MATAHARI yang
tadi bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam
yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung
hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan
gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur
menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini
berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti
dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja segala apa yang
ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya,
sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara
semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang
sungsum. Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing,
di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari
hujar; lebat itu, maka di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua
sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan amat cepatnya. Seolah-olah
kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan
deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian
terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka yang
laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena
kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis cantuk
jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya
bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu
bagian bukit yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela
sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut hitam
panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian yang
basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang
keluar potongan badan mereka yang bagus ramping. Keduanya memandang
berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan dan
kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau
dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang
diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya,
celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak
menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat telur itu jelas terlihat rasa
cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka
kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari
tempat itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya
hujan ke arah kaki bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali
memampasi lari mereka, namun itu tidak mengurangi kecepatan lari
masing-masing! Di kaki bukit keduanya melompati sebuah anak sungai.
Kilat tibatiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang berlari di sebelah
belakang berseru, "Kakak! Tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu …"
"Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam
waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi
terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu
pondok yang tertutup berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang
telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya
menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa
kau lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua
bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si
orang tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok
di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani
menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu pintu hancur dan terpentang
lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat jendela
samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana
hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya mencekal leher
pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan
kilat dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru
dia salah tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang
datang dari samping. Kini dia terkurung di tengahtengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya
cakap dan kulitnya kuning. Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan
yang aneh di balik tawanya itu. Dan bayangan aneh ini membuat si pemuda
merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di tangan kami!"
"Tapi
aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah
turutkan kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian …"
"Plaak!"
"Heh,
kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk
menangkap salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah
sebatang pohon waru. Tak ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya
berhamburan. Nyawanya putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar
pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya
gelungan rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan saat itu
Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu …" ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi
tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga
rengkah.
***

HUTAN
Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya.
Mulai dari kelinci sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena
itulah Adipati-adipati di Jawa Tengah dan setiap orang yang gemar
berburu, kerap kali melakukan perburuan di hutan tersebut. Sekali waktu
putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya berangkat ke hutan
Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah berhasil
membunuh tiga ekor kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu
merah. Tepat sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera
Adipati itu duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk
sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua
kakinya ke dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah
seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya
tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit
cerita tentang sampai bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru
saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak
di seberang mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang
kian kemari lalu melangkah lebih dekat ke tepi telaga dan mencelupkan
mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati
Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika anak panah hendak
dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu
bagus sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinya
pun tak tega untuk membunuh binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa
ini cukup jinak, maka Aryo Damar akhirnya memutuskan untuk menangkapnya
hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat
kemudian dia sudah mengendapendap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini
pernah belajar ilmu silat dari ayahnya. Karenanya dia bisa bergerak
cepat. Begitulah, ketika tinggal beberapa langkah lagi, Aryo Darmo
laksana seekor harimau melompat menerkam anak rusa itu.
Tapi si anak
rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga Aryo
Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya
untuk jungkir balik pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga!
Yang
membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari
jauh, tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang
kepadanya dengan mengendipendipkan sepasang matanya, seolah-olah
menantang putera Adipati Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk kedua
kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir pemuda ini berhasil menangkap
tengkuk binatang itu, si anak rusa melompat binal dan lari ke dekat
serumpun semak belukar yang terletak sepuluh langkah dari si pemuda.
"Sialan!"
maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah?! Kau musti
dapat kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah
kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada
jauh dalam rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda
ini akhirnya mendudukkan dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia
memandang ke kiri dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh
darinya dan mengedip-ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo
Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap
hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!" Lalu dicabutnya kerisnya dan
dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu
bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah tempat hingga keris yang
dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini
Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan kukejar
kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu.
Dengan demikian semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang
lebat. Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi
mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena
rapatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh tiba-tiba anak rusa
yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. Pemuda ini menghentikan
larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara lengking
binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu di
hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang
dari mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam rimba belantara begini rupa?"
"Aku
Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan
senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu,
sebagai gantinya kau mau berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari.
Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh orangorangku untuk
mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian
berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani
mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-orang
suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk
mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo.
Sudah barang tentu mana ada pemuda yang ; menolak begitu saja ajakan
dara berparas secantik ‘ Nilamaharani itu?
"Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata Nilamaharani pula.
Aryo
Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya
bercakapcakap. Demikian gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan
dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan dia hampir tak perduli dengan
si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan
oleh Nilamaharani, mungkin sudah sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka
tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu
daerah berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di
sebelah barat, diikuti oleh Aryo Darmo. Memperhatikan cara lari kedua
dara kakak beradik itu maklumlah si pemuda bahwa keduanya orang-orang
berilmu. Dengan mengandalkan ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya
menyamai lari keduanya, namun siasia belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo
jadi tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit
yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak belukar lebat.
Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo
Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu
sepotong kayu yang ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan,
tertancap kedinding. Ternyata di situ ada dua buah ruangan dan keduanya
sama sekali tidak seperti ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku hendak keluar sebentar"
Aryo
Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di
ruangan itu karena sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang
satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di
tujukan pada pelita kayu aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis
mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang dibakar terang begitu rupa
tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar kehijauan dan berbau
harum pula. Selagi dia memperhatikan begitu rupa dilihatnya sinar api
tiba-tiba mengecil. Sebaliknya bau harum bertambah-tambah, membuat
pemuda ini merasa adanya aliran hawa aneh di dalam darah di sekujur
tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga bau harum itu dan detik demi
detik Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam
Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan… Untuk beberapa saat
lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu
cepat-cepat dipalingkannya kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan
Nilamaharani melangkah ke hadapan pemuda itu. Aryo Darmo masih
memandang ke jurusan lain, tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu
Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti
tapi dadanya ikut berdebar dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak!
Dara itu telah berganti pakaian dengan sehelai pakaian sutera kuning
yang amat tipis hingga jelas kelihatan potongan tubuh dan pakaian
dalamnya. Senyum yang dilayangkannyapun lain dan aneh. Ini dirasakan
betul oleh Aryo Darmo, membuat rangsangan aneh yang menjalari tubuh
pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau melamun agaknya, saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya putera Adipati Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa musti susah??"
"Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo
Darmo hendak menjawab agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun
sebelum itu terucapkan Nilamaharani telah menarik lengannya dan
membawanya masuk ke ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita kayu yang
aneh yang sinarnya lebih suram dari ruangan sebelumnya. Segala
sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan dalam kesamar-samaran itu Aryo
Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah
pembaringan.
"Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara bergetar.
"Aryo,
kau tahu apa maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si
pemuda hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo.
Kemudian pemuda ini merasakan lengan kiri sang dara melingkar di
pinggangnya.
"Maharani kau …"
Ucapan itu tidak terteruskan oleh
Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani mendekatkan parasnya ke wajahnya
dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis itu menempel di
atas bibirnya.
"Maharani, aku …"
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa
meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena diberati tubuh gadis
itu. Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang bodoh!"
"Tapi …"
"Tidak ada tapi-tapian Aryo."
Dan
sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ.
Laksana seekor ular besar yang kelaparan pemudaa itu menggeliat atas
pembaringan dan nmerangkul tubuh Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti
mau melunyahkan dara itu sampai ke tulang-tulangnya. Desau nafas panas
dan tertawa berguman Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo, membuat dia
berlaku lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan Aryo
Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan pemuda itu laksana geledek.
"Maharani, kau … !"
Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik Nilamaharani.
Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari pembaringan.
"Aryo! Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana
pemuda itu mau kembali! Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan
membuat dia kembali meski didepannya saat itu, menghadang setan kepala
sepuluh sekalipun! Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia keparat! Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke pintu goa.
Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!"’
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar ke arah Arya Darmo!
***

DENGAN
sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang
berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan
lagi melesat ke arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo Darmo.
Habis
membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan
balasan berupa satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain
Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan
oleh si dara yang kemudian melancarkan serangan balasan yang amat
berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan
dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat hatinya. Dari
gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa gadis itu
memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi darinya. Pada
dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri.
Tapi apa yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang
lalulah membuat pemuda ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi,
tapi terus memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari sibakan semak belukar di mulut goa.
"Tentu
saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat
lihay yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat
tinggi ke udara dan, di lain saat sudah berada beberapa tombak di
hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi dengan seringai buruk.
"Perempuan
dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya
berkelebat melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan
langkah. Sebelum pukulan tangan kosong tersebut sampai, dia membuat satu
lompatan sebat dan tahutahu tangan kirinya telah menderu ke batok
kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau andalkan?!"
kata
Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah
gadis itu berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo.
Penuh penasaran si pemuda mengirimkan serangan susulan yang bernama
"empat dewa murka". Serangan ini mempergunakan kedua tangan dan kaki
yang digerakkan susul menyusul dan kehebatannya cukup membuat kagum
karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu hanya tinggal bayangbayang
saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari
belakang dengan mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya
bergerak, serangkum angin menderu dahsyat. Aryo Darmo terpaksa
membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya sewaktu
dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat
ke samping, tapi masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu
serta lengan kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar
angin amat dingin itu menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi
sedang hawa dingin mencucuk menyembilu membuat gigi-giginya
bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati. Keringat
dingin memercik dikeningnya. Kedua dara berbaju kuning sementara itu
hanya beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama siap melancarkan
serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo
menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda
tersebut bukan senjata sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan
terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda
itu lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga
berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi
juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan,
permainan keris Aryo Darmo sudah terkenal hebat di samping ayahnya
sendiri. Tapi hari itu kehebatannya tidak dipandang sebelah matapun oleh
kedua dara berbaju kuning itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka
maju mendekat lalu melesat di antara sambaran keris dan di lain kejap
terdengarlah dua kali suara bergedebuk yang dibarengi dengan jeritan
Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula, kakak?" bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa
tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil
memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu
kanannya hancur. "Pemuda tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya
akan menyelamatkan dirinya dari kematian bila dia melakukan apa yang aku
mau. Tapi dia kabur dari kamar itu …!"
Nilamahadewi tak berkata
apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti kehendak
kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya
kakaknya berlalu dari situ diapun mengikuti,
***
Ketika mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya memasuki
halaman Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah
mengadakan pembicaraan dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka
terkejut bukan main melihat dua orang pembantu Kadipaten muncul membawa
usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan" berdiri dari kursinya.
"Ada
apa? Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua
pembantu tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang
menutupi sosok tubuh di atas usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala
Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi mayat dan
menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir di situ
bagai terpaku di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat
kepala putera Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi?! Lekas katakan apa yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah
Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku
pergi berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi
pembantu itu membuat dia hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula?!" bentak Jala Wisena pada pembantu yang satu lagi.
"Benar
Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke
hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada
waktu itu muncullah seekor anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu
di tepi telaga sedang dia sendiri pergi menangkap anak rusa itu. Karena
lama ditunggu-tunggu dia tidak kunjung kembali kami jadi kawatir lalu
pergi mencarinya. Ketika kami temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah
dalam keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di
sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun
tidak!" jawab Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis
tangan kanan anaknya. Di jari manis pemuda itu masih kelihatan sebentuk
cincin emas berbatu hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo Darmo bukan
dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh
jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi
seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain
orang." Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata,
"Antarkan aku ke tempat kau menemui mayatnya. Aku akan selidiki apa yang
sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan
kata-katanya karena dari pintu ruangan dalam terdengar jerit istrinya
yang kemudian lari ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di
atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini
laksana disayat-sayat dan di lain pihak gelora amarahnya semakin
membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya dapat
dipertenang maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang
pembantunya berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten bilamana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati
Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah
kelihatan jelas. Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah
terjadi perkelahian. Kemudian sepasang mata Adipati Muntilan ini
terbentur pada sebuah benda yang segera diambilnya. Benda itu adalah
keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang senjata itu Adipati ini
berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah terjadi
perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Perampok sudah jelas
bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup
bisa diandalkan. Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian,
nyatalah lawannya seorang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah
sekitar situ tempat kediamannya seorang sakti yang tak mau tempatnya
dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya si orang sakti memergoki
puteranya dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati
Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang banyak bukitbukitnya itu.
Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas
tapak kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia
memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang mencurigakan.
Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang Lurah serta pembantu
Kadipaten itu, tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka
tengah menjadi incaran dua pasang mata yang tersembunyi di balik semak
belukar lebat.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain adalah Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti sia-sia. Atau mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu, membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah
berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara
di luar sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar
situ dengan seksama. Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru
saja Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu
bersama rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah
sebuah benda putih di hadapan mereka dan menyangsang di serumpunan semak
belukar. Jala Wisena cepat mengambil benda itu yang temyata adalah
segulungan kertas. Ketika dibuka, di bagian dalam gulungan terdapat
tulisan yang berbunyi:
"
Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga Intan Dewi, Kau sendiri harus pergi ke sebelah barat."
Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa
lamanya mereka saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran
masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan gulungan surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin,"
sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula
petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah
menimbang lebih dalam akhirnya lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti
petunjuk dalam surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta pembantunya
disuruhnya pergi ke jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat.
Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk
kembali ke hutan Bintaran sebelah timur. Daerah ini di selimuti
kegelapan karena sinar matahari boleh dikatakan tak dapat menembus
lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh di sana. Belum jauh
dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara
teriakan perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah
datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita berpakaian kuning dilihatnya
terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi dan
membayangkan rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap
demikian rupa hingga jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis
muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah
gadis itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si
gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku,"
jawab gadis itu seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang
tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku
. . . aku mengejar kupu-kupu … aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu
kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat
menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi …. kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak bisa berjalan. Oh …. tolonglah!"
"Mari
kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang
gadis itu dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh
kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung …. aaa."
Adipati
dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu
kelihatannya menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung
tubuh gadis itu dan ini membuat hatinya berdebar dan darah dalam
tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Aduh …. tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya
Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan
membawanya ke sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning. Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala
Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua
buah akar gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara
berderak dan batang pohon beringin di hadapannya yang sebelah bawah
kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis menyuruhnya masuk. Dengan heran
dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke dalam. Pintu di
belakangnya kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena seorang
yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Tak syak lagi dia bahwa
gadis itu adalah murid seorang sakti yang diam di tempat tersebut.
Jala
Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran
yang luasnya cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu
terdapat sebuah tangga yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka. Sinar
terang menyeruak dari ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala
Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai
diambang pintu yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu
melihat ruangan yang amat bagus di hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah
kamar lengkap dengan pembaringan.
"Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya Adipati Jala Wisena.
"Sebelum
aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul
siapa adanya Jala Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu seenaknya.
Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus kelihatannya.
"Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum semerbak.
Dia
memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram
dari sewaktu mulamula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah
lampu aneh yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah
di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya.
"Terima kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru? Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena
sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu
dia dan gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ
dan hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa gerangan?"
"Tubuhnya
tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan
giginya besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali … Tak mau aku
mengingat-ingatnya Adipati. Kuharap kau jangan bertanyakan tentang
makhluk itu lagi …."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini …."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih belum kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis itu.
Dia
menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah
tersingkap membuat betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan untuk penghibur hati.
Sementara
itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya.
Aliran darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi
dari situ.
"Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi…"
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila … "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
"Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi …" Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau
mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh,"
kata Adipadi Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena
dilihatnya gadis itu hampir jatuh terjerembab.
Namun sebelum
tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap dalam
satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala
Wisena menjadi kaku tegang!
"Nila, apa-apaan ini?!" seru Jala Wisena.
Nila
Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk
selanjutnya Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya
sudah kena ditotok! Dalam keadaan tak berdaya Jala Wisena dibaringkan
di atas tempat tidur. Sepasang mata Adipati Muntilan ini membeliak besar
sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-jari tangan Nilamahadewi satu
demi satu membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
***
Matahari telah condong ke barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu
Kadipaten Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan
Dewi mulai merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya
kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana
mereka telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi…
"Gusti
Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan.
Langkahnya terhenti, demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu
cuma seketika karena kelimanya kemudian berhamburan ke hadapan tubuh
Adipati Jala Wisena yang menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka
hancur tak bernyawa lagi!
***

DESA
tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup
tenteram. Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati
karena nanti malam akan diadakan pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu
pesta perkawinan anak laki-lakinya yang tertua dengan seorang gadis desa
yang berwajah ayu, berkulit hitam manis.
Di halamaw depan telah di
bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang golek. Hiburan
semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang hati
penduduk jadi bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi
baru akan dimulai tapi telah banyak orang—terutama anak-anak—yang
berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah
bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah penduduk desa Tembilangan
dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta
perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji kecantikan
pengantin perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum
akan kegagahan wajah pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua,
satu bulan satu matahari, demikianlah orangorang memberikan perumpamaan.
Sementara
itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam
itu sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita
Bharatayuda. Semua orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin
larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana
tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan
Bima yaitu salah seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah
kancah perang saudara itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing
lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
"Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka
kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang
sebuah gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan
yang penuh ketegangan itu tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di
atas kepalanya yang dibarengi dengan ucapan persis seperti yang
diucapkan ki dalang tadi yaitu, "Memang saat inilah yang aku
tunggu-tunggu…!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang
menghentikan penuturannya. Semua memandang ke hadapan panggung di mana
berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya cantik sekali. Untuk
sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki dalang.
Salah
seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi
beliakkan matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan
dengan kau!"
Kebopamenang, Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya dan melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian? Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara yang di samping kanan menjawab.
Tentu
saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu
tadi terangterangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah
berusia lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian suka angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk mengambil pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol?!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit pelajaran padamu!"
Habis
berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"!
Sebuah tamparan menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah
dan sebuah giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang
marah bukan main. Tangan kanannya yang membentuk tinju laksana kilat
dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah
ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua tangannya digerakkan ke
muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya terus diputar
dan sesaat kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar melayang
ke atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus
menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk centang
perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada
yang maju ke muka untuk memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani
berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak mereka lakukan itu tidak
kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget bukan main karena
saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah tidak ada! Dan lebih
lebih kaget lagi karena pengantin laki-lakipun lenyap dari pelaminan
sedang pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke
mana aku?!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada di atas
bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa
Munggul. Dialah pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang
yang kini dilarikan oleh Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku tak kenal kau dari mana kau tahu namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!" Nilamaharani tertawa.
"Kau
tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal
kau temui bersamaku …". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak
jadi karena adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa
maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara
jelita serta ucapan dara itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora,
tapi saat itu Mahesa Munggul merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak
lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak
sebuah semak belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia
memasuki sebuah ruangan yang diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum
habis rasa herannya itu dia sudah dibawa pula memasuki satu kamar bagus
dan dirinya dibaringkan di atas tempat tidur yang empuk. Bau harum yang
aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api pelita di
dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin
bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa Munggul
berkata dengan suara keras. Dia merasa heran kemana perginya dara baju
kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras kepala…"
"Kau mau berbuat apa terhadapku?!"
"Ah,
jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa…" kata Nilamaharani.
Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da
itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium
oleh dara jelita seperti Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul
merasakan satu keanehan yang mendirikan bulu tengkuknya.
Nilamaharani
tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa
Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya
merayap ke bawah pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak
berada dalam keadaan ditotok mungkin dia sudah melompat dari atas tempat
tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan totokanku!" teriak Mahesa Munggul menggeledek.
Nilamaharani
tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani…
semakin berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda
rangsangan yang tak pemah dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani
melepaskan totokan di tubuhnya, pemuda ini sudah lupa daratan den lupa
segala apa yang dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan seorang
pemuda yang ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas
tempat tidur, Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung
hendak meramuk mangsanya. Gadis itu tertawa dan menggeliat-liat.
Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi detik
semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi gelap. Hal
ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang benaknya sudah
tertutup nafsu.
***
Sebuah gerobak barang
yang memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan buruk yang menuju
ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan terasa
segar. Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di
sampingnya duduk seorang anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku
tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa.
Sejak malam tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul,
dan sampai pagi ini pemuda itu masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan… jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi
baru saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang
dikemudikannya meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga
gerobak sayur itu hampir saja terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki
perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah
jalan beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh
laki-laki yang tidak mengenakan pakaian barang selembar benangpun.
Sekujur tubuhnya penuh dengan benjat benjut bekas pukulan. Dengan
langkah gemetar, pengemudi gerobak sayur itu mendekati sesosok tubuh di
tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang terhantar di
tengah jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak masih
bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-lakinya yang juga
mengenali berteriak,
"Ay… ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
***

DI PUNCAK-PUNCAK
dan lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat kian
kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung
raksasa yang tengah mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi
bila didekati temyata dia bukan lain seorang manusia juga adanya yaitu
seorang nenek-nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh serta ilmu larinya yang hebat dia berkelebat kian ke
mari seolah-olah ada sesuatu yang sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu memandang berkeliling.
"Heran,"
katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran
telah kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek
ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur itu
lebih tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang
dimilikinya kali ini tak berdaya untuk menjalankan tugasnya.
Sampai
rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti
malam, nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun
akhirnya dia tahu apa yang dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka
dia kembali ke puncak bukit ang paling tinggi dan duduk bersila disitu
bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa
raya, sewaktu rembulan tampak memunculkan dirinya di langit biru maka
dari puncak bukit yang paling tinggi itu terdengarlah suara nyanyian
yang menggema ke seluruh penjuru bahkan menyejak masuk ke dalam hutan
Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan suara yang
menegakkan bulu roma kini diam gelisah. Seluruh bebukitan dan hutan
belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin dingin, telah
dicengkam oleh suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya kembali terdengar suara nyanyian itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan …."
Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga terus
terdengar dari puncak bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai
baris terakhir. Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah
satu bukit dua orang gadis berpakaian kuning duduk saling pandang.
Mereka adalah Milamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
"Aku yakin suara
nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara guru.
Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kita lakukan?" bertanya
Nilamahadewi kepada kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan tempat ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai kapanpun tak akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi
aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah
berbukit-bukit ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini?
Sampai mati kelaparan karena kehabisan makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak
dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni
Mindi Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu sampai matahari terbit…
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "
Hidup sebatang kara …. penuh sedih dan derita…
***
Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak bukit yang
paling tinggi di daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah
menyanyi sepanjang malam, melihat dua buah titik kuning d lereng sebuah
bukit yang terletak jauh di sebelah barat.
"Nah . . . . nah . . . ,
nah …. Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari persembunyian
mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput diwajahnya
kelihatan bertambah banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang
matanya yang mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa membuang tempo lagi
nenek-nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya.
Kelihatannya sepasang kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah
biasa. Tapi hebatnya dalam waktu yang singkat dia sudah berada jauh dari
puncak bukit di mana dia berada sebelumnya.
Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya dua titik kuning tadi.
"Murid-murid
murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak.
Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara
guntur mendera daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan diri!"
Nenek-nenek
yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa
kaget yang tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah
kerasnya dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat!
Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya," kata Ni Mindi Jalurkbalen. Di
samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas muridnya itu
beraniberanian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya
larinya. Di lain ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan
Nilamaharani serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak sebuah bukit
sementara sang surya sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk
beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan
mata membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah …. nah …. nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau iblis menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu?!"
"Mengapa tidak? Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu cuma sampai hari ini!"
"Hem,
begitu?! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih
kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat
kekurang ajaran dan kesombongan kalian jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu?!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot kelihatan menggembung.
"Sebelum
hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek
itu. "Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian sudah gila?!"
"Betul!"
jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya
hingga memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan
saja dari muka bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad!
Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen
lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu! Dua
gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
***

PUKULAN
yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo" yang
amat berbahaya. Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan
itu kontan sekujur badan akan matang hijau dan orangnya akan mati detik
itu juga. Jangankan manusia, satu batu karang yang atospun akan hancur
dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek
seakan-akan mereka hanya menghadapi seorang lawan bangsa kroco,
Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan cepat
mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek. Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas
ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu
pukulan "kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada
mereka. Tetapi mengapa pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa
dahsyatnya padahal sewaktu melepaskan pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi
Jalurkbalen telah mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya!
"Kalau
tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak
bakal dapat meyakini ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya,"
membatin Ni Mindi Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya
dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa pukulan kelabang hijaunya
lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan kelabang ijo itu
saling bentrokan, terdengarlah suara ledakan yang amat dahsyat. Langit
di atas mereka laksana mau runtuh, puncak bukit bergetar, liang telinga
masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika lamanya.
Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang di depannya Nilamaharani dan Nilamahadewi tertawa gelak-gelak.
"Begitulah
jadinya kalau seorang nenek-nenek tua mau jual tampang memamerkan ilmu
pukulan kelabang ijo yang belum sempurna!", kata Nilamaharani menggejek.
Ni
Mindi Jalurkbalen mengertakan rahangnya. Kalau saja geraham darn
gigi-giginya masih menumbuhi gusinya pastilah dari mulutnya saat itu
keluar suara berkeretakan saking geramnya.
"Murid-murid murtad!
Sekalipun kau punya sepuluh kepala seratus kesaktian, jangan kira aku
tak sanggup memusnahkan kalian!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen. Lalu
laksana seekor burung walet dia melompat ke muka. Dua tangan terkembang
ke samping. Perlu diketahui bahwa dalam dunia persiatan nenek-nenek ini
dikenal dengan julukan "Si Walet Sakti" karena jurus-jurus dan gerakan
silatnya kebanyakan hampir bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus walet meminta jiwa yang hendak dipamerkan?!" ejek Nilamahadewi ketika melihat gerakan yang dibuat gurunya itu.
"Ini bukan jurus apa-apa, murid murtad! Tapi jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh
Ni Mindi Jalurkbalen lenyap dari hadapan kedua gadis itu dan sesaat
kemudian dua buah kepalan laksana palu godam menderu ke arah batok
kepala Nilamaharani dan Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat
kilat. Dua lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah suara beradunya
lengan kiri kanan Ni Mindi Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya. Dan
terdengar pula keluhan pendek nenek-nenek itu sewaktu merasakan
lengannya sakit bukan main. Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir
balik begitu Si Walet Sakti mengeruk jubah kuningnya dan dikejap itu
menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang ringgit berbentuk bulan
sabit, menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas jurusan!
Selama
malang melintang di dunia persilatan kalau bukan tokoh-tokoh lihay,
jarang sekali orang yang sanggup mengelit atau menangkis lemparan
senjata rahasia itu. Namun hari ini untuk kesekian kalinya Ni Mindi
Jalurkbalen dibikin kaget karena dengan mengebutkan lengan-lengan
pakaiannya, kedua lawannya berhasil membuat mental duapuluh empat
senjata rahasia yang amat diandalkannya itu! Tergetarlah kini hati si
nenek. Namun sudah barang tentu ia tak akan meninggalkan tempat itu
walau bagaimanapun juga.
