Kiai Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun
tubuh itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama
meninggalkan tubuh! Orang tua itu menggeletak
menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat
jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah
bercucuran menutupi seluruh wajahnya. Dalam jari-jari tangan kiri
Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang
tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu
tergurat tulisan:
TAMBUN TULANG
Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai
Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama
seseorang yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama
sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah
menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang detik kematiannya
karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku di
atas huruf terakhir kata yang kedua. Diam-diam Wiro Sableng memaki
dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu
sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai
Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan
memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat
Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi! Perlahan-lahan
pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan.
Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan
kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit
sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis:
SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu
kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai
Bangkalan menemui kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku
ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah buku yang sangat
berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah mengambilnya
dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan
yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua
itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya. Sepasang
mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil
yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti
mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk bahkan yang
dicungkil kedua matanya belum tentu, menemui kematian. Tak pernah dia
sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang
berilmu rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang menancap
itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya,
manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang
telah melakukan perbuatan terkutuk ini? Untuk beberapa lamanya
Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus
menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu
dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum
meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah
sepasang matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan
karena tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai.
Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan
pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning
berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan
harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua buah keris
aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu
kering dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau
hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu ke
dalam saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat. Langit
di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari
yang hendak ke luar dari peraduannya Katulistiwa detik demi detik
kelihatan dengan jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana
hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian mataharipun ke luarlah
tersembul di ufuk timur itu merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah
muncul dari dalam lautan luasi Sepasang mata Pendekar 212 tiada
berkedip memandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat
kemunculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya. Sukar
dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan keindahan
alam ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh.
Dengan keahliannya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup menuang
segala keindahan yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya. Perahu
besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke
manapun mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas
kemampuan penglihatan manusia yang menandakan bahwa sesungguhnya dia
hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan alarn! Angin
dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar perahu besar menggembung
dan perahu meluncur lebih pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan
burung terbang di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di
sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih terlalu jauh
hingga pandangan mata tak kuasa menangkapnya. Puas memandangi keindahan
laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah ke
buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di buritan itu dan
memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara, Wiro tak tahu
apa yang tengah diperhatikan laki-laki pemilik perahu ini. ”Ada apakah, bapak?" tanya Wiro. Tanpa
alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab. "Orang muda,
perhatikan baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr
kejauhan sana…?" "Awan semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik." "Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut. "Akan
timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula. Latu dia pergi kehaluan
dan menyuruh anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu. Wiro
Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar
mereka bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu?
Kalaupun terjadi angin ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! .
Maka karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu dikhawatirkan oleh
Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang
tengah hari kecemasan mulai membayangi hati pemuda ini. Di sebetah
tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan
bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu
kelompok saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di
manamana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi diselimuti
kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak tentu arahnya. Kelompok
awan hitam semakin banyak dan semakin lebaL Cuaca semakin buruk. Air
laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu
tersendatsendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun. "Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi. Jauh
di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu
menjurus ke barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh sabungan
kilat, yang disusul oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya
rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh
perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup bersama karena
derasnya, laut marah menyabung gelombang, menghempaskan perahu kian ke
mari sementara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pekat!
Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah
rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu. "Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu. Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa,perahu., "Kraak!" , Tiang
layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah
tumbangnya bagian atas tiang layar. Dalam pada itu dari samping datang
pula satu gelombang yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya
itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di
antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara guntur, di
antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia yang
mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja karena
sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang! Sewaktu
perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan
kepingan-kepingan papan dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke
mari untuk kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas. Setiap
manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala, daya yang ada berusaha
menyelamatkan diri. Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan
alam yang maha dahsyat itu?! Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat
sekuat tenaga untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu. Dia
berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu namun mana
mungkin berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja
kepalanya muncul telah disapu kembali oleh air laut! Wiro mulai
megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar
kira-kira dua belas tombak dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang
terakhir pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu
tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi
masuk ke dalam laut. Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap! "Celaka!
Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia
mengeluh begitu sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia
menyelam dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap
saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak membuat pemandangannya
menjadi gelap! Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan
air laut dalam keadaan setengah hidup setengah mati, sesuatu melanda
keningnya dengan’keras. Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah!
Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena dia
tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya masih terang
untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk
menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran
darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk
menangkap benda itu. Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua
kali dia cuma menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak
berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia berhasil menangkap
benda itu dan dipegangnya erat-erat. Beberapa saat kemudian ketika
kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok
pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya. Wiro
Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa mempertahankan diri agar
tidak tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum
lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombang ambing dipermainkan
ombak, satu benda meluncur dihadapannya, sebentar timbul sebentar
tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro
tahu betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh seorang
penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya. Sewaktu diperiksa ternyata
anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung. Wiro Sableng
menyadari bahwa papan yang di dapatnya tidak cukup besar untuk menolong
mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti
meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar
212. Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya
anak yang pingsan pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak
tenang. "Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam hati. Dia
memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan.
Laut yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam
hati. Rupanya sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah
lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa
ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia memekik,
berteriak setinggi langit. Namun siapa yang akan mendengar? Siapa yang
akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa terkancing. Dicobanya
berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan
tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit,
perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum kepalanya
lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh
dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu
benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia berjubah putih, tapi
mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia
menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik itupula tubuh
pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut.
Ketika dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit.
Matanya berat sekali untuk dapat dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah
sudah berada di alam akhirat, berada di neraka?! Wiro Sableng
membuka kedua matanya dengan perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya
ialah atap rumbia. Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang
berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku ini, pikir
Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di atas perahu tengah
menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau
Andalas! Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas
ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada
sebuah papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa
lagi! Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu,
dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya.
Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima
kenyataan yang ada dihadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya
bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia terbaring. Tapi
tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas
balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia pingsan lagi. Kedua
kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah
berkurang tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat.
Lapat-lapat didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau
angin yang meniup telinganya. Rasa haus menyerarig tenggorokannya. Tapi
kepada siapa dia minta air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada
sanggup? Didengarnya suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia
lak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang
laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu sudah berdiri di samping
balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan
jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun
kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat Wiro
jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua
tak dikenal ini! Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar
dan cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena tiada berdaging.
Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi parasnya. Hidungnya kecil,
panjang dan bengkok seperti paruh burung kakak tua. Dia tersenyum, tapi
senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada parasnya. Diam-diam
Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau setankah yang
berdiri dihadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang
seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang lebar
luar biasa dan menyeringai. "Sudah sadar hah?!" bentaknya
menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia
terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara berkereketan. "Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan. Enak betul!" orang tua bermuka angker itu berkata lagi. Wiro
membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup
dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus
berpikir siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa
orang tua itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi
setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta menunjukkan hati
jahat?! "Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu membentak
lagi. Balai-balai serta pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga
dalam orang tua ini. Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan; "Air…" "Apa?!" "Air.:." desis Wiro. "Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul!" Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar. Wiro
terkesiap mendengar jawaban,orang tua bertampang angker itu. Diam-diam
dia menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si
orang tua mendampratnya. Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu. "Ah…
anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro
terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada
anak kecil yang tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai
mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya
dan juga menolong anak laki-laki itu. Tapi mengapa sikapnya demikian
aneh dan galak? "Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta
air…? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya!" Habis berkata
begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tibatiba dia hentikan tawanya
dan membentak si anak: "Hai! Kau dengar apa tidak?!" Dibentak keras
begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari
dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua
kembali tertawa gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro.
"Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil
sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung!" Lalu dia ke
luar dari pondok. ! "Edan!" desis Wiro. "Eh, apa?! Kau memakiku
edan?! Kau yang edan!" Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk
kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya. "Braak!" Orang
tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak
ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu
pingsan lagi! Si orang tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan
tinggalkan pondok itu. Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur
baik dan segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta darah
dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian tubuh yang perlu maka
dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di sudut pondok ada
sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa
dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian
sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro
segera menyambarnya. Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua. "Ah…
salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah. Eee… itu tangan kananmu
musti begini. Bagus…. Sekarang coba memukul ke muka… ah salah! Salah!
Dasar bocah geblek!" Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro
Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan
pemandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia
berdiri dengan bersandar dan memandang ke halaman. Orang tua berwajah
angker itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang
berumur dua tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang dikatakannya
nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada
anak itu. Wiro Sableng tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu
diajar ilmu silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri
kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu. Kelihatan dia
menggeleng-gelengkan kepala. "Apa?!" bentak si orang tua, "Kau tak
mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi
laki-laki banci pengecut?!" Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma
sekali itu mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak tersebut
menangis si orang tua menjadi marah dan memaki-maki. Tapi kemudian dia
sendiri ikut-ikutan nangis! Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh
sekali orang tua ini," katanya dalam hati. "Mungkin otaknya kurang
waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali. Dan Wiro lantas ingat
pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan
orang tua ini. "Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah
sana main-main! Nanti kalau ada yang mengatakan kau laki-laki pengecut
jangan salahkan aku!" Habis berkata demikian si orang tua pukul-pukul
keningnya sendiri sambil membalikkan badan dan melangkah ke pondok. Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok. "Orang
edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ?!" bentak si
orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan
banting-banting kedua kakinya di tanah. Dan bukan main terkejutnya Wiro
Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang
tua itu amblas sampai setengah jengkal! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa
siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah orang yang
telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura
dalam-dalam. "Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang tua. "Apa-apaan menjura segala?!" "Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku…." "Hutang nyawa?! Hutang budi…?! Kau gila!" "Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di tautan? Kemudian merawatku di sini?!" Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat. "Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku tak pernah menolong orang gila macam kau!" Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga: "Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?" "Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti orang tua bertampang angKer. "Meski
kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang
telah menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima
kasih. Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi
kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua…." "Buat apa?!" "Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula. "Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu. Wiro
tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu kemudian dilihatnya duduk di
bawah sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang
dinyanyikannya, bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara
menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau! Tiba-tiba
orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas
pohon kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur.
Ternyata pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak
lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba orang
tua ini ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke arah kelapa yang
melayang turun! Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu
memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air kelapa memancur
masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis! Wiro sampai ternganga
dan, melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang
disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti
itu. Dan sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu
terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak terlihat
memegangnya! Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. "Wuuut!" Kelapa
itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang
luar biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena
masih lemah. Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam kendi air terus membobolkan dinding pondok! Wiro memaki dalam hati habis-habisan. Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata! "Orang
gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata
sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga
memandang tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si tampang
angker ini. "Bah, kau berani menantangku nah?!" Dari balik pakaiannya
orang tua ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui
benda apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya.
Untuk kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh,
lemah demikian rupa. Kali ini dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya.
Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya
tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh lukanya kini
berdarah kembali! Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia
berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi adalah senjata
miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja anginnya
membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang
pondok sebelah kiri. Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke
dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil Kapak Naga
Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan dari samping datang
serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah benang
aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro
cepatcepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah
melibat! lengannya! Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia
menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras ke arahnya. Wiro
merasakan tangannya seperti mau copot! Dia memaki lagi. Kalau saja tidak
mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia
mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa! "Ha… ha!
Orang, gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku?!" ejek orang
tua itu begitu Wiro sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan
benang tapi sukar sekali. "Orang gila siapa namamu?!" "Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terus-terusan!" kata Wiro dengan kesal. "Ah… kau memang gila!" tukas si muka angker. "Ayo katakan siapa namamu!" "Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar. "Wiro apa?!" bertanya lagi si muka angker. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal. "Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!" "Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya. "Wiro
Sableng?! Nah… itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang
gila mana ada manusia yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja
artinya dengan edan alias gila!" "Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian…." "Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu…." "Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng. "Ah… kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias keblinger!" Marahlah
Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan si muka angker dan menghardik:
"Orang tua, jangan hina guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan
menyentak dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang
melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh
sentakan itu! Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan
Wiro dan berkata: "Jangankan kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun
belum tentu sanggup memutuskan benang kayangan ini! Eh orang gila! Aku
sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!" “Aku
tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan
untuk melepaskan libatan benang kayangan terasa sakit dan pedas. "Jangan
berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam
Jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!" "Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?!" tukas Wiro Sableng menantang. Orang
tua itu mendelikkan matanya sehingga kelopaknya yang merah membuka
lebar dan tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa
gelak-gelak. "Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi
anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama
gurumu!" "Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.," "Jadi kau tidak mau beri tahu?!" "Tidak," jawab Wiro Sableng tegas. Si
muka angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang
kedua yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!" Habis
berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu
goyangkan benang kayangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit
kesakitan dan tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak!
Tua
Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan gerakan jungkir balik
yang dibuat Wiro Sableng sewaktu melayang turun dan menjejakkan kedua
kakinya di tanah. "Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna
hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua Gila lalu tertawa lagi
gelak-gelak. Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang
mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia jungkir balik tadi
dia telah mengeluarkan gerakan yang dinamakan kincir padi memutar yaitu
yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di
puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah dikuasai Wiro
dengan sempurna namun karena gugup, terkejut dan ditambah dalam keadaan
tubuh lemah maka gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya
Tua Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar 212 Wiro
Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si muka angker itu hanya terus
duduk dan tertawa gelakgelak. Wiro berdjri dengan nafas sesak dan
muka pucat. Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia
diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang dan
ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup menahan kesabarannya?
Sampai berapa lama dia akan menghormati orang tua itu sebagai tuan
penolongnya? Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?! "Kau masih mau membangkang?!" Wiro tak menjawab. Tua
Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan seorang anak
laki-laki yang bakal kuambil jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang
gila." "Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang keterlaluan…." "Perlakuanku
apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila marah sekali. "Manusia tidak
tahu diri! Sudah diampuni jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan
siapa nama gurumu!" "Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!" "Apa kau tidak takut mati?!" "Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula. Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!" "Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!" Tua
Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama puluhan tahun hidup
tak pernah dia ingat tentang kematian sekalipun sudah berpuluh kali
melihat manusia-manusia lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi
menyentakkan hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu.
Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua butir air mata
menuruni kelopak matanya yang lebar, turun menetes pipinya yang cekung! Wiro
Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua yang begitu keras
adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh itu nyatanya juga bisa menangis
keluarkan air mata. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya. Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. "Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" ‘ Wiro
baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan celana panjang saja
sedang tubuhnya bagian atas tiada berbaju karena sewaktu peristiwa
perahu terbalik dia telah mempergunakan bajunya untuk mengikat anak
laki-laki yang ditolongnya. "Guruku yang menuliskannya," kata Wiro. "Dasar
tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa yang menulisnya.
Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya aku tak perduli!" "Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro. Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah. "Pembangkanganmu
sudah keterlaluan! Kau betul-betul tidak memandang sebelah mata
terhadapku! Kau akan kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang
yang dipegangnya, ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk mati, orang
gila!" Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan hendak
dipukulkan, tiba-tiba djtariknya kembali. Dia menyeringai. "Ah…
sebetulnya aku sudah muak melihat kematian! Orang gila, jika kau bisa
menjawab sebuah pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau
tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!" Wiro Sableng kertakkan rahang. Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan" "Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka hidupnya di dunia ini?!" Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah angker orang tua itu. , "Kalau
kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!" Tua Gila menyeringai. Dia lalu
menunjuk ke atas pohon kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah
kelapa. Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa menjawab
pertanyaanku tadi!" Tua Gila memukul ke atas. Wiro kerutkan kening. Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat! "Bumm!" Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah! Tua
Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan. "Jiwamu kuampuni, orang
gila," katanya. "Jawabanmu memang betul." Kemudian dari balik pakaian
putihnya Tua Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya dihadapan
Wiro. ”Benda ini kutemui di dalam saku pakaianmu yang dibuat pengikat
anak laki-laki yang kau tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!" Ketika
diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan kulit harimau yang
tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang di mana Kiai Bangkalan menemui
ajalnya dibunuh. Saat itu ternyatalah di hati Wiro untuk meminta
beberapa keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan riwayat Kiai
Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang lua itu. "Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku Seribu Macam Pengobatan Ha?" Wiro mengangguk. "Kalau
kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan kau ambil sebagai
milikmu?! Berarti kau maling besar karena Kiai Bangkalan tak pernah
mengatakan bahwa buku itu akan diwariskannya kepadamu!" "Aku tidak
mengatakan hendak mengambil atau memiliki buku itu. Tapi aku merasa
punya kewajiban untuk mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia
yang telah mencuri buku itu" "Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau bukan muridnya Kiai Bangkalan!" "Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di tangan orang yang bukan pemiliknya." "Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan buku itu?" "Aku akan pelajart isinya,…", "Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!" potong Tua Gila. "Mana
mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan bahwa dia akan mengajarkan
ilmu pengobatan padaku. Kini dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari
ilmu pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri kepandaian
orang lain!" Tua Gila tertawa. "Apapun alasannya, mempelajari ilmu
orang lain dari buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama saja dengan
mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan pelajaran ilmu pengobatan
padamu. Langsung dari dia sendiri, bukan dari bukunya. Jangan
mengada-ada, orang gila!" Wiro Sableng menjadi penasaran sekali. Dalam
pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak usah teruskan
perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja. Kau akan sia-sia mengerjakan
apa-apa yang bukan jadi hakmu!" "Apakah menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro. Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang. "Perjalananku
semata-mata bukan cuma untuk mencari buku itu. Tapi juga sekaligus
mencari manusia yang telah membunuh Kiai Bangkalan!" "Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas! Kau dengar orang gila?!" "Tapi
aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang budi itu tak akan lunas
sebelum aku berhasil membekuk si pencuri dan si pembunuh!" "Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai Bangkalan…?" ejek Tua Gila. ‘ "Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh manusia itu. "Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!" Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab: "Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milikmu?!" Tua
Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau meskipun gila nyatanya
pintar bicara! Sekarang kau kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama
aku jadi muak melihat tampangmu!" Wiro mehggerendeng. Tua Gila
gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali, satu aliran angin aneh
menjalar di benang yang mengikat lengan Wiro terus memukul tubuhnya
dengan hebat! Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh
Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!
Dari
Tua Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di mana letaknya bukit
Tambun Tulang. Dulu sewaktu berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari
seorang pelaut dia mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama sebuah
bukit yang terletak di Pulau Andalas. Namun Tua Gila mengejeknya, malah mendamprat dan memaki-makinya. "Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ. Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang mengantar nyawa…." "Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus kita hadapi," kata Wiro pula. Tua
Gila tertawa sinis. "Jangan bicara sombong. Orang gila, apa kau tahu
artinya Tambun Tulang? Kalau aku kasih tahu baru bulu kudukmu merinding.
Kalau tidak pingsan pasti kau terkencing-kencing karena ketakutan. "Kalau
aku begitu pengecutnya masakan aku berani ambil keputusan untuk
mengadakan perjalanan," sahut Wiro karena merasa dihina sekali. Tua
Gila membelai janggutnya sebentar lalu berkata: "Nyalimu memangbesar,
orang gila. Tapi percuma Saja keberanian yang luar biasa kalau kau tidak
punya ilmu yang diandalkanl" Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian
kalinya, meskipun Tua Gila marah-marah dan mendampratnya, namun Wiro
mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh berwajah angker itu dan
minta diri. "Apa?! Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap berada dipulau ini sampai kau ada kemampuan untuk membuat urusan di Tambun Tulang." Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut. Yang
pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan bahwa dia tak boleh
meninggalkan pulau itu. Selama berhari-hari bersama si orang tua aneh,
baru hari itu dia tahu kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja
seringkali didengarnya suara menderu seperti ombak sedang angin keras
sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar 212 ialah bahwa dia musti
tinggal di pulau itu sampai dia ada kemampuan untuk ini, berarti bahwa
Tua Gila si orang aneh bertampang angker itu hendak memberinya pelajaran
ilmu silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya agaknya Tua Gila
mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang! Tengah Pendekar 212 Wiro
Sableng berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba Tua Gila membentaknya:
"Coba perlihatkan beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling
hebat!" "Apa maksudmu sebenarnya, orang tua?" tanya Wiro Sableng dengan hati meragu. “Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan!" bentak Tua Gila. Wiro
Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada dalam keadaan normal
seperti sedia kala segera maklum bahwa orang tua aneh itu mempunyai
maksud tertentu terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu
silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng! Mula-mula
dikeluarkannya jurus yang dinamakan "Segulung Ombak Menerpa Karang",
menyusul "Ular Naga Menggelung Bukit", lalu Wiro balikkan badan dan
lancarkan jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar" dan yang keempat
kalinya jurus yang dinamai "Membuka Jendela Memanah Rembulan". Semua
gerakan itu dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia sudah
menyelesaikannya. Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk
kemudian dia berkata: "Coba kau ulangi lagi keempat jurus itu." Lalu dia
mematahkan sebatang ranting dan berdiri empat langkah dihadapan Wiro
Sableng. Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak
kembali Wiro Sableng sengaja lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat
dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaannya! Tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan oleh
gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang! Pada
waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang"
maka kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara
angin yang deras,, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul karang.
