik padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa gelak-gelak.
"Kau mengancam aku, Munding? Ya?! Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa dipaksa?!"
"Lantas apa sangkut pautmu?!" tukas si nenek. "Sudahlah. Kataku serahkan anak itu. Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan ketus.
Munding Wirya usut-usut janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala.
"Otak
tololmu sekeras batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas
jadi muridmu! Turunan baik-baik tak boleh dijadikan murid orang
golongan hitam macammu!"
"Menyingkir dari hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot, hati-hatilah kepalamu!"
"Begini
saja, Camperenik. Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah
seorang dari kita. Kalau dia mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah
dan kau boleh bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk seram tentu saja tidak mau menerima usul itu karena dia yakin si anak pasti tidak akan memilihnya.
"Dalam urusan ini tak ada segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari hadapanku!" Munding Wirya mengusut lagi janggutnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkan anak itu secara baik-baik?!"
"Tidak! Dan kau mau apa?!" tantang Camperenik.
"Kau
akan menyesal!" desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah.
Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke
arah kedua kaki Camperenik. Si nenek berteriak marah dan melompat
setengah tombak. Selagi melayang di udara kaki kanannya ditendangkan ke
muka. Tongkat kuning di tangan Munding Wirya cepat berputar memapas. Si
nenek terkejut. Tak disangkanya gerakan lawan demikian sebat.
Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti menyerang dengan satu
cengkeraman dahsyat ke muka lawan. Namun lagi-lagi dia harus membatalkan
serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu memapaki
tangannya!
Maklum bahwa sulit baginya untuk menyerang secara
langsung, Camperenik merubah siasat. Dia mulai melepaskan
pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima langkah. Kali
ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu
kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat.
Tubuhnya merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari.
Tongkatnya lenyap menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian
kemari menyambar ke tabuh lawan!
Pertempuran antara si kakek dan si
nenek telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya samasama hebat,
lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil bertempur dia masih terus
mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya. Munding Wirya tiba-tiba
berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si nenek mendadak
sontak merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar. Dalam penasarannya
dia berpikir ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang
demikian asing dan hebat? Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama
hujan serangan Munding Wirya, Camperenik segera mencabut senjatanya dari
balik pinggang. Senjatanya ini yaitu seekor ular yang telah dikeringkan
menjadi tongkat dan bisa menyemburkan racun jahat. Di tangan Camperenik
ular yang sudah keras kaku itu bisa dibuat demikian rupa laksana hidup
dan menyambar kian kemari!
Munding Wirya sekitar dua tahun yang lalu
telah pernah bertempur dengan Camperenik, karenanya dia sudah tahu
kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat menutup jalan pernafasannya.
Betul saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan senjata
ularnya, Camperenik tibatiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun
kuning dari mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi
amat penasaran melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun tongkat
ularnya. Dengan geram dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku
tongkat yang amat seru. Lima puluh jurus lagi berlalu. Masing-masing
mengeluarkan ilmu silat simpanan. Serangan di balas serangan. Tipu daya
dibalas tipu daya pula. Masing-masing mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!"
Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus ke
tujuh puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu
padaku?!"
"Sekali aku bilang tidak, sampai nyawaku terbang
kenerakapun aku tetap bilang tidak!" jawab si nenek seraya hantamkan
tongkat ularnya ke batok kepala Munding Wirya. Si kakek miringkan tubuh
dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu adalah peraduan yang keenam puluh dua kalinya!
Masing-masing
pihak melompat mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di
muka Munding Wirya keluar dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu
kuningnya dimelintangkan di depan dada. Sepasang matanya menatap tajam
pada Camperenik.
"Untuk penghabisan kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik meludah ke tanah.
"Jilatlah ludah itu! Baru aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah
wajah Munding Wirya. Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan
kiri. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang jari-jari tangan kanan
dikepalkan. Sesaat kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru pekat.
Paras
Camperenik kontan berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan
lawan. Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan
itu!
"Bagaimana, Camperenik?!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan mati konyol dilabrak pukulan buana biru ini?!"
Mulut
Camperenik komat-kamit. Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras.
Dia tak bakal sanggup menerima pukulan buana biru itu. Laripun percuma.
Tiba-tiba dia membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan pukulan itu?! Baik! Lakukanlah cepat!"
Habis
berkata begitu Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di
depan tubuhnya! Munding Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun
tak mungkin baginya untuk meneruskan melepaskan pukulan buana biru.
Meski Camperenik bakal menemui kematian, tetapi anak perempuan itu
sendiri pasti akan ikut mati bersama-sama si nenek!
"Keparat betul si Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir Munding Wirya geram.
"Ayo
Munding! Kau tokh mau bikin mampus aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik
berteriak dengan sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya
tambah geram.
‘"Kalau kau tak mampu melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba
satu bayangan putih melesat dari samping. Munding Wirya tersentak
kaget. Camperenik mengeluarkan seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak
perempuan yang diacungkannya terbetot lepas dari pegangan kedua
tangannya! Sesosok tubuh berpakaian putih sementara itu dengan sebat
berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!" jerit Camperenik marah
lalu hendak mengejar. Namun dari samping satu sinar biru menderu
laksana topan prahara. Nenek-nenek ini terkejut. Munding Wirya temyata
telah melepaskan pukulan “buana biru” begitu si nenek bersikap lengah.
Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang. Nyawanya selamat
tapi angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat nenek-nenek
ini roboh dan terguling pingsan! Munding Wirya tak menunggu lebih lama,
segera dia angkat kaki mengejar orang yang telah merampas anak
perempuan tadi dari tangan Camperenik!
Di tepi lembah Munding Wirya
masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan timur. Dengan
mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus mengejar. Tapi
bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat jarak
sampai tiga puluh langkah. Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan
anak yang berada di tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan
pukulan buana biru saking gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si
penculik berpaling ke belakang seolah-olah mengejeknya. Munding Wirya
tidak ingat sudah berapa lama dia mengejar orang itu sementara matahari
sudah condong ke barat dan hari hampir senja. Dan sampai saat itu dia
masih belum mampu mengejar orang yang melarikan anak perempuan itu. Si
penculik sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri dari pemandangan
kedua mata Munding Wirya dan masih terus juga berpaling sekali-kali ke
belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar di hati si orang tua.
Siapakah gerangan adanya orang itu yang demikian hebat ilmu larinya?!
Tepat pada saat matahari tenggelam diufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding Wirya lenyap dari pemandangan!
Kakek-kakek
itu menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak
kelihatan, lenyap laksana di telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar
edan … !" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi diselidikinya
tempat sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin belum
jodohku anak itu. Tapi betulbetul aneh dan hebat. Siapakah orang yang
telah melarikannya itu?"
Dengan hati kecewa Munding Wirya
menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat tersebut. Namun satu
langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang tua kemarilah!"
Munding
Wirya terkesiap. Dia mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya,
disebuah cabang pohon besar di bawah mana dia berdiri, duduk sesosok
tubuh berpakaian putih tengah memangku anak perempuan yang hendak
diambilnya jadi murid! Dengan serta merta Munding Wirya menjejakkan
kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dan di lain kejap dia sudah
berada di atas cabang pohon besar di mana orang yang melarikan anak
perempuan itu duduk. Terkejutlah Munding Wirya ketika dia melihat bahwa
orang yang menculik si anak adalah seorang perempuan tua berambut putih
jarang. Pada kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde. Kulitnya
yang hitam kelihatan lebih hitam karena selempang kain putih yang
dikenakannya, ditambah lagi oleh kegelapan senja yang datang.
"Pantas
… pantas. Engkau rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup
mengejarmu!". Habis berkata begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam.
Perempuan tua di depannya tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat itu telah tertidur nyenyak.
"Empat
puluh tahun tidak bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh
satu hal yang menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya.
"Kalau aku boleh tahu, urusan apakah yang membuat kau meninggalkan
puncak gunung Gede? Kudengar kabar kau sudah bertekad untuk mengundurkan
diri dari dunia yang penuh kotor ini."
"Betul … itu betul sahabatku
Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di puncak gunung Gede
tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku kesal dan
kesepian! Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding
Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya
perempuan tua itu melarikan si anak perempuan, apakah hendak
mengambilnya sebagai murid pula, tetapi si kakek kemudian membatalkan
maksudnya karena dia kawatir perempuan tua itu akan tersinggung.
Siapakah sebenarnya perempuan tua itu? Dia bukan lain Eyang Sinto
Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat yang
pernah merajai dunia persilatan selama berpuluh tahun!
Sambil mengusap kepala si anak perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak
bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat
golongan hitam. Karenanya kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau
ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya. Namun demikian sebagai
basa-basi dan peradatan dia berkata, "Jika kau ingin mengambilnya jadi
murid, silahkan kau bawa ke gunung Gede." Sinto Gendeng tertawa,
"Aku
memang mau kembali ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh
serta bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk
cuma punya satu murid. Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau akan
mendidik dan menggemblengnya menjadi gadis pendekar yang hebat agar
dapat membalaskan sakit hati atas apa yang telah menimpa orang tua dan
saudara-saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?" Sinto Gendeng mengangguk perlahan.
"Kekotoran-kekotoran
macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang bakal
menuntut balas!" Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu sekali
lagi lalu menyerahkannya pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut
sekali karena baru saja si anak berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng
tahu-tahu telah berkelebat lenyap dari cabang pohon. Munding Wirya
gelengkan kepala dan tarik nafas panjang. "Tak dapat kuukur betapa
tingginya ilmu kepandaian manusia itu!" Setelah memandang berkeliling
sesaat, kakek-kakek inipun melompat turun dari cabang pohon dan lenyap
dalam kegelapan malam.
HUTAN
Bludak merupakan hutan yang paling lebat di daerah selatan Jawa Barat.
Penduduk yang diam dibeberapa desa sekitar hutan tersebut menganggapnya
sebuah hutan angker yang jarang di datangi manusia. Menurut penduduk
disitu, selain penuh dengan bindtang buas juga dihuni oleh berbagai
macam makhluk halus. Di samping itu hutan Bludak juga merupakan sarang
manusia-manusia jahat.
Di pertengahan hutan yang angker lebat itulah
gerombolan rampok Bayunata mendirikan markas mereka. Rumah-rumah mereka
atau lebih tepat dikatakan pondok-pondok didirikan di atas pohonpohon
raksasa dalam hutan yang keseluruhannya berjumlah hampir dua puluh buah.
Bayunata sengaja mendirikan pondok di atas-atas pepohonan agar jangan
diganggu oleh binatangbinatang buas. Disamping itu juga untuk menjaya
jika sewaktu-waktu terjadi penggrebekan oleh pasukan kerajaan Banten
atau Pajajaran. Selama bertualang malang melintang memimpin gerombolan
rampok bersama Singgil Murka dan Sawer Tunjung, telah dua kali Bayunata
diserang oleh orang-orang kerajaan. Pertama dari Pajajaran dan yang
terakhir dari Banten. Meski anak buahnya banyak yang jatuh menjadi
korban, namun Bayunata dan kawan-kawannya berhasil menghalau
prajurit-prajurit penyerang.
Saat itu baru saja memasuki malam. Di
dalam sebuah pondok di atas pohon terdengar sedu sedan tangis dua orang
perempuan. Mereka adalah Galuh Asih dan Ratih, ibu dan kakak perempuan
anak perempuan kecil yang dibawa oleh Munding Wirya. Di dalam pondok itu
juga terdapat lima orang perempuan yang rata-rata berparas cantik.
Namun dibalik paras cantik masing-masing, jelas kelihatan sikap dengki
dan bengis. Salah seorang dari kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri
dan membentak, "Kalian ibu dan anak sama-sama keblingernya! Kalian harus
berterima kasih tidak dibunuh oleh Bayunata! Kalian harus bersyukur
diambil jadi istri!"
Galuh Asih menyusut air matanya dan memandang
tepat-tepat pada perempuan yang membentak itu, lalu berkata dengan suara
pelahan tapi menusuk tajam.
"Aku dan anakku menangis karena kami
bukanlah manusia-manusia macam kau dan lainlainnya! Kalian bersyukur
jadi perempuan-perempuan peliharaan Bayunata itu urusan kalian. Jangan
coba-coba mempengaruhi kami!"
"Ho-oo! Kau ibu dan anak mau
mengandalkan apakah hendak menolak kehendak Bayunata? Lebih baik menurut
saja! Kalian akan dapat uang, pakaian dan harta perhiasan!"
"Enyahlah dari tempat ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan yang dibentak cuma tertawa sinis.
Dikeluarkannya sebuah botol berisi cairan hitam lalu melangkah kehadapan Galuh Asih.
"Perempuan
macammu ini biasanya mempunyai jalan pikiran lebih baik mati daripada
jadi peliharaan seorang kepala rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau
memang mau mati!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka lebar-lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam seraya membentak.
"Perempuan bangsat! Berani kau menyuruh Galuh Asih minum racun?!"
Perempuan
itu menjerit. Tubuhnya terbanting ke lantai pondok. Di hadapannya
berdiri Bayunata dengan bertolak pinggang dan mata membeliak.
"Warinah!
Sudah sejak lama kudengar kau berperangai buruk! Menghasut, memfitnah
bahkan main gila dengan beberapa orang anak buahku! Berdiri!"
Warinah, demikian nama perempuan itu berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat kertas.
"’Bawa sini botol itu!" bentak Bayunata lalu merampas botol racun dari tangan Warinah dan membuka tutupnya.
"Sekarang kau sendiri yang harus meneguk racun ini! Ayo, teguk!" perintah Bayunata.
"Ampun … ampun Bayunata. Aku, aku tidak bermaksud …"
"Minum
cepat!" teriak Bayunata sementara empat orang perempuan lainnya
kawan-kawan Warinah berdiri di satu sudut dengan ketakutan. Warinah
mundur beberapa langkah.
"Minum kataku!" teriak Bayunata lagi lalu
melompat dan, menjambak rambut Warinah. Racun dalam botol dituangkannya
ke mulut Warinah tetapi perempuan itu lebih cepat menutup bibirnya
rapat-rapat!
"Oo … kau tak mau mampus cara begini hah?! Baik! Aku
memang sudah bosan padamu, sudah muak! Lihat, kau akan mampus dengan
cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata menangkap pinggang Warinah lalu
melemparkan tubuh perempuan itu keluar pintu pondok! Pondok itu
terletak di atas pohon raksasa yang hampir duapuluh tombak tingginya. Di
luar terdengar pekik ngeri Warinah lalu sunyi tanda tubuhnya telah
menemui kematian di bawah sana!
Di dalam pondok Bayunata memandang
pada empat perempuan kawan Warinah lalu membentak mereka agar
meninggalkan pondok itu! Keempatnya berebutan cepat keluar dan lari
sepanjang jembatan gantung kecil yang terbuat dari tali yang
menyambungkan pondok itu dengan pondok lainnya. Kepala rampok Bayunata
memutar tubuh dan memandang ganti berganti pada Galuh Asih dan Ratih.
"Walau bagaimanapun," katanya, "bunuh diri adalah perbuatan paling tolol!"
"Kami mernang tak ingin bunuh diri! Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!" menyahut Galuh Asih.
"Itu tindakan yang lebih tolol lagi!" kata Bayunata pula.
"Kau
telah memiliki perempuan-perempuan peliharaan berlusin-lusin. Apakah
itu belum cukup? Masih kurang? Demi Tuhan lepaskan kami!"
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!" teriak Bayunata marah. "Setiap ada yang menyebut Tuhan selalu saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan kami!"
"Tidak
bisa! Kau harus jadi istriku! Jadi peliharaanku, tahu?! Memang aku
punya lusinan perempuan di sini. Aku sudah bosan dengan mereka semua!
Kau musti tahu setiap perempuan berbeda! Punya keistimewaan
sendiri-sendiri!" Dan habis berkata begitu Bayunata tertawa gelakgelak.