"Ni Mindi Jalurkbalen," kata Nilamaharani
dengan menyunggingkan senyum sinis, "Apakah kau masih belum sadar bahwa
kau betul-betul seorang nenek-nenek yang tak layak hidup lebih lama di
dunia ini?"
"Iblis dajal! Makan ini!" teriak Si Walet Sakti dengan amarah menggelegak.
Terdengar
suara mendesing dan sebuah besi hitam yang ujungnya diganduli lima buah
kaitan sepanjang tiga jengkal melesat ke mulut Nilamaharani.
Yang
diserang terkejut karena sebelumnya tak pernah mengetahui kalau gurunya
memiliki senjata dahsyat itu. Dengan satu gerakan aneh gadis ini
membantingkan dirinya ke samping. Tubuhnya menjungkir kepala ke bawah
kaki ke atas dan salah satu kakinya dengan cepat kemudian menendang
batang besi tempat mencantelnya lima kaitan itu.
"Jurus iblis
menendang rembulan!" seru Ni Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat dan
mengenali gerakan yang dibuat Nilamaharani. Saking kagetnya dia sampai
tak sempat lagi menarik pulang senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak
dipegangnya dengan erat niscaya terlepas sewaktu tendangan Nilamaharani
menghantam batang besi dengan kerasnya, membuat batang besi itu bengkok.
"Murid
dajal! Jadi kalian telah menuntut pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi
hah?!" Nilamaharani tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
"Nah . . .
nah … nah! Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia selagi muda! Pantas
kalian jadi manusia-manusia binal terkutuk macam begini. Pantas kalian
berubah menjadi…"
"Anjing tua! Tutup mulutmu!" bentak Nilamahadewi.
Dia menjentikkan tangan kanannya dan segulung angin padat sebesar
kepalan, laksana sebuah batu melesat ke mulut Ni Mindi Jalurkbalen,
membuat nenek-nenek itu tak meneruskan ucapannya dan lekas-lekas
melompat ke samping.
"Kakakku!" kata Nilamahadewi. "Mari lekas kita lenyapkan tua renta sialan ini sebelum dia bicara yang bukan-bukan."
Dua
gadis itu berkelebat cepat dan menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan
seranganserangan beruntun yang amat cepatnya. Nenek-nenek yang telah
berumur puluhan tahun itu mulai merasakan tekanan kurungan yang
berbahaya. Jurus demi jurus dirinya semakin terdesak.
"Celaka! Celaka
diriku! Celaka dunia persilatan kalau aku tak behasil membunuh
manusiamanusia nista ini! Lebih baik aku mati bersama-sama mereka!" kata
Ni Mindi Jalurkbalen. Saat itu dia sudah bertempur hampir dua ratus
jurus. Jubah kuningnya sudah banyak yang bobol robek kena sambaran
jari-jari atau jotosan lawan. Sekujur tubuhnya sakit, dua buah tulang
iganya patah sedang di lain pihak kedua lawannya kelihatan masih segar
bugar!
"Sepasang Iblis Betina!" seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut
nama julukan kedua muridnya yang murtad itu. "Mari kita sama-sama ke
neraka!"
Dari dalam saku jubahnya dikeluarkannya sebuah bola
berwarrra kuning lalu secepat kilat dibantingkannya ke tanah. Terdengar
suara ledakan dan di saat itu seluruh puncak bukit tertutup oleh asap
kuning yang pekat!
"Dewi! Tutup jalan pemafasanmu dan lekas lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua
gadis itu menutup jalan pernafasannya lalu meninggalkan tempat itu
dengan cepat. Di belakang mereka terdengar suara tertawa Ni Mindi
Jalurkbalen.
"Kalian mau lari ke mana? Tubuh kalian sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap umur kalian lebih panjang dari sepeminum teh!".
Ucapan
itu ditutup dengan suara batuk-batuk si nenek. Benda yang dipecahkannya
tadi adalah sebuah bola kuning yang berisi racun wesi kuning yang amat
jahat. Jangankan tercium, sedikit saja kulit bersentuhan dengan racun
yang meresap dalam asap tersebut, niscaya sekujur kulit akan menjadi
cacat dan orangnya akan menemui kematian dalam tempo sepeminuman teh
dengan keadaan tubuh yang mengerikan karena kulitnya mengelupas. Dengan
mengeluarkan senjata pembunuh yang dahsyat itu Ni Mini Jalurkbalen telah
memutuskan untuk bunuh diri dan sekaligus yakin bahwa kedua muridnya
yang murtad tupun ikut menemui ajal. Namun sampai matinya nenek-nenek
yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak nengetahui bahwa maksudnya itu
menemui kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan
mempergunakan ilmu lompatan "katak sakti melompati gunung", Nilamaharani
dan adiknya berhasil keluar dari kepungan asap beracun. Begitu keluar
dari bahaya maut tersebut mereka menyaksikan bagaimana pakaian yang
mereka pakai robe krobek akibat asap beracun sedang kulit mereka
melepuh, mengelupas merah laksana binatang dikuliti dan sakitnya tidak
terperikan.
"Percepat larimu, Dewi!" seru Nilamaharani. "Kalau kita terlambat sampai ke goa celakalah kita!"
"Obat pemusnah racun itu masih kau simpan di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya bergetar oleh kekawatiran dan karena menahan sakit yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Hem…"
jawab Nilamaharani berguman. Meski ilmunya lebih tinggi satu tingkat
dari adiknya namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit akibat racun
wesi kuning. Tak lama kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat
kediaman mereka. Nilamaharani masuk ke dalam kamar. Dengan kuku jarinya
yang panjang runcing dicungkilnya batu mar-mar pada dinding sebelah
kanan kamar. Terlihatlah sebuah benda hitam berbentuk tombo! Gadis ini
menekan tombol itu dan sesaat kemudian dinding di samping, kiri terbuka
secara aneh. Pada celah yang terbuka itu kelihatanlah sebuah ruangan
berkotak-kotak seperti sebuah lemari. Semuanya ada tiga kotak. Pada
kotak sebelah bawah terdapat setumpukan pakaian dan perhiasan, kotak
kedua berbagai macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai
macam botol. Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti susunan
botol-botol yang ada di kotak teratas, lalu di ambilnya dua buah botol.
Botol pertama berisi cairan berwarna kuning muda, botol yang satu lagi
berisi cairan kuning tua dan kental.
Sementara itu tanpa di suruh
Nilamahadewi telah menyiapkan empat gelas air putih. Kakaknya kemudian
menuangkan masing-masing tiga tetes cairan kuning muda ke dalam dua buah
gelas, lalu diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis
itu. Rasa sakit yang menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur
lenyap. Kini tinggal kulit tubuh yang masih mengelupas merah mengerikan.
Tiga tetes cairan kuning pekat kemudian dimasukkan ke dalam dua buah
gelas dan diaduk rata. Kedua gadis itu kemudian melangkah ke sudut kamar
sebelah kiri. Nilamaharani menginjak sebuah batu mar-mar di lantai dan
di sampingnya terbukalah sebuah lobang yang merupakan tangga menuju ke
sebuah kolam yang bagus sekali. Dua gelas air yang telah dicampur dengan
obat kuning pekat dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah dua gelungan
asap membumbung ke langit-langit ruangan, baunya anyir.Tanpa menunggu
lebih lama dua kakak beradik itu menceburkan dirinya ke dalam gulungan
asap kuning tersebut. Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna.
Kini kelihatanlah kedua orang gadis itu dalam keadaan basah kuyup. Tapi
ajaib, sekujur kulit tubuh mereka yang tadi terkelupas merah kini telah
kembali seperti sediakala!
Mereka melompat dari dalam kolam.
"Untung
sekali guru kita Iblis Penggoncang Bumi memberikan obat-obat itu tempo
hari. Kalau tidak tamatlah riwayat kita …." kata Nilamahadewi.
"Jangan
keburu berbesar hati!" potong kakaknya. "Kita masih belum keluar dari
bahaya maut! Kita harus bersemedi selama tiga hari untuk mengeluarkan
sisa-sisa racun wesi kuning dari paru-paru kita!"
Kedua gadis itu
naik ke tingkat atas kembali. Setelah memasukkan botol-botol obat dan
menutup celah yang merupakan lemari itu, maka keduanya mencari tempat
untuk mulai bersemedi selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi
kuning. Bagaimana dengan Ni Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini
terpaksa meregang nyawa di puncak bukit tanpa mengetahui bahwa
pengorbanan yang dilakukannya adalah sia-sia belaka.
***

DI MALAM
yang gelap gulita tanpa bintang tanpa rembulan, hanya angin malam yang
bertiup menyilir dingin, kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat
gesit di luar tembok kota-raja. Dia sampai di tembok sebelah tenggara.
Tanpa suara dan tanpa diketahui oleh lima orang pengawal yang ada di
situ, sosok tubuh itu melompat ke atas tembok yang tingginya enam
tombak, dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja, melompat dari
satu pohon ke lain pohon, dari satu atap rumah ke lain atap rumah sampai
akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di wuwungan Istana!
Siapakah
manusia yang demikian hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup
melompat di atas atap dan dari pohon ke pohon begitu rupa? Untuk
menjawab pertanyaan itu kita harus kembali pada tiga hari sebelumnya.. .
.
Di sebuah kampung kecil bernama Sukablabak yang terletak setengah
hari perjalanan dari Muntilan, pada tengah malam yang kelam pekat, dalam
sebuah pondok berdinding kayang beratap rumbia duduklah seorang
laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung. Dia memelihara kumis yang
tebal melintang berkeluk ke atas. Demikian tebalnya dia punya kumis
hingga amat tidak pantas dibandingkan dengan mukanya yang kecil cekung.
Sepasang matanya yang besar senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke
segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa ketidaksabaran
menyamaki dirinya.
"Ini sudah lewat tengah malam, Pandemang. Kenapa
dia masih belum muncul?" laki-laki berkumis melintang itu bertanya pada
seorang yang bertubuh tinggi besar di sampingnya bertampang keras kasar.
Di pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing sebilah golok empat
persegi besar macam golok pejagal temak. Rambutnya gondrong, memelihara
kumis serta berewok.
"Mungkin dia mendapat halangan, Pangeran," jawab
orang bertubuh tinggi besar bernama Pandemang. "Tapi percayalah, dia
pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah memberikan uang
serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya,
maksud hamba Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah
tahu dan terbiasa dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras,
kepala, lekas marah dan tak boleh bicara salah terhadapnya hadapnya
meski kebanyakan dia sendiri yang tidak mengerti dimaksud orang.
"Aku
tunggu sampai sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia
masih belum datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau
Pandemang, kau harus minta kembali uang serta perhiasan itu padanya
"Ah …. ah …. ah …. ! Aku sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran Ranablambang!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Ranablambang
dan Pandemang sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang
mereka tunggu-tunggu temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut
pondok di belakang mereka dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok
itu menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini tanpa tahu
kami?" tanya Ranablambang heran. Pangeran ini dan juga Pandemang
bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat dan kesaktian. Telinga
dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka
tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si
baju hitam menghentikan gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap
itu," katanya menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk
ke atap pondok. Dan ketika sang Pangeran serta Pandemang memandang ke
atas kelihatanlah bagaimana atap pondok itu sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi melengak.
"Tak
percuma kau digelari Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian. Si baju
hitam kembali memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan
perlahanlahan.
"Sebaiknya kita mulai saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang sebenarnya menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran
Ranablambang melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian
hitam itu lalu berkata dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil
Tombak Trisula dari kamar Sri Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula?!" ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan
bicara keliwat keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil
Dewa Maling. Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki
singgasana. Karena memasuki Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di
simpan di satu tempat rahasia di dalam kamar Sri Baginda."
"Kau tunjukkan saja tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata yang kau inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan
menganggap remeh orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis.
"Kau dengarlah penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda
terdapat sebuah lampu kuna yang terbuat dari perak, tergantung di
dinding pada sebuah paku besar. Tekanlah paku itu tiga kali
berturut-turut maka dinding kamar yang terletak di depan lampu itu yaitu
pada bagian atas kepala peraduan Baginda akan terbuka dan di dalamnya
ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak mempunyai kunci tapi hanya akan
terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di bagian samping
kanannya. Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah. Ingat,
yang harus kau tekan ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka
lemari. Bila tombol itu sudah kau tekan—cukup satu kali tekan saja—maka
pintu lemari besi akan terbuka dan di dalamnya kau dapat melihat Tombak
Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau segera mengambilnya. Begitu
lemari terbuka, akan terdengar, suara mendesis halus. Tunggu sampai
desis itu berhenti, dan terus tunggu sampai sebuah tombol putih muncul
dengan sendirinya di bagian atas lemari sebelah dalam. Sesudah itu baru
kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum pergi jangan lupa
"Tunggu dulu!" bisik Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat menembus lobang atap dan lenyap di luar sana.
"Ada
apa?!", seru Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya
cepat membuka pintu dan melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling
berlari laksana terbang ke jurusan selatan.
"Kalian tunggu saja di
pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan sebelum tubuhnya
lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan
pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh tanda tanya di
dalam hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap
menunggu di pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling
Baju Hitam. Hampir tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali
dan segera dihujani pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta
Pandemang begitu mereka masuk ke pondok.