Debu dan pasir serta batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar
bergoyang-goyang! Anehnya Si Tua Gila menyerangnya, Wiro Sableng
lipat gandakan daya gerakannya. Jurus yang dinamai “Segulung Ombak
Menerpa Karang" itu mengeluarkan angin pukulan yang laksana ganas
mencari sasaran di kepala dan dada Tua Gila. Tua Gila mendengus.
Ranting di tangan kanannya lenyap dan gerakan memutar sedang tubuhnya
sendiri jingkrakjingkrakkan tak menentu macam monyet terbakar ekor!
Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker
jingkrak-jingkrakkan tak karuan dan dilakukan sambil cengar-cengir
mengejek namun jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang" secara aneh dapat
dielakkannya dengan mudah! Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah
selama ini jurus yang dikeluarkannya itu sanggup dielakkan lawan
demikian mudahnya! Karena dengan satu bentakan keras Wiro susul dengan
jurus "Ular Naga Menggelung Bukit". Jurus ini didahului oleh satu
tendangan dahsyat ke arah bawah perut. Namun ini hanyalah gerak tipu
belaka. Bila lawan menangkis atau mengelak akan menyusul sambaran
sepasang lengan ke al-ah leher atau pinggang. Sekali leher atau pinggang
kena digelung oleh lengan yang berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa
itu, tak ampun lagi pasti akan putus dan orangnya akan konyol! Dengan
gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan tendangan,ke arah bawah
perutnya. Juga dengan gerakan aneh macam begitu dia berhasil pula
mengelakkan gelungan tangan lawan yang mengincar leher lalu turun ke
arah pinggang! "Edan!" maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah melompat ke muka dan lancarkan jurus "Membuka Jendela Memanah Rembulan". Tapi
dia cuma menyerang tempat kosong karena si orang tua sudah lenyap
dihadapannya dan terdengar suara dengus mengejeknya di belakang! Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat sambil lancarkan serangan dalam jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar!" Tapi
lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk macam monyet mabuk si
orang tua berhasil mengelakkan jurus serangan terakhir yang dilancarkan
Wiro Sableng itu! Wiro melompat mundur. "Orang tua, aku mengaku kalah!" kata Wiro sejujurnya. Dia kagum sekali melihat kelihayan orang tua ini. Tua
Gila tertawa mengekeh dan sambit membuang ranting kering yang
ditangannya dia berkata: "Aku tidak memikirkan soal menang atau kalah!
Hanya tukangtukang judilah yang memikirkan kalah menang!" Kemudian
dia duduk di bawah pohon kelapa dengan masih tertawa mengekeh. "Dengan
ilmu silat picisan itu kau mau pergi ke Tambun Tulang…? He… he… he… he….
Belum sampai mungkin kau sudah kojor!" Wiro Sableng panas sekali
hatinya. Ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng yang selama ini
dianggapnya hebat dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat picisan!
Betulbetul Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun demikian adalah
satu kenyataan bahwa dia tak sanggup menghadapi si orang tua dalam
keempat jurus tadi! Ini membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia,
masih ada manusia lain yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar langit
ada langit lagi! Diam-diam Wiro menggerendeng sambil tundukkan kepala.
Tapi ketika kepalanya ditundukkan, astaga, membeliaklah matanya karena
terkejut! Betapakah tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata
robek besar diempat bagian! Wiro angkat kepala dan memandang tak
berkesip pada si orang tua! Kalau saja benda di tangan Tua Gila tadi
adalah sebatang pedang dan benar-benar dipakai untuk mencelakai dirinya,
pastilah sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-betul
bahwa di luar langit ada langit lagi! Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil usap-usap janggutnya yang putih panjang. "Sia-sia
orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau miliki sekarang iri i
kau hendak pergi ke Tambun Tulang! Kau akan mampus percuma!" "Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang tua," kata Wiro Sableng pula. "Apa?
Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam kau!" damprat Tua Gila
membuat Wiro untuk kesekian kalinya memaki dalam hati! "Aku sudah
lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna itu!" bicara lagi Tua Gila.
"Sekarang coba keluarkan ilmuilmu pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah
juga tak ada artinya?!" Penasaran sekali Wira menyurut mundur
delapan langkah. Kedua kakinya direnggangkan. Tenaga dalam segera
dialirkan ke lengan kanan. "Orang tua! Berdirilah)" seru Wiro Sableng
ketika dilihatnya Tua Gila masih duduk di bawah pohon kelapa sambil
cengar cengir seenaknya. "Ah, untuk menerima.pukulanmu yang tak berguna kenapa musti berdiri segala?! Silahkan memukul, orang gila!" Wiro
kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga dalamnya. "Kalau kau
mendapat celaka, jangan salahkan aku!" gerendeng Wiro. Tangan kanannya
diangkat tinggitinggi ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka
kelima jari membuka dan satu gumpalan angin keras menderu ke arah Tua
Gila yang masih saja duduk tertawatawa. "Ah! Cuma pukulan kunyuk
melempar buah! Tak ada gunanya bagiku!" ejek tua Gila. Tangan kirinya
dilambaikan ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya. Terdengar
suara berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah ke belakang! Ketika dia
memandang ke muka, si orang tua dilihatnya tertawa mengekeh dan masih
tetap duduk di bawah pohon kelapa itu! . Wiro merutuk setengah mati. Kedua tangan diangkat ke atas. "Tua
Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!" Kemudian tanpa tunggu lebih
lama Wiro putar-putarkan kedua tangannya di udara. Gelombang angin yang
tiada tara dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batubatu
kerikil mental. Semak belukar luruh, daun-daun pohon berguguran bahkan
banyak cabang-cabang dan rantingnya yang patah! Pakaian, rambut dan
janggut Tua Gila kelihatan berkibar-kibar! Tapi anehnya dia tetap saja
duduk di tempatnya, malah berkata’ "Ah, sejuknya pukulan angin puyuh
ini. Mataku sampai-sampai mengantuk!" Dia menguap lalu letakkan
kepalanya di atas lutut seperti sikap orang yang hendak tidur
mencangkung! "Edan!" maki Wiro Sableng. Pukulan angin puyuh segera
diganti dengan pukulan angin es. Udara di atas pulau itu mendadak sontak
menjadi dingin tiada terperikan. Binatang-binatang kecil seperti
burung, jatuh menggelepar kaku. Sebaliknya si orang tua mendongak ke
langit dan berkata seakan-akan pada dirinya sendiri; "Ah, panas sekali
hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu Tua Gila kibaskibaskan
pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah pengaruh pukulan angin es
yang telah dilepaskan oleh Wiro Sableng! "Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan yang lain?!" seru Tua Gila dengan nada mengejek! Wiro jambak-jambak rambutnya saking gemas. "Ayo! Pukulan sinar matahari belum kau keluarkan! Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu!" Sebenarnya
susah sejak tadi Wiro Sableng terkejut karena Tua Gila mengetahui
setiap jurus pukulan yang hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu
bertambah lagi sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan pukulan sinar
matahari!1 Siapa sesungguhnya orang tua aneh ini, pikir Wiro tiada
henti! "Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun?! Keluarkan pukulan sinar matahari!" berseru lagi Tua Gila. Penasaran
sekati Wiro alirkan seluruh tenga dalamnya ke tangan kanan. Mulutnya
komat-kamit. Sekejap kemudian tangannya itu mulai dari siku sampai ke
ujung-ujung jari berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya
memijar menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari! Tua Gila
untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat. Matanya yang lebar memandang
ke muka tak berkedip. Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat
dilihatnya Wiro memukulkan tangan kanan ke muka, orang tua ini dorongkah
telapak tangan kanannya ke depan! Dari tangan Wiro Sableng menderu
satu larik besar sinar putih yang tiada terkirakan panasnya! Sebaliknya
dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang menderu
ganas-dan memapasi sinar putih berkilau! Terdengar suara berdentum yang teramat dahsyat! Langit laksana robek! Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut! Dunia seperti mau kiamat! Wiro
Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika dia berdiri mengimbangi
badan, dadanya terasa sakit. Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk lapi
darah yang menyembur! Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur
jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat sepasang kaki Tua Gila
amblas ke dalam tanah sedalam betis! Sambil batuk-batuk dan
tertawa-tawa, orang tua itu cabut kedua kakinya. "Ah… baru pukulanmu
yang satu itu yang agak berguna dimataku!" kata Tua Gila. Perlahan-lahan
dia duduk kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling ke
kiri dan mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau berani mengintai urusan
orang! Pergi!" Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak
kecil yang tempo hari ditolong oleh Wiro di tengah lautan. Si anak
dengari takut segera lari meninggalkan tempat itu. Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah menggelincir ke arah barat. "Hem… sudah rembang pelang. Tentu pasang sudah naik” Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya: "Mari ikut aku ke pantai!" Mula-mula
Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di tempatnya. Tapi ketika Tua
Gila membentaknya dengan mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu
apa yang hendak diperbuat orarig tua aneh itu akhirnya Wiro mengikut
juga!
Seperti
yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang kini mereka sampai di tepi
pantai. Orang tua itu melangkah sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah
teluk sempit yang penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas
hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila melangkah seenaknya di atas
pasir yang basah tanpa meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya
ketika dia memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun tetap
saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua kakinya! Bagaimana
dia bisa menganggap ilmunya sudah tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk
kepalanya. Dalam bati dia- merasa malu sendiri! Di teluk sempit itu
terdapat dua buah batu karang yang menonjol tinggi. Lebih tinggi dari
batu-batu di sekelilingnya. Jika pasang naik meskipun kedua batu karang
itu tidak terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang
sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap pasang naik,
setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun, entah sudah berapa juta
kali ombak mendera kedua batu karang itu! Namun sampai saat itu keduanya
masih tetap berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang
tiada terkalahkan sepanjang masa! Dengan gesit dan sambil
menyanyi-menyanyi membawakan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat
di atas batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak salah satu
batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke bawah dan berteriak pada
Wiro: "Kau melompatlah ke batu karang yang di sebelah sana!" "Kau
gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau pasti dihantam dan
terpelanting ke batu-batu karang yang runcing menonjol itu. Kira-kira
dua puluh tombak!" Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah puncak batu karang! Wiro
berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas melompat turun! Tapi gilanya,
malah Tua Gila memutar tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di atas
puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira sekail di kala ke
luar rumah mandi hujan! Begitu ombak mendera begitu si orang tua
dorongkan kedua tangannya menyongsong ke muka! "Byuur!" Ombak
menerpa, Batu karang bergoyang keras. Tapi Tua Gila masin berdiri di
atas puncak karang itu, Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak
gembira; "Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi lebih
besari" "Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia kagum
sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda ombak kelihatan jelas
bergoyang hebat! Sebaliknya seorang manusia yang berada di puncaknya
tiada sanggup disapu oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau
dia tak menyaksikannya sendiri. "Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa
lagi?!" teriak Tua Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri
bengong melompong di bawah sana. "Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro. Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya. Wiro
tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu tahu sebuah benda halus
putih yang berkilauan telah melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum
sempat Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah tersentak dan
melesat ke atas puncak karang yang kedua. Dengan kerahkan ilmu
meringankan tubuh Wiro menjejakkan kedua kakinya di atas puncak karang
yang sempit runcing, serta licnin berlumut itu! Bila dia memandang ke
muka, Wiro terkejut. Segulung ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua
puncak batu karang di mana dia berada bersama Tua Gila. "Bagi dua
tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak Tua Gila. "Begitu ombak
datang songsong dengan pukulan kedua telapak tangan!" Karena khawatir
tubuhnya akan disapu dan dihempaskan ombak ke batu-batu cadas di teluk
yang sempit itu, dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua
Gila! Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya mencelat
mental! "Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu tombak
lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu cadas Tiba-tiba dirasakannya
badannya tersentak membal dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila
telah menyentakkan benang kayangan yang menjerat pinggangnya. Untuk
kedua kalinya Wiro berdiri lagi di puncak batu karang itu! "Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo, sambutlah!" ”Byuuur!" Ombak
menggulung menerpa bagian atas puncakpuncak karang. Untuk kedua
kalinya tubuh Wiro Sableng mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh
ke atas batubatu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan melemparkannya
ke puncak karang! Berkali-kali hal itu terjadi hingga Wiro merasakan
sekujur tubuhnya laksana tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan
orang tua gila itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap
ombak menerjangnya jatuh! Tiada terasa senjapun datang. Senja segera
pula berganti dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu
ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ‘ Lambat laut timbullah rasa
penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan menguatkan diri dap menabahkan
hati, ketika untuk kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka
pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila. Sebagian tenaga
dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian lain ke tangan. Begitu ombak
datang tubuhnya dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan
didorongkan ke muka! "Byuur!" Wiro mencelat mental. Tapi kali ini
tidak sejauh seperti sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi
berulang-ulang, maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup juga
beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu meskipun tubuhnya
tergoyang gontai dengan hebat! Namun karena kekuatannya telah habis,
akhirnya pemuda ini roboh pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut
ke luar darah. Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan mengerahkan
tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak pernah dilakukan sebelumnya!
Sebaliknya. Tua Gila tertawa gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya
benang sakti di tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro
Sableng sudah berada di atas bahu kirinya. Tua Gila mendongak ke
langit, memandang ke arah bulan sabit. Sambil melompat turun dan
tertawa-tawa dia berkata: "Tidak percuma… tidak percuma Si Sinto Gendeng
itu punya murid macam ini! Tidak percuma!" Kalau saja Wiro Sableng
tidak pingsan, kalau saja Wiro Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu,
pastilah dia akan heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng
adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng pemuda ini selama tujuh
belas tahun di puncak Gunung Gede! Ternyata Tua Gila dengan mengajak
Wiro Sableng ke puncak batu karang di teluk sempit itu, telah
mengajarkan sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda. Wiro
sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan pelajaran ilmu
pukulan sakti kepadanya segera hendak berlutut mengucapkan terima kasih.
Tapi dengan tertawatawa Tua Gila berkata: "Meski kau kuberi
pelajaran satu ilmu pukulan yang hebat, tapi jangan sangka bahwa aku
telah jadi guru dan kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan
apaapa…!" "Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro, "Tapi
mengapakah kau sampai demikian bermurah hati mengajarkan ilmu pukulan
itu?" Tua Gila tertawa gelak-gelak. "Pertama sebagai ucapan terima
kasihku karena di tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang
bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat… ah…. Agaknya tak perlu
kuteruskan…." Wiro Sableng merasa tak enak. "Karena mengingat apa, orang tua…?" "Sudah!
Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak senang. "Ilmu pukulan yang
telah kau pelajar! itu bernama "Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan
satu diantara tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan!
Sekarang, untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan ajarkan
padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang bernama Ilmu Silat Orang
Gila" "Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus," kata Tua Gila. Wiro
segera menyerang orang tua itu dengan gencar! Bagaimanapun hebat dan
cepat gerakannya tetap saja dia tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila.
Sebaliknya dia kena didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan
pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua Gila
kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru disitulah letak
kehebatan ilmu silat orang gila yang diciptakan oleh Tua Gila! Dalam
waktu yang singkat Wiro Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat
itu. Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri, pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat kesempurnaan. Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng. "Hari
ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku untuk melihat tampangmu!"
kata si orang tua. Wiro terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila
sudah menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat kaki! Nah
berlalulah sebelum aku betul-betul muntah melihatmu!" Wiro berpikir
sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk dihadapan Tua Gila. Dia tahu
orang tua ini bersifat aneh. Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau
angkat kaki dari situ. "Sebelum pergi, pertama sekali aku akan
mengucapkan terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah
mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat yang hebat
padaku…." "Lalu apa lagi?" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku
sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila lambaikan tangannya.
Angin yang hebat mendorong Wiro hingga terjajar beberapa langkah ke
pintu pondok. "Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila," kata Wiro. "Eh, petunjuk apa?!" "Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun Tulang." "Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!" "Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa keterangan." "Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti orang yang tidak sabar. "Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya Tambun Tulang itu…." "Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh. "Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua," sahut Wiro. "Betul!
Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang paling mengenaskan dan
mengecewakan ialah mati percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu
yang kita rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi seperti
sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya yang cekung. Tua Gila
membuka mulut lagi: "Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara,
kira-kira diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau
pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu memang terletak di
sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu meneruskan lagi: ‘Tambun Tulang
artinya Timbunan Tulang. Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan
tulang ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga merupakan
sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila didekati, pemandangan
di sana mengerikan sekali! Bukit Tambun Tulang daerah kekuasaannya
Datuk Sipatoka, seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki
anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping itu memelihara
puluhan harimau! Sekali kau masuk ke daerahnya itu, tipis harapan kau
bakal keluar hidup-hidup, orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau
membatalkan saja niatmu pergi ke situ?!" Wiro gelengkan kepalanya. "Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang siasia!" kata Tua Gila pula. Wiro
tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia bertanya: "Menurutmu,
apakah mungkin manusia bernama Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat
Bangkalan dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?" "Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku! Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu padamu!" "Wiro mendumel dalam hati”. "Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk tokoh silat golongan hitam?" "Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila "Mengenai bukit tulang manusia itu… apakah itu manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya?" tanya Wiro lagi. Tua
Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan mengetahuinya sendiri
nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik, kau akan mati berkubur! Tapi
kalau tidak, tulang-tulangmu akan turut menambah tingginya bukit Tambun
Tulang Ku! Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!" Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah dengan cepat ke pintu. "Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil. Wiro Sableng membalikkan badan. "Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!" Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari Gunung Gede?! "Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang kau tapi tidak tentang orang lain itu!" "Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro. "Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku tak mendengar kabar beritanya!" Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah. "Kau… kau kenal dengan guruku?!" "Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!" Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya. "Ada apakah orang tua?" "Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan si Sinto Gendeng?!" Melihat
Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si Sinto Gendeng" nyatalah bahwa
Tua Gila mempunyai hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?! "Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi. "Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku, Tua Gila?" Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini terbayang di ruang matanya. Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua. Aneh, pikir Wiro. Lalu
tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Kadang-kadang orang yang sudah tua berlaku seperti anak kecil. Menangis
macam anak kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya
aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru…." Tentu saja ini tak
diduga sama sekali oleh Wiro Sableng! Kagetnya bukan olah-olah! Tapi
begitu sadar cepat-cepat dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila. "Betul-betul
aku tidak menduga kalau kau adalah saudara seperguruan dari Eyang Sinto
Gendeng. Ah… pantas saja kau sakti dan lihay sekali!" Kembali Tua Gila tertawa rawan. "Aku
lima tahun lebih tua dari dia, orang gila….". Dan dia memandang lagi
jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk
dan buruk keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali! Dan
aku yang kini begini buruk macam mayat hidup dulupun punya tampang
keren, tegap gagah! Tapi itu dulu…! Semua yang dulu-dulu itu tak bakal
kembali lagi!" Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam.
Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir pada gurumu di
masa kami muda-muda dulu. Dia juga senang padaku. Kami saling mencintai!
Bahkan sewaktu turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami
hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya sesudah turun
gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia luar! Aku terjebak dan mati
kutu di tangan seorang janda muda anak seorang Adipati di Plered! Aku
kawin dengan janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila
perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya sendiri! "Ketika
janda itu sakit dan mati, baru aku sadar! Aku cari gurumu dan bertemu.
Tapi dia tak sudi lagi padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah,
dia tak bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah hati, orang
gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi putus asa lalu bertualang
dan membuat keonaran di manamana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau
Jawa tunduk dan takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia
persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada yang memberi
gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula yang menjuluki "Iblis Gila
Pencabut Jiwa"! Banyak lagi gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan
semua gelaran itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang
kuciptakan sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok
bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu tahukah kau sudah
berapa manusia yang menjadi korban di tanganku?" Wiro angkat bahu. Tua
Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya mendesis. ‘Tiga
ratus lebih nyawa manusia yang harus kupertanggung jawabkan di akhirat
nanti! Betul-betul gila! Tapi semua mati dalam pertempuran yang jujur!
Meski demikian kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah
penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!" ”Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu.. "Pernah…
memang pernah, orang gila! Waktu itu keadaan diriku menyedihkan sekali.
