Ada terang dan ada gelap, seperti perumpamaan itu, juga selalu ada sisi lain dalam sebuah kisah bahkan dalam sejarah yang kamu kira kenal baik sekalipun. Dan melalui The Act of Killing atau Jagal untuk judul Indonesianya, sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer akan membuka
lebar sebelah mata kita ketika ia membeberkan sisi lain dari bagian sejarah terkelam bangsa ini yang tidak mungkin kamu temukan dalam halaman-halaman buku diktat sejarah tebal di sekolah atau di film “wajib” tahunan Orde Baru: Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Jadi yang selama ini kita tahu tentang salah satu peristiwa tergelap bangsa ini empat dekade lebih lalu, atau tepatnya pada tahun September 1965 adalah di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) secara nekat dan keji
menculik dan membantai para Jenderal Besar TNI yang kemudian kita kenal sebagai gerakan 30 September (G30S/PKI) yang berujung pada Lubang Buaya yang penuh darah dan kisah kepahlawanan Soeharto. Ya, apa yang dilakukan partai komunis memang kejam dan yang kita ketahui selanjutnya di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang nantinya bakal menjadi Presiden kedua sekaligus Presiden terlama kita adalah sebuah doktrin hebat yang mengatakan bahwa PKI adalah musuh negara yang wajib di berantas sampai ke akar- akarnya. Masalahnya tahukah kamu bahwa apa yang kita lalukan dalam usaha untuk memusanahkan para pengikut komunis itu sama atau bahkan lebih mengerikan? Ya, ketika sineas bangsa ini masih terlalu “takut” untuk membuka luka lama maka dibutuhkan orang asing seperti Joshua Oppenheimer untuk mengajak kita kembali melihat ke kebelakang, tepatnya apa yang terjadi paska G30S/PKI. Melalui penelitian mendalam dan juga sedikit trik “culas”, Oppenheimer akhirnya berhasil mendapatkan kesaksian-kesaksian langsung dari mulut para tukang jagal macam Anwar Congo, mantan preman bioskop yang kemudian namanya menjadi terkenal karena kekejamannya membantai sampai 1000 lebih antek-antek PKI dalam sebuah dokumenter ‘mentah’ dan jujur sepanjang 2 jam. Mungkin ini adalah dokumenter yang paling distrubing sekaligus powerfull. Distrubing bukan karena ia menawarkan gambar- gambar sadis namun bagaimana melihat Congo dan kawan-kawannya tampak begitu bangga bak pahlawan dalam menceritakan kembali bagaimana tindakan kejinya menghabisi para komunis tersebut dan yang paling penting itu semua pernah terjadi di negeri kita tercinta kita tanpa pernah benar- benar kita ketahui. Coba lihat saja ketika ia menunjukan bagaimana tips membunuh yang efektif tanpa
menghaburkan banyak darah di salah satu adegan di atap sebuah bangunan yang juga bekas TKP-nya, Congo melakukan reka ulang yang inspirasinya di dapat dari film-film gangster Hollywood tersebut dengan begitu santai bahkan ia sempat menceritakan bahwa ia melakukan hal-hal yang diperintahkan atasannya sambil berjoget ria dan mabuk-mabukan. Namun ada sisi lain yang menarik ketika Oppenheimer juga menangkap rasa sesal dan ketakutan dari seorang bengis seperti Congo di masa tuanya yang kerap kali dihantui dengan mimpi-mimpi buruk dan perasaan bersalahnya meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa kebangaannya menjadi salah satu bagian sejarah gelap bangsa kita itu lebih
besar ketimbang penyesalannya. Dan The Act of Killing juga tidak hanya menceritakan suka duka Congo dan teman- temannya sesama preman yang masih aktif sampai sekarang memalak para pengusaha keturunan Cina di pasar-pasar kota Medan, namun juga keterlibatan organisasi paramiliter a.k.a preman berseragam, seperti salah satu yang terbesar, Pemuda Pancasila (PP) pimpinan Yapto Suryo Sumarno yang sudah berdiri sejak tahun 1959 dan menganggap preman sebagai manusia bebas (Preman berasal dari kata “Free Man”. Ya, di sini kita akan mengetahui keterlibatan PP dalam pembataian massal yang terjadi dalam periode 1965-1966, dan lagi-lagi dari para anggotanya termasuk sang pemimpin tampak begitu bangga menjadi bagian dari tonggak sejarah, tidak peduli pada akhirnya apa yang mereka lakukan tidak lebih baik dari kekejaman PKI itu sendiri. The Act of Killing seperti versi tandingan Pengkhianatan G30S/PKI-nya Arifin C. Noer. Mungkin saja ia berakhir sebagai sebuah propaganda semata, mungkin saja tidak, tetapi bagaimanapun sulit untuk kemudian bisa menutup mata dari apa yang terungkap di sini di mana di masa lalu ada rahasia besar yang coba ditutup-tutupi bangsa ini dalam tugas ‘mulianya’ menjaga kesatuan republik tercinta ini dengan tumpahan darah dan ribuan nyawa melayang secara brutal. Ya, apa yang disajikan Joshua Oppenheimer secara berani, provokatif, jujur dan blak- blakan ini seperti menjadi sebuah kenyataan pahit yang pada akhirnya harus kita terima, suka atau tidak. Pemutaran film ini di Indonesia pertama kali dilaksanakan di Jakarta pada 1 November 2012. Setelahnya, Jagal diputar pada lebih dari 400 pemutaran di lebih dari 98 kota/ kabupaten di Indonesia sejak 10 Desember 2012. Sebagian besar pemutaran diselenggarakan secara tertutup hanya untuk undangan terbatas demi keamanan para penyelenggara dan penontonnya, dan hanya 25 pemutaran diselenggarakan secara terbuka. Diperkirakan antara 8.000 sampai 12.000 orang Indonesia telah menontonnya. Secara internasional, film karya Joshua Oppenheimer (2012) ini telah mendapatkan puluhan penghargaan dari berbagai festival film internasional dalam kurun waktu belum genap satu tahun. Dalam peredarannya di bioskop, saat ini Jagal sudah main di bioskop- bioskop di Inggris, dan tanggal 19 Juli lalu premier bioskop di Amerika Serikat. Jagal juga sudah mulai ditayangkan di bioskop- bioskop di Denmark, Belanda, Belgia, dan akan main di bioskop Australia. Download