"Waktu kau memberi
keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan seseorang di
atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di luar,
orang itu lenyap! Aku tak percaya kalau pemandangan telah menipuku.
Karenanya seluruh daerah ini kuselidik, tapi tetap bangsat itu tak
berhasil kutemui!".
"Mungkin sekali dia mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga
orang itu berdiam diri beberapa lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran
Ranablambang menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin", katanya, "tak
seorang mata-mata kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa
kita ketahui. Apalagi dengan hadirnya Dewa Maling di sini!"
"Kurasa
mungkin aku salah lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian
ialah agar mereka jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan
itu. Meski hatinya sendiri kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata.
"Lanjutkanlah keteranganmu, Pangeran."
"Sesudah tombol putih muncul
di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh mengambil Tombak Trisula
itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih
itu."
"Pangeran," kata Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu
dengan jelas seluk beluk penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu,
mengapa tidak kau sendiri yang mencurinya?"
Pangeran Ranablambang
memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa pelahan.
"Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas
sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah dia tak mempunyai
nyali untuk melakukan hal itu karena Istana penuh dijaga oleh
pengawal-pengawal klas satu dan hulubalang-hulubalang istimewa yang
berilmu tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah yang
berbahaya. Sekali saja dia gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan
pencurian itu pasti tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan padamu,
Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang berkepandaian tinggi,
terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena Istana
terutama kamar Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda bagaimana?"
"Dia tak perlu kau kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata Dewa Maling pula.
"Kau
tak perlu kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa
Maling.
"Terima ini. Limapuluh keping uang emas. Kelak jika kau sudah
berhasil menjalankan apa yang aku perintahkan, kau bakal mendapat
jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa Maling tersenyum. Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik pakaian hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang itu meninggalkan pondok tersebut.
Pangeran
Ranablambang adalah putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan
Surakerto pada masa itu. Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau
sebutan Pangeran karena dia cuma seorang putera dari salah satu selir
Sri Baginda. Namun dengan penuh congkak dan ketinggian hati Ranablambang
telah mempredikatkan dirinya dengan sebutan itu. Dasar orang tak tahu
diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan Sri Baginda, namun
di hatinya sudah sejak lama bergejolak niat untuk menduduki singgasana.
Maka ketika diketahuinya bahwa setiap pewaris takhta kerajaan harus
menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja, segera
diaturnya rencana untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk
melakukannya sendiri Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki
kepandaian yang tinggi. Maka melalui seorang pembantu kepercayaannya
yakni Pandemang, disuruhnyalah laki-laki itu menemui seorang tokoh silat
golongan hitam yang dikenal dengan nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
***

DENGAN
mengandalkan ilmu lari serta ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan
pakaian hitam dan kegelapan malam yang turut membantunya, dengan mudah
pada akhirnya Dewa Maling sudah berada di atas wuwungan Istana. Meski
dia sudah diberi tahu jelas setiap liku-liku Istana dan tempat
penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau memandang enteng
orangorang yang ada di dalam Istana. Terutama Mahapatih Jayengrono yang
berumur setengah abad lebih itu, ilmu kepandaiannya tak bisa dibuat
main!
Dari tempatnya berada saat itu Dewa Maling dapat melihat
kira-kira lima puluh orang pengawal tingkat rendah berada di sekeliling
Istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh hulubalang yang
berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata Dewa Maling dalam hati.
Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana seekor burung walet dia melompat
ke satu bagian yang gelap di halaman samping Istana. Dengan
mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali totok saja pengawal
itu sudah tak berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian pengawal itu
lalu setelah membuka pakaiannya pula, dengan cepat dikenakannya pakaian
si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya seorang hulubalang. Setelah
menjura pada hulubalang itu dia berkata, "Mapatih Jayengrono
mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera karena ada satu urusan
penting."
Karena yang menyampaikan pesan itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang tidak menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya," jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka
hulubalang itupun mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap
Dewa Maling tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok
pangkal leher sang hulubalang. Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu
dilucutinya pakaiannya. Dengan menyamar sebagai seorang hulubalang,
dengan mudah Dewa Maling memasuki Istana, langsung menuju di mana
terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua orang
hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak takuti mereka. Tetapi
membuat kekerasan sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan
langkah gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah. Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini menggeledah kamar Sri Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran. Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada apakah?"
"Kau yang mengawal kamar ini apa masih belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian! Apa saja yang kalian buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!". .
"Seorang
jahat di ketahui telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa
Maling pula. "Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol! Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang terbuka itu!"
Mendengar
ucapan itu kedua hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu
mereka ke dalam. Dengan cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali.
Sesuai dengan keterangan Pangeran Ranablambang, tiga langkah di sebelah
kanan pintu, pada dinding tergantunglah sebuah lampu dari perak bakar
berukir-ukir bagus sekali buatannya. Dewa Maling Baju Hitam menekan paku
besar di mana lampu itu tergantung, tiga kali berturutturut. Di
belakangnya erdengar suara barang bergerak. Ketika dia berpaling
ilihatnya dinding kamar di atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka dan
tampaklah sebuah lemari besi. Cepat Dewa Maling melangkah ke hadapan
lemari. Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tomboltombol merah
di samping kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan
hati-hati Dewa Maling menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah
muka lemari. Ia menunggu dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari
terbuka dan di dalamnya tampaklah sebuah tombak pendek yang ujungnyz
bercabang tiga. Sinar senjata mustika tumbal kerajaan itu bukan saja
menerangi seluruh lemari, tapi jugz menyeruak sampai•ke muka Dewa
Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu
terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu suara mendesis pada
bagian atas lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah
saat di mana Dewa Maling harus mengambil Tombak Trisula diulurkannya
tangannya mengambil senjata mustika tumbal kerajaan itu.
Pada saat
Dewa Maling mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang
sampai di hadapan pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang
yang mengawal pintu kamar Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua
hulubalang ini terheran melihat kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini?!" tanya salah seorang dari mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah sana, aku akan memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan
cepat hulubalang yang satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar,
Dewa Maling yang bertelinga tajam telah mendengar percakapan kedua
hulubalang itu. Maka dengan cepat dia menyelinap di samping pintu
sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka tubuhnya tertutup oleh daun pintu.
Dan selangkah lagi hulubalang itu masuk ke dalam kamar Dewa Maling
mengayunkan tinjunya ke batok kepala hulubalang itu. Dengan mengeluarkan
keluhan pendek si hulubalang tersungkur di lantai. Dewa Maling cepat
keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin keras menyambar
perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat ke belakang
mencari selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang tadi
di sangkanya telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke dada lawan.
"Sret"!
Si
hulubalang mencabut pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan
senjata itu. Mau tak mau Dewa Maling terpaksa menarik pulang kakinya
kembali. Dengan beringas dia melompat dan dari atas mengirimkan satu
pukulan tangan kosong yang dahsyat. Namun lagi-lagi lawannya sanggup
berkelit. Angin pukulan menghantam lantai kamar. Permadani yang menutupi
lantai itu robek bertaburan sedang lantai batu pualam hancur
berkeping-keping dan seantero kamar bergetar laksana di goncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya berkiblat empat kali berturut-turut!
"Setan alas!" maki Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang
di tangan si hulubalang patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan
lekas melompat ke belakang. Namun lebih cepat dari gerakannya itu,
Tombak Trisula meluncur menusuk dadanya. Hulubalang tersebut mengeluh
pendek. Sesudah itu tubuhnya terguling di atas permadani dengan tiga
lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara langkah-langkah kaki
mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu dengan cepat. Justru pada saat
itu hulubalang-hulubalang Istana yang berkepandaian tinggi tengah
memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegang daun pintu
dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak keburu mengelak. Dada
dan tubuh mereka dihantam daun pintu dengan kerasnya. Ketiganya kontan
roboh tak sadarkan diri dengan hidung masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa Maling sudah melarikan diri lewat jendela.
"Jaga
dengan ketat seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis
memberi perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap.
Jayengrono berumur setengah abad lebih. Dalam ilmu dan kesaktian dia
termasuk golongan tokoh-tokoh yang disegani. Otaknya yang cerdik segera
dapat menarik kesimpulan bahwa seorang maling tingkat tinggi pastilah
tidak akan melarikan diri lewat jalan biasa. Karenanya, begitu tiba di
halaman samping Istana, Jayengrono tak ayal lagi segera melompat ke atas
wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak meleset. Begitu dia
menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap Istana sebelah
utara dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh berpakaian
hulubalang. Sebelumnya Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa
pencuri yang menyusup ke dalam Istana itu menyamar atau berpakaian
sebagai seorang hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham, Mapatih ini
segera lari di sepanjang atap mengejar maling tersebut. Sementara itu
sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan pengawal-pengawal
tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat
dipastikan bahwa si pencuri tak akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu
Mapatih Jayengrono sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi
amat penasaran karena orang yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah
dilihatnya dua orang hulubalang dan sembilan pengawal klas satu
berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu lolos dari sini tanpa
diketahui orang-orang di bawah sana", kata Jayengrono dalam hati. "Pasti
dia bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara hiruk pikuk dan seruan, "Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke barat, benar saja, dilihatnya atap Istana tenggelam dalam kobaran api.
"Pengawal-pengawal
klas II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap di
tempat! Ini adalah pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara
lantang mengandalkan tenaga dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru, terutama ke tempat-tempat yang gelap.
"Heran,
ke mana perginya maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri.
Lalu berserulah dia, "Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah
terkurung, tak mungkin bisa kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono
berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar teriakan, "Itu dia
malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya …. lekas kejar!"
Tak ayal
lagi para hulubalang dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut
mengejar. Mapatih Jayengrono segera pula hendak menggerakkan kakinya.
Tapi sekilas pikiran timbul dalam benaknya yang cerdik dan
berpengalaman. Dia tetap ditempatnya dan memandang ke bawah dengan
seksama. Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya hulubalang yang
tadi berteriak dan menunding sambil berlari, memperlambat larinya hingga
akhirnya dia tinggal seorang diri di belakang!
"Pasti dia
bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia melompat
ke bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan
benda berkilauan menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana
telah melemparkan senjata-senjata rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak Javengrono.
Tangan
kirinya dipukulkan kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya
berpelantingan. Di bawahnya terdengar kekehan si hulubalang yang memang
bukan lain adalah Dewa Maling adanya.
"Jayengrono, kau memang cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa
Maling Baju Hitam berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak
dijaga lagi karena hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah
berlarian mengejar "maling" yang tadi diteriakinya!
"Ayo kejar aku!" tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di atas tembok.
Sebagai
jawaban, sambil melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu
pukulan tangan kosong yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi
Dewa Maling sudah lenyap dari situ. Hanya suara kekehannya terdengar di
pohon besar di luar tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau lari ke mana
bah?!" kertak Jayengrono dan segera menyusul. Kedua orang itu untuk
beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk
dan kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang kejarannya
itu di sebelah timur Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa Maling
saat itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari sang patih kerajaan
Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak merayap di atap",
Dewa Maling laksana seekor cecak "menempelkan" dirinya di bawah ujung atap rumah penduduk yang gelap!
Sewaktu
dilihatnya patih itu pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak
kejurusan yang berlawanan dan akhirnya sampai di temook Kotaraja yang
dikawal ketat. Para pengawal yang bertugas di sini disamping
berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan tentang menyusupnya seorang
maling lihay yang berhasil mencuri senjata mustika tumbal kerajaan. Dewa
Maling tidak takutkan pengawal-pengawal ini malah dengan sikap keren
dia melangkah ke hadapan mereka dan membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk
dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di depan mesjid
mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas
bantu mereka! Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar
bentakan yang menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para
pengawal dan hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju
ke tempat di mana dikatakan terjadi pertempuran hebat.
"Dasar
manusia-manusia tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera
dilompatinya tembok tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat
dia sudah lenyap di kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman teh
berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang mengejarnya di belakang.
Dan belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring terdengar
sejarak sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"

PADA WAKTU prajurit-prajurit pengawal dan para hulubalang lari secepatnya menuju ke mesjid, mereka berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke mana?!" tanya sang patih heran.
"Di
depan mesjid tengah terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak
Trisula sedang dikeroyok. Kami kesana untuk memberikan bantuan",
menerangkan salah seorang hulubalang. Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia
barusan lewat menyelidik di depan mesjid dan di sana tak terjadi
keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada pertempuran di depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju ke tembok timur.
"Mana dia?!" tanya Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . . . dia bilang akan berjaga-jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan
Patih Jayengrono mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang
tergagap-gagap ketakutan terputus sampai di situ. Setelah memaki
habis-habisan, tanpa membuang tempo sang patih segera melompati tembok
kerajaan dan lenyap dari pemandangan orang-orang tersebut. Kurang dari
sepeminuman teh dia berlari, didepannya dilihatnya seorang berpakaian
hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah orang itu memiliki ilmu
lari yang lihay dan di samping itu, Jayengrono merasa gembira karena
inilah manusia yang dicari-carinya. Mahapatih yang berumur setengah abad
lebih ini segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah hebat dan
dalam tempo singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya dalam
jarak sepuluh tombak. Maka mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia memanglah Dewa Maling Baju Hitam.
"Jayengrono!