Dia melangkah ke pintu dan berteriak. Seorang anak buahnya datang dengan
cepat.
"Bawa gadis itu ke pondokku! Usir perempuan-perempuan yang
ada di sana dan jaga dia baikbaik! Awas kalau kau berani berbuat kurang
ajar!"
Dalam keadaan menjerit-jerit Ratih dipanggil oleh anggota rampok itu. Ketika hendak dibawa pergi Galuh Asih cepat menghadang.
"Lepaskah dia! Lepaskan anakku!"
"Jangan
tolol Galuh Asih!" bentak Bayunata seraya menarik lengan perempuan itu
kemudian sekaligus dirangkulnya. Galuh Asih memekik dan menangis keras
sewaktu anak gadisnya lenyap diluar pintu.
Bayunata menutup pintu
pondok dan tegak menunggu sampai tangis Galuh Asih mereda. Bila
perempuan itu tampak agak tenangan sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau tak usah kawatir akan keselamatan diri anakmu …"
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan jamah tubuhku!"
"Oh, begitu? Apakah kau mau aku memanggil sepuluh anak buahku dan menjamah sekujur tubuhmu sekaligus?!"
"Bangsat! Demi Tuhan matilah kau!" teriak Galuh Asih lalu melompat dan memukulkan kedua tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan
mudah kepala rampok hutan Bludak itu menangkap kedua lengan Galuh Asih
dan dilain kejapperempuan itu sudah tenggelam dalam rangkulannya.
Ciumannya bertubi-tubi. Galuh Asih melejang meronta-ronta berusaha
melepaskan diri namun sia-sia saja malah lambat laun tenaganya semakin
mengendur dan dia tak berdaya apa-apa sewaktu Bayunata membaringkannya
di atas kasur jerami kering. Kekuatan perempuan ini timbul kembali
sewaktu Bayunata mulai menanggalkan pakaiannya dengan kasar. Keduanya
bergumul berguling-guling dan pada akhirnya Galuh Asih kembali menyerah
kehabisan daya! Dia hanya meramkan mata, tak bisa menolak sewaktu
Bayunata meneduhi tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba menjerit keras ketika
dirasakannya bulu-bulu dada kepala rampok itu menggeremangi buah
dadanya. Dia menjerit sekali lagi, sekali lagi lalu pingsan di bawah
tindihan tubuh laki-laki terkutuk itu!
Sepeminuman teh lewat.
Bayunata
dengan tubuh keringatan dan terhuyung-huyung melangkah ke pintu.
Dibukanya pintu itu. Untuk beberapa lamanya dia berdiri memandangi
kegelapan. Disekanya peluh yang berciciran dikeningnya. Dia berpaling
kebelakang. Galuh Asih terbujur diatas kasur jerami dalam keadaan tak
berpakaian. Sepasang matanya terpejam. Dada dan perutnya jelas kelihatan
turun naik. Betapa bagusnya tubuh telanjang itu dipandang demikian
rupa. Dan tentu tubuh anaknya yang, masih perawan jauh lebih bagus dari
itu, pikir Bayunata..
Kepala rampok hutan Bludak ini memalingkan
kepalanya, kembali memandang keluar pondok. Dia kemudian berteriak
memanggil dua orang tangan kanannya. Tak lama muncullah Singgil Murka
dan Sawer Tunjung. Bola-bola mata kedua manusia ini membesar sewaktu
mereka memandang ke dalam pondok dan melihat tubuh Galuh Asih yang
terbaring telanjang diatas kasur jerami.
"Sobat-sobatku, kau lihat
pemandangan di dalam sana?!" ujar Bayunata sambil menyeringai dan
menunding dengan ibu jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku temahak
perempuan! Kalian berdua boleh perbuat apa saja sekarang terhadapnya!
Tapi … jangan main serobotan. Dia masih letih ….!" Habis berkata begitu
Bayunata tertawa mengekeh lalu meninggalkan ambang pintu, meniti
jembatan tali yang menuju kepondok lainnya.
Sawer Tunjung cepat-cepat melangkahkan kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya dipegang oleh Singgil Murka.
"Mau kemana Sawer? Aku tokh lebih tua darimu? Aku yang lebih dulu!"
Sawer Tunjung mengeluarkan suara menggerutu.
"Lagi-lagi
soal umur kau gunakan untuk lebih dulu dapat mencicipi perempuan itu!
Sekalisekali aku tokh boleh saja lebih dulu dari kau?! Aku tak ingin
selalu jadi tukang cuci mangkok!"
Singgil Murka menyeringai memperlihatkan barisan gigi-giginya yang besar, hitam kotor tak pernah digosok.
"Yang sekali ini lain, sobat! Betul-betul lain!" desis Singgil Murka tanpa melepaskan bahu kawannya.
Sawer Tunjung jadi penasaran. Ditepiskannya lengan Singgil Murka dan berkata keras.
"Justru karena yang sekali ini lain maka aku yang musti lebih dulu!"
Sementara
kedua kawanan rampok itu bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih membuka
kedua matanya. Dia sadar apa yang telah terjadi atas diri nya.
Mendengar pertengkaran Singgil Murka dan Sawer Tunjung dia sadar pula
apa yang bakal menimpa dirinya. Noda kotor baru saja menimpa dirinya dan
kini kembali kekotoran itu akan jatuh. Galuh Asih se-olah-olah mendapat
kekuatan gaib. Tidak saja perempuan ini bangkit dan berdiri tanpa
memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia menjerit keras lalu secepat kilat
lari ke ambang pintu.
"Hai!" Singgil Murka dan Sawer Tunjung berseru
hampir bersamaan. Keduanya melompat ke pintu tapi terlambat. Tubuh Galuh
Asih melayang dalam kegelapan malam. Jeritannya mengumandang
mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan serta merta berhenti sewaktu
tubuh perempuan tersebut jatuh dengan keras ke tanah! Kepalanya rengkah,
lehernya patah!
BAYUNATA
tengah meniti jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar,
menuju ke pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak
buahnya. Pada saat itulah didengarnya lengking jerit yang mengejutkan di
malam pekat itu. Dia membalikkan tubuh dan samar-samar di kegelapan
malam dilihatnya sesosok tubuh berambut panjang tanpa pakaian melayang
jatuh dari pondok di seberang sana. Lamat-lamat terdengar suara tubuh
itu terhampar di tanah lalu sunyi. Dipondok seberang sana Singgil Murka
dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan memandang ke bawah. Bayunata
berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi?!" tanya
Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang barusan terjadi.
"Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh diri hah?!"
"Kami
… kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan
lari sangat cepat ke pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer
Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata berkeretakan. "Kalian memang
kerbau-kerbau dogol yang tidak tahu diri! Berlalu dari hadapanku!"
sentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung segera meninggalkan
tempat itu. Mereka turun ke tanah untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih
dan juga mayat Warinah yang sebelumnya telah dilemparkan oleh Bayunata.
Bila kedua pembantunya itu telah berlalu, Bayunata meneruskan meniti
jembatan gantung dari tali menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang mengawal dipintu.
Bila
Bayunata membuka pintu pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di
sudut ruangan tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat
kediaman Bayunata. Selain paling besar juga di dalamnya terdapat
perabotan-perabotan yang serba mewah.
"Hentikan tangismu. Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan." kata Bayunata seraya menutupkan pintu pondok.
Dari sebuah rak kayu jati diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya sampai setengahnya dengan anggur harum.
"Minumlah, kau tentu haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang di tangan kanannya ke muka Ratih.
Si
gadis memandang seloki itu seketika lalu mengambilnya dan dengan
tiba-tiba anggur di dalam seloki disiramkannya ke muka Bayunata.
Kepala
rampok itu undur beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang
tersiram anggur terasa perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu
beberapa lama sehingga rasa perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah
kursi. Untuk pertama kalinya dia tidak menjadi beringas marah
diperlakukan seperti itu. Dipandangnya Ratih dengan kedua matanya yang
merah dan perlahan-lahan diteguknya anggur dalam seloki.
"Gadis galak, kau memang pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!" Bayunata tertawa perlahan.
"Setiap
perempuan yang kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta
dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak
mungkin keluar, tak mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan
tolol bunuh diri!" Dan Bayunata hendak menerangkan tentang kematian
Galuh Asih kepada gadis itu, tetapi maksudnya itu kemudian dibatalkan.
"Hentikan tangismu. Jangan bikin aku muak dan marah." Bayunata berkata bilamana Ratih masih dilihatnya menangis.
Sebagai
jawaban Ratih melemparkan seloki di tangan kananpya. Dengan tangan
kirinya Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu
seketika lalu berkata,
"Aku berjanji tidak akan memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya. Aku tidak akan menyakitimu."
"Persetan dengan ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali
Bayunata tertawa perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di
atas sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si
gadis cepat-cepat menjauh.
"Seorang penjahat memang tak dapat
dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti percaya dengan ucapanku," dan
Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai tubuhnya tertahan oleh
pondok.
"Aku tak akan menyakitimu. Siapa namamu gadis… ?"
Ratih
memepet ke dinding. Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan
besar dari kuningan. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan
dilemparkannya ke kepala Bayunata.
Melihat sikap Ratih yang keras
demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya dengan lembut, kini
naiklah darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan besar itu
hancur berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak Bayunata beringas.
Ratih kaget bukan main.
"A … apa?! Ibuku bunuh diri …?!" tanyanya membeliak.
"Bunuh
diri dan mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua
tangannya telah mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke
tempat tidur dan ditindihnya sekaligus. Ratih berguling-guling, meronta
dan menerjang untuk melepaskan tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat
itu. Namun ini hanya menghabiskan tenaganya sementara setiap kesempatan
yang ada dipergunakan oleh Bayunata untuk merenggut dan merobek pakaian
yang melekat di tubuh sang dara hingga dalam waktu yang sihgkat pakaian
yang melekat di tubuh Ratih sudah tak karuan rupa lagi. Penuh robek dan
terbuka di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil menindih tubuh
gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya yang ada Ratih masih sanggup
menerjangkan kaki kanan menghantam perut Bayunata. Kepala rampok itu
mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya terguling dan
jatuh di lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang kepalanya
dilantai membuat pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya
semakin lemah sedang jambakan Bayunata masih lengket dirambutnya dengan
keras.
Ratih tahu dia tak dapat bertahan lebih lama.
Mungkin sudah
menjadi takdir bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu
rupa. Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus
panas diwajahnya. Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu membuka
lilitan kain ditubuhnya. Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata
menjalar meremas dadanya. Ratih menangis keras. Usaha terakhir yang bisa
dilakukannya ialah merapatkan kedua kakinya sedapat-dapatnya. Dan
inipun gagal karena Bayunata dengan mudah sekali menyibakkan kedua
kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan Tuhan benar-benar datang!
Pintu
pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara
sesosok tubuh bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua
pergelangan kakinya dicengkeram. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi,
mendadak sontak tubuhnya telah dibantingkan ke lantai pondok!
BAYUNATA
adalah seorang kepala rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya
terbanting keras ke lantai dia sanggup bangun kembali dengan gerakan
kilat seraya melepaskan satu tendangan ke arah mana sudut matanya
melihat sosok bayangan putih yang barusan masuk. Yang diserang nyatanya
bukan seorang yang berkepandaian rendah pula, karena tendangan kilat
Bayunata berhasil dielakkannya dengan miringkan tubuh ke samping kiri.
Di lain kejap kedua orang itu telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa kau?!" bentak Bayunata.
Di
hadapannya berdiri seorang pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak
dikancing hingga kelihatan dadanya yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri
bertolak pinggang. Rambutnya yang menjela bahu bergoyang-goyang ditiup
angin yang berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu, Bayunata!" kata si pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang. lniiah gerakan yang dinamakan "
sepasang lengan baja meminta jiwa." Selain cepat serangan ini menimbulkan angin yang luar biasa derasnya.
Pemuda
ditengah ruangan cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari
lawan dengan amat cepat menyambar ke batang lehernya. Namun tak terduga
begitu dia berhasil mengelak, sepasang lengan lawan laksana palu godam
tiba-tiba membabat ke kepala dan pinggang! Si pemuda membuang diri ke
samping. Tangan kiri menekan lantai sedang kaki kanan berkelebat ke atas
menendang ke arah salah satu lengan Bayunata! Ini adalah satu gerakan
yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-olah gerakan itu
adalah gerakan main-main! Ini memb’uat Bayunata penasaran setengah mati.
Dia bertekad untuk membuntoh pemuda tak dikenal itu saat itu juga.
Disambarnya golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat kemudian senjata
yang beratnya hampir duapuluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar putih
yang berkiblat ganas ke arah tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda
yang diserang amat terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok
yang demikian hebat. Selain golok itu besar dan berat serta mendatangkan
angin deras, sekali berkiblat senjata ini telah menebar tiga tabasan
dan empat tusukan ke arah tujuh bagian tubuh si pemuda!
Dalam tempo
yang singkat pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan
menyambar berputar menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat
dirinya celaka. Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda menyambar
pakaian Bayunata yang tercampak di lantai. Pakaian itu diputar-putarnya
dan digunakan untuk menghadapi lawan. Bayunata merasa dianggap enteng,
apalagi pakaian yang tangan si pemuda adalah miliknya sendiri. Permainan
goloknya diperhebat namun dia harus berhatihati karena meskipun cuma
sehelai pakaian namun di tangan si pemuda benda itu berobah menjadi satu
senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke dada, membalik
memapas ke lambung kiri pemuda berambut gondrong. Di lain pihak pakaian
di tangan si pemuda meluncur berputar-putar, menyusup di bawah golok
lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh badan golok tahu-tahu
telah terlibat!
Bayunata berseru kaget. Cepat-cepat goloknya dibetot.
Tapi apa yang terjadi ialah senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas
dari tangannya! Bayunata berteriak marah. Dia menerjang ke muka dengan
melepaskan satu pukulan sakti. Namun sebelum hal itu sempat
dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan telapak tangan
kanannya ke kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata
terpelanting dan jatuh punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya
yang bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di situ tertera pula tiga
barisan angka berwarna putih, angka 212!
"Pergunakanlah seperai tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut gondrong pada Ratih.
Bila
si gadis sudah menutupi tubuhnya yang hampir keseluruhannya
bertelanjang bulat itu dengan kain seperai maka si pemuda berkata lagi,
"Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng.
"Aku dipesan untuk tidak melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau
begitu aku sendiri yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia
membungkuk mengambil golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya
bergerak hendak melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak melarangku! Lepaskan tanganku!"
Si pemuda mengambil golok besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut kamar. "Mari ikut aku!"
"Tidak!
Aku tidak percaya padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih
mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau terlalu banyak cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya leher gadis itu.
Dalam
keadaan kaku tegang Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai
di ambang pintu, dua orang rampok muncul dengan golok di tangan! Dan
tanpa banyak cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus, marilah lebih dekat!"
Rampok
yang pertama berteriak keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya
mental keluar pintu. Rampok yang kedua melengak kaget. Jika begini
naga-naganya lebih baik dia angkat kaki. Namun sebelum hal itu sempat
dilakukannya, rambutnya telah kena dijambak. Di lain detik terdengar
kepalanya diadu dengan sanding pintu pondok yang keras. Rampok itu
melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih sesaat
kemudian telah lenyap dari tempat itu.
***
Bukit itu berbentuk bulat. Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang
muncung ke atas, juga berbentuk bulat. Karena bentuknya yang demikian
itulah bukit tersebut kemudian dinamakan bukit Gong.
Pada tanah yang
muncung dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah bangunan kayu
jati berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum
kita mencari tahu siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut
marilah kita ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda
berambut gondrong dari hutan Bludak yang menjadi sarang rampok
Bayunata.
Sewaktu fajar menyingsing di timur, kedua orang itu berada
di sebuah anak sungai berair jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang
dipanggulnya dan menyandarkannya di sebuah batu besar di tebing sungai.
