dinihari
gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya
telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana
kelihatan mendung sekali. Kokok ayam dan kicau
burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu
tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada bercahaya itu. Di
lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain
selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya. Janggutnya yang
putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua
ini menengadah memandang kelangit. "Mendung sekali pagi ini…" katanya
dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan teratak
itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang. "Untung! Kau kemarilah . . . " Meski
umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari
mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang
pemuda sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan.
Dia mengenakan sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup
kelihatan bidang tegap penuh otot-otot. "Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya. Si
orang tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris
Mustiko Jagat yang kubikin sudah hampir siap …" berkata orang tua itu,
"cuma ada beberapa bagian yang harus di pertajam. Pergilah cari
kayu-kayu kering untuk api penempa. Aku kawatir kalau hujan turun kau
tak bisa mencari kayu-kayu kering. . . " "Persediaan kayu yang kukumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung Pararean. "Ya, sudah habis. Nah kau pergilah dan cepat kembali." Untung
Pararean segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah
kembali dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu kanannya. "Bawa terus kedalam Untung, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko Jagat dari dalam lemari." "Baik Empu", sahut Untung Pararean. Sementara
pemuda itu menyalakan api, Empu Bharata mengisi sebuah mangkok tanah
dengan air bening lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian
yang telah menyala disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi dengan
setanggi dan kemenyan sehingga suasana di dalam teratak tua itu harum
semerbak baunya. "Kalau Mustiko Jagat sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk memberikan sumbangan pada Kerajaan…" "Aku
tak mengerti maksud kata-kata Empu," kata Untung Pararean pula sambil
menyeka butirbutir keringat yang terbit dikulit keningnya akibat
panasnya perapian. Orang tua itu mengelus janggutnya yang panjang.
Dua bola matanya bersinar-sinar. "Mustiko Jagat adalah sebilah keris
sakti, Untung. Tujuh tahun aku menempanya bukanlah satu masa yang
singkat. Seorang yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat apapun, jika
memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan aneh tapi
sakti hingga ia menjadi seorang jago yang sukar untuk dikalahkan.
Disamping itu, Mustiko Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa
menjadi obat segala macam racun jahat. Dan senjata sakti itulah yang
bakal kuserahkan pada Sri Baginda untuk mempertahankan Kerajaan dari
segala macam bahaya dan malapetaka. Dan kau Untung … kaulah nanti yang
akan kuutus untuk menyampaikan Mustiko Jagat ke istana." "Jadi senjata yang bertahun-tahun Empu buat ini hendak diserahkan pada Kerajaan?" tanya Untung Pararean heran. "Ya." "Aku kira tadinya untuk Empu pakai sendiri." Empu Bharata tertawa pelahan. "Aku
sudah tua, Untung. Sebentar lagi bakal mati. Dan kalau aku mati tak
satupun yang akan kubawa ke liang kubur, Disamping itu apakah sumbangan
dan balas jasaku kepada tanah air dan Kerajaan? Keris sakti itu berguna
bagi Kerajaan dan bagi anak-anak cucuku … termasuk kau." Untung Pararean berpikir sejenak. Lalu tanyanya, "Apakah Mustiko Jagat boleh dipakai untuk membunuh, Empu… ?" "Boleh! Memang boleh! Tapi untuk membunuh manusia-manusia jahat. Tegasnya untuk menumpas kejahatan dari muka bumi ini." "Dan kalau dipakai untuk membunuh orang baik-baik, bagaimana Empu?" tanya Untung Pararean pula ingin tahu. "Itu
berarti melakukan satu kejahatan besar. Yang melakukannya akan berdosa
besar. Dan setiap kejahatan sudah barang tentu ada pembalasannya," jawab
Empu Bharata. "Nah, sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam
lemari." "Baik Empu." Untung lalu masuk kedalam sebuah kamar. Di
kepala tempat tidur yang terbuat dari jambu terletak satu lemari kayu
jati. Ketika lemari dibuka, sinar biru yang amat terang rnerambas
keluar. Itulah sinar keris Mustiko Jagat yang terletak diatas sehelai
kain putih. Keris itu sengaja tidak dimasukkan ke dalam sarungnya karena
ada beberapa bagian yang masih belum diperhaluskan dan dipertajam.
Untung Pararean pernah mendengar dari Empu Bharata bahwa senjata sakti
apa saja sebelum selesai benar tak boleh dimasukkan kedalam sarungnya.
Apa sebabnya Untung Pararean pernah menanyakan pada orang tua itu, tapi
Empu Bharata tak mau menerangkannya. Meskipun sudah pernah beberapa
kali disuruh oleh Empu Bharata untuk mengambil senjata ini tapi saat
itupun kedua tangan Untung Pararean menjadi bergetar sewaktu mengangkat
kain putih di mana keris Mustiko jagat terletak. Dirasakannya ada satu
hawa aneh mengalir dari keris sakti kelengannya. Dengan menanting
senjata itu di kedua tangannya Untung Pararean keluar dari Kamar. Empu
Bharata dlihatnya sudah duduk dimuka perapian membelakanginya, tengah
mengatur-atur perkakas. Dalam melangkah mendekati orang tua itu
tiba-tiba selintas pikiran jahat muncul di benak pemuda ini. Selintas
pikiran jahat itu datangnya seperti satu bisikan melalui telinga Untung
Pararean. "Untung Pararean, kenapa kau begitu buta hingga tak melihat
kesempatan baik di depan matamu? Bukankah sudah sejak lama terniat di
hatimu hendak menjadi pendekar sakti mandraguna, hendak memiliki keris
Mustiko Jagat itu? Kau tunggu apa lagi? Kau punya kesempatan untuk
memiliki keris itu sekarang!" "Tapi Empu Bharata tentu akan marah," jawab kata hati Untung Pararean. Dan
suara aneh jahat berbisik lagi ketelinga pemuda itu. "Tolol, sungguh
kau pemuda tolol! Kalau orang tua itu marah padamu, tusuk saja dia
dengan Mustiko Jagat. Bunuh! Dan kalau dia sudah mati, kau bisa memiliki
keris itu dan kau akan jadi pemuda sakti mandraguna, ditakuti di
delapan penjuru angin. Disamping itu jika namamu sudah dikenal kau akan
mudah menduduki jabatan Perwira Bala tentara Kerajaan! Perwira … !
Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi dan terhormat itu? Ayolah!
Bunuh orang tua tak berguna itu!" "Kalau aku membunuhnya berarti aku
berbuat dosa," kata hati Untung Pararean, "dan aku jadi orang jahat.
Lalu kelak aku bakal menerima pembalasan!" "Betul-betul kau tolol
orang muda! Jika keris itu sudah berada ditanganmu, jika kau sudah
menjadi seorang sakti mandraguna siapa yang sanggup dan berani turun
tangan terhadapmu? Kalau tidak kau bunuh si tua renta itu, kau bakal
menjadi manusia tak berharga, jadi hamba sahaja seumur-umurmu!" Di
diri Untung Pararean saat itu seolah-olah terjadi perang tanding antara
kejahatan dan kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini berpijak dan bertahan
diatas kebenaran namun lama-lama, dalam detik-detik yang mencapai puncak
ketegangan itu, kebenaran yang ada dalam dirinya berhasil ditumbangkan
oleh kejahatan yang melanda hati dan jalan pikirannya! Ketika dia
cuma tinggal dua langkah dari tubuh Empu Bharata yang duduk bersila
menghadapi alat-alatnya dan perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil
keputusan bahwa dia harus membunuh si orang tua! Digenggamnya hulu keris
Mustiko Jagat erat-erat. Sesaat kemudian senjata itu dihunjamkannya ke
punggung kiri Empu Bharata. Orang tua itu mengeluh tinggi, tubuhnya
tersungkur di muka perapian, darah cepat membanjiri punggung dan
selempang kain putihnya, tapi dia belum lagi menghembuskan nafas
penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur dimakan umur dan
dijelang ajal itu memandang sayu tapi mengerikan pada Untung Pararean
yang berdiri, dengan keris Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan
kanannya. "Pemuda dajal …" desis Empu Bharata diantara nafasnya yang
mulai menyengal. "Apakah yang membuat kau sampai melakukan kejahatan
terkutuk ini terhadapku …?" Tenggorokan orang tua itu turun naik
beberapa kali lalu. "Aku tahu . . . aku ta … hu. Kau inginkan keris itu
bukan?" Empu Bharata menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki Mustiko
Jagat, manusia jahat. Tapi apa yang kau lakukan terhadapku kelak akan
mendapat balasnya di kemudian hari. Demi para Dewa di Swar … swargalo …
ka … kelak kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat juga. Dan .,. se
sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir ba . . . ba…" Ujung
kata-kata yang diucapkan Empu Bharata lenyap oleh suara guntur yang
menggelegar dengan tiba-tiba. Di luar teratak kilat menyambar, lalu
suara guntur lagi dan sesaat kemudian hujan lebat turun membasahi bumi,
seakan-akan alam ciptaan dan Kuasa ini turut menyaksikan dan menangisi
kematian Empu Bharata. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri
mematung dengan bulu kuduk merinding. Ketika diperhatikannya paras Empu
Bharata, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup sedang dari mulutnya
membuih darah kental akibat racun keris Mustiko Jagat yang amat berbisa.
Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Untung Pararean ke dalam
sarungnya. Karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus,
senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal
diluar kira-kira setengah senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung
Pararean. Dia masuk ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta
barang-barangnya lalu dibawah hujan lebat yang mencurah bumi pemuda itu
berlari menuruni lereng timur Gunung Slamet. Seminggu sesudah
dibunuhnya Empu Bharata kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki,
Gunung Slamet. Demikian cepat larinya hingga hanya bayangan jubah
putihnya saja yang terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini telah
mencapai teratak tua tempat kediaman Empu Bharata. Begitu muncul disitu
begitu orang ini berseru, "Dimas Bharata, aku datang!" Suara seruannya
yang keras menggetarkan seantero tempat hanya disahuti oleh gema seruan
itu sendiri. "Heran, kenapa sepi-sepi saja." membathin orang ini.
Tubuhnya bungkuk, badannya yang kurus kering macam tengkorak hidup itu
tertutup oleh sehelai jubah putih yang kotor dan bertambal-tambal.
Mukanya bopeng buruk sekali. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah kena
air mengumbar bau yang tidak sedap, ditambah lagi dengan bau jubahnya
yang kotor. "Dimas Bharata, Untung Pararean, apa kalian tuli hingga
tak mendengar kedatanganku?!" seru si muka Bopeng. Dia melangkah
besar-besar ke pintu teratak yang terbuka lebar. Sampai diambang pintu
mendadak sontak langkahnya terhenti. Sepasang kakinya yang kurus kering
itu laksana dipantek ke lantai tanah. Tapi hanya sesaat. Sedetik
kemudian dia sudah menghambur masuk dan menjatuhkan diri disamping mayat
Empu Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu Bharata. Meski mayatnya
sudah seminggu menggeletak namun masih tetap utuh dan tidak busuk hingga
kalau tidak memperhatikan bekuan darah yang terdapat dipunggung dan di
lantai, orang tua itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah tidur
nyenyak. "Dimas Bharata! Siapa yang melakukan ini? Siapa yang membunuhmu?!" teriak si muka Bopeng. Namanya Gambir Seta. Tapi
didunia persilatan dia lebih dikenal dengan nama gelaran yaitu Pengemis
Sakti Muka Bopeng, dan dia adalah kakak kandung Empu Bharata. Seperti
orang gila Pengemis Sakti Muka Bopeng terus juga berteriak-teriak
menanyakan siapa yang telah membunuh adiknya. Tapi siapakah yang akan
memberikan jawaban?! Dengan bercucuran air mata didukungnya mayat
adiknya. Dia hendak meninggalkan teratak itu tapi ia ingat sesuatu dan
menghentikan langkan lalu memandang berkeliling "Untung! Untung
Pararean, dimana kau?!" serunya memanggil. Tak ada jawaban. Dia
berteriak lagi tetap saja tak ada yang menyahut karena memang Untung
Pararean sudah tidak ada di tempat itu lagi. Hati laki-laki ini menjadi
syak wasangka. Dia masuk ke dalam kamar yang diketahuinya sebagai kamar
si pemuda pembantu adiknya dan menggeledah. Tak satu potong pakaianpun
ditemuinya disitu. Juga dengan masih mendukung mayat adiknya,
Pengemis Sakti Muka Bopeng kemudian masuk ke kamar Empu Bharata. Dia
tahu bahwa adiknya pernah membuat sebilah keris sakti bernama Mustika
Jagat. Tapi senjata itu tak ditemuinya dikamar, juyd setelah diperiksa
seluruh teratak, keris sakti itu tetap tak bersua. "Bangsat! Pasti
pemuda itu yang membunuh adikku! Pasti dia juga yang mencuri dan
melarikan Mustiko Jagat!" Gerahamgeraham Pengemis Sakti Muka Bopeng
bergemeletakan. Dia tak dapat mengendalikan kelakar marahnya. Sambil
berteriak-teriak bahwa dia akan melakukan pembalasan, memecahkan kepala
Untung Pararean, orang tua ini mengamuk hebat, menendangi segala apa
yang ada di dalam teratak hingga bangunan itu hancur berpelantingan.
Pengemis Sakti Muka Bopeng masih belum puas. Pohon-pohon dan apa saja
yang ada di sekitar tempat itu habis ditendanginya. Ada kira-kira
sepeminuman teh dia mengamuk kalap begitu rupa. Sambil menangis dan
kadang-kadang berteriak-teriak kemudian Pengemis Sakti Muka Bopeng lari
menuruni Gunung Slamet dengan membawa jenazah adiknya.
KETIKA
dia sampai di kaki gunung hujan telah reda. Bajunya dan sekujur
tubuhnya basah kuyup. Sambil menggigil kedinginan dia meneruskan
perjalanan dengan jalan kaki. Sepanjang jalan perutnya menggereok minta
diisi. Sejak pagi tadi memang dia belum makan apa-apa sama sekali. Dia
berharap dalam waktu yang singkat akan dapat menemui sebuah desa atau
kampung di mana dia bisa membeli makanan untuk pengisi perutnya. Belum
lagi lewat sepeminuman teh berlalu Untung Pararean menemui satu jalan
yang sangat becek akibat hujan. Pemuda ini mengikuti jalan itu ke
sebelah tenggara. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap
kaki-kaki kuda. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah kereta yang
ditarik oleh dua ekor kuda hitam besar meluncur cepat sekali di jalan
yang becek itu, memancarkan lumpur dan air kotor ke kiri kanan jalan.
Pengemudi kereta tiada hentinya mencarnbuk punggung kedua ekor kuda agar
kereta bergerak lebih cepat. Di belakang kereta yang bagus dan tertutup
itu ada dua orang penunggang kuda berpakaian keprajuritan. "Pemuda
gila!" kusir kereta tiba-tiba berteriak memaki Untung Pararean. "Kalau
tidak lekas menyingkir kuda-kudaku akan menerjangmu! Apakah kau ingin
tulang-tulangmu hancur berantakan?!" Untung Pararean merutuk dalam
hati lalu menepi. Dan ketika kereta itu lewat disampingnya, lumpur dan
air kotor bermuncratan membasahi muka dan pakaiannya. "Sialan!" maki Untung Pararean. Baru saja dia habis memaki begitu satu tendangan mampir di bahunya, membuat dia terpelanting dan jatuh duduk ditanah! "Ha
. . . ha! Itu bagian untuk manusia kotor yang berani memaki prajurit
Kerajaan!" seru salah seorang prajurit yang mengawal kereta. Dialah yang
telah menendang Untung Pararean. "Keparat! Kelak kau bakal menerima pembalasan dariku!" teriak si pemuda seraya bangun dan membersihkan pakaiannya. Dengan
masih menggerutu Untung Pararean lalu melanjutkan perjalanan. Tapi baru
saja menindak beberapa langkah tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara
sorak sorai di jalan didepannya, disusul dengan suara ringkik kuda.
Ketika dia memandang ke depan dilihatnya kereta tadi berhenti di tengah
jalan. Dari kiri kanan jalan menyerbu kira-kira sepuluh orang berpakaian
seragam hitam, bersenjatakan golok-golok besar. Sebelum Untung Pararean
sampai di tempat itu pertempuran antara dua pengawal yang dibantu oleh
kusir kereta melawan kesepuluh orang berseragam pakaian hitam itu telah
berlangsung! Tak salah lagi pastilah orang-orang itu gerombolan rampok
hutan Dadakan yang memang sering malang melintang disekitar kaki Gunung
Slamet. Untung Pararean menyelinap kebalik serumpun semak belukar
lebat dan menyaksikan jalannya pertempuran dari tempat ini. Kedua
prajurit Kerajaan itu masing-masing bersenjatakan sebilah pedang sedang
kusir kereta sebilah keris panjang. Dari gerakangerakan mereka nyatalah
bahwa ketiganya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Sampai sepuluh
jurus mereka sanggup membendung serangan-serangan sepuluh anggota
rampok. Tapi walau bagaimanapun jumlah mereka terlalu sedikit untuk
menghadapi lawan yang tiga kali lipat lebih banyak hingga jurus-jurus
selanjutnya ketiga orang itupun terdesaklah. "Prajurit-prajurit Kerajaan yang sombong," kata Untung Pararean dalam hati, "sebentar lagi kalian akan segera mampus!" Terdengar satu jeritan. Prajurit yang tadi menendang Untung Pararean roboh dengan satu luka besar di dadanya! "Rasakan!" seringai Untung Pararean. Tiba-tiba dilihatnya pintu kereta terbuka dan satu suara perempuan mengumandang. "Atas nama Kerajaan hentikan pertempuan ini!" Terkejutlah
para rampok yang mengeroyok. Untung Pararean sendiri tak kurang
kagetnya. Di dalarn kereta itu ternyata ada seorang dara berpakaian
bagus, berkulit hitam manis dan berwajah elok sekali! Kejut para rampok
cuma sebentar. Beberapa orang diantara mereka lantas saja menyerbu ke
arah kereta! Kalau tadi Untung Pararean karena sakit hati terhadap
prajurit-prajurit Kerajaan itu tidak mau turun tangan memberikan
bantuan, kini melihat gadis jelita yang didalam kereta terancam
keselamatannya, segera melompat keluar dari persembunyiannya. Keris
Mustiko Jagat tergenggam ditangan kanannya, memancarkan sinar biru yang
menggidikkan. "Rampok-rampok rendah! Lekas tinggalkan tempat ini
kalau tidak mau mampus!" demikian bentak Untung Pararean gagah laksana
seorang pendekar digjaya meski dia sama sekali tidak tahu satu jurus
ilmu silatpun! Tapi dia percaya dengan kesaktian keris Mustiko Jagat.
Sewaktu keris ini dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa aneh telah
menyelimuti sekujur tubuhnya hingga tubuhnya terasa sangat enteng sedang
satu kekuatan yang luar biasa terpusat di kedua kaki dan kedua
tangannya! "Kurang ajar! Pemuda kesasar dari mana yang mau jadi
jago!" teriak salah seorang anggota rampok, lalu menerjang dan
membabatkan golok besarnya ke kepala Untung Pararean. Seperti telah
diketahui Untung Pararean hanyalah seorang pemuda pembantu Empu Bharata
yang sama sekali tidak tahu seluk beluk ilmu silat, apalagi segala macam
ilmu kesaktian. Tapi berkat kesaktian yang luar biasa dari keris
Mustiko Jagat, pada saat golok perampok menderu ke kepalanya, secara
aneh satu kekuatan gaib yang ada pada keris sakti itu membimbing tangan
Untung Pararean dan membuat satu gerakan yang cepat sekali, menangkis
dan keris Mustiko Jagat! "Trang!!" Bunga api memercik. Golok
besar ditangan siperampok patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru
sinar keris Mustiko Jagat menderu lalu terdengarlah pekik rampok yang
goloknya patah mental tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua
tangannya memeganggi dadanya yang tertusuk Mustiko Jagat Sesaat kemudian
dia roboh ke tanah yang becek tanpa nyawa dan sekujur kulit tubuhnya
berwarna biru gelap akibat racun yang amat hebat dari keris sakti
Mustiko Jagat! Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal yang
dalam satu gebrakan saja berhasil merobohkan kawan mereka,
rampok-rampok yang lainpun menjadi marah. Niat untuk menyerbu kereta
dibatalkan dan tujuh anggota rampok itu lantas menyerbu Untung Pararean
sementara yang dua lainnya masih menghadapi kusir kereta dan prajurit
Kerajaan. Mulanya hati Untung Pararean kecut juga melihat datangnya
serbuan itu. Tapi dengan penuh keyakinan dia menghadapinya. Tubuhnya
berkelebat ringan diantara deru senjata-senjata lawan. Sinar biru keris
Mustiko Jagat bergulunggulung dan dalam dua jurus saja enam perampok
bergeletakan tanpa nyawa lagi! Tiga orang yang masih hidup tentu saja
tak punya nyali lagi. Tanpa tunggu lebih lama ketiganya segera ambil
langkah seribu dan lenyap dari tempat itu dalam sekejap mata! Kalau
tadi baik si pengemudi kereta maupun prajurit Kerajaan menganggap Untung
Pararean pemuda desa hina dina, tapi sesudah menyaksikan "kehebatan"
pemuda itu dan menghadapi kenyataan bahwa Untung Pararean telah menjadi
"tuan penolong" mereka, maka baik kusir kereta maupun prajurit Kerajaan cepat-cepat sama berlutut di hadapan pemuda itu. "Pendekar gagah," berkata si prajurit, "kami mohon maafmu atas kelancangan kami sebelumnya dan terima kasih atas pertolonganmu." Seumur
hidupnya baru kali itu Untung Pararean dihormat dan disembah orang
demikian rupa. Cuping hidungnya kembang kempis. Di mulutnya tersungging
seringai bangga tapi juga mimik yang mengejek. Dan dalam hatinya pemuda
ini berkata sinis. "Siapa sudi menolong kalian. Aku turun tangan karena
keselamatan gadis di dalam kereta terancam. Demi dia, bukan demi
kalian!" "Sudah, berdirilah!" kata Untung Pararean sesaat kemudian
pada kedua orang yang berlutut. Ketika dia memandang ke arah kereta,
dara cantik di atas kendaraan itu kelihatan turun, melangkah
kehadapannya, mengangguk memberi hormat dan tersenyum. Kikuk juga Untung
Pararean menerima penghormatan dan senyum si jelita itu. "Saudara, terima kasih atas pertolonganmu." berkata gadis itu. "Ah . . . pertolonganku tak ada artinya." jawab Untung Pararean merendah setelah terlebih dulu balas menghormat. "Kuharap kau sudi ikut ke Ibukota untuk menerima balas jasa dari ayahku." "Aku menolong tidak mengharapkan balas apa-apa, saudari." jawab Untung Pararean. Bagaimanapun
si gadis memaksa tetap saja pemuda itu tidak mau ikut ke Ibukota. Tapi
seandainya Untung Pararean mengetahui bahwa si gadis adalah keponakan
Sri Baginda, niscaya dia tak akan menolak. Bukankah setelah membunuh
Empu Bharata pemuda ini memang bermaksud untuk mencari kedudukan di
Kerajaan? Akhirnya setelah mengucapkan terima kasih untuk kesekian
kalinya, gadis itu pun berlalu bersama kusir serta pengawalnya. Pengawal
yang mati digeletakkan di punggung kuda, dibawa ke Ibukota. Dengan
jalan kaki Untung Pararean meneruskan pula perjalanannya. Sepanjang
jalan apa yang barusan dialaminya seperti terbayang kembali di depan
matanya. Betapa mula-mula dia merasa ngeri diserang oleh
perampokperampok hutan Dadakan itu. Bagaimana kemudian dia menghadapi
perampok-perampok itu dengan keris Mustiko Jagat dan membunuh mereka
satu demi satu hingga akhirnya tiga orang perampok yang masih hidup lari
pontang-panting! Kemudian ingat pula dia sewaktu kusir kereta dan
pengawal itu berlutut di hadapannya, menyebutnya "Pendekar gagah!" Lalu sewaktu gadis jelita itu datang padanya, tersenyum dan mengucapkan terima kasih! Menjelang
tengah hari Untung Pararean sampai ke sebuah kampung. Sebenamya kurang
pantas disebut kampung karena selain besar dan ramai juga di situ pusat
perhentian lalu lintas perdagangan. Di situ terdapat pula sebuah rumah
makan yang merangkap rumah penginapan. Begitu memasuki kampung, Untung
Pararean segera menuju kesini. Dan di depan bangunan rumah makan itu
dilihatnya kereta yang ditumpangi gadis jelita yang telah ditolongnya
sebelumnya. Baru saja Untung Pararean sampai di pintu, dari dalam rumah
makan seseorang datang menyongsongnya. Ternyata orang itu adalah si
pengawal kereta. "Ah, sungguh gembira dapat bertemu dengan kau di
sini Pendekar," berkata pengawal itu. Kemudian tanpa diminta dia
menerangkan. "Kami terpaksa berhenti dan menginap di sini. Seseorang
menerangkan sungai banjir akibat hujan besar yang turun tadi pagi.
Diperkirakan baru besok air akan surut!." Bertiga dengan kusir kereta
Untung Pararean kemudian duduk di salah satu bagian rumah makan.
Pengawal itu memesankan makanan yang enak-enak serta tuak harum
untuknya. Selagi menyantap hidangan itu pengawal menerangkan pula bahwa
jenazah kawannya telah disuruh kubur di tepi kampung. Kemudian dia
bertanya. "Sesungguhnya siapakah Pendekar ini dan berasal dari mana?" "Aku cuma orang gunung yang barusan saja turun dari Gunung Slamet," jawab Untung Pararean. "Oh, pastilah Pendekar murid seorang pertapa sakti." Untung Pararean tak memberi jawaban. Diteguknya minumannya lalu memandang berkeliling ganti bertanya. "Dimana gadis itu?" "Maksud Pendekar Den Ayu Sri Kemuning?" ujar si pengawal. Kemudian sang kusir kereta menyambungi. "Istirahat di kamarnya. Perjalanan jauh sangat meletihkan Den Ayu." "Saya
tidak mengerti," berkata pengawal kereta, "kenapa Pendekar tidak mau
menerima ajakan Den Ayu Sri Kemuning untuk ikut ke Ibukota. Itu suatu
kerugian besar, Pendekar." "Kerugian besar bagaimana?" "Pendekar tentu belum tahu siapa gadis itu sebenamya?" "Aku barusan saja turun gunung, mana tahu siapa dia?" ujar Untung Pararean pula. Pengawal kereta itu tersenyum lalu didekatkannya mukanya pada si pemuda seraya berkata. "Den Ayu Sri Kemuning adalah keponakan Sri Baginda . . . " Terbeliaklah sepasang mata Untung Pararean. Mulutnya ternganga. "Betul?!" tanyanya ingin meyakinkan. "Masakan saya berani main-main sama Pendekar." Dan
memang terasa sebagai satu kerugian besar bagi Untung Pararean sesudah
dia tahu siapa adanya gadis yang ditolongnya itu. Dengan ikut ke Ibukota
bukankah lebih mudah mendapat jalan untuk mencapai cita-cita yang
diidamidamkannya selama ini yaitu menjadi Perwira Kerajaan?! Dengan melihat paras si pemuda, pengawal kereta ini dapat membaca isi hati Untung Pararean. Maka berkatalah dia, "Sekarang
masih belum terlambat untuk merobah putusan Pendekar. Jika kau mau,
nanti aku akan menemui Den Ayu dan menerangkan bahwa kau bersedia ikut
ke Ibukota." Meskipun hasratnya meluap-luap tapi Untung Pararean tak
segera memberikan jawaban. Diisinya tuak baru ke dalam gelas lalu
diteguknya perlahan-lahan. Justru pada saat itulah di pintu rumah makan terdengar suara bentakan yang lantang keras hingga bangunan itu bergetar! "Bangsat muda yang sedang meneguk tuak, lekas berlutut untuk menerima hukuman mampus!"
UNTUNG PARAREAN
meletakkan gelas tuaknya ke atas meja perlahan-lahan. Kepalanya
dipalingkan ke belakang. Dari tempat dia duduk dilihatnya seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar bercambang bawuk. Orang ini mengenakan
pakaian hitam. Tampangnya buas. Sepasang matanya yang besar dan merah
menambah keseraman parasnya. Di pinggangnya kiri kanan tergantung
masing-masing sebilah golok yang luar biasa besarnya! Di belakang
manusia tinggi besar ini berdiri lima orang lainnya, yang juga
berseragam pakaian hitam dengan tampang-tampang yang tak kalah seramnya
dengan si tinggi besar yang tadi membentak itu. Kusir kereta dan
pengawal paras keduanya menjadi pucat seperti kertas sewaktu menyaksikan
siapa adanya orang-orang diambang pintu rumah makan. Pemilik rumah
makan sendiri menggigil sekujur tubuhnya. "Celaka … celaka! Pasti tempatku ini akan diobrak-abrik berantakan!" demikian pemilik rumah makan mengeluh dalam hati. "Bangsat
apa tidak dengar aku memerintah?!" si tinggi besar di ambang pintu
membentak kembali. Marah sekali dia karena sampai saat itu Untung
Pararean masih duduk di bangkunya. "Siapa mereka . . .?" tanya Untung Pararean berbisik pada kusir kereta. "Yang
tinggi itu . . ." jawab kusir kereta juga berbisik dan gemetar, "adalah
Sepasang Golok Maut, pemimpin rampok hutan Dadakan!" Mendengar
keterangan itu kini tahulah Untung Pararean bahwa pemimpin rampok itu
sengaja datang mencarinya untuk menuntut balas kematian anak-anak
buahnya! Segera tangan kanannya disiapkan di pinggang di mana Mustiko
Jagat tersisip dibalik pakaian. Kemudian dengan perlahan dan tenang
Untung Pararean berdiri, memutar tubuh lalu melangkah ke tengah ruangan.