Kau keliwat setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas
kesetiaanmu itu! Ini terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak
kurang dari delapan tombak dia menghantamkan tangan kanannya ke
belakang. Mapatih Jayengrono yang tengah lari kencang tak punya
kesempatan untuk menangkis, dengan serta merta membuang diri ke samping
kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin
pukulan yang lewat terus menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja
pohon itu menjadi hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya tetapi juga
tumbang dengan mengeluarkan suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari
seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau terus
bernafas kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih
Jayengrono mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat
jelas wajah si pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang
melarikan Tombak Trisula itu adalah Dewa Maling Baju Hitam, seorang
tokoh pencuri yang terkenal lihay di dunia persilatan. Pantas saja dia
sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan itu.
"Sebelum kuterima
nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono. "Lekas
serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari
kehancuran!"
Dewa Maling tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu, Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak Trisula itu!"
"Silahkan
ambil sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil
menimangnimang Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih
Jayengrono gusar bukan main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada
beberapa hal yang harus diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling
terkenal sebagai pencuri klas wahid yang tak ada bandingannya di dunia
persilatan namun bagaimana dia bisa berhasil mencuri Tombak Trisula
sedang senjata mustika itu di simpan di tempat yang paling tersembunyi
dan penuh dengan senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa setiap
orang yang berani mengambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang
ingin diketahui oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang
bersembunyi di belakang pencuri itu dan sekaligus memberi tahu seluk
beluk penyimpanan Tombak Trisula, dengan kata lain seorang telah
memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa olehmu
Tombak Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau memilikinya jangan
harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!" sahutnya.
"Jika
kau mau mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang
berdiri di belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping
itu aku akan berikan hadiah besar untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang bukan milik bapak moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku
bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya.
"Kalau kau tetap keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari
pagi!"
"Kalau begitu kau yang sebetuinva buru-buru inginkan mati,
Jayengrono! Marilah kutolong kau mencari jalan ke neraka!". Habis
berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam melompat dan menyerang dengan
mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika bermata tiga itu menusuk
sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa
Maling Baju Hitam kaget bukan main. Dia hampir tak melihat kapan
lawannya itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya dan
tahu-tahu senjata itu sudah berada di tangannya, dipakai untuk menangkis
serangan Tombak Trisula! Memang dalam ilmu pedang, Mapatih Jayengrono
memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur tigapuluh lima tahun
dia sudah dijuluki sebagai "Raja Pedang Dari Pajang" dan kini dalam umur
setengah abad lebih ternyata ilmu kepandaiannya semakin tinggi!
Meski
Dewa Maling terkejut bukan main, tapi sang patihpun tak kurang
kagetnya. Sewaktu bentrokan senjata tadi, lengannya tergetar keras dan
kesemutan. Bahkan ketika ditelitinya salah satu bagian mata pedangnya
telah rompal akibat beradu dengan Tombak Trisula!
Melihat betapa
ampuhnya senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih
Jayengrono maklum bahwa saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu.
Maka begitu menyerang dia segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling
hebat dan selama ini menggetarkan dunia persilatan di Jawa Tengah!
Di
lain pihak Dewa Maling memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata
dia hanya akan sanggup melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo
yang singkat. Untuk itu dia harus mengandalkan kegesitan atau
mengusahakan menghantam pedang lawan dengan Tombak Trisula, atau
cepat-cepat angkat kaki dari situ dengan mempergunakan tipu muslihat!
Namun meski bagaimanapun kegusaran yang ada di hati Dewa Maling membuat
laki-laki ini memutuskan untuk melayani terlebih dulu sang patih sampai
beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang berilmu tinggi itu
saling bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam. Dua puluh jurus
berlalu. Saat itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin. Serangan
pedang lawan datang bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air
hujan.
"Bangsat tua ini lihay betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam
dalam hati. Dalam keadaan begitu rupa dia melompat menjauhkan diri
seperti orang yang hendak mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke
mana, manusia jahat?!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu
gerakan kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun
sekali ini sang patih telah tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa
Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi justru untuk
memancing lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya dengan
membacokkan pedang, laksana seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling
melompat ke samping lalu menyelinapkan satu tusukan tombak ke bagian
tubuh sebelah bawah lawan yang tidak terjaga.
Karena bacokannya
mengenai tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa Maling
membahayakan sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan
pedangnya ke bawah karena dalam posisi begitu rupa cara itulah
satu-satunya bagi dia untuk dapat menyelamatkan jiwanya! Justru memang
inilah yang di kehendaki oleh lawannya. Melihat lawan membabatkan
senjata ke bawah, Dewa Maling dengan keras memukulkan Tombak Trisula ke
atas menyongsong senjata lawan! Raja Pedang Dari Pajang terkejut namun
kasip. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan senjata
tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih Jayengrono patah dua.
Jayengrono cepat melompat mundur sedang di hadapannya Dewa Maling
tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak Trisula di depan
dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal melihat matahari esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak
Trisula berkiblat menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat
nya dengan sisa patahan pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan
kiri melepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. .
"Keparat!"
maki Dewa Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak
berdaya itu masih memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam
dirinya kalau dia tidak lekas-lekas menyingkii dan memaksanya
membatalkan serangan mautnya tadi!
"Walau bagaimanapun kau tak bakal
bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri jahat!" kata Jayengrono
yang masih besar nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa
Maling berkomat-kamit. Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama
melayani patih Pajang itu. Dari dalam baju hitamnya yang terlindung oleh
pakaian hulubalang dikeluarkannya sebuah benda hijau berbentuk suling.
Dengan kedua tangan terpentang Jayengrono menunggu waspada. Senjata di
tangan kiri lawan merupakan senjata aneh baginya. Tiba-tiba Dewa Maling
meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling itu di ujung
bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk anak telinga
menggema di keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi manik-manik merah
menyala mencurah ke arah Jayengrono. Dalam kagetnya patih Pajang ini
tak sempat lagi menyingkir. Begitu asap hijau bertabur manik-manik merah
menyambar hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari tenggorokannya
terdengar suara seperti mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya
tubuhnya tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa
perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu sekarang bukan berarti
aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang ada dalam
tubuhmu akan membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan
tersiksa, dan itu jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali Dewa
Maling tertawa perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula, dia
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah
berlalu sejauh seratus tombak, satu bayangan putih entah dari mans
datangnya tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Melihat sosok tubuh
patih Jayengrono yang terhampar di tanah, orang ini memaki.
"Sialan, aku terlambat!"

ORANG
berpakaian putih itu membungkuk di samping tubuh Jayengrono. Wajah sang
patih kelihatan membiru sedang dari sela bibirnya keluar busa kental
dan leher bengkak menggembung. "Racun jahat," kata orang berpakaian
putih dalam hati. Telapak tangan kanannya di tekankan ke perut
Jayengrono sedang jari-jari tangan kiri mencengkeram leher patih itu.
Sesaat kemudiankelihatan tubuh Jayengrono menggeliat, lalu
melejang-lejang. Dari mulutnya semakin banyak keluar busa dan kini busa
itu berwarna kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan sang
patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa
lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia maklum, kalau
Jayengrono tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak
mungkin di selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan
Jayengrono masih belum terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa
panas dan hawa dingin ke dalam aliran darah sang patih lalu diambilnya
dua butir obat dan dimasukkannya ke dalam mulut patih itu. Setelah yaktn
bahwa kini tak ada lagi racun jahat yang mengendap dalam tubuh atau
jalan nafas Jayengrono, laki-laki berpakaian putih itu sebelum
meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari tangan kanannya menggurat
tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang heboh oleh
tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak diketahui ke mana perginya
Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah berganti dengan siang, fajar
telah menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang selama
beberapa jam terhantar di tanah kelihatan bergerak. Sepasang matanya
membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di
tanah. Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu.
Namun bila dia ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia
memandang berkeliling dan pada waktu itulah pandangannya membentur pada
barisan-barisan tulisan yang tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke Istana.
Tentang Tombak Trisula tak usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar 212.
Pendekar 212," desis Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di
seluruh Jawa Tengah namanya sudah tersohor sebagai seorang pendekar
berusia muda yang amat tinggi ilmu silat serta kesaktiannya, yang
bertualang dari situ daerah ke daerah lain menjalankan tugas membela
kebenaran dan keadilan, menolong siapa saja yang tertindas dan mendapat
bahaya. Kemudian Jayengrono ingat pula bagaimana Dewa Maling Baju Hitam
telah meniupkan racun jahat kepadanya hingga dia roboh pingsan. Tentu
Pendekar 212 itulah yang telah menolongnya. Perlahan-lahan Jayengrono
berdiri. Dendam kesumatnya terhadap Dewa Maling amat besar, tapi dia tak
bisa berbuat suatu apa selain berharap bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng
benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan tombak tumbal Kerajaan itu.
Dengan harapan itulah Jayengrono meninggalkan tempat tersebut dan
kembali ke Istana Pajang.
***
Kira-kira
setengah hari perjalanan dari Pajang terdapatlah sebuah lembah liar.
Dulunya lembah ini adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir
melanda daerah itu, segala kesuburan lembah tersebut ikut tersapu.
Bahkan sebuah kuil yang terdapat di situ ikut menjadi korban, hampir
keseluruhannya diterjang banjir. Kini sisa-sisa kuil tersebut masih
berdiri meskipun sudah tak beratap lagi dan dinding-dinding sebagian
besar hanya tinggal sepotongsepotong. Boleh dikatakan sejak lembah itu
berubah menjadi lembah liar, tak seorang manusiapun yang datang ke sana.
Namun di hari itu adalah aneh karena di depan bekas-bekas runtuhan kuil
kelihatan dua ekor kuda besar tengah merumput. Terlindung di balik
reruntuhan tembok kuil berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu
bertubuh kecil bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang
lagi kebalikannya berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran
Ranablambang dan pembantu kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran Ranablambang.
"Mana
mungkin, Pangeran. Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu
tinggi pula," menyahut Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat
ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah
Pangeran, Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau
tidak percuma dia mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk beberapa
lamanya Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada akhirnya
di tepi lembah dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan
cepat.
"Itu dia," kata Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang
memandang ke arah yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan
ternyata memang dia adalah Dewa Maling Baju Hitam yang telah
menanggalkan pakaian hulubalangnya.
"Bagaimana? Berhasil?!"
pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran Ranablambang pada Dewa
Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran! Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah
Pangeran Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu
menepuk-nepuk bahu Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan
padaku cepat."
Dari balik pakaian hitamnya Dewa Maling mengeluarkan
senjata tumbal kerajaan itu dan menyerahkannya pada Pangeran
Ranablambang. Setelah meneliti benda itu sebentar lalu sang pangeran
cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau
bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran Ranablambang. Dia
melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di
leher binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang ini
berisi barang-barang perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang
satu ini berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan
tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah menyimpan baik-baik kedua
kantong tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di Istana?" Ranablambang tersenyum.
"Kau
tak usah kawatir Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di
tanganku pangkat apapun yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana
kita itu masih cukup panjang untuk diwujudkan meski Tombak Trisula
sudah berada di tangan kita …."
"Apalagi yang harus kita laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus melenyapkan Mapatih Jayengrono …. ".
Dewa Maling tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia sudah kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa
Maling lalu menerangkan pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana
dia pada akhirnya berhasil merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu.
Bukan main gembiranya Ranablambang. Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau
begitu", kata sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa
menggerakkan balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang
mengangguk-angguk kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukanpasukan
akan memasuki Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku
yang ada di dalam Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri
terserah apakah mau ikut menggempur bersama-samaku atau datang seorang
diri
"Karena ada sedikit urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran …." jawab Dewa Maling.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu," balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik ke kuda masing-masing.
"Apa kataku, Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil mendapatkan Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari lebih kencang.
"Agar lebih cepat sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata Pangeran Ranablambang.
"Baik,
Pangeran", menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok
memasuki sebuah jalan kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan
sedang pembantunya mengikut dari belakang.
Ada kira-kira sepeminuman
teh mereka menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di depan mereka
terdengar suara siulan membawakan lagu tak teratur dan tak menentu
nadanya, tiada beda dengan anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang
anehnya suara siulan itu masuk ke telinga kedua penunggang kuda dan
menggetarkan gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran Ranablambang pada Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku
juga merasakan", kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari
kudanya. "Karena itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah dua
kali peminuman teh jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran
semakin bertambah. Betapakah tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih
belum juga memapasi atau melihat orang yang bersiul sedang suara siulan
tetap santar datangnya dari sebelah muka!
"Seorang biasa tak mungkin
dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang. Dirabanya pinggangnya
untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di situ. Setelah satu
kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang, apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran. Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir sejenak lalu.
"Biar kita teruskan saja. Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda masing-masing kembali.
Tak
selang berapa lama di hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi
jalan, bersandar ke sebatang pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan.
Orang inilah yang tengah asyik bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika
Pangeran Ranablambang dan Pandemang sampai di tempat itu, dia terus saja
bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah tahu atau tidak perduli akan
kehadiran kedua penunggang kuda itu.
"Hanya seorang pemuda tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata Ranablambang pada pembantunya.
Pandemang
juga jadi mendongkol ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah
seorang pemuda berpakaian putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah! Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di
bentak demikian rupa si pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin
memperkencangnya hingga baik Pangeran Ranablambang maupun Pandemang
terpaksa menutup jalan pendengaran masing-masing agar telinga mereka
tidak menjadi sakit pengang!
"Pemuda hina dina!" bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap kurang ajar terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam diayunkan ke kepala pemuda itu.