Begitu totokannya dilepaskan Ratih berkata dengan keras.
"Aku tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?" si pemuda menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan Bludak?!"
"Aku tidak percaya padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kampungku!" Si pemuda tertawa perlahan.
"Kalau kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk menyelamatkanmu, lain tidak."
"Siapa yang memesan?"
"Seorang kakek-kakek. Adikmu berada di tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar ucapan itu. Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng si pendekar 212 berdiri.
"Aku akan mandi di tepian sebelah sana," katanya pada Ratih. "Jika kau hendak melarikan diri, silahkan!"
Ratih
tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng
melangkah sepanjang tepi sungai dan menghilang di balik rerumpunan pohon
pohon bambu. Walau bagaimanapun hatinya masih diselimuti kebimbangan.
Pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan kepala rampok Bayunata di
hutan Bludak. Dia tak kenal siapa pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek
memesannya untuk menyelamatkan dirinya. Dan si pemuda menerangkan bahwa
adiknya ada bersama si kakek. Siapa gerangan adanya si kakek? Dan ke
mana dia hendak dibawa?
Dia tak bisa mempercayai pemuda itu begitu
saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke dalam sungai. Dia menghela
nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri barulah disadarinya bahwa saat
itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai seperai. Bagaimana mungkin
dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa? Dengan mengomel dalam
hati dia duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari pada menunggu
kembalinya si pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa.
Mudah-mudahan saja pemuda berambut gondrong itu bukan manusia jahat
seperti yang dicurigainya.
Tengah dia melamuni nasib dirinya, Ratih
melihat semak-semak di depannya terseruak. Di lain saat dari seruakan
semak belukar itu muncullah seorang pemuda. Pemuda ini bertampang cakap.
Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak sehat.
Baju dan celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan
kain hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri dengan kedua tangan
diletakkan di atas kepala, memandang pada Ratih, tersenyum dan mengedip
ngedipkan matanya beberapa kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah!
Inilah!" katanya sambil mengusapusap mukanya, "Inilah gadis yang
kucari-cari! Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin
dengan gadis yang berpakaian aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi!
Aku akan kawin! Asyiik…!"
Pada mulanya Ratih merasa takut terhadap
pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh serta edan itu hatinya jadi
geli. Dan pura-pura marah dan membentak.
"Setan gila dari mana ini muncul pagi-pagi buta?!"
"Amboi!
Suaramu merdu amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu
keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger.
Tapi aku bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis.
Aku manusia, sama dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki.
Bedanya kau berotak sehat, aku gila. Nah, kau mengerti …. ?"
Mau tak mau Ratih tertawa mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang.
"Bagus! Memang calon istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii … !!"
"Pemuda!
Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon
istrimu! Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu urusan nanti. Kau mengerti?!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa panjang-panjang.
"Berlalulah dari hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura marah.
"Soal
muak atau tidak tak usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu
hal lagi. Tadi kau bilang aku setan gila yang muncul pagi-pagi butal
Dengar dulu … dengar, aku akan terangkan. Pagi adalah nama waktu. Pagi
ya pagi, bukan siang bukan malam. Pagi nama waktu, bukan binatang bukan
manusia, bukan makhluk hidup. Jadi pagi itu tak mungkin punya mata.
Apalagi kalau matanya buta. Pagi buta … lucu sekali! Memangnya ada pagi
yang tidak buta? Pagi ya pagi. Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi
kau tertawa! Kau tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah!
Dan betapa nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu
itu! Amboi!"
Kalau tadi dia tertawa tapi kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi marah.
"Lancang amat mulutmu! Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat, masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia melangkah maju.
"Jangan mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau musti ikut bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut bersama kau. Orang gila …!"
"Orang
gila tidak selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah.
Beliau pasti gembira melihat calon menantunya yang begini cantik, montok
dan … "
"Pergi!" bentak Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan menyesal kalau…"
"Kalau … kalau … kalau apa?!" tanya si pemuda.
"Nanti kutampar mulutmu!"
Si
pemuda tertawa lalu setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan
mengulurkan kepalanya. "Kau mau tampar aku? Nah tamparlah!" kata pemuda
berotak miring itu.
"Plak!"
Karena kesal hatinya Ratih betul-betul
menampar muka pemuda itu dengan keras. Demikian kerasnya hingga salah
satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat ini Ratih merasa
menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah tertawa dan
jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu, gadis
manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan aku akan minta
agar ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas kawinnya! Amboi mas
kawiiiiinnnn …!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu.
"Nah,
sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah
terhadapku! Berarti kau sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku …! Bukan
begitu?"
"Cis! Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran
bibir itu membuat si pemuda tertawa membahak. "Kau lucu … kau lucu!
Tapi sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga
denganku!"
Habis berkata begitu si pemuda lantas meraih pinggang
Ratih dan memanggul gadis itu dibahu kirinya. Ratih hendak menjerit
memanggil Wiro, namun satu tekanan halus pada punggungnya membuat dia
mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Si pemuda
temyata telah menotok jalan suaranya dengan cara yang teramat lihay!
Karena
tak dapat berteriak, sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua
tangannya untuk mendambun punggung pemuda itu bertubi-tubi sepanjang
jalan.
"Pukullah terus! Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si pemuda seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat
laun Ratih menjadi letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda
membawanya berlari laksana angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi! Kau harus ketemu dengan ayahku … "
Ratih
menggigit bibir. Kalau anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh
kali lebih gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula
yang bakal menimpa dirinya kelak? Diamdiam dia teringat pada Wiro
Sableng. Akhirnya gadis ini meramkan mata dan pasrahkan diri pada
ketentuan yang sudah ditakdirkan Tuhan.
KETIKA
Ratih membuka kedua matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan
si pemuda masih terus berlari dengan cepat di selasela pohon-pohon yang
tumbuh rapat bahkan kadangkadang dia melompati semak belukar yang tinggi
dan beberapa kali pemuda itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang
lainnya membuat Ratih merasa gamang dan memejamkan matanya kembali.
"Nah kita sampai!" terdengar si pemuda berkata.
Ratih membuka kedua matanya. Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap rumbia.
"Ayah!
Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang
tertutup langsung dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang laki-laki berumur setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah menimangnimang seuntai tasbih jadi terkejut.
"Ranata! Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang. Matanya membesar sedang kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat
apa yang kubawa ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama
Ranata. Lalu Ratih diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas
tikar di hadapan ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang
menutupi tubuh Ratih yang bukan lain hanya sehelai kain sepereil Dia
berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon
istriku! Calon menantumu!" jawab Ranata. Lalu dia tertawa gelak-gelak
dan menari memutari Ratih. Sang ayah geleng-gelengkan kepala.
Sementara
itu Ratih memandang berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil
serta kotor. Tapi bila sudah berada di dalam ternyata besar dan bagus
serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana! Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula yang kau culik ini?!"
"Amboi!
Aku sama sekali tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau
ikut aku! Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si ayah seraya memandang pada Ratih.
Ratih tak menjawab.
"Astaga,
aku lupa membuka totokannya!" kata Ranata. Lalu dijentikkannya satu
jarinya. Setiup angin halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah
totokan yang membuatnya tak bisa bersuara.
"Betul kau sendiri yang bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam dan mendelikkan matanya pada anaknya.
"Dia
yang dusta ayah! Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya
kalau dia tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita pasti
dia angkat kaki melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali geleng-gelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak? Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-laki itu.
Semula
Ratih menduga kalau si anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila.
Tetapi nyatanya lakilaki itu amat baik dan bertanya dengan lemah lembut.
Ini membuat Ratih bersedia membuka mulut memberikan jawaban.
"Nama
saya Ratih, pak. Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang
mandi sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia
pada akhirnya diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu memang sudah sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada keren.
"Tapi
ayah jangan lupa akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan
kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai,
tubuhnya terbungkus alas tempat tidur! Masakan aku akan melupakan
sumpahku begitu saja?!"
Si ayah lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju mengawini aku dengan dia!"
Sang ayah tertawa rawan.
"Anak
orang kau larikan, lalu meminta aku mengawinimu dengan dia! Otakmu
memang miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin
bukan soal mainan! Aku harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini
dan melamarnya secara baik-baik. Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus
ingat manusia macam apa kau adanya! Jangan bikin malu orang tuamu yang
sudah hampir masuk ke liang kubur ini … "
Butiran-butiran air mata
meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu dan
ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala dilihatnya
Ranata duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkaca-kaca.
"Jika kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal
mau menerima diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi
menantu … " Air mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin
mendalam di hati Ratih.
Siapakah ayah dan anak ini sebenarnya? Ratih
memperhatikan lagi paras Ranata. Pemuda ini berwajah cakap. Cuma sayang
pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-tetesan air matapun jatuh
berderai di pipi si gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau menangis?!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih
menangis bukan karena haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat
akan kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang
sampai saat ini tak tahu entah berada di mana.
"Ratih, kau boleh
meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau
akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala
perbuatan anakku …"
"Tapi ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!"
desis si ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu
penuh wibawa. "Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu.
Kelak kau bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu …
" Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku ayah!" Ranata lalu
lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah pedang. Sinar
terang berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari
sarungnya. Dia bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah
aku ayah! Lebih baik mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi …
amboi!"
Dengan air mata berlinangan sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
"Senjata mustika jangan dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata
menggerung lalu menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling
berangkulan. Air mata runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat.
Suasana sunyi. Ratih memandang pada kedua beranak yang kini duduk
berhadapan dengan menundukkan kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya
sedikit. "Ratih, kau tunggu apa lagi. Pergilah … " Untuk beberapa
lamanya gadis itu masih duduk berdiam diri di tempatnya.
"Bapak!"
Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung
halamanku musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku,
tapi entah di mana sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang
lantung di bawa nasib. Aku hiba melihat keadaanmu di sini. Jika boleh
biarlah aku tinggal untuk sementara di sini guna merawatmu sebisanya … "
Berubahlah paras ayah Ranata. Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras, berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya ayah Ranata.
Ratih menggeleng dan Ranata tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang yang baru datang berkata.
Semua orang berpaling.
"
WIRO!" seru Ratih begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa
dia?!" tanya Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu.
Ayah pemuda berotak miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro
Sableng dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya telah kuceriterakan," sahut Ratih.
Wiro
memandang pada orang tua yang duduk di hadapannya. Untuk seketika
pandangan mereka saling bentrokan. Masing-masing merasakan
getaran-getaran tertentu dan sama-sama menyadari bahwa orang yang di
hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima kasih!" sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk. "Ratih, bagaimana kau bisa berada di tempat ini … ?"
"Aku
yang membawanya, aku!" Ranata yang menjawab. Wiro mengawasi pemuda ini
sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro
berpikir.
"Aku telah memutuskan untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut.
"Kau memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh! Dia senang padaku, suka kasihan ayahku dan bersedia tinggal di sini. Bukan anehl Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda sinting itu.
"Bagiku adalah tetap satu keanehan," kata
Wiro
sambil memandang pada orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di
sungai. Tahutahu gadis ini lenyap dan kutemui berada di sini. Dan
tahu-tahu dia memutuskan untuk tinggal di sini padahal antara kalian
sebelumnya tak saling kenal. Bukankah itu aneh kalau tidak ada
apaapanya?"
Si orang tua tertawa kecil sedang Ranata terusterusan membantah bahwa itu tidak aneh.
"Murigkin aneh, mungkin juga tidak, orang muda … "
Ranata memotong ucapan ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal di sini. Tuhan!"
"Aku sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri … "
"Dan
jangan paksa dia untuk membatalkan niatnya itul Dia calon istriku!
Amboiiii! Calon istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong … ?" ujar
Ranata pula menyambung ucapan Ratih dan sambil bicara itu wajahnya
didekatkannya ke muka Wiro.
Paras Ratih kelihatan merah jengah.
Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil garukgaruk kepala dia
memandang ganti berganti pada ketiga orang di hadapannya, dan akhirnya
pendekar ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang tua, betulkah kiranya ucapan anakmu ini?!"
"Jangan perdulikan ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya … "
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah,
nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu
istirahat!" kata Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu. Tapi Wiro tak
bergerak dari tempatnya.
"Orang tua, apapun yang terjadi di sini itu
bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat satu tugas untuk membawa gadis
ini ke satu tempat."
"Begitu …? Siapakah yang memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak pinggang.
Wiro
ganda tertawa mendengar ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci
mulutmu sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan dengan kau…"
"Bah …
?!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut?
Memangnya mulutku ini pintu? Pintu yang bisa dikunci? Bisa diselot? Bah…
! Tampangmu cukup keren sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih
lumayan dariku!" Dan kembali Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro penasaran dan menggerendeng dalam hati.
"Ratih, berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak punya hak untuk memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa saja untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal di sini sudah merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu?
Jadi kau juga telah menganggapnya sebagai calon menantumu? Kurasa orang
tua semacammu mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara
serta peradatanl Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap di tengah
rimba, lalu dikawinkan dengan burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah
paras si orang tua mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap
tersungging seulas senyuman. Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju
kanannya diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!" seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!"
Ranata mundur. Dari mulutnya keluar ucapanucapan gusar.
"Sekarang
begini saja orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian.
Kau hadapi anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya,
gadis itu boleh kau bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di
sini dan kau musti berlalu dari gubukkul Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat segala macam perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak.
"Nyata sekali kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya.
"Jika kau hendak main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira cocok menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai dengan dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu.
"Aku tunggu kau di luar!"
Ranata tertawa.
"Kenapa
musti di luar? Ruangan ini cukup besar. Dan amboi …, biarlah calon
istriku menyaksikan sendiri bagaimana hebatnyarilmu silatku! Di samping
itu ayahku akan menjadi saksi bahwa dalam pertempuran nanti kau tak akan
melakukan kecurangan! Nah, kau sudah siap rambut gondrong?!"
"Silahkan mulai!" kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang lebih dulu!" sahutRanata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya acuh tak acuh.
"Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau
begitu perhatikan kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan
nyaring tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan
lalu cepat kilat membabat ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang
dinamakan "pecut sakti menabas tugu".
"Ha … ha Kalau cuma serangan macam ini tutup matapun aku sanggup mengelakkannya!"
teriak
Ranata dan sekali dia bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu
sesaput angin menderu kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 terkejut sekali
melihat cara mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul dengan satu
serangan lain namun lagi-lagi dia dikejutkan oleh serangan balasan yang
dilancarkan secara aneh bahkan hampir saja satu jotosan melabrak
dadanya!
"Sekarang jurus kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus
yang kedua ini Wiro membuka serangan dengan gerakan "membuka jendela
memanah rembulan". Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang
dari atas ke bawah sedang tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat
ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa kembali Ranata
keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya lenyap lagi dari pemandangan.
Di lain detik Wiro melihat satu tendangan sudah meluncur deras ke arah
kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh entah bagaimana bisa
dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu! Sebelum kakinya
menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak
garang. Sekaligus kedua tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan
serangan "kipas sakti terbuka".
Di hadapannya Ranata mengembangkan
kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu dengan sangat tiba-tiba sekali
kedua lengan itu menyusup ke bawah. Wiro sadar meskipun serangannya
bisa menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari Ranata tak
mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan "gunung
meletus batu melesat ke luar".
"Sekarang jurus terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata. Tubuhnya merunduk.
Kepalanya diluruskan demikian rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro.
Tentu saja ini sasaran yang empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya
diangkat sedang dari atas tangan kirinya menderu. Tidak dapat tidak
salah satu dari dua serangannya itu pasti akan m ngenai sasaran!
Namun untuk kesekian kalinya Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya
setenga jalan bergerak ke samping. Dalam satu gerakan tahu-tahu
jari-jari tangan kiri sudah mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh Wiro.
Segera Pendekar 212 keluarkan gerakan "orang gila melenggang ke awan" untuk melepaskan diri. Tapi terlambat.