Sepuluh langkah dari ambang pintu pemuda ini berhenti. "Apakah benar
aku berhadapan dengan Sepasang Golok Maut, kepala rampok hutan Dadakan
yang ditakuti orang?" tanya Untung Pararean. "Puah! Nyalimu terlalu
besar berani bicara keren terhadapku! Sepasang Gulok Maut mengangkat
tangan kanannya memberi tanda pada kelima orang anak buahnya, lalu
memerintah. "Cincang sampai lumat budak keparat itu! Juga dua monyet
yang dimeja sana!" "Sreet … sreet … sreet … sreet … Sreet"! Lima
buah golok dicabut dari sarangnya dalam waktu yang bersamaan. Sesaat
kemudian kelima anak buah Sepasang Golok Maut sudah mengurung Untung
Pararean. Kusir kereta dan prajurit pengawal telah pula mencabut senjata
masing-masing tapi sampai saat itu masih tetap berada dekat meja tak
berani maju ke kalangan pertempuran! Rumah makan itu seperti hendak
runtuh oleh bentakan keras kelima anggota rampok! Tubuh mereka
berlesatan kemuka dan lima serangan maut menderu mencari sasaran di
kepala, leher, dada, perut dan pinggang Untung Pararean! Pada saat
lima perampok hutan Dadakan membentak Untung Pararean telah mencabut
keris Mustiko Jagat. Begitu tangannya memegang hulu keris Mustiko Jagat,
satu hawa dan kekuatan aneh menyelubungi dirinya. Tubuhnya menjadi
sangat enteng. Dan sebelum lima buah golok datang menghajarnya, pemuda
itu telah melompat ke atas! Percaya bahwa kelima anak buahya yang
berilmu tinggi akan berhasil membereskan Untung Pararean maka Sepasang
Golok Maut kelihatan meninggalkan ambang pintu dan masuk ke ruangan
dalam rumah makan. Ini membuat Untung Pararean merasa heran. Kemudian
dia ingat sesuatu. Maka sambil melompat menyelamatkan diri tadi, pemuda
ini cepat berteriak pada kusir kereta dan prajurit pengawal. "Lekas ke kamar majikanmu! Bangsat itu pasti hendak melakukan sesuatu terhadapnya!" Kusir
kereta dan pengawal saling pandarig! Mereka tahu bahwa mereka sama-sama
tidak punya nyali untuk menghadapi kepala rampok yang berilmu tinggi
itu. Untuk beberapa lamanya keduanya masih tak beranjak dari dekat meja. "Lekas!" Teriak Untung Pararean. "Nanti aku akan bantu kalian!" Mendengar
ini, meskipun dengan agak takuttakut, kedua orang itu baru masuk ke
ruang dalam dimana terletak ruangan penginapan. Bangunan penginapan
bertingkat dua. Dan kamar yang di tempati oleh Den Ayu Sri Kemuning
terletak di tingkat atas. Dengan menjambak rambut seorang pelayan,
Sepasang Golok Maut berhasil mengetahui yang mana kamar gadis itu. Dari
anak-anak buahnya dia telah mendapat keterangan tentang Untung Pararean
dan juga tentang gadis cantik dalam kereta. Kepala rampok itu sampai di
muka pintu kamar. Dicobanya mendorong daun pintu, ternyata dikunci
dari dalam. Kaki kanannya bergerak. Sekali tendang saja pintu kamar itu
terpentang lebar hancur berantakan! Di dalam kamar saat itu Den Ayu
Sri Kemuning tengah membersihkan badannya. Tubuhnya yang padat bagus
sama sekali tak tertutup sehelai pakaianpun! Gadis ini memekik sewaktu
mendengar suara hancurnya pintu kamar dan seorang laki-laki berpakaian
hitam tinggi besar berewokan yang langsung menyergap tubuhnya yang
telanjang! Sri Kemuning menjerit dan meronta-ronta melepaskan diri.
Tapi rangkulan tangan kiri kepala rampok itu ketat sekali. Dirangsang
oleh keadaan tubuh si gadis yang tidak berpakaian sama sekali, Sepasang
Golok Maut menyeret gadis itu ke tempat tidur! Pada saat laki-laki ini
dengan buasnya hendak menindih tubuh dara itu tiba-tiba sudut matanya
melihat dua orang memasuki kamar dan di lain kejap sebilah pedang serta
sebilah keris sudah menyerangnya dengan sebat di bagian punggung dan
kepala! "Setan alas!" sentak Sepasang Golok Maut seraya menjatuhkan
dirinya ke lantai. Sambil berguling tangan kanannya bergerak kepinggang
lalu "wutt"! Terdengar pekik kusir kereta. Kerisnya telepas dari tangan.
Tubuhnya terhempas ke lantai karena kedua pergelangan kakinya putus
dibabat golok besar si kepala rampok dari hutan Dadakan! Jeritan
kusir kereta itu tadi disertai pula oleh jeritan ngeri Sri Kemuning.
Selagi ada kesempatan gadis ini cepat-cepat menarik seperai tempat tidur
dan menutupi tubuhnya dengan seperai itu lalu menjauhkan diri dari
pertempuran yang kemudian berlangsung antara Sepasang Golok Merah dengan
pengawal. Sudah jelas pengawal itu bukan tandingannya Sepasang Golok
Maut. Apalagi si pengawal bertempur dengan ragu-ragu dan nyali lumer.
Maka dalam tempo yang sangat cepat pengawal itupun tergelimpang tanpa
nyawa. Perutnya robek, usus menjela-jela disambar golok si kepala rampok
hutan Dadakan! Untuk kesakian kalinya terdengar jeritan ngeri Sri
Kemuning. Gadis ini coba lari ke pintu namun Sepasang Golok Maut
berhasil menangkap lengannya! Kita kembali pada pertempuran yang
terjadi di rumah makan antara Untung Pararean dengan lima pengeroyoknya.
Setelah berteriak pada kusir kereta dan pengawal tadi yaitu agar
cepat-cepat pergi ke kamar majikan mereka maka Untung Pararean dengan
mengandalkan ilmu mengentengkan tubuh yang di dapatnya berkat hawa sakti
keris Mustiko Jagat laksana seekor alatalat menukik ke bawah. Sinar
biru menderu dalam bentuk lingkaran. Dikejap itu terdengar
berturut-turut tiga kali suara beradunya seniata. Tiga batang golok
mental patah ke udara. Dua anggota rampok menjerit kena di babat Mustiko
Jagat, kelojotan sebentar lalu meregang nyawa. Rampok ketiga mencelat
satu tombak ke dinding rumah makan, melosoh ke lantai tanpa nyawa karena
dadanya remuk dihantam tendangan kaki kanan Untung Pararean! Dua
orang rampok yang masih hidup terkejut sekali. Untuk sejenak mereka
berdiri sangsi apakah akan meneruskan perkelahian atau ambil langkah
seribu! Waktu yang sesaat itu sudah cukup bagi Untung Pararean guna
bertindak! Sekali dia berkelebat, keris Mustiko Jagat kembali meminta
korban nyawa rampok yang disebelah kanannya! Rampok yang terakhir tanpa
tunggu lebih lama segera melompat ke pintu melarikan diri ! Tapi dia
kurang cepat. Dengan satu lompatan saja Untung Pararean berhasil
mendahuluinya, menghadang di depan pintu! Setengah mampus ketakutan,
rampok itu lantas saja jatuhkan diri berlutut minta ampun! Untung
Pararean tidak mau perdulikan permintaan ampun itu. Kaki kirinya
bergerak dan terhempaslah rampok itu dengan perut pecah. Dia menggerang
sebentar. Dan sebelum nyawanya lepas Untung Pararean sudah berlalu dari
situ. Di tingkat atas di sebelah belakang yaitu di penginapan
didengarnya jeritan Den Ayu Sri Kemuning berulang kali! Untung
Pararean sampai di tingkat atas ketika Sepasang Golok Maut baru saja
keluar dari sebuah kamar, memanggul tubuh Sri Kemuning yang hanya
tertutup sehelai kain acak-acakan hingga sebagian besar dari auratnya
yang terlarang jelas kelihatan! Gadis ini tiada hentinya berteriak dan
meronta melepaskan diri! "Bedebah! Lekas lepaskan gadis itu kalau masih sayang kau punya nyawa!" bentak Untung Pararean. Sepasang
Golok Maut menghentikan langkahnya. Hatinya tercekat juga melihat keris
Mustiko Jagat ditangan Untung Pararean yang memancarkan sinar biru
menggidikkan. Apalagi di ujung senjata itu dilihatnya noda-noda darah
yang masih segar! "Lekas lepaskan dia!" teriak Untung Pararean seraya melangkah mendekati kepala rampok hutan Dadakan itu! Sepasang
Golok Maut tiba-tiba keluarkan suara tertawa bekakakan! Seraya
mendorong tangan kanannya dia balasmembentak. "Budak anjing!
Minggirlah!" Untung Pararean terkejut sewaktu merasakan bagaimana
satu hembusan angin keras yang keluar dari telapak tangan kiri kepala
rampok itu mendorongnya kebelakang hingga hampir saja dia rnencelat
mental dan terguling di tangga! Cepat-cepat pemuda ini melompat
kesamping lalu melintangkan keris Mustiko Jagat di depan dada! Senjata
ini beriar-benar hebat. Karena begitu sambaran angin keras memben tur
sinar keris tersebut, buyarlah angin keras itu! Secepat kilt Untung
Pararean kemudian menyerbu kemuka! Sinar biru menabur menggidikkan! Melihat
datangnya bahaya maut mengancam di depan mata, kepala rampok hutan
Dadakan itu tak mau berlaku ayal. Denyan satu gerakan yang lihay dia
mengelak kesamping lallo dengan tubuh Den Ayu Sri Kemuning yang masih
meronta-ronta diatas bahunya dia mencabut golok din memapak ke arah
Untung Pararean! Terkejut juga si pemuda menerima serangan baiasan yang tiada terduga cepatnya itu. Buru-buru dia menangkis! "Trang!" Bunga
api memercik sewaktu keris Mustiko Jagat saling bantrok dengan golok
besar di tangan kanan Sepasang Golok Maut! Untung Parrean kaget ketika
merasakan bagaimana bentrokan itu membuat tangannya menjadi pedas dan
tergetar. Tapi sedetik kemudian hawa aneh yang mengalir dari keris
membuat rasa pedas dan getaran di tangan kanannya menjadi sirna! Dilain
pihak Sepasang Golok Maut terkejut bukan main! Bukan saja tangan
kanannya tergetar hebat dalam bentrokan senjata itu, tapi sewaktu
diperhatikannya ternyata goloknya telah rompal! "Bangsat hina dina!"
maki Sepasang Golak Maut seraya melemparkan tubuh Sri Kemuning ke lantai
lalu mencabut lagi golok besarnya yang tergantung di pinggang kiri.
"Akan kukuntung-kuntung tubuhmu hingga menjadi seratus kuntungan!" Untung
Pararean yang yakin akan keampuhan keris Mustiko Jagat ganda tertawa
mendengar ucapan garang kepala rampok itu. Malah dia menjawab: "Ayo
manusia iblis! Majulah biar kau segera pula kukirim ke liang kubur
menyusul lima orang kunyuk-kunyukmu yang sudah mampus dibawah sana!" Terkesiap
Sepasang Golok Maut mendengar ucapan pemuda itu! Lima orang anak
buahnya yang paling diandalkan telah menemui ajal di tangan pemuda itu?!
Benar-benar keparat, makinya! Dia lipat gandakan tenaga dalamnya hingga
serangan yang dilancarkannjra hebat bukan main! Perkelahian antara
kedua orang itu terjadi di langkan atas yang tak berapa lebar.
Masing-masing memperhitungkan benarbenar langkah yang mereka buat.
Karena sekali bertindak salah di ruangan yang sempit itu pasti celaka!
Sementara itu di halaman samping rumah makan orang banyak berkumpul
menyaksikan jalannya pertempuran dilangkan tingkat atas rumah penginapan
itu! Semua orang memuji kehebatan pemuda itu apalagi setelah dia dengan
seorang diri sanggup membunuh lima anggota rampok tadi. Dan semua orang
berharap agar si pemuda itu juga berhasil membunuh Sepasang Golok Maut
yang selama ini bersama anak buahnya mendatangkan bencana dan
malapetaka. Tapi di dalam berharap begitu semua orang juga merasa cemas.
Karena bila pemuda itu kalah, pastilah Sepasang Golok Maut akan
mengamuk dan menurunkan tangan ganas terhadap seluruh penduduk yang
tidak berdosa! Setelah pertempuran berjalan sepuluh jurus, Sepasang
Golok Maut mulai menyadari bahwa walau bagaimanapun pemuda itu bukanlah
lawannya. Setiap serangan goloknya yang dilancarkan dengan tipu-tipu
lihay, bahkan telah pula dikeluarkannya jurus-jurus yang terhebat dari
permainan goloknya itu, tetap saja tak dapat menghadapi keris lawan,
bahkan mengimbanginyapun tidak sanggup! Dari pada mendapat celaka, lebih
baik siang-siang mengundurkan diri! Sengaja kepala rampok itu
melancarkan satu serangan berantai yang cepat. Ketika dilihatnya ada
satu peluang yang baik, segera dia melompat keatas genteng rumah makan! "Bedebah! Kau mau lari kemana?!" teriak Untung Pararean keren! "Makan
senjata rahasiaku ini!" jawab Sepasang Golok Maut. Dalam kejap itu pula
lima puluh jarum-jarum biru menderu ke arah Untung Pararean. Dengan
sigap pemuda ini memapaskan keris Mustiko Jagat ke depan maka tersapulah
seluruh jarumjarum itu! Tapi dalam kejap itu Sepasang Golok Maut telah
berada di halaman bawah. Untung Pararean cepat mengejar. Namun sebelum
dia sampai di bawah kepala rampok hutan Dadakan itu telah lenyap! Orang
banyak termasuk pemilik rumah penginapan menjura pada Untung Pararean.
Beberapa di antara mereka ada yang memuji-muji kehebatanya. Sebaliknya
Untung Pararean cepat-cepat kembali ke tingkat atas. Didapatinya Sri
Kemuning duduk bersimpuh dilangkan tingkat atas, menangis tersedu-sedu. "Sudahlah Den Ayu," kata Untung Pararean. "Sebaiknya masuk ke kamar dan berpakaian." Kata-kata pemuda itu membuat sang dara tambah keras tangisnya hingga Untung Pararean menjadi bingung. "Masuklah ke kamar," kata pernuda itu manakala tangis Sri Kemuning telah agak mereda. "Mayat-mayat itu … aku negeri melihatnya," kata Sri Kemuning di antara sesenggukannya. Untung
Pararean masuk kedalam kamar. Ditemuinya mayat kusir kereta dan
prajurit pengawal. Memang mengerikan. Kusir kereta menggeletak dengan
kedua kaki buntung sedang prajurit pengawal terhampar dengan perut
robek, usus membasai. Pemuda itu berteriak memanggil pelayan rumah
penginapan. Beberapa pelayan kemudian membawa mayat kedua orang itu yang
selanjutnya segera dikubur secara sederhana di pinggir kampung. Mayat
lima orang perampok dilemparkan ke dalam sebuah kali. Sementara Sri
Kemuning berpakaian, Untung Pararean kembali ke rumah makan. Orang
memandang padanya penuh kagum. Pemilik kedai kemudian mendatanginya.
Setelah menjura hormat, pemilik kedai itu·seorang tua·duduk dihadapan
Untung Pararean. "Tak sedikit jasamu kepada penduduk karena telah
menumpas rampok-rampok itu, pendekar. Sesungguhnya siapakah nama
pendekar dan datang dari mana?" "Aku barusan saja turun dari gunung Slamet, bapak." jawab Untung Pararean. "Kalau begitu pastilah pendekar murid orang tua sakti yang bernama Empu Bharata." Untung
Pararean mengangguk pelahan. Disebutnya nama Empu Bharata membuat
hatinya tidak enak karena mengingatkan dia atas pembunuhan yang
dilakukannya terhadap orang tua itu! "Pendekar, dengan lolosnya
kepala rampok keparat itu, bapak rasa suatu ketika pasti dia akan datang
kemari dan mengganas, menurunkan tangan jahat, membunuh penduduk sini
dengan sewenang-wenang. Bapak mewakili penduduk dan berharap agar
pendekar sudi menetap disini untuk sementara sampai penduduk benar-benar
yakin bahwa rampok-rampok itu tak berani lagi datang kesini." "Aku
yakin, bapak. Apa yang telah terjadi pasti telah membuat rampok-rampok
itu menjadi takut kembali ke sini." ujar Untung pula. "Mudah-mudahan
saja memang demikian," kata pemilik penginapan. Sementara itu seorang
pelayan datang menemui Untung Pararean, mengatakan bahwa Sri Kemuning
memanggilnya.
KETIKA
Untung Pararean masuk kembali ke kamar itu, keadaan kamar tidak seperti
tadi lagi. Noda-noda darah telah dibersihkan dan Sri Kemuning duduk di
tepi tempat tidur. Pada parasnya yang agak pucat masih membayang rasa
takut. "Den Ayu memanggil aku?" tanya Untung Pararean setelah terlebih dahulu menjura. Gadis itu mengangguk. "Kotaraja masih jauh dari sini, saudara …" "Saya tahu . . . " "Untuk
kedua kalinya kau telah menyelamatkan diriku. Untuk kedua kalinya pula
aku harap kau sudi ikut ke Kotaraja. Apakah kau masih juga menolak?" Kalau
sebelumnya Untung Pararean tidak tahu siapa adanya gadis itu, tapi
setelah mendapat keterangan dari kusir kereta dan prajurit yang telah
menemui ajal itu tentu saja pemuda ini tidak menampik lagi! Ke Kotaraja
berarti menuju ke tempat di mana dia kelak akan mencapai apa yang
dicita-citakannya yaitu menjadi Perwira Kerajaan. Dan Sri Kemuning
kebetulan adalah keponakan Raja! Tentu akan mudah baginya untuk mencapai
cita-cita itu, apalagi mengingat jasa pertolongan yang telah dua kali
dibuatnya terhadap gadis itu! "Aku tidak berani lagi menolak, Den
Ayu. Kusir kereta, dan pengawalmu telah menemui kematiani Apa lagi
baktiku kepada Kerajaan kalau bukan berbakti pada keluarga Istana?" "Terima kasih saudara … Eh, kau belum menerangkan namamu." "Namaku Untung Pararean. Panggil saja Untung." "Saudara Untung, melihat apa yang telah terjadi di sini aku merasa kawatir untuk meneruskan niat bermalam di sini. Sebaiknya kita berangkat saja . . . ." "Tapi sungai banjir, Den Ayu. . . " "Oh ya. Lupa aku." "Kalau Den Ayu . . . " "Buang saja sebutan Den Ayu itu, saudara Untung. Namaku Kemuning. Sri Kemuning …" potong gadis itu. "Kalau . . , kalau Den . . . kalau kau percaya padaku, kau tak usah kawatir Kemuning," kata Untung Pararean pula gugup. "Aku akan mengawal dan berjaga sepanjang malam di luar kamarmu …" "Ah,
nasib diriku rupanya ditakdirkan hanya untuk menyusahkan orang lain
saja," ujar Sri Kemuning. Tapi diam-diam hatinya gembira mendengar
ucapan pemuda yang gagah itu. "Baiklah Untung. Kalau begitu katamu, aku tak akan merasa kawatir lagi. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu. Kelak
pada Sri Baginda akan kumintakan balas jasa yang sesuai untukmu!
Sekurang-kurangnya pangkat yang penting dalam kalangan Istana!" "Terima kasih Kemuning . . ." kata Untung Pararean pula, "tapi pertolonganku tidak mengharapkan pamrih apa-apa." sambungnya
pura-pura bersikap ksatria sejati padahal memang pangkat yang tinggi
itulah yang tengah dicarinya. Dalam berdiri dihadapan gadis diam-diam
Untung Pararean membayangkan bagaimana dia akan disambut secara hormat
oleh orang-orang Istana. Lalu Sri Baginda atas kehendak Sri Kemuning
akan menganugerahkan pangkat tinggi kepadanva. Dia akan jadi perwira
kerajaan yang paling disegani dan paling ditakuti karena ilmunya tinggi! Di
lain pihak pada saat itu Sri Kemuniny diam-diam tengah memperhatikan
pemuda itu dengan kedua bola matanya yang hitam dan bersinar-sinar penuh
kagum akan kegagahan si pemuda apalagi sesudah mengetahui ketinggian
ilmunya. Untung Pararean sama sekali tidak mengetahui bahwa meski Sri
Kemuning adalah keponakan kontak dari Sri Baginda, tapi gadis itu
bukanlah gadis Istana yang bersifat dan berkelakuan baik-baik. Kecuali
Sri Baginda dan Permaisuri serta ayah dan ibu Sri Kemuning semua orang
di Istana sudah tahu akan peri tabiat gadis itu. Adalah memalukan
seorang keluarga Sri Baginda bertabiat seperti Sri Kemuning. Tapi apakah
mereka musti mengadu pada Sri Baginda? Salah-salah mereka bisa mencari
F:enyakit sendiri! Dituduh memfitnah! Dilubuk hati Sri Kemuning saat
itu, di balik pandangan matanya yang bersinar-sinar itu bergejolak satu
hasrat kotor yang membuat darah diseluruh pembuluh tubuhnya laksana
mendidih. Kening dan puncak hidungnya penuh oleh butir-butir keringat
sedang pandangan matanya semakin berani dan sikap duduknya semakin
menantang. "Keras benar angin dari luar sana …" kata Sri Kemuning. "Tolong tutupkan pintu itu, Untung." "Baik Den … Kemuning." Untung Pararean melangkah ke pintu dan sambil menutupkan daun pintu dia hendak keluar. "Oh,
maksudku . . aku tidak menyuruh kau keluar Untung," kata Sri Kemuning
pula ketika dilihatnya pemuda itu menutupkan pintu sambil menindak
keluar. "Tutupkan saja dari dalam sini." Untung Pararean masuk
kembali ke dalam dengan perasaan heran. Ditutupnya pintu itu dari dalam.
Ketika dia memutar tubuh, Sri Kemuning tersenyum padanya. Aneh senyum
gadis itu di mata si pemuda. Berdesir darah Untung Pararean, berdebar
dadanya sewaktu Sri Kemuning berkata, "Nanti malam kau akan mencapaikan
diri mengawalku. Berarti siang-siang begini kau butuh istirahat,
Untung." "Aku rasa begitu . . . " "Nah, kau boleh beristirahat disini, Untung." "Biar aku cari kamar yang lain saja, Kemuning." Sri
Kemuning tertawa. Seraya berdiri dari tempat tidur dia berkata,
"Mengapa harus menyusahkan diri saja, Untung? Kau istirahat disini
sambil bicara-bicara denganku. Kau tahu, aku orang yang paling senang
bercakap-cakap." Perasaan aneh mula-mula yang ada didiri Untung
Pararean kini berubah menjadi satu prasangka adanya maksud-maksud yang
tidak senonoh dari gadis itu. Tapi seorang keluarga Istana, seorang
keponakan Raja yang terhormat mempunyai sifat begitu rupa? Sementara
Untung Pararean berdiri mematung di tengah kamar itu, Sri Kemuning
datang melangkah mendekatinya. Goyang pinggulnya yang dibuat-buat,
senyumnya yang menawan dan sinar matanya yang mengundang memukau Untung
Pararean. Walau bagaimanapun Untung Pararean adalah seorang laki-laki,
seorang pemuda yang baru saja turun gunung dan tak banyak tahu tentang
peri kekotoran hidup di dunia luar, apalagi cara-cara untuk menjauhkan
semua kekotoran itu. Meski mula-mula hatinya binqung bercampur takut
menghadapi sikap Sri Kemuning namun ketika gadis itu memeluknya dan
menyandarkan kepalanya ke dada, Untung Pararean mulai memberikan reaksi,
reaksi sebagai seorang pemuda yang berdarah panas! Dirangkulnya tubuh
dara itu erat-erat dalam gejolak nafsu yang seumur hidupnya baru kali
itu dirasakan oleh Untung Pararean. Namun sesaat kemudian kambuh lagi
rasa kawatirnya. "Kemuning, kalau pemilik penginapan memergoki kita berdua-duaan begini, kita bisa celaka …" Sri
Kemuning tertawa merdu. Rasa digelitik liang-liang telinga pemuda itu,
tambah terangsang darah mudanya mendengar suara tertawa itu. "Dia
tahu siapa aku. Untung. Dan dia juga tahu apa yang bakal menimpanya jika
berani-beranian turun tangan. Aku sanggup menyuruh tutup penginapan dan
rumah makannya! Bahkan lebih dari itu aku bisa menjebloskan dia dalam
penjara." Untung Pararean yang tahu bahwa Sri Kemuning adalah
keponakannya Sri Baginda, denqan sendirinya mempercayai ucapan gadis
tersebut. Karenanya lenyaplah kekawatirannya dan kembali keberanian
membuat nafsunya mengumbar. Gadis itu dipeluknya erat-erat hingga Sri
Kemuning merintih antara kesakitan dan kenikmatan! Ada kira-kira
sepeminuman teh kedua makhluk itu berpagut-pagutan di tengah kamar itu. "Kakiku letih, Untung …" bisik Sri Kemuning. "Gendong aku ke tempat tidur." pintanya lirih. "Hem . . . " guman Untung Pararean. Sesaat
kemudian keduanyapun telah berada ditempat tidur. Berpagut dan
berguling seperti sepasang ular. Dan memang mereka tak ubahnya separti
binatang saja saat itu. Seperti binatang dan tanpa pakaian! Ketika
hari telah senja, Untung Pararean masih juga berdiri termenung di depan
rumah makan. Apa yang telah terjadi siang tadi di kamar di tingkat atas
penginapan itu kembali terbayang di pelupuk matanya. Dan mengingat ini,
menggejolak lagi darah muda pemuda itu. Seumur hidupnya baru kali-itu
dia mengenal perempuan, dan perkenalan yang pertama kali itu sungguh
luar biasa sekali! Luar biasa bagi Untung Pararean meskipun Sri Kemuning
sudah tidak perawan lagi! Bila malam tiba dan kegelapan memekati
disekitar rumah makan itu, Untung Pararean ingat bahwa sudah saatnya dia
berjaga-jaga disekitar kamar Sri Kemuning. Bukan tidak mustahil
orang-orang jahat terutama Sepasang Golok Maut akan muncul kembali untuk
menuntut balas! Tingkat atas rumah penginapan diselimuti kesunyian.
Di beberapa kamar kelihatan nyala lampu. Satu diantaranya adalah kamar
Sri Kemuning. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri di depan
pintu kamar itu. Kembali teringat olehnya apa yang telah terjadi di
dalam kamar tersebut siang tadi. Tubuh telanjang Sri Kemuning yang
keringatan! Pelukannya yang ketat liat, nafasnya yang memburu dan
gigitannya yang berulang-ulang pada kulit dadanya . . . semuanya
teringat lagi. Sewaktu hendak ditinggalkannya hadapan pintu kamar menuju
keujung langkan di tingkat atas itu, tiba-tiba saja pintu kamar
terbuka. Sri Kemuning memunculkan kepalanya. Dia terkejut melihat
seseorang berdiri di depan pintu namun keterkejutan itu segera berubah
menjadi kegembiraan ketika dia mengenali bahwa yang berdiri itu adalah
Untung Pararean. "Terkejut?" tanya Untung Pararean menegur. Matanya
liar meneliti paras Sri Kemuning. Gadis ini barusan saja habis bersolek
hingga parasnya lebih segar dan lebih cantik. Ditambah lagi saat itu
dia mengenakan pakaian yang bagian dadanya terbuka lebar hingga kedua
pangkal buah dadanya jelas kelihatan tersembul keluar, memhuat Untung
Pararean jadi blingsatan tak karuan! "Aku kira siapa," ujar Sri Kemuning sambil melontarkan senyum genit. "Heh, kau sudah mulai berjaga-jaga sesiang ini?" "Ya. Aku kawatir kepala rampok itu akan muncul lagi membawa anak buahnya!" "Ah,
betapa senangnya mempunyai seorang pengawal yang setia sepertimu ini,
Untung," kata Sri Kemuning pula dengan tertawa cerah lalu berdiri di
tepi terali langkan ditingkat atas itu. "Gelap dan hitam saja
pemandanyan disini … Dan banyak nyamuk pula!" Dipalingkannya kepalanya
pada Untung Pararean lalu dipegangnya lengan pemuda itu hingga hasrat
yang menyesak-nyesak di darah si pemudan kembali membuat sekujur
tubuhnya panas dingin laksana orang diserang demam malaria! Diremasnya
tangan gadis itu. Untuk sesekali mereka saling berpandangan. Hasrat hati
untuk kembali mengulangi apa yang telah mereka lakukan siang tadi
kentara terbayang dibola mata masing-masing. Unturg Pararean tak
dapat menahan hatinya lagi saat itu. Diulurkannya tangannya hendak
memeluk Sri Kemuning tapi dia kecewa karena gadis itu mengelak. "Jangan
di luar sini Untung … " bisik Sri Kemuning. Ditatapnya pemuda itu
sebentar, digoyangkannya kepala ke arah pintu lalu masuk ke kamar tanpa
menguncikan daun pintu. Untung Pararean berdiri mematung sejenak
lamanya. Dia memandang ke dalam kamar lewat pintu yang terbuka dan
dilihatnya Sri Kemuning berdiri di hadapan sebuah kaca besar,
menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Laksana gila Untung Pararean
menghambur masuk ke dalam kamar itu! Sesaat kemudian keduanya sudah
berada di atas tempat tidur! Untung Pararean baru saja hendak
meneduhi tubuh Sri Kemuning ketika di atas genteng terdengar suara
tertawa bekakakan yang membuat kedua insan didalam kamar itu sama-sama
tersentak kaget! "Ha . . . ha . . , ha … ! Rupanya kalian berdua
adalah bangsanya lonte-lonte bejat! Bagus sekali! Teruskan niatmu
mencapai sorga dunia itu, pemuda keparat! Bila sudah, aku menunggumu di
halaman samping! Jangan lupa pakai pakaianmu dulu biar kau mampus secara
wajar!" Laksana kilat Untung Pararean melompat dari atas tempat
tidur dan menyambar pakaiannya. Dengan keris Mustiko Jagat ditangan
kanan dia keluar dari pintu kamar. Dia tidak takut pada manusia yang
tadi bicara dan tertawa di atas genteng! Tapi jika dia berani datang
pastilah mengandalkan sesuatu! Ketika dia sampai diujung langkan apa
yang diduganya ternyata betul. Tapi Untung Pararean yakin akan keampuhan
Mustiko Jagat, maka tanpa ragu-ragu dia melompat turun dari samping
yang gelap, hanya diterangi bintang-bintang, rembulan dan sinar lampu
yang merambas dari rumah makan dan penginapan!