Pakaian compangcamping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih gondrong
darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering, muka tak terpelihara dan
kalau aku tak salah, waktu itu aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu
kami berumur kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan juga
melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan membuat keonaran,
kembali ke jalan yang benar, maka kelak di tiga puluh tahun mendatang
dia bersedia untuk kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun
mendatang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta keriputan! Dan
kawin di umur setua macam begini, betulbetul gila dan tak pantas
sekali! Atau menurutmu pantaskah orang setuaku dan setua gurumu itu,
melangsungkan perkawinan?!". Wiro Sableng garuk-garuk’kepala. Hatinya geli sekali. "Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak ada halangannya…” Tua
Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata. "Memang tak ada
halangan dan tak ada yang melarangl Tapi semua orang tentu akan
mentertawai dan menganggap kami berdua pada gila dan memang aku dan
gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan gurumu lantas aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan dan tinggal di sini selama tiga
puluh tahun lebih, mendalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin
beberapa ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum mampus bisa
mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya harapanku terkabul! Kau orang
gila telah menyelamatkan seorang anak yang telah kuambil jadi murid!" Lama
kedua orang itu sama berdiam diri. "Kalau kelak kau mengunjungi gurumu,
jangan lupa sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila. Wiro
mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau sendiri yang datang
menyambanginya…." "Ah… hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau
tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!" "Liku hidup
ini banyak ragam dan keanehannya," kata Wiro. Dan Tua Gila
menyambungi: "Segala liku keanehan itu akan berakhir pada satu hal yakni
kematian…. Nah, Wiro sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku
muntah!" Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!" Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak: "Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!" Wiro
Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura cepat-cepat dia
tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau ditemuinya dua buah perahu
lengkap dengan kayu pendayungnya. Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke
dalam salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke utara!
Di
tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang berkerumun dalam
bentuk lingkaran. Dalam lingkaran berdiri dua orang, yang pertama
seorang laki-laki separuh baya berpakaian dan berdestar hitam.
Tampangnya gagah dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang
kedua seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam. Kulitnya
putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan parasnya jelita.
Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar juga selalu mengulum
senyum yang diberikan pada orang ramai di sekelilingnya. Laki-laki
berpakaian hitam, melangkah ke tengah lingkaran, memandang berkeliling
lalu menjura ke segala penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika
dia bicara. "Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang
saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di sini. Kita bukanlah orang-orang
yang baru berjumpa kali ini. Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung
ke pasar ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari uang.
Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudarasaudara tidak bosan
melihat pertunjukan kami! Juga tidak keberatan bermurah hati memberi
beberapa ketip sebagai sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima
kasih…." Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang
menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat kedatangan seorang
penunggang kuda bertubuh tegap, berkumis melintang, berpakaian dan
berikat kepala serba hitam. Dibagian dada pakaiannya kelihatan lukisan
kepala harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti dan ikut
bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki separuh baya yang ada di
lengah lingkaran merasa tak enak. Demikian juga anaknya kelihatan
berubah air mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda
berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan, begitu
mengetahui kedatangan penunggang kuda ini segera bersibak menjauh dengan
muka yang membayangkan ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya
minat lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak itu dan
berlalu dengan cepat! Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak kembali meneruskan ucapannya. "Saudara-saudara
sekalian. Maksud kami melakukan pertunjukan ini bukan untuk memamerkan
ilmu kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata hanyalah untuk
mencari Uang guna membeli sesuap nasi. Kami tahu pula, diantara
saudara-saudara yang hadir disini tentu ada yang memiliki kepandaian dan
kesaktian yang jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih
dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap kami dan menahan
pertunjukan kami nanti. Sekali lagi maaf. Sekarang kami akan mulai…." Laki-laki
itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya. Senjata itu dibawanya
berkeliling, diperlihatkannya dekatdekat pada penonton. Lalu diambilnya
sepotong kayu jati dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun
berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betulbetul senjata
tajam bukan keris palsu yang terbuat dari kayu atau kertas tebali Kemudian
laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada si dara jelita. Anak gadis
itu mengambjl sebuah gendang dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju.
Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian mengikuti irama
pukulan gendang, laki-laki ini menari sambil menghunjam-hunjamkan keris
di tangan kanannya ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu
menusuk kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka,
tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang semakin cepat tar
ia n yang dimainkannya dan semakin gencar pula tusukan-tusukan ujung
keris ke dadanya! Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali
perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan pula
"permainannya lalu menjura kepada orang banyak yang disambut dengan
tepuk sorak yang riuh! "Saudara-saudara sekalian, pertunjukan,
berikutnya dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya
sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang golok tajam, putih
berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk membuktikan bahwa benda itu
sebenarnya golok maka diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu
jati terbelah dua! Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si
dara baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum berkeliling lalu
mulai menari mengikuti irama gendang. Tariannya bagus sekali dan lemah
gemulai membuat, semua orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah
mendekati anaknya dengan golok terhunus semua orang merasa ngeri
meskipun pertunjukkan demikian sudah sering mereka saksikan. Laki-laki
itu mulai pula menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," goloknya
dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara "buuk!" Gadis itu
tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok yang tajam bukan saja tidak melukai
punggung sang dara tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan
dengan senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada terjadi
apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi membacok bagian atas
tubuhnya dan suara "Buuk… buuk… buuk." Terdengar tak kunjung henti!
Kengerian orang banyak berubah menjadi tempik sorak kagum! Lewat
sepeminum teh pula maka pertunjukan yang kedua itupun berakhirlah! Orang
banyak bertepuk riuh dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada
yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran yang segera dikumpulkan
oleh anak laki-laki lalu dimasukkan ke dalam kotak. "Sekarang
pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara," kata laki-laki berpakaian
hitam. Dia melirik sekilas pada penumpang kuda berkumis melintang yang
sampai saat itu masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan. "Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela kang itu? Kuali itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudarasaudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke dalamnya dan mandi!" Lalu
laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali yang besar sekali.
Bagian bawah kuali yang ditopang oleh tiga buah batu besar itu berkobar
api besar. Air yang ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan
asap panas. "Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka ke
segala penjuru. "Mungkin saudara-saudara mengira air yang mendidih dan
api yang berkobar ini hanyalah tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa
aku Pagar Alam bukanlah seorang penipu!" Dari dalam sebuah kolak
laki-laki yang mengaku bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus.
Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Binatang itu mencicil dan
meregang nyawa di situ juga. Bau dagingnya yang terbakar meranggas
hidung! ", Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu
dicemplungkannya ke dalam air yang mendidih. Tikus itu mencicil
sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati matang! Setelah mengeluarkan
tikus Hu dari dalam kuali Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara
saksikan sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku akan masuk ke
dalam kuali ini!" Semua penonton menahan nafas penuh tegang
sebaliknya disudut bibir-penunggang kuda berkumis melintang
tersungging senyum penuh arti! Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya
ke dalam air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia berdiri
di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya berkobar api besar!
Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh, seakan-akan air di dalam kuali
itu adalah air dingin biasa! Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya
berkeliling sambil tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah! "Saudara
saudara sekarang aku akan duduk dalam kuali Ini dan akan mandi! Sudah
lama badan buruk ini tak pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur
tubuhku!" Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masingmasing dibentangkan lebih lebar. Kemudian
Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di dasar kuali. Tapi baru saja
dia bergerak sedikit tiba-tiba lakilaki ini menjerit keras dan melompat
ke luar dari kuali. Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas
lutut kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua orang
menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam memburu dengan
cepat. Dari balik baju hitamnya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu
ditebarkannya dikedua kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah!
Rupanya seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan" dan
"memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan akibatnya kedua kaki itu
terebus matang! Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri dan memandang beringas ke segala penjuru. "Saudara-saudara
siapakah diantara kalian yang begitu tega mencelakai ayahku? Ayah tiada
punya permusuhan dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk
jual lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk mencari
makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang demikian jahatnya mencelakai
ayahku!" Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling. Sepasang
matanya-beradu pandang dengan penunggang kuda berkumis melintang!
Hatinya berdetak! Kemudian dengan suara lantang sambil memandang
berkeliling gadis, ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai
ayah silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia adanya aku tidak takut! Aku
Mayang akan mengadu jiwa padanya!" Orang banyak memandang pula
berkeliling. Dan rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran
yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas punggung kuda! "Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani unjuk muka adalah pengecut terkutuk!" teriak Mayang lantang! Sementara
itu dengan merintih kesakitan Pagar Alam coba duduk dan bersandar ke
sebuah peti. Sepasang matanya menyorot penuh amarah, memandang
berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki yang duduk di atas
kuda maka Pagar Alam pun membuka mulut dengan suara bergetar: "Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!" Si
penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia gerakkan badan maka
.tubuhnya ringan sekalj melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan
Pagar Alam yang duduk di tanah bersandar ke peti! Dengan bertolak
pinggang laki-laki bernama Gempar Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali
kuperingatkan bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta
sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau pedulikan! Dan
pajak yang musti kau berikan pada atasanku penguasa negeri ini tak
pernah kau serahkan!" "Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang. "Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya! Lagi
pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari kami? Semua rakyat bebas
mencari penghasilan’. Rakyat tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin
dan penguasa negeri ini!" "Aha…. Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau
Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!" Mayang meludah ke tanah. "Aku
tidak takut pada Datukmu itu!" Gempar Bumi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya. "Aku
tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata. "Kau mencelakai diriku
bukan karena soal pajak ataupun soal yang lain! Tapi karena aku dan
anakku telah menolak lamaranmu dua minggu yang lalu!" Gempar Bumi tertawa dingin. "Di
negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang hendak
coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan pembantu-pembantunya! Dan ketika
dia diberi babaran baru menyesal!" "Aku tidak menyesal telah menolak
lamaran manusia macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa
berdiri mungkin sudah diserangnya laki-laki itu! Gempar Bumi
memandang berkeliling dan berkata dengan suara nyaring. "Siapa-siapa
yang coba menantang kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya
sama saja dengan mencari mati!" "Bangsal terkutuk!" damprat Mayang.
"Aku lebih baik mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih baik mati
berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk keparatmu!" Habis berteriak
begitu anak gadis Pagar Alam ini menyambar sebilah golok dan menyerang
Gempar Bumi!
Suasana
di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan Mayang berkiblat kian kemari
dengan suara menderu. Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana
Gempar Bumi terbungkus sambaran golok yang menyerangnya ke seluruh
bagian tubuhl Gempar Bumi sendiri tiada menyangka kalau si gadis
memiliki kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum
mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan tangan kosong dan buka
jurus pertahanan. Senjata lawan lewat di depan pinggangnya. Jurus
pertahanan diganti kini dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat
menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah dadanya yang padat
montok! "Wuuut!" Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di
tangan sang dara membatik laksana kilat! Kalau saja dia tidak
cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan terbabat putus! Mayang
sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaransambaran goloknya laksana
hujan mencurah! Gempar Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran
dari mana si gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau
jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari ayahnya
sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago silat, pikir Gempar
Bumi. Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan Gempar Bumi
masih berada di bawah angin. Laki-laki ini mengomel dalam hati. Dia
membentak keras dan sekejap saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya.
Tubuhnya berkelebat kian ke mari membuat bayang-bayang hitam. Satu
jurus kemudian terdengar pekik Mayang. Lengan kanannya kena dipukul
oleh lawan. Golok terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini
merasakan tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata sewaktu
memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar Bumi menotok dada Mayang
dengan jari-jari tangan kirinya! "Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama perempuan!" bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di tanah bersandar ke peti. Gempar Bumi tertawa mengekeh! "Anakmu
hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak lamaranku tempo hari, tapi
saat ini terpaksa kau harus menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!"
Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi "Keparat! Kau mau bikin
apa?!" hardik Pagar Alam seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk
kembali. Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk
ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya mengembung! "Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya ketempatku!" jawab. Gempar Bumi seraya melangkah ke arah Mayang. "Anjing baju hitami Kalau kau berani menjamah tubuhnya kupecahkan kepalamu!" Gempar Bumi menyeringai! "Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau membunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi mendekati Mayang. Tapi
begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang sang dara tiba-tiba
"buuk!" Punggungnya dihantam orang dari belakang yang kerasnya cukup
membuat Gempar Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling
dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya! Ternyata yang
meninju punggungnya tadi bukan lain anak laki-laki kecil adik Mayang! "Buyung!
Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin kena tempelak!" bentak Gempar
Bumi. "Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku, aku akan…."
"Akan apa?!" tanya Gempar Bumi seraya bertolak pinggang. Si anak
menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya yang kecil tapi cukup keras
dihantamkan ke perut Gempar Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan
tandingan si buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu
dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjerit-jerit kesakitan dan coba
menendang paha Gempar Bumi dengan tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke
muka hingga hampir saja dia jatuh menyungkur tanah! Tiba-tiba si
anak melihat golok yang dipakai kakaknya untuk menyerang Gempar Bumi.
Dengan cepat dia membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik
menyerang Gempar Bumi kembali! "Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki
Gempar Bumi dan sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan
kanannya sudah bergerak. "Plaak! Si anak terpekik. Bibirnya
pecah dan berdarah. Dua buah giginya mencelat mental Tubuhnya
terpelanting satu tombak dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri! "Bangsat
rendah! Terima ini!" teriak Pagar Alam dengan amarah mendidih.
Dijangkaunya keris yang terletak di atas peti lalu dilemparkannya ke
arah Gempar Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang leher
Gempar Bumi! Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi ujung
keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki ini gerakkan tangan
kanannya! Dan sesaat kemudian kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya
senjata itu dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu
menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyaksikan hal ini sama
leletkan lidah kagum, tapi bila mereka ingat siapa Gempar Bumi adanya,
maka kekaguman itu mendadak sontak berubah menjadi kebencian! Gempar
Bumi timang-timang beberapa kali keris itu. Tiba-tiba tangannya itu
digerakkan dan "cup!" Senjata itu menancap di peti di mana Pagar Alam
duduk bersandar, hanya setengah senti dari telinga kirinya! Gempar Bumi tertawa gelak-gelak! "Jika
tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti sudah kutembus keningmu
dengan senjata itu!" katanya. Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari
jika kau masih tidak tahu tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai
Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!" Habis berkala demikian Gempar
Bumi melompat kehadapan Mayang. Dan kini tak satu orangpun yang bisa
atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu! Tangan kanan
bergerak meraih pinggang Mayang dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu
terlepas kembali. Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat
sebuah benda kecil menghantam sambungan siku Gempar Bumi. Kulit di
lengan siku itu lecet. Sekujur lengan kanan Gempar Bumi tergetar dan
rasa sakit membuat dia melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang
mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi sendiri! Laki laki ini
memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari siapakah manusia yang
telah melemparkan benda itu! Tapi siapa yang hendak diduga diantara
orang sebanyak itu?! Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang
dipakai untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir kerikil yang
besarnya tak sampai seujung jari kelingking! Nyatalah ada seorang
pandai yang telah turun tangan. Sementara itu semua orang, termasuk
Pagar Alam dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi tak jadi
meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar bumi berdiri bimbang
seketika. Tiba-tiba laksana kilat tubuh Mayang sudah disambarnya dan
dengan cepat membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri Gempar
Bumi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari! Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari, bergerakpun tidak! Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras. "Ayo! Larilah!" Tapi
binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat kakinya tak bergeser
sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya saja yang digerak-gerakkan.
Kemudian binatang ini meringkik beberapa kali! "Ayo lari!" bentak Gempar Bumi. Tetap
saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping rasa heran dan penasaran
kekejutan juga timbul di hati Gempar Bumi Ketika diperiksanya dengan
cepat ternyata keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir
kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang Ini! Tanpa tunggu
lebih lama Gempar Bumi melompat dari punggung kuda terus lari. Namun
sekali inipun dia tak mampu lari jauh karena sebutir kerikil lagi
menyelusup menembus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut kaki
kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke semutan dan lemas sukar
digerakkan! Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar benar
berhadapan dengan seorang lihay yang tersem bunyi di antara manusia
banyak di tengah pasar itu perlahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang
ramai masih tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang mata
Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir kerikil dekat kaki kanan
Gempar Bumi. Gadis bermata tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini
untuk pertama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan
bila dia memandang paras laki-laki itu sangat berubah! Gempar Bumi
menyadari kalau diteruskannya niat untuk melarikan Mayang, pasti orang
pandai yang ter sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan turun
tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan lemparan batu kerikil tadi
bukan lain merupakan peringatan keras terhadapnya! Perlahan-lahan
Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata dengan suara lantang:
"Pagar Alam, biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk mengambilnya!" Gempar
Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki kudanya lalu naik ke punggung
binatang itu. Sebelum berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang
kemudian cepat-cepat menghilang dari tempat itu. Di jalan yang buruk
penuh dengan lobang-lobang demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan
cepat. Apalagi barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada
Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam perjalanan pulang.
Karena nasib buruk yang menimpa Pagar Alam, orang-orang di pasar telah
bermurah hati memberi, sumbangan uang lebih banyak kepadanya hingga
pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar dari biasanya! Namun
uang yang sedemikian banyak tidak menggembirakan hati Pagar Alam.
Pikirannya risau bila dia ingat si Gempar Bumi keparat itu. Cepat atau
lambat pasti dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan paksa
lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar Bumi bukan tandingannya,
juga bukan lawan anaknya. Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu
tetap saja mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama yang
merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan kakinya itu. Meski
sudah diobati oleh anak gadisnya tapi dalam seminggu dua minggu pasti
tak akan sembuh! Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga
menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua tepi jalan ditumbuhi semak belukar
lebat dan di belakang semak belukar itu berderetan pohon-pohon besar
tinggi. Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara juga. Kusir
bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi pembicaraan kedua beranak
itu. Tali kekang kuda dipegangnya dengan terkantuk-kantuk. Hembusan
angin yang sejuk ditengah hari itu memang menimbulkan rasa kantuk.
Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pembicaraan mereka. Di
kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama makin keras. Dari balik
tikungan dihadapan mereka muncul seorang penunggang kuda berpakaian
serba hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau
berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah dekat, berubahlah
paras seisi bendi itu! Pagar Alam meraba hulu keris yang tersisip di
pinggangnya. Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang kusir
bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang tergeletak di lantai bendi
dekat kakinya! Si penunggang kuda bukan lain dari Gempar Bumi adanya! Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun telah pula menghentikan kendaraannya. "Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan nada keren. "Anakmu akan kuambil!" "Kau
manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini. Gempar Bumi! Pinanganmu
ditolak! Aku kau celakai dan kini kembali kau memaksa untuk melarikan
anakku!" Gempar Bumi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap besar! Aku
hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka kuharap kau serahkan anakmu
secara baik-baik! Kalau tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih
keras padamu!" "Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar Alam. "Tapi… langkahi dulu mayatku!" Dan Pagar Alam menghunus kerisnya! Gempar Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun telah bersisi-sisian. "Turun dari bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi. Pagar
Alam beringsut ke samping kereta sebelah kanan. Dalam jarak yang cukup
dekat itu tanpa banyak bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan
cepat cepat ke muka Gempar Bumi! "Manusia tolol!" maki Gempar Bumi.
Sekali dia gerakkan tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah
keris laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan bengkak
matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan. Dalam pada itu dari
samping menderu satu sambaran golok ke arah batok kepala Gempar Bumi.
Ternyata Mayang telah melancarkan serangan yang pertama sambil melompat
dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam. Dengan sebatang kayu anak
laki-laki ini mengemplang ke arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar
Alam mengambil sebuah lembing dari dalam peti. Si Malin kusir bendi
meski tak ada sangkut paut dalam urusan itu, tapi memang sudah sejak
lama membenci terhadap Gempar Bumi tak ayal lagi segera mengambil
batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar Bumi dari belakang! Diserang
begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main! Dia berteriak: "Jangan
menyesal kalau kalian kuhajar babak belur!" Lalu dia melompat dengan
cepat dan gerakkan kedua tangannya. Dua orang terpekik! Yang pertama
anak laki-laki Pagar Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya
yang kecil laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya mencelat dan
terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta terus pingsan! Orang
kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi. Gempar Bumi yang
merasakan sambaran angin di belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat
serangan dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung kuda
Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut kanannya ke belakang! "Kraak!" Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik setinggi
langit yang ke luar dari tenggorokan Malin! Tulang iganya sebetah kanan
patah dua buah. Tubuhnya mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia
sudah tak sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari
kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lem bing namun dia tak bisa
berbuat suatu apa karena dia tak bisa berdiri apalagi berjalan dan
turun dari kereta. Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu
lawan satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang. Tingkat kepandaian
Mayang jauh lebih rendah dari lawannya. Maka dalam setengah jurus saja
gadis berparas jelita yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu
terdesak hebat. "Gadis cantik!" kata Gempar Bumi dengan senyum mengejek. "Kalau saja kau serahkan dirimu secara baikbaik, pastilah…." "Wuuut!" Gempar
Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah benda panjang berdesing ke
arahnya. Ternyata lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar Alam
dari atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala. Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya. "Mayang!
Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya ini!” kata Gempar Bumi.
Ditangkapnya kaki kanan dara itu. Dengan kalap Mayting membacok ke
bawah. Gempar Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa
tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan pasti akan
membabat kaki kanannya sendiri! Begitu serangan ditarik, begitu Gempar
Bumi gerakkan tangan kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang.