"Bret!"
Pakaiannya robek.
"Buk!"
Satu
tempelak menghantam bahurlya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir
menahan sakit. Dengan penasaran dia hendak menggempur lawan dengan jurus
"menepuk gunung memukul bukit". Tetapi justru pada saat itu si orang
tua berseru memberi tahu bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan
berarti berakhirnya perkelahian. Mau tak mau meskipun gelora amarah
menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa menghentikan gerakannya.
"Amboi … ! Kau kalah rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan menari-nari.
"Yeah
… aku mengaku kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan
itu. Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan.
Kenyataan pahit yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian … " kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini, kau silahkan angkat kaki … "
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera memutar tubuh.
"Tunggu dulu, orang muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu yang bakal kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!" sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan
kau lekas dapat cucu!" Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia
hendak mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu
sedang Ranata tertawa gelak-gelak. "Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuuu … !"
Siapakah sesungguhnya orang tua ini? Mengapa memiliki seorang putera yang
berotak sinting seperti Ranata itu? Kita kembali pada masa sekitar
delapan tahun yang silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada dalam masa
kejayaannya, sewaktu kesultanan Banten masih belum berdiri. Di antara
sekian banyak para menteri istana yang menjadi pembantu Prabu Pajajaran,
seorang diantaranya ialah Citrakarsa, ayah Ranata. Citrakarsa terkenal
sebagai menteri yang baik, penuh tanggung jawab serta jujur. Di samping
itu dia juga memiliki kepandaian silat yang tinggi. Ketika Mapatih
Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan untuk mengangkat
Citrakarsa sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan
dilaksanakan, terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu
dan keluarganya. Kedudukan Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak
lama menjadi incaran seorang menteri yang berhati jahat culas. Sewaktu
didengarnya bahwa Citrakarsa hendak diangkat menjadi Mapatih Pajajaran
maka disiapkannya satu rencana busuk.
Suatu hari diundangnya
Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu perjamuan.
Makanan dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam
dimasukkannya racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit
gila yang hebat. Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa
merasakan kepalanya amat pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan.
Hal yang sama juga dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari kemudian
ketiga beranak itu telah berubah ingatannya. Kotaraja Pajajaran menjadi
heboh sewaktu Citrakarsa dan anak istrinya berlari-lari sepanjang jalan
dalam keadaan setengah telanjang.
Apa yang terjadi atas diri
menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib pandai di
datangkan guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada gunanya. Malah
seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh diri
dengan sebilah keris yang ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa
dan Ranata kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian,
penyakit yang diderita Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena
dia mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan bathin yang besar. Setelah
menjalankan semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma
minum sedikit akhirnya Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya badannya
saja kini yang kurus kering tinggal kulit pembalut tulang.
Beberapa
bulan kemudian meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti
sediakala tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa
malu untuk kembali dan berusaha menekan dendam kesumatnya terhadap
Sutawija, yaitu menteri yang telah mencelakakannya. Di samping itu
putera tunggalnya Ranata sampai saat itu masih belum berhasil
disembuhkan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Citrakarsa namun tetap
saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan untuk
menyembuhkan penyakit puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah
ilmu silat aneh yang khusus diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya
tidak sehat namun pada dasarnya Ranata adalah seorang yang cerdas. Ilmu
silat yang diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya secara sempurna dalam
tempo hanya tiga tahun. Masa beberapa tahun kemudian dipergunakannya
untuk memperdalam ilmu bathin, terutama ilmu tenaga dalam di samping
ilmu meringankan tubuh.
Adapun ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa
berbeda dan terbalik seratus delapan puluh derajat dari ilmu silat yang
ada di rimba persilatan pada masa itu. Gerakan-gerakan dan jurus-jurus
yang dimainkan serba aneh dan terbalik. Itulah yang membuat hebatnya
ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar 212 Wiro Sableng
sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
Matahari
bersinar panas membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan
mempergunakan ilmu larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju
ke utara. Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan
rasa penasaran yang mendalam. Dalam berlari sampai saat itu ingatannya
masih tertuju pada pertempuran yang telah dilakukannya dengan pemuda
gila bernama Ranata. Bertahun-tahun turun gunung, bertahun-tahun malang
melintang di dunia persilatan, belasan macam musuh dan permainan silat
yang telah dihadapinya. Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma dalam
tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro dalam hati.
"Ilmu silat apakah yang dimiliki pemuda itu hingga aku demikian tololnya
menerima kekalahankekalahan?! Gila!"
Sambil lari Wiro mengingat
terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka dengan gerakan "pecut
sakti menabas tugu". Ranata dilihatnya bergerak cepat sekali dan
tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan satu
jotosan yang hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro
menghentikan larinya. Dia berdiri dan membuat gerakan "pecut sakti
menabas tugu ". Gerakan ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya
mengingat gerakan Ranata waktu diserang itu. Seharusnya si pemuda
membuat gerakan mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia ingat
betul Ranata justru membuat gerakan dari samping kanan ke kiri dan lalu
entah bagaimana tahu-tahu dia telah menyusupkan satu jotosan ke dada. Di
sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga sengaja
diperlahankan, Wiro membuat gerakan "menentukan serangan yang
dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata. Pemuda itu
membuat gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu
tendangannya meluncur ke kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak
bisa dilakukan dalam ilmu silat yang wajar. Wiro merenung sejenak. Lalu
membuat gerakan "kipas sakti terbuka". Pada waktu itu Ranata
mengembangkan kedua tangannya laksana seekor burung besar hendak
terbang. Dalam ilmu silat wajar gerakan seperti ini benar-benar satu
keadaan yang amat empuk untuk diserang karena bagian dada sampai ke kaki
tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat kuda-kuda pertahanan dengan
menutupkan kedua lengannya di muka dada. Tapi justru dengan cara aneh
begitu rupa Ranata berhasil merobek ujung pakaiannya dengan tangan kiri
dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu
silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro. Digaruknya
kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi
setahap diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman
teh memeras otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan
keanehan dan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ranata. Dan pendekar ini
jadi tertawa gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan silat yang
dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama sekali dengan ilmu silat manapun.
Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya, semuanya dilakukan secara
terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di duga. Dan
satu-satunya cara untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah
dengan jalan membuat gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
***
Bukit Gong. Seperti telah dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk
bulat. Pada pertengahannya terdapat bagian tanah yang tinggi memuncung
ke atas yang juga berbentuk bulat. Bentuknya yang seperti itulah yang
membuat bukit itu dinamakan bukit Gong. Sebuah bangunan kayu jati
berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak bukit Gong. Inilah tempat
kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah membawa gadis
cilik adik kandung Ratih. Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro Sableng
menuju. Wiro sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong ke
barat. Dia langsung masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding
Wirya.
Di samping si orang tua saat itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi muridnya.
"Mohon maafmu, orang tua. Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan. Sesuatu telah terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang robek lalu bertanya.
"Apakah yang telah terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya.
Munding Wirya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Coba terangkan ciri-ciri orang tua itu," katanya. Wiro menerangkan.
"Tak salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya menyeruak sebuah senyum kecil.
"Siapakah
orang tua yang bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang
berotak miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas panjang lalu menjawab,
"Dulu
dia adalah seorang menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak
cerdas, berbudi luhur, bijaksana serta jujur … " Lalu Munding Wirya
menceritakan asal usul sampai Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri
dan tinggal di dalam hutan. Mau tak mau Pendekar 212 merasa terharu juga
mendengar kisah yang menyedihkan itu.
"Mungkin sekali, karena hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk tinggal di situ … " kata Wiro.
"Kurasa demikian …" menyahut Munding Wirya.
Setelah
saling berdiam diri beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro
kemudian menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di hutan Bludak.
Munding
Wirya mengatupkan bibirnya rapatrapat dan membelai kepala gadis kecil
di sampingnya. "Kelak hari pembalasan akan tiba bagi manusiamanusia
terkutuk di hutan Bludak itu… " desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan pertemuanmu dengan guruku …?" bertanya Wiro.
Munding Wirya menggeleng.
"Jika begitu perkenankan aku minta diri sekarang. Munding Wirya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
DENGAN
terpincang-pincang Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada
waktu matahari tenggelam, sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri
sungai ini ke arah muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan mudah dia
bisa melihat jalan yang ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari
secepatnya. Akhirnya perempuan tua renta ini sampai juga ke muara. Pada
tempat pertemuan air sungai dengan air laut terdapat sebuah delta subur
berbentuk pulau kecil. Di sini berdirilah sebuah bangunan bambu yang
pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera hitam bergambar
kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam keadaan
basah kuyup Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut.
Jauh-jauh dia sudah berteriak .
"Soka! Soka … ! Adakah kau di dalam?!"
"Buset!
Tamu dari manakah yang berkaok-kaok magrib-magrib begini?!" terdengar
suara menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar
terbungkuk-bungkuk.
"Buset! Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang?!"
"Camperenik
sampai di hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedu-sedu.
Air mata berderai matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang
cekung keriputan.
"Buset, begitu muncul tak ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di hadapanku! Apaapaan kau ini Camperenik?!"
Teguran itu membuat tangis Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa, masakan aku menangis!" katanya.
Damar
Soka, demikian hama laki-laki tua renta berbadan bongkok itu
goleng-golengkan kepala, memegang bahu Camperenik lalu membimbingnya
masuk. Setelah Camperenik duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah
Damar Soka.
"Nah, sekarang kau terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga terangkan kenapa kakimu pincang."
Untuk
beberapa lamanya Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis.
Damar Soka menarik ujung pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti
dua orang muda mudi tengah berkasih sayang, disekanya air mata yang
membasahi pipi Camperenik dan dia berbisik.
"Hentikan tangismu,
Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan siapa yang
berbuat hingga kau sampai menangis begini rupa …" Camperenik hentikan
tangisnya.
"Sebelas tahun aku mencari-cari seorang calon murid.
Ketika aku akan mendapatkannya, ketika calon murid itu sudah befada di
tanganku, tahu-tahu datanglah Munding Wirya hendak merebutnya…"
"Dan dia berhasil merebut calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap mukanya.
Baik
muka maupun kedua tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar
hitam, alisnya tebal menjulai dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya
lebar dan tipip. Keseluruhan parasnya persis seperti burung hantu. Sudah
hampir tujuh tahun Damar Soka mendekam di muara sungai. Siapa saja yang
keluar masuk muara itu terutama kaum nelayan, diwajibkannya membayar
pajak yang dibuatnya sendiri. Dan merekamereka yang tak mau mematuhi hal
itu pasti akan mendapat celaka. Banyak orang yang mengeluh namun tak
seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka berhati sejahat iblis.
Karena itulah dia cukup pantas mendapat gelaran "Hantu Kuning".
"Tidak,
bangsat tua bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi
ketika aku dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak
kenal telah menyambar calon muridku dan melarikannya. Aku hendak
mengejar, namun Munding Wirya keparat itu melepaskan pukulan buana biru
yang berhasil menyerempet pinggulku hingga lariku jadi pincang!" dan
Camperenik menangis lagi macam anak kolokan.
"Sudahlah, nanti aku akan beri hajaran pada Munding Wirya …" berjanji Damar Soka seraya membelai rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu … "
"Kita akan cari sampai dapat … "
"Dan pinggulku yang sakit ini?" mengajuk Camperenik.
"Ah, aku akan mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu … " kata lakilaki ini dengan tersenyum.
Camperenik
dengan sikap malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain
yang melekat di tubuhnya hingga kain itu merosot sampai ke pangkal
pahanya.
"Buset … tubuhmu masih semulus dulu juga," kata Damar Soka
pula sambil tertawa mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan tubuh
Camperenik telah dibalut dengan kulit-kulit loyo dan keriput!
Camperenik mencubit lengan Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek itu lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya menarik
tangannya
dan menjiwir telinga Damar Soka. Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan
dengan tangan kanannya dibelainya pinggul Camperenik yang agak
kebiru-biruan. Camperenik menggeliat kegelian. Darah tuanya hangat.
Kulitnya yang lembek berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan tangan
Damar Soka.
"Bagaimana rasanya sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa lamanya.
"Agak mendingan … Usaplah terus, Soka. Usaplah terus … " bisik si nenek bermata satu penuh lirih.
Jika
saat itu ada orang ketiga di situ pastilah dia akan merasa amat jijik
melihat tingkah laku kedua manusia tua bangka ini. Dan Damar Soka terus
juga mengusap pinggul Camperenik. Bahkan tangannya kemudian bergerak
mengelus perut Camperenik hingga nenek-nenek ini menggeliat kegelian dan
menundukkan kepalanya menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar Soka
memekik kecil. Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat si
nenek. Carrrperenik terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot
lepas dan jatuh ke lantai. Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan
setengah telanjang begitu dia lari ke dalam kamar. Hidung Damar Soka
kembang kempis. Mulutnya komat kamit dan matanya yang hitam
bersinarsinar. Dengan tubuh bergetar dia menyusul masuk ke dalam.
Camperehik
berbaring menghadap ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka
memburu. Dia duduk di tepi tempat tidur. Diletakkannya tangannya di atas
paha tua itu Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus paha itu.
Tiba-tiba Camperenik membalik dan menggigit ibu jari Damar Soka hingga
si tua ini terpekik kesakitan.
"Soka … soka … ", bisik Camperenik
berulang- ulang sambil menggayuti leher laki-laki tua itu , dengan kedua
tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu kau … Sudah terlalu lama Soka …
Terlalu lama … "
"Ya, terlatu lama … " berbisik Damar Soka dan
tangannya menjalar lebih berani membuat Carnperenik kelangsatan dan
menggelinjang di atas tempat tidur. Dari balik pakaiannya Camperenik
kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain. Sewaktu topeng itu
dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah seorang
gadis yang amat cantik.
Damar Soka tertawa bergumam. Dari balik
pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai topeng kain. Begitu dipakai maka
wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah menjadi wajah seorang pemuda
tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik, Camperenik!"
"Kau
gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik. Kedua kakinya bergerak dan
sesaat kemudian tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan
dipeluknya penuh nafsu. Kedua kakek nenek itu berguling-guling di tempat
tidur. Mereka lupa bahwa mereka sudah tua bangka begitu rupa. Mereka
merasa tak beda dengan sepasang muda-mudi.
Camperenik tertawa kecil
sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan
nafsu berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh
pakaian kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka … enam bulan … " bisik Camperenik.
"Enam bulen! Buset … !" balas Damar Soka. Dijambaknya rambut si nenek lalu ditindihnya tubuh perempuan tua itu!
Dalam
dunia persilatan di Jawa Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan
nama-nama yang asing lagi. Kedua orang ini sejak masih muda dikenal
sebagai manusia kotor yang setiap bertemu selalu berbuat cabul. Mereka
hidup tiada beda seperti suami istri tanpa kawin syah. Dan sampai tua
bangka begitu rupa segala perbuatan cabul itu masih terus juga mereka
lakukan setiap mereka bertemu. Dapat dibayangkan bagaimana kegilaan
mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua begitu mereka sengaja
mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras mereka menjadi muda
kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di dalam diri
masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi ke esokan paginya baru
Damar Soka terbangun. Disibakkannya lengan Camperenik yang memeluk
pinggangnya. Lalu dengan terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat
tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri tetapi dirasakannya satu
pegangan mencekal lengannya.
Dia berpaling. Dilihatnya Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon rnuridmu yang dilarikan itu?"
"Betul. Tapi sekarang masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Buset! Masih pagi katamul Coba kau lihat matahari telah hampir ke-ubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain di muka masing-masing.
"Bagiku
masih pagi, Soka. Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan
matahari. Munding Wirya bisa menunggu saat kematiannya. Calon muridku
yang hilang tokh pasti akan kita temukan… " Camperenik menarik lengan
Damar Soka dan memeluk tubuh laki-laki itu kembali.