SUARA tertawa bekakakan kembali mengumandang mandang sewaktu Untung Pararean sampai di halaman samping itu. "Ha ha! Apakah sudah kau teruskan tidur dengan gadis itu? Kalau belum berarti kau akan mampus penasaran Untung Pararean!" "Sepasang
Golok Maut! Setelah selamat melarikan diri mengapa berlaku bodoh untuk
datang kembali?! Apakah kau punya nyawa rangkap?!" bentak Untung
Pararean dengan suara tak kalah keras. Sambil membentak begitu kedua
matanya meneliti suasana sekelilingnya. Di belakang kepala rampok
dari hutan Dadakan itu, dibawah pohon cempedak, berdiri seorang
kakek-kakek yang cuma mengenakan sehelai cawat. Tubuhnya kurus kering
tulang-tulangnya kelihatan bertonjolan hingga dia tak ubahnya seperti
tengkorak hidup saja! Kakek-kakek ini berambut keriting pendek dan cuma
memiliki sebuah mata. Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan satu
lobang hitam yang besar dan mengerikan! Yang luar biasa dari orang yang
kulitnya berwarna hitam ini ialah kedua tangannya yang teramat panjang
hingga sampai ke betis! Tiba-tiba saja manusia ini mengeluarkan suara
tertawa mengekeh dan menuding Untung Pararean dengan tangannya yang
panjang. Meski jarak mereka terpisah cukup jauh, tapi karena tangan
manusia ini panjang sekali maka ujung-ujung jarinya yang menuding hampir
saja menyentuh hidung si pemuda membuat Untung Pararean tercekat juga
hatinya! "Pemuda gendeng kau segera akan mampus, tapi masih berani bicara sombong dihadapanku!" "Orang aneh! Aku tidak kenal padamu! Apa urusanmu mencampuri persoalan orang lain?!" tukas Untung Pararean. "Oh,
jadi kau kepingin kenal siapa aku?!" ujar orang itu. "Aku yang buruk
ini bemama Tunggul Gawe-gawe. Orang-orang menggelariku Iblis Tangan
Panjang. Dan kedoyananku cuma satu yakni paling senang mencabut nyawa
manusia-manusia macammu!" Habis berkata begitu manusia bercawat itu
kembali tertawa mengekeh. "Hem . . . rupanya kau bangsa kawanan setan
pelayangan juga!" ejek Untung Pararean. "Manusia-manusia macammu memang
pantas untuk jadi andalan rampok busuk ini! Aku tanya apakah ada
kawan-kawanmu yang lain yang berada di sekitar sini? Sebaiknya
lekas-lekas disuruh keluar agar bisa kulabrak sekaligus!" "Iblis Tangan Panjang! Baiknya mari cepat-cepat saja kita bikin tamat riwayatnya ini pemuda anjing!" seru Sepasang Golok Maut. "He
… he . . . Untuk membereskannya kenapa musti berdua." menyahuti Iblis
Tangan Panjang. "Biar aku sendiri yang menunjukkan jalan ke neraka
padanya!" Manusia ini melangkah ke hadapan Untung Pararean. "Pemuda
gendeng, kau bersiaplah untuk mampus!" Habis berkata begitu Tunggul Gawe-gawe atau Iblis Tangan Panjang menggerakkan tangan kanannya. "Wutt"! Satu
pukulan lengan yang keras dan menimbulkan angin bersiuran menderu ke
arah kepala Untung Pararean. Pemuda ini cepat-cepat merunduk dan sebelum
dia sempat melakukan serangan balasan, lengan kiri Iblis Tangan Panjang
telah memapas ke pinggang membuat pemuda ini terpaksa melompat
menyelamatkan dirinya! Perkelahian seru segera berlangsung jurus demi
jurus! Meskipun Untung Pararean memegang keris sakti Mustiko Jagat di
tangan kanannya, namun gerakan-gerakan lengan lawannya hebat sekali,
membuat dia tak bisa leluasa melancarkan serangan-serangan. Dalam
perkelahian itu karena tangannya yang amat panjang, Iblis Tangan Panjang
tak perlu susah-susah berkelebat kian kemari. Cukup dia
menggeser-geserkan saja kedua kakinya sedang kedua tangannya laksana
sepasang tongkat baja memukul dan membabat kian dari pelbagai jurusan! Karena
tak mungkin bagi Untung Pararean untuk mengirimkan tusukan ke tubuh
ataupun ke kepala lawannya maka kini pemuda itu merubah taktiknya.
Serangan-serangan keris Mustiko Jagat langsung diarahkan pada kedua
tangan Tunggul Gawegawe Dan buktinya memang berhasil! Pada dasarnya
Tunggul Gawegawe alias Iblis Tangan Panjang diam-diam memang merasa
jerih melihat senjata mustika yang ada di tangan lawannya. Dan ketika
keris itu kini dipakai untuk menggempur sepasang tangannya, merasakan
pula dinginnya sambaran angin senjata tersebut, dia tak lagi dapat
bergerak leluasa. Setiap serangannya yang mengandalkan kedua tangannya
yang panjang selalu dibikin musnah oleh sambaran keris lawan! Beberapa
kali hampir nyaris lengannya kena tertikam senjata tersebut.
Naga-naganya kalau dia bertempur begitu terus, lambat laun pasti dia
akan kena celaka juga! Maka tanpa tunggu lebih lama Iblis Tangan Panjang
mengeluarkan senjatanya dari dalam cawatnya! Senjata ini adalah
sebuah untaian batu-batu permata yang telah direndam dalam racun jahat.
Warnanya aneka agam dan kesemuanya bergemerlapan meskipun di halaman
samping itu suasana gelap. Ketika untaian batu-batu permata itu diputar
diatas kepala maka menggelombanglah angin yang amat hebat. Pohon-pohon
bergoyangan, banyak yang daun-daunnya berguguran. Dinding rumah makan
dan tiang-tiang rumah penginapan berderikderik sedang tanah serasa
dilanda lindu saking hebatnya gelombang angin yang keluar dari senjata
Iblis Tangan Panjang itu! Untung Pararean sendiri tergontai-gontai
beberapa detik lamanyal Buru-buru dia membentak nyaring dan sewaktu
lawannya datang dari depan, pemuda ini kiblatkan keris Mustiko Jagat
dalam jurus aneh yarig luar biasa. "Hebat sekali ilmu silat keparat
ini!" rutuk Iblis Tangan Panjang. Dia tidak tahu bahwa kesaktian keris
Mustiko Jagatlah yang membimbing pemuda itu memainkan jurus-jurus silat
yang luar biasa itu! Karena yakin bahwa senjata lawan tak bakal dapat
menandingi senjatanya, maka sewaktu bentrokan akan terjadi, Iblis
Tangan Panjang sengaja tidak menarik pulang untaian batu-batu
permatanya! Meskipun dia tak berhasil menggebuk lawan tapi sekali
senjatanya bergeser dengan kulit si pemuda, pastilah pemuda itu akan
keracunan. Kalau sudah begitu tentu mudah dia membereskan lawannya itu,
demikian pikir Iblis Tangan Panjang. Tapi betapa kagetnya dia sesaat
kemudian! Terdengar suara berdentingan dan percikan bunga api di
dalam gelapnya malam sewaktu keris dan untaian batu-batu permata beradu!
Untung Pararear merasakan tangannya bergetar hebat tapi itu tak ada
artinya karena di depannya dilihatnya bagaimana batu-batu permata yang
menjadi senjata lawannya putus berhamburan! Kaget Iblis Tangan
Panjang bukan alang kepalang! Jika senjatanya yang paling diandalkan
bisa dibuat berantakan begitu rupa, ini sudah merupakan satu pertanda
lebih baik dia angkat kaki dari situ dari pada meneruskan perkelahian!
Tapi untuk melakukan hal itu tentu saja dia merasa malu terhadap
Sepasang Golok Maut yang berada ditempat itu. Buntut-buntutnya dia cuma
berseru untuk meminjam salah satu golok kepala rampok itu. Sambil
memberikan salah satu golok besarnya, Sepasang Golok Maut berseru,
"Tunggul Gawegawe, tak usah kau repot terlalu lama. Aku akan bantu!" Bantuan,
memang itulah yang diharapkan oleh Iblis Tangan Panjang. Dengan nyali
besar kedua orang itu lalu mengeroyok Untung Pararean! Pemuda ini
berkelebat cepat sekali. Bayang-bayang tubuhnya tertutup oleh sinar biru
dari keris Mustiko Jagat. Bagaimanapun Iblis Tangan Panjang dan
Sepasang Golok Maut menggempur dan mengirimkan serangan dahsyat silih
berganti namun tiada guna nya! Kedua orang ini tak sanggup mendekati
pemuda itu lebih dekat dari jarak empat langkah. Di lain pihak sementara
itu kekuatan gaib yang berasal dari keris Mustiko Jagat semakin hebat
pula membimbing dia. Setelah bertempur empat putuh jurus lebih, dengan
ilmu menyusupkan suara Iblis Tangan Panjang berkata pada Sepasang Golok
Maut. "Naga-naganya kita tak bakal menang sobatku! Sebelum celaka sebaiknya siang-siang kita tinggalkan tempat ini!" Sepasang
Golok Maut juga sudah sangat penasaran dan mulai sangsi. Apa yang
dikatakan Iblis Tangan Panjang adalah benar menurutnya, maka iapun
segera hendak menjawab menyetujui ucapan kambrainya itu. Namun sebelum
dia sempat berkata keris Mustiko Jagat menderu cepat di muka hidungnya!
Sepasang Golok Maut melompat kebelakang sambil melancarkan satu pukulan
tangan kosong. Justru lengannya yang memukul ini merupakan makanan empuk
bagi keris Mustiko Jagat! Terdengar lah pekik kepala rampok hutan
Dadakan itu! Tangan kanannya papas, buntung! Darah menyembur! Saat itu
juga racun keris Vustiko Jagat yang amat berbahaya memasuki darahnya,
menjalar dengan cepat keseluruh pembuluh hingga beberapa detik kemudian
Sepasang Golok Maut meregang nyawa dengan tubuh matang biru! Pada
saat Sepasang Golok Maut menjerit keras karena tangannya putus dibabat
keris Mustiko Jagat, pada saat perhatian Untung Pararean ini
dipergunakan oleh Iblis Tangan Panjang untuk melarikan diri tanpa
diketahui oleh si pemuda. Untung Pararean baru menyadari bahwa lawannya
yang seorang itu sudah lenyap sewaktu dia memandang berkeliling.
Sementara itu dari mana-mana bermunculan penduduk ke tempat itu. Untung
Pararean menerangkan sedikit apa yang kita telah terjadi lalu
cepat-cepat berlalu dari situ. Di kamar penginapan di tingkat atas, pemuda ini disambut dengan pelukan hangat oleh Sri Kemuning. "Aku
menyaksikan perkelahianmu dari terali atas sana. Untung! Kau hebat
sekali! Betul-betul hebat … Oh, aku cinta padamu Untung!" Gadis ini
memeluk lagi pemuda itu ketat-ketat ke tubuhnya, menciumi keringat yang
membasahi dada Untung Pararean. Dan apa yang telah terjadi sebelumnya
segera terlupakan oleh kedua orang itu. Semalam-malaman, sampai pagi,
Untung Pararean benar-benar telah melakukan "pengawalan" atas diri Sri
Kemuning di dalam kamar itu . . . di atas tempat tidur! Keesokan
harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan ke Kotaraja. Untung
Pararean bertindak sebagai kusir kereta merangkap pengawal. Menjelang
tengah hari mereka telah memasuki Kotaraja, langsung menemui Sri Baginda
di Istana. Bukan main kagetnya Raja mendengar penuturan keponakannya.
Di samping itu Raja merasa sangat gembira pula dan berterima kasih pada
Untung Pararean karena telah menyelamatkan Sri Kemuning dari bahaya maut
sampai beberapa kali! Seperti yang telah dikatakan Sri Kemuning,
atas permintaan gadis itu maka Untung Pararean oleh Sri Baginda diangkat
menjadi salah seorang Perwira Kerajaan. Dan bukan itu saja, Sri Baginda
juga meminta agar pemuda itu suka mengambil Sri Kemuning menjadi
istrinya! Sebenamya memang Untung Pararean sangat terpikat dan cinta
pada dara yang penuh daya tarik dan pandai merayu itu. Maka tanpa banyak
cerita lagi Untung Pararean menerima permintaan itu. Perkawinan
dilangsungkan cukup meriah dan kepada kedua orang itu diberikan sebuah
gedung kecil yang terletak dalam lingkungan tembok Istana. Beberapa
tahun kemudian . . . Dari perkawinannya dengan Sri Kemuning, Untung
Pararean dikaruniai seorang anak perempuan yang diberinya nama Sri
Lestari. Meski di luaran kehidupan rumah tangga kedua orang itu
kelihatan rukun bahagia, tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Seringkali
kedua suami istri itu cekcok satu sama lain. Ini disebabkan tabiat Sri
Kemuning yang membuat Untung Pararean sakit makan hati. Seperti telah
dituturkan sebelumnya, Sri Kemuning meskipun keponakan Sri Baginda tapi
bukanlah seorang perempuan baik-baik. Diantara sekian banyak
keburukannya, yang paling terkenal di kalangan orang-orang Istana ialah
sifatnya yang mata keranjang. Tak boleh melihat laki-laki gagah, apalagi
jika laki-laki itu masih muda belia dan tegap kuat! Telah berkali-kali
Untung Pararean mendengar kabar bahwa jika dia sedang bertugas ke tempat
jauh, istrinya itu sering pergi ke tempat beberapa orang pemuda bahkan
seorang diantara pemuda-pemuda itu pernah beberapa kali disuruhnya
datang ke gedungnya dalarn lingkungan Istana itu! Mula-mula Untung
Pararean tidak mau percaya karena dia yakin bahwa istrinya itu sangat
mengasihinya sehingga masakan mau berbuat serong begitu rupa? Namun pada
satu hari dia dihadapkan pada satu kenyataan yang dibuktikannya
sendiri! Pada masa itu Kerajaan tengah menghadapi beberapa
pemberontakan kecil. Dibawah pimpinan beberapa Perwira Kerajaan,
termasuk Untung Pararean, pasukan Kerajaan berhasil menumpas
pemberontak-pemberontak tersebut. Meskipun belum keseluruhan pemberontak
berhasil dimusnahkan, namun untuk sementara bahaya yang mengancam
Kerajaan boleh dikatakan tidak ada. Namun demikian tidak seorangpun dari
Perwira-perwira Kerajaan yang mengetahui bahwa satu kekuatan besar kaum
pemberontak yang berpusat dikaki Gunung Lawu tengah merencanakan
penyerbuan besar-besaran ke Kotaraja. Demikianlah, karena merasa keadaan
sudah cukup aman maka Untung Pararean bersama pasukan kembali ke
Kotaraja. Rindunya terhadap anak istrinya membuat dia begitu selesai
memberi laporan pada Sri Baginda, cepat-cepat kembali ke tempat
kediamannya dan langsung menuju ke kamar. Begitu pintu kamar terbuka
terkejutlah Untung Pararean melihat bagaimana istri yang sangat
dicintainya itu telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang pemuda!
Pemuda ini bukan lain adalah salah seorang pengawal gedungnya, jadi
masih merupakan anak buahnya sendiri. Gelaplah pemandangan Untung
Pararean. Keris Mustiko Jagat segera dihunusnya. Sri Kemuning menjerit
sewaktu menyaksikan bagaimana pemuda yang tidur bersamanya itu roboh
dilanda tikaman yang pertama. Menyusul tikaman yang kedua, ketiga …
keempat dan seterusnya hingga sekujur tubuh pemuda itu laksana daging
cincangan, lumat membanjiri darah. Untung Pararean masih akan terus
menusuki tubuh pemuda yang sudah tak bernyawa itu jika seandainya saat
itu lima orang prajurit kepala dan empat orang Perwira tidak masuk
menyerbu ke dalam kamar dan memeganginya! "Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Untung Pararean menggeledak. "Dajal perempuan itu juga harus mampus! Harus mampus!" Tapi
seorang Perwira berhasil merampas keris Mustiko Jagat hingga kejap itu
lenyaplah kekuatan yang ada di diri Untung Pararean. Seorang Perwira
lain segera menolak tubuhnya sementara Sri Kemuning sendiri sudah
melarikan diri dari kamar itu! Apa yang telah terjadi itu
menghebohkan seluruh Istana. Tapi semua orang tak bisa memikirkan itu
lebih lanjut, juga tak berusaha mencari tahu ke mana Sri Kemuning
bersama anak perempuannya melarikan diri karena yang dipikirkan oleh
semua orang saat itu ialah bahaya besar yang mengancam Kerajaan. Kabar
yang dapat dipercaya menyatakan bahwa bala tentara pemberontak yang
berpusat di kaki Gunung Lawu telah mulai bergerak menuju Kotaraja!
Setiap kampung dan desa yang mereka temui pasti akan disamaratakan
dengan tanah. Penduduk yang tidak berdosa, tak perduli apakah perempuan
atau anakanak dibunuh secara kejam luar biasa. Demikian cepatnya
pergerakan pasukan pemberontak ini hingga dalam tempo yang singkat saja
hanya tinggal tiga hari perjalanan lagi dari Kotaraja! Kira-kira
seribu prajurit dibawah pimpinan lima orang Perwira Kerajaan telah
dikirim untuk menghancurkan kaum pemberontak. Mereka bertemu di satu
tempat yang terletak dua hari perjalanan dari Kotaraja. Meski prajurit
Kerajaan berjumlah banyak dan dipimpin oleh Perwira-perwira
berkepandaian tinggi, namun jumlah prajurit pemberontak tidak pula
sedikit. Dalam pada itu kaum pemberontak juga memiliki tokoh-tokoh silat
klas satu hingga setelah bertempur selama setengah hari, kaum
pemberontak berhasil memukul mundur bala tentara Kerajaan! Ratusan
prajurit Kerajaan menemui kematian! Dua orang Perwira tewas, satu
luka-luka parah. Dan dua lainnya tertangkap hidup-hidup. Ketika menerima
kabar itu dari seorang kurir, cemaslah Sri Bagindal Orang satu-satunya
yang sangat diharapkan oleh Sri Baginda ialah Perwiranya yang paling
tinggi ilmu kepandaiannya yaitu Untung Pararean. Tapi sang Perwira ini
kini berada dalam keadaan menyedihkan! Sesudah mengalami peristiwa
tempo hari itu. Untung Pararean menderita bathin yang amat mendalam
terutama dikarenakan pada istrinya sejak kejadian itu tidak diketahui
kemana perginya. Dan kepergiannya itu membawa serta anak permpuan yang
amat dikasihi Untung Pararean. Demikian hebatnya penderitaan bathin yang
menimpa Perwira itu hingga sifatnyapun sudah berubah seperti orang yang
kurang ingatan. Sepanjang hari dia mengurung diri di dalam kamar dan
menangis tiada henti. Kedua matanya telah bengkak dan sembab. Pipinya
telah cekung. Karena dia tak mau makan dan tak mau minum selama beberapa
hari maka keadaan tubuhnyapun makin lama makin kurus! Kadang-kadang di
malam buta Untung Pararean menjerit-jerit, berteriak memaki-maki. Tak
seorangpun yang berani mendekatinya. Pernah satu kali seorang prajurit
datang mengantarkan makanan dan air. Untung Pararean lalu mancabut keris
Mustiko Jagat dan memburu prajurit itu karena di mata Perwira yang
kurang ingatan ini si prajurit tadi kelihatannya adalah pemuda yang
telah tidur bersama istrinya dan yang telah dibunuhnya itu! Sementara
keadaan Untung Pararean semakin parah, ancaman kaum pemberontak semakin
kritis pula karena pada waktu itu mereka cuma tinggal satu setengah
hari perjalanan saja dari Ibukota! Dalam saat-saat yang menegangkan
itu pulalah tiba-tiba saja muncul seorang kakek-kakek aneh didepan
Istana yang katanya ingin bertemu dengan Sri Baginda. Mula-mula para
pengawal menyangka kakek-kakek ini adalah seorang mata-mata pemberontak
sehingga segera hendak ditangkap. Namun betapa terkejutnya semua
prajurit karena siapa saja yang berani datang mendekat dan turun tangan,
pasti mencelat mental dihantam kaki atau tangan kakek-kakek ini. "Aku
datang dengan maksud baik! Kenapa mau ditangkap?! Benar-benar manusia
tidak tahu diri Kalian semua!" begitu si kakek memaki. Lalu karena tak
ada seorangpun yang berani menghalanginya kakek-kakek inipun masuk ke
Istana lenggang kangkung dan sampai dihadapan Sri Baginda. Sri Baginda
sebelumnya telah diberi tahu atas kedatangan kakek-kakek aneh ini. "Tamu
dari manakah yang datang ke Istana ini?" tegur Sri Baginda sementara
beberapa Perwira berdiri didekatnya menjaga segala kemungkinan. "Kudengar di Istana ini ada seorang Perwira yang sakit. Betulkah itu?" bertanya si kakek tak dikenal. Sri
Baginda memandang pada Perwira-perwiranya, lalu menganggukkan kepala.
"Betul sekali. Dari manakah kau tahu dan harap terangkan dulu siapa kau
ini, orang tua?" Orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu menjawab, "Aku yang tua ini adalah Kiyai Supit Pramana dari Gunung Bromo … " Terkeiutlah. Sri Baginda dan Perwira-perwira Kerajaan tapi disamping itu juga timbul rasa gembira dan pengharapan. "Ah,
tak tahunya Istana telah kedatangan seorang sakti yang telah terkenal
di delapan penjuru angin. Silahkan duduk orang tua. Maafkan kalau
perlakuan orang-orangku terhadapmu tidak menyenangkan. Sesungguhnya aku
sendiripun baru kali ini berhadapan denganmu … " Kiyai Supit Pramana duduk di sebuah kursi yang kemudian disediakan. "Tadi Kiyai bertanyakan tentang seorang Perwira yang sakit. Apakah maksud Kiyai sesungguhnya?" "Aku ingin mengobatinya," jawab orang tua itu. "Ah,
itu satu hal yang menggembirakan. Kami sangat berterima kasih padamu
Kiyai." ujar Sri Baginda pula. "Kemudian dari pada itu Kiyai, atas nama
rakyat dan Kerajaan aku meminta agar sudilah Kiyai turun tangan membantu
menumpas kaum pemberontak. Kiyai tentu tahu bagaimana besamya bahaya
yang mengancam Kerajaan kini. Bala tentara kaum pemberontak sudah sangat
dekat. Mereka memiliki beberapa tokoh silat yang berkepandaian tinggi
pula!" Kiyai Supit Pramana menggeleng-gelengkan kepalanya dan
berkata, "Aku tahu, aku tahu, Baginda. Tapi kedatanganku kesini cuma
punya satu maksud yaitu mengobati Perwiramu yang sakit itu. Soal
pemberontak aku tak bisa ikut campur. Nah sekarang tunjukkanlah aku
dimana beradanya Perwiramu yang sakit itu!" Raja dan para Perwira
merasa kecewa. Mereka yakin jika orang tua yang sakti luar biasa itu
bersedia turun tangan pastilah kaum pemberontak berhasil ditumpas
sekalipun mereka memiliki tokohtokoh silat yang hebat! Tapi kekecewaan
itu agak terhibur oleh adanya maksud Kiyai Supit Pramana yang hendak
mengobati Untung Pararean. Jika Untung Pararean berhasil diobati dan
dapat maju kemedan laga menghadapi pemberontak, itupun sudah cukup
sebagai jaminan bahwa kaum pemberontak akan kena ditumpas! Maka atas
perintah Sri Baginda beberapa pengawal mengantarkan Kiyai Supit Pramana
ke kamar Untung Pararean. Di hadapan pintu kamar mereka berhenti. Salah
seorang Perwira memberi tahu, "Pintu ini dikunci dari dalam Kiyai." Kiyai
Supit Pramana mengangguk. Sekali kaki kirinya yang kurus kering
bergerak menendang, maka bobollah pintu kamar yang terbuat dari kayu
jati itu. Di dalam kamar tampak Untung Pararean duduk menjelepok disudut
kamar tengah sesenggukan! Keadaan dirinya kurus kering laksana
tengkorak. Kulitnya pucat pasi hanya tinggal pembalut tulang. Matanya
yang menonjol kedepan berwarna merah dan ganas. Begitu dia melihat
orang-orang itu. Untung Pararean mencabut keris Mustiko Jagat. Hawa aneh
membuat tubuhnya menjadi kuat dan laksana seekor srigala lapar
laki-laki ini melompat kehadapan Kiyai Supit Pramana seraya berteriak. "Kau
datang lagi pemuda bangsat! Kau datang lagi ya?! Mampus! Mampuslah kau
keparat!" Keris Mustiko Jagat menderu kearah dada Kiyai Supit Pramana. "Awas Kiyai!" memperingatkan seorang Perwira. "Itu senjata sakti dan mengandung racun jahat sekali!"
TERKESIAP
juga kiyai Supit Pramana melihat sinar biru pekat yang keluardari
kerisdi tangan Untung Pararean. Angin yang menyambarpun terasa dingin
menembus kulit! Tapi orang tua itu tidak kawatir! Cuma sekejap dia
terkesiap. Perwira perwira Kerajaan yang mengantarkannya tidak sempat
melihat gerakan apa yang dibuat oleh kakek kakek sakti itu karena
tahutahu saja terdengar keluhan pendek Untung Pararean. Perwira. yang
sakit ini tegak mematung dengan kedua bola mata melotot seperti mau
melompat sedang keris Mustiko Jagat sudah berada dalam tangan Kiyai
Supit Pramana! Sementara Perwira-perwira Kerajaan itu terheran-heran,
sang Kiyai mengeluarkan dua buah botol dari balik pakaiannya. Botol
pertama berisi cairan hitam. Botol kedua, lebih kecil berisi cairan
putih bening. Kiyai Supit Pramana membuka tutup botol yang pertama lalu
mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengguyurkan cairan hitam itu ke
atas kepala Untung Pararean! Meskipun tubuhnya ditotok dan tak bisa
bersuara, tapi ketika air hitam menyirami kepalanya dan kepala itu
kelihatan mengepul-ngepul maka dari mulut Untung Pararean terdengar
jeritan sedahsyat geledek membuat Perwira-perwira Kerajaan yang ada
disitu serasa terbang nyawanya! Dua kali Untung Pararean mengeluarkan
jeritan dahsyat itu lalu kembali mulutnya terkatup rapat-rapat. Kiyai
Supit Pramana membuka tutup botol yang kedua. Mulutnya kelihatan
komat-kamit, entah membaca mantera apa. "Buka mulutmu, Pararean!" memerintah sang Kiyai. Aneh,
Untung Pararean benar-benar membuka mulutnya. Di saat itulah hal aneh
lagi terjadi. Cairan putih bening di dalam botol di tangan Kiyai Supit
Pramana menyembur laksana air mancur, masuk ke dalam mulut Untung
Pararean. "Minum. Telan!" seru Kiyai Supit Pramana. Cegluk . . . cegluk … terdengar air itu lewat ditenggorokan Untung Paiarean. "Bagus!
Nah, sekarang kau pergilah ke tempat tidur itu, berbaring dan
tidurlah!" Kiyai Supit Pramana melepaskan totokan ditubuh Untung
Pararean dan begitu totokan terlepas Perwira ini laksana patung hidup
melangkah ketempat tidur, membaringkan tubuhnya, memejamkan kedua
matanya dan tidur! Orang tua itu kemudian berpaling pada Perwira-perwira Kerajaan yang berdiri terlongong-longong dibelakangnya. "Jika
dia sudah bangun nanti, sakit yang dideritanya akan sembuh. Katakan
pada Raja kalian bahwa sakit yang menimpa Untung Pararean bukan
sembarang sakit! Tapi adalah akibat kutukan seseorang terhadap apa yang
pernah dilakukan olehnya!" "Kutukan . . ,?" mengulang salah seorang Perwira. Yang
terdengar sebagai jawaban hanya sambaran angin. Ketika perwira-perwira
itu memandang ke depan Kiyai Supit Pramana sudah tidak ada sedang keris
Mustiko Jagat kelihatan tertancap didaun pintu! "Manusia sakti luar biasa …" desis seorang Perwira. Kawan-kawannya hanya bisa menganggukkan kepala sambil leletkan lidah! Benar
seperti yang dikatakan oleh Kiyai Supit Pramana begitu Untung Pararean
bangun dari tidurnya, keadaan dirinya berubah total. Otaknya telah pulih
sehat seperti sedia kala sehingga Sri Baginda benar-benar gembira dan
bersyukur atas pertolongannya si kakek sakti dan aneh itu! Maka kepada
Untung Pararean Sri Baginda dan beberapa Perwira penting menerangkan
bahaya apa yang tengah dialami Kerajaan saat itu. Dalam pertemuan itu
rencanapun segera disusun. Ketika sinar matahari mulai berkurang
teriknya karena sudah rembang petang, maka dari pintu gerbang Kotaraja
kelihatanlah serombongan besar bala tentara bergerak ke timur di bawah
pimpinan seorang Perwira yang menunggangi kuda hitam. Perwira ini
bertubuh kurus dan bermuka pucat, tapi gerak geriknya meyakinkan bahwa
dia bukan orang sembarangan, terutama yang bukan sembarangan adalah
keris Mustiko Jagat yang tersisip di pinggangnya. Dan Perwira itu bukan
lain adalah Untung Pararean! Di kiri kanannya bergerak pula beberapa
orang Perwira Kerajaan yang berkepandaian silat tinggi! Meski pada
dasarnya Untung Pararean bukanlah apa-apa jika tanpa keris Mustiko
Jagat, namun harus diakui bahwa dia memiliki otak yang cerdik. Sewaktu
hampir berpapasan dengan bala tentara pemberontak, Untung Pararean
sengaja mengirim sejumlah kecil pasukan yang dibawanya. Sesudah terjadi
pertempuran, dengan jumlah pasukan yang lebih besar Untung Pararean dan
Perwira-perwira lainnya segera mengurung kaum pemberontak sehingga
pemberontak-pemberontak itu harus menqhadapi musuh dari depan dan dari
belakang! Amukan Untung Pararean, jelasnya amukan keris Mustiko Jagat
memang bukan main hebatnya. Puluhan pemberontak menemui ajalnya di
ujung senjata sakti itu. Dua orang tokoh pemberontak yang berilmu tinggi
mandi darah dan mati di tangan Untung Pararean. Dua tokoh lainnya coba
mengeroyok Perwira ini namun merekapun mengalami nasib yang sama, harus
menyusul dua kawan mereka yang terdahulu! Sesudah pertempuran
berkecamuk hampir dua jam dengan banyak korban jatuh di pihak
pemberontak maka sisa-sisa yang masih tinggal, di bawah seorang tokoh
silat golongan hitam segera mengundurkan diri! Tapi Untung Pararean tak
mau melepaskan tokoh pemberontak yang seorang ini. Dipacunya kuda
hitamnya mengejar orang yang lain, yang kini sama sekali tak punya
pimpinan barang seorang pun banyak yang lari pontang-panting, ada juga
yang menjauhkan diri, berlutut minta ampun! Untung Pararean tak
memperdulikan mereka yang berlutut minta ampun itu. Semuanya dilabrak
dengan tendangan dan babatan keris hingga di tempat itu bertebaran lagi
mayat-mayat kaum pemberontak! Dengan hati puas Untung Pararean
kembali kepada pasukannya. Justru dalam perjalanan kembali inilah
tiba-tiba muncul satu sosok tubuh dari jurusan timur yang berlari
laksana kilat, memapas larinya kuda hitam yang ditunggangi oleh Untung
Pararena, hingga binatang ini menghentikan larinya, meringkik
keras-keras dengan menaikkan kedua kakinya ke udara tinggi tinggi,
hampir saja membuat Untuk Pararean terpelanting. "Jahannam dari mana yang minta mampus ini?" teriak Untung Pararean menggeledek. Sebagai jawaban terdengar suara mendengus! "Untung Pararean manusia rendah hina dina! Sebelum kau mampus ada baiknya kuberi tahu dulu siapa aku adanya!" Orang
yang berkata ini seorang tua renta bertubuh bungkuk. Rambutnya
awut-awutan dan menebar bau busuk. Kuku-kuku tangannya panjang-panjang
dan hitam. Dia mengenakan sebuah jubah putih yang amat dekil dan penuh
tambalan. Tubuhnya kurus kering, lebih kurus dari Untung Pararean
sendiri yang keadaannya sudah seperti jerangkong itu. Mukanya yang buruk
tambah tidak sedap dipandang karena adanya bopeng-bopeng! "Aku Gambir Seta. Orang-orang menggelariku Pengemis Sakti Muka Bopeng … !" "Hemm
. . . hanya seorang pengemis!" ejek Untung Pararean. "Aku tak ada
urusan dengan manusia macammu dan juga jangan harap belas kasihanku
untuk memberikan uang, sekalipun cuma sepeser!" Orang tua yang mengaku bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng itu tertawa aneh. "Orang yang mau mampus biasanya memang suka bicara tak karuan macam kau!" "Manusia
bermuka tahu tertimpa hujan, menghindarlah kalau tak mau kulabrak
dengan kaki-kaki kudaku!" ancam Untung Pararean sementara dilihatnya
beberapa orang Perwira dan prajurit-prajurit bergerak ke arahnya. "Mau
labrak? Silahkan! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan manusia yang
telah membunuh adik kandungku!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng pula. Terkejut
Untung Pararean mendengar ucapan orang tua itu. "Apa katamu? Adikmu
yang mana yang telah kubunuh? Katakan lekas apakah kau juga salah
seorang cecunguk pemberontak?!" "Kau memaki pemberontak-pemberontak
itu, Pararean? Jangan terlalu jauh melupakan dirimu sendiri, Perwira!