***

"
PANDEMANG! Tahan dulu," seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia berpaling dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli, Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang mengambil sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan kaki pemuda yang duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah lekas!"
Si
pemuda menghentikan siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar
suara tertawa membahak, membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi
gelisah dan mengeluarkan suara ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba, Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata Pandemang.
Ranablambang
kali ini juga sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu
kembali mengayunkan tangan memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi
lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan keluhan tinggi
Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak, tahu-tahu pukulan Pandemang
meleset dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan tumbang
dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh kesakitan.
Tinju kanannya kelihatan merah lecet. Dan ini membuat laki-laki itu
naik ke kepala amarahnya. Masih dengan mengandalkan tangan kosong
Pandemang menerjang ke muka menyerbu si pemuda berpakaian putih.
Yang
diserang ganda tertawa lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang
dilancarkan oleh Pandemang tak satupun mengenai sasarannya. Ini membuat
Pandemang semakin naik pitam sedang lawannya terus menerus tertawa
mengejek. Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih lama lagi. Dua bilah
golok besar yang senantiasa tergantung di pinggangnya kiri kanan
dicabutnya. Sesaat kemudian sepasang senjata itu laksana hujan mencurah
menderu-deru ke arah pemuda berbaju putih. Dalam keadaan begitu rupa si
pemuda tak bisa main-main seperti tadi lagi. Dia musti bertindak cepat
kalau tidak mau dapat celaka. Didahului oleh suara siulan yang
melengking tinggi laksana mau merobek gendang-gendang telinga, pemuda
itu berkelebat. Di lain kejap tubuhnya lenyap menjadi bayangbayang dan
Pandemang kini bingung sendiri karena tak dapat melihat di mana lawannya
berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh menelungkup karena satu pukulan
keras mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu hanya
mengandalkan tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya Pandemang
akan konyol detik itu juga. Dengan beringas Pandemang membalikkan
tubuh. Dua bilah goloknya membacok susul menyusul namun lagi-lagi dia
hanya menyerang tempat kosong. Sebelum dia dapat memastikan di mana
musuhnya berada, satu pukulan lagi mendarat di ulu hatinya. Pandemang
mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau muntah. Ketika satu tamparan
menghajar mukanya, tak ampun lagi laki-laki bertubuh besar tinggi ini
terhuyung nanar dan menggeletak pingsan di tanah!
Untuk beberapa
lamanya Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung kudanya.
Dia tahu betul tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang
bisa mengalahkannya, apalagi secepat dan secara main-main seperti yang
dilakukan si pemuda.
"Pemuda rambut gondrong! Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku
adalah Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir,
lalu meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang
telah mencuri Tombak Trisula tumbal kerajaan!".
Merahlah paras
Ranablambang. Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan
gerakan enteng melompat turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya
melayang di udara dia sudah mengirimkan satu serangan yang hebat membuat
pemuda rambut gondrong terpaksa buruburu menyingkir. Sesaat kemudian
terjadilah pertarungan yang seru di jalan kecil itu. Ternyata
Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya dari Pandemang.
Gerakan-gerakannya gesit. Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat
yang dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau saja lawannya tidak
hati-hati dan berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi dia mendapat
celaka. Tiga puluh jurus berlalu. Meski berada di atas angin
Ranablambang masih belum berhasil untuk merobohkan lawannya. Untuk
mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada jurus ketigapuluh-dua
Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula. Dengah keris di tangan kiri
dan tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan menggempur si pemuda.
"Ha
. . . ha … ! Senjata curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh
keterlaluan!" ejek pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya
golok besar milik Pandemang. Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu
disapukannya terdepan. Ranablambang mengelak cepat dan dari samping
mengirimkan satu tusukan keras dengan Tombak Trisula. Tapi dia kaget
karena lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam kebingungan begitu
rupa satu benda keras menghantam kepalanya sebelah belakang. Sang
Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan mandangan berbinar-binar. Tanah
yang dipijaknya, laksana amblas dan sesaat kemudian dia tergelimpang
pingsan menyusul Pandemang. Pemuda berambut gondrong tertawa perlahan.
Diambilnya Tombak Trisula dari genggaman Ranablambang; lalu
diselipkannya di pinggang di balik bajunya.
***
Para pengawal di pintu gerbang Kotaraja sebelah timur terkejut dan juga
heran sewaktu menyaksikan seorang pemuda asing dengan menunggangi kuda
membawa dua sosok tubuh yang diletakkan di atas punggung seekor kuda
gandengan. Kejut serta keheranan mereka bertambah lagi bilamana
mengenali bahwa dua orang yang ada di punggung kuda gandengan itu adalah
Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang.
"Bukalah pintu gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk menangkapnya.
"Turun dari kuda dan serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para
pengawal! Kalian tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot!
Lekas buka pintu gerbang! Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono
selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau! Kotaraja berada dalam keadaan
darurat! Tidak sembarang orang boleh masuk! Apa lagi kau datang membawa
Pangeran Ranablambang beserta pembantunya dalam keadaan begini rupa!"
"Bicaramu
keren amat, sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan
pada Mapatih Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam! Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian mau buka pintu gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret!
Berani membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk
menyentakkan kaki pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si
pemuda telah lebih dulu menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit
itu hingga tubuhnya mencelat mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat
itu sepuluh prajurit pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan
mengeroyok si pemuda sementara seorang prajurit pengawal lainnya
menyelinap masuk ke Kotaraja guna melaporkan kejadian itu pada
atasannya.
Ketika lima orang hulubalang sampai ke tempat itu, mereka
amat terkejut menyaksikan bagaimana sepuluh prajurit pengawal
berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih kesakitan, ada
yang menggeletak pingsan sedang pemuda rambut gondrong masih tetap
berada di punggung kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-olah tak ada
terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!" bentak salah seorang
hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia segera mencabut pedangnya
membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat kencang!
"Tahan!" terdengar satu bentakan memerintah keras.
Lima
hulubalang kerajaan menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah
seorang lakilaki yang sudah berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat
orang ini, pemuda rambut gondrong segera melompat turun dari atas
kudanya dan menjura hormat seraya berkata:
"Mapatih Jayengrono… aku yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis malam tadi."
Mula-mula
Jayengrono keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu.
Namun bila dia ingat apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212 …?" sang patih bertanya.
"Betul, Mapatih," jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
Jayengrono
memandang berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal pintu
gerbang yang mulai siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa
adanya pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula yang telah dicuri itu!"
Tentu
saja semua prajurit dan hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan
main. Mana mereka menyangka kalau, si pemuda berambut gondrong
bertampang tolol itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini
sangat terkenal dalam dunia persilatan. Dengan cepat mereka membuka
pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro Sableng
ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-hadapan Jayengrono segera
bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak
Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari balik baju putihnya
dikeluarkannya Tombak Trisula. Jayengrono menerima senjata itu. Setelah
menelitinya sebentar, berserulah Mapatih Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan tersentak dari kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu …?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas
lalu memang kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika
diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau
tak percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah pedang
pajangan yang tergantung di dinding ruangan itu. Dengan pedang itu
kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung terpotong
dua!
"Lihat!" kata Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak
mungkin bisa memapas Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa
sanggup memotongnya jadi dua!"
"Kalau begitu aku telah tertipu!" kata
Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah mati.
"Aku tak salahkan
kau, Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono, "sebelumnya kau tak
pernah melihat Tombak Trisula yang asli . . . . ". Setelah saling
berdiam diri beberapa lamanya bertanyalah Jayengrono. "Apa yang harus
kita lakukan sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka," menganjurkan Wiro.
Jayengrono
menyetujui anjuran itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke
ruangan itu tanpa dilepaskan totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran
Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut
"pangeran" terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah terbuka tak
ada gunanya. kau bersembunyisembunyi lagi. Jawablah setiap pertanyaanku
dengan jujur. Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana Tombak Trisula yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang
yang bermuka kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada Jayengrono,
lalu pada potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai ruangan
dan akhirnya berkata, "Aku tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan senjata itu? Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi adalah palsu!"
"Palsu atau tidak itu bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau
telah menyuruh Dewa Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal
kerajaan itu. Ketika kau kutangkap tombak tersebut ada padamu dan
temyata palsu. Kau atau si pencurikah yang telah menukarnya dengan yang
palsu?" yang berkata ini adalah Wiro Sableng.
"Orang gendeng, aku tidak ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab pertanyaan orang gila!"
Wiro
Sableng tertawa perlahan dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku,
tapi aku tidak segilamu, Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau
cuma anak seorang gundik. Tapi mengapa menyebut diri sebagai pangeran.
Dan lebih dari itu berhasrat hendak jadi raja pula! Mana yang lebih
gila, aku atau kau?!"
Merahlah muka Ranablambang mendengar ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih, Pangeran!"
"Kalau dia tak mau menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus untuk membuatnya bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih,"
membuka suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia
betulbetul tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli
dan yang palsu".
"Lantas apa yang kau ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang mendesis.
"Sebelum
kau memenggal lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang
leher sendiri! Ayo katakan apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku tak mau bicara!" jawab Pandemang.
"Baik,
tak apa", kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang
lalu di suruhnya jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan, Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua dengan Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin
sekali Dewa Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak
Trisula yang asli lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . .
. .".
"Dugaanmu bukan mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah
kau membantuku kembali untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan
kawatir Mapatih, mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun
ruangan itu mempunyai pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan
seenaknya memilih jendela untuk jalan lewat meninggalkan ruangan
tersebut.
***

SEHABIS
meninggalkan kuil tua di lembah liar itu, Dewa Maling Baju Hitam tak
hentinya merasa geli dalam hati akan kebodohan pangeran Ranablambang
yang telah kena ditipunya. Di samping ahli mencuri, Dewa Maling adalah
seorang licik yang teramat jahat hatinya. Begitu Tombak Trisula berada
di tangannya segera dia pergi ke seorang tukang tempa dan disuruhnya
membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti Tombak Trisula yang
asli. Kemudian Tombak Trisula yang palsu itulah yang diserahkannya pada
Ranablambang.
"Dasar tolol!", kata Dewa Maling dalam hati, "kini aku
punya kesempatan untuk jadi Raja Pajang! Jadi Raja Pajang! Jadi Raja,
bukan main!".
Saking gembira dan geli akan ketololan Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa Maling tertawa gelak-gelak seorang diri.
"Orang gila dari manakah yang tertawa disiang bolong begini rupa!" satu suara tinggi membentak. Dua sosok bayangan bekelebat!
Dewa
Maling Baju Hitam terkejut, menghentikan tawanya dan memandang
berkeliling. Berubahlah paras Dewa Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua
orang gadis berjubah kuning berdiri dikiri kanannya. Siapa yang tak
kenal dengan Sepasang Iblis Betina yang berparas cantik tapi berhati
lebih kejam dari iblis?!
Untuk menghilangkan rasa terkejut dan kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru menjura hormat dan berkata.
"Ah,
Sepasang Iblis Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara tertawaku
mengganggu ketenteraman kalian. Tapi hari ini aku benar-benar gembira…"
"Apa yang menyebabkan kau gembira?" tanya Nilamaharani.
"Anu
. . . . hem …. aku menemukan sebuah kantung berisi perhiasan", jawab
Dewa Maling dan sesudah itu laki-laki ini memaki ketololannya dalam
hati. Mengapa dia harus menjawab begitu rupa?
Bukankah seribu jawaban
lainnya bisa diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani
bertanya lagi. "Mana coba kulihat kantung itu!"
Dengan masih memaki
dalam hati Dewa Maling mengeluarkan kantung yang dimaksudkannya lalu
diserahkannya pada Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi kantung itu.
Ternyata memang isinya perhiasan.
"Nasibmu memang beruntung, Dewa
Maling. Namun sayang benda ini bukan rejekimu. Iblis-iblis di neraka
telah menentukan agar perhiasan ini diserahkan padaku!".
Berubahlah paras Dewa Maling.
"Ah, rupanya memang demikian" kata Dewa Maling, "tapi lebih cocok lagi kalau perhiasan itu kita bagi dua saja …"
"Tutup mulut licikmu!" Nilamahadewi menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan Tombak Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa Maling Baju Hitam laksana disengat kalajengking. Dia undur beberapa langkah lalu tertawa.
"Kau bicara apakah, Iblis Betina?"
Nilamahadewi
balas tertawa tapi penuh kesinisan. Dan gadis ini kemudian membentak.
"Kau jangan berpura-pura pilon! Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas
serahkan Tombak Trisula itu!" Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak
Trisula? Tombak Trisula apa …? Aku betul-betul tidak mengerti!" kata
Dewa Maling masih berpura-pura sedang hatinya tambah tidak enak.
Naga-naganya bahaya perselisihan tak mungkin lagi dihindarkan. Walau
bagaimanapun dia tak bakal menyerahkan Tombak Trisula tersebut. Yang
membuat dia heran ialah bagaimana Iblis berbaju kuning ini mengetahui
bahwa Tombak Trisula tumbal Kerajaan yang asli ada padanya!
Nilamahadewi mendengus dan pandangan matanya berubah angker.
"Tombak Trisula yang kau curi dari Istana Pajang! Ayo, kau masih mau dusta?!"
"Oh
… sungguh telingamu tajam sekali, sungguh matamu terang sekali!" sahut
Dewa Maling pula sambil memainkan senyum. "Jika tombak tersebut yang kau
maksudkan, sayang telah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang karena
dialah yang menyuruh aku untuk mencurinya."