Nafsu kotor masih belum lenyap dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam bulan Soka … enam bulan … "
"Tapi
bused! Kau mau bikin aku lumpuh?!" desis Damar Soka. Dan meskipun
demikian untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
PENDEKAR 212
Wiro Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu dan
memandang berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah
lembah. Jauh disebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung.
Di barat menghampar sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti
hamparan permadani raksasa.
Ketika dia memandang ke bawah lembah
tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pohonpohon besar berdaun
rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk sekali. Wiro berdiri dan
memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar tubuhnya lebih
segar. Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba
mendengar suara dua orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun
ke dalam telaga dan bersimbur-simburan air.
"Pasti ada sepasang muda
mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro. Dia bermaksud untuk
membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu pasangan
yang tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa
gelak-gelak. Wiro tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak
aneh. Bukan suara tertawa sepasang muda mudi. Akhirnya dengan hati
bertanya-tanya dan ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya menuju tepi
telaga.
Kira-kira dua puluh langkah dari tepi telaga, Wiro
menyeruakkan semak belukar dan memandang ke depan. Terkejutlah murid
Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu menyaksikan apa yang ada di hadapannya.
Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. Di situ, di tepi telaga
seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila … betul-betul gila!" kata Wiro dan cepatcepat dipalingkannya kepalanya.
Hampir sepeminuman teh lewat. Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan
alas!" Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula
disangkanya adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia
menoleh ternyata adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih gila
lagi. Kalau tadi si kakek yang dilihatnya berada di sebelah atas kini
malah tampak si nenek yang tengah "memperkuda" laki-laki tua itu sambil
tertawa-tawa, sambil menyeringai-nyeringai!
"Geblek, biar kulempar
mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati. Lalu
dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke arah
kedua insan yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan
mustahil kedua kakek nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa
serta tidak sopan sekali kalau dia mengganggu kesenangan mereka.
Akhirnya dengan memandang ke jurusan lain Wiro menunggu.
Tak berapa
lama kemudian ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya
kedua orang itu terbaring berdampingan di tanah dan bercakap-cakap
dengan suara perlahan. Diam-diam Wiro melangkah mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka … " terdengar suara si nenek.
"Buset! Sebentar lagilah. Tubuhku masih keringatan … " sahut si kakek dan si nenek tertawa cekikikan.
"Enam bulan Soka … "
"Sudah,
sudah! Jangan sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh
apa?!" Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek
membuka suara kembali.
"Kita cari anak itu dulu atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar
212 Wiro Sableng di tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu
mendengar nama Munding Wirya disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya
lalu didengarnya laki-laki tua yang dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia … "
"Betul,
lebih cepat dia mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua
bangka itu pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro
mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan
sambil bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke dalam air dan
bergelut lagi seperti tadi!
Sewaktu matahari telah jauh condong ke
barat barulah kedua kakek nenek yang bukan lain Damar Soka dan
Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing, mengenakannya lalu
laksana terbang lari kejurusan timur. Tanpa menunggu lebih lama Wiro
Sableng segera berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua tua
renta itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap
Munding Wirya.
Tetapi baru saja Pendekar 212 menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara yang megap-megap .
"Sau … sauda … ra … tol … tolonglah … "
Wiro
berpaling. Semak belukar di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang
laki-laki melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang
berlumuran darah. Pada bahunya ada sebuah kantung kulit.
"Sau … saudara … " Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro tidak memegang bahunya dengan cepat!
Wiro
segera hendak memeriksa luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba
sekali lima orang berpakaian serba hitam bertampang buas menyeruak dari
balik semak belukar. Salah satu di antaranya mereka memegang sebatang
golok yang basah oleh darah. Karena tak sempat memberi pertolongan lebih
lanjut, Wiro segera menotok urat besar di leher laki-laki yang di
hadapannya, membaringkannya di tanah lalu berdiri dengan cepat.
"Siapa kalian?!"
Manusia buas yang memegang golok menyeringai.
"Manusia rambut gondrong! Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat
sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya
kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan alas!
Tak ada seorang bangsatpun yang boleh bicara kasar terhadap anak buah
Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
WIRO
Sableng keluarkan siulan nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya
si Bayunata hah? Bagus! Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa
merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro berkelit
mengelakkan serangan golok yang ganas berbahaya. Anak buah Bayunata
menjadi penasaran melihat serangannya mengenai teropat kosong. Secepat
kilat dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang lebih berbahaya.
Namun saat itu Wiro telah lenyap dari hadapannya. Sebelum dia sempat
mengetahui di mana pemuda itu berada, satu jambakan telah mencengkeram
rambutnya dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke tanah!
Perampok
itu mengeluh tinggi. Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa
bisa bergerak. Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap.
Goloknya telah terlepas entah ke mana.
"Sret!"
Suara golok dicabut
terdengar susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu melihat
kawan mereka dihajar demikian rupa, serentak mencabut senjata
masing-masing dan tanpa banyak cerita langsung menyerang Wiro Sableng.
Empat golok besar bersiuran, mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro.
Jika serangan itu berhasil dapat dibayangkan bagaimana Pendekar 212
akan mati dengan tubuh terkutung-kutung. Namun serangan-serangan
tersebut tak akan berhasil, tak akan pernah berhasil. Di dahului dengan
bentakan nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak ke udara. Dua orang
penyerang saling bentrokan senjata satu sama lain. Sementara itu dari
atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan kirinya menablir
serangan.
Dua pekik kematian terdengar. Rampok yang disam ping kanan
terbanting ke tanah dengan kepala rengkah sedang rampok yang di sebelah
kiri melosok dengan dada hancur melesak!
Rampok-rampok yang masih
hidup terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera memutar tubuh
untuk larikan diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa bergerak
sejauh dua langkah, karena sangat cepat Wiro telah menjambak rambut
mereka. Mula-mula hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok itu satu
sama lain. Tetapi setelah berpikir sejenak, dengan menyeringai Wiro
melemparkan keduanya ke dalam telaga. Celakanya masing-masing mereka
tidak bisa berenang.
"Tolong!" jerit mereka sambil menggelepargelepar
dalam air. Keduanya laksana gila, berteriak don menggelepar. Tubuh
mereka sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Semakin keras dan cepat
gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh mereka amblas ke dalam
air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari permukaan air telaga.
Wiro
memutar tubuh dan melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka
parah. Dibukanya totokan pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi
berhenti kini kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang itu terdengar
suara erangan sedang kedua matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk
obat dari dalam saku pakaiannya. Darah yang mengucur tak lama kemudian
segera berhenti sesudah bubuk obat itu ditaburkannya di atas luka.
Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka itu kemudian menelankan
sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya di sebuah
pohon. Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu membuka kedua
matanya.
"Bagaimana rasanya, masih sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan … te … terima kasih, Sau … dara."
"Bernafaslah dengan teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan Wiro.
Dan bila orang itu dilihatnya agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah siapa kau dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku
adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke
Kotaraja untuk menyampaikan uang emas yang ada di dalam kantong kulit
dipunggungku ini. Entah bagaimana perjalananku bocor ke tangan
penjahat-penjahat di hutan Bludak itu. Aku dihadang di tengah jaian.
Ketika aku menolak untuk memberikan uang emas yang kubawa, kelima
penjahat itu mengeroyokku. Aku berusaha melawan. Namun jumlah mereka
terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu yang tinggi. Sewaktu salah
seorang dari mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi. Dadaku luka
parah. Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha melarikan diri. Aku sampai
di tempat ini dan berternu dengan kau …"
Laki-laki itu meraba dadanya sebentar ialu menarik nafas panjang dan berkata lagi.
"Aku
berhutang besar padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku
tak bisa memberikan apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari
uang emas yang ada di dalam kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan
Adipati Ekalaya adalah urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka
ikatan kantong kulit dipunggungnya. Wiro Sableng tertawa dan
digelengkannya kepalanya.
"Menolong sesama manusia adalah satu hal
yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu, menolong merupakan satu
kewajiban. Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balas jasa.
Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala pembalasan …
"
"Uang ini kuberikan dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak keberatan."
"Sudahlah sobat. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan malam akan tiba."
Keduanya berdiri.
"Aku akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk.
Ketika malam tiba mereka sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah pangkalan perahu tumpangan.
"Kita berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu laki-laki di sampingnya.
"Ya.
Terima kasih atas segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi
menerangkan nama dan tempat tinggalmu … " Laki-laki itu berpaling dan
astaga! Terkejutlah dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
Sekarang
marilah kita ikuti perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka
alias Hantu Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si
Camperenik. Dengan mengandalkan ilmu lari masingmasing, menjelang tengah
malam mereka berhasil mencapai Bukit Gong tempat kediaman Munding
Wirya. Pada saat itu Munding Wirya tengah hendak bersemedi. Beberapa
kali telah dicobanya untuk menutup panca inderanya namun sia-sia belaka.
Dia sama sekali tak dapat memusatkan pikiran sedang entah karena apa
hatinya selalu tidak enak. Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua
matanya kembali. Di sampingnya tertidur pulas gadis cilik yang akan
menjadi muridnya. Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh, Munding Wirya
coba untuk bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan
pikirannya. Selagi dia termenung diombang-ambing jalan pikiran yang tak
menentu, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara di luar.
"Siapa?!" Munding Wirya bertanya.
Baru saja pertanyaannya itu selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan sesosok tubuh masuk ke dalam.
"Selamat
berjumpa kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan
seringai bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar
sewaktu melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding
Wirya.
"Ada apa kau ke sini? Apa hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat masih kurang?"
"Aha!
Jangan bicara besar malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku
datang untuk menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon
muridku juga ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui.
Bukankah keadaan cocok sekali dengan pepatah itu heh?!" Munding Wirya
mengusap janggutnya yang panjang putih.
"Aku tidak percaya kau punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang di luar yang agaknya menjadi andalanmu?!"
Pada
saat itu di luar pondok terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya
seorang lakilaki bermuka kuning dan berbadan bungkuk.
"Hem … Kau
rupanya Damar Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui
kekotoran yang kau perbuat bersama nenek-nenek tua keriput ini! Sekarang
kalian berdua keluarlah dari pondokku. Haram kaki kalian menginjak
tempat ini!"
"Buset … buset … buset!" Damar Soka goleng-golengkan
kepala. "Haram atau halal itu urusan kemudian. Yang jelas kau harus
berterima kasih lantaran aku ikut kemari bersama Camperenik!"
Munding Wirya kerenyitkan kening.
"Sangkut paut apa aku musti berterima kasih padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik
hendak minta kau punya jiwa, hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya aku
di sini pembalasannya yang kejam bisa diperingan sedikit. Nah, kau
lekaslah bunuh diri!"
Berubahlah paras Munding Wirya.
"Keluar dari sini atau aku terpaksa mengusir kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai
tuan rumah kau terlalu kurang ajar, Wirya!" kata Camperenik. Lalu
dikeluarkannya senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan. "Bersiaplah
untuk mampus!"
Camperenik menerjang ke muka. Senjatanya berkelebat.
Racun kuning menyembur. Namun Munding Wirya siang-siang sudah berpindah
tempat hingga serangan Camperenik hanya mengenai tempat kosong.
Dengan
sebat nenek-nenek bermata satu bermuka hitam ini membalikkan tubuh.
Pada saat itu satu gulungan berwarna kuning datang di hadapannya dengan
amat cepat. Camperenik tidak menduga sama sekali kalau dikejapan itu
Munding Wirya akan melancarkan serangan balasan dengan tongkatnya. Dia
bersurut mundur namun serangan tongkat bambu kuning Munding Wirya telah
mengurung sekujur tubuhnya kemudian dengan sebat menderu ke kepalanya.
Munding Wirya sengaja mengeluarkan jurus serangan yang amat hebatnya
bernama "naga sakti menggulung bumi mematuk bulan".
Camperenik
berseru tertahan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk berkelit ataupun
menangkis! Sekejap lagi tongkat bambu kuning Munding Wirya akan membuat
otak Camperenik bertaburan, tiba-tiba tubuh orang tua ini menghuyung.
Selarik angin panas menyambar dari samping, satu pukulan kemudian
melanda lengannya, hampir saja membuat tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang ajarl Kau mau main keroyokan Damar Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar Soka alias Hantu Kuning menyeringai buruk. "Tidak seorang manusiapun tega melihat kekasihnya dihajar orang. Termasuk aku!"
"Kalau
begitu lanjutkanlah hidup cabul kalian di neraka!" kata Munding Wirya
pula seraya mengiblatkan bambu kuningnya dan mengirimkan dua serangan
kepada kedua lawannya. Perkelahian dua lawan satupun berkecamuklah.
Seperti
telah diketahui, bertempur satu lawan satu bukan hal yang mudah bagi
Munding Wirya untuk mengalahkan Camperenik, apalagi saat itu si nenek
muka hitam dibantu pula oleh Damar Soka, seorang tokoh silat jahat yang
kepandaiannya tiga tingkat lebih tinggi dari Camperenik!
Sementara
itu gadis cilik delapan tahun yang tadi tidur pulas kini telah terbangun
dan dengan terkejut serta takut menyaksikan pertempuran itu disudut
pondok. Jurus demi jurus pertempuran semakin hebat. Mereka yang
berkelahi hanya merupakan bayang bayang saja kini. Taburan serangan yang
dilancarkan Munding Wirya laksana curahan hujan datangnya. Namun cuma
sampai lima jurus orang tua itu sanggup menunjukkan kehebatannya.
Jurus-jurus selanjutnya dia mulai mendapat tekanan-tekanan untuk
kemudian dia musti bertahan mati-matian.
Dalam satu gebrakan hebat
dijurus ke sembilan, Munding Wirya terpaksa membiarkan tongkatnya kena
dirampas oleh Damar Soka demi untuk menyelamatkan kepalanya dari
hantaman tongkat ular Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding Wirya
betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik, hati-hati, bangsat tua ini
hendak mengeluarkan pukulan buana biru!" Damar Soka berteriak memberi
ingat sewaktu dilihatnya Munding Wirya menggerakkan tangan kanannya yang
saat itu sudah berwarna biru.
Peringatan Damar Soka percuma saja.
Meski Camperenik berusaha untuk menyingkir namun terlanlbat. Sebagian
sinar pukulan yang mengandung racun jahat menderu memapas pinggang
Camperenik. Nenek-nenek ini melolong setinggi langit. Tubuhnya mencelat
bersama-sama dengan dinding pondok yang hancur berantakan, terhampar di
tanah, berkutik melejang-lejang seketika lalu diam tak bergerak lagi. Di
saat yang sama terdengar pula pekik Munding Wirya.
Meskipun Munding
Wirya berhasil menewaskan Camperenik dengan pukulan buana biru namun dia
sama sekali tidak sempat mengelakkan tendangan kaki kanan Damar Soka
yang membabat dari samping. Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas
pergelangan remuk hancurl Dengan menggigit bibir menahan sakit orang tua
ini melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Munding Wirya
menyadari sepenuhnya bahwa sekalipun dia tidak menderita seperti saat
itu, adalah mustahil baginya untuk dapat bertahan menghadapi Damar Soka.
Karenanya cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di sudut pondok
dan berteriak. "Mawar! Larilah! Tinggalkan tempat ini cepat!" Gadis
cilik berumur delapan tahun itu nampak ragu-ragu. Munding Wirya
berteriak lagi. Si anak segera hendak lari tapi Damar Soka sudah mengha
dang di pintu menutup jalan. Dengan penasaran Munding Wirya menerjang
dan melancarkan satu tendangan ke bawah perut Damar Soka. Manusia
bermuka kuning itu berkelit gesit dan dengan satu gerakan cepat yang
sukar diukur, tinju kanan Damar Soka bersarang di dada Munding Wirya.
Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh terjengkang di
lantai pondok. Dengan terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum dia
bisa mengimbangi tubuh, Munding Wirya terbatuk-batuk beberapa kali lalu
muntah darah dan melosoh kembali ke lantai. Dadanya terasa panas dan
sakit bukan main. Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan matanya
berbinar-binar.