Gempar Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia segera
hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si gadis jatuhkan diri
di tanah lalu berguling. Ketika bangun lagi di tangannya sudah
tergenggam lembing yang tadi dilemparkan ayahnya! "Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!" jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher lawannya! Gempar
Bumi bergerak untuk merampas senjata itu tapi tusukan lembing kini
berubah menjadi satu kemplangan yang ganas ke arah batok kepalanya!
Penasaran Gempar Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan lengan
kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental ke udara sedang yang
lainnya masih tergenggam di tangan Mayang dan dengan patahan lembing
itu si gadis bertahan mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia
dapat mempertahankan diri?!
Wiro
Sableng Si Pendekar 212 murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung
Gede tengah menempuh rimba belantara, mengambil jalan memotong agar
lebih lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi dan
Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarinya suara orang membentak
beberapa kali yang diselingi suara seseorang yang tertawa gelak-gelak.
Wiro yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya
bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang yang marah dan geram.
Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar dari mulut orang yang mengejek
kemarahan dan kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu
hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya akan
berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran! Karena pohon-pohon
sangat rapat, semak belukar sangat lebat, agak sukar bagi Wiro untuk
bergerak. Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro
mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaiannya yang cabik robek
dikait ranting semak belukar! Dia yakin bahwa di tempat yang hendak
didatanginya itu telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah
karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti jeritan anak
kecil! Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat buruk
terkejutlah pendekar ini menyaksikan pemandangan yang terbentang di
depan matanya. Adalah tidak dinyananya kalau yang bertempur adalah
seorang lakilaki tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama
berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju laki-laki terpampang gambar
kepala harimau warna kuning! Yang lebih mengejutkan Wiro Sableng ialah
karena laki-laki ftu bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di
pasar hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah orang yang
telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau dilarikan! Rupanya si
kumis melintang yang bernama Gempar Bumi flu sudah nefcad untuk membawa
lari si jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis telah dihadang! Di
tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang anak kecil
menggeletak dekat roda bendi Kemudian seorang lainnya tak berapa jauh
dari situ, agaknya dia adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak
duduk lakilaki bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas sekali!
Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur mati-matian
mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang hendak melarikannya,
sedang dia sendiri Pagar Alam -tak dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi
tak ada lagi bendabenda yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan
kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak melihat anaknya
terdesak hebat itu dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri
maka tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak.
Ternyata yang muncul adalah se-orang pemuda bertubuh tegap, bertampang
seperti anak-anak dan berambut gondrong! "Hentikan pertempuran!" teriak Wiro Sableng. Suara
teriakannya yang menggeledek mengiang anak telinga mengejutkan
orang-orang yang ada di situ, terutama mereka yang sedang bertempur!
Pagar Alam merasakan dadanya bergetar karena kerasnya teriakan itu.
Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal itu tak mungkin
terjadi, pikir Pagar Alam seraya menenangkan dirinya kembali.
Kemunculan pemuda ini memberikan sekelumit harapan padanya. Tapi apakah
pemuda ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat kepada
potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia bukan penduduk
setempat! Akan Gempar Bumi begitu mendengar bentakan yang menggeledek
tadi dengan cepat melompat mundur padahal saat itu dia sudah hampir
dapat meringkus Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar
dilihatnya seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan bertolak
pinggang! "Orang sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar Bumi. "Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki dari sini atau kutekuk batang lehermu!" Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung. "Sepuluh
tahun malang melintang di Pulau Andalas baru hari ini ada bangsa kucing
dapur yang bicara hendak menekuk batang leherku!" Mengetahui bahwa
si pemuda menunjukkan sikap demikian maka legalah sedikit hati Pagar
Alam dan Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia memiliki
ilmu yang diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang yang berilmu sangat
tinggi, akan sanggupkah pemuda belia yang bertampang tolol itu
menghadapinya?! Diam-diam kedua ayah dan anak itu jadi gelisah
harap-harap cemas! "Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main.
Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia mengampuni kekejianmu!
Lekas pergi sebelum aku berubah pikiran!" Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot meneliti Wiro Sableng dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia tertawa gelak-gelak. "Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau yang ada di dada bajuku ini?!" "Itu
bukan gambar kepala harimau!" sahut Wiro. Gempar Bumi beliakkan mata.
Dan Wiro menyambung : "Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing
dapur!" Lalu Pendekar 212 tertawa gelak-gelak. Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa! "Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa berhadapan?” "Buset
kau bisa memaki aku anak setani" jawab Wiro dengan sunggingkan senyum,,
"Kalau aku anak setan, apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya
setan?!" Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan itu namun
terheran-heran melihat sikap dan tindak tanduk si pemuda yang agak anehi
Bicaranya seperti orang mainmainan saja! Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih hawa
amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar .Bumi berkata: "Melihat
kepada tampangmu agaknya kau bukah orang sini! Pantas kau tak dapat
membedakan mana tikus dan mana singa jantan…." "Oh… jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas! Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!" kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi lalu tertawa gelak-gelak! Kemarahan
Gempar Bumi tak dapat dikendalikan lagi. Dia melompat kehadapan Wiro
dan hantamkan tinju kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia
berharap akan menghancurkan kepala si pemudal Karena itu sengaja
dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang hebat yang bernama "Palu Sakti
Memukul Genta"! Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala
Pendekar 212 Pada saat serangan lawan baru bergerak setengah jalan dia
sudah menyingkir ke samping dan dari samping kirimkan satu tempelak
untuk menanggalkan sambungan sikut lawan! Terkejutlah Gempar Bumi.
Serangannya yang hebat itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah
kebalikannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua kakinya
dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas membuat tempelakan Wiro
Sableng lewat. Dengan cepat kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan
ke perut lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun menghantam
batok kepala Wiro Sableng! Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan
ilmu silat Gempar Bumi agak aneh lapi dasarnya tiada beda dengan ilmu
silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa! Begitu bersiul
Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua kalinya Gempar Bumi dibikin kaget.
Dia tak mengerti bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup mengelakkan
sekaligus kedua serangannya. Sedangkan dalam pada saat itu tahu-tahu
tangan kirinya sudah menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan
kilat yang mendatangkan angin keras! Penuh penasaran Gempar Bumi
pergunakan lengan kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu
silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu si pemuda tak
akan menang, begitulah pikiran Gempar Bumi! Wiro sendiri yang melihat
datangnya serangan memapas ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti
akan mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga dalam lawan
sengaja melintangkan tangan kirinya! "Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu! Gempar
Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya terjajar sampai tujuh langkah
ke belakang sedang lengannya yang beradu dengan lengan lawan bukan saja
tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika ditelitinya lengan
itu tampak kemerah-merahan! Menciutlah hati laki-laki berkumis
melintang ini. Nyatanya tenaga dalam si pemuda tidak berada di
bawahnya! Menurut taksiran Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua
atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar Bumi ini meleset
Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya maka Wiro Sableng cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja
dari tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang tubuhnya
tergontai nanar beberapa detik lamanya. Menyadari bahwa lawan lebih
unggul dalam tenaga dalam maka Gempar Bumi segera mengeluarkan ilmu
silat simpanannya yang paling diandalkan, yang telah diyakininya selama,
delapan tahun yaitu "Ilmu Silat Harimau", Kedua kakinya menjejak bumi
laksana batu karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang, kedua tangan
terpentang ke muka dengan jari-jari membuka. Pendekar 212 Wiro Sableng
memperhatikan bahwa ke sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang.
Tubuh Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya ke luar suara
menggerang macam harimau hendak menerkam mangsanya dan kedua matanya
menyorot ganas! Keseluruhan paras manusia ini membayangkan maut! Tiba-tiba
gerangan dimulutnya berubah keras menyeramkan! Dan dikejap itu pula
tubuhnya melesat ke muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam
mangsanya! Dua tangan yang tadi terpentang berkelebat tak kelihatan
saking cepatnya. Hanya suara siurannya yang terdengar menyambar! Wiro
dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya bergerak ke muka
menyambut dengan Jurus "Segulung Ombak Menerpa Karang". Jurus ini
mengeluarkan sambaran angin laksana topan prahara. Kedua lengan Wiro
menghantam ke depan sekaligus! Melihat lawan memapaki serangannya
dengan cara begitu rupa dan Sudah tahu kalau Wiro memiliki tenaga dalam
yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani bentrokan untuk kedua
kalinya! Dengan cepat dia membuyarkan Jurus serangannya tadi dan
laksana kilat pula menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan "Harimau
Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai"! Tubuhnya mencelat ke udara.
Kedua kaki mencari sasaran di perut dan dada lawan. Namun ini hanya
serangan sambilan saja karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar
Bumi berada dua tombak di udara tiba-tiba dia menukik ke bawah dengan
kedua tangan diacungkan siap untuk mencengkeram kepala Wiro Sableng! Wiro
bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan pukulan Kunyuk
Melehipar Buah ke arah lawan diatasnya! Laksana berpegang pada sebuah
tiang yang tak kelihaian Gempar Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan
Kunyuk Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik kemudian tubuhnya
meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur deras ke dada serta
kepala Wiro Sableng! "Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi!" seru Wiro.
Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan kepalanya, Pendekar
212 membentak keras. Tangan kanannya didorongkan ke atas! Angin
sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah pukulan "Benteng Topan Melanda
Samudera" yang dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian tenaga
dalami Mula-mula Gempar Bumi merasakan serangannya laksana ditahan oleh
tembok baja yang tak kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis
kejutnya ini mendadak tubuhnya terdorong keras ke udara, mencelat
sampai beberapa tombak! Sambil jungkir batik tiga kali berturut-turut
Gempar Bumi keruk saku pakaiannya. Sebelum kedua kakinya menginjak tanah
maka dari tangan kanannya melesat puluhan benda hitam yang berdesing
mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan lain senjata rahasia
jarum hitam yang direndam dalam racun jahat! Sekali seseorang kena
dihantam sebuah saja dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat
jam nyawanya akan lepas ke akhirat! Oari bunyi yang mendesing dan
warna jarum-jarum Wiro sudah maklum kalau itu adalah senjata rahasia
yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia pukulkan tangan
kanannya ke depan yang disusul dengan pukulan tangan kiri. Dua angin
deras menderu susul menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan
"Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih"! Bukan saja puluhan
jarum-jarum itu mental dan luruh ke tanah tapi beberapa diantaranya
kembali melesat menyerang tuannya sendiri! Dengan kertakkan rahang
Gempar Bumi kebutkan lengan baju hitamnya! Jarum-jarum yang menyerangnya
luruh ke tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang. Yang satu
dengan mata membeliak beringas sedang yang lain dengan cengar cengir
seenaknya! "Orang muda!" kata Gempar Bumi. "Antara aku dan kau tidak
saling mengenal! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu!
Mengapa kau mau mencampurinya?” Wiro tertawa dingin. "Bagiku
terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada urusan yang musti
diperhitungkan! Kecuali kalau kau mau angkat kaki dari sini sekarang
juga!" Gempar Bumi mendengus. "Apakah bukan lebih baik kau saja
yang cepat-cepat berlalu dari hadapanku sebelum aku betul-betul
menghajarmu? Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus dalam usia
muda begini rupa!" Wiro keluarkan satu siulan. "Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah, kau pergilah!" Sikap
tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah yang mendidihkan darahnya.
"Kau orang rantau, sungguh mengenaskan mampus di negeri orang! Belum
tentu pula angin akan membawa pulang namamu ke kampung halaman!" "Ah, jangan bersajak sobat!" tukas Wiro Sableng. "Aku
tidak bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku hanya akan mengukir nyawamu di
pintu akhirat!" Lalu laki-laki ini cabut sebilah keris dari pinggangnya!
Senjata itu berhulu gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat
hitami Sinar yang memancar dari keris ini menggidikkan sekalil’ "Manusia
yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si Penyingkir Jiwa! Delapan
puluh dua jiwa telah musnah ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi
korban yang ke delapan puluh tiga…?!" Wiro tertawa gelak-gelak. "Apapun
nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli! Juga berapa korban yang
dimakannya aku tidak tanya! Sebaliknya bagaimana kalau keris Hu kurebut,
lantas kupergunakan untuk membuat konyol kau sendiri…?!" "Boleh,
boleh kau coba untuk merebutnya!" jawab Gempar Bumi dengan hati geram.
"Nah ini, kau rebutlah!" Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu
ke dada Wiro Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada sang
pendekar. "Awas orang muda!" seru Pagar Alam dari atas kereta. "Keris
itu mengandung racun jahat!" Diam-diam laki laki ini merasa cemas. Jika
Gempar Bumi sudah mengeluarkan senjata itu, biasanya lawan tak akan
sanggup bertahan lama Sekali saja tergores kulit, dalam tempo dua puluh
empat jam pasti menemui kematian. "Terima kasih atas nasihatmu,
bapak!" kata Wiro sambit cepat-cepat berkelit. Ketika kelihatannya
serangan Gempar Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba Keris Si
Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir akan melanda iga
meliuk pula ke perut dan tiba-tiba haik laksana kilat, menusuk ke arah
lekuk dagu dekat ujung leher! Di samping itu angin yang keluar dari
Keris Si Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang sumsum,
membuat darah Pendekar 212 laksana beku dan berhenti mengaliri Untuk
mencegah agar dirinya tidak terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan
cepat-cepat Wiro Sableng alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh
bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi serangan lawan tanpa
main-main lagi. Tiga jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat apa-apa
selain bertahan dengan gigih. Keris di tangan lawan laksana curahan
hujan dan berubah jadi puluhan banyaknya. Menusuk, menyambar dan memapak
ke pelbagai bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke lima
Sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk. Bagaimanapun dia
berkelebat cepat tapi sia-sia saja! Sinar hitam senjata lawan laksana
Jaring atos yang tak sanggup ditembusnya! Pagar Alam yang menyaksikan
pertempuran Hu menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan
gerakan-gerakan mereka yang bertempur saking cepatnya! Mayang sendiri
yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya mengedipkan matanya beberapa kali!
Diam-diam gadis ini leletkan lidah melihat hebatnya pertempuran yang
berjalan! Siapakah pemuda berambut gondrong yang bersedia mengorbankan
keselamatan dan Jiwanya itu untuk menolong dia bersama ayahnya?! Ilmunya
tinggi, tapi apakah sanggup bertahan menghadapi Gempar Bumi yang ganas
dari bertubi-tubi itu? Setahunya tak satu orang pun yang sanggup
menghadapi Gempar Bumi bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada
dalam tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si pemuda terdesak
hebat maka mengeluhlah sang dara. Pagar Alam sendiri kembali menjadi
cemas! "Saudara! Ambil golok ini sebagai senjatamu!" seru Mayang
sambil melemparkan goloknya yang tadi telah dirampas oleh Gempar Bumi
tapi kemudian oleh Gempar Bumi dibuang begitu saja ke tanah. "Terima kasih saudari, aku tak perlu senjata menghadapi tikus berkumis melintang ini!" jawab Wiro. "Tapi kau terdesak saudara!! seru Pagar Alam dari atas kereta. "Dan
pertempuran ini tidak adil!" menyambungi Mayang. "Dia pakai senjata,
kau bertangan kosong!" Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun
sang dara melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro Sableng mau tak
mau segera menyambut senjata itu. Tapi: "Traang!" Keris Si Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok yang dilemparkan mental ke udara dalam keadaan patah dua! "Sialan!"
maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik tangannya pasti senjata
lawan menyambar tangan itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran
seru dan Wiro makin kepepet! Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit nyaring!
Tubuhnya lenyap dalam satu kelebatan yang sukar dilihat mata. Dengan
merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai membuka serangan. Dari
sela bibirnya terus menerus melesat suara siulan yang nyaring tak
menentu dan menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak
mengendur sedikit akibat pengaruh siulan Pendekar 212. Tapi begitu
dia tutup jalan pendengarannya maka pengaruh yang mengacaukan itupun
lenyap dan kembali dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya! Di
samping memaki habis-habisan Wiro juga mengagumi keampuhan senjata sakti
di tangan lawan. Setiap serangannya selalu kandas laksana menghadang
tembok kukuh yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti terbungkus oleh
satu kekuatan yang tidak nampak! Dan Pendekar 212 dalam keadaan kepepet
itu mulai pikirpikir untuk keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212! Tapi
sebelum maksudnya itu kesampaian tiba-tiba dia ingat! Bagaimana kalau
dia mengeluarkan jurusjurus silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?!
Ah, benar-benar tolol sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia
mengeluarkan "Ilmu Silat Orang Gila" dan sekaligus untuk menjajaki
sampai di mana kehebatan ilmu silat yang diajarkan oleh Tua Gila itu?! Pendekar 212 membentak nyaring. Tubuhnya lenyap. Gempar
bumi mengiringi gerakan lawan itu dengan tawa mengejek. "Keluarkan
seluruh ilmu kepandaianmu! Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa
diselamatkan lagi tikus busuk!" Dan sebelum Wiro bergerak dia telah
menyerang lebih dulu dengan satu tusukan yang ganas cepat! Wiro
Sableng gerakan kedua kakinya dalam gerakan yang aneh dan tak teratur
kelihatannya. Tubuhnya diliukkan ke samping laksana batang padi dihembus
angin sedang kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga dalam gerakan
yang tak teratur! Tapi justru gerakan yang acakacakan ini berhasil
melewatkan tusukan senjata lawan! Dengan gemas Gempar Bumi kirimkan lagi
satu serangan yang lebih cepat dan lebih ganas! Suara keris menderu.
Sinar hitam berkiblat! Wiro mencak-mencak kian ke mari! Wuut! Ujung
keris di tangan Gempar Bumi menderu ke muka pemuda itu dan kelihatannya
dalam kejap itu juga akan menghunjam di wajahnya! Pagar Alam mengeluarkan seruan tertahan. Mayang
menutup wajahnya, tak berani menyaksikan bagaimana keris itu akan
menancap di muka pemuda yang diharapkan bakal menolong dirinya! Tapi aneh! Sedetik
lagi ujung senjata Gempar Bumi akan menemui sasarannya, dalam satu
gerakan tak menentu kelihatan kepala Pendekar 212 seperti disentakkan
oleh satu tenaga besar ke belakang. Dan ini membuat tusukan keris Gempar
Bumi hanya menghantam tempat kosong! Gempar Bumi kertakkan rahang.
Segera dia lipat gandakan tenaga dalam serta keluarkan seluruh tipu-tipu
serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri lompat
kanan. Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana babi celeng! Tangan dan
kaki menyambar tiada menentu dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bomi
percepat serangan dan keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu
silatnya, tetap saja dia tak sanggup mendesak lawan seperti yang
sudah-sudah. Beberapa kali dia menusuk dengan seluruh tenaga tapi Cuma
menghantam tempat kosong hingga tubuhnya tersaruk ke muka dan beberapa
kali hampir membuatnya kena dihantam kaki dan tangan tawan! Diam-diam sambil mundur Gempar Bumi perhatikan ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda. "Buuk!" Gempar
Bumi tertatih-tatih sampai sembilan langkah ke belakang diusapnya
dadanya yang kena dipukul lawan dengan tangan kiri dan pada sela
bibirnya kelihatan darah kental berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu
dengan ujung lengan baju. Nafasnya sesak, cepat-cepat diaturnya jalan
darah dan pernafasan. Kedua matanya menyorot ganas. “Tikus busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau telah memainkan jurus-jurus silat orang gila. Apakah kau muridnya Tua Gila!" "Kau tak ada hak bertanya, monyet berkumis!" jawab Wiro Sableng!" "Keparat!
kau dengarlah! Hari ini kuampuni jiwamu! Tapi jika kau berani muncul
lagi di depan hidungku jangan harap ada ampunan yang kedua kalinya!" Wiro tertawa mengejek. Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata: "Pada
tanggal tiga bulan mendatang kudengar kau akan meresmikan berdirinya
perguruan Kejora! Hari itu aku akan datang Untuk mengambil anakmu! Dan
jangan harap belas kasihan dariku kalau kau berani berlaku seperti yang
sudah-sudah! Niscaya kau akan mampus berdarah!" "Manusia anjing tidak bermaki! Apakah hajaran yang kau terima hari ini tidak membuat kau insyaf?!’ hardik Pagar Alam. Gempar
Bumi tidak menyahuti hardikan itu tapi berpaling pada Wiro Sableng dan
berkata: "Apa yang kuterima hari ini kelak akan kubayar berikut
bunganya dalam waktu singkat! Sekarang katakan kau punya nama agar tidak
susah aku mencarimu!" "Mau tahu namaku? Baiklah. Ini…’ Tiba-tiba Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke muka. Karena
tiada menduga. Gempar Bumi tak sempat berkelit Tapi anehnya pukulan
jarak jauh lawan itu tidak mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin
itu menyambar dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke dadanya
terkejutlah laki-laki ini. Pada dada kiri baju hitamnya terpampang tiga
buah angka. Angka : 212! Gempar Bumi tidak tahu apa artinya tiga
deretan angka tersebut. Namun kepandaian untuk membuat angkaangka
seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan kepandaian sembarangen.