Ketahuilah. Kau lebih hina, lebih busuk dari pemberontak-pemberontak
itu!" "Kurang ajar! Kau benar-benar inginkan mampus rupanya!" teriak
Untung Pararean marah. Disentakkannya tali kekang kudanya, binatang itu
melompat kemuka, menerjang Pengemis Sakti Muka Bopeng! Tapi apa yang
terjadi kemudian sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya Pengemis
Sakti Muka Bopeng menangkap kaki-kaki depan kuda hitam itu. Disertai
dengan bentakan setinggi langit kedua tangannya digerakkan. Maka
melayanglah kuda hitam itu sejauh delapan tombak! Untung Pararean
sendiri kalau tidak lekas-lekas melompat pasti akan mendapat celaka
pula! Untung saja dia sempat mencabut keris Mustiko Jagat hingga
dengan mengandalkan hawa sakti senjata itu dia melayang enteng ke tanah
dan begitu berhadapan dengan si orang tua, langsung saja mengirimkan
satu tusukan kilat yang mematikan ke arah tenggorokan! "Ha … ha! Inilah dia keris Mustiko Jagat yang kau curi dari adikku! Kau harus mengembalikannya padaku manusia keparat!" Rasa terkejut yang amat sangat membuat Untung Pararean menarik serangannya. "Apa katamu? Apa hubunganmu dengan Empu Bharata?!" "Aku
kakaknya! Dan aku yang akan menagih hutang nyawa itu! Tapi ah, tidak!
Aku tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus bagimu, terlalu enak!
Aku akan biarkan kau tetap hidup, tapi hidup dengan menderita lahir
bathin! Lebih hebat dari penderitaanmu yang sudah-sudah!" Habis
berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng menekuk kedua lututnya. Sesaat
kemudian tubuhnyapun melesat kemuka. Tapi pada saat itu dari samping
datang sambaran senjata, memapai serangan Pengemis Sakti Muka Bopeng.
Manusia ini menggeram dan berbalik. Ternyata tiga orang Perwira telah
sampai di situ dan sama-sama mencabut pedang menyerang si Pengemis!. Salah seorang dari Perwira-perwira itu bertanya. "Kangmas Untung, siapa monyet tua ini?! Biar kami yang mencincangnya!" "Kalian
menghindarlah! Nyawanya musti aku sendiri yang cabut!" teriak Untung
Pararean lalu dengan cepat, mengiblatkan keris Mustiko Jagat, menghunjam
kearah lawannya! Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa aneh. Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari hadapan Untung Pararean. "Kangmas, awas di sampingmu!" teriak Perwira memberi ingat. Mendengar
ini Untung Pararean cepat membalik dan membabat ke samping laksana
kilat! Maka terdengarlah suara beradunya dua buah lengan! Untung
Pararean mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung sampai delapan langkah ke
belakang Lengannya yang kena dipukul sakit bukan main merah dan bengkak!
Masih untung keris Mustiko Jagat tidak terlepas dari tangannya! Di lain
Pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng juga terkejut mendapatkan bagaimana
tangannya tergetar keras dan linu. Tapi dia tahu bahwa itu bukanlah
berkat kehebatan tenaga dalam atau kesaktian si pemuda, melainkan hawa
kekuatan sakti yang keluar dari keris Mustiko Jagat. Maka satu-satunya
jalan untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lekas adalah merebut
Mustiko Jagat dari tangan Untung Pararean! Jurus kedua kembali
Pengemis Sakti Muka Bopeng yang membuka serangan. Ujung lengan jubahnya
yang sebelah kanan dikebutkan. Satu gelombang angin laksana topan
prahara menderu menyambar Untung Pararean! Pemuda itu kiblatkan keris
Mustiko Jagat dari kiri kekanan! Sinar biru memapas serangan angin
dahsyat dari Gambir Seta alias Pengemis Sakti Muka Bopeng. Terdengar
suara berdentum. Debu pasir serta batu-batu kerikil berterbangan. Bumi
laksana dilanda lindu. Untung Pararean mengeluarkan seruan tertahan
sewaktu merasakan keris Mustiko Jagat terlepas dari tangannya. Dia coba
melompat untuk menjangkau senjata itu. Tapi dia tak sadar. Sewaktu
Mustiko Jagat lepas dari tangannya, maka segala kesaktiannya yang
dimilikinya dengan serta merta lenyap. Lompatannya tak ubahnya seperti
lompatan seekor anak ayam. Jangankan untuk berhasil mendapatkan Mustiko
Jagat kembali, bahkan saat itu satu tendangan melanda pinggulnya,
membuat Untung Pararean melolong setinggi langit, mencelat sampai tujuh
tombak. Tubuhnya angsok ditanah tanpa sadarkan diri lagi! "Manusia
muka bopeng keparat!" teriak seorang Perwira Kerajaan. "Tubuhmu akan
kutabas jadi sepuluh potong!" Habis berteriak demikian dia bacokkan
pedangnya. Dua orang kawannya serentak menyerbu pula hingga Pengemis
Sakti Muka Bopeng terkurung tiga serangan pedang yang hebat ganas! "Perwira-perwira!
Aku tak punya permusuhan apa-apa dengan kalian! Jangan serang!" seru
Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya memasukkan keris Mustiko Jagat ke
balik jubahnya. Tapi mana Perwira-perwira mau mendengar! Malah mereka
bersirebut cepat untuk dapat membunuh Pengemis Sakti Muka Bopeng! Dengan
teriakan mengguntur Pengemis Muka Bopeng melompat setinggi tiga tombak,
jungkir balik di udara dan keluar dari kurungan ketiga penaeroyoknya. "Anjing
busuk! Kau mau kabur ke mana?!" Tiga Perwira Kerajaan mengejar
sementara puiuhan prajurit telah sampai pula, siap menunggu perintah
untuk menyerbu! "Perwira-perwira degil! Jika kalian minta celaka
baiklah! Lihat begaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng akan memberi
pelajaran pada kalian." Habis berkata begitu, Pengemis Sakti Muka
Bopeng berkelebat. Tubuhnya lenyap dari pemandangan dan terdengarlah
pekik ketiga Perwira itu!
PERWIRA
yang pertama mencelat mental, remuk tulang dadanya. Perwira kedua
terguling beberapa tombak dengan tempurung lutut remuk sedang Perwira
yang ketiga terhempas Ketanah tak berkutik lagi karena perutnya pecah
dihantam tendangan! Pengemis Sakti Muka Bopeng mendonqak ke langit dan
tertawa berkakakan lalu membentak pada prajurit-prajurit yang ada di
sekelilingnya. "Ayo maju kalau kalian kepingin mampus!" Tentu saja
sesudah menyaksikan Perwira-perwira mereka menemui nabis begitu rupa,
semua prajurit itu sama sekali tidak mempunyai nyali untuk menempur
kakek-kakek bermuka bopeng itu. Dengan masih tertawa bekakakan Pengemis
Sakti Muka Bopeng lari ke arah di mana tubuh Untung Pararean menggeletak
pingsan. Sesaat kemudian diapun lenyap dari pemandangan dengan membawa
tubuh Untung Pararean. Untung Pararean siuman tak berapa lama
kemudian ketika tubuhnya masih dibawa lari oleh kakek-kakek kurus kering
itu. Pinggulnya terasa sakit karena tulang dibagian situ remuk akibat
tendangar si kakek. Bagaimanapun Untung Pararean mengerahkan tenaga
namun jangankan untuk bisa melepaskan diri dari kempit si kakek untuk
bergerak sedikitpun dia tidak sanggup! "Muka Bopeng, kau mau bawa ke mana aku?!" tanya Untung Pararean. "Heh! Kau sudah siuman?!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu menghentikan larinya. Dia
memandang berkeliling. Daerah itu adalah daerah rimba belantara tapi
yang banyak terdapat batu-batu besar. Dulunya ada sebuah sungai mengalir
di situ, tapi kemudian kering dan karena itulah ditempat! tersebut
masih terdapat batu-batu sungai yang besar-besar. "Bagus! Bagus!
Tempat inipun cukup pantas untuk menyaksikan bagaimana hari ini aku
hendak merubah muka seorang manusia yang tampan gagah, seorang Perwira
Kerajaan, menjadi muka yang tebih buruk, lebih mengerikan dari muka
setan!" Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa
gelak-gelak hingga seluruh rimba belantara jadi bergema. Beberapa burung
hutan lari beterbangan karena dikejutkan oleh suara tertawa manusia
itu! Dilepaskannya Untung Pararean dari kempitan lalu dilemparkannya ke
atas sebuah batu besar hingga Perwira itu menjerit kesakitan! Dengan
mengeluarkan suara tertawa lebih dahsyat, Pengemis Sakti Muka Bopeng
melangkah mendekati Untung Pararean. Untung Pararean tahu tak satu
apapun yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Maka dengan
susah payah dicobanya bangun dan berlutut lalu sambil meratap dia minta
ampun berulang-ulang. "Kau minta ampun? Puah . . . ! Tidak satu orangpun yang bisa mengampuni dosa terkutukmu!" "Kalau
kau mengampuni selembar nyawaku ini dan mengembalikan keris Mustiko
Jagat. Aku berjanji akan memberikan lima ratus keeping uang emas,
barang-barang perhiasan bahkan apa saja yang kau minta!" Pengemis Sakti
itu cuma tertawa mendengar ucapan Untung Pararean. "Manusia anjing!
Aku memang tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus buatmu! Tapi apa
yang aku lakukan percayalah, lebih mengerikan dari kematian!" "Pengemis Sakti . . . " "Sudah diam!" bentak kakek-kakek itu lalu secepat kilat menjambak rambut Untung Par,rean dengan tangan kirinya. "Pertama sekali mulai detik ini kau akan menyaksikan bagaimana bagusnya dunia ini bila dilihat cuma dengan sebelah mata!". "Begitu
selesai berkata tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng meluncur
kedepan. Dua jari tangan terpentang luruslurus dan "cras"! Biji mata
Untung Pararean yang sebelah kiri mencelat mental, darah dan
urat-uratnya berbusaian! Jerit laki-laki itu laksana mau merobek langit
karena tekanan sakit yang tak dapat dilukiskan sedang di lain pihak
Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak melihat hasil
pekerjaannya! "Bagaimana kau lihat dunia ini sekarang? Bukankah lebih bagus? Lebih indah … ? Ha … ha . . . .ha . . ha …!" "Manusia biadab!" teriak Untung Pararean dalam sakitnya. "Kau hanya berani pada orang yang tak punya daya!" "Kau
masih bisa menceloteh hah?! Coba kau rasakan ini! Aku mau lihat apa kau
nanti masih bisa bicara!" Tangan kanan Pengernis Sakti Muka Bopeng
berkelebat lagi ke muka Untung Pararean. Untuk kedua kalinya terderigar
jeritan laki-laki itu, tapi yang sekali ini tidak sedahsyat yang pertama
tadi. Mungkin juga disebabkan oleh mulutnya yang sebelah karan robek
sampai ke pipi dibeset oleh Pengemis Sakti Moka Bopeng. Tubuh Untung
Pararean menggigil menahan sakit. Sebagian dari bibirnya yang sebelah
bawah menjulai akibat mulutnya yang robek sedang darah yang keluar
semakin menambah seram keadaan mukanya! Pengemis Sakti Muka Bopeng bersurut mundur beberapa langkah. Lalu sambil bertolak pinggang ditelitinya wajah Untung Pararean. "Masih
kurang seram! Masih belum mengerikan!" katanya lalu maju lagi kehadapan
korbannya yang manggeletak di atas batu besar. Untuk ketiga kalinya
tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng bergerak. Kali ini kelima
jari-jari tangannya yang berkuku panjang mencengkeram dimuka Untung
Pararean yang saat itu befada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dan
cengkeraman itu benar-benar membuat muka Untung Pararean kini menjadi
sangat mengerikan dan berselomotan darah. Kulit kening dan kedua pipinya
hancur bergurat-gurat. Cuping hidungnya sebelah kiri tanggal! "Nah, sekarang baru kau betul-betul jadi manusia bermuka lebih seram dari setan! Aku puas …! Aku puas! Ha . . . ha … ha! Hiduplah
kau sampai seribu tahun, Pararean! Tak satu manusiapun yang akan mau
mendekatimu! Ha . . . ha … ha . . .!" Setelah puas tertawa beberapa
lamanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu berkata, "Sekarang kau
tunggulah sendirian di sini. Sebentar lagi tentu setan-setan, jin dan
dedemit penghuni hutan belantara ini akan mengunjungimu! Heh, sebelum
lupa, aku nasihatkan padamu agar jangan kembali ke kotaraja! Bisa-bisa
semua orang akan kabur ketakutan melihatmu si Perwira Kerajaan yang
telah berubah menjadi setan!" "Ha … ha . . . ha!" Pengemis Sakti Muka Bopeng hendak berlalu dari situ. Tapi mendadak diputarnya badannya. "Aku kelupaan!" katanya. "Masih
ada yang kurang! Masih ada yang kurang!" Kedua tangannya diacungkan ke
muka lalu bergerak ke telinga Untung Pararean. Sekejap kemudian kedua
daun telinga laki-laki itupun buntunglah! Untung Pararean sendiri tak
mengetahui apa yang telah terjadi dengan dirinya karena saat itu dia
sudah tidak sadarkan diri lagi!
***
Sang surya telah menggelincir ke barat. Sinarnya yang terik menyilaukan
kini berubah redup kekuningan. Setiap benda yang disapu sinar itu
seolah-olah berubah warnanya menjadi kuning. Disaat hari menjelang sore
itulah seorang kakek-kakek tua berjubah putih bersih kelihatan berada
disekitar hutan belantara. Kelihatannya dia melangkah biasa saja tapi
dalam tempo yang singkat dia sudah melewati belasan tombak! Nyatalah
bahwa orang tua itu memiliki semacam ilmu lari yang luar biasa! Bila
angin timur bertiup sejuk, orar:g tua itu telah lenyap ke dalam rimba
belantara. Tak selang berapa lama terdengarlah satu suara helaan
nafasnya yan;j dalam sekali. Si orang tua ternyata telah menghentikan
"langkah"nya dan berdiri di hadapan batu besar di mana tubuh Untung
Pararean menggeletak! "Tujuh puluh lima tahun hidup, baru hari ini
aku melihat kengerian yang luar biasa ini," membathin si orang tua
"Sungguh hebat kenyataan kutukan Empu Bharata…" desisnya lagi dalam
hati. Setelah menghela nafas dalam untuk kedua kakinya orang tua ini
melangkah lebih dekat. Saat itu tubuh Untung Pararean yang menggeletak
di atas batu, sedikitpun tidak bergerak. Tak ada tanda-tanda getaran
pernafasan pada dada ataupun perutnya. Namun sepasang mata si orang tua
yang tajam mengetahui bahwa Untung Pararean saat itu masih hidup. Tanpa
menunggu lebih lama orang tua itu lalu mengangkat tubuh Untung Pararean
dari atas batu, memangulnya untuk kemudian meninggalkan tempat itu
dengan cepat menuju ke utara. Siapakah gerangan orang tua yang telah
membawa Untung Pararean itu? Dia bukan lain Kiyai Supit Pramana yang dua
hari lalu telah mengobati Untung Pararean di Istana! Bagaimana maka dia
bisa pula sampai di situ baiklah kita tuturkan sedikit. Nama Kiyai
Supit Pramana pada masa itu di tanah Jawa dikenal sebagai tokoh silat
golongan putih yang dihormati dan disegani berkat ilmunya yang tinggi.
Pada suatu malam di pertapaannya yang terletak di puncak Gunung Bromo
dia bermimpi kedatangan almarhum gurunya yang bernama Eyang Pamanik.
Dalam mimpi itu Eyang Pamanik berkata pada Kiyai Supit Pramana. "Muridku,
tinggalkanlah puncak Bromo ini dan pergi ke Kotaraja. Di dalam
lingkungan Istana ada seorang Perwira Kerajaan yang menderita sakit
keras! Sakitnya bukan sembarang, sakit, tapi sakit akibat kutukan Empu
Bharata yang pernah diam di Gunung Slamet. Kau mempunyai kewajiban
sebanyak tiga kali berturut-turut menolong Perwira itu. Pertama
mengobati sakitnya dengan ramuan Air Tawar Putih dan Air Tawar Hitam.
Bila sudah tinggalkan Istana dan pergi kebukit Tulungsentana. Tunggu
sampai satu setengah hari kemudian pergi kehutan yang terletatak di
tenggara Kotaraja. Kelak di dalam hutan ini kau bakal menemui lagi
Perwira itu dalam keadaan yang mengerikan. Itu adalah juga akibat
kutukan Empu Bharata. Pertolongan kedua yang harus kau lakukan muridku,
ialah membawa Perwira itu kepuncak Bromo ini, memberikan pelajaran ilmu
silat padanya, tapi sekali-kali kau tak boleh mengambil dia sebagai
murid! Pertolongan yang ketiga kelak harus kau lakukan di kemudian hari
bila kau merasa bahwa nyawanya betul-betul terancam. Sesudah itu meski
apapun yang terjadi dengan dirinya, kau tak berhak lagi menolongnya! " Begitulah
kira-kira ucapan Eyang Pamanik pada Kiyai Supit Pramana dalam mimpinya.
Keesokan paginya, lama Kiyai Supit Pramana merenungi makna mimpi
mendiang gurunya itu. Memang pernah juga dia bermimpikan Eyang Pamanik,
tapi dalam mimpi itu sang guru cuma sekadar memperlihatkan diri saja,
tak pernah bicara apalagi sampai memberi pesan seperti itu. Yakin bahwa
apa yang diimpikannya itu hanyalah bunga tidur belaka, maka Kiyai Supit
Pramana tak mau lagi mengigatnya. Tapi pada malam berikutnya, mimpi yang
sama datang kembali, bahkan terulang lagi di malam ketiga! Kini
Kiyai Supit Pramana merasa pasti bahwa mimpinya itu bukanlah sekedar
mimpi biasa, bukan pula apa yang dikatakan bunga tidur. Tanpa menunggu
lebih lama hari itu juga Kiyai Supit Pramana meniggalkan puncak Gunung
Bromo menuju ke Kotaraja. Dalam perjalanan ke Kotaraja itulah orang tua
yang berumur 75 tahun ini mengetahui bahwa saat itu Kerajaan tengah
terancam bahava besar kaum Pemberontak. Timbul niat dalam hati orang tua
sakti itu untuk turun tangan menumpas gembong-gembong pemberontak tapi
dia ingat akan pesan gurunya di dalam mimpi. Dia tak berani bertindak
sendiri di kala ada kewajiban yang harus dijalankannya. Karena itu
dipercepatnya perjalanannya ke Kotaraja hingga tiga hari kemudian
sampailah dia ditempat tujuan tersebut. Memasuki Kotaraia kerrudian
diketahuinya pula bahwa memang ada seorang Perwira Kerajaan yang bernama
Untung Pararean sedang menderita sakit yang kritis bahkan ada yang
mengatakan bahwa Perwira itu sudah gila, tak mau makan tak mau minum,
kerjanya berteriak-teriak, kadang-kadang menangis menggerung-gerung
memanggil-manggil anak isterinya yang pergi entah ke mana. Juga
dikatakan bahwa siapa saja yang berani mendekati Perwira yang sakit itu,
pasti dibunuh. Kabarnya pula Perwira itu memiliki sebilah keris bernama
Mustiko Jagat! Sampai sebegitu jauh tak ada seorang yang sanggup
mengobati sakitnya sang Perwira. Raja sendiri sudah tak berdaya apa-apa,
mengingat pula saat itu yang menjadi pikiran Raja dan Perwiraperwira
lainnya bukanlah Perwira yang bernama Untung Pararean itu, tapi bahaya
besar yang mengancarn Kerajaan yakni serbuan kaum pemberontak yang sudah
berada sangat dekat dari Pusat Kerajaan! Kini betul-betul nyata bagi
Kiyai Supit Pramana, bahwa impian dan pesan gurunya dalam mimpi itu
bukanlah hal yang kosong belaka. Bagaimana Kiyai Supit Pramana
mengobati dan menyembuhkan Untung Pararean telah diceritakan. Sesudah
melakukan pesan atau pertolongan yang pertama itu maka Kiyai Supit
Pramana lalu meninggalkan Kotaraja menuju ke bukit Fulungsentana. Sesuai
dengan pesan Eyang Pamanik, maka Kiyai Supit Pramana herdiam selama
satu setengah hari di bukit tersebut. Selewatnya satu setengah hari dia
lalu menuju ke hutan yang terletak di sebelah tenggara. Belum jauh
memasuki hutan, langkahnya terhenti sewaktu menemukan sesosok tubuh
menggeletak di atas sebuah batu besar. Inilah rupanya sosok tubuh Untung
Pararean sebagaimana yang diterangkan Eyang Pamanik lewat mimpi! Oleh
Kiyai Supit Pramana tubuh Untung Pararean yang berada dalam keadaan
pingsan itu kemudian segera dilarikan kepuncak Gunung Bromo.
DUNIA
berputar juga. Siang berganti dengan malam, malam berganti pula dengan
siang, demikian terus tiada hentinya hingga tak terasa lagi enam belas
tahun telah berlalu. Selama enam belas tahun itu pulalah Untung Pararean
tinggal dipuncak Gunung Bromo bersama Kiyai Supit Pramana. Keadaan muka
Untung Pararean meskipun sudah sejak lama sembuh tapi bekas-bekas yang
ditinggalkan tetap mengerikan. Melihat penderitaan lahir maupun bathin
Untung Pararean inilah maka Kiyai Supit Pramana merasa kasihan padanya.
Karena itulah pada Untung Pararean sang Kiyai menurunkan ilmu silat dan
beberapa pukulan-pukulan sakti. Berkat ketekunannya meyakini semua yang
dipelajari dari Kiyai tersebut maka dalam masa enam belas tahun itu
Untung Pararean telah menjadi seorang pendekar gemblengan. Disamping
pelajaran ilmu Oat, dari Kiyai Supit juga diterimanya berbagai macam
pelajaran yang bersifat kerohaniaan. Banyak sekali nasihat-nasihat yang
diberikan orang tua itu kepada Untung Pararean sehingga Untung Pararean
yang kini berumur tiga puluh lima tahun itu bukan saja memiliki
kepandaian yang tinggi, tapi juga hati yang tabah. Namun
kadang-kadang, bilamana dia berada seorang diri ingatannya melayang pada
anak istrinya. Tentu sekarang Sri Lestari sudah menjadi seorang remaja
puteri. Betapa rindunya dia terhadap anaknya itu, bahkan dia juga sering
terkenang terhadap istrinya, meskipun apa yang telah dilakukan Sri
Kemuning tempo hari tetap membekas dalam kalbunya laksana duri dalam
daging. Segala tindak tanduk Untung Pararean tidak terlepas dari
pengawasan Kiyai Supit Pramana. Dan dia maklum juga apa yang terpikir
oleh laki-laki itu bila berada seorang diri. Pernah Kiyai Supit Pramana
menganjurkan agar Untung Pararean turun gunung untuk mencari anak
istrinya dan berkumpul bersama-sama kembali. Tapi saat itu Untung
Pararean menjawab : "Saya lebih suka tetap, tinggal bersama-sama Kiyai di sini." "Kenapa begitu? Agaknya kau tak punya tanggung jawab sebagai seorang ayah dan sebagai seorang suami." Lama
Untung Pararean terpekur dan pada akhirnya dia menjawab juga, "Tanggung
jawab sebagai seorang suami sudah pernah kuberikan pada istriku, Kiyai.
Dan tanggung jawab itu telah disia-siakannya. Kiyai tentu maklum. . . .
" Kiyai Supit Pramana mengangguk. Dia memang sudah tahu apa yang
pernah terjadi antara Untung Pararean dan istrinya yaitu ketika Untung
menuturkan riwayat hidupnya. "Lalu karena hal itu apakah kau tak akar mempunyai hasrat sama sekali untuk menemui anakmu?" bertanya lagi Kiyai Supit Pramana. "Betapapun
seorang ayah selalu merindukan anaknya, Kiyai." kata Untung Pararean.
Ditelannya ludahhya lalu melanjutkan, "Tapi apakah dia akan mau mengakui
aku sebagai ayahnya? Kiyai saksikan sendiri bagaimana mengerikannya
parasku ini. Bahkan Sri Kemuning sendiripun pasti tak bisa mengenaliku!
Aku tak ingin mengecewakan hati Sri Lestari Kiyai, karena memiliki
seorang ayah sepertiku ini. Yang mukanya lebih seram dari muka setan!" Bila
pembicaraan sudah sampai disitu, biasanya Kiyai Supit Pramana tak mau
meneruskan pembicaraan. Dia kawatir kalau diteruskan maka pembicaraan
hanya akan membuat menguaknya kembali luka derita di lubuk hati Untung
Pararean yang coba hendak dilupakan itu. Pada suatu hari, untuk satu
keperluan Kiyai Supit Pramana menyuruh Untung Pararean ke kota
Linggoprobo di utara Gunung Bromo. Linggaprabo terletak di tepi pantai
yang ramai disinggahi perahuperahu dari pelbagai negeri dan sekaligus
merupakan salah satu kota pusat perdagangan di Jawa Timur pada masa itu.
Dengan mengenakan kain hitam untuk menutupi parasnya, Untung
Parareanpun berangkatlah. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk
mengenakan penutup muka begitu bila dia turun gunung. Sementara itu
di sebuah pulau yang terletak di Selat Madura terdapatlah sebuah
bangunan yang besar dan bagus yang keseluruhannya dibuat dari bambu
kuning. Tiga orang yang mengenakan pakaian kotor bertambal-tambal
kelihatan berada diruangan muka. Dari ruang dalam tak lama kemudian
keluar seorang dara muda belia berparas jelita. Rambutnya hitam panjang
dijalin dua. Langkahnya ringan dan gerak geriknya lincah. Seperti
orang-orang yang berada di ruang muka itu, dara inipun mengenakan
pakaian ringkas bertambal-tambal tetapi bersih. "Hai jangan mengobrol juga! Ayah memanggil kalian!" seru dara itu. Ketiga
orang laki-laki yang asyik bicara di ruang depan berpaling dan berdiri
dari kursi masing-masing lalu mengikuti si dara memasuki sebuah kamar. Di
dalam kamar itu duduk bersila seorang laki-laki bermuka bopeng,
berpakaian bertambal-tambal. Karena tubuhnya yang bungkuk maka duduknya
sangat menjorok ke depan. Rambutnya awut-awutan dan bau. Sepuluh kuku
jarinya panjang, hitam berdaki. Tubuhnya yang bungkuk itu amat kurus
hingga tak ubahnya seperti jerangkong hidup. Di samping tua renta ini
duduk seorang perempuan separuh baya berkulit hitam manis dan berparas
yang menyatakan bahwa dia dulunya adalah seorang perempuan yang cantik.
Perempuan inipun mengenakan pakaian yang bertambal-tambal. Kelima orang
yang masuk itu duduk bersila di atas tikar, si dara duduk di samping
perempuan separuh baya itu. "Guru memanggil kami, ada perlu apakah?"
bertanya laki-laki yang berbadan sangat gemuk, demikian gemuknya hingga
tak kelihatan lagi batas dagu dengan leher! Dan namanya Pengemis Badan
Gemuk. "Kurasa kau dan saudara-saudara seperguruanmu sudah tahu
tentang tantangan Si Cadar Hitam," menjawab orang tua yang bermuka
bopeng itu. "Aku muak menghadapi manusia macam begituan. Karenanya
kupanggil kalian ke sini untuk memberi tugas agar kalian yang mewakilkan
aku memenuhi tantangan itu." "Terima kasih yang guru telah menaruh kepercayaan besar terhadap kami," berkata Pengemis Badan Gemuk, lalu tanyanya, "Apakah kami harus berangkat sekarang juga?" "Ya.
Karena besoklah hari tantangan yang dikatakan oleh Si Cadar Hitam.