Hantu Kuning tertawa mengekeh. Dia melanygkah mendekati Munding Wirya.
"Bangsat tua bangka! Hari ini kutamatkan riwayatmu sampai di sini!"
Hantu
Kuning menggerakkan kaki kanannya. Sesaat sebelum tendangan yang
dilancarkan lakilaki ini sampai dikepala Munding Wirya, dari arah pintu
menderu lima buah benda berwarna putih perak menyilaukan. Hantu kuning
terpaksa membatalkan tendangannya kecuali kalau dia inginkan kakinya
dilabrak senjata rahasia itu. Lima senjata rahasia menancap di dinding
pondok. Bendabenda ini berbentuk bintang yang bertuliskan angka-angka
212 di tengah-tengahnya!
BEGITU
terkejut melihat barisan tiga buah angka itu, secepatnya Damar Soka
memutar tubuh ke pintu. Rasa terkejutnya kini berubah menjadi rasa
heran. Sekitar duapuluh tahun yang silam angka 212 itu telah
menggetarkan dunia persilatan. Setiap muncul angka 212 berarti munculnya
seorang nenek-nenek sakti bernama Sinto Gendeng.
Tetapi hari ini
yang dilihat Damar Soka bukan seorang nenek-nenek, melainkan seorang
pemuda bertubuh kekar, berpakaian putih-putih dan berambut gondrong,
Pemuda ini menyengir seenaknya kepadanya!
"Buset kau budakl Lekas terangkan siapa kau!" Si rambut gondrong bersiul lalu tudingkan ibu jarinya ke belakang.
"Lekas keluar dari sini!"
"Hah?!"
Damar Soka beliakkan kedua matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini
keluar dari sini?!" Dan meledaklah tawa Damar Soka. Sesaat kemudian
dihentikannya tawanya itu. Dia memandang lekatlekat ke wajah pemuda di
hadapannya dan berkata, "Kau memiliki angka pengenal 212. Apa sangkut
pautmu dengan Sinto Gendeng dari gunung Gede?"
"Aku suruh kau keluar, bukan mengajukan segala macam pertanyaan!" bentak si pemuda.
Marahlah
Damar Soka. Kedua tangannya dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut
diayunkan, dua larik sinar kuning pekat menggebu-gebu. Terdengar satu
siulan. Si rambut gondrong lenyap dari pemandangan. Dikejap yang sama
serangkum sinar putih berkiblat dari samping, menyapu ke arah tubuh
Damar Soka.
"Pukulan sinar matahari!" seru Damar Soka kaget dan
buru-buru menjatuhkan diri ke lantai pondok. Terdengar suara hiruk pikuk
yang hebat. Dinding pondok sebelah kanan hancur berkepingkeping dan
hangus. Tercekat hati Damar Soka. Satu-satunya manusia yang memiliki
pukulan sakti itu adalah Sinto Gendeng. Dan kini si pemuda telah
melancarkan ilmu pukulan tersebut secara hebat! Pasti dia murid Si Sinto
Gendeng!
Dengan bola mata berkilat-kilat Damar Soka berdiri. Kedua
tangannya yang berwarna kuning saling digosok-gosokkan sedang mulutnya
berkomat-kamit.
"Budak, dulu gurumu selama bertahun-tahun telah
menjadi seteru tokoh-tokoh silat golonganku. Jika aku dan kawan-kawan
masa itu tak dapat menghancurkan batok kepala Sinto Gendeng, biarlah
hari ini aku cukup puas mengirim muridnya ke liang kubur!"
Wiro Sableng tertawa perlahan.
Munding
Wirya yang sejak tadi menyaksikan baku hantam antara kedua orang itu
dalam keadaan megap-megap hampir kehabisan nafas, mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya dan berseru memberi peringatan.
"Wiro, awas! Tua bangka cabul ini hendak melepaskan pukulan waja kuning! Lekas menyingkir dan selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro masih tertawa.
"Terima
kasih atas peringatanmu, orang tua. Tapi biarlah aku mau lihat dan mau
tahu kehebatan pukulan yang hendak dilepaskannya!"
Dan diam-diam
Pendekar 212 Wiro Sableng memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan
kiri dan tangan kanan. Perlahan-lahan Damar Soka meluruskan tubuhnya
yang bungkuk. Tanpa melepaskan pandangannya dari Damar Soka Wiro berkata
pada gadis cilik di sudut ruangan.
"Anak, kau lekas tinggalkan pondok ini. Tunggu di luar. Lekas …. "
Mawar
si gadis cilik delapan tahun dengan kaki gemetar lari ke pintu.
Sementara itu Damar Soka mengembangkan kedua tangannya ke samping
laksana burung besar hendak terbang. Kedua tangan itu memancarkan sinar
kuning yang menyilaukan dan menggidikkan. Tiba-tiba dari tenggorokan
Damar Soka alias Hantu Kuning keluar jeritan dahsyat laksana seratus
serigala melolong di malam butal Dan serentak dengan itu kedua tangannya
didorongkan ke muka.
Pondok itu laksana di landa lindu. Dua larik
gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke arah Pendekar 212. Di lain
pihak Wiro Sableng begitu lawan bergerak melancarkan serangan segera
pula memukulkan kedua tangannya ke depan. Tangan kanan melancarkan ilmu
pukulan "dewa topan menggusur gunung" yang dipelajarinya dari Tua Gila
sedang tangan kiri melancarkan pukulan "sinar matahari" yang diwarisinya
dari Eyang Sinto Gendeng.
Terjadilah hal yang hebat. Pondok di mana
pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur berantakan laksana
diledakkan. Atap dan dinding beterbangan ke udara. Munding Wirya yang
terhampar di lantai, mental terguling-guling. Demikian juga tubuh tak
bernafas dari Camperenik.
Di dalam kepekatan malam di atas reruntuhan
pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka kembali saling berhadapan. Pendekar
212 saat itu merasakan dadanya sakit berdenyut-denyut, aliran darahnya
tidak teratur dan kepalanya sedikit pusing. Di lain pihak Hantu Kuning
mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa berdiri dengan betul. Lututnya
bergetar, sekujur tubuhnya panas dingin. "Tak mungkin aku sanggup
menghadapi budak ini lebih lama … Dia kelihatan masih segar bugar." kata
Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba si tua renta ini melompat ke
samping dan menyambar tubuh Camperenik terus hendak melarikan diri! Wiro
bersuit nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat ke muka. Damar Soka
kaget dan penasaran bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda telah
menghadang larinya. Meskipun sadar bahwa dalam keadaan terluka di dalam
begitu rupa adalah berbahaya untuk metancarkan serangan yang
mengandalkan tenaga dalam namun di landa hawa amarah yang amat sangat
maka Damar Soka memukulkan tangan kanannya. Selarik angin hitam
berkiblat. Wiro membentak nyaring. Di kegelapan malam dia melompat
setinggi tiga tombak dan sambil melayang turun dia melepaskan pukulan
"sinar matahari" yang terkenal ampuh itu.
Sehabis melancarkan
serangan tadi, Damar Soka merasakan dadanya seperti dipanggang. Nafasnya
menyesak dan tidahnya menjulur keluar laksana orang dicekik. Sedetik
kemudian bukubuku darah merah kehitaman menyembur dari mulutnya. Damar
Soka tersungkur. Tangan kirinya masih merangkul pinggang Camperenik.
Sebelum tubuh Damar Soka mencium tanah, pada saat itulah pukulan "sinar
matahari" yang dilepaskan Wiro Sableng datang menyapu!
Damar Soka
terbanting ke tanah. Camperenik lepas dari rangkulannya. Tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun Damar Soka amblas ke tanah sedalam
beberapa senti. Tubuhnya dan juga tubuh Camperenik hangus hitam.
Nyawanya lepas meninggalkan badan!
Wiro mengatur jalan darah serta
pernafasannya dengan cepat. Kalau dia memandang berkeliling. Dilihatnya
Munding Wirya menggeletak di antara puing-puing pondok, di sampingnya
bersimpuh gadis cilik itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua.
Dalam keadaan megap-megap begitu Munding Wirya masih bisa sunggingkan senyum dan memuji.
"Kau hebat Wiro, hebat sekali … Tak percuma kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku … puas.
Sebelum menutup mata aku … masih sem… sempat menyaksikan kematian dua man … manusia cabul itu … "
Wiro
Sableng meraba dada Munding Wirya. Dada itu terasa panas. Sewaktu
disibakkannya pakaian si orang tua kelihatanlah kulit dadanya kuning
pekat sedang tulang dada melesak ke dalam.
Beberapa iga jelas kelihatan patah. Pendekar kita segera alirkan tenaga dalam ke dada Munding Wirya.
"Tak
usah Wiro … jangan", kata Munding Wirya pelahan dengan senyum masih di
bibir. "Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku cukup sampai di sini … "
"Telanlah obat ini", kata Wiro tanpa perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang
tua itu menggeleng. Sepasang matanya semakin menyipit dan kabur.
"Kehendak Tuhan segera akan berlaku atas diriku. Satu permintaanku
padamu, bawalah Mawar pada Citrakarsa. Maksudku untuk mengambilnya jadi
murid tidak kesampaian. Biar Citrakarsa yang melanjutkan. Aku … Wiro
kurasa … kurasa … "
Ucapan Munding Wirya cuma sampai di situ.
Nafasnya meninggalkan jazad. Orang tua ini menghembuskan nafas
penghabisan dengan senyum masih membayang dibibirnya. Gadis kecil di
sampingnya menangis terisak-isak.
Pendekar 212 Wiro Sableng menghela
nafas panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali dia melihat
manusia-manusia meregang nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak dalam
cara mengerikan. Diam-diam dia berpikir entah kapan pula malaikat maut
akan mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
***
"Dulu hidup ini sunyi dan sepi,
Kini indah berseri.
Dulu hidup ini penuh duka derita,
Kini semarak bercahaya.
Betapa tak akan indah,
Betapa tak akan berseri.
Apa yang dicita muncul di mata,
Telah datang seorang calon istri.
Dulu hidup ini ……………………….. "
Ranata mendadak menghentikan nyanyiannya. Dia berdiri dengan cepat.
Sepasang telinganya telah menangkap suara orang berlari dikejauhan.
Semak-semak di depannya tersibak, sesosok tubuh berpakaian putih
mendukung tubuh seorang anak kecil muncul.
"Amboi! Kau datang lagi,
rambut gondrong! Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!" Ranata
berseru."Ayahmu ada di dalam?" tanya orang yang datang yaitu Wiro
bersama Mawar.
"Ngaco! Di tanya malah bertanya!" damprat Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku segala?!"
Wiro menahan kegusarannya. Sebelum dia membuka mulut memberi jawaban dari dalam gubuk mendadak terdengar seruan perempuan.
"Mawar! Adikku … !"
Seorang
gadis yang bukan lain adalah Ratih menghambur keluar, merebut Mawar
dari dukungan Wiro, memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Wiro terharu
sedang Ranata berdiri bingung.
"Amboi .., amboi! Mengapa calon
istriku menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi? Adikmu…? Ah …
wajahnya … wajahnya memang hampir sama. Adik calon istriku … ipar … ya
iparku kalau begitu! Amboi iiiipaaaar!"
"Semua yang ada di luar, masuklah ke dalam," tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa dari dalam gubuk.
‘"Amboi!
Semua masuk!" kata Ranata pula lalu dia yang pertama sekali melompat
masuk, menyusul Ratih yang mendukung Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar
ini menjura di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah dan ceritakan apa yang telah terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua
orang duduk dan memandang pada Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai
menuturkan malapetaka apa yang telah menimpa Munding Wirya di bukit
Gong.
"Begitulah, orang tua … " kata Wiro menutup keterangannya.
"Sebelum menutup mata Munding Wirya meninggalkan pesan agar membawa adik
Ratih ke sini, meminta agar kau mengambilnya menjadi murid karena
dialah kelak yang bakal menuntut balas terhadap kematian orang tuanya."
Setelah berdiam diri sejenak, Citrakarsa baru membuka mulut berikan jawaban.
"Apa
yang dipesankan Munding Wirya adalah satu kewajiban luhur. Jika saja
pesan itu tidak lekas sampainya ke sini, mungkin aku sudah lebih dahulu
menyuruh Ranata untuk mengobrakabrik bangsat-bangsat di hutan Bludak
itu."
Tiba-tiba Ranata mendongak ke atas. Citrakarsa bertanya dengan suara keras. "Siapa di luar?!"
Dan
Pendekar 212 dalam kejap itu telah melompat ke pintu. Sekelebat
dilihatnya sesosok bayangan hitam tinggi langsing di atas atap gubuk.
Wiro cepat mengejar namun orang itu lenyap dari pemandangan. Betapapun
dia menyelidik dengan teliti di sekitar tempat itu tetap tak berhasil
mencari jejak ke mana lenyapnya si bayangan hitam tadi!
Dengan
menduga-duga siapa adanya manusia tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam
gubuk. Saat itu dilihatnya Citrakarsa tengah memegang sehelai kertas
putih, bersama Ranata dia membaca serentetan tulisan yang ada di atas
kertas itu.
Ketika Wiro menghambur keluar gubuk tadi, dari atas atap
rumbia melesat segulung kertas yang saat itu tengah dipegang oleh
Citrakarsa. Kertas apakah yang di tangan orang tua itu, demikian Wiro
berpikir sambil kembali duduk ke tempatnya semula. Citrakarsa mengangkat
kepalanya, memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal yang sama dilakukan
pula oleh Ranata. Tiba-tiba pemuda itu melompat dan menari
berputar-putar mengelilingi Wiro Sableng.
"Aku akan sembuh! Aku akan
sembuh dan … amboi! Ratih … Ratih! Dengarlah! Aku akan sembuh dan nanti
suamimu bukan orang gila lagi, bukan orang sedeng, bukan orang sinting,
bukan orang edaaaannn!"
Wiro memandang Ranata dan Citrakarsa
berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya dalam hati. Tiba-tiba
Citrakarsa mengulurkan tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!" kata orang tua ini.
Wiro
menerima kertas yang diberikan lalu membaca rangkaian tulisan yang
tertera di atasnya. Ternyata merupakan sebuah surat yang ditujukan
kepadanya dan berbunyi:
Wiro muridku,
Percuma kau menguasai 1001 macam ilmu pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk
mengobati Ranata.
Sinto Gendeng.
Wiro Sableng tertegun melengak. Tiada dinyananya akan mendapat surat
seperti itu. Pantas saja dia tadi tak berhasil mengejar sosok tubuh
hitam yang berkelebat di atas atap gubuk karena ternyata orang tersebut
adalah gurunya sendiri!
"Bisakah kau memberi sedikit keterangan akan
bunyi surat gurumu itu?" bertanya Citrakarsa sementara saat itu Ranata
masih juga menari-nari seputar Wiro.
"Aku memang pemah membaca dan
mempelajari sebuah kitab tentang berbagai ilmu pengobatan beberapa waktu
yang lalu. Kitab itu ditulis oleh Kiai Bangkalan…."
"Kiai
Bangkalan!", kata Citrakarsa setengah berseru. "Dalam dunia persilatan
memang dialah satu-satunya ahli pengobatan yang paling lihay". Dan
harapan besar jelas terbayang di wajah si orang tua.
"Jika betul kau sudah mempelajari ilmu pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata akan bisa disembuh kan!"
Wiro mengangguk pelahan.
"Menurut
keterangan yang kudapat dari Munding Wirya sebelum orang tua itu
meninggal, anakmu telah delapan tahun menderita sakit. Ini berarti
membutuhkan waktu yang cukup lama pula untuk menyembuhkannya.
Sekurang-kurangnya setengah dari masa sakitnya"
"Aku tak perduli berapa tahunpun! Yang penting anakku bisa disembuhkan!" kata Citrakarsa pula.