Nyali Gempar Bumi menciut lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera
berkelebat meninggalkan tempat itu!
Begitu
Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera menjura di hadapan Wiro Sableng
dan mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum
malu kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam. "Orang muda,"
kata Pagar Alam, "Pertolonganmu sangat besar terhadap kami ayah dan
anak! Kami mengucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari mana
kau datang?" "Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa." "Ah…
ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan silatmu hebat! Tapi
melihat kau tadi mengeluarkan ilmu silat orang gila aku jadi heran.
Setahuku pencinta ilmu silat itu adalah seorang tua aneh yang diam di
satu pulau di sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau
Jawa." Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya secara singkat. Pagar Alam angguk-anggukkan kepala. "Kau
beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi anugerah ilmu kepandaian
seperti itu oleh Tua Gila si orang aneh. Bahkan jarang sekali dia
memperlihatkan diri, dicaripun sukar!" Wiro Sableng memandang ke kaki
Pagar Alam yang terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan
mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir pil dan
diberikannya pada laki-laki itu. "Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu." Pagar
Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar lalu menelannya tanpa
ragu-ragu. Setengah menit kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap
sama sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak ada
perubahan apa-apa. "Terima kasih Wiro," kata Pagar Alam sementara
Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas kereta. Malin si
Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan duduk menjelepok di tanah
sambil mengurut-urut tulang iganya yang patah dan merintih kesakitan.
Wiro memeriksa keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa
bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu sudah
mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan pastilah dalam waktu
yang singkat dia sanggup mengobati penderitaan Pagar Alam dan si kusir
bendi. ‘Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas ini?" tanya Pagar Alam. "Hanya
sekedar ingin berkelana saja," jawab Wiro tak mau menerangkan maksud
perjalanannya. Tapi kemudian dia ingat tanpa mencari keterangan dan
penduduk setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh Kiai
Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah Pendekar 212: "Aku
berniat pergi ke bukit Tambun Tulang. Mungkin kau bisa memberi petunjuk
jalan mana yang musti kutempuh agar bisa lekas sampai disitu?!" Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama terkejut. "Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro…?" "Ya.
Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari mungkin berada di situ…"
tanpa disadari oleh Wiro walau tadi dia menyembunyikan maksud
perjalanannya tapi kini diungkapkannya sendiri. "Siapakah orang yang kau cari itu?" tanya Pagar Alam. "Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting!" "Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk sekitar sini," kata Malin. Dan
Pagar Alam menyambungi: "Tak ada seorangpun yang berani berada
dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun Tulang dan daerah sekitarnya di
bawah kekuasaan Datuk Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati
iblis! Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan membunuh
ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia yang jadi korbannya atau
anak-anak buahnya dikumpulkan di satu tempat hingga lambat laun,
bertahun-tahun kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang
terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!" “Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku," ujar Wiro. "Dan
manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan pembantu utama Datuk
Sipatoka. Di samping dia Datuk Sipatoka masih mempunyai beberapa
pembantu berkepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah yang
kerja mereka bukan lain daripada merampok dan memeras penduduk,
melarikan perempuan-perempuan desa tak perduli apakah istri orang,
apalagi anak-anak gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara
pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada segala perintahnya!
Beberapa tokoh dunia persilatan pernah turun tangan dan datang ke sana.
Sampai saat ini mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui.
Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun Tulang? Dua buah
partai silat belum tiga bulan yang lalu, secara serempak menyerbu ke
Tambun Tulang. Hasilnya? Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau
saksikan sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan Datuk
Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi ilmunya! Kejahatan Datuk
Sipatoka dan orang-orangnya sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih
lama lagi. Tapi siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan
anakanak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?! Kehidupan
penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa ketakutan setiap hari!" Wiro
Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di atas dunia sudah
demikian besarnya, mengapa tokoh utama seperti Tua Gila tidak mau turun
tangan atau mungkin pernah tapi tidak membawa hasil? Tengah Wiro
berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata: "Kurasa memang ada kemungkinan
bahwa Datuk Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan. Dan
sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak meneruskan niat
pergi ke Tambun Tulang?". Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang." Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini. "Kami
hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau sudi ikut sama-sama dan
mampir di rumahku. Kita bisa bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat
membantumu dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang." Wiro menimbang
sebentar. Kemudian dia ingat akan ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi
yaitu bahwa laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka
pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka diapun menerima
permintaan Pagar Alam lalu naik ke atas bendi. Karena Maljn masih sakit,
terpaksa Wiro yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur
hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212 menjadi kusir bendi! Ketika
hari menjelang pelang, Wiro minta diri pada Pagar Alam dan keluarganya
untuk meneruskan perjalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda
ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia meresmikan
berdirinya Perguruan Kejora yang dipimpinnya. Namun sebagai seorang
laki-laki berhati jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk
mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan niatnya itu. Pendekar
212 pun meneruskan perjalanan. Belum lagi seratusan meter dia
meninggalkan rumah Pagar Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian.
Telinganya yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang
mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir orang itu adalah
Gempar Bumi yang berniat hendak membokongnya maka Wiro pun berhenti dan
memutar tubuh seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak usah sembunyi!
Segera perlihatkan tampangmu!" Suara Pendekar 212 bergema di
seanfero rimba belantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro
jadi penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si penguntit
berada yaitu di belakang sebatang pohon jati yang besarnya tiga pemeluk
tangan. "Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesali" Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak mau keluar. Tanpa
menunggu lebih lama Wiro segera hantamkan tangan kanannya ke pohon jati
itu. Satu gelombang angin besar menderu laksana topan" "Kraak!" Batang
jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia itu patah lalu tumbang
dengan mengeluarkan suara dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon
itu sesosok tubuh melompat sebat! "Ah… kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena celaka!" Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis Pagar Alam. "Kenapa kau ikuti aku?!" tanya Wiro. Paras sang dara memerah jengah. "Aku tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata Mayang. "Lalu?!" tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta “Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi!" Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua. "Kau memang seorang gadis berhati jantan! Kupuji keberanianmu! Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu masih sakit begitu rupa…?" "Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula lukanya tidak berat…" , ‘ "Soalnya
bukan adanya ibumu atau luka ayahmu yang tidak berat itu. Tapi apa kau
lupa bahwa walau bagaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan
Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama saja dengan sengaja
mengantarkan diri?! Apalagi se: minggu dimuka ayahmu akan meresmikan
Perguruan Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya…!" "Tapi… tapi…." Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu "Kembalilah pulang…." "Tapi apakah… apakah kau tidak akan kembali lagi… maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?" Wiro kembali tertawa. "Tentu
aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia maklum akan perasaan gadis ini.
Dan gadis yang diamuk perasaan seperti Mayang bukan baru sekali ini
ditemui oleh Pendekar 212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan
menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat pada Permani.
Mayang tidak kalah kecantikannya dengan Permani, dan juga telah banyak
Pendekar 212 menemui gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa
melupakan Permani! "Aku berjanji akan kembali," kata Wiro meyakinkan
Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya. Wiro mengeluh dalam
hati. Kalau lama-lama berdiri berhadap-hadapan seperti ini bisa celaka
pikirnya. Ditepuknya bahu Mayang seraya berkata: "Pulanglah. Di lain
hari aku akan mampir menyambangimu." Habis berkala begitu Wiro
berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang. Sang dara hela nafas panjang.
Gemuruh hatinya kini berubah menjadi satu kekecewaan, namun juga satu
harapan
Mulutnya
terkatup rapat-rapat sehingga kedua rahangnya menonjol dan pelipisnya
menggembung. Sepasang matanya memandang menyorot tak berkedip ke bawah
bukit kecil, ke arah sebuah kampung yang kini hanya tinggal musnahannya
saja berupa reruntuhan rumah-rumah yang telah jadi debu! Jelas
dilihatnya mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini, mayat-mayat
manusia dan binatang-binatang yang mati tertambus hidup-hidup di dalam
api! Dan yang paling menusuk matanya ialah mayat anak-anak yang menemui
kematian mereka secara mengenaskan dalam pelukan ibu mereka! Tak ada
lagi tanda-tanda kehidupan dalam landasan kemusnahan itu! Kemusnahan
yang telah dilakukan oleh manusia-manusia jahat tanpa rasa belas kasihan
sama sekali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng ingat
akan kampung-kampung yang dimusnahkan Dewi Siluman di Pulau Madura tempo
hari. Dan kemusnahan kampung yang hari ini disaksikannya tidak ada
beda, malah lebih membuat luapan amarah menggejolak, darahnya laksana
api disiram dengan minyak! "Siapakah manusia-manusia keparat yang
membuat kebiadaban begini rupa?!" tanya Wiro Sableng padadirinya
sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemuda ini segera menuruni
bukit dan memasuki kampung yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak
membawa ‘ hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia untuk
menggali beberapa buah lubang lalu menguburkan mayat-mayat yang
bergeletakan di sana sini. Ratarata semua menemui kematian akibat
tusukan atau bacokan senjata tajam! Wiro melanjutkan perjalanan
sewaktu matahari tergelincir ke Barat. Kalau daerah sekitar situ berada
di bawah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat ganas itu Datuk
Sipatoka atau anak-anak buahnya! Dan ini mendorong Wiro Sableng untuk
mempercepat perjalanannya Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak
sungai dangkal berair jernih. Wiro membuka pakaian dan langsung masuk ke
dalam sungai. Betapa sejuknya air sungai itu. Tengah dia asyik-asyik
mandi mendadak sepasang telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik
manusia banyak sekali di kejauhan! Ketika dia memandang ke arah
datangnya suara itu maka tampaklah langit di arah itu kemerahan-merahan! "Kebakaran,"
pikir Wiro. Disudahinya mandinya lalu naik ke darat dan berpakaian
dengan cepat. Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang angin ke
jurusan langit malam yang merah menyala! Ketika Pendekar 212 sampai
ke tempat kejadian itu, yang dilihatnya bukan cuma kebakaran! Beberapa
orang berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kampung. Perempuan dan
anak-anak berpekikkan dan lari menyelamatkan diri. Kira-kira setengah
lusin mayat telah bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa yang
terjadi. Kebakaran itu adalah kebakaran yang disengaja dan pelakunya
adalah manusia-manusia berseragam hitam. Mereka bukan saja membakar
rumah-rumah penduduk dan membunuh sewenang-wenang tetapi juga merampok!
Dan ketika Wiro memandang berkeliling, dari dalam sebuah rumah yang
telah setengahnya dimakan api kelihatan seorang laki-laki berpakaian
hitam tengah menyeret seorang perempuan muda yang meronta dan
menjerit-jerit! Mendidihlah amarah Pendekar 212! "Keparat betul!" bentak Wiro. Dia melompat dan menghantam dengan tinju kanan! Laki-lakt
berpakian hitam yang tengah menyeret perempuan muda tiada menyangka
akan mendapat serangan begitu rupa! Karenanya dia tak sanggup mengelak,
sama sekali! Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi tangit! Begitu jatuh
di tanah dia tak berkutik lagi sebab. kepalanya yang kena hantam rengkah bermandikan darah dan air otak! Wiro
menyerbu ke tengah-tengah manusia-manusia berseragam pakaian hitam
lainnya yang tengah menempur habis-habisan penduduk yang coba
mempertahankan hak dan harta serta nyawa dan keselamatan pribadi serta
keluarga mereka! Dua orang tergelimpang dihantam tendangan dan tinju
kirinya. Yang lima orang lainnya terkejut! "Bedebah! Siapa kau?!" teriak salah seorang dari! mereka. Begitu habis berteriak orang ini melihat sesuatu menyambar di hadapannya. "Awas!" teriak kawan-kawannya. Tapi
orang itu tak keburu berkelit ataupun menangkis. Yang dilihatnya
berkelebat ialah pukulan tangan kanan Wiro Sableng yang melayang
tepat-tepat ke keningnya! "Praak!" Orang itu menjerit! Keningnya pecah! Nyawanya lepas! Bukan
saja empat kawannya menjadi kaget tapi juga tergetar hati
masing-masing! Setelah memberi tanda serempak mereka menyerbu! Pendekar
212 Wiro Sableng diserang dari empat penjuru! "Setan-setan kesasar! Keganasan kalian cukup sampai hari ini! Makan ini!" Wiro kirimkan dua pukulan dua tendangan! "Wutt…
wutt… wutt… wutt!" Keempat serangannya hanya mengenai tempat kosong!
Wiro terkejut! "Bangsat, apakah mereka ini punya ilmu melenyapkan
diri?!" maki Wiro dan memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat
angin pukulan tahu-tahu melanda ke arahnya dengan ganas! Pendekar 212 menggereng macam harimau lapar! Kedua
tangannya kiri kanan menghantam berkeliling! Dua gelombang angin
pukulan yang dahsyat membadai berputar! Dua orang pengeroyok terpekik!
Tubuh mereka berpelantingan. Satu menghantam pohon, pinggangnya patah,
nyawanya lepas! Yang satu lagi begitu jatuh di tanah coba berdiri tapi
terus muntah darah dan kojor di situ juga! Dua orang lainnya seputih
kertas pucat paras mereka. Yang satu tanpa pikir panjang segera ambil
langkah seribu. Kawannya melompat ke balik sebatang pohon dan keluarkan
satu suitan nyaringi "Monyet hitam! Tempat larimu adalah ke akhirat!"
teriak Wiro seraya hantamkan tangan kanannya ke arah laki-laki yang
ambil langkah seribu! Belum lagi angin pukulan Wiro sampai orang itu
telah memekik macam dihadang setan! Kemudian pekiknya lenyap dan
tubuhnya mencelat beberapa tombak. Terguling di tanah tanpa nyawa lagi! Wiro
Sableng segera pula hendak kirimkan pukulan maut ke arah laki-laki yang
bersembunyi di balik pohon. Sekaligus dia hendak hantam pohon dan
orangnya! Tapi baru tangan kanan diangkat, tahu-tahu empat bayangan
hitam melompat di hadapannya dan serentak mengurungnya. Wiro
memandang berkeliling dengan cepat. Keempat manusia berpakaian dan
berdestar serba hitam itu rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas.
Keempatnya memelihara kumis melintang. Dan pada dada pakaian
masing-masing terpampang gambar kepala harimau warna kuningi Wiro
teringat pada .manusia bernama Gempar Bumi, pembantu utama Datuk
Sipatoka. Ada perbedaan gambar harimau yang terpampang di dada pakaian
keempat orang ini dengan yang dilihatnya pada dada pakaian yang
dikenakan Gampar Bumi. Perbedaannya ialah pada besar kecilnya. Gambar
kepala harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada keempat manusia
ini agak kecil! Ini mungkin berarti bahwa keempatnya adalah
pembantu-pembantu Datuk Sipatoka juga tapi dari tingkat yang lebih
rendah dari Gempar Bumi! ”Pemuda keparat! Melihat tampangmu nyata kau
bu-kan penduduk sini! Lekas katakan siapa kau?!" membentak salah
seorang dari empat manusia berkumis melintang. Wiro mendengus. "Kau
tak layak bertanya! Lebih bagus kau tanyakan bagaimana caranya
cepat-cepat pergi ke neraka!" Dan habis berkata begitu Wiro pukulkan
tangan kanannya dalam jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang diperbawa
dua perlima tenaga dalamnya! Yang diserang terkejut melihat
datangnya angin keras ke arahnya dan dengan serta merta pukulkan pula
tangan kanannya ke depan memapasi serangan lawan! Dalam pada itu ketiga kawannya tidak tinggal diam. Serentak ketiganya menyerbu Pendekar 212 dari tiga jurusan! Seorang diantaranya mencengkeram dengan kedua tangan dari belakang! Sekali
melihat bagaimana pukulan kunyuk melempar buahnya sanggup dipapasi
lawan dan melihat pula gerakan tiga orang lainnya dalam melancarkan
serangan itu Wiro segera maklum bahwa keempatnya berkepandaian tinggi
yang tak bisa dianggap remeh! Kalau dinilai masing-masing setiap dua
manusia yang mengeroyoknya itu sebanding dengan kepandaian Gempar Bumi.
Dengan kata lain saat itu dia menghadapi dua. lawan berkepandaian
setinggi Gempar Bumi. Pertempuran hebat berkecamuk! Wiro andalkan
ilmu meringankan tubuhnya untuk mengelit serangan-serangan lawan yang
sangat ganas dan bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang putih
yang coba didesak oleh keempat manusia berpakaian hitam-hitam itu!
Karena telah pernah bertempur melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya
Wiro mengerti, gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak menolongnya Meski
pada empat jurus pertamanya dia kena didesak namun jurus-jurus
selanjutnya dia mulai berada di atas angin. Serangan-serangannya membuat
keempat pengeroyok mundur terus-terusan dan dalam jurus ke delapan
salah seorang dari mereka terjungkal ke luar kalangan pertempuran dengan
tulang dada dan beberapa tulang iga ringsek dilanda tendangan kaki
kanan Wiro Sableng! Nafasnya sesak, mulutnya megap-megap. Dari
kerongkongannya terdengar suara seperti orang tercekik dan sesaat
kemudian tubuhnya tak bergerak lagi! Kematian seorang kawan mereka
membuat tiga manusia baju hitam lainnya menjadi tergetar. Apalagi
sesudah dalam jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan
matimatian dalam desakan hebat serangan berantai Pendekar 212! Salah
seorang berseru memberi tanda. Wiro menyangka mereka hendak melarikan
diri maka dia siapkan pukulan jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila
mereka benar-benar hendak kabur! Tapi dugaannya meleset! Ketiga anak
buah Datuk Sipatoka itu dalam gerakan yang aneh yaitu lompatan-lompatan
macam katak menyerbunya dari tiga jurusan! Wiro pukulan kedua
tangannya berkeliling! Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan dalam
keadaan tubuh melayang di udara mereka membuat satu lompatan lagi,
begitu-Wiro hendak menghantam ke atas, ketiganya tahu-tahu sudah melesat
ke bawah dan entah kapan mereka menggerakkan tangan mereka tahutahu
tiga bilah keris hitam menderu ke arahnya! Satu menusuk ke kepala, yang
dua lainnya membabat dari dua jurusan yang berlawanan! Wiro
terkesiap kaget melihat serangan yang hebat ini! Dengan cepat segera dia
keluarkan jurus pertahanan yang terlihay dari "Ilmu Silat Orang Gila"
yaitu yang dinamakan jurus "Orang Gila Melenggang ke Awan!" Kedua
tangannya dikembangkan ke atas sedang kedua kakinya menjejak ke tanah
mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh! Laksana panah
lepas dari busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat melenggang lenggok ke
atas dua kembangan tangan yang mendatangkan angin bukan saja sanggup
menangkis tusukan keris yang datang dari atas tapi sekaligus membuat
lawan terpelanting laksana daun kering dihembus angin! Meskipun
tubuhnya selamat namun tak urung pakaiannya masih sempat dirobek oleh
ujung keris salah seorang lawan yang menyerang dari samping! "Edan!" maki Wiro. Segera dia siapkan jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan sete-, ngah bagian tenaga dalamnya! Sementara
itu salah seorang dari lawan-lawannya yang bermata awas berseru:
"Kawan-kawan! Kulihat bangsat Ini mengeluarkan Jurus ilmu Silat Orang
Gila! Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat bahwa Datuk kita punya
dendam kesumat terhadap Tua Gila pada empat puluh tabun yang lalu?!
Kalau kita musnahkan muridnya ini pasti kita mendapat pahala besar dari
Datuk! Mari!" Serentak dengan itu dan diikuti oleh kedua kawannya
maka menyeranglah dia! Tapi kali ini ketiganya dibikin terkejut. Karena
begitu mereka bergerak Wiro hantamkan tangan kanannya ke depan! Dua
orang berseru keras dan melompat ke samping! Yang seorang lagi
terlambat untuk selamatkan diri. Kedua tangannya ditelakkan ke muka
dada laksana seorang yang berusaha menahan tindihan benda berat yang
tak kelihatan di depan dadanyal Wiroputar sedikit telapak tangannya!
Laki-laki di depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ketika
menggeletak di tanah kelihatan bagaimana seluruh tubuh laki-laki ini
terutama dari bagian dada ke atas hancur memar laksana buah pepaya
dibantingkan ke batu! Pucat pasilah wajah dua anak buah Datuk
Sipatoka lainnya! Mereka saling memberi isyarat. Lalu mengeruk satu.
pakaian masing-masing dan sedetik kemudian enam puluh batang jarum hitam
yang mengandung bisa jahat beterbangan ke arah Pendekar 212!