"Dan sebagai upahnya kau
dihadiahi perhiasa dalam kantong tadi bukan? Yang kau katakan kau temui
di tengah jalan?!" ujar Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali. "Terhadap lain orang kau boleh bicara dusta! Tapi terhadap kami awas!"
"Sungguh mati Tombak Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya
yang bernama Pandemang menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa Maling
masih mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
"Memang… memang telah kau serahkan pada si Ranablambang, tapi bukan tombak Trisula yang asli, melainkan yang palsu!".
Berobahlah paras Dewa Maling Baju Hitam. Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan aku Sepasang Iblis Betina. Karena masih ada lain urusan aku mohon diri!"
Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam cepat-cepat hendak berlalu. Tapi…
"Eeee
… ee… ee! Mau ke mana Dewa Maling?! Apa kau tidak punya telinga? Mana
Tombak Trisula itu?!" tanya Nilamahadewi dan cepat menghadang jalan Dewa
Maling.
"Maaf Iblis Betina, aku tak bisa bicara panjang lebar lagi.
Jika kau inginkan Tombak Trisula, mintalah langsung pada Pangeran
Ranablambang."
"Kurang ajar! Masih berani mempermainkan aku!" teriak
Nilamahadewi marah. Dia menerjang ke depan seraya mendorongkan telapak
tangan kirinya. Serangkum angin keras menyambar ke dada Dewa Maling Baju
Hitam. Yang diserang cepat berkelit, menjatuhkan diri lalu berguling
aneh di tanah dan sesaat kemudian dia sudah berada lima belas tombak
jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu!
"Caramu lari boleh juga! Tapi jangan harap bisa kabur mentah-mentah dari hadapanku!"
kertak
Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompatan yang disebut "katak
sakti melompati gunung", tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat
kemudian sudah menghadang di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
Kaget
Dewa Maling Baju Hitam bukan alang kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak
dapat dihindar dan untuk laripun tak mungkin, begitu berhadap-hadapan
Dewa Maling segera mengirimkan satu tendangan ke uluhati Nilamahadewi.
Serangan ini dengan mudah bisa dikelit oleh Nilamahadewi namun dia
terperdaya. Tendangan yang dilancarkan lawan hanyalah tipuan belaka
karena di saat dia bergerak mengelak, satu jotosan keras dari samping
kiri hampir saja meremukkan batok kepalanya kalau dari jurusan lain
kakaknya tidak datang membantu!
"Dasar iblis! Beraninya main keroyok!" bentak Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau berani memaki, bagus! Kupuntir lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah
kalian berdua! Aku tidak takut!" jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru
saja dia berkata begitu selarik sinar berkilauan menyambar membuat kedua
lawannya tersentak kaget dan mundur!
Temyata Dewa Maling Baju Hitam
telah mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan senjata itu menyerang kedua
lawannya. Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti yang tak bisa
dibuat main maka Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih
untung tombak mustika itu berada di tangah lawan seperti Dewa Maling,
kalau di tangan seorang lawan yang jauh lebih tinggi kelihayannya pasti
mereka akan mengalami kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat itu
keduanya tak mau bertindak gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa
Maling bersiut-siut laksana hujan mencurah. Sepasang Iblis Betina
bergerak gesit. Hanya bayangan warna baju mereka yang kuning kini yang
kelihatan berkelebat kian kemari. Dewa Maling mempercepat putaran
serahgannya. Dia tahu dirinya berada di atas angin dan kedua lawan tak
berani maju mendekatinya. Enam jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar
suara dua pekik yang keras dan menegakkan bulu roma. Di saat itu pula
bayangan-bayangan kuning lenyap dari hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis
Betina laksana gaib. Dewa Mating berlaku cerdik. Dia tak mau
menghentikan putaran tombak yang sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil
terus berbuat begitu sepasang matanya berputar memandang berkeliling
dengan tajam. Sebelum dia berhasil mengetahui di mana kedua lawannya
berada mendadak setiup angin dingin berhembus keras dari samping kiri.
Dewa
Maling terkejut. Tombak Trisula hampir saja terlepas dari tangan
kanannya. Namun dia selamat dari pukulan "es iblis" yang amat berbahaya
yang telah dilepaskan oleh Nilamaharani dari atas cabang pohon di
sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak mustika itulah yang telah
menyelamatkan Dewa Maling. Kalau hanya mengandalkan kekuatannya sendiri
mungkin dia sudah mendapat celaka saat itu.
Baru terlepas dari bahaya
maut itu, Dewa Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan sinar kuning
yang datang dari samping kanan. Sekali lagi Tombak Trisula
dibabatkannya. Meskipun kali ini untuk kedua kalinya dia berhasil
menyelamatkan diri namun Dewa Maling menjadi gugup sewaktu dari depan
dan dari belakang kembali setiup angin dingin luar biasa menyambar dan
dari depan selarik sinar kuning menderu. Hanya ada dua jalan untukc
menyelamatkan diri dari dua serangan ganas meminta jiwa itu.
Pertama
memutar Tombak Trisula. Namun ini masih memberi kesempatan salah satu
serangan akan melanda tubuhnya Dewa Maling yaitu bila gerakannya
menangkis kalah cepat dengan perbawa dua serangan tersebut. Cara kedua
ialah dengan melompat ke atas! Dan cara inilab memang yang paling baik.
Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling menjejakkan kedua kakinya. Sambil
memutar Tombak Trisula di sekeliling tubuhnya, Dewa Maling melesat ke
udara setinggi tujuh tombak.
"Buk"!
Satu pukulan keras menghantam
bahu kanan Dewa Maling. Tulang selangkanya patah remuk. Jerit Dewa
Maling setinggi langit. Ketika dia terguling di tanah dan bangun dengan
tertatih-tatih baru disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi dalam
genggaman tangan kanannya!. Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu
kini dilihatnya berada di tangan Nilamaharani yang berdiri dengan
bertolak pinggang dan menyunggingkan senyum mengejek!
Dewa Maling
menggerutu setengah mati! Pada waktu dia melompat ke udara tadi.
Nilamaharani yang berada di belakangnya tanpa diperhitungkan lagi oleh
Dewa Maling, telah menyusupkan satu pukulan tapi tangan yang keras dan
sekaligus berhasil merampas Tombak Trisula dari tangan Dewa Maling.
"Manusia-manusia
haram jadah," maki Dewa Maling secara menggerakkan tangan mengeluarkan
senjatanya yakni sebuah suling berwarna hijau, dan mendekatkannya ke
bibir. Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah
menyerbu dengan Tombak Trisula!
"Keparat!", maki Dewa Maling. Dia
terpaksa melompat jauh dan sejak detik itu tak punya kesempatan lagi
untuk mempergunakan suling hijaunya karena setiap saat dia dibikin sibuk
oleh serangan Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan
pukulan-pukulan tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
"Kalau aku bertahan terus, lama-lama aku bisa mampus percuma di sini," membatin Dewa Maling Baju Hitam.
Sambil
mengelakkan satu tusukan tombak yang dilancarkan Nilamaharani, dengan
gerakan yang tidak kelihatan oleh kedua lawannya, Dewa Maling mengambil
sebuah benda sebesar tutup botol berwarna hitam.
"Betina-betina edan!" teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. "Jika kalian benar-benar lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu
dengan tangan kirinya Dewa Maling Baju Hitam melemparkan benda
tersebut. Nilamaharani juga menyangka bahwa benda hitam itu betul-betul
satu senjata rahasia, tak ayal lagi segera menyapu dengan Tombak
Trisula. Begitu benda hitam dan Tombak risula beradu, terdengar suara
letupan dan asap hitam yang amat tebal bertebar dengan cepatnya di
seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata yang bagaimanapun tajamnya.
"Kurang
ajar! Kita tertipu!" seru Nilamaharani. Dan betul saja. Ketika asap
hitam lenyap, Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi mata hidungnya
di situ!
***

SETELAH
berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan Sepasang Iblis
Betina dan mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling Baju Hitam
timbullah dendam kesumat untuk menuntut balas. Di samping itu dia
bertekat bulat untuk mendapatkan Tombak Trisula kembali. Namun
disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya
dengan mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam
segera menemui beberapa orang kawan satu alirannya. Maka sewaktu hari
menjelang malam, bersama orang-orang itu dia berunding di satu pondok,
mengatur rencana batas dendam dan merampas Tombak Trisula. Mereka
berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. Di samping kanan
Dewa Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih
tepat kalau di katakan katai. Si katai ini berkepala botak licin
berkilat berlawanan dengan kepalanya yang licin plontos itu, mukanya
penuh ditumbuhi berewok atau cambang bawuk yang meranggas liar karena
tak pernah dicukur. Siapakah adanya pemuda ini?
Dia adalah Warok
Kate, seorang pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan Jatiluwak.
Ilmunya tinggi karena dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti yang
kemudian menyeleweng jadi orang jahat. (
Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1 cersil : Pedang Sakti Keris Ular Mas; karangan Bastian)
Orang
kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang
laki-laki yang cuma punya satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya
merupakan rongga hitam yang mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun
memelihara berewok yang teramat lebat. Tampangnya bukan saja seram tapi
juga bengis kejam. Dia bernama Baraka Seta, yang mendapat julukan Buaya
Mata Satu Dari Kali Progo karena bersama beberapa anak buahnya dia sejak
lama menjadi buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja
yang melewati Kali Progo, pastilah, akan dirampok dan para penumpangnya
dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka menyerahkan barang-barang
secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam.
Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya senantiasa pucat macam orang mau, mati
besok sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia mengenakan jubah
,’ ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan
nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan bangsa
maling atau perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan seorang
tokoh golongan hitam yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang
jahat.
"Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita
hadapi. Kedua Iblis Betina itu memang sakti dan berkepandaian tinggi.
Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat ini masakan
keduanya bisa berkutik?!"
"Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan lewat," kata Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu
hari anak buahku merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara
Kali Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli
hasil rampokan mereka. Anak buahku melawan. Lima orang dibunuh
mentah-mentah, seorang masih sanggup melarikan diri dengan jalan
menyelam di sungai secara diam-diam lalu melaporkan kejadian itu
kepadaku. Sewaktu aku mendatangi muara sungai, bangsat-bangsat betina
itu sudah kabur bersama barangbarang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi tempat mereka?"
"Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok
Kate mencabut golok besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang
amat tajam dari senjata itu dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah,
golok! Malam ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa
mengekeh disarungkannya senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari kita berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara menegur.
"Seorang tamu datang, masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga kambratnya lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar?!"
"Seorang tamu".
"Siapa
nama dan datang dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya
begitu diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu
belakang dan menyelidik.
"Aku datang dari Kotaraja." terdengar
sahutan si tamu malam yang masih berada di luar pondok. "Aku diutus oleh
Mapatih Jayengrono untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa Maling."
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo serta
Setan Ungu Muka Pucat keluar pula meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal
seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!"
"Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku Wiro Sableng!"
Bagai
dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa
Maling Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan diam-diam merasa
menyesal mengapa telah menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan pondak
hingga dia tinggal sendirian di situ dalam kekhawatiran yaitu setelah
mendengar orang di luar pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212
Wiro Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau ada
hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau."
"Kau
tak usah kawatir pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku
sudah kusuruh pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam
dikeluarkannya seruling hijau yang berisi racun jahat lalu menunggu Wiro
Sableng di depan pintu. Begitu si tamu masuk akan segera disemburnya
dengan racun tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu
Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka Pucat merasa amat heran. Meskipun
dia jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan tamu yang
mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya sama sekali tidak
melihat Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok Dewa
Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang beracun. Dia
tersentak seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu dibelakangnya
terdengar suara orang menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku masuk lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri menutupkan pintu sambil menyeringai kepadanya.
"Kau …. kau Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama
ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan tak pernah melihat orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda
berambut gondrong dan bertampang seperti orang dogol itu mana dia mau
percaya kalau pemuda itulah Pendekar 212 Wiro Sableng? Rasa ngeri yang
sebelumnya menyungkup diri Dewa Maling dengan serta merta lenyap. Dan
suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!"
kata Dewa Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan
menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih
belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya
marah malah ikut tertawa gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa bagaimana
lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar keras!
"Kacung atau
apapun kau bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak Trisula!"
kata Wiro kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku kawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong sendiri!" ujar Dewa Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia bermaksud mengadu domba kau dengan aku!"
Wiro tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu adalah yang palsu! Mana yang asli?"
"Hem,
rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku
terangkan yang sebenarnya padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari
sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula
yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling
dengan geram. "Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan bicara bohong, Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat
itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya
Mata Satu berdiri di belakang Pendekar 212 sedang dari pintu depan
masuk Setan Ungu Muka Pucat. Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka
Pucat berkata:
"Manusia keras kepata macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia
muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak
pasti aku sudah menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan Ungu Muka
Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala tapi parasnya masih
tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang
berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212. Namun
gerakannya itu terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan jiwanya."
Dewa
Maling berpaling pada Wiro dan bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut
kami ke tempat Sepasang Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa
sudi?!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga
kawan-kawanmu yang tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika
itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!"
bentak satu suara di belakang Pendekar 212. Satu benda kemudian
terdengar bersiur ke arah pemuda ini. Tanpa menoleh, dari suara sambaran
angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa yang menyerangnya dari
belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak ke kanan.
Bila dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan
menendangkan kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok
Kate. Golok besar yang dipakainya untuk menyerang terlepas mental sedang
lengannya sakit bukan main akibat tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini
terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala
rampok berilmu tinggi dan luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar
hanya dalam satu gebrakan saja?! Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari
Pendekar 212 tidak kosong belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju Hitam.