"Ya, yang penting aku sembuh! Sembuh dan …. kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!" menimpali Ranata.
Wiro
menarik nafas dalam, lalu pejamkan mata dan menepekur. Hampir
sepeminuman teh baru dia mengangkat kepalanya kembali dan memandang pada
Citrakarsa lalu berkata :
"Pertama sekali harus disediakan satu guci
anggur merah. Lalu disiapkan tujuhpuluh lembar daun sirih, tujuhpuluh
serabut akar cendana dan tujuh ekor katak putih. Semuanya dimasukkan ke
dalam anggur merah lalu di godok. Minuman itu harus diminum oleh anakmu
sebanyak tujuh sendok setiap malam selama empat tahun."
Citrakarsa mengangguk-anggukkan kepala.
"Daun
sirih dan akar cendana mudah dicari. Tetapi katak putih, dimanakah
binatang-binatang itu didapat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar
ada katak putih!" kata Citrakarsa pula.
"Dalam buku yang ditulis Kiai
Bangkalan diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh tempat dimana
terdapat katak-katak putih itu. Salah satu diantaranya di Pulau Jawa
ini. Di dasar kawah gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Aku akan ke sana mengambilnya!" kata Citrakarsa.
"Untuk
menangkap binatang-binatang itu ada syaratnya pula. Yaitu pada malam
hari sewaktu muncul bulan tujuh hari atau ketika bulan dalam keadaan
setengah lingkaran."
"Betapa pun sulitnya semua itu akan
kulaksanakan." kata Citrakarsa pula. Lalu orang tua iri berulang kali
mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan dan petunjuk Wiro. Tak
lama kemudian pendekar tersebut pun minta diri sementara Ranata saat itu
kembali menari-nari kegirangan.
SEWINDU
telah berlalu. Banyak hal telah terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa
jahat silih berganti dalam dunia yang semakin tua ini. Di suatu pagi
hari yang cerah, di depan sebuah gubuk reyot di hutan belantara yang
jarang di datangi manusia kelihatanlah seorang kakek-kakek berambut
putih tengah menempur seorang gadis jelita berbaju merah. Gerakan si
kakek sebat cepat dan ranting kayu di tangan kanannya berkelebat kian ke
mari, menusuk dan memapas, kadang-kadang menotok ke jalan darah di
tubuh lawannya. Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit pula
gerakannya. Tubuhnya laksana bayangbayang. Dia juga memegang sebuah
ranting kering di tangan kanan. Benda ini menderu-deru menangkis
serangan si kakek bahkan kadang-kadang berbalik merupakan serangan yang
mematikan!
Kedua orang itu tengah melatih ilmu silat. Dan mereka
bukan lain adalah Citrakarsa serta Mawar. Di dekat pintu gubuk berdiri
Ratih mendukung seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Di sampingnya
tegak Ranata. Berkat obat yang ditunjukkan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng, Ranata telah sembuh dari sakitnya sejak empat tahun yang silam.
Dan sejak empat tahun yang lalu itu pula Ratih dengan kerelaan dan
kasih sayang yang dimilikinya telah bersedia diambil istri oleh pemuda
tersebut. Dua tahun berumah tangga mereka dikaruniai seorang anak
laki-laki yang mungil dan lucu.
Betapapun Citrakarsa mengeluarkan
segala kepandaian silatnya, namun sukar sekali baginya untuk dapat
mengalahkan Mawar. Berkali-kali diusahakannya memukul lepas ranting kayu
di tangan gadis itu, berkali-kali pula dicobanya untuk mehggoreskan
ujung ranting kepakaian Mawar namun sia-sia belaka. Hati Citrakarsa
gembira bukan main. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu sekian lama
untuk menggembleng Mawar menjadi seorang dara berkepandaian tinggi.
Bahkan kalau dibandingkan dengan Ranata, ilmu yang dimiliki Mawar hampir
satu tingkat lebih tinggi!
"Sudah! Sudah … sudah!" Citrakarsa
berseru seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran. "Hatiku puas,
puas dan gembira! Ternyata kau benar-benar tak mengecewakan!"
Mawar tersipu-sipu dan berkata, "Walau bagaimanapun kepandaianku masih jauh di bawahmu, guru. Aku harus berlatih lebih rajin."
Citrakarsa
tertawa. "Ranata!" katanya sambil berpaling pada anaknya. "Cobalah kau
hadapi Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau bakal dikalahkannya di
bawah sepuluh jurus!"
Ranata tersenyum. Disambutnya ranting kayu
yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah dia menghadapi adik iparnya.
Pertandingan berjalan hebat dan cepat. Betul saja, setelah baku hantam
tujuh jurus, ujung ranting di tangan Mawar berhasil memukul pundak
Ranata.
"Aku kalah!" seru Ranata dan melompat dari kalangan.
"Kakak sengaja mengalah." kata Mawar lalu membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat
kehebatanmu, aku tak ragu-ragu lagi untuk melepasmu guna menuntut balas
terhadap manusia-manusia jahat yang telah membunuh orang tua dan
kakakmu," berkata Citrakarsa. "Dengar baik-baik Mawar. Mereka terdiri
dari tiga manusia biadab yang memimpin gerombolan bejat di hutan Bludak.
Yang pertama bernama Bayunata, lalu Singgil Murka dan yang ke tiga
Sawer Tunjung. Ketiganya bertanggung jawab atas kematian ayah bundamu.
Bertanggung jawab atas semua nyawa penduduk kampung kelahiranmu.
Mendiang Munding Wirya dan juga aku serta semua yang ada di sini, dalam
pada itu termasuk pula arwah-arwah mereka yang telah menemui kematian di
tangan tiga bergundal kejahatan itu, sama mengharapkan agar kau dapat
membalaskan segala sakit hati dan dendam kesumat. Aku yakin kau akan
berhasil melaksanakannya. Kau boleh pergi setiap saat bersama doa
restuku!"
"Jika diizinkan, murid ingin pergi hari ini juga!" kata Mawar.
"Bagus, memang lebih cepat lebih baik." Citrakarsa berpaling pada Ranata dan berkata, "Kau pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru, kenapa murid tak boieh pergi seorang diri?"
"Bukan
tidak boleh, Mawar. Tetapi kau harus maklum. Dunia luar tidak seperti
dunia kita di dalam hutan ini. Dunia luar penuh dengan seribu satu macam
bahaya, penuh dengan seribu satu macam tipu daya serta seribu satu
macam manusia berhati culas. Dengan pergi seorang diri, apalagi kau
seorang gadis tentu banyak manusia-manusia jahat yang bakal merintangimu
di tengah jalan hingga kau akan mendapat banyak kesukaran sebelum
berhasil melaksanakan pembalasan terhadap musuh besarmu. Karena itu
pergilah bersama kakak iparmu!"
"Jika demikian, murid menurut saja," kata Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk bersalin pakaian.
***
Hutan Bludak. Disarangnya Bayunata saat itu tengah diadakan pesta
besar. Mereka baru saja berhasil menyikat serombongan pedagang yang
tengah menuju Kotaraja. Delapan orang pedagang berikut selusin pengawal
dibunuh, seluruh barang dagangan dirampok. Singkat cerita, dalam suasana
pesta pora itulah Mawar dan Ranata sampai di hutan Bludak.
"Mereka tengah pesta pora lupa daratan," desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar
mengangguk. Keduanya mengatur rencana, lalu berpencar. Tak lama
kemudian di salah satu pondok rampok yang terletak agak terpisah dari
lain-lainnya kelihatanlah api berkobar-kobar. Tiga orang anak buah
Bayunata yang ada di situ dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu
banyak minum anggur lari keluar pondok dan berteriak-teriak. Tiga orang
perempuan dalam keadaan setengah telanjang ikut berlarian menyelamatkan
diri. Beberapa kawan merekan segera datang memberi pertolongan. Untuk
memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam pada itu sebuah pondok lagi di
ujung kiri kelihatan telah dimakan api pula. Rampok-rampok yang ada di
dalamnya yang tengah pesta minuman dan pesta perempuan berlarian keluar.
Pondok ketiga, keempat dan kelima kemudian menyusul di kobari api.
Suasana di sarang gerombolan rampok itu jadi kacau balau kini, lebih
sewaktu api mulai pula menjilat dan membakar jembatan-jembatan gantung
dari tali yang menghubungkan satu pondok dengan pondok lainnya.
Dari
dalam sebuah pondok Bayunata keluar terhuyung-huyung. Dia cuma
mengenakan celana dalam. Di tangan kanannya ada sebuah buli-buli anggur
sedang tangan kirinya menggelung pinggang seorang perempuan muda yang
tak mengenakan sehelai pakaianpun. Matanya sembab karena menangis.
Perempuan ini diculik oleh gerombolan Bayunata tiga hari yang lewat di
sebuah desa.
"Lima pondok di makan api dalam waktu yang hampir
bersamaan … " desis Bayunata. "Pasti ini disengaja. Pasti ada yang
berbuat …!" Pemimpin rampok hutan Bludak ini mengeluarkan suara suitan
nyaring. Sesaat kemudian muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung.
Seperti Bayunata, kedua orang inipun hanya mengenakan celana dalam
karena mereka sebelumnya tengah pesta anggur dan pesta perempuan.
"Lekas selidiki apa yang terjadi!" perintah Bayunata.
Singgil
Murka dan Sawer Tunjung cepat berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke
dalam pondok dan merebahkan diri di atas tempat tidur, menggelungi tubuh
perempuan di sampingnya. Di teguknya anggur di dalam buli-buli lalu
buli-buli itu diletakkannya di lantai.
"Persetan dengan keributan di
luar sana. Persetan … !" kata pemimpin rampok ini. Tangan kanannya
bergerak menjamah setiap lekuk tubuh perempuan di sampingnya. Ciumannya
bertubitubi di muka, leher dan dada si perempuan. Keduanya kemudian
tenggelam dalam gelimang kekotoran.
Beberapa buah pondok lagi
sementara itu telah dimakan api pula. Perampok-perampok banyak yang
turun ke tanah melalui tangga-tangga tali. Maksud mereka untuk
menyelamatkan diri. Namun tak tahunya di bawah sana seorang gadis jelita
berpakaian merah menyambut ke datangan mereka dan "menghadiahkan"
hadiahkan" tendangan-tendangan serta pukulan-pukulan maut.
Hampir
selusin anak buah Bayunata telah bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang
hancur kepalanya, ringsek dadanya atau bobol perutnya.
Seorang
anggota rampok lagi kelihatan menuruni tangga tali dengan cepat.
Sesampainya di bawah dia terkejut melihat apa yang terjadi atas diri
kawan-kawannya. Dan lebih terkejut lagi sewaktu mengetahui bahwa yang
membunuh kawan-kawannya itu adalah seorang gadis cantik berpakaian
merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari dari mana yang datang
menebar maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku. Dan kau akan
selamat dari tangan maut Bayunata!"
Mawar mendengus.
"Kau inginkan
diriku? Ini terima dulu hadiahku!" kertak si gadis. Secepat kilat
tinjunya di hantamkan kedada laki-laki itu. Anggota rampok yang satu ini
rupanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawan-kawannya
sebelumnya. Dia sempat mengelak lalu menerjang dengan golok yang sudah
berada di tangan!
"Aku akan tebas batang lehermu kalau tidak mau
menyerah! Ayo lekas serahkan diri! Kalau tidak kau akan menyesal sampai
di liang kubur!"
Sekali lagi Mawar mendengus dan sekali lagi pula dia
menerjang. Golok di tangan lawan berkelebat. Terdengar satu keluhan.
Golok itu terlepas dari tangan anak buah Bayunata, dirampas oleh Mawar
dan sebelum dia tahu apa yang terjadi satu tabasan telah memutus batang
lehernya!
"Bangsat betina kurang ajar! Mampuslah!" terdengar satu bentakan.
Mawar
berpaling. Lima orang anggota rampok ternyata telah mengurungnya.
Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya melancarkan satu
serangan golok. Mawar miringkan tubuh. Begitu senjata lawan lewat di
sampingnya, kaki kanannya menderu dan si penyerang mencelat sejauh dua
tombak, jatuh tak bergerak lagi karena perutnya sudah bobol dihantam
tendangan!
Empat kawan mereka melengak kaget. Tanpa banyak cerita
lagi mereka segera menyerbu. Satu demi satu mereka dibikin melosoh oleh
Mawar. Rampok yang kelima sengaja tak dibunuh, hanya dilukai salah satu
bahunya. Mawar menjambak rambut laki-laki ini.
"Naik ke atas sana!
Beritahu pimpinanmu bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku Mawar Merah
datang untuk menuntut balas! Katakan bahwa aku menunggu mereka di sini!"
Dengan
ketakutan rampok itu menaiki tangga tali kembali, lalu lari sepanjang
jembatan. Di salah satu cabang jembatan dia berpapasan dengan Singgil
Murka dan Sawer Tunjung. Segera dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang
ajar! Siapa gerangan iblis betina itu, hah?!" gertak Singgil Murka. Dia
berpaling pada Sawer Tunjung dan berkata: "Lekas beri tahu Bayunata.
Aku akan menghajar iblis betina itu!"
Sawer Tunjung berlalu sedang
Singgil Murka bersama anak buahnya yang memberikan laporan segera menuju
ke tempat di mana Mawar Merah berada.
"Itu dia manusianya!" kata anggota rampok sambil menunjuk ke bawah pohon.
Singgil
Murka beliakkan matanya lebar-!ebar. Manusia yang disebutnya "iblis
betina" itu nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa. Dengan
cengar-cengir Singgil Murka melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di
hadapan Mawar Merah dan geleng-gelengkan kepala.
"Apakah kau
bangsatnya yang bernama Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya menyorot
meneliti laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam di hadapannya
itu.
"Ha … ha! Aku adalah Singgil Murka. Orang ketiga yang menjadi
pimpinan rampok-rampok hutan Bludak!" menyahut Singgil Murka. "Ada
apakah kau mencari Bayunata? Dan kenapa pula kau menabur maut begini
rupa?!"
"Hem … jadi kau bergundalnya yang bernama Singgil Murka!
Sekitar delapan tahun yang lalu kau pernah memusnahkan kampung Waru,
membunuh semua orang yang ada di sana, termasuk ayah dan kakak
laki-lakiku! Ibuku bunuh diri karena kebiadaban kalian! Hari ini aku
menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil Murka tertawa gelak-gelak.
"Gadis,
kau yang begini cantik dan mulus berani-beranian menantang maut! Aku
tidak ingat lagi peristiwa delapan tahun yang silam. Yang jelas sekali
Bayunata melihatmu pasti kau akan celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku
akan sembunyikan kau disatu tempat yang aman, mengambil seluruh harta
kekayaan yang aku miliki lalu meninggalkan hutan Bludak ini. Sudah sejak
lama aku muak dengan kehidupan begini macam!" Mawar Merah sunggingkan
seringai tajam.
"Maksudmu memang cukup bagus! Tapi tempat yang paling bagus bagimu bukan di dunia ini, melainkan neraka!"
Habis berkata begitu Mawar Merah mencabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekejap kemudian bertaburlah selarik sinar merah!
Singgil
Murka kaget bukan main. Cepat-cepat dia menyurut seraya cabut goloknya.
Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Mula-mula Singgil Murka
bertempur hanya setengah hati, tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama
itu dia merasakan kehebatan ilmu pedang lawan, manusia ini tak mau
main-main lagi. Dia merangsak ke depan berusaha memukul lepas pedang si
gadis!
Tapi sebaliknya si gadis berkelit gesit dan melancarkan
serangan-serangan yang amat aneh hingga dalam jurus kedua Singgil Murka
terdesak hebat sedang dalam jurus ketiga terdengar seruan lakilaki ini
sewaktu golok di tangan kanannya dihantam pedang lawan hingga mental!"
"Celaka!"
keluh Singgil Murka. Nyatanya benar si cantik ini inginkan nyawanya.
Tanpa pikir panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil langkah seribu.