Jarum-jarum ini bentuknya sama dengan senjata rahasia milik Gem-par
Bumi. .Wiro gerakkan tangan kanannya! Sebagian dari jarum-jarum itu
mental yang sebagian lagi berbalik ke arah pemiliknya! Salah seorang
dari mereka tiada menduga hal ini hingga terlambat untuk selamatkan
diri! "Akhhh…." Jerit maut ke luar dari mulutnya. Belasan jarum
menembus tubuh dan jantungnya. Nyawanya le-pas saat itu juga! Yang
seorang lagi masih untung! Begitu lolos dari bahaya maut segera putar
tubuh untuk ambil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini sia-sia saja
karena lebih cepat dari itu satu totokan telah menyambar punggungnya,
membuat dirinya tegak kaku kejap itu juga! "Monyet hitam, sekarang
kau akan jadi penunjuk Jalanku! Kau musti antarkan aku ke sarang
majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka Itu!" Mendadak terdengar jerHan perempuan yang disusul oleh teriakan seorang laki-laki. "Tolong! Anakku… anakku!" Wiro berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya sesosok bayangan hitam memboyong lari seorang gadis dan lenyap dikegelapan malam! Wiro
kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya memaki. Dia berpaling pada
laki-laki. di hadapannya dan berkata: "Monyet hitam! Keadaan memaksaku
membuat nasibmu lebih baik dari kambrat-kambratmu yang lain! Kau
kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa sampaikan pesanku pada Datukmu
bahwa disatu hari dalam waktu yang singkat aku akan membuat perhitungan
dengan dia! Bila dia menanyakan siapa aku, ini kutuliskan namaku di
keningmu!" Kemudian dengan ujung jarinya Wiro menggurat angka 212 di
kuIH kening laki-laki itu! Lalu tanpa tunggu lebih lama dia berkelebat
ke jurusan lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis tadi! Namun satu teriakan memanggil membuat dia hentikan lari! “Wiro!"
Wiro
Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah dia! Yang berseru memanggil
namanya bukan lain daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri
terhuyung-huyung dengan sebatang pedang pendek menancap di dadanya!
Wiro melompat dan dengan cepat membopong tubuh laki-laki itu ke langkan
sebuah rumah. Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan menodai
pakaian Wiro sendiri! Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong
lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat tanpa darah.
Sedang kedua matanya mulai mengabur. "Bagaimana kau bisa sampai di
sini, bapak??" tanya Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya
sendiri. Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan demikian
rupa. "Wiro, tolonglah selamatkan anakku…. Mayang dilarikan oleh…. Gempar Bu… mi…." "Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham bergemeletukan! "Kej… kejar dia, Wiro…." "Tapi kau sendiri, pak…." Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara. "Diriku
tak… usah kau pikirkan nak. Tak ada harapan…. Yang perlu Mayang. Nasib
dan… dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian…."’ Pagar Alam
tak dapat meneruskan kata-katanya. Kepalanya terkulai. Kedua matanya
terbalik dan nafasnya lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro
membaringkan jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipandanginya tubuh
tanpa nafas itu beberapa ketika. "Nasib dan dirinya kuserahkan padamu.
Kuharap kalian…." Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapannya,
tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak disampaikan
laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama pemuda ini segera meninggalkan
tempat itu dengan cepat, lenyap di jurusan perginya manusia yang telah
melarikan Mayang! Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran.
Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana mungkin mencari dan
mengejar seseorang yang tak diketahui ke mana perginya! Akhirnya di
satu pesawangan yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di
sekitarnya hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali
ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat terdengar pula suara
burung hantu mengerikan sementara angin malam bertiup dingin mencucuk
sampai ke tulang-tulang sumsum. Wiro Sableng garuk-garuk kepala,
menghela nafas kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika
menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa celaka dan tak ada
artinya menyelamatkan dara itu! Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang
langsung ke Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas melakukan
pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk membuat perhitungan dengan
Datuk Sipatoka. Tapi bagaimana kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis
itu ke sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?! Pendekar
212 banting-banting kaki karena gemas! Gemas karena tak bisa berbuat
apa-apa, sedangkan dia tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam
ini juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan apakah lagi yang
lebih berharga bagi seorang gadis kalau bukan kehormatannya?! Wiro
Sableng memandang ke langit di atasnya yang hitam gelap. Tak ada bulan,
tak ada satu bintang pun yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar
bila dia membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar’ Bumi
terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah dilakukan oleh Gempar
Bumi?! "Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan batang
lehernya! Akan ku patah k ani" kata Wiro dengan hati menggeram!
Dihantamkan tinjunya dan "Brak!" sebatang pohon yang tak punya dosa
apa-apa patah tumbang ke bumi! Di malam sunyi dan gelap itu sesosok
tubuh berlari laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpanggul
seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak berdaya. Dara ini bukan
lain Mayang. Dan laki-laki yang tengah memboyongnya lari itu adalah
Gempar Bumi! Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru dia
berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian dia lari lagi hingga
akhirnya memasuki sebuah lembah yang dialiri sebatang anak sungai.
Sepanjang anak sungai ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu
bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari dasar pondok ini
berada di tebing sungai, setengahnya lagi di atas sungai, ditopang oleh
dua buah tiang yang terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi
membawa Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan mencapai
pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan diterangi oleh sinar pelita
yang ada di dalam pondok, kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam
berdiri di am-bang pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada.
Ketika melihat orang yang datang dengan membawa sesosok tubuh pada
bahunya, laki-laki ini kerenyitkan kening. "Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!" orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di hadapannya. Gempar Bumi menyeringai. "Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!" Ketika
mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi adalah tubuh seorang dara
berparas jelita, laki-laki bernama Sati menelan ludahnya. ”Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti. "Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu! Lekas pergi!" Mata
Satj tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah Gempar Bumi tidak
diperdulikannya malah dia melangkah lebih dekat kemudian membisikkan
sesuatu ke telinga Gempar B,umi, Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati. "Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan batang lehermu!" Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya ditinggalkannya tempat itu. Gempar
Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai papan. Sebagian dari lantai
ditutup dengan tikar pandan. Mayang dibaringkannya di atas tikar.
Setelah menutup pintu dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di
hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini. Begitu jalan suaranya
dibuka maka mendampratlah Mayang. "Manusia keparat! Lepaskan totokan ku…!" "Ah, kau masih saja bersikap galak," kata Gempar Bumi. "Bedebah! Lepaskan totokan ku!" "Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan diulurkannya tangan kanannya. "Jangan sentuh!" teriak Mayang. Gempar
Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu. Mayang memaki
habis-habisan sampai suaranya serak. "Dengar Mayang, kalau kau mau
bersikap lunak aku akan kawini kati secara baik-baik, tapi…’ "Siapa sudi
kawin dengan manusia anjing macammu!" potong Mayang. "Tapi kalau kau
berkeras kepala macam ini jangan menyesal akan kuperlakukan Secara
kasar!" "Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siang siang! Saat ini
juga…." "Eh, apakah kau tidak takut mati?!" "Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!" Gempar Bumi tertawa mengekeh. "Mati
muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau inginkan mati biarlah
nanti terserah pada putusan Tuhan! Yang penting kau harus hidup dulu
bersama-samaku…. Kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti.
Betapa nikmatnya… betapa…." "Tutup mulutmu bedebah! Bila kau
menyentuh tubuhku lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan api
pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!" Gempar Bumi tertawa gelak-gelak. "Kurasa
nanti itu kau mencariku bukan untuk membunuh tapi untuk mengajak
kembali menikmati segala keindahan hidup itu! Ha… ha… ha… ha!" "Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu sampai lumat!" "Ilmu
silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar Bumi: "Menghadapiku beberapa
jurus saja sudah tak sanggup, bagaimana mungkin kau hendak
mencincangku?!" "Kalau tidak aku ada orang lain yang akan melenyapkanmu dari muka bumi ini!" "Aha… siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal melintang. "Guruku!" "Gurumu?!"
Gempar Bumi tertawa membabak. "Perempuan tua renta yang bernama Inyak
Nini itu? Kepandaiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau!
Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi mayat dia kalau
berani berhadapan denganku!" Mayang mendengus. "Kalaupun guruku
kalah masih banyak orang-orang. sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu
sanggup membunuhmu! Juga melabrak majikanmu yang bernama Datuk Sipatoka
itu!" "Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang sakti itu?!" ujar Gempar Bumi. "Di antaranya pemuda berambut gondrong yang mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang. Berubahlah
paras Gempar Bumi. Dia memang tak pernah melupakan pemuda itu. Selama
menjadi pembantu utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru
angin Pulau Andalas belum pernah dia menghadapi lawan yang setangguh
itu, bahkan memaksa dia untuk mengundurkan diri dengan muka tebal karena
malu. "Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan dia? Tempo
hari aku sengaja menghentikan pertempuran karena ada urusan yang lebih
penting! Kalau diteruskan niscaya tidak kuampunkan jiwanya…." "Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran padamu untuk ambil langkah seribu!" Gempar
Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba tangannya diulurkan kembali dan
kali ini dengan cepat menyelusup ke balik baju hitam yang dikenakan
Mayang! Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan seringai
nafsu yang mengembang kempiskan cuping hidungnya, jari-jari tangan
Gempar Bumi menggila di atas dada sang dara! Bagaimana Mayang dan
ayahnya sampai di kampung yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk
Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil melaksanakan niatnya
melarikan si gadis? Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam
hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang dinamakannya Perguruan
Kejora, Tapi karena adanya maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari
peresmian itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali hendak
melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam mengundurkan peresmian
berdirinya Perguruan Kejora. Dia harus mencari seorang yang dapat
diandalkan yang sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawannya.
Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sembuh bersama Mayang
laki-laki ini dengan mengendarai dua ekor kuda berangkat ke Danau
Maninjau, tempat kediaman Inyak Ninik, guru Mayang. Di tengah jalan
mereka berhenti dan menginap di sebuah kampung. Justru pada malam itu
pula anak-anak buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi
mendatangi kampung itu, merampok dan membakar serta melarikan
gadis-gadis dan istri penduduk kam pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau
di kampung itu terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah
penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar Bumi. Gadis itu
berada di depan matanya kini, tak perlu dia menunggu berlama-lama!
Ketika dia hendak menyergap Mayang mendadak didengarnya suara suitan
nyaring di sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian juga empat
anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya! Bersama keempat orang itu
Gempar Bumi cepat menuju ke Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya
nanti. Itu soal mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi
anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia sampai di
bagian Barat kampung, berubahlah parasnya. Untung saja malam itu gelap
hingga keempat anak buahnya tak dapat melihat perobahan parasnya itu! Seorang
pemuda berpakaian putih, berambut gondrong tengah mengamuk dengan
hebat. Dan pemuda ini bukan lain pemuda yang telah mempecundanginya
tempo hari! Meski dia membawa anak-anak buah yang berkepandaian tinggi
namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu Gempar Bumi tidak mempunyai
nyali! Dilain hal kalau dia melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin
tak akan kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang. Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang Wiro Sableng. "Bunuh
bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan dari tempat gelap dia
memperhatikan jalannya pertempuran. Dan bukan main terkejutnya Gempar
Bumi ketika dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli anak-anak
buahnya satu demi satu! Padahal keempat anak buahnya itu berkepandaian
hanya dua tingkat saja di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi
tambah mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh menjadi korban
Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama saat itu juga Gempar Bumi segera
tinggalkan tempat itu. Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur
melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang lebih rendah. Akan
Pagar Alam, begitu melihat kemunculan Gempar Bumi, tersiraplah
darahnya! Dia tahu apa artinya ini, maka segera saja dengan sebilah
pedang pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi dan
menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat! Walau bagaimanapun
Gempar Bumi bukan tandingan Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan
lawan bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus saja sudah kena
didesak oleh Gempar Bumi. Melihat ayahnya terdesak. Mayang segera
memberikan bantuan! Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang.
Gem-par Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar Alam dan dengan
senjata itu dia mendesak kedua beranak! Dalam satu gebrakan yang
hebat Gempar Bumi berhasil menyelundupkan pedangnya dan menancap
dengan tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Mayang berhasil
ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dengan memboyong
Mayang. Gempar Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam dalam
keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut hanya bisa berteriak minta
tolong! Dan teriakannya ini terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng
yang kemudian segera melakukan pengejaran…. Darah di tubuh Gempar
Bumi laksana air mendidih bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur
tubuh Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak dan
menangis. Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pondoknya
berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingatannya masih tertuju pada
gadis itu. Tak dapat dilupakannya parasnya yang jelita, kulitnya yang
mulus kuning langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati Ingatan
kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang tertegun-tegun. Hatinya
mendorong-dorong agar kembali ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi
berubah haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian kepadanya!
Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun jadilah. Dan semakin besar rasa
yang mendorong-dorong di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar
tubuhnya, dan kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah
ditempuhnya. Kembali ke pondok di tepi sungai itu! Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari sebuah lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali. Sekujur
tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya memanas dan seperti
menyungsang mengalirnya ketika dari lobang di dinding pondok dia
menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya, di bawah
penerangan pelita. Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak.
Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh Gempar Bumi yang
mandi keringat! Dan keduanya tanpa selembar pakaianpunl Berkali-kali
Sati meneguk ludahnya. Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok
di hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, menggulung tubuh gadis itu. "Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati. "Keparat betul si Gempar Bumi ini!" Mendadak
Gempar Bumi menghentikan segala gerak yang dibuatnya laki membalik
dengan cepat Sepasang matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba
tangan kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan. "Braakl" Dinding itu berlobang besar. Di luar pondok seseorang terdengar berteriak: "Keterlaluan kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!" "Sati
keparat! Kau berani kembali dan mengintip? Kau akan terima hukuman
berat dariku!" teriak Gempar Bumi marah sekali. Dengan cepat dia
mengenakan pakaian hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum pintu
itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara sesuatu yang ambruk
dan ketika Gempar Bumi memandang ke atap pondok, sesosok tubuh melayang
turun dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!
Terkejut
Gempar Bumi bukan alang kepalang! Dihadapannya berdiri seorang
perempuan tua renta berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang di
tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang terbuat dari perak dan
berkilauan ditimpa sinar pelita. Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru: "Guru!" Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk menutupi tubuh Mayang. Mendengar
seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum kini bahwa perempuan tua di
hadapannya bukan lain Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak
kehormatannya! Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya, tapi baru kali
ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga sampai di mana kehebatan
perempuan ini walau sebelumnya di hadapan Mayang dia telah menganggap
Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkannya di bawah
sepuluh jurus! "Manusia bejat!" suara Inyak Nini bergelar. "Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas perbuatan yang kau telah lakukan terhadap muridku!" Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam. "Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan siapa, nenek-nenek bongkok?!" Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah karena susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya. "Nama
Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Terlalu memuakkan untuk didengar!
Dan malam ini aku akan menumpas segala kemuakan itu!" Tanpa banyak
cakap lagi, Inyak Nini melompat ke muka. Pedang perak di tangan kanannya
berkiblat. Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak dengan sebat
lalu selipkan satu serangan balasan, tapi senjata lawan membalik ganas
membuat dia melompat mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak
Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di ambang pintu. "Gempar Bumi, biaraku yang hadapi setan tua ini!" kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain daripada Sati. "Sati keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima hukuman dariku!" Menciut
hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi Inyak Nini adalah sebagai
penebus kesalahannya. Ternyata Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan
tetap akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikirpikir untuk
Jari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan bertambah-tambah
kemarahannya! Karenanya Sati berdiri di ambang pintu itu dengan hati
yang tidak enak dan serba salah!, Pondok itu tidak seberapa besar
karenanya tanpa senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi
amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari, memapas dan
membacok, sedang tusukan-tusukan ganas meluncur berulang kali! Namun
mata Gempar Bumi yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus
ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia menggempur
tempat-tempat pertahanan yang lemah ini hingga pertempuran berjalan
berimbang beberapa lamanya! "Tua renta sialan! Makan ini!" teriak
Gempar Bumi. Tangannya mengetuk saku, sedelik kemudian puluhan jarum
mendengung laksana tawon, menyambar ke arah Inyak Nini! Inyak Nini
terkejut! Serta merta dia putar per dangnya. Belasan jarum hitam mental
dan luruh ke lantai. Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya
dengan pedang, dan terus menembus dagingnya! Inyak Nini menggerung
macam serigala dan menyerbu dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan
racun yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah kerahkan
tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan darah yang penting agar
racun jahat itu tidak merambas ke jantungnya namun tetap saja rangsangan
jarum bermembobolkan jalan darah, terus mengalir menuju jantung! Inyak
Nini sadar bahaya besar yang mengidap dalam dirinya. Dalam tempo dua
puluh empat jam jika tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang! Gempar Bg#i tertawa sewaktu mengetahui senjata rahasianya berbasil menemui sasaran di beberapa bagian tubuh lawan. "Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung!" "Manusia dajal kau musti menyertaiku ke akhirat!" teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang dengan dahsyat. "Braak!" Sambaran
pedang Inyak Nini mengenai tempat kosong dan menghantam dinding pondok
hingga hancur bobol! Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk
menyerang dari samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu tendangan kaki kanan
Inyak Nini bersarang di bahunya! Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
langkah dan bahunya sakit bukan main! "Perempuan bedebah!" maki
Gempar Bumi. Mulutnya komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk
Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka dengan sepuluh
jari-jari menekuk! Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan
jurus ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih lama dia
mendahului menyerang dengan pedang di tangan! Dalam detik itu pula
Gempar Bumi keluarkan suara keras macam harimau meraung dan tubuhnya
berkelebat ke depan! Gerakan kedua tangannya asing seka» bagi Inyak
Nini, suara seperti harimau meraung yang ke luar dari mulut Gempar Bumi
membuat perempuan tua itu terkesiap dan bergidik! Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu! Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat paras gurunya berlumuran darah mengerikan! Inyak
Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Kulit mukanya
terkelupas dalam lima guratan yang dahsyat, parasnya berselomotan darah
sedang pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke dalam tangan
kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat jurus "Mencakar Kepala Ular Naga,
Merampas Busur Pemanah", yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi. Jurus
itu adalah salah satu jurus terhebat dari "Ilmu Silat Harimau". "Apakah masih belum mau bunuh diri?!" ejek Gem-par Bumi. Inyak
Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan tubuhnya perlahan-lahan turun
ke bawah macam orang hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu
lengkingan dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan kedua tinju
kiri kanan dan lancarkan dua tendangan susul menyusul! Ini adalah satu
serangan percuma saja. Rasa marah, dendam kebencian yang bertumpuk di
hati Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa lawannya tidak
lagi bertangan kosong saat itu, tapi menggenggam pedang perak miliknya
sendiri! Sekali Gempar Bumi memutar pedang, maka terdengarlah
raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat putus, salah satu kakinya
luka parah! Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu! Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik lagi Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang keperawanannya itu. "Bunuh aku! Bunuh aku keparat!" "Kau
terlalu banyak rewel!" hardik Gempar Bumi dan menotok jalan darah di
leher Mayang hingga Mayang di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga
tak dapat keluarkan suara! Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan
langkahnya dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati yang
berdiri dengan paras pucat. "Kesalahanmu terlalu besar Sati…!" Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam anak kecil. "Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar Bumi," pintanya. "Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu matamu yang suka mengintip itu! Lekas!" "Gempar Bumi!" Sati menggerung dan bersujud. "Keparat! Lekas korek matamu," bentak Gempar Bumi. "Atau aku sendiri yang akan mengorek keduaduanya sekaligus?!" Sati
maklum tak ada lagi keringanan baginya. Daripada hilang dua mata atau
hilang jiwa lebih baik dia cepat-cepat mengorek salah satu matanya!
Dengan jarijari tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya. "Craas!" Biji
mata itu mencelat ke luar bersama busaian darah. Sati terduduk di
ambang pintu; merintih-rintih menahan sakit yang tiada taranya! "Itu
lebih bagus bagimu daripada mampus!" kata Gempar Bumi pula. Lalu dengan
tubuh Mayang di bahunya dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun
langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan ke tanah! Di Timur
pondok terdengar suara orang membentak. "Manusia jahanam! Berani
bergerak satu langkah saja kupecahkan batok kepalamu!" Waktu suara
teriakan orang di malam buta itu belum habis gemanya ketika tahu-tahu
sesosok tubuh sudah berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi! Paras
Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat putih laksana kain kafan!
Mayang dengan susah payah coba putar mata memandang ke muka! Satu
harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang datang itu benarlah
orang yang diduganya. Kalau saja mulutnya sanggup bersuara pastilah dia
akan berseru memanggil nama orang itu! "Turunkan gadis itu…! Cepat!" "Bangsat!
Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silahkan ambil sendiri!" jawab
Gempar Bumi. Lalu tak ayal lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir
Jiwa". "Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada ampun
bagimu!" Orang ini hantamkan tangan kanannya ke arah kaki Gempar Bumi.