Kalian pergilah ke Linggoprobo dan tunggu dia di rumah makan Akik Rono
yang terletak di pangkalan perahu. Jika dia datang kalian tahu apa yang
harus diperbuat. Kalian jangan sampai membikin malu namaku dan juga
membikin buruk nama kalian sendiri selaku orangorang yang dijuluki Empat
Pengemis Pulau Ras." "Percayalah guru, kami berempat pasti tak akan mengecewakan dan tak akan memberi malumu. Kami minta diri sekarang!" kata
Pengemis Badan Gemuk seraya berdiri. Dua orang kawannya yaitu
masing-masing Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera pula
berdiri sementara sang dara yang berjalin dua berkata pada perempuan
disampingnya: "Ibu, aku pergi bersama mereka." "Pergilah dan hati-hati. Jangan mengecewakan ayahmu, Lestari." Sri
Lestari, demikian nama dara belia itu yang juga dikenal dengan julukan
Pengemis Cantik Ayu berdiri dan melangkah ke hadapan ayahnya untuk
pamitan. Tak lama kemudian dengan mempergunakan sebuah perahu, keempat
orang yang di dunia persilatan dikenal dengan nama Empat Pengemis Pulau
Ras itupun berangkatlah menyeberangi Selat Madura menuju ke pesisir
Utara Pulau Jawa. Siapakah sesungguhnya orang tua bermuka bopeng yang
tinggal dalam rumah besar terbuat dari bambu kuning itu? Dia bukan lain
dari Pengemis Sakti Muka Bopeng yang sekitar enam belas tahun yang
lglewat telah melakukan penuntutan balas terhadap Untung Pararean atas
kematian adiknya yaitu Empu Bharata. Dan perempuan berkulit hitam
manis yang tadi duduk di sampingnya? Jangan pembaca terkejut karena
perempuan itu adalah Sri Kemuning, istri Untung Pararean yang telah
melarikan diri dari Istana yaitu sesudah dia tertangkap basah melakukan
perzinahan dengan seorang pengawal. Nasib peruntungan manusia memang
tidak di-duga-duga. Dalam larinya dari Istana bersama anaknya yang
bernama Sri Lestari, Sri Kemuning telah tersesat ke dalam rimba
belantara yang penuh dengan binatangbinatang buas. Dua beranak itu
hampir saja menjadi pengisi perut seekor harimau besar jika saat itu
tidak muncul Pengemis Sakti Muka Bopeng. Setelah menolong kedua beranak
dan karena merasa kasihan melihat kehidupan mereka yang terlantar, maka
akhirnya Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri Kemuning dan Sri Lestari
ke Pulau Ras. Di sana mereka kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa
sedikitpun di ketahui oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng bahwa perempuan
yang dikawininya itu adalah istri Untung Pararean yang melarikan diri!
Kemuning sendiri tak pernah menerangkan siapa dia sebenarnya karena dia
kawatir kalau-kalau akan sampai kabar ke telinga Untung Pararean di mana
dia berada yang berarti pasti akan dikejar pula dan dibunuh! Sewaktu
Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri Kemuning ke Pulau Ras, Sri
Lestari masih kecil, dan sekarang sesudafi lewat enam belas tahun Sri
Lestari telah menjadi seorang gadis belia yang berparas jelita.
Sebagaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak mengetahui bahwa Sri
Kemuning adalah dulu istrinya Untung Pararean, maka demikian pula dengan
Sri Lestari Gadis itu tidak pula mengetahui kalau Pengemis Sakti Muka
Bopeng bukanlah ayah kandungnya! Pengemis Sakti Muka Bopeng sangat
menyayangi Sri Lestari. Karena itulah sejak dari kecil Sri Lestari
diberinya pelajaran silat sehingga enam belas tahun kemudian Sri Lestari
menjadi seorang gadis cantik yang tinggi sekali kepandaiannya! Dalam
pada itu Pengemis Sakti Muka Bopeng juga mengambil tiga orang murid.
Ketiganya lakilaki. Mereka itu adalah Pengemis Badan Gemuk, Pengemis
Kepala Botak dan Pengemis Badan Kurus. Pada sekitar satu tahun yang
lalu telah terjadi perselisihan antara Gambir Seta atau yang lebih di
kenal dengan gelaran Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seorang tokoh
silat dari Barat. Tokoh silat ini tak diketahui siapa namanya tapi
karena setiap muncul dia selalu mengenakan kain cadar berwarna hitam
untuk menutupi mukanya maka orang-orang persilatan menggelarinya Si
Cadar Hitam. Aliran mana yang dianut oleh Si Cadar Hitam tidak jelas.
Kadangkadang dia bersekutu dengan golongan hitam, kadangkadang bahu
membahu dengan golongan putih menghancurkan kejahatan-kejahatan golongan
hitam! Perselisihan yang terjadi antara Perigemis Sakti Muka Bopeng
dengan Si Cadar Hitam akhirnya menjadi satu baku tanding yang
dilangsungkan di Tanjung Bunga Rampai, yakni sebuah tanjung terjal yang
terletak di sebelah tenggara Pulau Ras. Pengemis Sakti Muka Bopeng
adalah seorangtokoh silat daerah Timur yang telah terkenal ketinggian
ilmunya. Namun kali ini agaknya dia menghadapi seorang lawan, yang
meskipun baru muncul, memiliki pula ilmu kepandaian yang luar biasa.
Sehingga setelah baku tanding sanmpai setengah harian barulah akhirnya
Pengemis Sakti Muka Bopeng berhasil memukul rubuh Si Cadar Hitam! Bagi
Pengemis Sakti Muka Bopeng yang berhasil keluar sebagai pemenang, apa
yang telah terjadi bukan lagi merupakan persoalan yang hariis dipikir
panjang. Tapi tidak demikian bagi pihak yang kalah. Sebelum berpisah
dalam kekalahan pahit itu, Si Cadar Hitam telah mengeluarkan ucapan
tantangan terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng. "Aku akui keunggulanmu
saat ini Muka Bopeng." demikian Si Cadar Hitam berkata, "tapi itu bukan
berarti aku akan mengakuinya selama-lamanya! Walau bagaimanapun
kemenanganmu di sini adalah karena kau berada di sarang sendiri!" "Lantas apa maumu, Cadar Hitam?!" tanya Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seringai mengejek. "Kita harus menentukan lagi siapa yang paling unggul antara kita berdua!" jawab Si Cadar Hitam ketus. "Apa kau masih punya muka dan punya nyali sesudah kujatuhkan hari ini?!" Cadar
Hitam menggeram dan menjawab, "Kau boleh bicara sombong saat ini karena
kemenanganmu. Tapi kutunggu kau satu tahun di muka di rumah makan Akik
Rono di pelabuhan Linggoprobo! Kalau kau tidak muncul, dunia persilatan
akan mengetahui bahwa kau hanyalah seorang bergundal pengecut belaka!" Pengemis
Sakti Muka Bopeng tertawa membahak mendengar ucapan yang merupakan
tantangan itu. Sebaliknya Si Cadar Hitam memutar tubuh dan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu! Ketika hari tantangan itu tiba, Pengemis Sakti
Muka Bopeng merasa segan untuk melayani Si Cadar Hitam. Karena itulah
disuruhnya Sri Lestari dan ketiga muridnya untuk mewakilinya dalam
menghadapi Si Cadar Hitam.
SEMUA
orang di pelabuhan Linggoprobo tak satupun yang berani mengangkat
kepala memandang kepada keempat orang yang baru saja turun dari perahu
itu. Orang-orang yang berkumpul bersibak memberi jalan. "Aku tak
habis mengerti pada manusia-manusia itu," kata gadis yang rambutnya
dijalin dua. "Setiap kita muncul mereka ketakutan sekan-akan Empat
Pengemis Pulau Ras adalah empat ekor harimau kelaparan atau empat setan
pelayangan yang menyeramkan!" Tiga orang laki-laki yang berjalan di
belakang gadis itu tertawa. Salah seorang di antaranya, yang berbadan
gemuk menjawab. "Tak usah perdulikan mereka! Kita percepat saja langkah,
siapa tahu mungkin Si Cadar Hitam, sudah menunggu di rumah makan Akik
Rono!" Keempat orang itu kemudian memutar langkah kejurusan timur
pelabuhan di mana terletak rumah makan Akik Rono, sebuah rumah makan
besar yang cuma satu-satunya terdapat di pelabuhan Linggoprobo. Saat
itu hampir tengah hari dan rumah makan tersebut sedang ramai-ramainya
dikunjungi tamu. Tapi begitu Empat Pengemis Pulau Ras muncul di ambang
pintu, semua orang yang ada di situ, tak perduli sedang lahap makan atau
masih tengah menunggu pesanan mereka, cepat-cepat saja berdiri dan
angkat kaki meninggalkan rumah makan. "Kalian lihat!" kata dara berjalin dua yaitu Sri Lestari. "Mereka menghindar sesudah melihat kedatangan kita!" Laki-laki
yang berbadan gemuk yaitu Pengemis Badan Gemuk tidak mengacuhkan ucapan
saudara seperguruannya. Dia memandang ke seantero ruangan tapi orang
yang dicarinya tidak kelihatan. "Rupanya dia belum datang. Ayo kita masuk!" Baru
saja Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu melewati ambang pintu,
seorang laki-laki separuh baya yang berbadan pendek dan tak kalah
gemuknya dengan Pengemis Badan Gemuk mendatangi tergopohgopoh, menjura
pada keempat orang itu dengan hormat sekali. Dialah Akik Rono, pemilik
ruang makan. "Kembali rumah makanku mendapat kehormatan kedatangan ‘Empat Pengemis Pulau Ras. Mari masuk dan silahkan mengambil tempat …? Keempat
orang itu sengaja mengambil tempat yang baik agar dapat mengawasi pintu
masuk dengan leluasa. Sementara itu Akik Rono telah memberi perintah
pada pelayan-pelayannya untuk menghidangkan makanan serta minuman yang
enak-enak untuk keempat tetamu tersebut. Tak lama kemudian Empat
Pengemis Pulau Ras kelihatan asyik menikmati isi piringnya
masing-masing. Pengemis Badan Gemuk tengah menyeka butirbutir peluh
dikeningnya, Pengemis Badan Kurus tengah mengulurkan tangan hendak
memotes sebuah pisang, Pengemis Kepala Botak tengah mengusap-usap
perutnya yang keras padat kekenyangan dan Pengemis Cantik Ayu telah
menyibakkan rambutnya yang tergerai di kening ketika telinga
masing-masing mendengar suara siulah yang tak menentu tapi keras dan
aneh! Keempatnya saling berpandangan. "Siapa pula yang bersiul kegirangan di tengah hari bolong begini!" kata Pengemis Kepala Botak sambil mengawasi pintu masuk. Suara
siulan mendadak berhenti, berganti dengan suara tarikan nafas dan
sesaat kemudian di ambang pintu muncullah seorang pemuda berpakaian
putih. Rambutnya gondrong mukanya berminyak keringat dan kotor disaput
debu tanda dia baru saja menempuh perjalanan jauh. Sambil
mengipas-ngipaskan tangannya untuk mengurangkan hawa panas, pemuda ini
pergi duduk dekat pintu. Dia memandang berkeliling, memperhatikan Empat
Pengemis Pulau Ras sejenak lalu berpaling pada laki-laki separuh baya
bertubuh gemuk dan pakai blangkon yang berdiri di sudut kiri. "Kota
besar seramai ini, rumah makannya cuma satu!" berkata pemuda itu
-seolah-olah pada dirinya sendiri. Dan dilihatnya laki-laki gemuk
berblangkon itu melangkah ke hadapannya. Si pemuda tersenyum. "Panas sekali!" katanya pada Akik Rono. "Orang segemukmu apakah tidak kepanasan seperti aku?!" Akik Rono tersenyum pula. "Aku sudah biasa dengan udara laut yang panas. Kau mau memesan apa, orang muda?" Tamu
yang baru datang itu menyebutkan makanan dan minuman yang
dikehendakinya. Akik Rono baru saja meninggalkan meja si pemuda sejauh
dua langkah ketika di seberang sana didengarnya suara meja digebrak!
Dengan muka pucat karena terkejut pemilik rumah makan itu berpaling.
Dilihatnya Pengemis Badan Gemuk berdiri dengan cepat dan kasar hingga
kursi yang didudukinya terpelanting dan mengeluarkan suara berisik. Dengan
langkah-langkah besar dan muka kelam merah sedang sepasang mata melotot
garang, Pengemis Badan Gemuk menuju ke meja di mana pemuda berambut
gondrong duduk. "Rambut gondrong sialan! Kau berani kurang ajar menghinaku hah?" Si pemuda jadi melongo. Kedua alis matanya yang tebal naik ke atas sedang kulit keningnya mengerenyit tanda dia terheran-heran. "Tak
ada hujan tak ada angin kenapa kau mendadak beringas begini, sobat?!"
tanya si pemuda setelah terlebih dulu meneliti Pengemis Badan Gemuk dari
kepala sampai ke kaki. "Kau bicara apa tadi sama pemilik rumah makan ini? Ayo coba kau ulangi!" bentak Pengemis Badan Gemuk. "Eh
. . . " si pemuda menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. "kurasa tak
ada ucapanku yang kutujukan padamu. Apalagi dengan maksud menghina!" "Kurang
ajar berani mungkir terhadap aku Pengemis Badan Gemuk! Tadi kau bicara
tentang panas dan tentang orang gemuk! Apa itu bukan berarti
menghinaku?! Ayo lekas kau berlutut minta ampun! Kalau tidak jangan
menyesal bila kepalamu kupuntir ke belakang!" Dalam keheranan yang masih belum lenyap si pemuda tiba-tiba tertawa. Mula-mula pelahan, makin lama makin santar terbahak-bahak! "Sobat
kau salah sangka! Kalau di sini cuma kau sendiri yang gemuk gendut
memang bisa juga kau merasa terhina! Tapi tadi aku bicara sama laki-laki
itu! Dia sendiri sama sekali tidak merasa terhina! Kenalpun aku tidak
padamu, perlu apa menghina segala?!" Ucapan-ucapan itu membuat Pengemis Badan Gemuk menjadi tambah naik darah. "Kau berani bermulut besar, bocah! Aku mau lihat apakah kau juga berani menerima pukulanku ini!" Habis
berkata begitu Pengemis Badan Gemuk mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi. Di saat itu dari meja di seberang sana terdengar seruan. "Gemuk!
Kenapa kau mau melayani pemuda dogol yang tampaknya tidak berotak sehat
itu?! Jangan cari urusan tak karuan! Kita datang ke sini bukan untuk
itu! Ayo kembalilah ke sini!" Si pemuda rambut gondrong memalingkan
kepalanya. Yang berseru adalah gadis cantik berjalin dua. Dia tersenyum
pada gadis itu dan berkata, "Kau betul saudari! Memang tak ada
gunanya mencari urusan yang tak karuan! Satu hal kuberi tahu padamu,
tampangku memang dogol, namun otakku mungkin jauh lebih sehat dari si
gemuk ini!" Pengemis Badan Gemuk berteriak marah! Kaki kanannya
melayang laksana kilat cepatnya ke arah dada si pemuda rambut gondrong!
Terdengar satu suara siulan yang disusul dengan mentalnya kursi yang
tadi diduduki si pemuda! Kursi itu bukan saja mental tapi hancur
berkeping-keping! "Gemuk! Aku bilang kembali ke sini!" teriak Sri
Lestari, atau Pengemis Cantik Ayu. "Kalau tidak aku akan laporkan pada
ayah nanti!" "Tapi bangsat ini keliwat menghina, Lestari!" sahut Pengemis Badan Gemuk dengan rahang-rahang menggembung. "Biarkan dia. Namanya saja orang sinting!" Sri Lestari berpaling pada pemilik rumah makan. "Akik Rono, kau usirlah pemuda itu!" perintahnya. Dengan
ketakutan Akik Rono meiangkah ke hadapan si pemuda rambu gondrong, lalu
berkata: "Den, aku harap kau sudi meninggalkan tempat ini…" "Baik baik tapi mana itu makanan yang aku pesan? Hidangkan dulu, nanti baru aku mau pergi. Jawaban
si pemuda membuat Akik Rono serba salah. Dia takut pada Empat Pengemis
Pulau Ras, tapi terhadap si pemuda itu agaknya dia juga tak berani
berlaku sembarangan. Maka diapun bicara berbisik-bisik: "Den, kau harus
tahu keempat orang itu adalah Empat Pengemis Pulau Ras yang
berkepandaian silat tinggi sekali! Aku tak ingin mendapat celaka.
Kuharap kau sudi segera meninggalkan tempat ini." Si pemuda merutuk dalam hatinya. "Meski bemama pengemis agaknya mereka mau menjadi Raja di sini!" mengomel pemuda itu. "Baik
aku akan pergi! Tapi pengusiran secara kurang ajar ini musti ada
imbalannya!" kata si pemuda bersungut-sungut. Cepat sekali tangannya
menyambar blangkon di kepala Akik Rono. Entah bagaimana kemudian kain
blangkon itu sudah terlepas dari buhul-buhulnya, lalu laksana seekor
ular melesat menyambar kemeja di mana Empat Pengemis Pulau Ras berada.
Ujung kain blangkon itu secara aneh menggulung sesisir pisang di atas
meja dan sesaat kemudian pisang itu tersapu ke arah sipemuda dan
ditangkap dengan tangan kirinya! "Ini kukembalikan kain blangkonmu!"
kata si pemuda seraya melemparkan kain blangkon Akik Rono pada
pemiliknya, lalu melangkah ke pintu! Justru pada saat itu pula Pengemis
Badan Gemuk cepat melompat dan menghadang di pintu. "Kalau tidak kupecahkan kepalamu, jangan panggil aku Pengemis Badan Gemuk dari Pulau Ras!" "Wuut!" Satu
angin pukulan mendru kekepala si pemuda. Yang diserang cepat mengelak
hingga tinju Pengemis Badan Gemuk hanya mengenai tempat kosong. Dengan
geram penasaran Pengemis Badan Gemuk berbalik. Kali ini dia melancarkan
serangan yang lebih hebat. Kedua tangannya terpentang. Kedua kakinya
menekuk siap untuk melompat. "Gemuk!" tiba-tiba saja terdengar seruan Sri Lestari alias Pengemis Cantik Ayu. "Tinggalkan pemuda itu dan cepat ke sini! Orang yang kita tunggu sudah datang!"
PENGEMIS
Badan Gemuk menahan gerakan dan berpaling cepat-cepat ke pintu rumah
makan. Saat itu di ambang pintu tegak seorang laki-laki berbadan tegap.
Keseluruhan parasnya tertutup sehelai kain hitam yang hanya di bagian
matanya saja diberi berlobang. Dan sepasang mata itu kelihatan memiliki
sinar tajam yang menandakan bahwa orang itu bukan orang sembarangan.
"Hemmm . . . " gumam Pengemis Badan Gemuk. "Kelak jika urusanku sudah
selesai kau bakal menerima bagian dariku rambut gondrong!" katanya pada
pemuda rambut gondrong lalu dengan satu gerakan cepat dan enteng dia
sudah berada di samping Pengemis Cantik Ayu. Di lain pihak pemuda
berambut gondrong cuma ganda tertawa. Kemunculan laki-laki bercadar
hitam di ambang pintu menarik perhatiannya. Karenanya kalau tadi dia
berniat untuk meninggalkan rumah makan itu, kini niat itu diurungkannya
dan dia melangkah ke sudut rumah makan, berdiri di situ. Laki-laki
bercadar kain hitam yang baru datang masih tetap berdiri di ambang
pintu. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada Sri Lestari atau
Pengemis Cantik Ayu. Jika saja mukanya tidak tertutup dengan kain hitam
itu niscaya akan kelihatan bagaimana berubahnya paras orang itu sewaktu
pandangannya membentur Sri Lestari. Sri Lestari yang bertindak sebagai
pimpinan Empat Pengemis Pulau Ras juga memandang tajam-tajam pada orang
yang di ambang pintu seakan-akan hendak menembus kain hitam yang
menutupi wajah orang itu. Dan pandangan yang begitu tajam ini membuat
laki-laki tersebut menjadi berdebar. "Cadar Hitam!" kata Pengemis
Cantik Ayu lantang. "Kami telah lama menantikanmu. Silahkan masuk agar
urusan kita bisa lekas diselesaikan!" Karena tidak merasa kalau Sri Lestari bicara dengannya maka laki-laki bercadar hitam berpaling ke belakang. "Aku bicara padamu, Cadar Hitam! Kenapa kasak kusuk pura-pura melihat ke belakang segala?!" Ucapan
Sri Lestari membuat laki-laki itu memalingkan kepalanya kembali dan
memandang pada sang dara. Akhirnya kelihatan kakinya bergerak, melangkah
memasuki rumah makan. Tapi dia masuk bukan terus menemui Empat Pengemis
Pulau Ras, melainkan melangkah mendapatkan Akik Rono yang berdiri di
seberang sana dengan muka pucat pasi macam kertas! "Kau pemilik rumah makan ini? Tolong sediakan hidangan. Aku lapar sekali!" berkata laki-laki bercadar pada Akik Rono. "Ba
. . . baik . . . den," jawab pemilik rumah pemilik rumah makan itu
gagap tanda dirinya diselimuti ketegangan. Kemudian cepat-cepat dia
membalikkan badan meninggalkan tempat itu. Melihat orang yang tidak
ambil perduli dirinya dan saudara-saudara seperguruannya maka marahlah
Sri Lestari. Dara ini pun membentak. "Cadar Hitam! Mungkin kau masih
belum kenal siapa kami! Kami adalah Empat Pengemis Pulau Ras yang
sengaja menunggu disini untuk mewakili guru dan ayahku!" "Gadis, kau
bicara dengan siapakah?" bertanya laki-laki bercadar hitam yang bukan
lain adalah Untung Pararean yang meninggalkan puncak Ofinung Bromo
karena suruhan Kiyai Supit Pramana. Pengemis Cantik Ayu mendelikkan
matanya. "Apa kau tidak punya mata tidak punya telinga? Aku bicara padamu dan masih bertanya macam orang setengah edan!" "Mungkin
dia benar-benar edan, saudaraku," menyambung Pengemis Badan Gemuk yang
sudah gatal-gatal tangannya untuk segera turun tangan. "Kalau begitu kau salah paham, gadis", kata Untung Pararean pula. "Aku bukan Cadar Hitam!" "Pengecut
berani dusta!" sentak Pengemis Kepala Botak dengan rahang-rahang
bertonjolan penuh geram. Dia hendak melangkah tapi ditahan oleh Pengemis
Cantik Ayu. "Rupanya nyalimu menjadi lumer berhadapan dengan murid-murid musuh besarmu?" ejek Pengemis Cantik Ayu. "Aku betul-betul tak mengerti dengan pambicaraanmu ini," tukas Untung Pararean. "Puah! Pura-pura tidak mengerti!" semprot Pengemis Badan Gemuk sambil meludah. "Dengar Cadar Hitam . . . " "Namaku bukan Cadar Hitam. . . " "Apakah
namanya aku tak perduli! Tapi tak perlu dusta! Bukankah kau datang ke
sini untuk melaksanakan tantangan yang kau tujukan pada Pengemis Sakti
Muka Bopeng sekitar satu tahun yang lalu?! Kami murid-muridnya di utus
ke sini untuk mewakili beliau melayanimu!" Untung Pararean terkejut.
Terkejut bukan karena tantangan yang tak pernah dibuatnya itu, tetapi
terkejut ketika mendengar nama Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sebagai orang
yang pernah hidup bersama Empu Bharata selama bertahuntahun Untung
Pararean tahu betul bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng atau yang nama
aslinya Gambir Seta adalah kakak kandung Empu Bharata. Dari Kiyai Supit
Pramana, Untung Pararean mengetahui pula bahwa Pengemis Sakti Muka
Bopeng itulah yang telah menyiksa dan merusak mukanya hingga cacat
mengerikan seumur hidup! Sudah sejak lama mendekam dendam kesuma dilubuk
hati Untung Pararean terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng itu, tapi
karena jarang turun gunung dia tak mengetahui dengan jelas di mana
tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng tersebut! "Jadi kalian berempat adalah murid-muridnya Pengemis Sakti Muka Bopeng …?!" desis Untung Pararean. "Nah, sekarang kau mulai mengaku buka kedok, huh?!" tukas Pengemis Kepala Botak. "Katakan terus terang kalian mau apa?!" Pengemis
Cantik Ayu tertawa tinggi. "Kami hanya akan memberi sedikit pelajaran
pada manusia tak tahu diri macam kau yaitu agar jangan berani-beranian
berlaku kurang ajar terhadap guru kami." jawab Sri Lestari. "Hem,
begitu?" ujar Untung Pararean dengan senyum mengejek dari balik kain
penutup wajahnya. "Aku memang ada urusan yang perlu diselesaikan dengan
guru kalian yang bernama Pengemis Sakti Muka Bopeng itu. Tapi yang patut
kalian ketahui aku bukanlah Si Cadar Hitam!" "Tak perlu kita bicara panjang lebar!" tukar Pengemis Cantik Ayu. "Betu1!"
sahut Untung Pararean, "cuma perlu kalian ketahui bahwa guru kalian
adalah seorang pengecut. Kalau tidak mengapa dia hendak mengandalkan
kalian berempat menghadapi Si Cadar H itam?!" "Katakan saja kau tidak
punya nyali menghadapi kami berempat!" jawab Pengemis Cantik Ayu lalu
memberi isyarat pada saudara-saudara seperguruannya. Pengemis Badan
Gemuk, Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera bergerak
sementara Untung Pararean kelihatan tenang-tenang saja tapi sepasang
matanya meneliti posisi ketempat lawan yang bakal dihadapinya. "Tunggu dulu!" terdengar seruan dari samping kiri. Yang berseru ternyata pemuda rambut gondrong tadi. "Kalau
kalian berempat hendak mengeroyok orang ini, itu adalah satu kecurangan
yang keliwatan! Bagaimana kalau aku ikut membantunya? Meski tetap
curang tapi kurasa itu lebih baik agar kalau kalian nanti dikalahkannya
kalian masih punya sedikit muka!" Pengemis Badan Gemuk yang memang
sejak tadi sudah marah terhadap si rambut gondrong ini jadi naik pitam.
Tangan kanannya didorongkan ke arah dada si pemuda. Terdengar suara
menderu. Yang diserang melihat datangnya sambutan angin, mengeluarkan
suara bersiul lalu melambaikan tangan kirinya pada saat angin deras yang
keluar dari dorongan tangan Pengemis Badan Gemuk setengah jengkal lagi
hendak menghantam dadanya! Terjadilah hal yang membuat terkejut
Pengemis Badan Gemuk dan saudara-saudara seperguruannya. Pukulan jarak
jauh Pengemis Badan Gemuk bukan saja tak sanggup mencapai sasarannya
tapi disapu demikian rupa hingga menjibak ke samping dan terus
menghantam dinding. Piring-piring dan gelas serta apa saja yang ada di
atas meja itu mencelat berhamburan dengan menimbulkan suara
bergrompyangan! Untung Pararean juga tak kurang terkejut. Pukulan
jarak jauh yang dilepaskan Pengemis Badan Gemuk tadi bukan pukulan
sembarangan. Tapi si pemuda rambut gondrong menyapunya dengan satu
lambaian tangan acuh tak acuh bahkan tubuh atau kakinya tidak bergerak
barang sedikitpun! Dan itu dilakukannya sambil tertawa cengar-cengir! "Sahabat
muda," kata Untung Pararean cepat. "Terima kasih atas itikad baikmu
hendak menolongku! Tapi kalau cuma menghadapi lawan-lawan besar mulut
macam mereka ini kurasa aku punya kesanggupan untuk memberi mereka
sedikit pelajaran!" "Anjing kurap edan! Kau makanlah dulu kursi ini!"
teriak Pengemis Badan Gemuk. Dalam sekejap itu pula sebuah kursi
laksana kilat cepatnya menyambar ke arah Untung Pararean. Selama enam
belas tahun menerima pelajaran ilmu silat dan kesaktian dari Kiyai
Supit Pramana telah menjadikan Untung Pararean seorang pendekar yang
bukan sembarangan. Melihat datangnya kursi kayu itu diulurkannya tangan
kanannya dengan jari telunjuk diacungkan lurus-lurus. Dengan
mengandalkan jari telunjuk itu ditahannya salah satu kaki kursi. Ketika
jari telunjuk itu dibengkokkannya sedikit, kursi itu berputar tiga kali
berturut-turut di ujuny jarinya dan yang lebih hebat lagi ialah ketika
Untung Pararean membentak. "Pergi!" Kursi itu mencelat mental ke arah
Pengemis Badan Gemuk kembali! "Hebat! Hebat sekali!" seru pemuda
rambut gondrong memuji kelihayan Untung Pararean. Di lain pihak Pengemis
Badan Gemuk naik pitam bukan main. Kursi yang kembali menyambar ke
arahnya dihantamnya dengan tangan kanan hingga hancur berantakan.
Beberapa kayu pecahan kursi menancap di langit-langit rumah makan! Tiba-tiba
terdengar teriakan nyaring keluar dari mulut Pengemis Cantik Ayu dan
dikejap itu pula Empat Pengemis Pulau Ras serempak menyerbu Untung
Pararean dengan senjata masing-masing. "Curang!" teriak pemuda rambut gondrong. "Curang!" teriaknya lagi. Habis
berseru demikian Pengemis Cantik Ayu melesat ke hadapan si rambut
gondrong seraya mengiblatkan sepasang golok perak yang sangat tipis di
kedua tangannya! Serangan yang dilancarkan oleh Sri Lestari atau
Pengemis Cantik Ayu adalah jurus yang dinamakan "sinar pelangi pecah di
udara". Golok di tangan kanannya membabat ke batang leher sedang
golok di tangan kiri menderu ke bawah perut pemuda rambut gondrong.
Pemuda ini terkejut sekali karena tak menyangka serangan lawannya
demikian hebat dan cepat. Namun karena dia bukan pula orang sembarangan,
dengan melompat sebat ke belakang dia berhasil mengelakkan serangan
hebat itu. Tapi betapa terkesiapnya dia sewaktu tiba-tiba saja sang
dara mengirimkan satu serangan susulan yang bernama "pelangi menggelung
gunung". Sepasang golok perak yang tadi mengenai tempat kosong kini
membalik laksana silangan gunting, mengancam dada dan pinggang si
pemuda! Pemuda rambut gondrong mengeluarkan siulan nyaring. Lututnya
ditekuk. Tubuhnya merunduk sedang kedua tangannya yang terpentang lurus
memukul ke kiri dan ke kahan. Inilah jurus pertahanan yang sekaligus
merupakan gerakan menyerang yang di namakan "kipas sakti terbuka"! Sri
Lestari merubah kedudukan sepasang golok peraknya agar dapat sekaligus
membabat putus sepasang lengan lawan yang terpentang itu. Namun kagetnya
bukan kepalang sewaktu melihat bagaimana sepasang lengan lawan cepat
sekali menyusup ke bawah, ke arah pergelangan tangannya. Dari
pergelangan tangan si pemuda jelas terasa keluar sambaran angin dingin.