Namun dia cuma sanggup menyingkirkan diri beberapa langkah saja karena
laksana terbang, Mawar Merah melesat dan memburu dari samping. Pedang
merahnya berkelebat, dan "cras"! Mengge!indinglah kepala Singgil Murka!
Satu dari tiga musuh besarnya berhasil dimusnahkan. Mana yang dua
lainnya?!
Mawar Merah memandang berkeliling. Setitik air mata
mengambang di sudut-sudut matanya yang bening. Dia tak melihat anggota
rampok yang tadi datang bersama Singgil Murka, mungkin sudah kabur.
Tiba-tiba pada salah satu jalur jembqtan tali dilihatnya dua orang
laki-laki berbadan tegap berewokan dan hanya mengenakan celana dalam
berlari cepat kejurusannya.
SAWER Tunjung mengetuk pintu pondok dengan keras.
"Siapa?!" tanya Bayunata sementara tubuhnya menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan yang tengah ditidurinya.
"Aku, Sawer Tunjung!"
"Tunggu sebentar!" jawab Bayunata.
Di
luar pondok Sawer Tunjung tahu apa yang tengah dilakukan Bayunata dan
dia merutuk habis-habisan. Keterlaluan sekali jika dalam suasana begitu
rupa Bayunata masih menghabiskan waktu untuk memuaskan nafsunya!
Di
atas tempat tidur Bayunata merasakan tubuhnya mengejang dan panas. Dari
mulutnya keluar suara erangan geram dan dari hidungnya menghembus nafas
membara. Di gigitnya leher perempuan di bawahnya hingga perempuan itu
mengeluh kesakitan. Tubuhnya yang mandi keringat kemudian terbadai di
pembaringan.
"Bayunata! Lekaslah!" terdengar suara Sawer Tunjung di luar pondok.
Pemimpin
rampok itu berdiri terhuyung. Diteguknya anggur di dalam buli-buli,
dilemparkannya buli-buli itu ke sudut pondok lalu dikenakannya
celananya. Golok besar yang tergantung dekat pintu disambarnya lalu dia
keluar.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata.
"Lebih dari dua lusin
anak buah kita kutemui mati digantung di sebelah timur. Delapan pondok
musnah dimakan api. Seorang laki-laki yang tak diketahui siapa adanya
telah melakukan hal itu. Kemudian seorang anak buah melaporkan bahwa di
jurusan barat ada satu gadis cantik berpakaian serba merah. Belasan anak
buah kita menemui kematian di tangannya. Kepada anak buah yang masih
hidup dia menyuruh menyampaikan pada kita bahwa namanya Mawar Merah,
bahwa dialah yang melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap anak-anak
buah kita!"
"Kurang ajar!" kertak Bayunata. "Aku ingin melihat di sebelah timur dulu!"
Keduanya
berlari-sepanjang jembatan gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung
bukan isapan jempol. Dua puluh delapan anggota rampok hutan Bludak telah
jadi mayat, mati di gantung dengan tali-tali jembatan. Beberapa lainnya
berhamparan di atas jembatan dalam keadaan mengerikan.
Pelipis
Bayunata bergerak-gerak. Rahangnya menonjol. Dia memutar tubuh dan
segera lari kejurusan barat diikuti oleh Sawer Tunjung sementara di
belakangnya terdengar suara robohnya sebuah pondok yang musnah di makan
api. Tak berapa jauh dari situ segerombolan perempuanperempuan dalam
tubuh yang hampir tak tertutup pakaian berlarian berebutan menuruni
tangga tali.
Dalam waktu yang singkat Bayunata dan Sawer Tunjung
telah sampai di tempat Mawar Merah berada. Saking geramnya pemimpin
rampok ini turun ke tanah tanpa melalui tangga tali melainkan langsung
melompat ke tanah. Dari caranya melompat yang tanpa menimbulkan suara
itu Mawar Merah segera maklum kalau manusia yang satu ini memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Amarah yang meluapi sekujur tubuh Bayunata serta
merta jadi mengendur manakala dia menyaksikan paras dara jelita yang
mengaku bernama Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia melihat
perempuan yang secantik ini!
"Sawer, inikah manusianya yang bernama Mawar Merah?"
"Pasti
sekali, Bayu! Pasti!" sahut Sawer Tunjung dan dia memandang berkeliling
mencari-cari di mana adanya Singgil Murka. Namun yang dilihatnya adalah
seorang laki-laki berpakaian putih tak dikenal. Mungkin ini adalah
kawan dara berbaju merah yang telah menggantungi anggotaanggota rampok
di sebelah timur, pikir Sawer Tunjung.
Di lain pihak Mawar Merah
melintangkan pedangnya di depan dada, memandang tajam pada Bayunata.
Kening laki-laki itu kelihatan hangus hitam dan di bagian tengahnya
tertera angka 212. Tidak bisa tidak tentu itu perbuatannya Pendekar 212
Wiro Sableng, kata Mawar dalam hati. Dia pernah mendengar kisah dari
kakaknya bahwa sewaktu menyelamatkan Ratih, Wiro telah baku hantam
dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik, tetapi buas!" kata-kata itu mendesis dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat berjidat hangus, kau pastilah Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata tertawa lebar-lebar. Sambil usap-usap dadanya yang penuh bulu dia berkata: "Kau kenal aku, dara buas?!"
"Aku juga kenal jalan ke neraka untuk kalian berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali Bayunata tertawa lebar-lebar.
"Bayu, biar aku yang beri pelajaran pada gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak sobatku. Kau bereskan laki-laki di sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju merah ini.
Aku sendiri akan main-main sejurus dua dengannya!"
Maka Bayunatapun maju ke hadapan Mawar Merah. Golok besarnya masih berada dalam sarung dan dipegangnya di tangan kiri.
"Sebelum
nyawamu minggat ke neraka, aku akan berikan satu hadiah bagus bagimu,
Bayunata keparat!" kata Mawar Merah. Dan tangan kirinya yang sejak tadi
disembunyikannya di belakang bergerak. Sebuah benda bulat sebesar kepala
melesat ke arah pemimpin rampok hutan Bludak. Bayunata cepat mengelak.
Benda itu jatuh dibelakangnya dan terkejutlah Bayunata, demikian juga
Sawer Tunjung. Benda yang dilemparkan Mawar Merah ternyata adalah kepala
Singgil Murka!
"Betina keparat haram jadah!" bentak Bayunata marah
sengaja mencabut golok besarnya yang hampir 20 kati beratnya itu, "lekas
serahkan diri atau kucincang detik ini juga seluruh tubuhmu yang bagus
ini!"
Mawah Merah menyeringai.
"Justru hari ini aku harus serahkan
jiwamu sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak dan seluruh penduduk
kampung Waru yang telah kau musnahkan secara biadab delapan tahun yang
lewat!" jawab Mawar Merah lalu membuka serangan pertama.
Melihat ini
nafsu untuk memiliki tubuh si gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata
menjadi lenyap, berubah dengan kemarahan yang meluap. Golok besarnya
ditebaskan ke depan untuk menangkis senjata lawan. Namun dibikin
terkejut karena sesaat senjata mereka saling bentrokan, tahu-tahu pedang
si gadis menyusup turun dan dalam gerakan yang aneh berkelebat ke
pinggangnya!
Tiga jurus bertempur Bayunata mulai keluarkan keringat
dingin. Ilmu pedang yang dimainkan si gadis aneh dan tidak
dimengertinya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh pemimpin rampok ini
senantiasa menghantam tempat kosong. Sebaliknya dengan matimatian dia
harus mengelakkan serangan-serangan lawan yang datang laksana curahan
hujan.
"Setan, ilmu silat apakah yang dimainkan betina jalang ini?!"
gertak Bayunata dalam hati. Cepat dirobahnya permainan goloknya.
Jurus-jurus terhebat yang selama ini disimpannya sebagai andalan saat
itu segera dikeluarkannya. Golok besarnya menderu-deru menebar serangan
ganas luar biasa. Lima jurus lamanya Mawar Merah harus bertindak
hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat liku-liku kelemahan ilmu
golok lawan, kembali gadis ini merangsak.
Untuk kesekian kalinya
Bayunata mengeluh. Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan semuda ini
memiliki ilmu pedang yang aneh dan lihay begitu rupa?!
Tiba-tiba
Bayunata berseru keras. Goloknya membabat pulang balik sampai tiga kali.
Serentak dengan itu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Satu gelombang
angin yang luar biasa panasnya menggebu-gebu. Mawar Merah membabatkan
pedangnya ke depan. Dengan serta merta serangan golok serta pukulan
sakti yang dilepaskan Bayunata musnah.
"Kalau begini naga-naganya, aku bisa mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara itu di lain bagian Sawer Tunjung telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang Ranata, jangan bunuh bangsat itu! Biar aku yang membereskannya!" seru Mawar Merah.
"Kau
tak usah kawatir, Mawar." sahut Ranata. Di antara tiga pimpinan rampok
hutan Bludak, Sawer Tunjung adalah yang paling rendah ilmunya. Setelah
bertempur tiga jurus, Ranata berhasil merampas pedang laki-laki itu dan
menotok urat besar di pangkal lehernya hingga Sawer Tunjung menjadi kaku
tegang laksana patung!
Serangan-serangan pedang Mawar Merah semakin
bertubi-tubi. Bayunata mundur terus. Hanya kegesitan gerakannyalah yang
masih menolong. Namun batas kemampuan Bayunata hanya sampai jurus ke
empat belas. Golok besar yang menjadi senjatanya patah dua dan terlepas
mental dari tangannya sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang keras!
Bayunata
melompat mundur. Mukanya sepucat mayat, keringat dingin mengucur di
keningnya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri, bersujud di hadapan Mawar
Merah.
"Gadis, ampunilah selembar jiwaku yang tak berguna ini!
Biarkan aku hidup! Segala harta kekayaan yang aku miliki kupasrahkan
padamu! Ampuni jiwaku … !"
"Kau minta ampunan, Bayunata?! Jangan minta padaku! Mintalah pada setan-setan di neraka!"
Pedang merah di tangan Mawar Merah memapas turun.
"Cras!!"
Bayunata
menjerit. Tangan kanannya putus. Darah menyembur. Pemimpin rampok ini
karena dilanda sakit yang amat sangat menjadi kalap. Dia melompat ke
muka mengambil patahan goloknya lalu menyerang Mawar Merah dengan
membabi buta. Pedang di tangan si gadis menderu lagi. Kini bahu kiri
Bayunata yang menjadi sasaran. Untuk kedua kalinya pemimpin rampok itu
menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ampuni selembar nyawaku, ampuni!" dia masih memohon dengan meratap.
Pedang
merah itu diayunkan lagi dua kali berturut-turut, memapas putus kaki
kiri kanan Bayunata. Tubuhnya yang terkutung-kutung itu berkolojotan
kian kemari. Darah membanjir. Terakhir sekali Mawar Merah membacokkan
senjatanya ke kening Bayunata hingga kepala manusia bejat ini hampir
terbelah dua!
Sawer Tunjung tak berani menyaksikan apa yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu ngeri untuk disaksikan.
"Lepaskan totokannya kakang Ranata!" terdengar suara Mawar Merah.
Begitu
totokannya dilepaskan begitu Sawer Tunjung jatuhkan diri dan meratap
minta diampuni jiwanya. Ampunan yang didapatnya tidak berbeda dengan
nasib yang dialami Bayunata. Tubuhnya menemui kematian dalam keadaan
terkutung-kutung!
Tiba-tiba Mawar Merah membuang pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis sambil menutupi wajahnya.
"Ibu, ayah, kakak … Hari ini semua sakit hati dan dendam kesumat telah berbalas! Semoga kalian bisa tenteram di alam baka … !"
"Sudahlah Mawar," kata Ranata. Dipegangnya pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita harus kembali."
Perlahan-lahan
Mawar Merah berdiri. Di sekanya air mata yang membasahi pipinya.
Keduanya bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi mendadak sontak dari
depan berkelebatan seorang berpakaian putih. Rambut dan wajahnya
tertutup kerudung hitam. Hanya sepasang matanya yang kelihatan,
memandang tajam kepada Ranata dan Mawar Merah.
"Manusia bercadar, siapa kau?!" bentak Ranata.
"Bangsat!
Kalian berdua harus pasrahkan jiwa padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata
yang telah dibunuh! Aku adalah kakak seperguruannya!"
"Sret!"
Mawar Merah mencabut pedangnya.
"Jika begitu kau harus mampus di tanganku!" kata Mawar Merah seraya menghunus pedangnya.
"Aku
tahu kaulah yang membunuh Bayunata! Tapi aku tak bisa bertempur
denganmu! Aku mempunyai pantangan untuk bertempur dengan perempuan!
Harap wakilkan dirimu pada kau punya kawan!”
"Persetan dengan pantanganmu!" sentak Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata memegang bahu gadis itu.
"Kali
ini biar aku yang turun tangan, Mawar. Aku tak bakal punya muka untuk
selama-lamanya jika tak berani menerima tantangan manusia macam begini!"
Mawar Merah mengalah juga meski hatinya panas sekali.
"Perkelahian macam mana kau ingini? Pakai senjata atau tangan kosong?!" bertanya manusia bercadar hitam.
Ranata tertawa.
"Untuk menghadapi manusia macam kau, perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau yang silahkan maju duluan!" tantang si cadar h itam.
Ranata
membuka serangan. Gerakan yang dibuatnya aneh dan terbalik seratus
delapanpuluh derajat dari ilmu silat yang wajar. Sekejap tinjunya akan
mencium dada lawan, si cadar hitam berkelebat, membuat gerakan yang sama
dengan gerakan Ranata dan tahu-tahu tinju kanannya hampir saja mendarat
di perut Ranata.
Baik Ranata maupun Mawar Merah jadi kaget. Gerakan
yang dimainkan oleh lawan persis gerakan ilmu silat yang diajarkan
kepada mereka oleh Citrakarsa. Dengan penasaran Ranata membuka jurus
kedua. Setengah jalan tiba-tiba si cadar hitam tertawa bergelak dan
memapaskan tangan dari kiri ke kanan sedang kaki membuat kuda-kuda aneh.
Ranata terkejut lagi. Apa yang dilakukan lawan juga gerakan ilmu silat
yang dimilikinya. Dia tak bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia
mengelak ke kiri. Dan justru saat itu si cadar hitam membuat gerakan
aneh lagi, cepat dan tak terduga.
"Bukk!"
Ranata terhuyung-huyung.
Bahu kanannya kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa sakit sama
sekali. Ini membuat Ranata jadi heran. Jika lawan inginkan jiwanya
mengapa dia cuma melancarkan serangan begitu rupa? Padahal dengan
mengerahkan sedikit tenaga dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar hitam tertawa gelak-gelak.
Sementara
itu Mawar Merah menjadi penasaran melihat kekalahan kakak iparnya.
Cepat dia maju hendak menyerang. Di depan sana si cadar hitam tiba-tiba
mengerakkan tangan menarik cadar yang menutupi wajahnya,
"Wiro!" seru Ranata dan Mawar Merah ketika mereka mengenali paras yang kini tak tertutup itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apa-apaan kau ini Wiro?" tanya Ranata.
"Eh
sobat lamaku! Kau ingat peristiwa dulu sewaktu kau mengalahkan aku
hanya dalam tiga jurus? Sehari suntuk aku berusaha memecahkan kelihayan
ilmu silatmu dan aku berhasil! Apa yang kulakukan barusan hanyalah
sekedar membalas penghormatanmu itu, sobatku!" dan Wiro tertawa lagi
lalu berkelebat lenyap meninggalkan kedua orang tersebut. Ranata
geleng-gelengkan kepala, berpaling pada Mawar Merah. Lalu keduanyapun
meninggalkan tem pat itu. Kelak bersama Ratih dan anak serta ayahnya,
Ranata akan berangkat menuju Kotaraja, darimana dia dan ayahnya dulu
berasal dan ke tempat mana mereka akan kembali.
TAMAT