Satu gumpalan angin yang bertenaga tiga perempat tenaga dalam
menyambarde ngan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Tengkuknya
terasa dingin ketika memandang ke bawah dan melihat bekas angin pukulan
lawan! Tanah dan pasir ber muncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di
tanah! Itu lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar Buah" yang telah
dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya! Menghadapi lawan tangguh
berkepandaian tinggi dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat
berbahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali lancarkan
serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan tubuh Mayang di tanah. Sesaat
kemudian terjadilah pertempuran yang hebat! Kalau dalam pertempuran
pertama dulu kelihatannya agak seimbang itu adalah karena Wiro masih
memberi hati terhadap Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi segala
macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng. Melihat tubuh
Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel dia sudah tahu apa yang
dilakukan Gempar Bumi terhadap gadis itu! Sebenarnya, di satu tempat
pada malam itu Wiro sudah berniat menghentikan pengejarannya terhadap
Gempar Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur tapi
lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara pekik raungan. Suara itu
didengarnya sampai berulang kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga,
Wiro laksana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia berada
beberapa puluh tombak, di satu pedataran tinggi sewaktu di ambang pintu
sebuah pondok yang diterangi oleh pelita dilihatnya berdiri seorang
laki-laki berpakaian hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak
sejauh itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu namun dia
yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi! Keris hitam di tangan Gempar
Bumi laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan
deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa buah tusukan dalam
satu jurus serangan! Betapapun hebatnya Gempar Bumi, namun segala
kehebatannya Hu hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya.
Jurusjurus berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh permainan silat
"Orang Gila" yang mulai dikembangkan Wiro. Dalam keadaan terdesak
Gempar Bumi lepaskan… senjata rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro
hantamkan telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum hitam itu
bermentalan kian ke mari! "Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar
bumi!" kata Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang
terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi merupakan suatu gerakan
yang sangat mudah untuk diserang! Segera dia tusukkan Keris Penyingkir
Jiwa ke dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun dalam
gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit tusukan itu. Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahutahu tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya! Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi tubuhnya terbanting ke kanan dan "Kraak!" "Suara
"kraak" itu disusul dengan suara pekikan setinggi langit dari mulut
Gempar Bumi! Lengan kirinya sebatang bahu tanggal, daging dan urat-urat
berbusaian! Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan! "Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipatoka!" ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke depan. "Kraak!" Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan patah! "Kau
akan mampus dengan menderita lebih dulu, Gempar Bumi keparat! Kau akan
terima imbalan atas dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan
jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, Wiro
tusukkan lagi dua jari tangan kanannya. "Craas!" , Gempar Bumi melolong. Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar. Tubuhnya terhuyung nanar. "Sati! Bantu aku!" teriak Gempar Bumi. Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu pondok dalam keadaan pingsan! "Kenapa
tidak minta bantuan pada setan-setan penghuni sekitar tempat ini?!
Bukankah kau manusia turunan iblis juga hah?!" bentak Wiro dan
melangkah mendekati Gempar Bumi. Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba
kakinya menginjak sesuatu dan tak ani pun lagi tubuhnya tergelimpang
jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya disangkanya, tubuh yang
terhimpit badannya itu adalah tubuh Sati tapi ketika ditolehnya
ternyata tubuh Mayang. Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi.
Meski bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup! "Pemuda keparat!
Kau inginkan perempuan ini! Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan serentak
dengan itu dihunjamkannya Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang! Laksana
orang kemasukan setan Wiro Sableng meraung! Seantero bergetar! Sinar
putih melesat menyambar ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba
membuang diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Matahari itu
tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena tersambar dan hangus
hitam! Gempar Bumi menjerit. Terguling di tanah sampai enam tombak dan
mengerang kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gem-par Bumi
akan segera menghembuskan nafas penghabisan namun Wiro masih belum
puas. Dia melompat ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar Bumi.
Terdengar suara patahnya tulang leher manusia terkutuk itu! Tamatlah
riwayat kedurjanaan Gempar Bumi! Wiro Sableng lari menghampiri
Mayang. Dipangkunya gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada
tertutup apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang membasahi pula
pakaiannya. "Mayang…" bisiknya. "Mayang," panggil Wiro lebih
keras. Diusapnya kening dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang
membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya daripada hitamnya. "Wi… ro…." Mata yang sudah mengabur itu masih sanggup juga mengenali wajah di depannya. "Sakit sekali rasa… nya…." "Kau…
kau akan kuobati. Kau akan sembuh," kata Pendekar 212 tersendat-sendat
karena dia tahu katakatanya itu tak bakal menjadi kenyataan. Mayang
juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas senyum muncul di bibirnya. Dan
pada kejap matanya ditutupkan, nafasnya berhenti. Malaekat maut telah
mengambil nyawanya. Dia mati dengan senyum masih membayang di bibirnya
yang mungil dan agak membuka sedikit. Wiro tak tahu entah sudah berapa
lama dia merangkuli tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu.
Dia baru sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar terang. Ternyata
fajar telah menyingsing. Dipandanginya lagi wajah Mayang dikeheningan
pagi yang segar. Perlahan-lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya
bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan mesra. Kemudian
diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya ke pondok. Di pintu pondok
tergelimpang tubuh Sati yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan
kaki kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk. Dan kalau tadi
tubuhnya tak bergerak karena pingsan maka kali ini tubuh itu tak
berkutik lagi tanpa nafas! Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang
perempuan tua: Dia tak tahu siapa perempuan tua ini adanya tapi
sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan tua itu seorang
yang berilmu tinggi dan dari go-longan putih. Karenanya sesudah menggali
kubur untuk Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perempuan
tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi jagad raya maka di muka
pondok di tepi sungai itu kelihatanlah dua buah kuburan saling
berdampingan….
Matahari
berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah hari tepat. Angin
dari barat bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala
daun-daun pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras.
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak d i
perdu I ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya butirbutir
keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak di
perdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di
telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. . Sepasang mata dan
perhatian Pendekar 212 tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya
menjulang sebuah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tampak
sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih, dikelilingi oleh pagar
tinggi putih. Wiro memandang lagi ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu
kalau didekati bukan lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak
manusia yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa ribukah
manusia yang telah menjadi korban keganasan itu?! Berapa ribukah tulang
belulang dan tengkorak manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian
menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun Tulang?! Wiro
memperhatikan baik-baik rumah besar dan sekitarnya. Rumah besar ini
beratap seperti tanduk kerbau. Pada masing-masing ujung terdapat sebuah
tangga sedang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga yang
menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar. Yang membuat Wiro
Sableng merasa aneh ialah karena matanya tidak melihat seorang manusia
pun baik di dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa
suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan paling mengerikan dan
membawa maut?! Atau mungkin itu bukan bukit Tambun Tulang yang di
hadapannya?! Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk tenggelam
dalam Segala macam pikiran begitu rupa. Diperbaikinya letak Kapak Maut
Naga Geni 212 yang tersisip di pingang di balik baju putihnya. Kemudian
diambilnya buntalan yaag terletak dekat kakinya dan sekali berkelebat
dia sudah melompat sejauh delapan tombak, terus lari laksana tiupan
angia menuruni lereng pedataran tinggi. Ketika dia sampai ke pagar
putih itu suasana masih tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu
memandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih itu terbuat
dari susunan tulang belulang dan tengkorak manusia! Wiro tekaakaa
telapak tangan kirinya ke pagar tulang belulang dan «jeodareng. Astaga!
Pagar itu kokoh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya! Tetap
saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol! Wiro memandang berkeliling
lalu mendongak ke atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua
puluh tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan tengkorak kepala
manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah pohon besar. Dia melompat-lompat
di atas cabang itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang
lalu dengah satu gerakan yang lebih keras maka tubuhnya terlempar
melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah meneliti beberapa saat
lamanya baru Wiro melayang turun ke halaman dalam Begitu kakinya
menginjak tanah kembali dia meneliti keadaan sekitarnya. Rasa ngeri
menyelinap di hati pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar
yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata dari tiang-tiang
sampai ke atapnya terbuat dari tulang belulang dan tengkorak manusia! Belum
lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa ngeri ini mendadak semua pintu
dan jendela-jendela rumah besar terpentang lebar! Terdengar suara
mengaum dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sableng
bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu dan jendela-jendela
rumah besar berserabutan ke luar puluhan ekor harimau besar, mengaum
memperlihatkan taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu ke
arah Wiro Sableng! Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam
perangkap kematian! Segera dia songsong serangan harimau itu sekaligus!
dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar Buah!" Belasan harimau terdorong
dan terpelanting tapi sesaat kemudian dengan serempak mereka telah
menyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang berkeliling
kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman itu telah penuh dengan
harimau! Dia merasa laksana berada di tengah lautan harimau! Dan
kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek
atau menerkam tubuhnya! Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut
Kapak Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan Sinar Matahari
siap di tangan kiri maka Wiro Sableng mulai bergerak menghadapi puluhan
harimau! Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar dari Kapak
Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak tertegun dan bersurut
mundur. Tapi cuma beberapa ketika saja. Sesaat kemudian mereka sudah
menggerung dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dan
hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau mengaum dahsyat dan rebah
bermandikan darah kena di-sambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin
lainnya mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia menghadapi
seorang manusia mungkin dia sudah bertempur seratus jurus lebih!
Puluhan ekor harimau telah dttewaskannya! Namun yang masih tinggal
menyerang lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena melihat
genangan darah kawan-kawan mereka! Wiro putar terus Kapak Naga Geni
212 dan tangan kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang.
Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup yang menjadi ngeri
melihat amukan pemuda ini bersurut mundur. Setelah sama-sama menggerung
kesemuanya melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu pula
semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat ini Wiro segera tahu
bahwa seseorang telah menggerakkan alat rahasia untuk membuka dan
menutup pintu! Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan
agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuhnya terasa letih!
Keringat membasahi pakaiannya. Tulang-tulangnya laksana bertanggalan
dari persendian. Kejurusan mana saja dia memandang hanya bangkaibangkai
harimau yang kelihatan. Dan suasana yang diliputi kesunyian itu
membuat Wiro benar-benar jadi bergidik! Keletihan membuat dia duduk
terhenyak di tanah. Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta
mengembalikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku awas. Entah
perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya! Bila dirasakannya
kekuatannya sudah putih maka Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar
tempat sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda adanya
manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap gerak pasti tengah diawasi
orang dari tempat yang tersembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah
kotor oleh genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi lumpur
akibat darah binatang-binatang itu! Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia berteriak: "Datuk
Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut tamu yang datang untuk
menyelesaikan urusan? Harap ke luar perlihatkan dirimu…!" Baru saja
Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya tanah berlumpur yang
dipijaknya bergetar. Kedua kakinya laksana disedot! Wiro melompat ke
salah sebuah tangga rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan
alang kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan harimau itu
kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke Selatan dan pada pusatnya
membentuk sebuah lobang besar. Telinganya menangkap suara berkereketan.
Astaga rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit amblas sedang
bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke pusat cekungan. "Gendeng
betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat ke atas atap rumah yang
berbentuk tanduk ker bau dan dari sini melompat lagi ke puncak pagar
tengkorak! Sewaktu dia sampai di atas puncak pagar da memandang ke
bawah, seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkaibangkai
harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah halaman rata yang
tertutup rumput hijau! Wiro menggosok matanya Digigitnya bibirnya.
Terasa sakit. Dia tidak bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa
terjadi?! Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba dia
melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah Timur. Tadi sama sekali tidak
dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu sudah terpampang begitu
rupa! Lagi-lagi, keanehan yang tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan
mendadak pintu itu terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya.
Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya tapi dua orang
gadis jelita berpakaian kuning bergemerlapan ditimpa sinar matahari.
Keduanya melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di
tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar tempat Wiro berdirj
dengan bantalan di tangan kiri lalu salah seorang di antaranya berseru. ‘Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!" "Kalian siapa?!" tanya Wiro. "Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!" "Kalau begitu katakah padanya bahwa aku hendak bertemu dengan dia." ‘Turunlah! Kami antarkan kau padanya!" Wiro
berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya bukan main,
menggetarkan pagar tulang belulang di mana dia berada. Bukan mastahil
dengan mengandalkan kedua dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang
perangkap baru baginya! "Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!"
ujar Wiro. Jelas kelihatan pembahan pada wajah kedua dara berpakaian
kuning. "Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun untuk diantar
menghadap Batak Sipatoka kau tak mempunyai keberanian sama sekali?!" "Sialan!
Kalau aku tak punya keberanian masakan mau datang kemari?! Lekas
panggil Datukmu! Katakan aku membawa oleh-oleh bagus untuknya!" Kedua
dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang seorang, yang sejak tadi
berdiam diri saja tiba-tiba buka mulut keluarkan suara: "Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup ke luar hidup-hidup!" Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!" Si dara baju kuning mendengus. "Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!" Wiro
tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada hal-hal yang mencurigakan
yang dilihatnya. Tapi hidungnya mencium hawa aneh yang membuat
sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya
bergetar. Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini
terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut semacam asap
tipis yang tak akan kelihatan bila tidak diperlihatkan sungguh-sungguh.
Asap tipis aneh inilah yang mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro. Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju kuning. "Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup! Lekas turun!" Wiro
tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk menakut-nakutinya. Dia telah
rasakan sendiri kehebatan asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang
sedang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, padahal dia telah
digembleng demikian rupa hingga kebal terhadap segala macam racun tapi
mengapa asap seribu tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?! Dengan
kertakkan rahang Wiro Sableng melompat turun. Untuk beberapa detik
lamanya dia saling pandang memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan
dalam hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik jadi
pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!" Agaknya kedua gadis pun lelah
terpesona melihat kegagahan tam-pang Pendekar 212. Namun yang seorang
segera membentak: "Lekas ikut kami!" "Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mampus percuma!" peringatkan Wiro. Kedua
gadis tak berkata apa-apa dan melangkah menuju pintu di sebelah Umur,
Wiro mengikuti di belakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa
siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-gala kemungkinan
yang ada! Mereka memasuki pintu di sebelah Timur pagar tulang belulang.
Begitu masuk begitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat
gandakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggalkan pintu terdapat
tangga tulang yang menurun ke bawah, disusul oleh sebuah lorong
sepanjang dua puluh tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua
dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti. Tengkuknya terasa
dingin sewaktu memasuki lorong ini. Lorong ini baik bagian lantai maupun
atas serta samping dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan
beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti
bunga! Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak enak. "Ini ke mana?!" tanyanya. "Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara baju kuning paling muka. Tak
lama kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya. Sebuah pintu gerbang
kelihatan di depan, dikawal oleh dua orang dara berbaju kuning dan dua
ekor harimau yang luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari
harimau-harimau yang telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro
memandang ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ
terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang iga
manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA. Pintu
gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian tulang-tulang manusia. Kedua
gadis menyibakkan gabagaba ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng. Pendekar
212 tak segera masuk. Dia memandang ke dalam dengan mata menyelidik dan
terkesiap. Di hadapan pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman
berumput yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang belulang!
Di seberang halaman berumput kelihatan bagian depan sebuah bangunan yang
sangat indah yang atapnya berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan
terbuat dari tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan
itu dibayangi kengerian bagi Pendekar 212. "Ayo masuk!" seru dara baju kuning. Wiro
menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk masuk tapi sudah terlambat
untuk kembali. Dengan kuatkan hati besarkan nyali tapi juga penuh
waspada Pendekar 212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.
Sampai di hadapan tangga gedung besar dari tulang belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya. ‘Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari daradara baju kuning. "Kalian sendiri mau ke mana?" "Apa urusanmu?!" Wiro
memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti suasana sebentar lalu
menaiki tangga. Dilewatinya ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah
berada di satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh orang
kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas kursi-kursi yang terbuat
dari tulang-tulang kaki, tulang iga dan tulang punggung manusia!
Semuanya berpakaian hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang
lain. Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk di deretan
terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol sekali, demikian cebolnya
hingga kedua kakinya tidak mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan
dengan tubuhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, demikian
juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai bahu, kumis tebal melintang
dan janggut macam janggut kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot
tajam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan kebengisan! Inikah
Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka melesetlah dugaannya.
Sebelumnya dia menduga manusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh
tinggi kekar, tapi nyatanya cebol begitu rupa. Di samping potongan
tubuh dan raut wajahnya yang bengis itu ada beberapa hal yang menjadi
perhatian Wiro Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini.
Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan panjang yang terbuat
dari kulit harimau, kuning berbelang hitam. Di seluruh pakaiannya ini
bergantungan puluhan keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan
panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal kedua yang
menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah kedua tangan manusia ini yang
berwarna hitam legam tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat
dan mengandung racun jahat! Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu,
sejauh dua puluh tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di
pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Hanya
pandangan-pandangan mata yang saling bentrokan dengan pandangan mata
Wiro Sableng! Ketika hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi
juga, Wiro akhirnya berkata: "Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka dari Tambun Tulang?!" Si
tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat pada Wiro lalu
tengadahkan kepala dan tertawa gelakgelak! Suara tertawanya demikian
dahsyat hingga menggetarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan
menyendatnyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau saja
tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas! Wiro kaget bukan
main! Cepat-cepat dia kuasai jalan darah dan kerahkan tenaga dalam untuk
menolak gempuran suara tawa yang dahsyat itu. "Istana Sipatoka di
bawah bukit Tambun Tulang! Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si
cebol kepala besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang
diucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pendengaran Wiro
Sableng hingga kembali pendekar ini merasa tergetar sekujur tubuhnya.
Cepat-cepat pula Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya kembali. Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun. "Delapan
puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka telah musnah! Halaman luar
banjir darah! Entah apa pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal
berbuat demikian rupa?!" Wiro kerenyitkan kening mendengar
ucapan-ucapan berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun
menjawab dengan ucapan berpantun pula! "Jauh berjalan menyeberangi
samudera. Mengarung maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya.
Masakan mau berbuat sedemikian rupa?" Semua orang kelihatan saling
berpandangan sedang Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis
matanya. Dan saat itu Wiro berkata pula: "Delapan puluh lima harimau
mati percuma! Pemiliknya bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal
berbuat begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!" Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab: "Silang
sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun baru hari ini! Kalau sudah
bosan hidup katakan saja! Mengapa datang sengaja mencari mati?!" Wiro tertawa mengekeh. "Datuk
Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun macam orang main sandiwara
tapi untuk mengusut urusan yang telah kau buat di Pulau Madura!" "Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi. "Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!" Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu! "Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya bukti atas tuduhanmu itu?!" "Dua
buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan sama dengan keris-keris
yang bergelantungan dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng. "Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka. Wiro menyeringai. "Kita
akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang berkicau macam burung
kehilangan sarang!" Habis berkata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan
tangan kanan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki Datuk
Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau yang ditemui Wiro
dipertapaannya Kiai Bangkalan di Pulau Madura tempo hari. "Itu adalah
robekan pakaianmu yang kutemui di tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau
masih mau mungkir? Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk
mungkir!" Air muka Datuk Sipatoka membesi. "Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan?!" "Namaku
telah kusampaikan beberapa hari yang lalu lewat seorang anak buahmu,"
sahut Wiro seraya memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang
lakilaki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Lakilaki
inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah dipergunakan
Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang." Datuk Sipatoka tidak palingkan
kepala. Dia memang telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi
tidak menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir" tiga buah
huruf itu di kening anak buahnya! "Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan, bukan urusanmu untuk menanyakan!" "Pemuda
nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak mempunyai tiga kepala enam
tangan?! Mungkin hendak mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh
datang ke mari hanya untuk mencari mati!" Wiro tertawa dingin. Ini
membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia memandang berkeliling.