Hal ini membuat Sri Lestari menjadi ragu-ragu untuk meneruskan
serangannya. Dalam keragu-raguan ini hampir saja lawannya berhasil
memukul lengannya kalau tidak cepat-cepat dia melompat ke belakang!
Untuk sesaat lamanya kedua orarig itu saling bentrokan pandangan. Si
pemuda tersenyum. "Ayo, mari diteruskan! Bukankah kau ingin melenyapkan aku?!" Pengemis
Cantik Ayu melototkan matanya. Namun entah mengapa hatinya bergetar
sewaktu dirasakannya sorotan mata pemuda rambut gondrong itu laksana
menembus sampai ke lubuk hatinya. Namun getaran itu hanya sebentar saja.
Sesaat kemudian Sri Lestari berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat
lenyap sedang sepasang goloknya bergulung-gulung hanya merupakan sinar
putih. Melihat datangnya serangan yang luar biasa ini pemuda rambut
gondrong tak mau bertindak gegabah. Cepat dia memasang kuda-kuda pertahanan yang kokoh dan sesaat kemudian dia sudah menyerbu ke depan memapasi serangan lawannya! Sementara
itu pertempuran antara Untung Pararean dan ketiga Pengemis Pulau Ras
lainnya berlangsung seru sekali. Lima jurus pertama keadaan seimbang,
namun jurus-jurus selanjutnya kelihatan Untung Pararean mulai menerima
tekanan-tekanan. Yang menyulitkan kedudukan laki-laki ini adalah karena
ketiga lawannya memakai senjata sedang dia sendiri sampai saat itu masih
mengandalkan tangan kosong. Di sini nyatalah bahwa betapapun tingginya
ilmu kepandaian Untung Pararean namun kepandaian ketiga lawannya tidak
pula rendah, apa lagi dengan bersenjata begitu rupa. Jurus demi jurus
keadaan Untung Pararean makin terdesak. Beberapa kali lakilaki ini
mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya namun semua itu hanya untuk
sekedar mempertahankan diri dari desakan yang semakin gencar. Diamdiam
Untung Pararean mulai keluarkan keringat dingin! Pemuda rambut
gondrong yang tengah menghadapi serangan gencar Sri Lestari masih sempat
melirik dan menyaksikan keadaan Untung Pararean yang berbahaya. Kini
dia tak bisa bertindak main-main dan harus berlaku cepat jika tak ingin
laki-laki bercadar itu, menjadi korban keroyokan. Rumah makan itu
bergetar, sendi-sendi tiang berderik sewaktu dari mulut si pemuda keluar
suara bentakan yang menggeledek! Untuk sejenak semua orang yang ada di
situ terkesiap. Sri Lestari melihat pemuda itu menggerakkan tangan
kirinya. Satu gelombang angin yang amat dahsyat menderu menerpa
tubuhnya. Betapapun gadis itu mempertahankan diri dan mengerahkan tenaga
dalamnya, tetap saja tubuhnya terhuyung gontai. Dan sebelum dia sanggup
mengimbangi diri, si pemuda sudah melompat ke hadapannya, mengulurkan
kedua tangannya. Terdengar seruan Sri Lestari.
"SOBAT
Bercadar, pakailah golok-golok ini!" seru si rambut gondrong dan
sepasang golok S perak milik Sri Lestari yang berhasil di rampasnya,
dilemparkannya ke arah Untung Pararean. Dengan gada batu pualam yang ada
di tangan kanan nya Pengemis Badan Gemuk coba menyampok kedua golok itu
tapi niatnya terpaksa dibatalkan karena di saat yang sama Untung
Pararean menyorongkan kaki kanannya ke perut laki-laki itu. Sewaktu
Pengemis Badan Gemuk menyurut ke belakang guna menghindarkan tendangan
maut Untung Pararean, kesempatan ini dipergunakan oleh Untung Pararean
untuk menyambut kedua golok perak yang melayang di udara.
"Saudara! Awas di belakangmu!" teriak si pemuda rambut gondrong. Untung Pararean membalik dengan cepat. "Trang"! Golok
perak di tangan kanannya beradu keras dengan gendewa baja yang menjadi
senjata Pengemis Badan Kurus. Bentrokan itu membuat tangan masing-masing
tergetar hebat dan keduanya sama-sama tersurut beberapa langkah!
Nyatalah bahwa kekuatan tenaga dalam mereka berada di tingkat yang sama.
Dalam pada itu Pengemis Badan Gemuk dan Pengemis Kepala Botak yang
bersenjatakan sebuah sabuk hitam telah menyerbu pula ke muka.
Pertempuran yang berlangsung bertambah hebat. Namun kali ini ketiga
pengeroyok harus berhati-hati karena yang mereka hadapi kini adalah
Untung Pararean yang sudah bersenjata yaitu sepasang golok perak perak
tipis milik Sri Lestari. Tubuh laki-laki itu lenyap berubah menjadi
bayangbayang. Dan bayang-bayang tubuhnya itu terbungkus pula oleh sinar
putih sepasang golok yang berkiblat kian kemari. Beberapa kali
terdengar suara bentrokan senjata dan berkali-kali pula Pengemis Badan
Gemuk serta kedua saudaranya terpaksa mundur terus menghadapi amukan
Untung Pararean! Pada waktu Untung Pararean berhasil menyambut
sepasang golok yang dilemparkan pada waktu itu pula Pengemis Cantik Ayu
atau Sri Lestari dengan penuh amarah mendorongkan kedua tangannya ke
arah pemuda rambut gondrong. "Wuss! Wuss!" Dua larik sinar hitam
yang teramat panas menderu ke arah sirambut gondrong. Itulah pukulan
"api hitam" yang sangat ganas. Demikian hebatnya ilmu pukulan itu hingga
Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya menurunkannya pada Sri Lestari saja.
Pemuda rambut gondrong kaget sekali karena tak menduga kalau sigadis
memiliki ilmu pukulan hebat demikian rupa. Cepat-cepat dia membuang diri
ke samping. Tapi masih terlambat. Bahu kirinya kena disambar salah satu
larikan sinar hitam. Pakaian putihnya kejap itu juga dikobari api!
Pemuda itu mengeluh pendek dan cepat-cepat mempergunakan tangan kanannya
menepok-nepuk api yang berkobar hingga akhirnya padam. Sri Lestari
memandang dengan mata terbeliak pada pemuda rambut gondrong itu. Dia
betul-betul tak bisa percaya akan apa yang disaksikannya! Sewaktu ilmu
pukulan itu baru setengah bagian saja dipelajarinya dari Pengemis Sakti
Muka Bopeng, Lestari pernah mencobanya terhadap sebatang pohon beringin
dan pohon itu hangus hancur dan tumbang berkeping-keping! Menyaksikan si
pemuda hanya bajunya saja yang terbakar hangus dengan kulit bahu yang
sedikit kemerahan akibat pukulan "api hitam" nya tadi, tentu saja Sri
Lestari tak bisa mempercayainya. Sambil menggosok-gosok kulit bahunya
yang merah dan sakit si pemuda rambut gondrong memandang menyorot pada
Sri Lestari. Tapi tak sedikitpun pandangan itu membayangkan amarah atau
dendam kesumat, malah kemudian pemuda ini tertawa dan berkata. "Pukulanmu hebat, gadis! Tapi adalah pengecut menyerang lawan secara membokong!" "Siapa
suruh kau bertindak lengah!" damprat Sri Lestari. "Sudah kebagusan kau
tidak kubikin mampus, hanya kuberi sedikit pelajaran!" Pemuda itu
tertawa gelak-gelak. "Sekarang giliranku pula untuk ganti memberikan
sedikit pelajaran padamu," katanya. Lalu dia berseru. "Awas dadamu!" Tubuh
pemuda tersebut melompat ke muka dan tangan kanannya cepat sekali
bergerak ke arah dada si gadis! Tentu saja Sri Lestari tak mau buah
dadanya dijamah seenaknya. "Pemuda kurang ajar!" bentaknya seraya
cepatcepat menghindarkan diri dan dengan tangan kirinya kembali
melepaskan pukulan "api hitam". Tapi si pemuda sudah lenyap dari arah
serangan. Dan tahu-tahu Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu merasakan
sambaran angin di belakangnya. Cepat gadis ini membalik dan
menghantamkan tangan kanannya. Serangannya itu cuma mengenai tempat
kosong, sebaliknya kulit punggungnya terasa sakit sekali dan detik itu
pula tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Ternyata si pemuda telah
berhasil menotok tubuhnya! "Nah, nah! Sekarang kau berdiri sajalah
baik-baik di situ dan jangan banyak tingkah. Mari kita sama-sama
saksikan pertempuran kawan-kawanmu melawan laki-laki itu!" "Pemuda kurang ajar! Kalau tidak lekas kau lepaskan totokan ini, jangan harap kau bakal dapat pengampunan dariku!" mengancam
Sri Lestari. Meski sekujur tubuhnya kaku tegang tapi dia masih bisa
bicara karena si pemuda sengaja tidak menotok jalan suaranya. Si
pemuda hanya tertawa gelak-gelak mendengar ancaman itu. Baru saja dia
berpaling hendak menyaksikan pertempuran antara Untung Pararean dengan
ketiga Pengemis Pulau Ras, terdengar pekik Pengemis Kepala Botak.
Sabuknya mental ke udara, tangan kanannya berlumuran darah. Cepat-cepat
dia melompat keluar dari kalangan pertempuran dengan muka pucat pasi! "Ha … ha! Untung saja bukan kepala botakmu yang dilalap golok laki-laki itu!" ejek pemuda rambut gondrong lalu tertawa membahak. Dalam
sakit dan amarah yang bergejolak, Pengemis Kepala Botak jadi kalap.
Cepat dipungutnya sabuknya yang tadi jatuh, laiu menghambur menyerang si
pemuda! Betapapun hebatnya serangan yang dilancarkan namun karena
disertai amarah kalap dengan sendirinya tidak memakai perhitungan yang
tepat. Begitu si pemuda melompat ke samping, akibat pukulan yang
mengenai tempat kosong, Pengemis Kepala Botak tersorong ke depan. Di
saat itu pula si pemuda gerakkan tinju kanannya memukul punggung
Pengemis Kepala Botak. Tak ampun lagi si botak ini jatuh menelungkup
dengan keras di lantai rumah makan, untuk berapa lamanya tak bisa
berkutik! Kembali terdengar suara tertawa pemuda rambut gondrong! Sementara
itu Untung Pararea telah mendesak hebat pengeroyoknya yang kini hanya
tinggal dua orang yaitu Pengemis Badan Gemuk dan Pengemis Badan Kurus.
Sepasang golok putih berkelebat diantara deru gada batu pualam dan
gendewa baja. "Gemuk, agaknya kita tak bakal bisa merobohkan bangsat ini," ujar Pengemis Badan Kurus dengan ilmu menyusupkan suara. "Apa rencanamu?!" menanya Pengemis Badan Gemuk yang nafasnya sudah Senin-Kemis dan pakaian basah oleh keringat. "Kita tinggalkan saja tempat sialan ini! Kembali ke pulau Ras." "Kau mau kita mendapat hukuman dari guru?" Pengemis
Badan Kurus terdiam. Lalu dia dapat akal dan cepat-cepat berkata,
"Ceritakan saja Si Cadar Hitam tak datang memenuhi tantangan yang
dijanjikannya!" Sebenarnya Pengemis Badan Gemuk merasa ragu-ragu.
Tapi melihat kenyataan bagaimana detik demi detik sepasang golok di
tangan Untung Pararean semakin ganas dan berbahaya, merangsek mereka
terus menerus, mau tak mau Pengemis Badan Gemuk menurutkan juga ucapan
saudara seperguruannya itu. Demikianlah, dalam jurus pertempuran yang
ke empat puluh dua setelah melancarkan satu serangan serempak yang
hampir tak ada artinya, kedua orang ini melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Pengemis Badan Gemuk cepat menyambar Sri Lestari sedang
Pengemis Badan Kurus menyambar si botak yang masih menelungkup tujuh
keliling di lantai rumah makan. "Pengecut! Kalian mau ke mana?!"
bentak pemuda rambut gondrong. Dia hendak bergerak ke pintu guna
menghalangi. Tapi langkahnya tertahan sewaktu laki-laki bercadar itu di
dengarnya berseru, "Biarkan saja mereka pergi!" Sesaat kemudian Empat Pengemis Pulau Ras itupun lenyap dari pemandangan. "Aku
tak mengerti mengapa kau membiarkan mereka pergi begitu saja," kata si
pemuda. "Keempatnya menginginkan jiwamu dan yakinlah bahwa pada suatu
hari kelak mereka akan muncul lagi untuk membunuhmu!" "Soal nanti
biar kita pikirkan nanti, sahabat muda. Mari kita duduk dulu melepaskan
dahaga," jawab Untung Pararean lalu duduk di kursi. Si pemuda
menggaruk-garuk kepalanya dan mengambil tempat duduk di hadapan Untung
Pararean. "Terima kasih atas pertolonganmu," kata Untung Pararean sesudah Akik Rono datang membawakan minuman dan hidangan untuk mereka. "Lupakan hal itu, sobat. Jawab dulu pertanyaanku apakah kau Si Cadar Hitam atau bukan?!" Untung
Pararean meneliti paras si rambut gondrong sejenak lalu berkata, "Aku
akan jawab kalau terlebih dahulu kau menerangkan siapa kau adanya." "Namaku Wiro. Aku kebetulan saja berada di kota ini." Untuk kedua kalinya Untung Pararean meneliti paras pemuda di hadapannya. "Apa kau bukannya Wiro Sableng, orang yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!" Si pemuda tertawa perlahan. Untung Pararean dengan serta merta berdiri. Belum sempat dia hendak menjura memberi hormat pemuda itu sudah menarik tangannya. "Apa-apaan ini? Lupakan segala macam peradatan. Aku yang muda yang sebenarnya harus memberi hormat padamu." "Nama
besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212. Meskipun tadi kau
menarangkan kehadiranmu di Linggoprogo ini adalah satu kebetulan, tapi
aku tidak yakin. Di mana kau muncul pasti mempunyai maksud-maksud
tertentu. Katakan saja terus terang. Kita tokh sama-sama dari satu
golongan?" Pemuda rambut gondrong yang memang ada!ah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya, tertawa kecil. "Sebetulnya aku tengah mencari seseorang. Seorang penculik anak perawan!" "Seorang
anak Kepala Kampung telah diculik oleh bangsat bermuka iblis bernama
Tunggul Gawegawe, bergelar Iblis Tangan Panjang! Kau pernah dengar
tentang dia?" Untung Pararean mengangguk. "Sudah sangat lama. Sekitar
enam belas tahun yang silam," katanya. Lalu diceritakannya tentang
pertempurannya melawan Sepasang Golok Maut·kepala rampok hutan
Dadakan·yang hendak menculik keponakan Sri Baginda. Ketika penculikan
itu digagalkan oleh Untung Pararean, Sepasang Golok Maut kemudian
meminta bantuan Iblis Tangan Panjang. Namun iblis Tangan Panjang ini pun
berhasil dikalahkan oleh Untung Pararean. Penuturan itu mengingatkan
Untung Pararean pada riwayatnya sendiri. Kepada Wiro sama sekali tak
diceritakannya kalau keponakan raja yang ditolongnya adalah perempuan
yang kemudian menjadi istrinya dan selanjutnya mendatangkan penderitaan
dalam kehidupannya. "Menurut penyelidikanku, bangsat penculik itu melewati kota ini. Makanya aku datang ke sini." "Manusia macam Iblis Tangan Panjang itu patut dilenyapkan dari muka bumi," ujar Untung Pararean. "Sekarang kau terangkanlah dirimu," kata Wiro Sableng sambil meletakkan cangkir minuman ke atas meja. "Aku Untung Pararean. Berasal dari Gunung Bromo," menerangkan bekas perwira kerajaan itu. "Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Wiro pula. "Apakah kau
sebenarnya orang yang berjuluk Si Cadar Hitam atau bukan?" Untung
Pararean menggeleng. "Lantas mengapa kau menutupi wajahmu dengan kain hitam macam begini?" "Itu tak dapat kuterangkan padamu." jawab Untung Pararean. Pendekar
212 Wiro Sableng tersenyum. "Apakah kau juga tak bakal menerangkan
kenapa kau mengawatirkan keselamatan gadis cantik berpakaian pengemis
tadi itu?" Untung Pararean tertegun sejenak. Akhirnya tanyanya, "Sahabat muda, apakah kau bisa kupercaya?" Wiro
Sableng kerenyitkan kulit kening dan tak menjawab apa-apa sampai
akhirnya Untung Pararean berkata, "Paras gadis itu mengingatkan aku pada
seseorang." "Siapa seseorang itu?" tanya Wiro lagi ingin lebih jelas. "Istriku. Parasnya sama sekali . . . " "Dan istrimu sudah meninggal?" Untung
menggeleng. "Dia lenyap enam belas tahun yang silam bersama anakku.
Seorang perempuan. Pertama kali aku melihat wajah gadis tadi hatiku
berdebar. Dan aku mendapat firasat bahwa dia adalah anakku yang lenyap
itu . . . . " "Agaknya kau mempunyai riwayat yang hebat, sobat." "Bukan hebat, tapi penuh penderitaan lahir bathin," sahut Untung Pararean. Wiro
menatap kain penutup wajah laki-laki dihadapannya seakan-akan coba
menembusi untuk mengetahui wajah yang bagaimanakah sesungguhnya yang
tersembunyi dibalik kain hitam itu. "Sebenarnya riwayatmu tak ada
sangkut pautnya denganku, apalagi kita barusan saja kenal. Tapi bila kau
dapat menuturkan padaku, aku akan gembira sekali." Untung Pararean tersenyum pahit. "Lain kali mungkin baru bisa kuceritakan padamu, sobat muda. Aku tak punya waktu banyak …" "Kau mau ke mana?" tanya Wiro cepat. "Menyusul keempat orang tadi untuk mencari tahu siapa sesungguhnya gadis itu". "Tapi dia sendiri sudah menerangkan bahwa dia adalah anaknya Pengemis Sakti Muka Bopeng …" Hal
itu memang membuat hati Untung Pararean meraqu. Namun nalurinya
meyakini bahwa pengemis Cantik Ayu adalah anaknya. Kalau tidak bagaimana
parasnya bisa begitu persis seperti Sri Kemuning, istrinya yang
melarikan diri itu? "Kalaupun nanti terbukti dia bukan anakku yang
lenyap, itu tak jadi apa karena aku masih rnempunyai maksud lain untuk
menyusul Empat Pengemis Dari Pulau Ras itu. Ada piutang lama yang harus
kutagih pada guru mereka yaitu Pengemis Sakti Muka Bopeng!" Habis
berkata begitu Untung Pararean menjura di hadapan Pendekar 212 Wiro
Sableng lalu meletakkan beberapa mata uang di atas meja dan bertindak ke
pintu. Masih beberapa langkah dia akan mencapai pintu, satu bayangan
hitam berkelebat yang disusul dengan bentakan nyaring membuat rumah
makan itu bergetar. "Manusia bercadar hitam! Kalau kau berani bergerak satu langkah lagi kupecahkan kepalamu!"
UNTUNG
Pararean dan juga Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Ketika keduanya
memandang ke tengah ruangan kelihatannya seorang laki-laki berbadan
tegap, mengenakan pakaian hitam-hitam berdiri di situ. Wajahnya ditutup
dengan sehelai cadar hitam dan hanya kedua matanya saja yang kelihatan. "Kau!"
seru orang itu seraya menunjuk tepattepat kepada Untung Pararean. "Kau
bangsatnya yang berani-beranian mengenakan cadar seperti yang kupakai
layak menerima hukuman dari aku Si Cadar Hitam!" Wiro dan Untung
Pararean meneliti orang itu dari kepala sampai ke kaki. Ternyata inilah
manusianya yang berjuluk Si Cadar Hitam yang menjadi musuh Pengemis
Sakti Muka Bopeng. "Sayang sekali kau datang terlambat, sobat!"
Pendekar 212 Wiro Sableng buka suara dan membuat Si Cadar Hitam
kerenyitkan kening. Sebelum dia meneruskan, Cadar Hitam sudah membentak. "Bocah berambut gondrong, katakan apakah kau kerabatnya kunyuk yang satu ini? Juga katakan apakah kau mau minta hajaran pula?!" Wiro
Sableng tertawa gelak-gelak. "Manusia tak punya malu! Diajak bicara
baik-baik jawabannya ngelantur! Pantas kau menutupi tampangmu dengan
kain!" "Dan juga pantas bagimu untuk menerima kematian detik ini
juga!" teriak Si Cadar Hitam marah. Lalu tangan kanannya didorongkan dan
serangkum angin yang amat dingin menderu ke arah Wiro Sableng! Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tertegun sejenak. Tubuhnya terasa
dingin laksana dikubur dalam salju, padahal angin serangan masih
beberapa langkah di depannya! Dia cepat melompat kesamping tapi aneh!
Kedua kakinya kaku tegang tak dapat digerakkan! Wiro sadar bahwa dirinya
telah dipukau oleh hawa dingin yang keluar dari angin pukulan lawan!
Dia membentak keras dan tangan kanannya cepat-cepat memegang hulu Kapak
Naga Geni 212 di balik pakaian. Detik itu juga hawa hangat mengalir dari
hulu kapak ke sekujur tubuhnya, membuat sirna hawa dingin yang
sebelumnya hampir saja membuat dia celaka! "Wuss!" Angin pukulan
lawan lewat di depan dada Pendekar 212 Wiro Sableng pada saat pemuda ini
berhasil mengelak dengan melompat ke belakang. Di belakang sana
terdengar suara gaduh akibat bobolnya dinding rumah makan dihantam
pukulan Si Cadar Hitam itu! Si Cadar Hitam tidak menyangka kalau si
pemuda akan sanggup menyelamatkan diri begitu rupa! Sementara dia
berdiri terkesiap dengan mata melotot, Wiro Sableng berseru lantang,
"Terima kasih atas keramah tamahanmu dalam serangan tadi! Kuharap kau
juga sudi menerima hadiah balasan dariku!" Habis berkata begitu Wiro
Sableng mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan
lalu secepat kilat tangan itu di putar di atas kepala dan dipukulkan ke
depan! Suara laksana angin puyuh menderu menggetarkan rumah makan itu.
Kursi-kursi berpelantingan, meja terguling. Lampu minyak mencelat
menghantam dinding. Untung Pararean merapat ke dinding agar tubuhnya
jangan sampai terpelanting! Si Cadar Hitam yang berdiri di tengah
ruangan segera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke kaki. Tubuhnya
laksana patung batu. Namun ketika Wiro menghantamkan tangannya ke depan
tubuh Si Cadar Hitam menjadi gontai. Di lipat gandakannya tenaga
dalamnya. Kedua tangan dengan serentak dipukulkan ke depan untuk
menangkis serangan Wiro. Tapi Si Cadar Hitam masih ketinggalan jauh
dalam hal tenaga dalam hingga betapapun dia mempertahankan diri, begitu
pukulan "angin puyuh" yang dilepaskan Wiro Sableng menghantam dirinya,
tak ampun lagi manusia ini terpelanting dan terbanting menelentang di
lantai! "Jangan tidur ngorok di situ, sobat! Kalau Empat Pengemis Pulau Ras datang kembali ke sini kau bisa berabe. Ayo lekas bangkit!" Kedatangan
Si Cadar Hitam ke situ memang untuk menemui Pengemis Sakti Muka Bopeng
yang telah ditantangnya satu tahun yang lewat. Mendengar disebutnya nama
Keempat murid Pengemis Muka Bopeng dan di tambah dengan kemarahan yang
membakar dadanya, Si Cadar Hitam kontan melompat. Entah kapan dia
menggerakkan tangannya tapi tahu-tahu di tangan kanannya kini sudah
tergenggam sebuah senjata yang berbentuk aneh. Senjata itu terbuat
dari besi hitam legam berbentuk tombak yang pada kedua ujungnya terdapat
lingkaran tipis yang amat tajam. Karena bentuknya yang hebat maka
senjata itu dapat dipergunakan sebagai toya dan pedang. Bahkan bila
bagian lingkaran sampai masuk ke kepala seseorang, jangan harap bisa
selamat dari kematian! Bentuk dan sinar hitam yang memancar dari
senjata itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng segera bersiap-siap
menerima serangan. Dia tahu senjata di tangan lawan hebat dan berbahaya. "Bangsat gondrong, lekas keluarkan senjatamu! Kalau tidak kau akan mampus dalam dua tiga jurus saja!" Wiro ganda tertawa. Diambilnya sebuah kursi lalu katanya, "Biar aku menghadapimu dengan kursi ini saja, Cadar Hitam!" Si Cadar Hitam menggeram marah. Tak pernah dia menerima penghinaan yang begitu hebat. Rahang-rahangnya menggembung. "Wiro! Biar aku yang menghadapinya!" tiba-tiba Untung Pararean berseru. "Ah, biar serahkan saja manusia sombong ini padaku," sahut Wiro. "Majulah
berdua agar aku tidak banyak membuang tenaga untuk membunuh kalian!"
bentak Si Cadar Hitam. Habis membentak demikian dia melompat ke muka.
Senjatanya berkiblat ganas dan sekaligus menyerang ke arah leher Wiro
Sableng serta Untung Parerean! Mereka yang diserang lekas-lekas
melompat menyelamatkan diri. Begitu serangan lewat, Untung Pararean
segera mengambil sepasang golok milik Pengemis Cantik Ayu sedang Wiro
Sableng membabatkan kursi ke pinggang lawan. Dengan satu gerakan sebat
Si Cadar Hitam membalik. Kembali senjatanya berkelebat dan tiga buah
kaki kursi yang dipakai menyerang oleh Wiro terbabat putus! Si Cadar
Hitam tidak kepalang tanggung. Serangan-serangan yang dilancarkannya
datang bertubi-tubi. Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus silatnya yang
paling hebat agar dapat membuktikan omong besarnya tadi yaitu akan
membereskan Wiro Sableng dalam dua atau tiga jurus saja. Tapi sewaktu
pertempuran memasuki jurus kelima yang bisa dilakukan Si Cadar Hitam
hanyalah membabat putus badan kursi yang di tangan Wiro hingga kini
Pendekar 212 hanya memegang sandaran kursi yang sudah sangat pendek
saja! Meski mengawatirkan keselamatan si pemuda namun sebagai orang
yang berpegang teguh pada tatakrama dunia persilatan, Untung Pararean
tetap berdiri di tempatnya tak mau membantu Wiro mengeroyok Si Cadar
Hitam. Walau demikian diusahakannya melemparkan sepasang golok di
tangannya ke arah Wiro Sableng. Tapi di tengah jalan Si Cadar Hitam
berhasil membabat mental dan patah kedua golok itu dengan senjatanya! Jurus
demi jurus serangan Si Cadar Hitam semakin dahsyat. Dengan memainkan
ilmu silat "orang gila" Wiro berhasil mempertahankan diri dan sekalikali
melepaskan pukulan jarak jauh yang membuat lawannya bertindak sangat
hati-hati. Ketika dua puluh jurus sudah berlalu dan beberapa kali hampir
saja dirinya kena dihantam oleh senjata lawan yang dahsyat, Wiro
Sableng mulai mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan simpanannya! Ilmu
pukulan "angin puyuh" tak sanggup menembus angin senjata di tangan Si
Cadar Hitam, demikian juga pukulan "kunyuk melempar buah" dan "benteng
topan melanda samudera". Hal ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng
menjadi penasaran. Apalagi ketika didengarnya si Cadar Hitam berseru
mengejek. "Ayo keluarkan semua ilmu simpananmu agar kau tidak mampus
penasaran!" "Jangan keliwat sumbong, sobat! Coba kau sambut pukulan yang bernama "dewa topan menggusur gunung ini!" Wiro
mendorongkan kedua tangannya ke depan. Dan terjadilah hal yang hebat
luar biasa! Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 Wiro Sableng menderu
gemuruh suara angin. Si Cadar Hitam membabatkan senjatanya ke depan
beberapa kali untuk memusnahkan angin serangan. Namun kali ini senjata
itu tidak mampu berbuat suatu apapun! Tubuh Si Cadar Hitam terlempar ke
belakang, rubuh terguling-guling, senjatanya lepas dari tangan. Sesaat
kemudian menyusul gemuruh robohnya rumah makan itu! Sebelum sebuah balok
besar menimpa kepalanya, Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat
keluar dari rumah makan itu! Dia sampai di luar tepat ketika seluruh
bangunan rumah makan roboh dengan dahsyatnya. Puluhan orang di pelabuhan
yang melihat kejadian itu sama-sama mengeluarkan seruan dan ber{ari
mendatangi sementara Akik Rono di pemilik rumah makan yang juga sempat
menyelamatkan diri, berdiri menyaksikan runtuhnya rumah makannya dengan
tubuh menggigil dan wajah seputih kertas! Wiro memandang berkeliling.
Untung Pararean dan Si Cadar Hitam tak kelihatan. Kawatir kalau-kalau
Untung Pararean tertimpa runtuhan rumah makan, Wiro menyelidik dengan
cepat. Tapi laki-laki itu tak di temuinya. Si Cadar Hitampun lenyap tak
berbekas bersama senjatanya. Akhirnya perhatian murid Eyang Sinto
Gendeng ini kembali pada Akik Rono. Wiro merutuki ketololan dirinya
sendiri karena telah melepaskan pukulan "dewa topan menggusur gunung"
tadi yang menyebabkan ambruknya rumah makan Akik Rono. Sebenarnya dia
bisa mempergunakan ilmu pukulan lain atau jurus tipuan untuk merebut
senjata lawan lalu baru memberi hajaran. Tapi, karena dipengaruhi rasa
penasaran dia telah melepaskan pukulan dahsyat yang dipelajarinya darl
Tua Gila. Sampai di hadapan Akik Rono, dari batik pakaiannya Wiro
mengeluarkan sebuah kantong kain berisi uang. Diulurkannya tangannya
memberikan kantong uang itu pada pemilik rumah makan seraya berkata,
"’Ini untuk modal dan membangun rumah makanmu!". Habis berkata begitu
pemuda ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Akik Rono berdiri
bengong di tempatnya. Tapi hatinya terlipur oleh sekantong uang yang
kini berada dalam tangannya.