Dengan senjatanya yang berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar 212.
Kalau
tadi dia merencanakan untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun
senjata tersebut, kini hal itu tak berani dilakukannya karena khawatir
akan mencelakakan kawan sendiri. Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling
adalah satu tusukan kilat yang berbahaya. Namun tidak demikian mudah
untuk merobohkan murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan
kilat itu. Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat
yang hendak membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan
sama-sama beradu. Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir
agar keluh kesakitan tidak keluar dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan
ketika diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet merah! Melihat
ini Setan Ungu Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni sebuah
tasbih berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata Satu Dari Kali Progo
telah pula mencabut pedang besar sedang Warok Kate setelah mengambil
senjatanya yang tadi terlepas, terus pula menyerbu. Dalam pondok yang
sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212 dikeroyok oleh empat tokoh
silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro tahu adalah gila
kalau dia menghadapi keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan
kosong. Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena "disate"
senjata-senjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan tangan untuk
melepaskan pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi pemuda
ini segera mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya.
Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni 212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat kawankawannya.
Peringatan
itu tak ada gunanya karena sesaat kemudian terdengar suara "cras" yang
dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke
dinding pondok dan akhirya roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan
Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia
melupakan keselamatan kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta
merta ditiupnya sulingnya. Sinar hijau bertabur manik-manik merah
menyembur ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sudah maklum betapa
jahatnya racun dalam sinar itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga
Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik merah tersapu
ke kiri di mana Setan Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi begitu
racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu Muka Pucat terbatuk-batuk
beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau muntah.
Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir
membasahi ludah.
"Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!" teriak
Warok Kate yang jadi penasaran melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak
mungkin diselamatkan lagi jiwanya. "Terpaksa kubatalkan niat untuk ikut
bersamamul Kau bertempurlah seorang diri melawan pemuda itu!".
Habis
berkata demikian Warok Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok,
lenyap di kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju
Hitam. Segera pula dia memutar tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi
kesempatan lari pada yang satu ini. Sebelum Dewa Maling mencapai pintu,
Kapak Naga Geni 212 telah membabat putus salah satu kakinya. Dewa
Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan.
"Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan jiwamu." kata Wiro.
"Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis Betina ….!"
"Di mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah
sama setan neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk
ke jantungnya dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro
menggeledah pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
***

MENURUT
keterangan yang didapat oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman
Sepasang Iblis Setina terletak di daerah berbukit-bukit di seberang
hutan Bintaran. Lima hari mengadakan penyelidikan dia samasekali tak
berhasil menemukan sarang kedua gadis jahat tersebut. Selama ini Wiro
telah mendengar perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan oleh
Sepasang Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa justru
laki-laki muda dan yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban
kedua gadis tersebut?
Hari keenam berlalu. Wiro Sableng memutuskan
bila sampai hari ketujuh dia masih belum berhasil menemukan kedua orang
yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat tersebut dan mencari
keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada
pagi hari ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di dalam
Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu
sepasang kaki putih mulus dilihatnya melangkah lembut di antara
semak-semak jauh di hadapannya. Pemuda itu cepat naik ke darat dan
mengenakan pakaiannya, lalu menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan
hati pendekar muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu pemilik
kaki yang bagus tadi muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia
adalah seorang dara berparas cantik sekali. Wiro mengingat-ingat
beberapa orang gadis cantik yang pemah ditemuinya. Namun harus diakuinya
bahwa yang satu ini adalah yang paling cantik yang pernah dilihatnya.
Gadis ini mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek berwama biru tua
berbungabunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi besar. Dara ini
kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya sewaktu sepasang matanya
yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar 212.
"Di pagi yang
segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali rasanya
hidup ini …." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia tersenyum.
"Nona, siapakah kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis. Sang gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau
datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah
perduli aku kalau memang tak sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan
mengganggumu." Pemuda ini membalikkan badan dan merapikan pakaiannya.
Di dengarnya gadis itu melangkah ke tepi telaga. Lalu didengamya suara
kendi dimasukkan ke dalam air telaga. Sewaktu Wiro Sableng berpaling,
dilihatnya gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si gadis membuang
muka sewaktu pandangan mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang muka. Orang melengah memperhatikan …" kata Wiro dalam hati.
Kemudian
tanpa acuhkan gadis itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang
membuat dia terkejut sewaktu di dengamya gadis itu berseru. "Saudara,
tunggu …. !"
Wiro Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah sana…."
"Eh… Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ….?" tanya Wiro.
"Daerah
sebelah sana berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga
karena kendi yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu? Banyak binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi tahu."
"Kau tahu betul tempat kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng. "Tapi percayalah…" katanya. "mereka sering muncul di jurusan yangtadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya.
Setiap hari aku ke sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan
sesuatu tapi tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di
dengamya suara gemerisik rantingranting. Dia berpaling dengan cepat
lalu melompat ke jurusan ranting dan semak belukar. Jelas dilihatnya
bayangan kuning berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di situ
bayangan tersebut lenyap laksana ditelan bumi. Wiro ingat pada
keterangan yang diterimanya yaitu bahwa Sepasang Iblis Betina senantiasa
mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil bayangan kuning tadi adalah
bayangan salah seorang dari mereka. Dengan perlahan-lahan dia kembali
menemui si gadis. Di lihatnya gadis ini berdiri menggigil dengan muka
pucat.
"Tak usah kawatir. Tak ada apa-apa…." kata Wiro menenangkan.
"Waktu
aku bicara tadi, sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku
takut sekali, saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat itu …."
"Kau ditipu pemandanganmu sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak enak.
"Aku sudah memeriksa tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali cepat-cepat. Tapi … tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa
banyak cerita lagi kedua orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak
selang berapa lamanya, dihadapan serumpun semak belukar lebat gadis itu
berhenti. Dengan tangan kanannya disibakkannya semak-semak tersebut lalu
berpaling pada Wiro dan berkata, "Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini ….?"
Jawaban
si gadis tak terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk
ke dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong
batu yang bersih dan bagus hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan
besar yang diterangi oleh sebuah pelita aneh. Pelita itu merupakan
sebuah kayu hijau yang ditancapkan di dinding ruangan. Bau harum aneh
menyentuh penciuman Wiro Sableng. Dia memandang berkeliling. Ruangan itu
indah sekali. Si gadis menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam
ruangan itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran darahnya: Untuk
beberapa lamanya diperhatikannya pelita aneh di dinding yang dilihatnya
semakin redup cahayanya sedang bau harum semakin mempengaruhi dirinya.
Darahnya menyentak-nyentak dan nafasnya memburu panas. Semua ini
menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera dikerahkannya tenaga
dalam dan ditutupnya penciumannya.
Selang beberapa ketika si gadis
muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama dengan sebelumnya namun
kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang redup sekalipun
sanggup merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata Pendekar
212 Wiro Sableng menyipit.
"Gurumu mana…?" tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di hadapan Pendekar 212.
"Ada apa dengan dirinya?"
"Dia
kejam sekali. Sejak aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan
laki-laki. Kau tentu tahu bagaimana perasaan seorang dara yang sudah
menginjak alam dewasa seperti aku ini…."
"Aku mengerti…" sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa aku ke mari?"
"Beliau sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem
. . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis
menggiurkan dan menyatakan perasaannya tentang kerinduan terhadap
seorang laki-laki kepada seorang laki-laki. Aliran darah Wiro Sableng
semakin menggelora panas. Denyut nadinya tambah cepat. Dan di antara ke
semua itu perasaan adanya bahaya semakin besar. Dia ingat bagaimana dulu
dia tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang seorang dara yang kemudian
dara itu ternyata hendak merenggut jiwanya. Apakah gadis yang satu
inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara mereka.
"Sebutkan namamu dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya. "Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski
bibir si gadis merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak
bisa ditipu. Pada bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan
sinar aneh saat itu dan genta tanda bahaya semakin keras mengumandang di
telinganya, menyuruhnya berhati-hati.
"Namamu sendiri siapa, nona . .
. . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri sementara itu jalan
pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani . . . . ", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita hijau kembali merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku
sudah menyiapkan minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro,"
kata Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro
berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona …."
kata murid Eyang Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus
percuma."
Ruangan yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh
bersinar redup. Satu-satunya perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah
tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang bagus berseperai kuning
itu berbentuk meja panjang di mana terletak dua buah cangkir. Wiro
merasa tidak enak begitu melihat wama seperai di hadapannya, namun
seolah-olah tak ada apa-apa dengan tenang dia duduk di tepi terlipat
tidur sewaktu Nilamaharani mempersilahkannya. Meski saat itu perasaan
adanya bahaya semakin keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum
mengetahui siapa sebenarnya dara jelita yang bernama Nilamaharani itu.
"Silahkan
minum, Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir
ke tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan
hingga betis dan pahanya yang putih tersingkap menantang.
Wiro
Sableng mendekatkan bibir cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh
wangi yang ada dalam cangkir itu berwama aneh, agak berminyak-minyak di
sebelah atasnya. Dia yakin minuman itu telah dicampur dengan racun
jahat namun selama Kapak Naga Geni 212 masih tersisip di pinggangnya,
selama senjata ampuh penangkal segala macam racun itu masih ada padanya,
dia tidak takut racun jahat apapun di atas dunia ini.
Tanpa
ragu-ragu diteguknya teh itu sampai habis. Perutnya terasa hangat.
Kemudian dari gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya hawa dingin
menyelusup ke dalam perutnya. Untuk beberapa ketika dia merasa seperti
digelitik kemudian segala sesuatunya seperti biasa kembali. Hawa dari
Kapak Naga Geni 212 telah punahkan racun jahat dalam perutnya!
"Tehmu
enak sekali dan terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir
kepada Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam
diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah kau membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus menerus dibendung…?"
"Pertanyaanmu agak aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan bagaimana akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan meledak pecah."
Nilamaharani menganggukkan kepalanya.
"Itulah
yang terjadi selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku
berhubungan dengan laki-laki. Melarang … melarang dan akhirnya sewaktu
aku berhadapan dengan seorang laki-laki, dengan seorang pemuda macammu
ini, aku tidak tahan Wiro. Mungkin ini adalah ucapan yang tidak pantas
tapi aku benar-benar tidak tahan…"
Wiro Sableng menggeser duduknya sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau
seorang yang suka berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya
memegang bahu gadis itu. Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang
pada orang yang bersifat seperti itu."
"Kau senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani
menjatuhkan kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu
erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya
jalan pernafasannya. Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani.
Diciumnya kepala gadis itu. Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis
yang telah berubah laksana seekor singa kelaparan, Nilamaharani
merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya di pembaringan.
"Kau harus
melakukannya untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku…" Sepasang
kaki Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro
Sableng. Nafasnya membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng lupa diri.
Nafsunya menggelora. Kedua tangannya menggerayang di atas tubuh si
gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan kalajengking secara
sekaligus. Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan. Matanya
memandang membelalak pada tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas
tempat tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina! Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki …?! Gila! Terkutuk!" teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani
memekik marah. Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan
kedua tangannya yang terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke
dinding. Untuk kedua kalinya Nilamaharani memekik dan yang sekali ini
dari kedua tangannya menyambar dua larik sinar kuning.
"Pukulan es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis Betina, hah?"
Nilamaharani
memekik lagi macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya dan
secepat kilat memukul ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu
menggelegar sewaktu pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro
berhantaman dengan pukulan "es iblis" yang dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia
banci keparat. Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!"
teriak Wiro seraya melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu
sinar yang menyilaukan memapas pukulan sinar matahari. Satu benda
bermata tiga hampir saja menyambar leher pemuda itu kalau dia tidak
lekas-lekas melompat ke belakang. Ketika dia memandang ke depan di
samping Nilamaharani yang saat itu sudah mengenakan pakaian, berdiri
seorang gadis berjubah kuning yang parasnya secantik Nilamaharani. Dan
di tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga. Tombak Trisula!
Senjata mustika inilah yang telah memapas musnah pukulan sinar matahari
Wiro tadi!
"Bergundal baju kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki seperti dajal satu ini…"
"Tutup
mulut kotormu, bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah
Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan
dengan Tombak Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu
serangan pukulan sakti yang hebat. Satu teriakan dahsyat keluar dari
mulut Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung. Sinar putih berkiblat dan "trang"! Tombak Trisula di tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak!
Pemuda ini bukan tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru
Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan dan
sama-sama menekan dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan
keduanya segera menghambur masuk ke pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih
cepat lagi. Tubuhnya laksana terbang. Dari mulutnya keluar suara suitan
nyaring dan Kapak Naga Geni 212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu
menjerit dan tergelimpang di mulut pintu rahasia. Pinggang masing-masing
hampir putus dilanda Kapak Naga Geni 212. Untuk seketika mereka masih
kelihatan bergerak-gerak sesudah itu kaku tegang untuk selama-lamanya.
Pendekar
212 Wiro Sableng membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di
lantai sementara Kapak Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian
putihnya. Dia melangkah mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung
Tombak Trisula disingkapkannya jubah kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!" maki Pendekar 212. "Dia juga lakilaki! Sialan!"
Tanpa
menunggu lebih lama lagi Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu.
Sepasang Iblis Betina telah menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus
segera diserahkannya pada Mapatih Jayengrono di Istana Pajang.
TAMAT