Namun sebelum dia memerintah anak buahnya untuk turun tangan Wiro
Sableng memotong: "Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk. Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!" Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang sejak tadi dipegangnya di tangan kiri. "Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka. "Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya. Meski
hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka berikan isyarat pada seorang
anak buahnya. Anak buahnya ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan
membungkuk membuka ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki Datuk
Sipatoka. Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan! Yang
terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah kepala manusia! Matanya
sebelah kanan hanya merupakan rongga besar yang tergenang darah beku
dan serabutan urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang
mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak dan busuk namun tak ada
satu orang pun di ruangan tersebut yang tak mengenalinya! Kepala itu
adalah kepala Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka! Datuk
Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa. Marah, heran, dan entah apa
lagi! Mungkin juga dirinya dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah
pembantu utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara anak
buahnya! Tapi tokh dia mati demikian rupa! Dan siapa lagi kalau bukan
pemuda di hadapannya itu yang telah membunuh Gempar Bumi! "Bedebah
bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu terpaksa kupercepat!" Datuk
Sipatoka memandang berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek:
"Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur lumatkan tubuhnya
hingga jadi debu!" Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam
berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di antaranya adalah
pembantu-pembantu kelas satu dengan gambar kepala harimau kuning besar
di dada pakaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi yang
tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele! Ketika menyerbu
pembantu-pembantu biasa dan pembantu-pembantu kelas dua langsung
mencabut keris. Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan tangan
kosong! Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro Sableng bersuit
nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212 sedang tangan kiri sudah memutih
laksana perak oleh aji Pukulan Sinar Matahari! Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak. Terdengar
suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu terhuyung-huyung, muntah
darah dan rubuh! Tiga orang pembantu kelas dua terduduk di lantai dan
rebah tak berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa mencelat
mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa nafas! Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terkejut! Waktu
lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah gerakkan kedua tangan tapi sama
sekali belum menghantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa
dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya roboh! Datuk
Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan menggoyang-goyang nya
beberapa kali. Empat puluh daradara jelita berseragam kuning muncul
dengan pedang di tangan. Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang
sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka! "Lepaskan asap seribu
tulang! Tutup semua jalan keluar!" perinlah Datuk Sipatoka pada
dara-dara itu. Begitu perintah dikatakan begitu keempat puluh gadis itu
lenyap dari pemandangan Wiro Sableng. Datuk Sipatoka memandang ke
langit-langit ruangan di belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang
sembunyi di atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!" Wiro
Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas loteng terdengar suara
tertawa bergelak. Dia rasa-rasa pernah mendengar tawa macam begitu tapi
tak bisa menduga dengan pasti siapa orangnya! "Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!" kata orang yang di atas loteng. Datuk
Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat jago kelas satu dan
memberi isyarat! Keempat anak buahnya ini segera melompat ke
langit-langit. Tangan kanan memegang keris sedang tangan kiri
menghantam. Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas!
Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur berantakan! Tapi
bersamaan dengan jatuhnya hancuran tulang-tulang itu, keempat jago kelas
satu itupun terhempas ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan
konyol! Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme Makan. Anak-anak
buahnya saling pandang dengan muka pucat! Dan di loteng tepat di atas
Kepala Datuk Sipatoka kembali terdengar suara tertawa bergelak! "Kurang
ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan kanannya bergerak mencabut sepuluh
keris emas kecil yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap
kemudian senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke loteng di atas
kepalanya!
Tapi
betapa terkejutnya Datuk Sipatoka. Masih setengah jalan tahu-tahu
laksana ranting-ranting kering dilanda angin puting beliung ke sepuluh
keris itu berpelantingan ke bawah. Dua buah melesat ke arah Datuk
Sipatoka, selebihnya bermentalan ke arah pembantu-pembantunya yang duduk
di kursi! Sekali mengebut kan jubah kulit harimaunya maka mentallah
kedua keris yang menyerang Datuk Sipatoka. Tapi tidak demikian dengan
pembantupembantunya! Suara pekik melengking raungan laksana hendak
meruntuhkan langit-langit. Delapan orang terkulai di kursi masing-masing
tanpa bisa bergerak lagi. Mereka adalah dua orang pembantu kelas satu,
empat orang pembantu kelas dua dan dua orang pembantu biasa! Tubuhtubuh
mereka ditancapi keris kuning milik Datuk mereka sendiri! Ada yang
menancap tepat di ubun-ubun, ada yang di muka, di dada dan di perut! Paras
Datuk Sipatoka kelam membesi. Mulutnya berkomat kamit. Janggut dan
kumisnya laksana kawat meranggas karena amarah! Kedua tangannya yang
hitam saling digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian dari
kedua tangannya itu mengepullah asap hitam yang berbau busuk! "Manusia
di atas loteng tahukah kau pukulan apa yang sebentar lagi hendak
kulepaskan jika kau tetap berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?!" Orang di atas loteng tertawa gelak-gelak. "Dari
tempatku ini aku dapat melihat jelas, Sipatoka! Cuma Ilmu Pukulan Hawa
Neraka siapa yang takutkan? Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling
hebat yang terakhir kau miliki Sayang…" dan orang itu tertawa lagi
gelak-gelak lalu menyambungi: “Tapi jika kau mau mengadakan perjanjian
aku bersedia muncul unjukkan diri!" "Perjanjian macam mana?!" tanya
Datuk Sipatoka seraya hentikan menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Sampai saat itu dia masih tetap duduk di kursi kebesarannya! "Kau bertempur sampai seratus jurus melawan pemuda pakaian putih rambut gondrong itu…!" Wiro Sableng tersentak kaget. "Lalu?!" bentak Datuk Sipatoka. "Jika
pemuda itu menang, kau harus bunuh diri! Sebelum bunuh diri kau harus
pesankan pada anak-anak buahmu, pada seluruh isi Istana Sipatoka ini
untuk memusnahkan semua bangunan yang ada di sini dan agar mereka semua
kembali ke jalan yang benar!" "Jika dia yang kalah apa imbalannya?" tanya Datuk Sipatoka. "Pertama
kau boleh bunuh pemuda itu, juga boleh tamatkan riwayatku. Kedua buku
Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki
untuk selama-lamanya!" Berubahlah paras Datuk Sipatoka. Dia tidak
terkejut pada syarat-syarat perjanjian yang dikatakan. Tapi begitu
mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan berada di tangan
orang yang di atas loteng itu kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri
terkesiap karena justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk
mencari buku itu! "Kurang ajar!" terdengar makian Datuk Sipatoka menggeledek. "Darimana kau ambil buku itu?!" "Dari dalam kamarmu tentu!" sahut orang di atas loteng dan tertawa mengekeh. "Bagaimana?!" Dalam
hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-habisan. Jika orang itu dapat masuk
ke dalam Istana Sipatoka dan mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan
dari dalam kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa sekali dan dia
telah saksikan sendiri tadi! Menurut pandangan Datuk Sipatoka kalau
bertempur melawannya belum tentu dia bisa dikalahkan oleh orang sakti
itu. Tapi untuk mengalahkan lawan bukan hal yang mudah pula bagi Datuk
Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro Sableng seorang pemuda yang tak
perlu begitu ditakutkan maka dia pun mendongak ke loteng dan berseru: "Aku terima perjanjianmu!" "Bagus! Tapi harap kau sampaikan dulu pesanmu pada seluruh isi istana ini!" sahut orang yang masih bersembunyi di balik loteng. "Kentut apa kati kira pemuda tengik itu pasti akan mengalahkah aku?!" teriak Datuk Sipatoka marah. "Belum
tentu memang! Tapi kalau kau tak bersedia menerima persyaratan berarti
perjanjian balai. Dan terpaksa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan kubawa
pergi!" "Kurang ajar!" maki Patuk Sipatoka geram. Tapi dia kerahkan
juga tenaga dalam dan berteriak hingga mengumandang ke seluruh pelosok
Istana Sipatoka. "Seluruh isi Istana Sipatoka. kalian dengarlah pesan
Datukmu ini! Aku akan bertempur melawan seorang pemuda tengik yang
kesasar datang ke tempat kita! Jika aku kalah maka kalian harus
memusnahkan segala apa yang ada di sini dan kalian kembali ke dunia
luar, ke dalam jalan yang benar. Sekian!" Datuk Sipatoka memandang ke
atas dan berseru: "Nah orang di atas loteng, puaskah kati sekarang?!" "Puas…
puasi" sahut orang itu. Sekejap kemudian diiringi dengan suara tertawa
gelak-gelak maka bobollah langitlangit ruangan dan sesosok tubuh
berpakaian putih berkelebat dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata
saking cepatnya tahu-tahu orang ini sudah duduk menjelepok seenaknya di
sudut ruangan! Di pangkuannya ada sebuah kitab. Seisi ruangan terkejut.
Wiro sampai ternganga dan garuk-garuk kepala: "Tua Gila-.." desis Pendekar 212 laki cepat-cepat menjura hormat. "Ah!
Kau masih saja pakai segala macam peradatan yang membikin muak
perutku!" kata orang yang duduk di sudut ruangan yang memang Tua Gila
adanya! "Hadapi si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau menang tapi
kalau tidak kau akan mampus, aku akan konyol!" Sehabis berkata keras
begitu Tua Gila pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi bisikan pada
Wiro. "Kapak di tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari di tangan kiri!
Sekalikali jangan pukul bagian tubuhnya! Jika dia pergunakan Ilmu
Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan Sinar Matahari dan hantam
dengan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang kuajarkan padamu!" "Ayo Sipatoka kau tunggu apa lagi?!" Tua Gila membentak. Dan Datuk Sipatoka melompat turun dari kursinya. Gerakannya seringan kapas! Setelah meneliti Wiro sejenak dia bertanya: "Maumu dengan tangan kosong atau pakai senjata?!" Wiro ingat nasihat Tua Gila. Maka dia pun menjawab: "Kalau kau punya senjata silahkan dikeluarkan!" Datuk Sipatoka tertawa sinis dan cabut sebilah keris hitam yang bercabang tiga! Sinar senjata ini hitam menggidikkan! "Mulailah!" kata Datuk Sipatoka. Wiro tertawa. "Kau tuan rumah silahkan mulai lebih dulu!" Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni 212. Datuk
Sipatoka sunggingkan seringai mengejek. Meski dia belum bisa mengukur
ketinggian ilmu lawannya namun dia merasa yakin akan membereskan si
pemuda di bawah dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan hingga makin
tambah cebol kelihatannya. Dari mulutnya terdengar suara menggoreng
macam suara harimau. Mula-mula perlahan lalu mendadak sontak keras
menggedetek, menggetarkan seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah
kerahkan tiga perempat dari tenaga dalamnya hingga suara bentakan
dahsyat itu tidak mempengaruhinya! Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka
berkelebat lenyap! Tahutahu keris hitam bercabang tiga sudah berkelebat
hanya tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng! Wiro terkejut
lekas-lekas melompat ke samping. Meski tangan kirinya mempunyai
kesempatan leluasa menjotos tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan
Tua Gila tadi maka hal itu tidak dilakukannya! Hampir keris bercabang
tiga itu lewat di sampingnya tiba-tiba dengan sebal Datuk Sipatoka
menusuk ke perut sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat!
Wiro geser kaki kanan. Sambit miringkan badan Kapak Naga Geni 212
dibabatkan ke bawah! Meski senjatanya adalah senjata mustika sakti namun
melihat Kapak lawan yang agaknya bukan sembarang senjata pula maka
Datuk Sipatoka tak berani ambil keputusan untuk adu senjata! Tarik
pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat gandakan pukulan tangan kirinya
hingga angin pukulan yang ke luar laksana topan prahara! Di lain pihak
Wiropun sudah menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah yang
mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya! Terdengar suara seperti
letusan sewaktu kedua angin pukulan itu saling beradu dengan segala
kehebatannya. Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung
sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas pergunakan
ilmu mengentengi tubuhnya, meski dia tak sempat terhuyung ke belakang
namun mungkin akan terhenyak jatuh duduk di lantai tulang! Terkejutlah
manusia cebol ini. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu hebat,
lebih tinggi sekitar satu dua tingkat dari tenaga dalamnya sendiri! Dan
diam-diam dia mulai menyangsikan apakah dia akan sanggup mengalahkan
pemuda itu di bawah dua puluh jurus sebagaimana yang dipastikan semula! Jurus
kedua dibuka kembali oleh Datuk Sipatoka dengan serangan yang lebih
ganas dari pertama tadi. Dia meraung macam harimau ketika serangannya
yang sekali ini pun berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga, Datuk
Sipatoka keluarkan ilmu silat yang pating diandaikannya yaitu ilmu Silat
Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu Silat Harimau yang dimainkan
Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia tidak mengeluarkan ilmu Silat Orang
Gila yang diajarkan Tua Gila pastilah dia kena dicelakai. Dan kini Datuk
Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang jurusjurusnya aneh
berbahaya dan lima kali lebih hebat dari yang dimainkan Gempar Bumi! Dan
dari mulut Pendekar 212 Wiro Sableng keluar suara suitan keras yang
disusul dengan siulan tinggi tak menentu luar biasa Wiro mulai keluarkah
jurus-jurus pertahanan dari ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang
singkat lima belas jurus sudah berlalu. Datuk Sipatoka merutuk dalam
hati dan perhebat serangannya! Tiba-tiba mengiang suara halus laksana suara nyamuk di telinga Wiro Sableng. "Goblok!
Mengapa cuma bertahan? Apa tidak mampu menyerang?!" Itulah dampratan
yang dilontarkan Tua Gila yang duduk enak-enak di sudut ruangan. Wiro
juga sadar. Meski dia bisa bertahan tapi kalau tak membalas serangan
tawan lama-lama dirinya bisa dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga
Geni 212 di tangan kanan lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam belas
untuk pertama kalinya dia menyerang dengan mempergunakan Jurus Kepala
Naga Menyusup Awan. Kapak Naga Geni 212 mendengus laksana suara
ribuan tawon. Sinar pulih berkiblat. Kepala kapak menderu ke bawah lalu
laksana seekor naga yang memunculkan kepalanya dari dalam lautan sen
jala itu melesat ke arah batang leher Datuk Sipatoka! Sang Datuk
sengaja tidak berkelit. Keris cabang tiga ditusukkannya ke depan, ke
arah bawah ketiak tawan karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya
akan lebih cepat menemui sasarannya daripada senjata lawan! Pendekar
212 tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan kerugian posisinya bila dia
meneruskan serangannya. Karenanya dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan
berkelit. Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus serangan baru
yang dinamakan Kincir Padi Memutari Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat
dan berkiblat dalam bentuk putaran yang sangat kecil! Datuk Sipatoka
berseru keras dan tundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari
sambaran senjata lawan. Tapi sedetik kemudian mata kapak telah menyambar
ke bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan dan dia memaki keras
sewaktu sesaat kemudian senjata lawan telah memapas ke pinggul terus ke
arah kedua kakinya! Satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan yang
berputar itu ialah melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Meskipun
ini akan memberi pandangan pada orang-orangnya bahwa dia mulai
kewalahan menghadapi si pemuda berambut gondrong tapi Datuk Sipatoka
terpaksa melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Bila dia sudah
lepas dari serangan yang berputar itu dia akan segera balas menyerang.
Tapi kejutnya bukan alang kepalang karena ketika baru saja dia keluar
dari kalangan pertempuran tahu-tahu senjata lawan memburu dalam jarak
yang sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak pasti kasip! Tiada jalan
lain daripada menangkis. Datuk Sipatoka palangkan keris mustikanya ‘Traang!" Bunga api memercik. Datuk
Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah satu cabang kerisnya patah dan
mental! Tangannya tergelar hebat! Wiro sendiri merasakan tangan kanannya
yang memegang gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedal sakti. Dia tidak
perduli, malah dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya dia
lepaskan Pukulan Sinar Matahari! Beberapa orang anak buah Datuk
Sipatoka menyingkir seketika melihat selarik sinar pulih yang silau dan
luar biasa panasnya menderu di depan mereka! Meski dalam keadaan
kepepet, Datuk Sipatoka tidak kehilangan akal! Serta merta dia jatuhkan
diri sama rata dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya
cabut sepuluh keris-keris emas yang; bergantungan di pakaiannya lalu
dilemparkan ke muka! Pukulan Sinar Matahari menyambar ke atas tubuh
Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di bawah sinar pukulan yang
dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke arah sepuluh bagian tubuh
Pendekar 212. Wiro Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dalam Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan. "Trang… trang… trang!" Suara
itu terdengar berturut-turut sampai sepuluh kali. Dan ke sepuluh
senjata mustika yang dilemparkan Datuk Sipatoka mental patah tersambar
Kapak Naga Geni 212! Oikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar
Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh Datuk Sipatoka terus melanda
dinding Istana Sipatoka. Dinding yang terbuat dari tulang yang kokoh itu
bobol berkepingkeping. Atap istana turun ke bawah hampir runtuh! "Kurang
ajar!" rutuk Datuk Sipatoka seraya melompat bangun. Seluruh ilmu
simpanannya telah dikeluarkannya. Mereka telah bertempur hampir enam
puluh jurus dan ternyala dia tak sanggup menumbangkan lawannya malah
nyawanya hampir saja dilalap mentah-mentah! "Kematianmu dalam saat
ini juga, keparat!" desis Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke balik
pinggang. Kedua tandannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain.
Sedetik kemudian asap hitam mengepul dari kedua tangan itu. Asap hitam
yang berbau busuknya bangkai manusia! Wiro tutup indera penciumannya.
Sesuai dengan ucapan Datuk Sipatoka. Kapak Naga Geni 212 dimasukkan
kembali ke dalam pakaiannya. Pukulan Sinar Matahari disiapkan di tangan
kiri sedang telapak tangan kanan sudah terisi aji pukulan "Dewa Topan
Menggusur Gunung". Kepulan asap hitam yang busuk luar biasa itu
semakin banyak memenuhi ruangan. Anak-anak buah Datuk Sipatoka yang ada
di tempat itu sudah sejak tadi menyingkir karena mereka maklum akan
kedahsyatan Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin mereka.
Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu tapi tubuhnya akan
berbau busuk seumur hidup! "Orang muda, sekalipun kau punya seribu macam ilmu kesaktian, jangan harap kali ini kau bisa larikan diri dari liang neraka!" "Wiro
berdiri dengan siap saja. Meski kewaspadaan penuh tapi suara siulan tak
teratur dari sela bibirnya sampai saat itu masih mengumandang, membuat
Datuk Sipaloka merasa dirinya dianggap sepi saja! Suasana sehening di
pekuburan sewaktu perlahanlahan Datuk Sipatoka angkat kedua tangannya
ke atasi Kemudian suara menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak
dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka, dua larik sinar hitam pekat
yang busuk, menggidikkan menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Sewaktu
Datuk Sipatoka memukul ke depan, Wiro juga telah memukulkan tangan
kirinya ke muka. Sinar putih menyilaukan melesat ke depan, sekaligus
memapasi dua sinar hitam. Terdengar letupan yang dahsyat! Masing-masing
pihak tersurut lima langkah ke belakang. Sinar putih dan sinar hitam
masih kelihatan di udara karena kedua orang yang bertempur masih belum
turunkan tangan masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga ekor naga
yang berpalun-paiun, berkelahi dan saling gempur dengan dahsyat!
Masing-masing sudah keluarkan keringat dingin dan urat-uraft leher
menegang biru! Wiro membentak dam dorongkan lagi tangan kirinya.
Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-gontai. Wiro membentak lagi sampai
beberapa kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan dinding baja. Dia mundur
terus menerus dan bertahan dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima
kalinya Wiro membentak lagi dan dorongkan kembali tangan kirinya Datuk
Sipatoka tak sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya terhampar jatuh duduk
di lantai. Ilmu Pukulan Hawa Nerakanya buyar dan lenyap sedang Pukulan
Sinar Matahari Wiro terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk
Sipaloka meraung terguling-guling. Wiro tidak memberi hati. Tangan kanan
didorongkan kini. Dan satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya
menyapu tubuh Datuk Sipatoka membuat tubuh itu terguling-guling di
halaman berumput Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal dari
persendiannya sedang kepala hancur memar! Itulah kehebatan ilmu Pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung yang telah dilepaskan Wiro Sableng tadi! Suasana
yang hening menggidikkan itu dirobek oleh suara tertawa Tua Gila. Orang
tua ini berdiri dari duduknya dan berkata: "Pertempuran hebat! Luar
biasa sekali untuk disaksikan!" Kemudian Tua Gila memandang berkeliling
dan berseru: "Empat puluh perempuan-perempuan muda yang ada di luar
Istana harap segera masuk!" Sesaat kemudian ke empat puluh, pesuruh
Datuk Sipatoka yang terdiri dari perempuan-perempuan muda belia itu
masuk ke dalam, istana. Melihat kolega-kolega mereka yang ada di dalam
istana, yaitu sisa-sisa pembantu Datuk Sipatoka pada berlutut di lantai
maka ke empat puluh perempuan-perempuan ini pun berlutut pula di hadapan
Tua Gila dan Wiro Sableng. "Berdiri semua!" bentak Tua Gila. Serempak semua orang itu berdiri. “Kalian semua sudah dengar pesan perjanjian Datuk keparat itu, . ? Semua orang mengiyakan. "Begitu
kami pergi, kalian segera memusnahkan istana bejat ini. Hancurkan semua
yang ada rata dengan tanah..Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke
mana kalian rnau asal saja menempuh jalan kehidupan yang benar! Kalau
kelak kutemui atau kudengar ada di antara kalian. Yang coba-coba untuk
kembali jadi orang jahat atau memperhamba diri pada orang jahat, pasti
tak ada ampunan bagi kalian!" Tua Gila berpaling pada Pendekar 212 dan menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan, yang kulitnya sudah robek. "Ambillah. Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab ini,..” Wiro
menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata "Banyak terima kasih
atas segala, bantuan mu, Tua Gila?’ Kemudian ketika dia angkat kepalanya
ternyata si orang tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumadang
suara tertawanya yang terdengar di kejauhan! Wiro Sableng, hela nafas
dalam dan garuk-garuk kepala.