PENDEKAR 212
Wiro Sableng berdiri di puncak pedataran tinggi itu, memandang
berkeliling. Menurut penyelidikannya, Tunggul Gawegawe alias Iblis
Tangan Panjang yang tengah dikejarnya melarikan diri ke jurusan
pedataran itu. Tapi sampai di tempat tersebut tak satu jejakpun yang
ditemui Wiro. Pengejarannya menemui jalan buntu. Ke mana akan
diteruskannya pengejaran? Dan sebelum dia berhasil menemui Iblis Tangan
Panjang mungkin laki-laki itu telah lebih dahulu merusak kehormatan
Wening Karsih, anak gadis Kapala Kampung yang diculiknya. Ketika dia
memandang ke langit, matahari telah jauh ke barat dan warnanya
kemerahan. Dalam waktu yang singkat segera akan tenggelam. Berdiri di
puncak pedataran itu Wiro teringat pada Untung Pararean. Dia yakin
sekali bahwa laki-laki itu menyusul Empat Pengemis Pulau Ras. Dalam
hatinya, Wiropun berniat untuk mengikuti Untung Pararean. Namun
langkahnya terhalang dengan persoalan Wening Karsih. Akhirnya tanpa ada
pegangan ke mana dia harus menuju, Wiro Sableng meninggalkan puncak
pedataran itu ke arah barat. Di kaki pedataran tinggi dia bertemu
dengan satu desa yang cukup ramai penduduknya. Setelah mengisi perutnya
di sebuah kedai Wiro berusaha mencari keterangan tentang orang yang di
kejarnya. Tapi tak satu orang pun yang tahu mengenai diri Iblis Tangan
Panjang ataupur, gadis yang diculiknya. Malam itu juga Wiro meninggalkan
desa tersebut. Di ujung sebuah daerah pesawangan yang dihiruki oleh
suara jangkrik dan segala macam binatang malam dilihatnya satu nyala
api. Setelah berpikir sejenak Wiro Sableng memutuskan untuk menuju ke
arah nyala api itu. Lewat sepeminum teh Wiro telah berada kirakira
seratus langkah dari nyala api yang nyalanya berasal dari sebuah kuil
tua yang atapnya di bagian depan tampak miring hampir ambruk. Dari jarak
itu pulalah pendekar ini mendengar suara orang menyanyi. "Siapa pula yang bernyanyi malam-malam di tempat sepi begini?" pikir Wiro dalam hati dan sambil mempercepat larinya.
Malam hari berjalan seorang diri, Tanpa tujuan di dalam hati. Melewati bekas kuil suci, Tempat pertemuan tak terduga terjadi.
Begitulah bunyi kata-kata nyanyian tersebut yang diulang-ulang sampai
beberapa kali. Dan setiap habis satu bait kalimat, terdengar suara
kerontang kaleng. Wiro Sableng sampai di pintu kuil. Di ruangan depan
yang sangat kotor menyala sebuah lampu aneh atau tepatnya sebuah obor
kecil. Obor itu terbuat dari sebatang pohon kayu hitam yang ditancapkan
ke lantai kuil yang terbuat dari batu. Jika bukan seseorang yang
berkepandaian tinggi adalah mustahil sebatang kayu bisa ditancapkan
begitu rupa. Pada ujung kayu yang menancap itu menyalakan api yang
menerangi ruangan tersebut. Tepat di belakang nyala api, duduk bersila
seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Kedua matanya terpejam. Di
pangkuannya terletak sebuah buntalan, sebatang tongkat dan sebuah topi
daun pandan. Di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi
batu-batu. Dari mulutnya masih juga keluar nyanyian yang setiap satu
bait diseling dengan suara kerontang-kerontang kaleng berisi batubatu
itu. Wiro masuk ke dalam. Berdiri di hadapan orang itu beberapa
langkah baru diketahuinya bahwa kedua mata yang terpejam itu nyatanya
buta! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa dia pernah berjumpa dengan orang ini
tapi lupa entah di mana. Setelah memutar otaknya Wiro ingat juga bahwa
orang tersebut adalah tukang tenung Si Segala Tahu yang pernah
menolongnya beberapa waktu yang lalu. "Segala Tahu, aku gembira
bertemu dengan kau," tegur Wiro dengan girang karena pada orang ini
pasti dia bisa mendapat keterangan di mana Iblis Tangan Panjang berada.
Orang yang bernyanyi menghentikan nyanyinya. Dikerontang-kerontangkannya
kaleng rombengnya beberapa kali lalu menengadah ke langit-langit kuil. "Mendengar
suaramu apakah kau bukannya Si Sableng yang pernah berjumpa denganku
beberapa waktu yang lalu?!" Meski buta nyatanya dari suara Wiro Sableng,
Si Segala Tahu masih dapat menduga siapa yang berdiri di hadapannya. "Ah, benar sekali! Pertemuan yarrg tak terduga ini sangat menggembirakanku. Kebetulan aku berada dalam kesulitan." "Baru bertemu sudah bicara tentang segala macam kesulitan!" Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan tersenyum pahit, lalu berkata, "Soalnya aku harus bertindak cepat, Segala Tahu." "Kau mencari seseorang pasti!" "Betul sekali. Namanya Tunggul Gawegawe, bergelar IbIisTangan Paryjang. Diatelah menculik …" "Sudah,
sudah! Aku sudah maklum. Kau tunggulah sebentar". Si Segala Tahu
mengerontangngerontangkan kaleng rombengnya beberapa kali lalu menepekur
dengan mulut terkatup rapat-rapat. Tak lama kemudian dia pun berkata:
"Kau agak terlambat Sableng! Orang yang diculik sudah tak ada lagi di
tangan Iblis Tangan Panjang …" "Mohon petunjukmu lebih lanjut, Segala Tahu." "Kau pergilah ke utara. Jika bertemu sungai yang bercabang dua kelak kau akan menjumpai Iblis Tangan Panjang di situ" "Di manakah gadis yang diculik itu kini? Apakah dia berada dalam keadaan selamat?" tanya Wiro Sableng. "Aku
tak bisa memberi keterangan lebih lanjut. Pergi ke utara, cari anak
sungai bercabang dua!" Habis berkata begitu Si Segala Tahu kembali
menggerak-gerakkan tangan kanannya yang memegang kaleng. Kemudian dengan
tangan kirinya ditepuknya lantai kuil. Hebatnya, tenaga tepukan itu
membuat tubuh Si Segala Tahu yang masih dalam keadaan bersila itu
melayang ke pintu. Wiro Sableng mengejar, tapi Si Segala Tahu sudah
lenyap di kegelapan malam. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa
geleng-geleng dan garuk-garuk kepala! Sepanjang malam itu Wiro
Sableng terus berlari menuju ke utara. Menjelang dini hari dia sampai ke
sebuah pedataran tinggi yang di bawahnya terbentang sebuah lembah. Di
bawah penerangan bintang-bintang yang redup, sepasang mata Pendekar 212
Wiro Sableng yang tajam dapat melihat sebuah sungai yang bercabang dua.
Tanpa ragu-ragu pemuda ini segera berlari menuruni lembah, dan sampai
tepat di bagian lembah di mana sungai bercabang dua. Udara dini hari
dinginnya bukan alang kepalancl. Sunyi dan kegelapan menyelubung di
mana-mana. Wiro Sableng memandang berkeliling. "Edan!" makinya dalam hati. "Mana mungkin di keparat Iblis Tangan Panjang itu bisa kujumpai di sini!" Baru
saja dia memaki begitu rupa mendadak kesunyian malam dirobek oleh suara
kerontang-kerontang kaleng! Pendekar 212 Wiro Sableng melengak dan
memandang berkeliling. Astaga! Kiranya Si Segala Tahu! Entah dari mana
dia muncul. Saat itu dia kelihatan berjalan seenaknya menyusuri anak
sungai yang sebelah kanan sambil mengerontang-ngerontangkan kalengnya!
Wiro cepat bergerak dan sebentar saja dia sudah berada di samping
laki-laki itu. "Tempat ini sunyi belaka! Di mana aku bias menemui Iblis Tangan Panjang. Mohon petunjukmu, Segala Tahu!". Si Segala Tahu tertawa macam kuda meringkik. Sambil terus berjalan dia bernyanyi:
Lembah tempat sungai bercabang dua, Sepanjang malam tentu sepi belaka. Mencari Iblis tentu bukan dengan mata, Siapa suruh tidak pasang telinga.
Wiro terkesiap mendengar tutur nyanyian itu. Memang sewaktu menyelidik
tadi dia lebih mengutamakan mata dari pendengarannya. Segera Wiro
Sableng membuka jalan pendengarannya lebih tajam. Terdengar suara tiupan
angin dinihari yang dingin. Terdengar alunan air sungai yang mengalir.
Terdengar suara binatang malam di kejauhan dan tiba-tiba … terdengar
suara helaan nafas! "Aku mendengar suara orang menarik nafas!" bisik
Wiro pada Si Segala Tahu. Tapi ketika dia menoleh ke samping, astaga! Si
Segala Tahu sudah tak ada lagi di sebelahnya! Lenyap seperti ditelan
bumi! Wiro memandang berkeliling, mencari arah datangnya suara helaan
nafas itu. Kalau ada seseorang di situ yang sedang tidur tentu suara
kerontang-kerontang kaleng Si Segala Tahu sudah membangunkannya sejak
tadi, pikir Wiro. Telinganya semakin dipasang. Sesaat kemudian kembali
di dengarnya suara helaan nafas, lalu sunyi. Tiba-tiba menggeledek suara
bentakan dan sebuah benda meluncur ke arah tenggorokan Pendekar 212
Wiro Sableng! "Keparat sialan!" maki Wiro kaget bukan main tapi masih
sempat bergerak mengelakkan senjata rahasia yang hampir saja merampas
jiwanya. Baru saja selamat, dua buah senjata rahasia lagi menyambar ke
arahnya, yang dua inipun dapat dikelit. Dari jurusan datangnya
senjata-senjata rahasia tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng segera tahu
di mana sipenyerang gelap berada. Tanpa tunggu lebih lama Wiro
memukulkan tangan kanannya ke arah cabang pohon besar yang terletak
delapan tombak di samping kanannya. "Kraak!" Cabang pohon yang
besar itu patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik di hantam
pukulan "kunyuk melempar buah". Di kejap itu pula satu bayangan hitam
berkelebat ke cabang pohon yang lain. Namun Wiro lebih cepat. Sebelum
sosok tubuh sempat menjejakkan kakinya di cabang pohon, Wiro telah
menghantam lagi pohon itu hingga si penyerang gelap terpaksa cepat-cepat
turun ke tanah. Sementara itu di timur fajar telah menyingsing.
Cuaca di dalam lembah mulai terang dan Wiro segera dapat mengenali orang
di depannya yang bukan lain Si Iblis Tangan Panjang yang tengah
dicari-carinya. "Iblis! Kalau sayang pada jiwa busukmu, lekas beri
tahu di mana gadis anak Kepala Kampung yang kau culik itu berada?!"
bentak Pendekar 212. Iblis Tangan Panjang melototkan matanya yang cuma satu lalu mendengus. "Tanyalah pada setan-setan dalam lembah ini!" Wiro
menggeram. "Katau begitu biar roh busukmu yang kusuruh menanyakan!"
Pendekar 212 berkelebat sambil memukulkann tangan kanannya ke depan. Ibiis
Tangan Panjang menangkis dengan satu pukulan tangan kosong yang tak
kalah hebatnya hingga ketika pukulanpukulan tersebut saling bentrokan
terdengarlah suara seperti letusan dan beberapa pohon yang terserempet
angin pukulan kontan ambruk! Wiro tak mau memberi angin dan harus
lekas mengetahui di mana Wening Karsih berada. Karenanya dia langsung
menyerang dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat yang dipelajarinya
dari Eyang Sinto Gendeng. Iblis Tangan Panjang menjadi sangat sibuk.
Untung saja dia memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi, kalau tidak niscaya dalam tiga jurus pertama dirinya
sudah kena gebuk! Iblis Tangan Panjang segera menyadari bahwa pemuda
berambut gondrong itu bukanlah tandingannya. Karenanya siangsiang dia
sudah mengeluarkan senjatanya yang baru yakni sebuah tombak bermata dua
dan sebentar saja sinar senjafa itu sudah menderu mengurung tubuh Wiro
Sableng! Memasuki jurus kelima di mana Iblis Tangan Panjang
mengirimkan serangan total habis-habisan, Wiro berseru nyaring, "Iblis!
Cukup kau mencak-mencak sampai di sini!" Tubuh pemuda itu lenyap dari
hadapan Iblis Tangan Panjang dan sebelum Iblis Tangan Panjang tahu di
mana lawannya berada, satu pukulan telah menghantam punggungnya! Tak
ampun lagi manusia berkulit hitam legam ini mencelat dan terguling di
tanah. Tulang punggungnya yang sebelah kiri hancur dan sakit bukan main.
Tombaknya terlepas mental entah ke mana. Dengan sempoyongan Iblis
Tangan Panjang berdiri dan hendak melarikan diri. Namun satu jambakan
pada rambutnya yang keriting macam bulu domba itu membuat dia tak bisa
bergerak satu tindakpun. Kemudian satu tamparan keras melanda pipinya
membuat telinganya pekak berdesing dan bibirnya pecah berdarah. Iblis
Tangan Panjang menjadi kalap dan dengan membabi buta menerjang
sekerasnya ke depan. "Kraak!" Terdengar pekik Iblis Tangan
Panjang. Tulang kering kaki kanannya patah. Yang menjadi sasaran
tendangannya ternyata bukan Pendekar 212 Wiro Sableng melainkan sebatang
pohon yang melintang tumbang! Wiro sendiri yang menjambaknya dari
belakang tertawa gelak-gelak. "Ayo tendanglah lagi biar kedua kakimu
patah!" kata Wiro dan sekali lagi ditamparnya muka Iblis Tangan Panjang
hingga manusia itu menjerit kesakitan. Dia berusaha untuk dapat memukul
atau menyikut Wiro Sableng tapi sedikit saja bergerak rambutnya yang
dijambak laksana mau terbongkar dari kulit kepalanya. "Cepat terangkan di gadis itu!" bentak W i ro. "Sampai mampuspun aku tak bakal menerangkan!" jawab Iblis Tangan Panjang keras kepala. "Kalau begitu aku akan bikin kau setengah mampus setengah hidup!" "Kraak"! Wiro
membetot putus tangan kiri Iblis Tangan Panjang. Jeritan Iblis Tangan
Panjang seperti mau merobek langit di pagi hari itu! Satu tangan yang
lain dari laki-laki itu segera dicekal pula oleh Wiro, siap untuk
dibetot. "Masih belum mau kasih keterangan?!" "Puah!" Iblis Tangan Panjang meludah. "Keparat!
Makan ini!" teriak Wiro marah, tinju kanannya melanda mulut Iblis
Tangan Panjang. Beberapa buah giginya tanggal, bibirnya pecah Tapi Iblis
Tangan Panjang masih tetap keras kepala dan beringas. Meronta-ronta dan
memukul-mukul kian kemari. "Iblis celeng! Kalau matamu yang tinggal satu ini kukorek baru kau tahu rasa!" Mendengar
ancaman itu, Iblis Tangan Panjang kini benar-benar ketakutan. Cepat dia
berteriak ketika Wiro hendak menotok mata kanannya. "Jangan! Aku akan terangkan! Aku akan terangkan!" "Terangkan lekas!" bentak Wiro sambil menyentakkan rambut Iblis Tangan Panjang. "Gadis itu kujual pada Adipati Blabak …" "Dusta!" "Demi bapak moyang setan aku tidak dusta!" Wiro menotok tubuh Iblis Tangan Panjang. "Untuk
sementara biarlah kau kaku tegang di sini. Jika kau dusta aku akan
kembali untuk mengorek matamu! Jika kau ternyata bicara betul, dua hari
di muka totokan itu akan terlepas dan kau boleh pergi ke mana suka!" "Tapi aku akan mati kelaparan selama dua hari itu!" teriak Iblis Tangan Panjang. "Kau
tokh turunan iblis. Minta saja makanan pada iblis-iblis penghuni lembah
ini!" jawab Wiro Sableng. Lalu sambil tertawa bergelak di tinggalkannya
tempat itu. Karena Blabak tidak jauh dari situ maka dalam tempo
singkat Wiro Sableng telah sampai di situ. Dia memasuki Kadipaten dengan
melompati tembok belakang. Dari seorang pelayan yang diringkusnya dia
berhasil mengetahui di kamar mana Wening Karsih di tempatkan. Menurut
pelayan itu Wening Karsih di antarkan oleh Iblis Tangan Panjang ke
Kadipaten Blabak lewat tengah malam tadi. Pelayan itu memberi kepastian
pula bahwa tidak terjadi apa-apa atas din si gadis karena istrinya
sendiri yang mengawani Wening Karsih semalaman hari. Tanpa menunggu
lebih lama Wiro segera masuk ke dalam gedung Kadipaten. Sesaat kemudian
pemuda itu keluar melompbt dan jendela sebuah kamar dan di bahunya
memanggul sosok tubuh seorang gadis. Di halaman samping dia dipergoki
oleh dua pengawal yang segera berteriak memberi tahu kawan-kawannya.
Cepat sekali Wiro sudah dikurung oleh empat orang prajurit Kadipaten.
Namun tentu saja keempatnya bukan tandingan pemuda itu. Dengan hanya
mengandalkan kaki kanannya saja, Wiro berhasil membuat ke empat prajurit
itu tergelimpang di tanah. Dan pada saat Adipati Blabak sampai di
tempat itu Wiro telah lenyap bersama Wening Karsih.
SESAMPAINYA
di tepi Pantai, Untung Pararean mendadak merasakan keraguan dalam hati
nya. Jika betul Pengemis Cantik Ayu adalah anakku yang lenyap sekitar
enam belas tahun yang lalu apakah dia kelak akan mau mengakui diriku
sebagai ayah kandungnya, pikir Untung Pararean. Namun karena banyak
pertanyaan yang harus diusahakannya jawabnya dan mengingat pula bahwa
Pengemis Sakti Muka Bopeng adalah musuh besar yang telah membuat cacat
dirinya seumur hidup berada di Pulau Ras akhirnya Untung Pararean
menetapkan hatinya dan meneruskan niatnya untuk pergi ke pulau tersebut. Dengan
sebuah perahu sewaan Untung Pararean menyeberang dan sampai di pulau
tujuannya sewaktu malam berganti dengan pagi. Tempat kediaman Pengemis
Sakti Muka Bopeng yang keseluruhannya terbuat dari bambu kuning adalah
satusatunya bangunan di Pulau Ras dan dengan mudah dapat ditemui oleh
Untung Pararean. Dia merasa heran ketika mendapatkan bangunan yang besar
itu kosong melompong. Tak satu orangpun ada di dalamnya. "Pada ke
mana mereka? Mustahil Empat Pengemis Pulau Ras belum sampai ke sini,"
demikian pikir Untung Pararean. Dia tak tahu kalau Pengemis Sakti Muka
Bopeng dan keempat orang murid serta istrinya telah meninggalkan Pulau
itu beberapa waktu yang lalu. Sewaktu Pengemis Cantik Ayu dan
saudara-saudara seperguruannya kembali dan menceritakan apa yang terjadi
di rumah makan Atik Rono, bukan main marah dan kesalnya Pengemis Sakti
Muka Bopeng. "Kalian betul-betul memberi malu aku di kalangan
persilatan! Apa yang kutugaskan tak berhasil kalian lakukan! Dan seorang
pemuda jembel yang tak dikenal tak mampu kalian hadapi!! Terpaksa aku
sendiri yang harus turun tangan!" Itulah sebabnya ketika Untung
Pararean tiba di Pulau Ras dia tidak menemui siapa pun. Untung Pararean
masuk ke dalam rumah untuk menyelidik. Baru saja dia hendak memasuki
sebuah kamar tiba-tiba di halaman luar terdengar bentakan nyaring.
"Bangsat rendah dari mana yang berani mengotori rumahku?!" Untung
Pararean terkejut. Cepat dia melompati sebuah jendela dan tiba di
halaman samping. Enam orang dilihatnya berlari ke pintu muka. Tapi
begitu melihat Pararean di halaman samping ke enamnya segera memutar
lari mereka dan sesaat kemudian sudah berdiri mengurung bekas perwira
kerajaan itu. Sepintas lalu hampir saja Pengemis Sakti Muka Bopeng
mengira laki-laki itu adalah Si Cadar Hitam. Sewaktu diperhatikannya
lebih teliti segera dia tahu bahwa manusia bercadar kain hitam itu
bukanlah musuh lamanya. Tapi adalah aneh kalau orang tak dikenal ini
mengenakan kain hitam penutup mukanya. Mungkin dia masih ada sangkut
paut dengan Si Cadar Hitam? Di lain pihak Untung Pararean merasakan
sekujur tubuhnya bergetar ketika dia mengenali perempuan separuh baya
berkulit hitam manis dan berparas jelita di samping Pengemis Sakti Muka
Bopeng bukan lain adalah Sri Kemuning, istrinya yang telah melarikan
diri pada enam belas tahun yang silam! Dengan demikian satu kenyataan
yang sebelumnya cuma menjadi dugaannya belaka, kini terbukti. Pengemis
Cantik Ayu adalah anak kandungnya sendiri! Hati Untung Pararean berdebar
ketika dia ingat ucapan Pengemis Muka Bopeng adalah ayahnya! Apakah Sri
Kemuning telah menjadi istri musuh besarnya itu? Betulbetul ini membuat
perih hati Untung Pararean. Sri Kemuning sendiri merasa aneh sewaktu
pandangan matanya beradu dengan pandangan sepasang mata laki-laki yang
wajahnya tersembunyi dibalik kain hitam itu. Sri Lestari atau
Pengemis Cantik Ayu tak berani menerangkan bahwa laki-laki bercadar itu
adalah orang yang mereka telah temui di rumah makan Akik Rono karena
takut kedustaan mereka akan terbuka. "Bangsat bercadar! Siapakah kau?! Apa punya nyawa rangkap hingga berani datang ke sini mengotori pulau dan rumahku?!. Untung
Pararean tak ingin bekas istri dan anaknya mengetahui siapa dia
sebenarnya. Karena itu dia tak mau menjawab pertanyaan Pengemis Muka
Bopeng dengan terus terang. "Muka Bopeng, rupanya matamu masih belum
begitu tajam hingga tak dapat mengenali siapa aku adanya! Aku tidak sudi
menerangkan tentang diriku pada manusia macam kau! Antara kita ada
semacam hutang piutang yang harus dilunaskan hari ini! Nyawamu atau
nyawaku!". Meskipun rasa-rasa sudah pernah mendengar suara laki-laki
bercadar itu sebelumnya namun Pengemis Sakti Muka Bopeng tak dapat
menerka siapa orang di depannya itu. Di samping itu ucapan Untung
Pararean tadi membuat dia menjadi sangat marah. Setelah lebih dulu
mendengus marah dia berkata, "Mataku memang tidak mampu mengenali
tampang yang kau sembunyikan di balik kain hitam itu! Tapi tangankulah
yang bakal menyingkapkan kain itu! Lihat!" Pada akhir kata-katanya,
Pengemis Sakti Muka Bopeng berkelebat lenyap dan tahu-tahu tangan
kanannya menyambar ke muka Untung Pararean! Kaget bekas Perwira Kerajaan
ini bukan kepalang. Tidak disangkanya ka1au lawannya akan bergerak
demikian cepat. Segera tangan kirinya dibabatkan ke atas. Akibatnya
terjadilah bentrokan antara lengan yang diserang dengan penyerang! Tubuh
Untung Pararean terhempas ke belakang laksana dilanda gelombang sedang
tangannya sakit bukan main. Sewaktu diperhatikan kulit lengannya telah
menjadi bengkak kemerahan! Di lain pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng
hanya berdiri terhuyung-huyung dan di lain kejap dengan satu lolongan
macam srigala haus darah dimalam buta, kembali dia melancarkan serangan.
Kali ini kedua tangannya kelihatan berkelebat cepat. Untung Pararean
menyambut dengan pukulan tangan kosong yang bernama "seribu kati
memukul awan". Ilmu pukulan ini dipelajarinya dari Kiyai Supit Pramana
karenanya hebatnya bukan main! Tubuh Pengemis Sakti Muka Bopeng laksana
seekor burung yang terbang menentang angin topan hingga mengapung tak
bisa maju! Padahal kedua tangan Pengemis Muka Bopeng hanya tinggal satu
jengkal saja lagi dari muka Untung Pararean! Sebelum tubuhnya
terlempar di sapu oleh pukulan "seribu kati memukul awan" itu, Pengemis
Sakti Muka Bopeng cepat mendorong kedua tangannya ke muka. Dua gelombang
angin menderu memapas angin serangan Untung Pararean. Sekejap kemudian
terdengarlah suara menggelegar yaitu ketika terjadi saling bentur antara
angin-angin yang berkekuatan hebat itu! Pulau Ras bergetar. Debu dan
pasir beterbangan sedang rumah bambu mengeluarkan suara berkeretek! "Manusia
bercadar! Kulihat kau barusan melancarkan pukulan "seribu kali memukul
awan". Apakah kau muridnya Si Supit Pramana di Gunung Bromo?!" "Diam-diam
Untung Pararean terkejut menanggapi si muka bopeng.mengenali pukulan
yang tadi dilepaskannya. Saat itu dia tengah mengatur tenaga dalamnya
karena dua gelombang angin yang dilepaskan Pengemis Sakti Muka Bopeng
tadi membuat dadanya agak sakit. "Aku bukan murid siapa-siapa!" sahut
Untung Para:ean dan dalam jurus ketiga ini dia yang pertama membuka
serangan. Tubuhnya melayang setinggi setengah tombak di atas tanah.
Tangan kiri dan kanan dipukulkan ke depan dan setengah jalan tubuhnya
dengan sangat tiba-tiba melesat ke atas lalu dengan serentak mengirimkan
dua serangan berantai yang hebat yaitu tendangan kaki dan hantaman
tinju! "Jurus – dewa terbang ke langit –!" seru Pengemis Sakti Muka
Bopeng. Lalu cepat merunduk dan memukul bagian tubuh yang berbahaya di
antara kedua selangkangan Untung Pararean! Tentu saja Untung Pararean
tak mau membiarkan dirinya dihantam serangan maut itu. Dia memutar
pinggulnya ke samping dan di lain kejap kaki kanannya meluncur deras ke
arah tinju kanan lawan! Pengemis Sakti Muka Bopeng jadi penasaran
sekali rnelihat bagaimana dalam rnenyerang dia balik kena diserang!
Didahului oleh satu bentakan menggledek laki-laki ini melompat ke atas,
lebih tinggi dan kedudukan tubuh Untung Pararean. Untung Pararean tak
mau meneruskan serangannya karena tendangan yang melanda tempat kosong
akan membuat dirinya berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Karenanya begitu tendangannya dibatalkan. Untung Pararean cepat membalik
untuk menghadapi lawan yang datang dari belakang. Namun dia kurang
cepat. Tubuhnya baru setengahnya berputar dan satu jotosan telah melanda
punggungnya! Bekas Perwira Kerajaan itu terpelanting ke depan.
Ketika jatuh ke tanah hampir saja dia tak sanggup berdiri di atas kedua
kakinya. Punggungnya sakit bukan main dan sebelum dia sempat mengatur
nafas dan mengalirkan tenaga dalam kebagian yang terpukul, dadanya telah
sesak. Sesaat kemudian Untung Pararean muntah darah tertatih-tatih!
Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak sambil melangkah
mendekati Untung Pararean. "Sebelum kukirim kau menghadap raja akhirat mari kulihat dulu macam mana kau punya tampang!" Pengemis
Sakti Muka Bopeng mengulurkan tangannya yang sebelah kanan untuk
menarik kain hitam penutup wajah Untung Pararean. Bekas Perwira
Kerajaari itu tak mempunyai daya untuk menghindar karena saat itu
kembali dia memuntahkan darah kental berbuku-buku! Sekejap lagi
jari-jari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng akan menarik kain penutup
wajah Untung Pararean, mendadak sebuah benda sebesar kepala melesat ke
arah Pengemis Sakti Muka Bbpeng. Mau tak mau laki-laki ini terpaksa
menarik pulang tangannya. Benda yang dilemparkan temyata sebutir buah
kelapa. Dan di kejap itu pula seorang laki-laki, yang teramat tua,
berselempang kain putih telah berdiri di hadapan Pengemis Sakti Muka
Bopeng! "Kau!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng kaget. Tapi dia tidak gentar.
"YA, Aku!
Apakah kau masih mengenali aku, Pengemis Sakti Muka Bopeng?!" kata
orang yang baru datang, yang tadi melemparkan buah kelapa ke arah
Pengemis Sakti Muka Bopeng. Dia mengenakan jubah putih dan sangat tua
sekali. Tubuhnya yang agak bungkuk itu ditopang dengan sebuah tongkat
yang dipegangnya di tangan kanan.
"Hemm . . . " gumam Pengemis
Sakti Muka Bopeng. "Kiranya betul dugaanku bahwa keparat bercadar ini
adalah muridmu Kiyai Supit Pramana dari Gunung Bromo. Heran . . . kenapa
tahu-tahu saja kau mempunyai seorang murid!" "Aku memang memberikan beberapa pelajaran ilmu silat padanya. Tapi dia bukanlah muridku." kata Kiyai Supit Pramana tegas-tegas. "Eh,
kenapa begitu? Lucu sekali!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya
memandang pada murid-muridnya. "Mungkin kau bisa menerangkan kelucuan
itu? Atau kedatanganmu jauh-jauh ke sini justru memang hendak
menerangkan hal itu?!" Wajah Kiyai Supit Pramana kelihatan sedikit merah. Namun demikian di bibimya tersunting sekelumit senyum. "Lucu atau tidak bukan itu urusanmu, Muka Bopeng!" "Oh,
jadi kedatanganmu hendak turun tangan membantu manusia bercadar ini?
Boleh saja! Tapi akan lebih baik jika terlebih dulu kau suruh dia
membuka cadarnya!" "Soal buka cadar itu bukan pekerjaanku. Kalau kau sendiri tidak mampu apakah tidak malu menyuruh orang lain?!" Kini
paras Pengemis Sakti Muka Bopeng yang berubah menjadi merah. Sementara
itu Kiyai Supit Pramana ingat bahwa kali itu adalah kali ketiga dia
menolong jiwa Untung Pararean yang berarti adalah pertolongan untuk
penghabisan kalinya yaitu sebagaimana pesan gurunya tempo hari di dalam
mimpi. "Kiyai Supit Pramana!" berkata Pengemis Sakti Muka Bopeng
sambil bertolak pinggang. "Antara kau dan aku tidak ada saling sengketa.
Mengapa mendadak sontak kau hendak baku hantam denganku?!" "Siapa bilang aku hendak baku hantam denganmu?" sahut Kiyai Supit Pramana. "Kemunculanku hanya untuk menolong dia." "Alasan
yang dicari-cari!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan mimik
mengejek. "Apakah kau bisa pula menerangkan silang sengketa apa yang ada
antara aku dan manusia bercadar ini hingga tak ada hujan tak ada angin
datang ke sini dan menyebut-nyebut segala soal hutang pihutang?!" Untung
Pararean kawatir kalau-kalau Kiyai Supit Pramana akan menerangkan siapa
dirinya sebenarnya. Tapi orang tua yang arif ini sudah memahami
perasaan Untung Pararean. Maka diapun menjawab, "Soal itu kau tanyakan
saja langsung pada orangnya." "Kau dan setan alas ini sama saja tidak tahu dirinya! Ayo lekas angkat kaki dari pulauku!" bentak Pengemis Sakti Muka Bopeng. "Aku
baru akan meninggalkan tempat ini bila urusanmu dengan dia sudah
beres." jawab Kiyai Supit Pramana. "Tua bangka sialan! Kalau begitu biar
kau dulu yang aku bereskan!" Pengemis Sakti Muka Bopeng berpaling pada
ke empat muridnya dan berseru: "Kalian berempat cepat cincang bangsat
itu!" Maka Pengemis Cantik Ayu dan tiga Pengemis lainnya segera
mengeluarkan senjata masing-masing dan menyerbu Untung Pararean. Bagi
Untung Pararean tingkat ilmu silat keempat lawannya itu tidak membuat
dia menjadi gentar. Tapi ada satu hal yang menyebabkan setiap gerakannya
harus dilakukan dengan penuh perhitungan bahkan kadang-kadang
tertahan-tahan. Yang menyebabkan itu ialah karena salah seorang dari
pengeroyoknya adalah anaknya sendiri. Walau bagaimanapun seorang bapak
tak akan tega untuk mencelakai anak kandungnya! Di lain pihak Sri
Lestari atau Pengemis Cantik Ayu tidak mengetahui kalau yang dihadapinya
adalah ayah kandungnya. Bersama-sama dengan ketiga saudaranya dia terus
mendesak Untung Pararean dengan hebat! Setelah pertempuran
berkecamuk dua puluh jurus dan melihat keempat orang itu masih belum
sanggup merubuhkan Untung Pararean, Sri Kemuning yang oleh Pengemis
Sakti Muka Bopeng teJah diberi julukan "Pengemis Hitam Manis" segera
menyerbu pula ke dalam kalangan pertempuran, hingga kini Untung Pararean
dikeroyok lima. Dan dua dari pengeroyoknya adalah anak kandung dan
bekas istrinya sendiri! Sementara itu pertempuran yang terjadi antara
Kiyai Supit Pramana dan Pengemis Sakti Muka Bopeng benar-benar satu
pertempuran tingkat tinggi yang jarang ditemui. Tubuh keduanya lenyap
menjadi bayang-bayang sedanq di sekitar mereka debu dar pasir bergu
lung-gu lung, siuran angin menderu-deru! Kalau Kiyai Supit Pramana
mengandalkan tongkat butut di tangan kanannya maka Pengemis Sakti Mu.ka
Bopeng hanya mengandalkan tangan, kosong. Beberapa kali si Muka Bopeng
ini melancarkan serangan-serangan kilat dan pukulan-pukulan tangan
kosong yang dahsyat mematikan namun lawannya selalu berhasil mengelak
atau memusnahkan serangannya itu. "Bangsat tua bangka!" maki Pengemis
Sakti Muka Bopeng pada jurus ketiga puluh satu, "sekarang jangan harap
kau bakal bisa selamat dari pukulanku ini!" Mulutnya menggembung, dari
tenggorokannya terdengar suara menggembor dan tangan kanannya di angkat
ke atas lalu dipukulkan ke depan, ke arah Kiyai Supit Pramana. "Wuuuussss!" Satu
gelombang sinar hitam yang luar biasa panasnya menggemuruh. "Pukulan
api hitam", seru Kiyai Supit Pramana dalam hati lalu dengan cepat
melompat ke samping seraya memapas dengan tongkat bututnya! "Kraak!" Tongkai di tangan sang Kiyai patah dua dan terlepas dari tangannya tapi dirinya sendiri selamat! Dengan geram Pengemis Sakti Muka Bopeng kembali mengirimkan pukulan dahsyat tadi dua kali berturut-turut! Terdengar
seruan dahsyat keluar dari mulut Kiyai Supit Pramana, "Hitam tak akan
menang dengan putih!" Dan di kejap itu pula selarik sinar putih
berkelebat. Begitu sinar putih ini beradu terus menggulung sinar hitam.
Untuk beberapa lamanya menghantam sedang yang melepaskan pukulan sama
berdiri tegang menyalurkan tenaga dalam masing-masing! Dalam tenaga
dalam Pengemis Sakti Muka Bopeng masih kalah satu tingkat di bawah Kiyai
Supit Pramana. Karenanya setelah adu kekuatan selama hampir sepeminuman
teh dan kedua kakinya sampai-sampai melesak sedalam sepuluh senti,
akhirnya tubuhnya terdorong ke belakang! Sebelum sinar-sinar putih itu
melabrak dirinya, Pengemis Sakti Muka bopeng cepat melompat mencari
keselamatan. Parasnya kelihatan pucat. Kuduknya dingin. Jika tidak lekas
melompat pasti dirinya kena dicelakai pukulan lawan. Kiyai Supit
Pramana tertawa perlahan dan berkata, "Kurasa cukup kita main-main
sampai di sini saja, Muka Bopeng. Sebaiknya kau lekas menyelesaikan
urusanmu dengan laki-laki bercadar itu. Jangan mengandalkan
murid-muridmu yang main keroyok secara pengecut itu!" "Anjing tua!"
sentak Pengemis Sakti Muka Bopeng penuh dendam amarah. "Kalau maksudku
untuk membunuhmu tidak kesarnpaiar, biarlah kelak aku akan bunuh diri!" "Ah,
memang susah kalau seseorang mata dan hatinya sudah buta oleh
kejahatan!" ujar Kiyai Supit Pramana dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan
banyak bacot! Kau akan segera mampus anjing tua!" semprot Pengemis
Sakti Muka Bopeng. Kedua tangannya bergerak. Kini tangan kiri memegang
sebilah pedang panjang berwarna ungu sedang tangan kanan memegang sebuah
keris yang memancarkan sinar biru yang bukan lain keris Mustiko Jagat
adanya! Melihat bagaimana si muka bopeng ini menggunakan dua senjata
sekaligus nyatalah bahwa dia benar-benar ingin memburuh Kiyai Supit
Pramana dalam waktu yang paling singkat! Di lain pihak Kiyai Supit
Pramana tidak merasa gentar. Dia sudah tahu kehebatan keris Mustiko
Jagat sedang pedang di tangan kiri lawan tidak dipandangnya sebelah
mata. Keris tempaan Empu Bharata itulah yang lebih berbahaya dan harus
hatihati dihadapinya. Karenanya untuk mengimbangi senjata tersebut Kiyai
Supit Pramana tidak menunggu lebih lama, segera pula mengeluarkan
senjatanya yakni sehelai selendang sutera yang tepinya dihias dengan
seratus rumbai-rumbai sepanjang satu jengkal! Pengemis Sakti Muka
Bopeng membuka serangan dengan satu teriakan dahsyat. Kiyai Supit
Pramana menanti dengan tenang. Begitu lawannya tinggal beberapa langkah
di hadapannya, segera selendang sutera di tangan kanan dikebutkan! Satu
gelombang angin sedahsyat topan prahara menggaung. Seratus senjata
rahasia berhamburan dari rumbai-rumbai selendang. Kaget Pengemis Sakti
Muka Bopeng tidak kepalang. Cepat dia memapas dengan pedang dan keris.
Pedang di tangan kiri mental patah dua tapi keris Mustiko Jagat dengan
hebatnya sanggup membuat buyar angin serangan serta mementalkan
senjata-senjata rahasia yang menggempur! Sekarang marilah kita
perhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean melawan
Sri Lestari, Sri Kemuning dan tiga Pengemis lainnya itu. Dia bertempur
dengan berbagai perasaan yang campur aduk dan menggugah hati
sanubarinya. Bagaimana dia bisa bertempur sungguh-sungguh dengan dua
orang yang merupakan anak serta bekas istrinya? Walau bagaimanapun
keduanya adalah orang-orang yang dikasihi dan pernah dikasihinya. Di
lain pihak kedua ibu dan anak itu yang tidak mengetahui siapa adanya
Untung Pararean, terus menggempur dengan hebat. Di tambah pula dengan
seranganserangan gencar tiga Pengemis hingga kedudukan Untung Pararean
jadi serba sulit. Dalam kesulitan itu dia masih sanggup menendang rubuh
Pengemis Badan Kurus hingga terjungkal dan menggeletak pingsan. Namun
demikian karena Untung Pararean terlalu dalam dipengaruhi oleh
perasaannya, kerap kali laki-laki ini bertempur dengan gerakan yang
ragu-ragu hingga pada akhirnya lengan kirinya berhasil dilanda ujung
golok Sri Lestari dan terluka cukup parah! Denqan menahan sakitnya luka
dan keperihan hati, Untung Pararean meneruskan pertempuran. Sementara
itu dari sejak mulai berlangsungnya pertempurarn entah bagaimana dia
selalu ingat pada Empu Bharata yang telah dibunuhnya enam belas tahun
yang silam. Seperti terngiang ditelinganya kutukan orany tua sakti itu
sebelum dia meregang nyawa yaitu " kelak kau bakal mati di ujung Mustiko
Jagat dan sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir bathin . . . " Berdiri
bulu kuduk Untung Pararean. Benarkah dia akan mati di ujung keris
Mustiko Jagat yany dulu dipakainya untuk membunuh Empu Bharata itu? Dia
tahu sebagian dari kutukan sang Empu atas dirinya telah menjadi
kenyataan. Yaitu dia telah hidup denqan menderita lahir bathin! Karena
bertempur sambil merenung dan dipengaruhi berbagai macam perasaan maka
Untung Pararean semakin berada dalam kedudukan yang sulit. Saat itu
ingin saja dia berteriak pada Sri Lestari dan Sri Kemuning, menerangkan
siapa dia. Tapi hal itu tak bisa dilakukannya. Lidahnya serasa kelu.
Lagi pula walau bagaimanapun Sri Kemuning bukan lagi istrinya saat itu,
sudah menjadi istri orang lain meski secara tidak syah. Dan yang paling
penting apakah kelak Sri Lestari akan mau mengakui dirinya yang cacat
itu sebagai ayah kandungnya? Bahkan Sri Kemuning sendiri mungkin tak
akan mengenali wajahnya seandainya dia membuka cadar hitam yang menutup
wajahnya! Dan keperihan semakin dalam menusuk lubuk hati Untung
Pararean. Dikuatkannya dirinya. Tapi kedua matanya tak kuasa menahan
genangan air mata. Kedua mata itu kelihatan berkaca-kaca! Di saat itu
timbul pikiran di kepala Untung Pararean untuk meninggalkan tempat itu.
Namun bila dia ingat bahwa dendam kesumatnya terhadap Pengemis Sakti
Muka Bopeng masih belum kesampaian, kembali dikuatkannya hatinya.
Tiba-tiba dia mendapat akal sebaiknya bertempur menghadapi musuh
besarnya saja saat itu. Sekaligus dia bisa membalas dendam dan
mengelakkan pertempuran melawan bekas istri dan anak kandungnya! Namun
sebelum hal itu dilakukannya sesosok tubuh berpakaian hitam mendatang
dengan sangat cepat dari arah timur dan terdengar seruan keras lantang,
"Kiyai Supit Pramana! Bangsat bermuka bopeng itu adalah musuh lamaku!
Biar aku yang merampas jiwanya!"
KIYAI
Supit Pramana dan pengemis Sakti Muka Bopeng sama-sama terkejut lalu
samasama melompat ke belakang. Si Muka Bopeng yang sudah mengenali suara
orang yang datang segera dapat menduga siapa dia adanya dan ternyata
dugaannya tak meleset. Orang itu adalah Si Cadar Hitam! "Ha . . . " ha . . . ! Agaknya kau terkejut dan takut melihat kedatanganku, Pengemis Sakti Muka Bopeng?!" "Puah!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng meludah. "Dalam hidupku tak pernah ada kata
takut! Apalagi terhadap bangsa kurcaci macam kau!" Si Cadar Hitam
tertawa gelak-gelak sambil memandang berkeliling. Sesaat dia
memperhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean dengan
keempat pengeroyoknya lalu kepalanya kembali dipalingkan pada Pengemis
Sakti Muka Bopeng, dan berkata dengan mengejek. "Mungkin kau bukan
seorang pengecut! Tapi sekurang-kurangnya kau telah mengajarkan
bagaimana bertempur secara pengecut terhadap murid-muridmu hingga mereka
main keroyok begitu rupa!" Muka yang buruk dari Pengemis Sakti Muka
Bopeng kelihatan merah padam dan Si Cadar Hitam kembali mementang mulut.
"Bukti lain yang cukup jelas betapa pengecutnya dirimu ialah ketika kau
mengutus murid-muridmu untuk memenuhi tantanganku satu tahun yang lalu!
Kenapa tidak kau sendiri yang muncul kalau bukannya berarti kau bangsa
pengecut kelas wahid?!" "Bangsat rendah! Kuberikan kesempatan padarnu
untuk mengaso memperpanjang nyawa. Kelak sesudah tua bangka dari Gunung
Bromo ini kubikin mampus akan sampai pula giliranmu!" Kiyai Supit
Pramana cepat membuka mulut. "Cadar Hitam," katanya yang sudah mengenali
siapa adanya pendatang baru itu . . . "Antara aku dan dia sebenarnya
tak ada silang sengketa. Silahkan kau baku hantam satu sama lain!" "Kiyai sedeng! Apakah kau tak punya nyali melanjutkan pertempuran tadi?!" tanya Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sang Kiyai tertawa bergumam. "Rupanya nyalimu terlalu besar. Apa kau ingin kami berdua melabrakmu saat ini?!" "Tua renta_. .." Maki Pengemis Sakti Muka Bopeng itu dipotong oleh bentakan Si Cadar Hitam. "Muka Bopeng, sudah mau mampus masih saja main maki-makian! Terima ini!" Selarik
sinar hitam bersiut! Itulah serangan senjata Si Cadar Hitam yang
berbentuk toya dengan lingkaran-lingkaran tajam pada kedua ujungnya! "Ha
… ha! Senjatamu masih saja senjata buruk dulu! Apakah kau masih punya
muka untuk mempergunakannya?!" ejek Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya
menangkis dengan keris Mustiko Jagat. "Trang!" Bunga api memercik! Si
Cadar Hitam terkejut. Tangannya tergetar hebat, sakit dan pedas. Ketika
diperhatikannya senjatanya, astaga! Temyata lingkaran tajam yang
sebelah kanan telah terbabat putus! Dia sama sekali tidak menyangka
kalau dalam satu tahun kehebatan lawannya sudah maju jauh sekali dan tak
menyangka lagi kalau keris di tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng
demikian dahsyatnya! Mau tak mau nyalinya jadi menciut juga. Segera dia
mengeluarkan jurus silatnya yang terhebat dan melakukan penyerangan
dengan senjatanya yang telah buntung! Si Cadar Hitam berlaku cerdik. Dia
selalu mengelak bila lawan hendak mengadu senjata, sebaliknya dia
berusaha agar dapat menyingkirkan keris Mustiko Jagat dari tangan lawan! Dalam
ilmu silat mungkin Si Cadar Hitam lebih hebat dan lebih gesit
gerakannya. Namun walau bagaimanapun yang menentukan adalah senjata di
tangan masing-masing! Setelah bertempur dua puluh jurus lebih akhirnya
Si Cadar Hitam tak berdaya mengelakkan satu tusukan yang amat cepat!’
Tubuhnya terjajar ke belakang dengan dada mandi darah. Senjatanya yang
buntung terlepas dan begitu jatuh tubuhnya. masih berkelojot beberapa
kali. Begitu racun keris merambas kejantungnya, lakilaki itupun meregang
nyawa! "Manusia hina! Mayatmu tak layak malang melintang di depan
mataku!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sekali tendang saja maka
mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam sejauh belasan tombak, angsrok di
antara semak-semak lebat! Pengemis Sakti Muka Bopeng berpaling pada
Kiyai Supit Pramana. "Sekarang giliranmu, anjing tua!" bentaknya lalu
menyerbu dengan keris di tangan! Untuk kedua kalinya kedua orang itu
kembali bertempur. Kini lebih hebat, lebih cepat, dan lebih ganas! Pertempuran
antara Untung Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya telah berjalan
lebih dari empa; puluh jurus. Dalam keadaan luka parah Untung Pararean
masih sempat memukul jatuh salah satu golok di tangan Sri Lestari dan
merampas goloknya yang lain. Tapi untuk itu Untung Pararean menerima
hantaman sabuk di tangan Pengemis Kepala Botak yang membuat pinggulnya
serasa remuk! Dengan panuh marah Untung Pararean melepaskan pukulan
"seribu kati memukul awan", ke arah Pengemis Kepala Botak. Pukulan
yang dahsyat itu berhasil dikelit oleh si kepala Botak sebaliknya hampir
saja melanda Sri Lestari di samping kiri. Karena itu Untung tak mau
lagi melepaskan pukulan tersebut takut mencelakai anak kandung atau
bekas istrinya sendiri! "Lekas bentuk barisan bolang-baling!"
tiba-tiba Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu berseru. Barisan
bolang-baling adalah satu barisan penggempur yang tangguh. Barisan ini
diciptakan oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng dan bisa dilakukan oleh tiga
sampai tujuh orang. Dan kehebatan barisan ini dirasakan sendiri oleh
Untung Pararean. Serangan datang dari berbagai jurusan dan dalam gerakan
yang sama sekali berlawanan dari gerakan silat yang sewajarnya. Ini
membingungkan Untung Pararean. Meskipun beberapa jurus di muka dia
berhasil mengetahui kelemahan-kelemahan barisan bolang-baling itu namun
dirinya sudah sangat terdesak! Masih untung dia berhasil merampas golok
Sri Lestari, kalau tidak mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat
celaka! Dalam pada itu pertempuran antara Pengemis Sakti Muka Bopeng
dan Kiyai Supit Pramana telah mencapai klimaks kehebatannya. Dalam jurus
yang ke enam puluh tiga tokoh silat dari Gunung Bromo itu berhasil
menghantam lengan kanan lawannya hingga keris Mustiko Jagat terlepas dan
mental dari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng. Laki-laki ini coba
melompat untuk menjangkau senjata itu tapi tak berhasil karena saat itu
Kiyai Supit Pramana melepaskan pukulan "seribu kati memukul awan" yang
mana harus dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau mendapat celaka.
Kiyai Supit Pramana adalah tokoh silat berjiwa kesatria tulen! Melihat
lawan tidak bersenjata lagi segera selendang suteranya di simpan di
balik pakaian lalu meneruskan pertempuran dengan tangan kosong. Secara
kebetulan, keris Mustiko Jagat yang terlepas mental dari tangan
Pengemis Sakti Muka Bopeng melayang ke tempat berlangsungnya pertempuran
antara Untung Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya. Melihat keris
ayahnya melayang mental begitu rupa, dan di saat itu dia sendiri tidak
pula memegang senjata apa-apa, dengan cepat Sri Lestari melompat. Sesaat
kemudian senjata itupun sudah berada dalam tangan kanannya! Betapa
terkejutnya Untung Pararean menyaksikan Sri Lestari kembali memasuki
kalangan pertempuran dengan Mustiko Jagat di tangan. Sinar biru
berkelebat menggidikkan. Untuk kesekian kalinya Untung Pararean
merasakan bulu kuduknya merinding. Terngiang lagi di telinganya kutukan
Empu Bharata yang dibunuhnya dulu: ". . . kelak kau bakal mati di ujung
keris Mustiko Jagat. . . " Apakah kutukan itu segera akan berbukti
kini?! "Trang"! Untung Pararean terkejut. Golok di tangan kanannya
patah dua disambar keris Mustiko Jagat. Telapak tangannya sakit sekali.
Dalam pada itu dia harus cepat pula menyelamatkan kepalanya dari gada
batu pualam putih di tangan Pengemis Badan Gemuk sedang dari
belakangnya, Pengemis Hitam Manis atau Sri Kemuning melancarkan pula
satu tendangan maut! Untung Pararean berkelebat cepat untuk mengelakkan
kedua serangan itu dan berhasil. Namun dia melupakan kedudukan Sri
Lestari yang saat itu bergerak luar biasa cepatnya, menyambar dari
samping kiri dan menusukkan Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa di
tangkis atau dikelit lagi! Sesaat sebelum Mustiko Jagat menghunjam di dada Untung Pararean terdengar satu bentakan sekeras guntur! "Jangan bunuh! Dia ayah kandungmu sendiri!" Tapi
teriakan yang mengguntur itu terlambat datangnya sebagai peringatan.
Mustiko Jagat telah lebih dulu menembus dada Untung Pararean barulah
semua orang, termasuk Sri Lesteri terkejut! Bekas Perwira Kerajaan
itu terhuyung ke belakang sambil memegangi dada dengan kedua tangannya.
Pada detik tubuhnya hampir jatuh, satu bayangan putih berkelebat
menopang tubuhnya. "Kasip! Terlambat! Terlambat … !" kata orang yang datang ini sambil satu tangannya menggaruk-garuk kepalanya tiada henti. "Bangsat
gondrong!" bentak Sri Lestari sewaktu dia melihat siapa adanya orang
yang menopang tubuh lawannya. "Kau masih mau ikut campur urusan orang
lain?!" "Gadis! Apakah kau masih belum sadar kalau orang ini adalah
ayah kandungmu sendiri?!" ujar si pemuda rambut gondrong yang bukan lain
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. "Jangan bicara ngacok ngelantur!" bentak Sri Lestari. "Ayahku adalah Gambir Seta yang bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng!" Wiro
Sableng tertawa kecut dan menyandarkan Untung Pararean ke pangkuannya.
Sambil megap-megap Kehabisan nafas Untung Pararean berbisik, "Sahabat
kenapa kau beritahu siapa diriku …" Baru saja Untung Pararean habis
berkata begitu satu tangan menyambar dan bret! Terbukalah cadar hitam
yang selama ini menutup paras bekas Perwira Kerajafan itu. Terdengar
jerit ngeri Sri Kemuning. Dialah yang menyentakkan kain penutup paras
Untung Pararean. Jeritannya disusul oleh jeritan Sri Lestari dan
seruan-seruan tertahan orang-orang yang ada di situ yang ada di situ
yang merasa ngeri melihat keluar biasaan seramnya paras Untung Pararean.
Mata kirinya hanya merupakan lobang belaka. Mulutnya kanan robek sampai
ke pipi, bibir menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah kiri tanggal,
kedua daun telinganya papas buntung sedang seluruh kulit muka hancur
bergurat-gurat! Sebagai bekas istri sekalipun, Sri Kemuning tidak
mengenali Untung Pararean lagi! Pengemis Sakti Muka Bopeng terkejut
luar biasa! Benar-benar tak diduganya kalau orang bercadar itu adalah
Untung Pararean, seorang bekas Perwira Kerajaan yang telah membunuh Empu
Bharata dan yang telah disiksanya setengah mati enam belas tahun yang
silam! Tiba-tiba laki-laki ini berteriak, "Jangan dengar omongan
pemuda edan itu! Dia tak ada sangkut paut apa denganmu. Lestari! Akulah
ayah kandungmu!" Wiro mendengus marah! "Iblis laknat!" bentak
Pendekar 212. "Di saat orang hendak menghembuskan nafas penghabisan
apakah kau masih punya hati demikian jahat untuk membantah kenyataan
bahwa dia adalah Untung Pararean, ayah kandung gadis itu?!" "Setan
alas!" balas membentak Pengemis Sakti Muka Bopeng, "Kalau kau mau mampus bersamanya pergilah!" Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka B$peng
yang hendak menyekap rahasia mengenai diri Untung Pararean segera
melepaskan pukulan tangan kosong yang luar biasa hebatnya. "Bangsat
bermuka bopeng! Manusia macammu memang tak layak dibiarkan hidup lebih
lama!" teriak Wiro. Dia bersiul nyaring dan balas menghantam dengan
tangan kanannya! Satu larik sinar putih yang amat panas dan menyilaukan
mata menderu laksana petir menyambar! Pengemis Sakti Muka Bopeng terpekik. Tubuhnya terguling. Itulah pukulan "sinar matahari"! Pengemis
Sakti Muka Bopeng tak menyangka akan disambut dengan serangan balasan
yang dahsyat itu. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tapi masih kurang
cepat! Pekiknya mengumandang. Tangan kanannya yang kurus kering
kelihatan hangus hitam pekat sedang tubuhnya terbanting ke tanah! "Pemuda keparat! Mampuslah!", teriak Sri Lestari seraya melompat dan menusukkan Mustiko Jagat ke kepala Pendekar 212. "Lestari! Tahan!", teriak Sri Kemuning dengan cepat. Sementara
itu keris sakti hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala
Pendekar 212. Dengan sebat Wiro memukul pergelangan tangan gadis itu
hingga Mustiko Jagat terlepas mental. "Orang muda! Laki-laki yang
bernama Untung Pararean tidak bermuka seseram dia! Jangan kau bicara
ngelantur tak karuan!" kata Sri Kemuning pula. Wiro berpaling pada
Kiyai Supit Pramana dan menjawab, "Orang tua itu lebih tahu dari aku!
Dia yang menyelamatkan bekas suamimu dari kematian!" Sri Kemuning
melangkah cepat. Dia ingin membuktikan sendiri bahwa laki-laki bermuka
seseram setan itu adalah betul betul Untung Pararean, bekas suaminya!
Dirobeknya pakaian Untung Pararean dan ketika di dada laki-laki ini
dilihatnya sebuah tahi lalat besar meraunglah perempuvn ini. "Kanda Untung!" jeritnya seraya menubruk dan memeluk tubuh Untung Pararean. "Kemun
. . . " Nama itu tak sempat disebut Untung Pararean sampai keakhirnya
karena malaekat maut telah lebih dulu mencabut nyawanya! Sementara
itu dengan terhuyung-huyung Pengemis Sakti Muka Bopeng coba berdiri.
Tapi tubuhnya roboh kembali karena racun pukulan sinar matahari Pendekar
212 mulai merusak jaringan-jaringan urat di dalam tubuhnya. Ketika
keris Mustiko Jagat yang terpelanting jatuh di hadapannya, timbul
kekuatan baru dalam dirinya. Dengan merangkak susah payah senjata itu
berhasil dijangkaunya. Begitu tangan kirinya menyentuh senjata sakti
itu, racun pukulan sinar matahari dengan serta merta menjadi sirna.
Dengan kekuatan baru, Pengemis Sakti Muka Bopeng melemparkan keris
Mustiko Jagat ke arah Pendekar 212. Tapi lemparannya itu meleset dan
keris Mustiko Jagat melesat ke arah Sri Kemuning! "Ibu awas!" seru
Sri Lestari. Dia melompat hendak menyambar senjata itu. Tapi karena
bingung dengan apa yang disaksikannya tadi, gadis ini bertaindak gugup.
Dan hal ini harus dibayarnya dengan mahal! Keris Mustiko Jagat
menghantam pangkal lehernya! Baik Wiro maupun Kiyai Supit Pramane tidak
punya kesempatan sama sekali untuk menyelamatkan jiwa gadis itu! Terdengar
pekik Sri Lestari. Tubuhnya roboh dengan leher mandi darah. Hanya
beberapa kali saja tubuh itu kelihatan bergerak-gerak, sesudah itu diam
tak berkutik lagi! Sri Kemuning laksana gila melepaskan pelukannya pada
tubuh Untung Pararean dan menghambur ke tempat di mana anaknya
menggeletak tak bernyawa. "Manusia durjana!" bentak Kiyai Supit
Pramana seraya melompat menyerang Pengemis Sakti Muka Bopeng. Tapi dari
samping satu bayangan putih lebih cepat mendahuluinya. Satu suara
laksana ribuan tawon mengamuk membising telinga dan di lain kejap
terdengarlah jeritan setinggi langit keluar dari tenggorakan Pengemis
Sakti Muka Bopeng! Tubuhnya bergedebuk ke tanah. Pinggangnya hampir
putus dan darah membanjir! Kiyai Supit Pramana berdiri laksana patung,
memandang tepat-tepat pada Pendekar 212 yang berdiri di hadapannya,
memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itulah yang telah menamatkan
riwayat Pengemis Sakti Muka Bopeng. "Senjata hebat. Dan gerakannya
luar biasa cepatnya." kata Kiyai Supit Pramana dalam hati. Tiba-tiba
kedua orang itu dikejutkan oleh teriakan Pengemis Badan Gemuk. Mereka
membalik dan … terlalu kasip untuk turun tangan! Sri Kemuning telah
mencabut keris Mustiko Jagat dari leher anaknya dan kemudian menusukkan
senjata itu ke dadanya sendiri! "Bangsat-bangsat rendah! Gara-gara
kalianlah semua ini terjadi!" bentak Pengemis Badan Gemuk. Bersama
Pengemis Kepala Botak dia menyerbu Wiro Sableng dan Kiyai Supit Pramana.
Wiro memutar Kapak Naga Geni 122. Crass! Tangan kanan Pengemis
Badan Gemuk putus. Laki-laki ini meraung macam harimau luka lalu lari
terbirit-birit. Di tengah jalan racun kapak telah merambas jantungnya
hingga tubuhnya terhuyung dan roboh tanpa nyawa di saat itu juga.
Pengemis Kepala Botak yang menyerang Kiyai Supit Pramana tidak bernasib
lebih baik. Pukulan "seribu kati memukul awan" mendarat di kepalanya
yang tak berambut hingga memar macam pepaya busuk, tubuhnya menyungkur
tanah tanpa nyawa lagi! Pengemis Badan Kurus yang saat itu telah
siuman dari pingsannya begitu tahu kalau dirinya cuma tinggal sendirian
di situ, tanpa menunggu lebih lama segera pula ambil langkah seribu,
lari ke jurusan lenyapnya Pengemis Badan Gemuk. Untuk beberapa lamanya
sempat itu diselimuti kesunyian. Yang terdengar hanya tiupan angin di
sela-sela daun-daun pepohonan dan suara hamparan ombak sayup-sayup di
kejauhan. "Kiyai … sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang-orang
ini," kata Wiro Sableng seraya memasukkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke
balik pakaiannya. Demikianlah berakhirnya kisah ini. Menurut cerita,
keris Mustiko Jagat di ambil oleh Kiyai Supit Pramana. Untuk
menghindarkan hal-hal tak diingatkan yang mungkin tejadi keris itu
kemudian dilemparkan ke dalam laut di Selat Madura.